Anda di halaman 1dari 11

PELUANG EKSISTENSI MADRASAH DAN

SEKOLAH ISLAM TERPADU DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0


Siti Sabilah Salmah
Universitas Ibn Khaldun Bogor
2020

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut tokoh- tokoh yunani kuno kira-kira sekitar 600 SM, merumuskan bahwa
tugas utama pendidikan adalah membantu manusia menjadi manusia, maksudnya agar
manusia tersebut dapat mengendalikan dirinya, mencintai tanah air dan juga agar
memiliki pengetahuan.1 Namun, seiringnya perkembangan dan perubahan jaman yang
begitu cepat, terjadi pula perubahan tingkah laku dan perilaku manusia berubah dari masa
ke masa yang mana hal ini memberi dampak terhadap pendidikan. Perubahan ini dapat
dilihat dari perubahan sistem pendidikan yang terdiri dari pembelajaran, pengajaran,
kurikulum, perkembangan peserta didik, cara belajar, alat belajar sarana dan prasarana
dan kompetensi lulusan dari masa ke masa.2
Era Revolusi industry 4.0 seringkali dikaitkan dengan istilah disrupsi, yaitu suatu
perubahan inovasi yang mendasar kerana terjadi perubahan yang masif di masyarakat.
Dunia pendidikan saat ini dituntut mampu membekali para peserta didik dengan
ketrampilan abad 21 (21st Century Skills). Ketrampilan ini adalah keterampilan peserta
didik yang mampu untuk bisa berfikir kritis dan memecahkan masalah, kreatif dan
inovatif serta ketrampilan komunikasi dan kolaborasi. 3 Hal ini dimaksudkan agar dunia
pendidikan menjadi pusat utama dan sebagai sentral untuk mengikuti arus revolusi
industri ini, karena akan mencetak dan menghasilkan generasi-generasi berkualitas yang
akan mengisi revolusi industri 4.0. Selain dari pada perubahan zaman yang menjadi
tantangan dalam dunia pendidikan, ada hal lain yang perlu dibenahi yaitu krisis akhlak,
berkembangnya teknologi membawa pengaruh negative pada banyak orang, seperti
individualisme, informasi Hoax pemicu tawuran, Pornografi dsb.
Berdasarkan hal tersebut, tentunya ini menjadi tantangan besar bagi pendidikan islam
khususnya untuk menciptakan suatu lembaga pendidikan yang sesuai untuk membangun
dan membentuk manusia sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Masa depan
pendidikan Islam Indonesia dihadapkan pada empat isu, yaitu: Pertama, isu tentang peran
pendidikan Islam dalam mengembangkan budaya damai. Kedua, isu yang berkenaan
dengan daya saing penguasaan ilmu dan teknologi antara output pendidikan Islam dengan
output pendidikan umum.4 Ketiga, isu tentang pendidikan Islam dan kesadaran
IPTEK. Keempat, isu tentang pendidikan Islam dan pengembangan multikulturalisme. 5
Ada dua jenis lembaga pendidikan dengan konsep atau model tertentu yang memiliki
peluang untuk mengatasi permasalahan pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0 ini, yakni
Model pendidikan Madrasah dan Model Pendidikan Sekolah Islam Terpadu.

1
Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017) Hlm. 185
2
Eko Risdianto. “Analisis Pendidikan Di Era Revolusi Industri 4.0”.
https://www.researchgate.net/publication/332415017 diupload pada January 2019 Hlm. 1
3
Ibid.,
4
Mastuhu. Menjawab Tantangan Sumber Daya Manusia Abad 21 (Jakarta: PT Intermasa, 1997), h.88-89.
5
Fadlil M.M. Masa Depan Pendidikan Islam Di Indonesia. https://www.iaid.ac.id/post/read/289/masa-depan-
pendidikan-islam-di-indonesia.html Diposting pada: 2017-05-02 11:10:59
1.2 Rumusan masalah
a. Bagaimana karakteristik dan kecenderungan yang akan terjadi di Era 4.0?
b. Bagaimana peluang eksistensi Madrasah dan Sekolah Islam Terpadu di Era 4.0?
1.3 Tujuan penulisan
a. Menganalisis kecenderungan yang akan terjadi di Era 4.0.
b. Melihat peluang eksistensi Madrasah dan Sekolah Islam Terpadu di Era 4.0.

BAB 2. KAJIAN TEORI


2.1 Eksistensi Madrasah dan Sekolah Islam Terpadu
a. Eksistensi Madrasah
Kata “madrasah” berasal dari bahasa Arab dari akar kata “darasa”, yadrusu‟,
“darsan” dan “madrasah”) yang berarti keterangan tempat (zharaf makan) yang
secara harfiah berarti tempat belajar agama atau tempat untuk memberikan pelajaran
dari akar kata darasa.6 Madrasah merupakan perkembangan modern dari pendidikan
pesantren. Sejak awal diterapkannya sistem madrasah di Indonesia pada sekitar awal
abad ke-20, madrasah telah menampilkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan
Islam. Identitas itu tetap dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai
tantangan dan kendala yang tidak kecil. Ada dua faktor penting yang
melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia; pertama, adanya pandangan
yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa
memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas
kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran
sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para
reformis (khususnya dari kalangan Muhammadiyah) kemudian memasukkan
pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.7
Madrasah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki kiprah
panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dengan diterbitkannya surat keputusan
bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) tahun 1975 yang
nenetapkan bahwa lulusan madrasah dianggap setara dengan lulusan sekolah umum,
lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum yang lebih tinggi,
dan siswa madrasah boleh pindah ke sekolah umum yang sama jenjangnya.
Demikian kompensasi dari kesetaraan itu adalah bahwa 70% dari kurikulum
madrasah harus berisi mata pelajaran umum. Bahkan, berdasarkan kurikulum
madrasah 1994, kurikulum madrasah harus memuat 100% kurikulum sekolah umum.
Sehingga madrasah dikategorikan sebagai Sekolah Umum yang Berciri Islam.
Meskipun kurikulum 1994 telah diperbarui dengan orientasi kepada target hasil
belajar, dan bukan pada proses pembelajarannya, sehingga guru diberi wewenang
untuk berimprovisasi dengan kurikulum yang sudah disusun, mengatur alokasi waktu
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, menentukan metode, penilaian, dan sarana
pembelajaran.
Dengan dimasukkannya madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional, maka
ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah umum yang
setingkat, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas,
dan siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat, maka madrasah
sebetulnya dapat dijadikan sebagai pendidikan alternatif dalam menjawab persoalan
6
Abin Syamsuddin Makmum. Pengelolaan Pendidikan Konsep, Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah
dan Madrasah. (Bandung: Pustaka Educa, 2010), hlm.137-138
7
Hasri. “Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan Islam”. Jurnal Tarbiyah, 2014. Volume II, Edisi I, Maret
2014, Hal. 69 – 84
dan kebutuhan masyarakat muslim di Indonesia.8Lahirnya undang-undang tersebut
yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tidak
hanya memperkokoh eksistensi madrasah secara yuridis dan politis, tetapi juga
mengahantarakan madrasah menjadi sub-sistem pendidikan nasional dan mengahapus
dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Atau dengan kata lain, lembaga pendidikan
madrasah telah mendapatkan posisi yang selama ini diperjuangkan, yaitu kesamaan
dan kesetaraan.
Bentuk kelembagaan madrasah sebagai lembaga formal terdiri tiga tingkatan,
yaitu Madrasah Ibtida’iyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah
(MA). Secara berurutan ekuivalen dan sejajar dengan lembaga pendidikan SD, SMP
dan SMA. Secara umum lembaga pendidikan madrasah ini dapat dibedakan menjadi
dua. Pertama, madrasah yang secara kelembagaan maupun substansi/ proses
pembelajarannya menggunakan pedoman dan standar yang dikeluarkan oleh
pemerintah, yang disebut dengan Sekolah Umum Berciri Khas Agama Islam. Kedua,
madrasah eksistensinya secara kelembagaan maupun sistem pembelajarannya tidak
terikat dengan pemerintah, sehingga status kelembagaannya semuanya adalah swasta.9
Dalam penyebutan sehari-hari disebut dengan madrasah diniyah. Dalam
perkembangannya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007,
madrasah jenis kedua ini masuk dalam kategori Pendidikan Keagamaan,
yaitu:”pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan
peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau
menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya“. (Pasal 1 ayat [2]).10
Eksistensi Madrasah sebagai lembaga pendidikan berciri khas Islam yang
memiliki keunggulan komparatif, karena ada penekanan yang signifikan pada
pendidikan agama dan akhlak (moralitas/karakter), disamping tentu pada penguasaan
mata pelajaran umum (sain) masih belum dapat mengatasi problematika pendidikan
islam saat ini. Jika diperhatikan dengan seksama, pendidikan Islam hari tengah
dihadapkan pada problematika dari dalam (internal) dan problematika dari luar
(eksternal). Problematika internal dapat dilihat pada etos pendidikan Islam dewasa ini
dilihat dari sistem pendidikan sekolah Islam yang dikelola, seperti pesantren,
madrasah, dan perguruan tinggi Islam (UIN/ IAIN/ STAIN, PTAIS, dan sebagainya)
sesungguhnya cukup menggembirakan, atau bahkan jika tidak, jumlahnya melebihi
kebutuhan sehingga over production, sementara ilmu-ilmu lain yang berorientasi
kepada sains dan teknologi masih sangat langka.
Maka logis bila ada asumsi yang menyatakan, “mahasiswa-mahasiswa Islam
miskin akan wawasan, penguasaan sains dan teknologi, komunikasi, dan juga politik.”
Tidak salah bila disimpulkan bahwa etos pendidikan Islam sebagaimana yang ada
sekarang masih kurang memperhatikan link and match dalam membangun sistem
pendidikannya.11 Hal tersebut jelas merupakan sebuah ironi memalukan mengingat
begitu luasnya konsep Al-Qur‟an tentang pendidikan.
Ketertinggalan itu sedikitnya bisa dilihat dari eksistensi madrasah dan pesantren
yang dulu memiliki peran strategis dalam mengantarkan pembangunan masyarakat

8
Muzhoffar Akhwan. “Pengembangan madrasah sebagai pendidikan untuk semua”. Jurnal el Tarbawi No. 1
Vol. 1 2008 Hlm. 43
9
Supa’at. “Model Kebijakan Pendidikan Karakter di Madrasah.” Jurnal Pendidikan Islam: Volume III, Nomor
1 Juni 2014/1435
10
Ibid.
11
Ahmad Barizi, (Ed), “Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam.” (Malang:
UIN Maliki Press, 2011), hlm.7
Indonesia, kini antusiasme masyarakat untuk memasuki pendidikan madrasah dan
pesantren (terutama yang masih bergumam dengan sistem “salaf”) mengalami
penurunan yang cukup drastis. Kecuali pada pesantren (modern) yang mampu
melakukan adaptasi dengan perkembangan global. Sikap pesimisme masyarakat
terhadap pendidikan madrasah dan pesantren bisa dilihat dari adanya kekuatiran
universal terhadap kesmpatan lulusannya memasuki lapangan kerja modern yang
hanya terbuka bagi mereka yang memiliki kemampuan ketrampilan dan penguasaan
teknologi.12
b. Eksistensi Sekolah Islam Terpadu
Munculnya Pendidikan Islam Terpadu Islam telah mempunyai tradisi dikotomi ini
lebih dari seribu tahun silam. Tetapi dikotomi tersebut tidak menimbulkan terlalu
banyak problem dalam sistem pendidikan Islam, sehingga sistem pendidikan sekuler
Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui imperialisme. Hal ini terjadi karena
sekalipun dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu non-agama telah dikenal dalam
karya karya klasik seperti yang ditulis oleh alGhazali dan Ibnu Khaldun, mereka tidak
mengingkari tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok
keilmuan tersebut.13
Berbeda dengan dikotomi yang dikenal oleh dunia Islam, sains modern Barat
sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu agama. Ketika berbicara
tentang ilmu-ilmu goib, ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah ilmu
bisa dipandang ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris. Padahal ilmu-ilmu
agama tentunya tidak bisa menghindar dari membicarakan hal-hal yang ghaib.
Ketika ilmu-ilmu sekuler positivistik tersebut diperkenalkan ke dunia Islam
melalui imperialisme Barat, terjadilah dikotomi yang sangat ketat antara ilmu-ilmu
agama, sebagaimana yang dipertahankan dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga
pendidikan Islam tradisional (pesantren) di satu pihak dan ilmu ilmu sekuler
sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah umum yang disponsori oleh pemerintah di
pihak lain. Dikotomi ini menjadi sangat tajam karena telah terjadi pengingkaran
terhadap validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain. Pihak kaum tradisional
menganggap bahwa ilmu-ilmu umum itu bid’ah dan haram dipelajari karena berasal
dari orang-orang kafir sementara pendukung ilmu-ilmu umum menganggap ilmu-ilmu
umum sebagai pseudo ilmiah atau hanya sebagai mitologi yang tidak akan sampai
pada tingkat ilmiah karena tidak berbicara tentang fakta tetapi tentang makna yang
tidak bersifat empiris. Pada saat ini justru dikotomi seperti inilah yang terjadi dan
telah menimbulkan berbagai problem yang akut dalam sistem pendidikan Islam.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya dua model lembaga pendidikan
formal di Indonesia. Model yang pertama adalah sekolah-sekolah yang dikenal
dengan sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMU. Model yang kedua yaitu sekolah–
sekolah yang dikenal dengan sekolah agama seperti MI, MTs dan MA. Model yang
kedua inilah yang dalam sistem pendidikan nasional merupakan wujud dari lembaga
pendidikan Islam. Di sekolah agama memiliki komposisi kurikulum 30 persen mata
pelajaran agama sedangkan selebihnya 70 persen mata pelajaran umum.
Presentase tersebut membuktikan adanya pemisahan secara substansial antara
mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum. Akibatnya banyak mata pelajaran
yang pada hakekatnya mempelajari ayat-ayat Tuhan akan tetapi sama sekali terputus
dengan kebesaran Tuhan. Sebagai contoh, mata pelajaran Sains yang notabenenya
adalah membicarakan tentang alam, dengan kata lain membicarakan tentangayat-ayat
12
Ibid., hlm. 5.
13
Kartanegara. Integritas Ilmu. (Jakarta: Mizan,2005) Hlm.
kauniyah Tuhan, tetapi pelajaran tersebut jarang sekali memperkenalkan kebesaran
Tuhan. Pendidikan Islam tidak mengenal adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan
umum dan ilmu agama karena keduanya sama-sama sebagai ayat Tuhan.
Syafi’i Ma’arif mengatakan Pendidikan Islam sekarang menganut system
pendidikan warisan abad pertengahan bagian akhir. Ciri utama dari warisan tersebut
adalah adanya pemisahan secara jelas antara ilmu pengetahuan yang terklasifikasikan
(agama dan umum), sedangkan kedudukan pendidikan Islam sebagai sub sistem
pendidikan nasional merupakan sisi lain yang bersumber dari sistem penyelenggaraan
negara yang sesungguhnya juga sebagai bentuk modifikasi yang tidak sempurna atas
warisan sejarah masa lalu tentang pendidikan modern yang kita anut.14
Sebagai akibatnya gejala ini sedikit banyak telah mempengaruhi kemajuan
pendidikan khususnya pendidikan Islam. Kondisi seperti ini tentunya menyebabkan
pendidikan Islam mengalami kerugian karena yang dihasilkan oleh model-model
sekolah tersebut adalah manusia yang tertinggal oleh kemajuan IPTEK di satu sisi dan
di sisi lain juga tertinggal dalam pengetahuan agama. Tertinggal dalam bidang IPTEK
dikarenakan tidak seluruh waktu dan potensinya digunakan untuk mempelajari IPTEK
akibat kurikulum yang harus dijalani. Tertinggal dalam bidang agama dikarenakan
kurikulum yang ada hanya terdapat sedikit pelajaran agama, itupun materinya sudah
terjauhkan dari nilai-nilai tauhid. Hal itu menyebabkan usaha untuk mengubah atau
membentuk sosok pribadi muslim sesuai yang diidamkan oleh pendidikan Islam
sangat kecil.
Oleh karena itu dibutuhkan lembaga pendidikan Islam alternatif yang mampu
menghapus dikotomi ilmu pengetahuan.Wacana integrasi, sebenarnya sudah
berkembang pada abad-abad terdahulu, sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh
ilmuwan-ilmuwan di dunia Muslim. Meskipun demikian, wacana tersebut sampai saat
ini secara resmi masih jarang menjadi karaktersitik dari sebuah lembaga pendidikan.
Sekolah Islam Terpadu juga merupakan bagian dari ideologi pendidikan yang
diadopsi dari Ikhwanul Muslimin. Hal ini tampak dalam sepuluh konsep muwasafat
yang menjadi tujuan dalam pendidikan yan diselenggarakan Sekolah Islam Terpadu.
Secara spesifik, kurikulum Sekolah Islam Terpadu merupakan kurikulum yang berisi
target yang harus dicapai secara berkala dalam beberapa jenjang yang meliputi
jenjang muda, madya, dan dewasa.15 Ada sepuluh karakter dari kepribadian Muslim
menurut tujuan pendidikan Sekolah Islam Terpadu. Sepuluh karakter kepribadian
Muslim ini biasa disebut dengan sepuluh muwasafat.
Penjenjangan ini sama dengan konsep muwasafat yang dimiliki oleh Ikhwanul
Muslimin, yakni 1) Memiliki akidah yang lurus. 2) Beribadah yang benar. 3)
Berakhlak mulia. 4) Mandiri. 5) Berwawasan dan berpengetahuan luas. 6) Berbadan
sehat dan kuat. 7) Bersungguh-sungguh terhadap dirinya. 8) Terampil mengelola
segala urusannya. 9) Disiplin waktu. 10) Bermanfaat bagi orang lain. Sepuluh
muwasafat ini menjadi ciri khas tujuan pendidikan Sekolah Islam Terpadu yang
diadopsi dari sepuluh muwasafat Ikhwanul Muslimin maupun Jamaah Tarbiyah.
Dengan melihat sepuluh tujuan pendidikan ini menunjukkan bahwa Sekolah Islam
Terpadu benar-benar memiliki tujuan pendidikan sebagaimana yang digariskan oleh
Hasan al-Banna. Tujuan pendidikan ini merupakan implikasi dari dimensi akidah dari
ideologi pendidikan Sekolah Islam Terpadu. Dimensi akidah ini menuntut setiap
14
Mualimin.” Lembaga Pendidikan Islam Terpadu.” Jurnal Al Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 8 No.
1 2017 Hlm. 103-104.
15
Maksudin. “Pendidikan Islam Alternatif, Membangun Karakter Melalui Sistem Boarding School.”
(Yogyakarta: UNY Press, 2010) Hlm.
aktivitas pendidikan harus bermuara kepada terbentuknya tauhid kepada peserta didik.
Konsep ini diintegrasikan dalam proses belajar mengajar yang berlangsung di kelas
dan di luar kelas dengan berlandaskan pada kurikulum nasional. Selain itu,
pelaksanaan kurikulum dalam proses belajar mengajar juga ditunjang dengan guru
yang mampu menjadi teladan bagi siswa. Program ke-IT-an adalah suplemen dari
kurikulum yang diterapkan di Sekolah Islam Terpadu.16
Karekteristik Desain Pembelajaran Sekolah Terpadu Desain pembelajaran terpadu
mengakomodasikan prinsip-prinsip belajar yang dirumuskan oleh UNESCO yakni: a)
Belajar untuk memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan nilai-nilai
agamanya (learning to live together). b) Belajar untuk menguasai secara mendalam
dan luas akan bidang ilmu tertentu (learning to know). c) Belajar untuk
mengaplikasikan ilmu, bekerjasama dalam ilmu, belajar memecahkan masalah dalam
berbagai situasi (learning to do). d) Belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang
bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan berasama (learning to be).17
Konsep Pendidikan Islam Terpadu, Ada lima asas hendaknya dijadikan pegangan
dalam pengembangan kurikukum pendidikan terpadu, yakni: a) Asas jelas dan benar.
b) Tertib dan kontinu. c) Efektif dan efisien. d) Seimbang dan profesional. e)
Integratif dan menyeluruh.18 Model pendidikan terpadu selalu dioreintasikan pada
pembentukan karekter anak yang utuh baik dari aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotoriknya. Aspek kognitif anak didik dituntut untuk memiliki wawasan yang
luas baik dalam ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Pada aspek afektif anak
dituntut memiliki akidah yang benar, bersikap positif, misalnya santun, jujur, berani
dan disiplin. Aspek Psikomotorik anak terbiasa mencintai membaca dan menghafal
al-Qur’an maupun Hadits, mampu melaksanakan ibadah dengan benar, bertindak
trampil dan kreatif. Sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah Islam terpadu,
sekolah terpadu dirancang dengan sistem terpadu yang memungkinkan siswa
mengembangkan potensi dasarnya secara terpadu, terus menerus dan
berkesinambungan.
Lingkungan pendidikan dirancang sebagai masyarakat belajar, sehingga siswa
berintraksi secara langsung dengan masyarakat, guru berperan sebagai pendidik bukan
pengajar, guru harus memahami perkembangan siswa, dan guru menjadi sumber
keteladanan yang nyata bagi siswa. Pendidikan terpadu harus menawarkan nilai lebih
dari pendidikan lainnya, sehingga siswa mendapatkan pendidikan umum yang penuh
dengan nuansa keIslaman, siswa dapat pendidikan agama Islam secara aplikatif dan
teoritis, siswa mendapatakan bimbingan ibadah praktis.

2.2 Karakteristik Era Revolusi Industri 4.0


Revolusi industri terdiri dari dua (2) kata yaitu revolusi dan industri. Revolusi, dalam
Kamus Besar Bahasa Indoneis (KBBI), berarti perubahan yang bersifat sangat cepat,
sedangkan pengertian industri adalah usaha pelaksanaan proses produksi. Sehingga jika
dua (2) kata tersebut dipadukan bermakna suatu perubahan dalam proses produksi yang
berlangsung cepat. Perubahan cepat ini tidak hanya bertujuan memperbanyak barang
yang diproduksi (kuantitas), namun juga meningkatkan mutu hasil produksi (kualitas).
Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan LouisAuguste
16
Mualimin. “Lembaga Pendidikan Islam Terpadu.” Jurnal Al Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 8 No.
1 2017 Hlm. 108
17
Sanjaya. “Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.” (Jakarta: Kencana Media Group,
2007)
18
Opcit., Hlm 109-110
Blanqui di pertengahan abad ke-19. Revolusi industri ini pun sedang berjalan dari masa
ke masa. Dekade terakhir ini sudah dapat disebut memasuki fase keempat 4.0. Perubahan
fase ke fase memberi perbedaan artikulatif pada sisi kegunaaannya. Fase pertama (1.0)
bertempuh pada penemuan mesin yang menitikberatkan (stressing) pada mekanisasi
produksi. Fase kedua (2.0) sudah beranjak pada etape produksi massal yang terintegrasi
dengan quality control dan standarisasi. Fase ketiga (3.0) memasuki tahapan keseragaman
secara massal yang bertumpu pada integrasi komputerisasi. Fase keempat (4.0) telah
menghadirkan digitalisasi dan otomatisasi perpaduan internet dengan manufaktur.19
Buah dari revolusi industri 4.0 adalah munculnya fenomena disruptive innovation.
Dampak dari fenomena ini telah menjalar di segala bidang kehidupan. Mulai industri,
ekonomi, pendidikan, politik, dan sebagainya. Fenomena ini juga telah berhasil
menggeser gaya hidup (life style) dan pola pikir (mindset) masyarakat dunia. Disruptive
innovation secara sederhana dapat dimaknai sebagai fenomena terganggunya para pelaku
industri lama (incumbent) oleh para pelaku industri baru akibat kemudahan teknologi
informasi. Satu di antara sekian banyak contoh adalah bermunculannya profesi-profesi
baru yang sebelumnya tidak ada, seperti Youtuber, Website Developer, Blogger, Game
Developer dan sebagainya.
Revolusi industri 4.0 dengan disruptive innovation-nya menempatkan pendidikan
Islam di persimpangan jalan. Persimpangan tersebut membawa implikasi masing-masing.
Pendidikan Islam bebas memilih. Jika ia memilih persimpangan satu yakni bertahan
dengan pola dan sistem lama, maka ia harus rela dan legowo bila semakin tertinggal.
Sebaliknya jika ia membuka diri, mau menerima era disrupsi dengan segala
konsekuensinya, maka ia akan mampu turut bersaing dengan yang lain. Merujuk hasil
penelitian dari McKinsey pada 2016 bahwa dampak dari digital tecnology menuju
revolusi industri 4.0 dalam lima (5) tahun kedepan akan ada 52,6 juta jenis pekerjaan
akan mengalami pergeseran atau hilang dari muka bumi. Hasil penelitian ini memberikan
pesan bahwa setiap diri yang masih ingin mempunyai eksistensi diri dalam kompetisi
global harus mempersiapkan mental dan skill yang mempunyai keunggulan persaingan
(competitive advantage) dari lainnya. Jalan utama mempersiapkan skill yang paling
mudah ditempuh adalah mempunyai perilaku yang baik (behavioral attitude), menaikan
kompetensi diri dan memiliki semangat literasi.
Bekal persiapan diri tersebut dapat dilalui dengan jalur pendidikan (long life
education) dan konsep diri melalui pengalaman bekerjasama lintas generasi/lintas disiplin
ilmu (experience is the best teacher).20 Berdasarkan kenyataan tersebut, maka perlu
adanya perombakan atau reformasi di dalam tubuh pendidikan Islam. Pendidikan Islam di
era 4.0 perlu untuk turut mendisrupsi diri jika ingin memperkuat eksistensinya.
Mendisrupsi diri berarti menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat
serta berorientasi pada masa depan. Muhadjir Efendy dalam pidatonya mengatakan
bahwa perlu ada reformasi sekolah, peningkatan kapasitas, dan profesionalisme guru,
kurikulum yang dinamis, sarana dan prasarana yang andal, serta teknologi pembelajaran
yang muktakhir agar dunia pendidikan nasional dapat menyesuaikan diri dengan
dinamika zaman.21

19
Hendra Suwardana, “Revolusi Industri 4. 0 Berbasis Revolusi Mental,” JATI UNIK, Vol.1, No.2, (2017), Hal.
102-110
20
Ibid.,
21
Febrianto Adi Saputro, “Mendikbud Ungkap Cara Hadapi Revolusi 4.0 di Pendidikan,”
https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/18/05/02/p8388c430-mendikbud-ungkap-carahadapi-
revolusi-40-di-pendidikan, diakses Rabu, 18 Juli 2018.
Ketertinggalan pendidikan Islam selama ini disebabkan oleh permasalahan laten yang
tak kunjung menemui muara penyelesaian. Rosidin mengungkapkan 22, ada empat faktor
menyebabkan pendidikan Islam kerap mendapatkan kritik tajam. Pertama, cultural lag
atau gap budaya. Hal ini disebabkan terjadinya ketimpangan antara kecepatan
perkembangan IPTEK dengan kecepatan perkembangan pendidikan. Laju akselerasi
perkembangan IPTEK tersebut tidak diiringi dengan upaya pendidikan Islam untuk turut
berakselerasi. Akibatnya, pendidikan Islam kurang responsif terhadap dinamika
perubahan sosial masyarakat. Sehingga menjadi keniscayaan bila proses pendidikan di
dalamnya menjadi kurang kontekstual. Kedua, stigma kelas dua. Faktor kedua ini dapat
dikatakan sebagai akibat secara tidak langsung dari faktor pertama. Kelambatan
pendidikan Islam dalam merespon dinamika perkembangan IPTEK dan realitas sosial
menyebabkan stigma second class nyaman tersemat padanya. Ketiga, dikotomisasi ilmu.
Sampai dengan saat ini dikotomi antara ilmu Islam (PAI) dengan ilmu umum (IPA, IPS,
Bahasa-Humaniora) masih menjadi pekerjaan rumah pendidikan Islam. Meski telah
banyak dilakukan upaya integrasi antara keduanya, namun belum menunjukkan hasil
yang signifikan. Keempat, dualisme politik. Tarik ulur kepentingan antara dua lembaga
pemangku kebijakan pendidikan di negeri ini kerap menimbulkan polemik di kalangan
grass root.
Meskipun banyak protes dan keluhan dilayangkan, namun belum ada solusi pakem
atas permasalahan ini. Perbedaan kebijakan antara Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) kerap menjadi pemicu
polemik. Permasalahan menyangkut gaji, sertifikasi, insentif pendidik dan sebagainya
merupakan contoh dari faktor ini.Demi menyongsong Pendidikan Islam 4.0, maka mau
tidak mau semua permasalahan laten di atas harus mampu dicarikan jalan keluarnya. Jika
tidak, maka akan sulit−jika enggan berkata mustahil mewujudkan pendidikan Islam yang
kontekstual terhadap zaman.

BAB 3. PEMBAHASAN
Dengan menaganalisa konsep atau model pendidikan madrasah dan Sekolah Islam
Terpadu, masing masing dari model pendidikan madrasah dan sekolah islam terpadu
memiliki cirinya masing-masing. Berikut perbandingan antara keduanya.
Madrasah Sekolah Islam Terpadu
Sekolah Umum berciri khas Islam. Sekolah Umum berciri khas Islam.
Pendidikan Formal, menggunakan Pendidikan Formal, menggunakan
Kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Kurikulum yang dibuat oleh pemerintah.
Rata-rata metode pembelajaran bersifat Rata-rata metode pembelajaran bersifat
tradisional modern dan alam
Rendah dalam bidang Teknologi dan Cukup Baik dalam Teknologi dan Sains
Sains
tidak ada kewajiban untuk ikut mentoring Siswa diwajibkan ikut mentoring
Fokus pada pembinaan Akhlak Fokus pada konsep muwasaf Ikhwanul
Muslimin
Lebih diminati masyarakat menengah Lebih diminati masyarakat menengah ke
kebawah. atas.

Rosidin, “Problematika Pendidikan Islam Perspektif Maqasid Shari’ah,” Maraji’: Jurnal Studi Keislaman,
22

Vol. 3, No. 1, (September, 2016), hlm. 186.


Berdasarkan table tetsebut, bukan berarti memberikan gambaran mana yang lebih
baik, namun disini ingin menjelaskan bahwa ciri yang masing-masing dimilik oleh dua
lembaga tersebut haruslah menjadi peluang dan menjadi solusli pendidikan islam di
Revolusi Industri 4.0 ini. Pada poin terakhir terdapat penjelasan yang menyatakan bahwa
Madrasah lebih diminati oleh masyarakat menengah kebawah, hal ini dikarenakan biaya
madrasah cenderung tidak semahal biaya di Sekolah Islam Terpadu. Sebenarnya tujuan
dari orang tua memasukan anaknya ke sekolah yang berciri khas islam dikarenakan
adanya perubahan zaman yang sedikit-demi sedikit mengikis nilai-nilai agama, karena
salah satu karakteristik era revolusi industry 4.0 yakni tingkat kepercayaan terhadap suatu
rasionalitas lebih diutamakan, sehingga orang tua menginginkan anaknya memiliki
keimanan yang kokoh serta nantinya tetap mampu bersaing dimasa depan.
Bagi orang tua yang sibuk bekerja dan memiliki penghasilan diatas rata-rata, tentunya
menginginkan anaknya tetap terbina dan terjaga aqidah dan akhlaknya disebuah lembaga
yang terpercaya, sehingga untuk saat ini banyak sekali orang tua yang menyekolahkan
anaknya ke Sekolah Islam Terpadu, contohnya seperti beberapa Dosen FAI, Universitas
Ibn Khaldun Bogor yang menyekolahkan anaknya di Sekolah Islam Terpadu, walaupun
biayanya sangat mahal.
Sekolah berciri khas islam adalah salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan
pendidikan saat ini, pergeseran nilai dan budaya, rusaknya moral adalah krisis besar
dalam dunia pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0 saat ini. Maka potensi fitrah seorang
manusia agar menjadi manusia yang utuh memerlukan pembinaan yang baik serta
senantiasa berada dalam lingkungan yang baik. Dua lembaga pendidikan islam madrasah
dan sekolah islam terpadu adalah cerminan dari hal tersebut, maka eksistensi madrasah
dan sekolah islam terpadu perlu dipertahankan dan ditingkatkan sebaik mungkin, dari segi
kualitas dan kuantitasnya.
Kuantitas madrasah dan sekolah islam terpadu saat ini kiat meningkat, namun apalah
arti suatu kuantitas tanpa kualitas. Mengingat tuntutan zaman yang menginginkan SDM
yang berkualitas dan memiliki keahlian tertentu, maka hendaknya perlu ada upaya untuk
meningkatkan kualitas mutu dari suatu lembaga pendidikan. Semisal untuk madrasah,
yang relative rendah dalam bidang teknologi dan sains, harus berinovasi untuk membuat
program-program tertentu dalam bidang tersebut. Salah satu madrasah yang menurut saya
sudah unggul dalam bidang teknologi dan sains adalah MTsN 3 Kab. Bogor, karena saya
melihat Madrasah tersebut sudah memiliki program-program unggulan yang menyokong
keterampilan siswa baik akademik maupun akademik, yang bertujuan untuk
mempersiapkan siswa untuk dimasa yang akan datang.
Untuk meningkatkan kualitas sekolah tentunya perlu ada kerja sama dan dukungan
yang baik dari pemerintah, sehingga dengan adanya model pendidikan madrasah dan
sekolah islam terpadu yang berkualitas dapat dijadikan peluang tercapainya tujuan
pendidikan nasional di Era Revolusi Industri 4.0.

BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Revolusi industri 4.0 dengan disruptive innovation-nya menempatkan pendidikan
Islam di persimpangan jalan. Persimpangan tersebut membawa implikasi masing-masing.
Pendidikan Islam bebas memilih. Jika ia memilih persimpangan satu yakni bertahan
dengan pola dan sistem lama, maka ia harus rela dan legowo bila semakin tertinggal.
Sebaliknya jika ia membuka diri, mau menerima era disrupsi dengan segala
konsekuensinya, maka ia akan mampu turut bersaing dengan yang lain.
Sekolah berciri khas islam seperti madrasah dan Sekolah Islam Terpadu adalah salah
satu upaya untuk mengatasi permasalahan pendidikan saat ini, pergeseran nilai dan
budaya, rusaknya moral adalah krisis besar dalam dunia pendidikan di Era Revolusi
Industri 4.0 saat ini. Kuantitas madrasah dan sekolah islam terpadu saat ini kiat
meningkat, namun apalah arti suatu kuantitas tanpa kualitas. Mengingat tuntutan zaman
yang menginginkan SDM yang berkualitas dan memiliki keahlian tertentu, Maka
eksistensi madrasah dan sekolah islam terpadu perlu dipertahankan dan ditingkatkan
sebaik mungkin, dari segi kualitas dan kuantitasnya, selain itu untuk meningkatkan
kualitas sekolah tentunya perlu ada kerja sama dan dukungan yang baik dari pemerintah.
4.2 Saran
a. Madrasah seharusnya mulai berinovasi untuk mengembangkan aspek sains dan
teknologi, guna memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman, selain itu sertakan
program-program kegiataan yang menjurus kearah bakat dan minat peserta didik,
seperti program ekstrakurikuler IT, English Club, Marching Band dll.
b. Sekolah Islam Terpadu yang kian semakin diminati oleh masyarakan, harus tetap
mempertahankan eksistensinya dengan focus pada konsep muwasaf Ikhwanul
Muslimin.

DAFTAR PUSTAKA
Akhwan, Muzhoffar00 (2008) “Pengembangan madrasah sebagai pendidikan untuk
semua”. Jurnal el Tarbawi No. 1 Vol. 1
Barizi, Ahmad (Ed), (2011) “Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi
Keilmuan Pendidikan Islam.” .Malang: UIN Maliki Press.
Fadlil M.M. (2017) Masa Depan Pendidikan Islam Di Indonesia.
https://www.iaid.ac.id/post/read/289/masa-depan-pendidikan-islam-di-
indonesia.html.
Hasri (2014) “Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan Islam”. Jurnal Tarbiyah,
Volume II, Edisi I
Kartanegara, (2005). Integritas Ilmu. Jakarta: Mizan.
Makmum ,Abin Syamsuddin. (2010). “Pengelolaan Pendidikan Konsep, Prinsip dan
Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah.” Bandung: Pustaka Educa.
Maksudin. (2010) “Pendidikan Islam Alternatif, Membangun Karakter Melalui
Sistem Boarding School.” Yogyakarta: UNY Press.
Mastuhu. (1997) Menjawab Tantangan Sumber Daya Manusia Abad 21. Jakarta: PT
Intermasa.
Mualimin. (2017)” Lembaga Pendidikan Islam Terpadu.” Jurnal Al Tadzkiyyah:
Jurnal Pendidikan Islam Vol. 8 No. 1
Risdianto, Eko. (2019) “Analisis Pendidikan Di Era Revolusi Industri 4.0”.
https://www.researchgate.net/publication/332415017 diupload pada January
Rosidin, (2016) “Problematika Pendidikan Islam Perspektif Maqasid Shari’ah,”
Maraji’: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 3, No. 1.
Sanjaya. (2007) “Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.”
Jakarta: Kencana Media Group.
Saputro, Febrianto Adi (2018) “Mendikbud Ungkap Cara Hadapi Revolusi 4.0 di
Pendidikan,”https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/18/05/02/p8
388c430-mendikbud-ungkap-carahadapi-revolusi-40-di-pendidikan, diakses Rabu,
18 Juli 2018.
Supa’at. (2014) “Model Kebijakan Pendidikan Karakter di Madrasah.” Jurnal
Pendidikan Islam: Volume III, Nomor 1
Suwardana, Hendra (2017) “Revolusi Industri 4. 0 Berbasis Revolusi Mental,” JATI
UNIK, Vol.1, No.2.
Tafsir, A. (2017) Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai