Anda di halaman 1dari 51

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Clinical Pathway

Clinical pathway (CP, alur klinis) memiliki banyak sinonim, di antaranya

care pathway, care map, integrated care pathways, multidisciplinary

pathways of care, pathways of care, collaborative care pathways. Clinical

Pathway dibuat untuk memberikan rincian apa yang harus dilakukan pada

kondisi klinis tertentu. Clinical Pathway memberikan rencana tata laksana

hari demi hari dengan standar pelayanan yang dianggap sesuai. Pelayanan

dalam Clinical Pathway bersifat multidisiplin sehingga semua pihak yang

terlibat dalam pelayanan (dokter/dokter gigi, perawat, fisioterapis, dll) dapat

menggunakan format yang saran (Kemenkes RI, 2014).

Kelebihan format ini adalah perkembangan pasien dapat dimonitor setiap

hari, baik intervensi maupun outcome-nya. Oleh karena itu maka CP paling

layak dibuat untuk penyakit atau kondisi klinis yang memerlukan pendekatan

multidisiplin, dan perjalanan klinisnya dapat diprediksi (pada setidaknya 70%

kasus). Bila dalam perjalanan klinis ditemukan hal-hal yang menyimpang, ini

harus dicatat sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut(Kemenkes RI,

2014).
Perjalanan klinis dan outcome penyakit yang dibuat dalam Clinical Pathway

dapat tidak sesuai dengan harapan karena:

• memang sifat penyakit pada individu tertentu

• terapi tidak diberikan sesuai dengan ketentuan

• pasien tidak mentoleransi obat

• terdapat ko-morbiditas.

Apa pun yang terjadi harus dilakukan evaluasi dan dokter memberikan

intervensi sesuai dengan keadaan pasien. Pada umumnya di rumah sakit

umum hanya 30% pasien dirawat dengan Clinical Pathway. Selebihnya

pasien dirawat dengan prosedur biasa (usual care). Clinical Pathway hanya

efektif dan efisien apabila dilaksanakan untuk penyakit atau kondisi

kesehatan yang perjalanannya predictable, khususnya bila memerlukan

perawatan multidisiplin (Kemenkes RI, 2014).

1. Pengertian

Clinical pathway merupakan rencana multi disiplin yang memerlukan

praktik kolaborasi dengan pendekatan tim, melalui kegiatan day to day,

berfokus pada pasien dengan kegiatan yang sistematik memasukkan

standar outcome (Firmanda D. 2000).

Clinical Pathways adalah suatu konsep pe-rencanaan pelayanan terpadu

yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien

berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang


berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu

selama di rumah sakit. Clinical Pathways adalah metodologi dalam cara

mekanisme pengambilan keputusan terhadap layanan pasien berdasarkan

pengelompokan dan dalam periode waktu tertentu. Prinsip prinsip dalam

menyusun Clinical Pathways (Firmanda D. 2000)

Ada definisi lainnya, yaitu menurut Marelli (2000) Clinical pathway

merupakan pedoman kolaboratif untuk merawat pasien yang berfokus

pada diagnosis, masalah klinis dan tahapan pelayanan. Clinical pathway

menggabungkan standar asuhan setiap tenaga kesehatan secara

sistematik. Tindakan yang diberikan diseragamkan dalam suatu standar

asuhan, namun tetap memperhatikan aspek individu dari pasien.

2. Tujuan Clinical Pathway

Tujuan utama implementasi clinical pathway menurut Depkes RI tahun

2010 (Yasman 2012) adalah untuk :

a. Memilih best practice pada saat pola praktek diketahui berbeda

secara bermakna

b. Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan

penggunaan pemeriksaan klinik serta prosedur klinik lainnya.

c. Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda

dalam suatu proses serta menyusun strategi untuk

mengkoordinasikan agar dapat menghasilkan pelayanan yang lebih

cepat dengan tahapan yang lebih sedikit.


d. Memberikan peran kepada seluruh staf yang terlibat dalam

pelayanan serta peran mereka dalam proses tersebut.

e. Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa

data proses pelayanan sehinga provider dapat mengetahui seberapa

sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan

sesuai standar.

f. Mengurangi beban dokumentasi klinik.

g. Meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada

pasien, misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat

tentang rencana pelayanan.

3. Prinsip Dalam Clinical Pathway

Firmanda (2005) mengatakan bahwa prinsip dalam dalam penyusunan

clinical pathway, memenuhi beberapa hal mendasar, seperti:

a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara

terpadu/integrasi dan berorientasi focus terhadap pasien (patient

focused care) serta berkesinambungan (continuing of care)

b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata,

laboratoris dan farmasis) .

c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan

perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian

(untuk kasus rawat inap) atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit

emergensi).
d. Pencatatan Clinical Pathway seluruh kegiatan pelayanan yang

diberikan kepada pasien secara terpadu dan berkesinambungan

tersebut dalam bentuk dokumen yang merupakan bagian dari Rekam

Medis.

e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan Clinical Pathway

dicatat sebagai varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk

audit.

f. Varians tersebut dapat terjadi karena kondisi perjalanan penyakit,

penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis

(medical errors)dan dipergunakan sebagai salah satu parameter

dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan.

(Firmanda D. 2006).

4. Hubungan clinical pathway dengan mutu profesi (quality)

Pelaksanaan clinical pathway sangat erat berhubungan dan berkaitan

dengan clinical governance dalam rangka menjaga dan meningkatkan

mutu pelayanan dengan biaya yang dapat diestimasikan dan terjangkau

(Firmanda, 2006). Clinical pathways merupakan salah satu komponen

dari sistem diagnostic related group (DRG) Casemix yang terdiri dari

kodefikasi penyakit dan prosedur tindakan (ICD 10 dan ICD 9-CM) dan

perhitungan biaya (baik secara top down costing atau activity based

costing maupun kombinasi keduanya). Clinical pathway dapat digunakan

sebagai alat (entry point) untuk melakukan audit medis dan manajemen

baik untuk tingkat pertama maupun kedua (1st party and 2nd party
audits) dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan.

Clinical pathway dapat digunakan juga sebagai salah satu alat

mekanisme evaluasi penilaian risiko untuk mendeteksi kesalahan

(Firmanda, 2006).

5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan clinical pathway

Menurut Devitra (2011),faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan

clinical pathway di rumah sakit adalah sebagai beriukut:

a. Kebijakan

Kebijakan adalah pengertian umum yang akan membimbing arah

berfikir dalam menentukan keputusan yang berfungsi untuk

memberikan keputusan akan sesuai serta mendukung tercapainya

tujuan. Kebijakan diharapkan dalam berbagai bentuk praktek

pelayanan, pernyataan, peraturan dan bahkan peraturan operasional

sebagai konsekuensi dari keputusan dalam mengerjakan sesuatu.

Tanpa adanya dukungan kebijakan dari manajemen maka clinical

pathway tidak akan bisa terlaksana karena kebijakan disebuah rumah

sakit merupakan dasar hukum untuk pelaksanaan sebuah program.

b. Sumber daya tenaga

Sumber daya tenaga/ manusia merupakan kunci utama keberhasilan

dalam penerapan clinical pathway, untuk itu diperlukan ketersediaan

dan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola potensi

yang ada di rumah sakit secara efektif dan efisien sehingga dapat

memberikan hasil yang positif. Peran sumber daya manusia ibarat

mesin yang akan menjalankan rencana kerja yang telah dibuat.


c. Sarana dan prasarana

Penerapan clinical pathway di rumah sakit harus dilengkapi dengan

sarana dan prasarana yang memadai. Rumah sakit harus memiliki

alat-alat keperawatan yang menunjang standar asuhan keperawatan,

logistik keperawatan sudah sesuai dengan standar pelayanan dan

sudah lulus akreditasi rumah sakit. Begitu juga dengan sarana terkait

teknis penerapan clinical pathway yaitu format clinical patjway

formularium obat, komputer dan alat tulis kantor lainnya. Rumah

sakit juga sudah harus melengkapi sarana penunjang seperti alat

laboratorium, CT-scan, USG, ECG, TCD, elektromedik, fisioterapi

dan protese protestik.

d. Pembentukan komitmen

Komitmen adalah upaya penyatuan persepsi dan kesepakatan, serta

tekad bersama mencapai sebuah tujuan (Maulana, 2009).

Pembentukan komitmen organisasi sangat diperlukan dalam

penerapan clinical pathway di rumah sakit. Pembentukan komitmen

secara tertulis untuk penerapan clinical pathway perlu dilakukan

sebagai bentuk tekad dan persamaan persepsi yang harus dilakukan

dari seluruh jajaran direksi, manajemen dan profesi.

e. Kepemimpinan Klinis

Kepemimpinan merupakan faktor penting dalam keberhasilan

manajemen yang dirasakan pada tingkat individu, antar individu,

manajerial dan organisasi. Salah satu bentuk kepemimpinan yang

diperlukan dalam implementasi cinical pathway adalah


kepemimpinan klinis yang kuat yaitu pola kepemimpinan yang

diperlukan untuk mendorong seluruh staf memberikan pelayanan

yang didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaru dan terbaik.

f. Edukasi

Edukasi dan komunikasi yang intensif dibutuhkan untuk menjamin

pathway dapat berjalan dengan baik (Cheah, 2000 dalam Devitra,

2011). Pemberian edukasi dapat dilakukan dengan mengiriim

petugas mengikuti pelatihan dan seminar tentang casemix dan

clinical pathway.

g. Motivasi

Motivasi dalah suatu kumpulan prilaku yang memberi landasan bagi

seseorang untuk bertindak, dalam suatu cara yang diarahkan kepada

tujuan spesifik tertentu (Amstrong, 1991 dalam Devitra, 2011).

Upaya yang dilakukan dalam memotivasi staf adalah

memberikan pengertian tentang pentingnya penerapan clinical

pathway, teori mengatakan bahwa staf akan bekerja bila ada

kejelasan dan pemahaman terhadap persoalan (Djojodibroto, 1997

dalam Devitra, 2011).

h. Evaluasi pelaksanaan

Menurut Darmadjaja (2009) evaluasi yang dilakukan terhadap

kebijakan penerapan clinical pathway pada suatu rumah sakit untuk

efisiensi dan efektifitas, ada tiga hal yang dilakukan yaitu :

1) Evaluasi upaya kesiapan rumah sakit untuk penyusunan dan

penerapan clinical pathway yaitu menyangkut dengan dukungan


organisasi, kesiapan sumber daya tenaga, fasilitas rumah sakit,

sarana prasarana clinical pathway dan proses manajemen untuk

menrapkannya.

2) Evaluasi penggunaan yang ditujukan untuk melihat sejauh mana

clinical pathway digunakan untuk efektif dan efisiensi

pelayanan. Pada tahap ini clinical pathway memastikan semua

intervensi dilakukan secara tepat waktu dengan mendorong staf

klinik untuk bersikap pro-aktif dalam pelayanan. Clinical

pathway diharapkan dapat mengurangi biaya dengan

menurunkan length of stay (LOS) dan tetap memeliharan mutu

pelayanan.

3) Evaluasi outcome untuk peningkatan pelayanan dan melihat

dampak clinical pathway dari individu pasien dan keluarga,

penyandang dana (asuransi) sebagai purchasers dan internal

customer rofesi (dokter, apoteker, perawat, penata, akuntansi

dan rekam medik) serta penyelenggara rumah sakit sebagai

provider dan menjasi jelas, eksplisit dan akuntabel dari segi

mutu layanan maupun biaya yang dikeluarkan.

6. Format Clinical Pathway

Clinical Pathway adalah dokumen tertulis. Terdapat berbagai jenis

format Clinical Pathway yang tergantung pada jenis penyakit atau

masalah serta kesepakatan para profesional. Namun pada umumnya

format Clinical Pathway berupa tabel yang kolomnya 21 merupakan

waktu (hari, jam), sedangkan barisnya merupakan observasi /


pemeriksaan / tindakan / intervensi yang diperlukan. Format Clinical

Pathway dapat amat rumit dan rinci (misaInya pemberian obat setiap 6

jam dengan dosis tertentu; bila ini melibatkan banyak obat maka menjadi

amat rumit). Sebagian apa yang harus diisi dapat merupakan check-list,

namun tetap harus diberikan ruang untuk menuliskan hal-hal yang perJu

dicatat. Ruang yang tersedia untuk mencatat hal-hal yang diperlukan juga

dapat amat terbatas, lebih-Iebih format yang sarna diisi oleh semua

profesi yang terlbat dalam perawatan, karena sifat multidisiplin.

(Kemenkes RI 2014).

Langkah-langkah penyusunan format clinical pathway memenuhi hal-hal

sebagai berikut:

a) Komponen yang mencakup definisi dari clinical pathway

b) Memanfaatkan data yang ada di lapangan rumah sakit dan kondisi

setempat yaitu data laporan morbiditas pasien yang dibuat setiap

rumah sakit berdasarkan buku petunjuk pengisian, pengolahan dan

penyajian data rumah sakit dan sensus harian untuk penetapan

topik clinical pathway yang akan dibuat dan lama hari rawat.

c) Variabel tindakan dan obat-obatan mengacu kepada standar

pelayanan medis, standar prosedur operasional dan daftar standar

formularium yang telah ada di rumah sakit.

Tabel 2.1 di bawah ini merupakan form bentuk umum dari clinical pathway

yang dapat dimodifikasi sesuai dengan dengan kebutuhan rumah sakit.


Tabel 2.1 Form Bentuk Umum Clinical Pathways

Aktifitas Pra Rawat Rawat Inap


Pelayanan Inap Hari Hari Komplikasi/
Poliklinik 1 2 Co-Morbidity
/IGD Tgl Tgl
1 2 3 4 5
Pendaftaran
Penetapan
Diagnosa
Pra perawatan
Tinak Lanjut
Sumber: Feuth and Claes, 2008

Feuth dan Claes (2008) mengemukakan bahwa ada 4 komponen utama

clinical pathway, yaitu meliputi:

1) kerangka waktu

Kerangka waktu menggambarkan tahapan berdasarkan pada hari

perawatan atau berdasarkan tahapan pelayanan seperti: fase pre-operasi,

intraoperasi dan pasca-operasi

2) Kategori Asuhan

Kategori asuhan berisi aktivitas yang menggambarkan asuhan seluruh

tim kesehatan yang diberikan kepada pasien. Aktivitas dikelompokkan

berdasarkan jenis tindakan pada jangka waktu tertentu.

3) Kriteria Hasil

Kriteria hasil memuat hasil yang diharapkan dari standar asuhan yang

diberikan, meliputi kriteria jangka panjang yaitu menggambarkan

kriteria hasil dari keseluruhan asuhan dan jangka pendek, yaitu

menggambarkan kriteria hasil pada setiap tahapan pelayanan pada

jangka waktu tertentu.

4) Pencatatan Varian.
Lembaran varian mencatat dan menganalisis deviasi dari standar yang

ditetapkan dalam clinical pathway. Kondisi pasien yang tidak sesuai

dengan standar asuhan atau standar yang tidak bisa dilakukan dicatat

dalam lembar varian.

7. Kelebihan dan kekurangan penggunaan clinical pathway

Banyak rumah sakit mulai menerapkan clinical pathway dalam

pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien, karena penggunaan

clinical pathway memiliki kelebihan antara lain sebagai berikut :

a. Dapat menurunkan angka komplikasi yang diderita pasien, clinical

pathway dapat mencegah komplikasi kepada pasien yang mendapat

terapi bedah, yakni mencegah 1 pasien yang terkena kompikasi dari

17 pasien yang mendapat terapi bedah pada pelayanan yang biasa

digunakan oleh dokter

b. Memberikan efisiensi dalam pencatatan, dimana tidak terjadi

pengulangan atau duplikasi penulisan, sehingga kemungkinan salah

komunikasi dalam tim kesehatan yang merawat pasien dapat

dihindarkan.

c. Meningkatkan peran dan komunikasi dalam tim multidisiplin

sehingga masing-masing anggota tim termotivasi dalam peningkatan

pengetahuan dan kompetensi.

d. Terdapat standarisasi outcome sesuai lamanya hari rawat, sehingga

akan tercapai effective cost dalam perawatan.


e. Meningkatkan kepuasan pasien karena pelaksanaan discharge

planning kepada pasien lebih jelas.

Selain mempunyai kelebihan dalam penggunaan clinical pathway, perlu

dicermati juga kekurangan yang ditemui dalam penerapan format clinical

pathway, antara lain sebagai berikut:

a. Dokumentasi clinical patway ini membutuhkan waktu yang relatif

lama dalam pembentukan dan pengembangannya.

b. Tidak terlihat proses keperawatan secara jelas karena harus

menyesuaikan dengan tahap perencanaan medis, pengobatan dan

pemeriksaan penunjang lainnya.

c. Format dokumentasi hanya digunakan untuk masalah spesifik,

sehingga akan banyak sekali format yang harus dihasilkan untuk

seluruh pelayanan yang tersedia (Yasman, 2012)

8. Nursing clinical pathway

Nursing clinical pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan

keperawatan yang merangkum setiap langkah yang dilakukan pada

pasien mulai masuk rumah sakit sampai keluar rumah sakit berdasar

standar standar asuhan keperawatan yang berbasis bukti yang dapat

diukur. (Calhoun, 2000).

Komponen yang bisa dimasukkan dalam nursing clinical pathway

dengan mengacu kepada standar asuhan keperawatan The University of


IOWA yaitu Nursing Intervention Clasification (NIC) adalah sebagai

berikut :

a. Physiological basic yang terdiri dari :

Manajemen aktivitas dan latihan, seperti manajemen nyeri, terapi

latihan peregangan, terapi latihan mobilitas, terapi latihan kontrol

otot; Manajemen eliminasi, seperti irigasi bladder, perawatan

inkontinensia, perawatan ostomy; Manajemen imobilitas, seperti

perawatan bedrest, bidai, perawatan gips; Dukungan nutrisi seperti

diet bertahap, memberikan makan melalui enteral, monitor nutrisi;

Peningkatan kenyamanan fisik seperti manajemen mual,

aromaterapi, akupressure, manajemen nyeri; menfasilitasi perawatan

diri seperti memandikan, perawatan telinga, perawatan rambut,

perawatan perineal.

b. Physiological complex yang terdiri dari :

Manajemen elektrolit dan asam basa seperti : monitor asam basa,

monitor elektrolit; Manajemen obat; manajemen neurologi seperti

monitor neurologi, manajemen edema serebral; perawatan

perioperatif seperti perawatan post anestesi, pesiapan operasi,

pendidikan preoperasi; Manajemen Respirasi seperti manajemen

jalan nafas, suctioning jalan nafas; manajemen kulit atau luka seperti

perawatan amputasi, perawatan ulkus dekubitus, perawatan luka;

thermoregulasi seperti pengaturan suhu, perawatan demam;

manajemen perfusi jaringan seperti kontrol perdarahan, perawatan

jantung, manajemen hipovolemi, manajemen shock.


c. Perilaku yang terdiri dari :

Terapi perilaku seperti terapi aktifitas, terapi menggambar; Terapi

kognitif seperti bantuan kontrol marah, latihan memori; peningkatan

komunikasi seperti mendengar aktif, peningkatan komunikasi (defisit

pendengaran); Bantuan coping seperti peningkatan body image,

support spiritual; pendidikan kesehatan pasien; peningkatan

kenyamanan psikologi seperti penurunan kecemasan, distraksi, terapi

relaksasi.

d. Keselamatan yang terdiri dari :

Manajemen krisis seperti intervensi krisis, resusitasi, triage;

Manajemen resiko seperti manajemen alergi, pencegahan aspirasi.

e. Keluarga yang terdiri dari :

Perawatan bayi baru lahir seperti melahirkan, pengurangan

perdarahan (postpartum uterus), bantuan breasfeeding, perawatan

sirkumsisi, kangoroo care; Perawatan anak seperti infant care

f. Sistem kesehatan yang terdiri dari :

Mediasi sistem kesehatan seperti admission care, discharge

planning; Manajemen informasi seperti konsultasi, rujuk.

1) Mutu pelayanan keperawatan

Berdasarkan kebijakan Depkes RI (1998), mutu pelayanan

keperawatan adalah pelayanan kepada pasien yang berdasarkan

standar keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan

pasien, sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan yang

khirnya dapat meningkatkan kepercayaan kepada rumah sakit,


serta dapat menghasilkan keunggulan konetitif mellaui

pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif, dan menghasilkan

customer responsiveness.

Strategi peningkatan mutu pelayanan keperawatan antara lain

pendidikan berlanjut, sumber daya dimanfaatkan secara efisien

dan efektif aman bagi pasien dan provider, memuaskan bagi

pasien dan provider, serta menghormati aspek sosial, ekonomi,

budaya, agama, etika dan tata nilai masyrakat. Prasyarat

peningkatan mutu pelayanan keperawatan antara lain pimpinan

yang peduli dan mendukung, sadar mutu bagi seluruh staf,

program diklat untuk peningkatan sumber daya manusia,

sarana dan lingkungan yang mendukung dan adanya standar

pelayanan minimal (Menkes RI, 2008).

2) Indikator mutu pelayanan

Menurut Nursalam (2011) dan Depkes (2008) tentang

standar pelayanan minimal rumah sakit, indikator mutu

pelayanan rumah sakit meliputi :

a) Indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan,

meliputi:

(1) Angka infeksi nosokomial : 1 – 2%

(2) Angka kematian kasar : 3 – 4%

(3) Kematian pasca bedah : 1 – 2%

(4) Kematian ibu melahirkan : 1 – 2%


(5) Kematian bayi baru lahir : 20/1000

(6) NDR (Net Death Rate) : 2,5%

(7) ADR (Anesthesia Death Rate) : maksimal 1/5000

(8) PODR (Post-Operation Death Rate) : 1%

(9) POIR (Post-Operative Infection Rate) : 1%

b) Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi

rumah sakit :

(1) BOR (Bed Occupation Rate) : 70 – 80%

(2) BTO (Bed Turn Over) : 5 – 45 hari atau 40 – 50 kali

per satu tempat tidur/tahun

(3) TOI (Turn Over Interval) : 1- 3 hari

(4) LOS (Length Of Stay) : ≤ 6 hari (komplikasi, infeksi

nosokomial; gawat darurat; tingkat kontaminasi

dalam darah; tingkat kesalahan; dan kepuasan

pasien)

(5) Normal tissue removal rate : 10%

c) Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien

dapat dikur dengan jumlah keluhan pasien/keluarganya,

surat pembaca di koran, surat kaleng, surat masuk di

kotak saran.

d) Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien

(patient safety)
9. Evidence based lama hari rawat pasien stroke non hemoragik

Menurut data dasar yang didapat dari salah satu ruang rawat di Siloam

Hospital Lipo Village (SHLV) yaitu ruang perawatan khusus pasien

stroke, didapatkan data bahwa pada bulan Agustus 2011 jumlah pasien

stroke non hemoragik sebanyak 28 orang dengan rata-rata lama hari

rawat 7 hari. Penelitian Ranette (2010), didapatkan rata-rata lama hari

rawat pasien stroke non hemoragik di RSCM adalah 8,1 hari. Laporan

audit penatalaksanaan stroke non hemoragik pasien rawat inap di RSDM

Surakarta didapatkan lama hari rawatan pasien stroke non hemoragik

adalah 11 hari. Sehingga jika dirata-ratakan lama hari rawat pasien

stroke non hemoragik di tiga rumah sakit tersebut adalah 8 sampai 9 hari.

10. Evidence based aplikasi clinical pathway terhadap lama hari rawat

Penerapan clinical pathway dalam DRG dapat menurunkan lama hari

rawat, dengan menghabiskan waktu selama 5 tahun yaitu sejak tahun

1999 sampai tahun 2003 ada 5 diagnosa penyakit yang diteliti yaitu

COPD, CHF, Diabetes, MI dan Pneumonia. Sejak tahun 1999 sampai

2003 jumlah pasien CHF ada 705, COPD : 503 pasien, MI 221 pasien,

Pneumonia 112 pasien, 90 pasien DM, dari ke lima diagnosa tersebut

yang sedang diteliti MI yang mempunyai penurunaan length of stay

(p<0.01), itu di karenakan 4 diagnosa lainnya mempunyai komplikasi

yang akhirnya dimasukkan kedalam varian. Lama hari rawat (LOS) dari

diagnosis COPD 4,07, CHF 4.13, Diabetes 3.08 MI 1.99 dan pneumonia

3.29 (Lee & Anderson, 2006 dalam Jubaidah, 2012).


Terlihat jelas implementasi dari clinical pathway di rumah sakit yang

diteliti tidak ada halangan dan resistensi dari para tenaga kesehatan dan

mereka berkomitmen untuk melakukan tindak lanjut untuk menurunkan

lama hari rawat dari hasil penelitian tersebut. Rumah Sakit di Indonesia

juga telah ada yang melaksanakan clinical pathway pada beberapa

tindakan operasi.

B. Stroke Non Hemoragik

1. Pengertian

Stroke adalah suatu sindroma yang mempunyai karakteristik suatu serangan yang

mendadak, non konvulsif yang disebabkan karena gangguan peredaran

darah otak nontraumatik. (Tarwofo,dkk, 2007).

Stroke merupakan sindroma klinis dengan gejala gangguan fungsi otak

secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih yang

dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari

24 jam tanpa penyebab lain kecuali gangguan pembuluh darah otak.

(WHO, 1983)

Stroke merupakan penyakit peredaran daah otak yang diakibatkan ofetr

tersumbatnya aliran darah ke otak atau pecahnya p,embuluh darah di otak, sehingga

suplay darah ke otak berkurang. (Smletzer & Bare, 2005)


Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau

bekuan pada satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.

Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di

dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Trombus

yang terlepas dapat menjadi embolus (Price SA & Wilson, 2006).

2. Klasifikasi stroke

Stroke umumnya dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu:

a. Stroke non Naemorhagic (Iskemia/Infark)

Stroke non Haemorhagik merupakan suatu penyakit yang terjadi

akibat suplay darah ke jaringan otak terhambat/terhenti, hal ini

disebabkan karena obstruksi total atau sebagian pembuluh darah

otak. (Iskandar, 2006.

b. Stroke Haemoragik (perdarahan)

Stroke Haemorhagic merupakan suatu penyakit yang terjadi karena

perdarahan suatu arteri serebralis, mungkin disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah otak tertentu (Iskandar,2006)

Stroke perdarahan dibagi lagi dalam dua bagian:

• Perdarahan intraserebral (PIS), seperi intraparenkim dan intra ventrikel

• Perdarahan sub arakhnoid (PSA). (Iskandar, 2006)


Berdasarkan perjalanan penyakit atau stadiumnya

1. Transient Ischaemic Attack (TIA)

Yaitu gangguan neurologis sepintas, yang selama di dalam beberapa

menit atau beberapa jam. Gejala akan hilang spontan dan sempuma

dalam waktu kurang dari 24 jam.

2. Stroke Involution

Stroke yang terjadi masih terus berlangsung, dimana gangguan

neurologis terlihat semakin bertambah dan semakin berat Prosesnya

beberapa jam atau beberapa hari.

3. Stroke Komplit

Gangguan neurologis yang timbul sudah menetap atau

permanen. Dapat diawali oleh serangan T IA yang berulang.

(Tarwoto,dkk, 2007)

3. Etiologi

a. Stroke Haemorfiagic

Stroke Haemorhagic terjadi akibat perdarahan pada arteri serebralis

(perdarahan Subarachnoid dan perdarahan Intrakamial) yang disebakan

oleh:

1) Aneurisma arterl besar (berry)

2) Malformasi arteri vena

3) Lesi aterosklerotik

4) Infeksi (mikosis)

5) Hipertensi
6) Angioman/ tumor otak

7) Trauma kepala (Iskandar, 2006)

b. Penyebab Stroke Non Haemorhagic

1) Trombosis

2) Emboli

3) Hypoperfusi global (Tarwofo,dkk, 2007)

4. Faktor risiko

Faktor resiko adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan

terhadap serangan stroke.

Faktor resiko stroke umumnya dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:

a. Yang tidak dapat dikontrol

1) Usia

Makin bertambah usia resiko stroke makin tinggi, hal ini berkaitan

dengan eastisitas pembuluh darah

2) Jenis Kelamin

Laki-laki mempunyai kecendrungan lebih tinggi dibanding wanita

yaitu 1,3:1, kecuali pada usia lanjut laki-laki dan wanita hampir

tidak berbeda. Pada iaki-laki lebih cendrung terkena stroke iskemik,

pada wanita lebih cendrung menderita perdarahan subarakhnoid dan

kematiannya 2 kali lebih tinggi dibanding laki-laki.

3) Ras dan Keturunan

Stroke lebih sering ditemukan pada bangsa Afrika/ negro, Jepang

dan China. Menurut Brooederick dkk, melaporkan orang negro

Amerika cendrung beresiko 1,4 kali lebih besar mengalami


perdarahan intracerebral dibanding kulit putih. Sedangkan orang

kulit putih cendrung terkena store iskemik, akibat sumbatan extra

karanial lebih banyak.

4) Riwayat keluarga yang pernah mengalanni stroke pada usia muda.

b. Yang dapat dikontrol

1) Hipertensi

Hipertensi menyebabkan aterosklerosis yang dapat mempersempit

lumen pembuluh darah serebral sehingga lama-kelamaan akan

pecah menimbulkan perdarahan

2) Diabetes Mellitus

Pada DM terjadi gangguan vaskuler, sehingga terjadi hambatan

dalam aliran darah ke otak. DM mempercepat terjadinya

aterosklerosis diseluruh pembuluh darah termasuk pembuluh darah

otak. Hiperglikemik meningkatkan resiko stroke melalui asam urat

yang merupakan salah satu komponen pada plak aterosklerosis;

hiperilipidemia yang memacu terbentuknya ateroma pada dinding

arteri pada proses aterosklerosis dan hiperkolesterol

3) Penyakit jantung

Fibrilasi atrium menyebabkan penurunan cardiac output sehingga

terjadi gangguan perfusi serebral.

4) Perokok

Aterosklerosis terjadi dari nikotin pada rokok menimbulkan plaque

dan karena peningkatan oksidasi lemak

5) Peminum Alcohol
Pada alkoholik dapat mengalami hipertensi, penurunan aliran darah

keotak dan kardiak aritmia.

6) Obesitas

Obesitas memicu proses aterosklerosis yang dihubungkan dengan

hipertensi, hiperlipidemia dan kencing Manis. Pada obesitas kadar

koesterol darah meningkat dan terjadi hipertensi

7) Kurang akbvitas fisik

Aktivitas fisik secara teratur dapat menurunkan tekanan darah dan

gula darah, menurunkan berat badan sehingga-dapat menurunkan resiko

terkena stroke secara bermakna

8) Hipercolesterol

Kolesterol menyebabkan arterosklerosis

9) Polisiternia

Pada kadar Hb yang tinggi menimbulkan darah menjadi lebih kental

dengan demikian aliran darah ke otak lebih lambat

10) Stress fisik dan mental

Stress dapat mengakibatkan hati memproduksi radikal bebas lebih

banyak dan menurunkan fungis imunitas dan gangguan fungis

hormonal.

11) Hyperhomocysteinemia

12) Infeksi virus dan bakteri

13) Obat kontrasepsi oral

14) Transient Ischemic Attack(TIA) = serangan lumpuh sementara

(Iskandar, 2006)
5. Gejala Klinis

Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran

darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah

dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, kesadaran biasanya

tidak mengalami penurunan, kesadaran seseorang dapat di nilai dengan

menggunakan skala koma Glasgow yaitu :

Tabel 2.2 Skala koma glascow

Buka mata (E) Respon motorik Respon verbal (V)


(M)
(1) (2) (3)
1. Tidak ada 1. Tidak ada 1. Tidak ada suara
respons gerakan
2. Respons 2. Ekstensi 2. Mengerang
dengan abnormal
rangsangan
nyeri
3. Buka mata 3. Fleksi 3. Bicara kacau
dengan abnormal
perintah
4. Buka mata 4. Menghindari 4. Disorientasi tempat
spontan nyeri dan waktu

(1) (2) (3)


5. Melokalisir 5. Orientasi baik dan
nyeri sesuai
6. Mengikuti
perintah
Sumber : Mansjoer, A (2002)

Penilaian skor skala koma Glasgow :

a. Koma (GCS = 3-8)

b. Konfusi, lateragi atau stupor (GCS = 9-14)

c. Sadar penuh, atentif dan orientatif (GCS = 15)


Manifestasi stroke tergantung dari sisi atau bagian mana yang terkena, rata-rata

serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi cofateral.

Pada Stroke akut gejala klinik meliputi:

a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiperese) yang timbal

secara mendadak

b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan

c. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma)

d. Afasia (kesulitan dalam bicara)

e. Distaria (bicara cadek atau pelo)

f. Ganguan penglihatan, diplopia

g. Ataxia

h. Vertigo, mual, muntah dan nyeri kepala

(Tarwoto, dkk, 2007)

Tabel 2.3 Gangguan nervus kranial

Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan


lesi
(1) (2) (3)
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata; kontriksi Diplopia (penglihatan
pupil; akomodasi kembar), ptosis; midriasis;
hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak kelemahan otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Hilangnya kemampuan
umum pada platum dan mengecap pada dua pertiga
telinga luar; sekresi anterior lidah; mulut
kelenjar lakrimalis, kering; hilangnya
submandibula dan lakrimasi; paralisis otot
sublingual; ekspresi wajah wajah
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan
lesi
(1) (2) (3)
VIII: Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging
Vestibulokoklearis keseimbangan terus menerus); vertigo;
nitagmus
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi Hilangnya daya
umum pada faring dan pengecapan pada sepertiga
telinga; mengangkat posterior lidah; anestesi
palatum; sekresi kelenjar pada farings; mulut kering
parotis sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi Disfagia (gangguan
umum pada farings, laring menelan) suara parau;
dan telinga; menelan; paralisis palatum
fonasi; parasimpatis untuk
jantung dan visera
abdomen
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan
leher dan bahu otot kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah
Sumber : Swartz, M.H (2002)
6. Pemeriksaan fisik

Tujuan pemeriksaan fisik menurut Swartz (2002) adalah untuk

mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan

kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit

neurologi yang dialami, pemeriksaan neurologik terdiri dari penilaian hal-

hal berikut ini :

a. Status mental

Pemeriksaan fisik status mental meliputi ; tingkat kesadaran,

bicara, orientasi, pengetahuan kejadian-kejadian mutakhir,

pertimbangan, abstraksi, kosakata, respons emosional, daya ingat,

berhitung, pengenalan benda, praksis (integrasi aktivitas motorik).

b. Nervus kranial
1) Nervus olfaktorius diperiksa tajamnya penciuman dengan satu

lubang hidung pasien ditutup, sementara bahan penciuman

diletakan pada lubang hidung kemudian di suruh membedakan bau.

2) Nervus optikus yang diperikasa adalah ketajaman penglihatan dan

pemeriksaan oftalmoskopi.

3) Nervus okulomotorius yang diperiksa adalah reflek pupil dan

akomodasi.

4) Nervus troklearis dengan cara melihat pergerakan bola mata keatas,

bawah, kiri, kanan, lateral, diagonal.

5) Nervus trigeminus dengan cara melakukan pemeriksaan reflek

kornea dengan menempelkan benang tipis ke kornea yang

normalnya pasien akan menutup mata, Pemeriksaan cabang

sensoris pasa bagian pipi, pemeriksaan cabang motorik pada pipi.

6) Nervus abdusen dengan cara pasien di suruh menggerakan sisi

mata ke samping kiri dan kanan.

7) Nervus fasialis di dapatkan hilangnya kemampuan mengecap pada

dua pertiga anterior lidah, mulut kering, paralisis otot wajah.

8) Nervus vestibulokoklearis yang di periksa adalah pendengaran,

keseimbangan, dan pengetahuan tentang posisi tubuh.

9) Nervus glosofaringeus di periksa daya pengecapan pada sepertiga

posterior lidah anestesi pada farings mulut kering sebagian

10) Nervus vagus dengan cara memeriksa cara menelan.


11) Nervus asesorius dengan cara memeriksa kekuatan pada muskulus

sternokleudomastoideus, pasien di suruh memutar kepala sesuai

tahanan yang di berikan si pemeriksa.

12) Nervus hipoglosus bisa dengan melihat kekuatan lidah, lidah di

julurkan ke luar jika ada kelainan maka lidah akan membelok ke

sisi lesi.

c. Fungsi motorik

1) Masa otot bisa dengan inspeksi.

2) Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif

melawan tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang

lazim digunakan yaitu 0: tidak ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit

kontraksi, 2: gerakan yang dibatasi oleh gravitasi, 3: gerakan

melawan gravitasi, 4: gerakan melawan gravitasi dengan sedikit

tahanan, 5: gerakan melawan gravitasi dengan tahanan penuh

(normal).

3) Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu

bandingkan dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi

peningkatan tonus tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik

bawah menyebabkan penurunan tonus otot.

d. Reflek

Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo

profunda, dan reflek superfisial. Reflek renggang diantaranya yaitu

reflek biseps, brakioradialis, triseps, patela dan achiles. Reflek


superfisial yang abnormal yaitu reflek babinski, reflek chaddock,

reflek openheim. Reflek babinski untuk menguji radiks saraf pada

lumbal lima sampai sacrum dua, dengan menggores bagian telapak

kaki bagian lateral dari tumit ke arah pangkal jari-jari kaki

melengkung ke medial, maka akan terjadi dorsifleksi ibu jari kakai

dengan penyebaran jari-jari lainya. Reflek chaddock akan terjadi

dorsofleksi ketika sisi lateral kaki di gores

7. Identifikasi Awal Stroke

Faktor yang penting dan pengobatan awal pasien stroke adalah

identifikasi manifestasi pasien stroke yang benar dan menentukan sera

ngangan awal. Oleh karena itu manifestasu bisa berbeda berdasarkan

lokasi dan ukuran infark,alat pengkajian standar, seperti accute Stroke

Quick Screen dan National Institutes of Health Stroke Scale (NHISS)

(Tabel 2.2), dapat digunakan untuk mengidentifikasi dengan

cepat,sehinga klien bisa mendapatkan manfaat dari terapi trombolisisis.

Pengkajian harus lengkap dan akurat untuk memberikan data dasar untuk

pengkajian selanjutnya. Penilaian <5 dari skala angka 42

mengidentifikasikan stroke minor. (Joyce M.Black dan Jane Hoekanson

Hawks,2014)

Lakukan skala komponen stroke sesuai dengan urutan. Skor harus

mencerminkan apa yang klien lakukan , bukan apa yang dokter kira bisa

lakukan. Klien tidak boleh di bimbing, kecuali jika ada indikasi untuk hal
tersebut ( misalnya mengulang permintaan kepeada klien untuk membuat

melakukan usaha tertentu ).

Untuk skor total :

0 = Pemerikasaan normal

> 4 = Sering kali menggambarkan Stroke Akut

>20 = Menggambarkan penurunan neorologis berat

Tabel 2.4 Skala Stroke National Institues of Health (NIH)

Petunjuk Penjelasan Skala


1a. Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan memiliki respon, bahkan 0 = Sadar/Respon sepenuhnya
jika evaluasi yang lengkap tidak bisa 1 = Tidak waspada tapi mampu
dilakukan karena beberapa hanya bergerak dengan stimulasi minor
hambatan seperti adanya selang untuk mematuhi,
endotrakeal, hambatan bahasa, trauma menjawab,merespon.
orotrakeal, atau balutan. Skor 3 2 =Tidak waspada membutuhkan
diberikan hanya jika klien tidak stimulus berulang atau stimulus
membuat gerakan apapun ( selain dari rasa nyeri untuk membuat
reflek postur)dalam merespon stimulus gerakan (bukan steroetipe atau
yang tidak menyenagngkan. gerakan berulang yang konstan
dan memiliki arti)
3 = Merespon hanya dengan reflek
motorik atau reflek autonom atau
tidak merespon samasekali atau
lemah,tidak ada reflek

1b. Pertanyaan tingkat kesadaran


Tanyakan kepada klien bulan apa saat
ini dan usinya. Jawaban harus di jawab 0 = Menjawab kedua pertanyaan
dengan benar benar, tidak ada nilai dengan benar
untuk menjawab pertanyaan yang 1 = menjawab satu pertanyaan
hampir benar. Klien dengan afasia dan dengan benar
stupor tidak memahami pertanyan 2 = Tidak menjawab kedua
diberikan skor 2. Klien yang tidak pertanyaan dengan benar
dapat berbicara karna adanya intubasi
endotrakeal, trauma orotrakeal,
disartria yang parah karena berbagai
sebab,kendala bahasa atau masalah
lainya yang bukan penyebab dari
afasia di beri skor 1. Penting untuk
Petunjuk Penjelasan Skala
diketahui bahwa hanya jawaban yang
pertama yang dinilai dan penguji
”tidak akan” membantu klien untuk
isyarat verbal maupun non verbal

1c. Perintah Tingkat Kesadaran


Klien diminta untuk membuka dan 0 = Melakukan kedua tugas dengan
menutup mata,serta kemudian untuk benar
mengenggam dan melepaskan 1 = Melakukan satu tugas dengan
genggaman pada tangan yang tidak benar
paresis.Ganti perintah yang lain jika 2 = Tidak melakukan dua tugas
tangan tidak bisa digunakan. Nilai tersebut
diberikan jika terlihat usaha nyata
dilakukan tapi tidak selesai karena
kelemahan . Jika klien tidak merespon
terhadap perintah, perintah tersebut
harus diperagakan (dengan gerakan)
dan catat hasilnya ( misalnya tidak
mengikut samasekali,mengikuti satu
atau dua perintah). Klien dengan
trauma dan amputasi atau hambatan
fisik harus diberikan perintah sesuai
dengan kondisi mereka. Hanya usaha
pertama yang akan dinilai.

2. Pandangan
Hanya gerakan mata yang horizontal 0 = Normal
yang akan diuji.Adanya gerakan 1 = Gangguan pandangan
volunter atau reflektif (okulosefalik) sebagian,skor ini diberikan jika
dari mata yang akan dinilai, tapi tes pandangan tersebut abnormal,
kalorik tidak akan dilakukan. Jika tapi tidak terdapat penyimpangan
klien memiliki konjugasi deviasi pada yang dipaksa atau kelumpuhan
mata yang dapat melakukan aktifitas pandangan total.
volunter atau reflektiif diberi skor 1. 2 = Penyimpangan yang dipaksa atau
Jika klien memiliki paresis terhadap kelumpuhan pandangan total
saraf tepi yang terisolasi (SK III,IV, tidak dapat diatasi dengan
atau VI) diberi skor 1. Tatapan bisa manuver okulosevalik
diperiksa pada semua klien dengan
afasia. Klien dengan trauma okular,
adanya balutan, kebutaan yang sudah
ada sebelumnya,gangguan ketajaman
penglihatan, atau lapangan pandang
lainya harus diperikasa dengan
gerakan refleksif dan pemilihan
ditentukan oleh pemeriksa.
Mempertahankan kontak mata dengan
Petunjuk Penjelasan Skala
klien, kemudian bergerak dari sisi satu
ke sisi lainya pada klien biasanya akan
memperjelas adanya kemampuan
pandangan

3. Penglihatan
Lapang pandang (kuadran atas dan 0 = Tidak ada gangguan penglihatan
bawah) diuji dengan saling 1 = Hemianopia sebagian
berhadapan,menggunakan jari tangan 2 = Hemianopia lengkap
atau perlakuan pada penglihatanyang 3 = Hemianopia bilateral (Kebutaan
sesuai. Klien harus didukung,tapi jika termasuk kebutaan pada korteks)
klien bisa melihat dengan benar ke
bagian sisi – sisi jari yang bergerak,hal
ini bisa diberikan skor normal. Jika
terjadi kebutaan unilateral atau
enoukleasi,lapang pandang pada mata
tidak mengalami kebutaan yang akan
dinilai. Skor 1 jika asimetris yang
nyata termasuk kuadranatopia
ditemukan.Jika klien buta karena
penyebab lain diberi skor 3. Stimulasi
rangakap berulang dilakukan pada
thap ini jika ada gangguan
pengliahatan neorologis, Klien
menerima skor 1 dan hasilnya
digunakan untk menjawab pertanyaan
nomor dua

4. Kelumpuhan Pada Wajah


Minta klien dengan kalimat atau 0 = Gerakan simetrikal normal
dengan gerakan untuk memperlihatkan 1 = Kelumpuhan minor (lipatan
gigi atau senyum dengan menutup nasolabial menjadi
mata. Kaji kesimetrisan expresi datar,asimetris pada saat
meringis terhadap respon stimulus tersenyum)
yang tidak menyenangkan kepada 2 = Kelumpuhan sebagian
klien dengan kemampuan merespon (Kelumpuhan total atau hampir
yang buruk atau tidak punya total pada wajah bagian bawah)
kemampuan memahami. Jika terdapat 3 = Kelumpuhan total (tidak adanya
trauma atua balutan, selang gerakan pada wajah bagian atas
orotrakeal,plester atau halangan fisik dan bawah)
lainya pada wajah klien, benda –benda
harus disingkirkan sebisa mungkin
ntuk tidak menghalangi.

5 dan 6 Gerakan Lengan dan Tungkai


Anggota gerak diletakkan pada posisi 0 = Tidak ada perubahan gerakan
yang benar, eksintensi lengan 90 Lengan menahan 90 derajat (45
Petunjuk Penjelasan Skala
derajat (jika duduk) atau 45 derajat derajat) selama 10 detik penuh
(jika berbaring) dan tungkai 30 derajat 1 = Terjadi perubahan gerak Lengan
(Harus selalu dalam kondisi menahan 90 derajat (45 derajat)
berbaring)perubahan yang terjadi di selama 10 detik penuh,tidak
nilai jika lengan tejatuh sebelum 10 mengenai tempat tidur atau
detik dan tungkai sebelum 5 pendukung lainya.
detik.Ketika melakukan pemeriksaaan 2 = Terjadi beberapa usaha menahan
ini pada pasien dengan afasia, gravitasi lengan tidak dapat atau
dilakukan dengan penekanan suara mempertahankan (jika ada
atau gerakan tubuh tapi tidak dengan indikasi) 90 derajat ( 45 derajat),
stimulus yang tidak menyenangkan. bergerak turun ke arah tempat
Setiap anggota gerak diperiksa secara tidur tapi terlihat ada usaha untuk
berurutan dmulai dengan lengan yang melawan grafitasi
tidak lumpuh. Hanya dalam kasus 3 = Tidak ada usaha melawan
amputasi atau persambungan sendi gravitasi lengan terjatuh ke
pada bahu dan panggul yang diberi bawah
skor 9. Pemerikasaan harus jelas 4 = Tidak ada gerakan
menuliskan penjelasan untuk 9 = Amputasi,ada sambungan sendi
memberikan skor 9 ini. (jelaskan)
5a = Lengan kiri
5b = Lengan kanan

0 = Tidak ada perubahan gerakan


tungkai menahan 30 derajat
selama 5 detik penuh
1 = Terjadi beberapa usaha menahan
gravtasi tungkai terjatuh dari
tempat tidur tapi terlihat ada
usaha untuk melawan gravitasi
2 = Terjadi beberapa usaha menahan
gravitasi tungkai terjatuh ke
tempat tidur tapi terlihat ada
usaha untuk melawan gravitasi.
3 = Tidak ada usaha melawan
gravitasi,tungkai terjatuh ke
tempat tidur dengan cepat
4 = Tidak ada gerakan
9 = Amputasi,ada sambungan sendi
6a = Lengan kiri
6b = Lengan kanan

7.Kehilangan Kontrol Gerakan


(Ataksia) Pada Bagian Anggota Gerak 0 = Tidak ada kelainan
Tubuh Bagian Atas 1 = Terjadi atasia pada satu anggota
Bagian ini ditujukan untuk gerak
menemukan bukti untuk adanya lesi 2 = Terjadi atasia pada dua anggota
serebelar unilateral. Cara pemeriksaan gerak, Jika terjadi Atasia pada
Petunjuk Penjelasan Skala
dengan mata terbuka. Seandainya lengan kanan 1 = Ya dan 2 =
terdapat ganguan penglihatan,pastikan Tidak
pemeriksaaan pada lapang pandang 3 = Tidak ada usaha melawan
yang normal. Tes jari-Hidung-Jari dan gravitas ,tungkai terjatuh ke
Tumit-Tulang depan tungkai tempat tidur dengan cepat
dilakukan pada kedua sisi,dan ataksia 9 = Amputasi atau ada sambungan
dinilai jika terdapat kelemahan.Ataksia sendi Jelaskan,lengan kanan 1 =
tidak terjadi pada klien yang tidak Ya dan 2 = Tidak
memahami atau hemiplegia hanya 9 = Amputasi atau ada sambungan
dalam kasus amputasi dan sendi Jelaskan,Tungkai kanan 1
penyambungan sendi yang diberikan = Ya dan 2 = Tidak
nilai 9. Dalam kasus kebutaan lakukan 9 = Amputasi atau ada sambungan
tes dengan menyentuh hidung dari sendi Jelaskan
posisi lengan yang ekstensi.

8. Sensori
Sensasi atau ekspresi wajah terhadap 0 = Normal,tidak ada penurunan
tusukan benda tajam atau usaha sensori
menarik diri dari stimulus nyeri 1 = Penurunan sensori ringan smpai
diperiksa pada klien yang tidak sedang, klien merasakan tusukan
memiliki sensivitas atau ataksia. peniti tidak begitu tajam atau
Hanya penurunan sensori yang di tumpul pada bagian yang
hubungkan dengan stroke yang dinilai terkena,atau tidak dapat
sebagai anormal dan pemeriksa harus merasakan nyeri tusukan
memeriksa bagian tubuh sebanyak permukaan tapi klien hanya
munkin (lengan,(bukan merasakan sentuhan.
tangan,tungkai,bagian dada,wajah) 2 = Penurunan sensori yang parah
yang dibutuhkan untuk memeriksa atau total klien tidak sadar akan
adanya kehilangan hemisensori secara sentuhan
akurat. Skor 2 ”parah atau total” hanya
bisa diberikan jika kehilangan sensai
yang parah atau total dapat dengan
jelas terlihat. Klien yang stupor atau
afasia bisa diberikan skor 1 atau 0.
Klien dengan stroke b
Pada batang otak yang menderita
kehilangan sensasi bilateral diberi skor
2. Jika klien tidak merespon dan
menderita kuadriplegia beri skor 2.
Klien yang koma (pertanyaan 1a=3)
dpat diberikan skor 2 pada bagian ini.

9.Bahasa
Informasi yang penting tentang 0 = Tidak ada afasia normal
pemahaman bisa didapatkan selama 1 = Afasia ringan ke sedang, jelas
sesi sebelum pemeriksaan. Klien terlihat beberapa kehilangan
diminta menggambarkan apa yang dalam kelancaran pemahaman,
Petunjuk Penjelasan Skala
terjadi pada gambar yang tanpa batasan yang signifikan
diperlihatkan, menyebutkan benda – terhadap ide yang disampaikan
benda yang ada pada kertas yang atau bentuk ekspresi. Penurunan
sudah diberikan nama,dan membaca kemampuan bicara,bagaimana
kalimat tertulis. Pemahaman dinilai menimbulkan kesulitan atau
dari respon tuga stersebutdan juga tidak mungkin, membuat
untuk semua perintah pada percakapan atas materi yang
pemeriksaan neorologis keseluruhan. disampaikan, pemeriksaan dapat
Jika kehilangan penglihatan mengidentifikasi gambar atau
mengganggu tes, minta klien untk kartu bernama dari respon klien.
mengidentifikasi obejek yang 2 = Afasia berat Seluruh komunikasi
diletakkan di telapak tangan, dilakukan melalui ekspresi yang
mengulang,dan mengeluarkan suara terpoting potong ari usaha yang
bicara. Klien dengan intubasi harus keras dari pendengar untuk dapat
diminta menuliskan dengan kalimat. menyimpulkan,bertanya,dan
Klien yang koma (prtanyaan 1a) akan menebak. Rentang informasi
langsung diberikan skor 3. Pemeriksa yang disampaikan sangat terbatas
haru memilih skor untuk klien dengan , pendengan akan mengalami
stupor atau memiliki keterbatasan kesulitan dalam berkomunikasi.
dalam bekerja sama,tapi skor 3 hanya Pemerikasa tidak dapat
bisa diberikan pada klien yang tidak mengidentifikasi materi yang
bersuara dan tidak mengikuti perintah. diberikan dari respon klien.
3 = Diam Afasia global tidak ada
ucapan yang digunakan.

10 Disartria
Jika klien di perkirakan dalam keadaan 0 = Normal
normal, contoh bicara yang adekuat 1 = Ringan ke sedang
bisa didapatkan dengan meminta klien Klien menggumamkan paling
untuk membaca dan menguangi kata tidak beberapa kata dan
dari daftar yang diberikan. Jika klien setidaknya masih bisa dipahami
mengalami afasia parah,kejelasan dari walau sulit
artikulasi bicara spontan bisa dinilai. 2 = Parah
Hanya jika pasien terpasang intubasi Cara bicara klien sangat tidak
atau memiliki hambatan fisik lainya jeas dan tidak mungki dimengerti
untuk bebicara diberi skor 9, dan 9 = ada intubasi atau hambatan fisik
penguji harus menukiskan dengan lainya, jelaskan.
jelas alasan untuk tidak melakukan
penilaian. Jangan memberitahu klien
kenapa mereka di tes.

11 Extinction ( Gangguan penglihatan


neorologis ) dan Inattenction (Tidak
ada perhatian) yang sebelumnya
dikenal dengan negleksi
Informasi yang cukup untuk mendapat
Petunjuk Penjelasan Skala
kan informasi negleksi bisa didapatkan 0 = Tidak ada abnormalitas
selama waktu sebelum pemeriksaan. 1 = Penglihatan,
Jika klien menderita gangguan perabaan,penciuman,
penglihatan yang parah yang pemahaman akan ruang, atau
menghalangi stimulasi penglihatan tidak ada perhatian secara
pada kedua mata secara bersamaan personal atau extinctoin terhadap
dan stimulasi kuataneus normal,maka stimulasi bilateral secara
diberi skor normal. Jika klien simultan terhadap salah satu
mengalami afasia dan terjadi pada tindakan sensori
kedua bola mata , maka di beri skor 2 = Hemi- Inattenction yang berat
normal. Adanya negleksi pada ruang atau lebih pada satu tindakan
penglihatan atau arosognosia bisa Tidak mengenali tangan sendiri
dianggap sebagai bukti adanya atau hanya mengenali satu sisi
negleksi. Oleh karna negleksi di nilai bagian dari ruangan
jika terbukti memang terdapat kondisi
tersebut, bagian ini tidak dapat teruji
( Bagian tambahan nukan bagian dari
Skor NHISS)

12 Fungsi Motorik Distal


Tangan klien ditahan pada bagian 0 = Normal (tidak ada fleksi setelah 5
lengan kanan atas oleh pemeriksa dan detik)
klien diminta untuk extensi jari jarinya 1 = Ekstensi masih bisa dilakukan
sebisa mungkin. Jika klien tidak bebeapa saat setelah 5 detik tapi
mampu atau tidak melakukan exteknsi tidak ekstensi penuh
pada jari-jari tersebut, maka pemeriksa 2 = Tidak ada ekstensi setelah 5
melakukan ekstensi penuh jari-jari detik, pergerakan jari jari setelah
tersebut dan mengobservasi adanya waktu yang ditentukn tidak akan
gerakan fleksi dalam waktu 5 detik. dicatat
Usaha 1 yang dilakukan klien e. Lengan kiri
diberikan skor . Pengulangan perintah f. Lengan kana
atau pengujian adalah hal yang tidak
boleh dilakukan
( Dimodifikasi dari National Institutes of Health,Bethesda,Md)

8. Pengkajian

Pengkajian Primer

a. Airway

Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan

sekret akibat kelemahan reflek batuk

b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya

pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar

ronchi /aspirasi

c. Circulation

TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,

takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan

membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut

Pengkaian Sekunder

a. Aktivitas dan istirahat

Data Subyektif:

1. Kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau

paralysis.

2. Mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot )

Data obyektif:

1. Perubahan tingkat kesadaran

2. Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis

(hemiplegia), kelemahan umum.

3. Gangguan penglihatan

b. Sirkulasi

Data Subyektif:

1. Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal

jantung , endokarditis bacterial ), polisitemia.

Data obyektif:

1. Hipertensi arterial
2. Disritmia, perubahan EKG

3. Pulsasi : kemungkinan bervariasi

4. Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal

c. Integritas ego

Data Subyektif :

Perasaan tidak berdaya, hilang harapan

Data obyektif :

1. Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan ,

kegembiraan

2. Kesulitan berekspresi diri

d. Eliminasi

Data Subyektif:

1. Inkontinensia, anuria

2. distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ), tidak adanya

suara usus( ileus paralitik )

3. Nafsu makan hilang

4. Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK

5. Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia

6. Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah

Data obyektif:

1. Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan

faring )

2. Obesitas ( faktor resiko )


e. Sensori neural

Data Subyektif:

1. Pusing / syncope ( sebelum CVA/ sementara selama TIA )

2. Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub

arachnoid.

3. Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti

lumpuh/mati

4. Penglihatan berkurang

5. Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas

dan pada muka ipsilateral ( sisi yang sama )

6. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman

Data obyektif:

a. Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan,

gangguan tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan

gangguan fungsi kognitif

b. Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua

jenis stroke, genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya

reflek tendon dalam ( kontralateral )

c. Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral )

d. Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan

ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata

komprehensif, global / kombinasi dari keduanya.

e. Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran,

stimuli taktil
f. Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik

g. Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi

pada sisi ipsi lateral

f. Nyeri / kenyamanan

Data Subyektif:

Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya

Data obyektif:

Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial

g. Respirasi

Data Subyektif:

Perokok ( factor resiko )

h. keamanan

Data obyektif:

1. Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan

2. Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek,

hilang kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit

3. Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang

pernah dikenali

4. Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi

suhu tubuh

5. Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap

keamanan, berkurang kesadaran diri

i. Interaksi social

Data obyektif:
Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi

(Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)

9. Diagnosa Keperawatan

a. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah :

penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral,

edema serebral

Ditandai dengan :

1. Perubahan tingkat kesadaran , kehilangan memori

2. Perubahan respon sensorik / motorik, kegelisahan

3. Deficit sensori , bahasa, intelektual dan emosional

4. Perubahan tanda tanda vital

Tujuan Pasien / criteria evaluasi ;

1. Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran, kognisi dan

fungsi sensori / motor

2. Menampakan stabilisasi tanda vital dan tidak ada PTIK

3. Peran pasien menampakan tidak adanya kemunduran /

kekambuhan

Intervensi :

Independen

1. Tentukan factor factor yang berhubungan dengan situasi

individu/ penyebab koma / penurunan perfusi serebral dan

potensial PTIK

2. Monitor dan catat status neurologist secara teratur

3. Monitor tanda tanda vital


4. Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap

cahaya )

5. Bantu untuk mengubah pandangan , misalnay pandangan kabur,

perubahan lapang pandang / persepsi lapang pandang

6. Bantu meningkatakan fungsi, termasuk bicara jika pasien

mengalami gangguan fungsi

7. Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral.

8. Pertahankan tirah baring , sediakan lingkungan yang tenang ,

atur kunjungan sesuai indikasi

Kolaborasi

1. berikan suplemen oksigen sesuai indikasi

2. berikan medikasi sesuai indikasi :

a) Antifibrolitik, misal aminocaproic acid ( amicar )

b) Antihipertensi

c) Vasodilator perifer, missal cyclandelate, isoxsuprine.

d) Manitol

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d kerusakan batuk,

ketidakmampuan mengatasi lender

Kriteria hasil:

1. Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas

2. Ekspansi dada simetris

3. Bunyi napas bersih saat auskultasi

4. Tidak terdapat tanda distress pernapasan

5. GDA dan tanda vital dalam batas normal


Intervensi:

1. Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi

2. Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan

napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal

3. Penghisapan sekresi

4. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap

4 jam

5. Berikan oksigenasi sesuai advis

6. Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi

c. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat

pernapasan

Tujuan : Pola nafas efektif

Kriteria hasil : RR 18-20 x permenit dan ekspansi dada normal

Intervensi :

1. Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.

2. Auskultasi bunyi nafas.

3. Pantau penurunan bunyi nafas.

4. Pastikan kepatenan O2 binasal

5. Berikan posisi yang nyaman : semi fowler

6. Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam

7. Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan


C. Teori yang Dikemukakan

Model Levine berfokus pada individual sebagai makhluk holistic dan area

utama yang menjadi konsern perawat dalam memelihara keutuhan seseorang

(person’s wholeness). Model konsep Myra Levine memandang klien sebagai

makhluk hidup terintegrasi yang saling berinteraksi dan beradaptasi terhadap

lingkungannya.Dan intervensi keperawatan adalah suatu aktivitas konservasi

dan konservasi energy adalah bagian yang menjadi pertimbangan.Kemudian

sehat menurut Levine itu dilihat dari sudut pandang konservasi energi,

sedangkan dalam keperawatan terdapa tempat konservasi di antaranya

energy klien, struktur integritas, integritas personal dan integritas social,

sehingga pendekatan asuhan keperawatan ditunjukkan padapengguanaan

sumber-sumber kekuatan klien secara optimal.

1. Model Konservasi Levine

Model konservasi levine merupakan Keperawatan praktis dengan

konservasi model dan prinsip yang berfokus pada pelestarian energi

pasien untuk kesehatan dan penyembuhan. Adapun prinsip konservasi

tersebut adalah sbb:

a. Konservasi Energi

Individu memerlukan keseimbangan energi dan memperbaharui

energi secara konstan untuk mempertahankan aktivitas hidup.

Konservasi energi dapat digunakan dalam praktek keperawatan.


b. Konservasi Integritas Struktur

Penyembuhan adalah suatu proses pergantian dari integritas struktur.

Seorang perawat harus membatasi jumlah jaringan yang terlibat

dengan penyakit melalui perubahan fungsi dan intervensi

keperawatan.

c. Konservasi Integritas Personal

Seorang perawat dapat menghargai klien ketika klien dipanggil

dengan namanya. Sikap menghargai tersebut terjadi karena adanya

proses nilai personal yang menyediakan privasi selama prosedur.

d. Konservasi Integritas Sosial

Kehidupan berarti komunitas social dan kesehatan merupakan

keadaan social yang telah ditentukan. Oleh karena itu, perawat

berperan menyediakan kebutuhan terhadap keluarga, membantu

kehidupan religius dan menggunakan hubungan interpersonal untuk

konservasi integritas social.

2. Tiga Konsep Utama Dari Model Konservasi

a. Wholeness (Keutuhan)

Erikson dalam Levine (1973) menyatakan wholeness sebagai sebuah

sistem terbuka:“Wholeness emphasizes a sound, organic, progressive

mutuality between diversified functions and parts within an entirety,

the boundaries of which are open and fluent. (Keutuhan menekankan


pada suara, organik, mutualitas progresif antara fungsi yang beragam

dan bagian-bagian dalam keseluruhan, batas-batas yang terbuka)”

Levine (1973, hal 11) menyatakan bahwa “interaksi terus-menerus dari

organisme individu dengan lingkungannya merupakan sistem yang

‘terbuka dan cair’, dan kondisi kesehatan, keutuhan, terwujud ketika

interaksi atau adaptasi konstan lingkungan, memungkinkan

kemudahan (jaminan integritas) di semua dimensi kehidupan”. Kondisi

dinamis dalam interaksi terbuka antara lingkungan internal dan

eksternal menyediakan dasar untuk berpikir holistik, memandang

individu secara keseluruhan.

b. Adaptasi

Adaptasi merupakan sebuah proses perubahan yang bertujuan

mempertahankan integritas individu dalam menghadapi realitas

lingkungan internal dan eksternal. Konservasi adalah hasil dari

adaptasi. Beberapa adaptasi dapat berhasil dan sebagian tidak berhasil.

Levine mengemukakan 3 karakter adaptasi yakni: historis, spesificity,

dan redundancy. Levin menyatakan bahwa setiap individu mempunyai

pola respon tertentu untuk menjamin keberhasilan dalm aktivitas

kehidupannya yang menunjukkan adaptasi historis dan spesificity.

Selanjutnya pola adaptasi dapat disembunyikan dalam kode genetik

individu. Redundancy menggambarkan pilihan kegagalan yang

terselamatkan dari individu untuk menjamin adaptasi. Kehilangan

redundancy memilih apakah melalui trauma, umur, penyakit, atau


kondisi lingkungan yang membuat individu sulit mempertahankan

hidup.

c. Lingkungan

Levine memandang setiap individu memiliki lingkungannya sendiri

baik lingkungan internal maupun eksternal. Perawat dapat

menghubungkan lingkungan internal individu dengan aspek fisiologis

dan patofisiologis, dan lingkungan eksternal sebagai level persepsi,

opersional dan konseptual. Level perseptual melibatkan kemampuan

menangkap dan menginterpretasi dunia dengan organ indera. Level

operasional terdiri dari segala sesuatu yang mempengaruhi individu

secara fisiologis meskipun mereka tidak dapat mempersepsikannya

secara langsung, seperti mkroorganisme. Pada konseptual level,

lingkungan dibentuk dari pola budaya, dikarakteristikkan dengan

keberadaan spiritual, dan ditengahi oleh simbol bahasa, pikiran dan

pengalaman.

d. Respon organisme

Respon organisme adalah kemampuan individu untuk beradaptasi

dengan lingkungannya, yang bisa dibagi menjadi fight atau flight,

respon inflamasi, respon terhadap stress, dan kewaspadaan persepsi.

e. Trophicognosis

Levine merekomendasikan trophicognosis sebagai alternatif untuk

diagnosa keperawatan. Ini merupakan metode ilmiah untuk

menentukan sebuah penentuan rencana keperawatan.


3. Konservasi

Levine menguraikan model Konservasi sebagai inti atau dasar teorinya.

Konservasi menjelaskan suatu system yang kompleks yang mampu

melanjutkan fungsi ketika terjadi tantangan yang buruk. Dalam pengertian

Konservasi juga, bahwa individu mampu untuk berkonfrontasi dan

beradaptasi demi mempertahankan keunikan mereka.

Tabel 2.5 Aplikasi Dalam Keperawatan


Aplikasi Pada Proses Keperawatan
Proses Keperawatan Levin dengan menggunakan pemikiran kritis
(Tomey, 2006)

Proses Pembuatan keputusan


Pengkajian Perawat mengobservasi pasien dengan
Mengumpulkan data provokatif melihat respon organisme teradap
melalui wawancara dan penyakit, membaca catatan medis,
observasidengan menggunakan prinsip evaluasi hasil diagnostik dan berdiskusi
konservasi dengan pasien tentang kebutuhan akan
1. Konservasi energi bantuannya.n
2. Integritas struktur Perawat mengkaji pengaruh lingkungan
3. Integritas personal eksternal dan internal pasien dengan
4. Integritas sosial prinsip konservasi.
Fakta provokatif yang perlu dikaji:
1. Keseimbangan suplai dan
kebutuhan energi
2. Sistem pertahanan tubuh
3. harga diri
4. Kesiapan seseorang dalam
berpartisipasi dalam sosial sistem

Keputusan à Tropihicognosis Fakta provokatif disusun sedemikian


Diagnosa keperawatan à rupa untuk menunjukkan kemungkinan
menyimpulkan fakta provokatif dari kondisi pasien. Sebuah kep utusan
mengenai bantuan yang dibutuhkan
pasien dibuat.
Keputusan ini disebut tropihicognosis

Hipotesis Berdasarkan keputusan, perawat


Mengarahkan intervensi keperawatan memvalidasi masalah pasien, lalu
Proses Pembuatan keputusan
dengan tujuan untuk keutuhan dan mengemukakan hipotesis tentang
promosi adaptasi masalah dan solusinya. Ini disebut
rencana keperawatan.

Intervensi Perawat menggunakan hipotesis untuk


memberi arah dalam melakukan
Uji hipotesis perawatan.
Intervensi dilakukan berdasarkan
prinsip konsevasi, yaitu konservasi
energi, struktur, personal dan sosial.
Pendekatan ini diharapkan mampu
mempertahankan keutuhan dan promosi
adaptasi.
Evaluasi Hasil dari uji hipotesa dievaluasi
Observasi repon organisme terhadap dengan mengkaji respn organisme
intervensi apakah hipotesis membantu atau tidak.
D. Kerangka Teori Penelitian
Pada skema dibawah ini adalah menggambarkan proses clinical pathway

dirumah sakit.

Klinical Governance

Patient Focused Care

PPA :
Pasien SNH
1. Dokter 3. Perawat 5. Gizi Input
2. Radiologi 4. Farmasi 6.Dll
Kodefikasi
Dx Tindakan Komite Medik

Askep (Perawat)
Pasien SNH
Lap Data Bulanan
1. Kelengkapan RM
High Risk Proses
2. 10 Penyakit
High Volume
terbanyak
High cost
3. Morbiditas &
Nursing Clinical pathway
mortalitas
LOS

Indikator Mutu Case Mix Elemen Sistem


Sistem

Output
Aspek Pelayanan Aspek Efisiensi Kepuasan Pasien

LOS
SHISS Stroke

Evaluasi

Sumber : (Kemenkes RI 2008, Firmanda ,2006 dan Nursalam,2008)

Anda mungkin juga menyukai