Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkerasan Aspal Porus


Aspal porus adalah aspal yang dicampur dengan agregat tertentu yang setelah
dipadatkan mempunyai 20 % pori-pori udara. Aspal porus umumnya memiliki nilai
stabilitas Marshall yang lebih rendah dari aspal beton yang menggunakan gradasi
rapat, stabilitas Marshall akan meningkat bila gradasi terbuka yang digunakan lebih
banyak fraksi halus (Cabrera dkk, 1996).
Aspal Porus adalah campuran aspal dengan aggregat tertentu yang didesain
setelah dipadatkan mempunyai pori-pori udara berkisar 20% (Khalid dkk, 1994).
Aspal porus adalah campuran aspal yang sedang dikembangkan untuk
konstruksi wearing course, lapisan ini menggunakan gradasi terbuka (open graded)
yang dihamparkan diatas lapisan aspal kedap air, Campuran didominasi oleh agregat
kasar, untuk mendapatkan pori yang cukup tinggi agar didapat permeabilitas aspal
porus yang tinggi, dimana permeabilitas difungsikan untuk subsurface drain
(Gani, Dedy Rachman dkk, 2013).
Gradasi yang digunakan memiliki fraksi agregat kasar berkisar 70 - 85% dan
agregat halus berkisar antara 15 - 30% dari berat total campuran. Keunggulan dari
aspal porus diantaranya memiliki permukaan yang agak kasar sehingga tingkat
kekesatannya pun tinggi untuk menghindari slip pada roda kendaraan dan dapat
mengurangi kebisingan (Ali, Nur, 2013)
Campuran aspal porus merupakan generasi baru dalam perkerasan lentur, yang
membolehkan air meresap ke dalam lapisan atas (wearing course) baik secara
vertikal maupun horizontal. Kondisi ini dimungkinkan, karena gradasi yang
digunakan memiliki fraksi agregat kasar tidak kurang dari 85% dari volume
campuran. Lapisan ini menggunakan gradasi terbuka (open graded) yang
dihamparkan di atas lapisan aspal yang kedap air agar tidak terjadi rembesan ke
pondasi jalan. Lapisan aspal porus ini secara efektif dapat memberikan tingkat
keselamatan yang lebih, terutama di waktu hujan agar tidak terjadi aqua-planing
sehingga menghasilkan kekesatan permukaan yang lebih kasar dan dapat mengurangi
kebisingan /noise reduction (Media Teknik Sipil, Ary Setyawan dkk, 2005).

II - 1
Perkerasan aspal porus memiliki rongga/pori yang cukup besar dibandingkan
dengan jenis perkerasan lainnya karena menggunakan tidak kurang dari 85% dari
volume campuran aggregat kasar dan sedikit aggregat halus, hal ini mengakibatkan
ikatan (interloking) antar aggregat menjadi kurang dan membuat perkerasan aspal
porus memiliki stabilitas marshall yang lebih rendah dibandingkan perkerasan aspal
yang menggunakan gradasi rapat. Perkerasan aspal porus direncanakan sebagai lapis
permukaan jalan (wearing course) dan ditempatkan diatas lapisan kedap air. Karena
memiliki porositas yang besar memungkinkan perkerasan aspal porus dapat
mengalirkan air baik vertikal maupun horizontal sehingga air tidak menggenang
diatas permukaan jalan. Perkerasan aspal porus dapat meningkatkan kontak roda
kendaraan dengan permukaan jalan karena memiliki permukaan perkerasan yang
kasar serta mengurangi kesilauan dari permukaan jalan pada siang hari.

Gambar 2.1 Kondisi Perkerasan Aspal Porus Pada Saat Hujan


(Sumber : Measures for traffic safety|Expressway Management|Business
activities|NEXCO EAST)

Gambar 2.2 pengaliran air pada perkerasan aspal porus


(Sumber : Permeable paving for SuDS Magazine Features Building)

II - 2
Gambar 2.3 Perbandingan Perkerasan Aspal Konvensional dan
Perkerasan Aspal Porus Pada Saat Hujan
(Sumber : Measures for traffic safety|Expressway Management|Business
activities|NEXCO EAST)

Gradasi rapat membuat lapisan menjadi kedap air (impermiable). Pembagian


butiran yang menerus menjadikan gaya interlocking antar butiran semakin besar
sedangkan jumlah aggregat kasar yang banyak pada campuran dengan sedikit
aggregat halus menjadikan lapisan tersebut bersifat poros.

Gambar 2.4 Sistem Drainase Aspal Porus Tipe I


(Sumber : Media teknik sipil, volume IX 2009)

Perkerasan aspal poros hanya digunakan pada lapis permukaan, yang berfungsi
untuk mempercepat proses pengairan air yang ada pada permukaan jalan dengan cara
meresap melalui celah pori-pori perkerasan aspal porus, sehingga untuk melindungi
lapisan dibawahnya maka perkerasan aspal porus harus diletakan diatas lapisan
perkerasan yang kedap air (impermeable) seperti pada gambar 2.4 atau dapat
menggunakan lapisan geotekstil dibawah perkerasan aspal porus sehingga air tidak
dapat masuk ke lapisan pondasi jalan yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan
jalan.

II - 3
Gambar 2.5 Perkerasan Porus Yang Menggunakan Geotekstile
(Sumber : Iowa Stormwater Management Manual, 2009)

Perkerasan aspal porus memiliki dua sistem pengairan (sistem drainase ganda)
yaitu air dapat mengalir lewat permukaan jalan yang miring serta dapat meresap
melalui pori-pori perkerasan, air mengalir menuju tepi badan jalan kemudian dapat
masuk ke saluran drainase yang ada dengan melewati pipa pengaliran atau langsung
meresap ke permukaan tanah seperti pada gambar 2.4, akan tetapi air yang melalui
bahu jalan dan masuk ke lapisan bawah perkerasan yaitu base course dan sub base
mengakibatkan butiran aggregat halus terbawa oleh aliran air yang nantinya akan
mengakibatkan celah atau rongga di dalam struktur bawah perkerasan sehingga
perkerasan aspal porus menjadi cepat rusak dan berlubang, sehingga pada perkerasan
aspal porus perlu diletakan lapisan geotekstil di bawah lapisan perkerasan aspal
porus sampai bahu jalan atau perkerasan aspal porus diletakan sampai pada daerah
bahu jalan seperti gambar 2.5 dibawah ini.

Sub base
Drainage Base course
Porous asphalt open graded mix

Pipe drains Sub grade Geotextile

Gambar 2.6 Sistem Drainase Aspal Porus Tipe II

II - 4
Gambar 2.7 Potongan Perkerasan Aspal Porus
(Sumber : Iowa Stormwater Management Manual, 2009)

Pada perkerasan aspal konvensional (dense graded), menggunakan gradasi


aggregat yang rapat sehingga baik aggregat kasar, halus dan filler dapat saling
mengisi sehingga didapatkan suatu perkerasan yang padat, hal inilah yang
mengakibatkan nilai stabilitas perkerasan aspal konvensional cukup baik. Disamping
kelebihan yang dimiliki, perkerasan aspal konvensional memiliki kekurangan
diantaranya karena lapisan permukaannya kedap air, sehingga pengaliran air hujan
hanya berdasarkan kemiringan permukaan jalan hal ini mengakibatkan permukaan
jalan menjadi licin dan dibutuhkan waktu yang cukup lama agar permukaan jalan
menjadi kering.
Gradasi aggregat sangat menentukan sifat dari perkerasan aspal porus.
Berbagai penelitian dari berbagai negara telah dilakukan untuk menetukan gradasi
aggregat yang tepat dalam perkerasan aspal porus. Gradasi aggregat tersebut pada
umumnya adalah berdasarkan komposisi tertentu dengan hasil yang telah diuji dan
dapat diandalkan, namun tidak dapat diterangkan bagaimana komposisi gradasi
tersebut dikembangkan kecuali dengan pengujian yang berulang-ulang. Gradasi yang
digunakan dalam perkerasan aspal porus adalah gradasi seragam (uniform graded)
yaitu aggregat yang memiliki ukuran yang hampir sama/sejenis atau gradasi yang
mengandung sedikit aggregat halus. Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka.
Perkerasan yang menggunakan aggregat dengan gradasi seragam akan menghasilkan
perkerasan dengan sifat permeabilitas yang tinggi, stabilitas yang kurang dan berat
volume yang kecil. Lapisan perkerasan aspal porus merupakan lapisan yang besifat

II - 5
nonstruktural, lapisan ini merupakan lapis aus yaitu lapisan yang langsung menderita
gesekan antara roda kendaraan (Ilham, 2014).

2.1.1 Kelebihan Perkerasan Aspal Porus


Kelebihan dari penggunaan perkerasan aspal porus, antara lain :
1. Mengurangi refleksi pantulan lampu pada permukaan jalan yang basah.
2. Memiliki permukaan yang kasar sehingga dapat meningkatkan tahanan gelincir
pada saat kecepatan tinggi, khususnya pada saat hujan.
3. Mengurangi efek aqua-planing
4. Mengurangi tingkat kebisingan roda kendaraan
5. Air dapat dengan cepat meresap melalui pori-pori perkerasan sehingga dapat
meminimalisir gangguan lalu lintas akibat tergenangnya air hujan.
6. Dapat meningkatkan resapan air tanah.

2.1.2 Kekurangan Perkerasan Aspal Porus


Selain memberikan kelebihan, penggunaan perkerasan aspal porus juga
memiliki kekurangan antara lain :
1. Sifat Drain down/flow down aspal pada perkerasan aspal porus dapat
mengakibatkan rongga ditempati oleh aspal.
2. Rongga udara yang besar menyebabkan kemungkinan tersumbat oleh tanah,
debu, atau sampah
3. Stabilitas aspal porus cenderung lebih rendah dari jenis perkerasan lainnya
karena sifat saling mengunci antar aggregat sangat kurang yang disebabkan
banyaknya penggunaan aggregat kasar dalam campuran sehingga terbentuk
rongga-rongga yang besar pada campuran.
4. Biaya perawatan aspal porus cukup besar.

2.1.3 Area yang cocok untuk penggunaan Perkerasan Aspal Porus


Aplikasi perkerasan aspal porus cocok digunakan pada area dengan kondisi
sebagai berikut :
1. Kekuatan struktur perkerasan di bawah perkerasan aspal porus harus kuat
2. Tikungan besar, jari-jari tikungan >75 m
3. Sudut kemiringan permukaan/kelandaian memanjang maksimum <10%
4. Volume lalu lintas <4000 smp/lajur/hari

II - 6
5. Lalu lintas cepat, kecepatan diatas 40 km/jam
6. Daerah-daerah yang tidak memiliki kecendrungan untuk melakukan percepatan
mendadak, pengereman dan membelok.

2.2 Spesifikasi Perkerasan Aspal Porus


Sifat dan karakteristik perkerasan aspal porus sangat tergantung dari jumlah
fraksi aggregat yang digunakan, yaitu gradasi aggregat kasar lebih banyak sehingga
menghasilkan perkerasan aspal yang berongga atau memiliki ruang pori yang
banyak. Banyaknya pori yang ada pada perkerasan diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan mengalirkan air baik vertikal maupun horizontal. Spesifikasi perkerasan
aspal porus dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Ketentuan perkerasan aspal porus
No Kriteria Perencanaan Nilai
1 Uji Contabro Loss (%) Maks 20
2 Uji Permeabilitas (cm/dtk) 0,1 - 0,3
3 Uji Asphalt Flow Down (%) Maks 0,3
4 Kadar rongga udara dalam campuran (VIM %) 10 - 25
5 Stabilitas Marshall (Kg) min 500
6 Kelelehan Marshall (mm) 2-6
7 Kekakuan Marshall (Kg/mm) Maks 400
8 Jumlah tumbukan perbidang 50
(Sumber : Australian Asphalt Pavement Association (AAPA) 1997)

Campuran perkerasan aspal porus menggunakan fraksi aggregat kasar yang


lebih banyak dibanding dengan perkerasan konvensional yaitu diatas 85% dari total
berat campuran, sedangkan aggregat halus sekitar 15%. Penggunaan aggregat dengan
gradasi seperti ini akan menghasilkan perkerasan dengan permeabilitas yang besar,
tetapi dengan besarnya pori-pori yang ada membuat perkerasan aspal porus memiliki
stabilitas yang lebih rendah dibanding dengan perkerasan konvensional.

2.3 Bahan Pembentuk Perkerasan aspal porus


2.3.1 Aspal
Aspal didefinisikan sebagai material berwarna hitam atau coklat tua, pada
temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat. Jika dipanaskan sampai
temperatur tertentu aspal dapat menjadi lunak/cair sehingga dapat membungkus
partikel aggregat pada waktu pembuatan campuran atau dapat masuk kedalam
pori-pori yang ada pada penyemprotan/penyiraman pada perkerasan Mac Adam

II - 7
maupun penaburan. Jika temperatur mulai turun, aspal akan mengeras dan mengikat
aggregat pada tempatnya. Sebagai salah satu material konstruksi perkerasan lentur,
aspal merupakan salah satu komponen kecil, umumnya hanya 4-10% berdasarkan
berat atau 10-15% berdasarkan volume, tetapi merupakan komponen yang relatif
mahal (Sukirman, Silvia., 1999).
Aspal berfungsi sebagai material pengikat dengan unsur utama bitumen.
Bitumen merupakan zat perekat (cementitious) berwarna hitam atau gelap yang dapat
diperoleh dari alam ataupun sebagai hasil produksi, dan mengandung senyawa
hidrokarbon yang merupakan bahan dasar utama aspal, sehingga aspal sering disebut
juga bitumen.
Secara garis besar komposisi kimiawi aspal terdiri dari asphaltenes, resins dan
oils. Asphaltenes terutama terdiri dari senyawa hidrokarbon, merupakan material
berwarna hitam atau coklat tua yang menyebar di dalam larutan yang disebut
maltenes. Maltenes merupakan cairan kental yang terdiri dari resins dan oils. Resins
adalah cairan berwarna kuning atau coklat tua yang memberikan sifat adhesi dari
aspal, merupakan bagian yang mudah hilang atau berkurang selama masa pelayanan
jalan, sedangkan oils yang berwarna lebih muda merupakan media dari resins dan
asphaltene. Pengerasan aspal dapat terjadi karena oksidasi, penguapan dan
perubahan kimiawi lainnya. Reaksi kimiawi dapat mengubah resins menjadi
asphaltenes dan oils menjadi resins.
Daya tahan (durabilitas) aspal berupa kemampuan aspal untuk
mempertahankan sifatnya akibat pengaruh cuaca dan tergantung pada sifat campuran
aspal dan aggregat yang digunakan dalam material perkerasan jalan. Aspal berfungsi
antara lain sebagai berikut :
a. Sebagai bahan pengikat, meningkatkan adhesi dan kohesi sehingga
memberikan ikatan yang kuat antara aspal dengan aspal dan antara aspal
dengan agregat.
b. Sebagai bahan pengisi, mengisi rongga antar butir agregat dan pori-pori yang
ada di dalam agregat itu sendiri.
Aspal dengan penetrasi rendah digunakan pada daerah yang memiliki temperatur
tinggi/bercuaca panas atau lalu lintas dengan volume tinggi, sedangkan aspal dengan
penetrasi tinggi digunakan pada daerah yang memiliki temperatur rendah/bercuaca

II - 8
dingin atau lalu lintas dengan volume rendah. Pada penelitian ini digunakan aspal
penetrasi 60/70. Selain itu aspal yang digunakan harus memenuhi beberapa syarat
sebagaimana tercantum pada tabel 2.7 berikut :

Tabel 2.2 Persyaratan Aspal Keras Pen 60/70


Persyaratan
No Jenis Pengujian Metode
Pen 60/70
1 Penetrasi, 25 C (dmm) SNI 06-2456-1991 60 - 70
2 Viscositas 135 C (cSt) SNI 06-6441-2000 385
3 Titik lembek ( C) SNI 06-2434-1991 > 48
4 Indeks penetrasi - > -1,0
5 Daktilitas pada 25 C, (cm) SNI 06-2432-1991 > 100
6 Titik nyala ( C) SNI 06-2433-1991 > 232
Kelarutan dalam Toluene
7 ASTM D5546 > 99
(%)
8 Berat jenis SNI 06-2441-1991 > 1,0
ASTM D 5976 part
9 Stabilitas penyimpanan ( C) -
6.1
(sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2010)

2.3.2 Aspal Modifier


Aspal modifikasi (Modified Asphalt) merupakan jenis aspal yang dimodifikasi
karakteristiknya sehingga memiliki sifat-sifat positif yang dibutuhkan. Dengan
kemajuan teknologi pada saat ini banyak dihasilkan bahan tambah atau modifier,
sering disebut juga additive, yaitu suatu bahan yang dapat dicampurkan atau
ditambahkan pada aspal atau batuan. Ditinjau dari sudut kimia, aspal merupakan
suatu rangkaian atom atau “polymer”. Polimer satu dengan polimer lainnya tidak
berkaitan secara kuat karena adanya ikatan rangkap pada struktur molekul tersebut
atau biasa disebut “Co-polymer”. Sifat-sifat Co-polymer tersebut secara umum
adalah sebagai berikut :
a. Stabilitas yang rendah
b. Kurangnya ketahanan terhadap suhu
c. Mudahnya mengikat atom bebas
Dengan adanya sifat-sifat yang kurang menguntungkan tersebut para ahli
berusaha menemukan bahan yang dapat memperbaiki sifat aspal. Sehingga setelah
pemakaian bahan tambah akan dapat mengubah sifat-sifat aspal menjadi lebih baik.
Persyaratan aspal modifikasi dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini :

II - 9
Tabel 2.3 Persyaratan Aspal Modifikasi
Persyaratan
Uraian Metode Satuan
Min Maks
Penetrasi, 25 oC, 5 dtk,
SNI 06-2456-1991 50 80 0,1 mm
50 gr
o
Titik lembek SNI 06-2434-1991 54 - C
o
Titik nyala SNI 06-2433-1991 225 - C
Daktilitas, 25 oC SNI 06-2432-1991 50 - Cm
Berat jenis SNI 06-2441-1991 1 - -
Kekentalan pada 135 oC SNI 03-6441-2000 300 200 Cst
Stabilitas penyimpanan
pada 163 oC selama 48
o
jam perbedaan titik Shell Bitumen 1995 - 2 C
lembek antara bagian
atas dan bawah
Kelarutan dalam TCE RSNI 12-2004 99 - % berat
Penurunan berat
SNI 06-2440-1991 - 1 % berat
(TFOT)
Perbedaan penetrasi
SNI 06-2456-1991 - 40 % asli
setelah TFOT, O,1 mm
Perbedaan titik lembek
SNI 06-2434-1991 - 6,5 % asli
setelah TFOT, oC
Elastic recovery pada
AASHTO T 301-1995 30 - %
25 oC
(sumber : Spesifikasi Umum Badan Litbang, Dep. PU, Edisi April 2005)

2.3.3 Aggregat
Agregat adalah sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau mineral
lainnya, baik berupa hasil alam maupun hasil buatan (DPU 1987).
Aggregat adalah partikel mineral yang berbentuk butiran – butiran yang
merupakan salah satu komponen dalam kombinasi dengan berbagai macam tipe
perkerasan mulai dari sebagai bahan material untuk membentuk beton, lapis pondasi
jalan, material pengisi dan lain-lain (Atkins, H.N.,1997).
Aggregat/batuan didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi yang
keras dan kenyal (solid). ASTM (1974) mendefinisikan batuan sebagai suatu bahan
yang terdiri dari mineral padat, berupa masa berukuran besar ataupun berupa
fragmen-fragmen. Aggregat/batuan merupakan komponen utama dari lapisan

II - 10
perkerasan jalan yaitu mengandung 90 - 95% aggregat berdasarkan persentase berat
atau 75 – 85% aggregat berdasarkan persentase volume. Dengan demikian daya
dukung, keawetan dan mutu perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat aggregat dan
hasil campuran aggregat dengan material lain (Sukirman,Silvia , 1999).
Aggregat dapat diklasifikasikan berdasarkan asal kejadiannya aggregat/batuan,
proses pengolahannya, dan besar parikel-partikel aggreggat.

2.3.3.1 Ditinjau dari asal kejadiannya


Aggregat ditinjau dari asal kejadiannya dapat dibedakan atas :
1. Batuan beku yaitu batuan yang berasal dari magma yang mendingin dan
membeku. Magma mengalami pendinginan dan membeku secara perlahan-lahan,
bertekstur kasar dan dapat ditemui dipermukaan bumi karena proses erosi dan
gerakan bumi. Batuan jenis ini antara lain granit, gobbro, diorit, dll.
2. Batuan sedimen dapat berasal dari campuran partikel mineral, sisa hewan dan
tanaman. Pada umumnya merupakan lapisan-lapisan pada kulit bumi hasil
endapan didanau, laut, dan sebagainya.
3. Batuan metamorf berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang
mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan
temperatur dari kulit bumi.

2.3.3.2 Berdasarkan proses pengolahannya


Aggregat yang dipergunakan pada perkerasan lentur dapat dibedakan atas
aggregat alam, aggregat yang telah mengalami proses pengolahan terlebih dahulu
dan aggregat buatan.
1. Aggregat alam yaitu aggregat yang dapat dipergunakan sebagaimana bentuknya
dialam atau dengan sedikit pengolahan. Dua bentuk aggregat alam yang sering di
pergunakan yaitu kerikil dan pasir. Kerikil adalah aggregat dengan ukuran
partikel >1/4 inch (6,35 mm), Pasir adalah aggregat dengan ukuran partikel <1/4
inch tetapi lebih besar dari 0,075 mm (saringan no. 200).
2. Aggregat yang melalui proses pengolahan, di gunung-gunung atau di bukit-bukit
sering ditemui aggregat yang masih berbentuk batu gunung, sehingga diperlukan
proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai aggregat
konstruksi perkerasan jalan. Proses pemecahan aggregat sebaiknya menggunakan

II - 11
mesin pemecah batu (Stone Crusher) sehingga ukuran partikel-partikel yang
dihasilkan dapat dicapai sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.
3. Aggregat buatan merupakan mineral filler/pengisi (partikel dengan ukuran
<0,075 mm), diperoleh dari hasil sampingan pabrik-pabrik semen dan mesin
pemecah batu.

2.3.3.3 Berdasarkan besar partikel-partikel aggregat


Berdasarkan ukuran, aggregat terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Aggregat kasar yaitu aggregat > 4,75 mm menurut ASTM atau > 2 mm
AASHTO
2. Aggregat halus yaitu aggregat < 4,75 mm menurut ASTM atau < 2 mm dan >
0,075 menurut AASHTO.
3. Abu batu/mineral filler adalah aggregat halus yang umumnya lolos saringan no.
200.
Aggregat diklasifikasi dan diidentifikasi berdasarkan ukuran, bentuk butiran,
tekstur permukaan, dan kelekatannya terhadap aspal. Pemilihan suatu aggregat untuk
material perkerasan jalan tidak hanya dilihat dari karakteristik aggregatnya saja tetapi
juga harus mempertimbangkan beberapa hal diantaranya adalah ketersediaan
aggregat itu sendiri, kemudahan mendapatkannya, harga dan jenis gradasi yang
digunakan.

2.3.3.4 Aggregat Kasar


1. Fraksi aggregat kasar untuk rancangan adalah yang tertahan saringan no. 8 (2,36
mm) dan haruslah bersih, keras, awet dan bebas dari lempung atau bahan yang
tidak dikehendaki lainnya dan memenuhi ketentuan yang diberikan dalam Tabel
2.4.
2. Fraksi aggregat kasar harus batu pecah dan harus disiapkan dalam ukuran
nominal. Ukuran maksimum (Maksimum size) aggregat adalah satu saringan
yang lebih besar dari ukuran nominal maksimum adalah satu saringan yang lebih
kecil dari saringan pertama (teratas) dengan bahan tertahan kurang dari 10%.
3. Aggregat kasar harus mempunyai angularitas seperti yang diisyaratkan dalam
tabel 2.4. Angularitas aggregat kasar didefinisikan sebagai persen terhadap berat
aggregat yang lebih besar dari 4,75 mm dengan muka bidang pecah satu atau
lebih berdasarkan uji menurut pennsylvania DoT’s Test Method.

II - 12
Tabel 2.4 Ketentuan Aggregat Kasar
Pengujian Standar Nilai
Kekekalan bentuk aggregat terhadap
SNI 3407:2008 Maks 12%
larutan natrium dan magnesium sulfat
Campuran AC
Maks 30%
bergradasi kasar
Abrasi dengan
Semua jenis SNI 2417:2008
mesin Los Angeles
campuran aspal Maks 40%
bergradasi lainnya
Kelekatan aggregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min. 95%
Angularitas (kedalaman dari permukaan < DoT's
95/90 *
10 cm) Pennsylvania
Angularitas (kedalaman dari permukaan ≥ Test Method, PTM
80/75 *
10 cm) No. 621
Partikel pipih dan lonjong (**) ASTM D4791 Maks 10%
Material lolos ayakan no. 200 SNI 03-4142-1996 Maks 1%

catatan :
(*) 95/90 menunjukan 95% aggregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu
atau lebih dari 90% aggregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau
lebih.
(**) Pengujian dengan perbandingan lengan alat uji terhadap poros 1 : 5
(sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2010)

2.3.3.5. Agregat Halus


Aggregat halus adalah aggregat yang lolos saringan No. 8 (2,36 mm), yang
harus memenuhi persyaratan aggregat halus sebagai berikut :
1. Aggregat halus dari sumber bahan manapun harus terdiri dari pasir atau
pengayakan batu pecah dan terdiri dari bahan yang lolos ayakan No. 8 (2,36
mm) sesuai SNI 03-6819-2002.
2. Aggregat halus harus merupakan bahan yang bersih, keras, bebas dari lempung
atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya. Batu pecah halus harus diperoleh
dari batu yang memenuhi ketentuan mutu. Agar dapat memenuhi persyaratan
yang ditentukan batu pecah harus diproduksi dari batu yang bersih.
3. Aggregat pecah halus dan pasir harus ditumpuk terpisah dan harus dipasok ke
instalasi pencampuran aspal dengan menggunakan pemasok penampung dingin

II - 13
(Cold bin Feeds) yang terpisah sedemikian rupa sehingga rasio aggregat pecah
halus dan pasir dapat dikontrol dengan baik.
4. Aggregat halus harus mempunyai ketentuan sebagaimana yang ditunjukkan pada
tabel berikut ini :

Tabel 2.5 Ketentuan Aggregat Halus

Pengujian Standar Nilai

Min 50% untuk


SS, HRS, dan AC
bergradasi halus
Nilai setara pasir SNI 03-4428-1997
Min 70% untuk
AC bergradasi
kasar
Material lolos ayakan
SNI 03-4428-1997 Maks 8%
No. 200
Kadar lempung SNI 03-6877-2002 Maks 1%
Angularitas (kedalaman
AASHTO TP-33 Min 45%
dari permukaan < 10 cm)
atau ASTM
Angularitas (kedalaman C1252-93 Min 40%
dari permukaan > 10 cm)
(sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2010)

2.3.4 Bahan Pengisi (Filler)


Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari gumpalan-
gumpalan dan bila diuji dengan penyaringan sesuai SNI 03-4142-1996 harus
mengandung bahan yang lolos ayakan No. 200 (75 micron) tidak kurang dari 75%
dari yang lolos saringan No. 30 (600 micron) dan mempunyai sifat non plastis.
Dalam penelitian ini akan digunakan jenis filler abu batu.

Tabel 2.6 Spesifikasi bahan pengisi (Filler)


Metode
Sifat - sifat Persyaratan
Pengujian
Berat butiran yang lolos SNI 03-4142-
≥ 75%
ayakan 75 mikron 1996
(sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga 2010)

II - 14
2.4 Gradasi Perkerasan Aspal Porus
Gradasi aggregat adalah pembagian ukuran butiran yang dinyatakan dalam
persen dari berat total. Ukuran butir dapat diperoleh melalui pemeriksaan analisa
saringan. Gradasi aggregat dinyatakan dalam persentase lolos atau tertahan, yang
dihitung berdasarkan berat aggregat. Gradasi aggregat dibedakan menjadi tiga tipe
gradasi yang disesuaikan dengan kebutuhan perkerasan yaitu gradasi senjang, gradasi
rapat dan grradasi seragam atau gradasi terbuka.
Gradasi yang digunakan pada aspal porus adalah gradasi tipe seragam yaitu
memiliki aggregat kasar yang banyak dan hanya mengandung sedikit aggregat halus,
sehingga terdapat banyak rongga kosong antar aggregat. Campuran beraspal yang
dibuat dengan gradasi ini bersifat porus atau memiliki permeabilitas yang tinggi,
stabilitas yang rendah dan memiliki berat isi yang kecil. Beberapa gradasi aspal
porus yang ada dapat dilihat dibawah ini :

2.4.1 Spesifikasi Bina Marga


Gradasi yang dipakai dalam penelitian ini diambil dari spesifikasi Bina Marga
yaitu gradasi terbuka dengan diameter aggregat maksimum 13 mm dapat dilihat pada
tabel 2.7 sebagai berikut :
Tabel 2.7 Persyaratan Gradasi Aggregat Perkerasan Aspal Porus
Ukuran Ayakan % Berat yang
ASTM (mm) lolos
3/4" 19,00 100
1/2" 12,70 50 - 70
3/8" 9,50 30 - 50
No. 4 4,76 10 - 25
No. 200 0,0074 3-5
(sumber : Manual Pekerjaan Campuran Beraspal Panas, 2001)

2.4.2 Spesifikasi Australian Asphalt Pavement Association (AAPA) 1997


Australia Asphalt Pavement Association (AAPA) 1997, menentukan tiga
gradasi aspal porus berdasarkan diameter maksimum aggregat yang digunakan.
Gradasi aspal porus berdasarkan metode AAPA 1997 dapat dilihat pada tabel 2.8
dibawah ini :

II - 15
Tabel 2.8 Gradasi Australia Asphalt Pavement Association (AAPA) 1997
Diameter Diameter Aggregat Maksimum
Saringan (mm) 10 mm 14 mm 20 mm
26,5 100
19 100 95
13,2 100 95 55
9,5 90 50 30
6,7 40 27 20
4,75 30 11 10
2,36 12 9 8
1,18 8 8 6
0,6 6 6,5 4
0,3 5 5,5 3
0,15 4 4,5 3
0,08 3,5 3,5 2
Kadar aspal 5,5-6,5 5,0-6,0 4,5-5,5
Sumber : Australian Asphalt Pavement Association (AAPA) 1997

2.4.3 Gradasi Aspal Porus British Standar


Gradasi aspal porus menurut British Standar menggunakan tipe gradasi
senjang dimana ada bagian tertentu yang dihilangkan sebagian. Gradasi ini terbagi
atas dua gradasi berdasarkan ukuran diameter aggregat. Gradasi British Standar (BS)
dapat dilihat pada tabel 2.9 dibawah ini :

Tabel 2.9 Gradasi British Standar untuk Aspal Porus


% Lolos
Gradasi
28 mm 20 mm 14 mm 10 mm 6,3 mm 3,35 mm 0,075 mm
BS 10 mm - - 100 90-100 40-55 22-28 3-6
BS 20 mm 100 90-100 50-80 - 20-30 5-15 3-7
Sumber : EMPA 1999 dalam Tugas Akhir Danang PascKaryono Dwiharjo,2010

2.5 Karakteristik Perkerasan Aspal Porus


Perkerasan aspal porus yang akan direncanakan harus dapat memenuhi
karakteristik tertentu agar dapat bertahan pada kondisi lalu lintas dan iklim sehingga
dapat menghasilkan suatu perkerasan yang kuat, aman dan nyaman. Di bawah ini
merupakan penjelasan dari karakteristik aspal tersebut.

II - 16
2.5.1 Durabilitas atau Keawetan
Keawetan atau durabilitas adalah kemampuan perkerasan aspal porus
menerima repetisi beban lalu lintas seperti berat kendaraan dan gesekan antara roda
kendaraan dan permukaan jalan, serta menahan keausan akibat pengaruh cuaca dan
iklim seperti udara, air, atau perubahan temperatur. Durabilitas perkerasan aspal
porus sangat dipengaruhi oleh tebalnya film atau selimut aspal, banyaknya pori
dalam campuran, kepadatan dan kedap airnya campuran.

2.5.2 Kelenturan atau Fleksibilitas


Kelenturan atau fleksibilitas adalah kemampuan perkerasan aspal porus untuk
menyesuaikan diri akibat penurunan (konsolidasi/settlement) dan pergerakan dari
pondasi atau tanah dasar, tanpa terjadi retak. Penurunan terjadi akibat dari repetisi
beban lalu lintas, ataupun penurunan akibat berat sendiri tanah timbunan yang dibuat
di atas tanah asli. Fleksibilitas dapat ditingkatkan dengan mempergunakan aggregat
bergradasi terbuka dengan kadar aspal yang tinggi.

2.5.3 Kekesatan/Tahanan Geser (skid resistance)


Kekesatan/tahanan geser (skid resistance) adalah kemampuan permukaan
perkerasan aspal porus terutama pada kondisi basah, memberikan gaya gesek pada
roda kendaraan sehingga kendaraan tidak tergelincir, ataupun slip. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kekesatan jalan yaitu : kekasaran permukaan dari butir-butir
aggregat, luas bidang kontak antar butir atau bentuk butir gradasi aggregat,
kepadatan campuran, tebal film aspal dan ukuran maksimum butir aggregat ikut
menentukan kekesatan permukaan. Dalam hal ini aggregat yang digunakan tidak saja
harus mempunyai permukaan yang kasar, tetapi juga mempunyai daya tahan untuk
permukaannya tidak mudah menjadi licin akibat repetisi kendaraan.

2.5.4 Mudah dilaksanakan (workability)


Mudah dilaksanakan (workability) adalah kemampuan perkerasan aspal porus
untuk mudah dihamparkan dan dipadatkan. Tingkat kemudahan dalam proses
penghamparan dan pemadatan adalah viskositas aspal, kepekaan aspal terhadap
perubahan temperatur, gradasi dan kondisi aggregat.

II - 17
2.6 Serat Selulosa Roadcel-50
Roadcel-50 adalah nama yang digunakan untuk serat selulosa oleophilick
micronized yang digunakan sebagai bahan stabilisasi bagi aspal pada campuran
beraspal. Roadcel-50 diproduksi oleh PT. Olah Bumi Mandiri Jakarta dan telah
digunakan pada beberapa ruas jalan di Indonesia untuk meningkatkan kinerja jalan.
Pickel and Lytton (1991), menyatakan serat selulosa yang digunakan sebagai
aditive campuran beton aspal dapat meningkatkan modulus kekakuan, sehingga
memperbaiki daya tahan terhadap “rutting” dan mengurangi retak-retak akibat
meningkatnya tegangan tarik dari campuran. Serat selulosa juga dapat menaikkan
kadar aspal optimum campuran sehingga dapat meningkatkan sifat durabilitas selain
itu dapat melindungi oksidasi dari aspal semen selama pelaksanaan konstruksi
sampai masa pelayanan dan juga mengurangi “rutting”, sehingga serat sululosa juga
berfungsi sebagai bahan anti oksidasi campuran beton aspal.
Pustlitbang Jalan (1993) pernah melakukan penelitian mengenai Roadcel-50
sebagai bahan tambah campuran aspal dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.8
berikut ini :

Tabel 2.10 Pengujian Sifat-sifat Roadcel-50


No Jenis Pengujian Satuan Hasil Uji
1 Kadar selulosa % 90
2 Berat isi gembur gr/l 30
3 Kadar air % -
4 PH - 7
5 Ukuran partikel
< 800 -
< 40 -
< 32 -
6 Panjang serat maksimum µm 6000
7 Panjang serat rata-rata µm 1500
8 Diameter serat rata-rata µm 40
9 Berat isi bulk gr/lt -
10 Residu pada panas 250 oC % 5
11 Ketahanan terhadap asam dan alkali - baik
(sumber : Puslitbang Jalan, 1993)
Kadar Roadcel-50 yang pernah dilakukan Puslitbang jalan sebesar 0,3 %

II - 18
Lismianto (1993), pernah menyatakan bahwa serat selulosa merupakan bahan
stabilisasi aspal yang bekerja secara fisik dan mekanik. Stabilitas secara fisik berarti
dapat menaikkan titik lembek aspal serta menurunkan penetrasi dan viskositas.
Stabilitas secara mekanik yaitu meningkatkan daya rekat antara aspal dengan
aggregat sebagai efek penulangan tiga dimensi oleh serat selulosa. Selain itu serat
selulosa juga berfungsi untuk menstabilkan binder, menjamin binder lapis tipis yang
permanen, mencegah difusi air, melindungi aspal dari proses penuaan (ageing), dan
mencegah deformasi dan retak permukaan jalan pada suhu tinggi.

2.6.1 Sifat-sifat dari Roadcel-50


1. sifat Fisik
Roadcel-50 berbentuk serat memanjang, seperti kapas, berwarna abu-abu
dan memiliki permukaan yang halus dan lembut.

Gambar 2.8 Roadcell-50


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Tabel 2.11 Sifat fisik khas dari Roadcel-50


Sifat-sifat roadcel-50 Dry
Bentuk Serat seperti kapas
Warna Abu-abu
Serat memanjang dan permukaan
Tampilan
halus
(sumber : PT. Olah Bumi Mandiri)

II - 19
2. Sifat kimia
Roadcel-50 terdiri dari selulosa (wood) fiber (C6H10O5)n, dan naturally
occurring clay (Koalin-H2Al2Si2O8H2O).

2.6.2 Karakteristik Roadcel-50


Karakteristik dari Roadcel-50 dapat dilihat pada tabel 2.7 berikut ini :
Tabel 2.12 Characteristic Roadcel-50
Laboratory compaction-Blows 2 x 75
Voids ini mix 3–6 Layer Thicness-cm 3,0 -
coumpaction 5,0 >
Marshall stability-Kg > 800 degree-% 97
Flow volume-mm Min. 3
Min.
Marshall quotient-kg/mm
250
Loss of stability (48 hrs immersion) < 25 Counpaction by only Tandem
Effective bitumen content-% Min. 68 roller Tyred rollers should hot
Max. be used sand seal not required
Absorbed asphalt content-%
1,5
Total actual bituman content-% Min. 6,5
(Sumber : PT. Olah Bumi Mandiri dalam Skripsi Hamdani Basri 2010)

II - 20
2.7 Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO)
2.7.1 Metode Australian Asphalt Pavement Association (AAPA) 1997
Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO) metode Australian Asphalt Pavement
Association (AAPA) hanya mensyaratkan tiga parameter yaitu Void in Mixture
(VIM), Cantabro Loss (CL) dan Asphalt Drain Down/Flow Down (AFD). Hasil
pegujian VIM dan CL terhadap kadar aspal diplot menjadi kurva seperti gambar 2.9
dibawah ini :

Gambar 2.9 Contoh cara penentuan KA min, KA max dan KAO sementara
(Sumber : Australian Asphalt Pavement Association (AAPA) 1997 dalam Jurnal Teknik Sipil Vol.21
(Sofyan M. Saleh, Renni Anggraini,Hesty Aquina) Universitas Syiah Kuala, 2014)

Dari grafik diatas, ditentukan nilai Kadar Aspal Minimum (BC min) dengan
cara memplot nilai minimum Cantabro Loss yaitu sebesar 20% pada kurva regresi
hubungan Cantabro Loss terhadap kadar aspal sehingga didapatkan untuk nilai CL
20% diperoleh Kadar Aspal Minimum (BC min) sebesar 4,27% pada gambar 2.9
contoh penentuan KAO di atas dan diplot nilai VIM sebesar 20% pada kurva regresi
hubungan antara VIM terhadap kadar aspal untuk menentukan Kadar Aspal
Maksimum (BC Maks). Nilai tengah dari BC min dan BC maks diambil sebagai nilai
Kadar Aspal Optimum Sementara (KAO sementara), Nilai KAO sementara diplot
pada kurva hubungan antara AFD/aliran aspal terhadap kadar aspal seperti pada
gambar 2.10 dibawah ini :

II - 21
Gambar 2.10 Contoh cara penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO)
(Sumber : Australian Asphalt Pavement Association (AAPA) 1997 dalam Jurnal Teknik Sipil Vol.21
(Sofyan M. Saleh, Renni Anggraini,Hesty Aquina) Universitas Syiah Kuala, 2014)

Untuk nilai KAO sementara 5.17% pada contoh diatas didapatkan nilai
AFD/aliran aspal sebesar 0.101%. Sehingga Nilai Kadar Aspal Optimum (KAO)
metode Australian Asphalt Pavement Association (AAPA) 1997 adalah dengan
menjumlahkan KAO sementara dengan nilai AFD yang didapatkan.

2.7.2 Metode Marshall


Metode Marshall dalam menentukan Kadar Aspal Optimum (KAO) sudah
sering kali digunakan hal ini dikarenakan penentuan dengan metode marshall dinilai
lebih akurat untuk mendapatkan KAO dengan karakteristik marshall paling optimum.
Karakteristik Marshall antara lain Kepadatan, Void in Mixture (VIM), Void in
Mineral Aggregat (VMA), Void Fill with Bitumen (VFB), Stabilitas, Flow, dan
Marshall Quatient (MQ). Dari parameter-parameter karakteristik marshall ini
dibuatkan kurva regresi untuk masing – masing karakteristik marshall terhadap kadar
aspal seperti pada gambar 2.11 dibawah ini :
Kadar Aspal Terhadap Rongga
dalam Campuran (VIM) Kadar Aspal Terhadap Stabilitas
25 700
20 600
Stabilitas (Kg)
VIM (%)

minimum
15 y = -2,227x + 31,63 500
R² = 0,925 400
10 y = -91,53x2 + 1019,x - 2324,
5 300 R² = 0,903
0 200
4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0 4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
Kadar Aspal (%) Kadar Aspal (%)

II - 22
Kadar Aspal Terhadap Flow Kadar Aspal Terhadap MQ
500 maksim
10 y = 0,094x + 3,757 um
8 R² = 0,014 400

MQ (Kg/mm)
Flow (mm)

6 300
y = 3,087x + 98,33
4 200 R² = 0,191
2 100
minimu
0 m 0
4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
Kadar Aspal (%) Kadar Aspal (%)

Kadar Aspal Terhadap Kepadatan Kadar Aspal Terhadap VMA


4,00 28,00
Kepadatan (gr/cm3)

y = -0,018x2 + 0,227x + 1,343 27,00


3,00 26,00

VMA ( %)
R² = 0,845
25,00
2,00 24,00
23,00 y = 0,684x2 - 7,686x + 46,87
1,00
22,00 R² = 0,494
0,00 21,00
20,00
4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
Kadar Aspal (%)
Kadar Aspal (%)

Kadar Aspal Terhadap VFB


35,00
33,00
31,00
29,00
VFB ( %)

27,00
25,00
23,00 y = 8,135x - 20,31
21,00
19,00 R² = 0,994
17,00
15,00
4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0
Kadar Aspal (%)

Grafik KAO

MQ
Flow
Stabilitas
VFB
VMA
VIM
Kepadatan

4,5 5 5,25 5,5 6 6,09 6,5

Gambar 2.11 Contoh cara penentuan KAO metode Marshall

II - 23
Dari grafik diatas didapatkan nilai Kadar Aspal minimum sebesar 5,25% dan
Kadar Aspal Maksimum sebesar 6,09%. Sehingga, nilai Kadar Aspal Optimum
adalah nilai tengah dari Ka min dan KA maks.
5,25+6,09
KAO = = 5,67%
2
2.7.3 Japanese Method
Metode Jepang atau Japanese Method menggunakan karakteristik aspal porus
seperti VIM, VMA, VFB, Specific grafity, Cantabro Loss, dan Asphalt Flow Down
dalam menentukan Kadar Aspal Optimum (KAO). Data penelitian yang didapatkan
dibuat kurva regresi hubungan antara parameter karakteristik aspal porus terhadap
kadar aspal, dari kurva yang terbentuk ditarik garis lurus pada masing – masing
ujung kurva regresi yang sejajar dengan ujung kurva regresi. Perpotongan kedua
garis lurus tersebut merupakan nilai Kadar Aspal Optimum (KAO). Dari masing-
masing kurva regresi didapatkan Kadar Aspal Optimum (KAO). Kemudian KAO
yang didapatkan pada masing-masing karakteristik aspal porus dirata-ratakan
sehingga didapatkan Kadar Aspal Optimum (KAO) dengan Japanese Method.
Contoh penentuan KAO dengan menggunakan metode jepang ini dapat dilihat pada
gambar 2.12 di bawah ini :

II - 24
Gambar 2.12 Contoh Penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO)
(Sumber : Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies Vol.5 October, 2003)

2.8 Pengujian Perkerasan Aspal Porus

2.8.1 Marshall
Perencanaan campuran beraspal yang umum dilakukan di Indonesia adalah
metode Marshall. Metode marshall dikembangkan oleh Bruce Marshall dari Misisipi
State Highway Department sekitar tahun 1940-an. Pengujian ini distandarisasikan di
dalam American Society for Testing and Materials,1989 (ASTM D 1559-89).
Pengujian di Indonesia distandarisasi dalam SNI 06-2489-1991. Pengujian ini
bertujuan untuk menentukan ketahanan (stabilitas) terhadap kelelehan plastis (flow)
dari campuran aspal dan aggregat. Kelehan plastis adalah keadaan perubahan bentuk
suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban sampai batas runtuh yang dinyatakan
dalam mm atau 0,01". Pengujian stabilitas bertujuan untuk mengukur ketahanan

II - 25
campuran terhadap beban lalu lintas dan uji kelelehan plastis untuk
memperhitungkan perubahan bentuk yang terjadi akibat beban lalu lintas.

Gambar 2.13 Alat Pengujian Marshall


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Alat marshall merupakan alat tekan yang dilengkapi dengan proving ring
(cincin penguji) yang berkapasitas 2500 kg atau 5000 pon. Proving ring ini
dilengkapi dengan arloji pengukur yang berguna untuk mengukur stabilitas
campuran. Disamping itu terdapat arloji kelelehan (flow meter) untuk mengukur
kelelehan plastis (flow).

2.8.2 Uji Cantabro


Pengujian cantabro dilakukan untuk mengetahui kemampuan perkerasan untuk
menahan akibat pembebanan oleh beban roda kendaraan, pembebanan yang
berulang-ulang akan menyebabkan lapisan tersebut terjadi penurunan kekuatan.
Untuk menguji kekuatan dari campuran dilakukan pengujian terhadap impac/abrasi.
Tujuan pengujian ini adalah untuk menentukan kerugian Cantabro Test yang
didefinisikan sebagai persentase kehilangan berat setelah dilakukan 300 kali putaran
sehubungan dengan berat awal benda uji (Suparma,2001). Persentase kehilangan
berat yang dapat diterima tidak lebih dari 15% pada temperatur 25 oC. Pengujian
Cantabro dilakukan pada benda uji dengan menggunakan mesin abrasi Los Angeles
(tanpa menggunakan bola-bola baja)

II - 26
Cantabro Test adalah salah satu test di laboratorium untuk mengetahui
besarnya batas kekuatan hancur/keausan akibat pengaruh impact
(tumbukan/pembebanan) baban roda lalu lintas pada lapis perkerasan. Pembebanan
lalu lintas pada lapis permukaan perkerasan secara berulang-ulang akan
menyebabkan lapis perkerasan menjadi aus, hal ini akan menyebabkan lapis
perkerasan mengalami penurunan sifat daya tahan mesin tes abrasi Los Angeles tanpa
menggunakan bola baja.
Prinsip dasar dari pengujian dari Cantabro Test adalah membandingkan
besarnya berat pada campuran beraspal yang telah dilakukan pengujian dengan berat
awal. Besarnya kehilangan berat pada Cantabro Test dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :
Mi 1−Mi 2
CALi = x 100 ........................................................... (2.1)
Mi 1

Dimana :
CALi = Cantabro Abrasion Loss (%)
Mi1 = Berat mula-mula benda uji (gr)
Mi2 = Berat benda uji setelah pengujian (gr)

Gambar 2.14 Mesin Los Angeles


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

II - 27
2.8.3 Uji Permeabilitas
Pengujian permeabilitas adalah kemampuan media yang porus untuk
mengalirkan fluida. Setiap material dengan ruang kosong diantaranya disebut poros
dan apabila ruang kosong itu saling berhubungan maka akan memiliki sifat
permeabilitas. Maka batuan, tanah, beton, dan banyak material lain dapat merupakan
material porus dan permeabel. Semakin tinggi nilai permeabilitas suatu campuran
mengidikasikan bahwa campuran tersebut memiliki rongga yang besar yang dapat
mengalirkan air. Material dengan ruang kosong yang lebih besar akan mempunyai
angka pori yang lebih besar pula.
Pengujian permeabilitas pada penelitian ini menggunakan prinsip Falling Head
Permeability dimana air didalam tabung jatuh bebas dengan ketinggian tertentu
sampai melewati rongga pada campuran aspal porus.

Gambar 2.15 Water Permeability Test


(Sumber : Danang Pasckaryono Dwiharjo, 2010)

Koefisien permeabilitas dihitung berdasarkan Hukum Darcy. Hukum Darcy


menjelaskan tentang kemampuan air mengalir pada rongga-rongga (pori).
Permeabilitas vertikal dan horizontal dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut
ini :
axL h1
k = 2,3 x x Log ............................................... (2.2)
Axt h2
k = ........... x 10-1 cm/dtk
Dimana : k = Koefisien uji aliran air (cm/dtk)
a = Luas potongan melintang tabung (cm2)
L = Tebal spesimen (cm)

II - 28
A = Luas potongan spesimen (cm2)
t = Waktu yang dibutuhkan untuk mengalirkan air dari h1 ke h2
h1 = Tinggi batas air paling atas pada tabung (cm)
h2 = Tinggi batas air paling bawah pada tabung (cm)

Alat pengujian permeabilitas pada penelitian ini merupakan modifikasi dari


alat permeabilitas pada gambar 2.15, yaitu dengan menggunakan benda uji
perkerasan aspal porus di dalam mould yang telah direndam sampai jenuh. Mould
kosong diletakkan diatas mould yang berisi benda uji. Bagian luar sambungan
kedua mould diberi plastisin, agar air tidak menembus keluar. Ke dalam mould
kosong diisi oleh air setinggi 5 cm. Besarnya nilai permeabilitas perkerasan aspal
porus dapat dihitung berdasarkan persamaan :

Tinggi Benda Uji Log Tinggi Benda Uji + 5 cm


k = 2,3 x x ....... (2.3)
Waktu Pengaliran Tinggi Benda Uji

k = ........... x 10-1 cm/dtk


Dimana : k = Koefisien uji aliran air (cm/dtk)

2.8.4 Uji Drain Down


Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah drain-down yang terjadi pada
campuran beraspal yang belum dipadatkan, yaitu selama produksi, pengangkutan dan
penempatan campuran (AASHTO T 305).
Pada pengujian drain down benda uji belum dipadatkan, tetapi masih dalam
tahap pencampuran. Campuran ini dimasukkan kedalam sebuah keranjang yang di
modifikasi dan ditempatkan di atas sebuah wadah lalu dimasukan ke dalam oven
sampai pada suhu dan waktu yang di tetapkan. Hasil akhir dari pengujian ini adalah
besarnya drain down yang terjadi dan dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :
A−B
Drainage = X 100 ................................................................ (2.4)
C

Dimana :
A = Berat wadah setelah pengujian (gr)
B = Berat awal wadah sebelum digunakan (gr)
C = Berat total sampel (gr)

II - 29
Gambar 2.16 Alat Pengujian Drain Down
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2.9 Penentuan Volumetrik Campuran Beraspal


Penentuan volumetrik dalam campuran beraspal berguna untuk mengetahui
karakteristik perkerasan aspal porus yang telah dipadatkan baik dalam pekerjaan di
laboratorium maupun hasil mencoring dilapangan.

2.9.1 Rongga diantara Agregat (Void in Mineral Aggregate, VMA)


VMA merupakan volume rongga yang terdapat di antara butir-butir aggregat
suatu campuran beraspal padat. VMA meliputi volume rongga udara dalam
campuran beraspal dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang
diserap aggregat). Asphalt Institute merekomendasikan bahwa harga VMA dari
campuran beraspal padat dapat dikalkulasikan dalam hubungannya dengan berat
jenis kering total aggregat (Agregat Bulk Spesific Gravity). Pemakaian agregat
bergradasi senjang dan kadar aspal yang rendah dapat memperbesar VMA. Rongga
yang terdapat diantara aggregat ini dapat dihitung dengan persamaan :
 Gmb 1 - Pbt  
VMA = 100 1 -  ....................................................... (2.5)
 Gsb 
Keterangan :
VMA = Rongga di antara aggregat
Gmb = Berat jenis bulk campuran padat
Gsb = Berat jenis bulk aggregat

2.9.2 Rongga Dalam Campuran Beraspal (Void in Mixture, VIM)


VIM (Voids In Mixture) merupakan volume pori dalam campuran yang telah
dipadatkan atau banyaknya rongga udara yang berada dalam campuran aspal porus.

II - 30
VIM dinyatakan dalam persen (%) terhadap volume total campuran. Berdasarkan
definisi tersebut, maka rongga dalam campuran beraspal (Void in mixture, VIM)
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

 Gmb 
VIM = 100 1 -  ............................................................... (2.6)
 Gmm 

Keterangan :
VIM = Rongga udara campuran, persen total campuran
Gmb = Berat jenis bulk campuran padat
Gmm = Berat jenis maksimum campuran, rongga udara nol

Dari rumus tersebut dapat diketahui bahwa nilai VIM sangat tergantung
pada nilai Gmb dan Gmm sehingga kesalahan dalam penentuan kedua parameter ini
akan menyebabkan kesalahan pada percobaan nilai VIM.

2.9.3 Rongga Terisi Aspal (Void Filled Bitumen, VFB)


Rongga terisi aspal (VFB) adalah persentase pori antar butir agregat yang terisi
aspal, sehingga VFB merupakan bagian dari VMA yang terisi oleh aspal, tidak
termasuk di dalamnya aspal yang terabsorbsi oleh masing-masing butir agregat,
sehingga bagian dari VMA yang terisi oleh kandungan aspal efektif dapat dinyatakan
dalam perbandingan persen antara (VMA – VIM) terhadap VMA. Sehingga VFB
terhadap campuran beraspal dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
 VMA - VIM 
VFB =   x 100 ................................................................. (2.7)
 VMA 
Keterangan :
VFB = Rongga terisi aspal, persen VMA
VMA = Rongga diantara mineral aggregat, persen volume
VIM = Rongga di dalam campuran, persen total campuran

2.9.4 Kadar Aspal Efektif (Pbe)


Kadar aspal efektif (Pbe) campuran beraspal adalah total kadar aspal
dikurangi jumlah kadar aspal yang terserap oleh partikel aggregat. Kadar aspal
efektif ini akan menyelimuti permukaan aggregat bagian luar, yang pada akhirnya

II - 31
akan menentukan kinerja campuran aspal, dimana kadar aspal efektif (Pbe) dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan :

Pab
Pbe = Pbt – ( x Pagg) ............................................... (2.8)
100
Keterangan :
Pbe = Kadar aspal efektif , persen total campuran
Pbt = Kadar aspal, persen total campuran
Pba = Penyerapan aspal, persen total aggregat
Pagg = Kadar aggregat, persen total campuran

2.9.5 Aspal Terserap Oleh Aggregat (Pbabs)


Jumlah aspal yang terabsorbsi oleh aggregat biasanya dinyatakan dalam
persentase berat terhadap berat total aggregat, tidak dalam persentase terhadap berat
total campuran. Dengan demikian, definisi banyaknya aspal yang terabsorbsi dapat
dilihat pada persamaan :

Gse −Gsb x Gsb


Pbabs = x 100 ............................................... (2.9)
Gsg − Gse

Keterangan :
Pbabs = Banyaknya aspal yang terserap oleh aggregat
Gsb = Berat jenis bulk aggregat
Gse = Berat jenis efektif aggregat

2.9.6 Berat Jenis Maksimum Campuran


Dalam spesifikasi terdahulu, besarnya nilai Gmm yaitu berat jenis maksimum
campuran beraspal dimana rongga udara dalam campuran dianggap nol, berat jenis
maksimum campuran beraspal dapat dihitung secara teoritis dengan menggunakan
persamaan :
W total
Gmm = W total (1−Pbt ) W total x Pbt x 100 ............................... (2.10)
+
Gse Gbt

Keterangan :
W total = Berat total campuran
Pbt = Kadar aspal, persen terhadap berat total campuran
Gse = Berat jenis efektif aggregat
Gbt = Berat jenis aspal

II - 32

Anda mungkin juga menyukai