Anda di halaman 1dari 6

Partai Politik Dalam Pandangan Islam

Partai Politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisisr yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia). Disini terlihat ada
beberapa unsur yang penting, yakni: orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi
satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.

Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:
Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik, yakni: Partai menyalurkan aneka ragam pendapat
dan aspirasi masyarakat. Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik, yakni: Memberikan sikap,
pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang
terjadi di tengah masyarakat. Ketiga, sebagai sarana rekrutmen anggota. Keempat, sebagai sarana
pengatur konflik.

Analisis terhadap kondisi aktual (Tahlil al-ahwal al-mu’ashir) :


Bagi orang yang mengaku sebagai anak bangsa Indonesia, mungkin bertanya “Indonesia adalah
negeri Muslim terbesar, namun mengapa Islam tidak begitu laku, bahkan dipinggirkan dalam
kampanye-kampanye (campaigns) dewasa ini ?”. jawaban hal tersebut adalah:
Pertama, kita harus mengakui –berdasarkan pemikiran yang tepat-, bahwa partai-partai yang berkuasa
lebih bercorak sekular dan wathaniyah (kebangsaan yang sempit). Konsekuensinya, aturan yang
berlaku adalah sisa peninggalan kolonial Belanda. Juga, Ekonomi yang kapitalistik, yakni menjadikan
kesenjangan yang sangat antara si kaya dan si miskin, begitupun kekayaan alam negeri ini di kuasai
asing yang semuanya dilegalkan oleh partai-partai tadi, lewat anggotanya yang ada di parlemen.
Kedua, partai-partai Islam yang ada –menurut Jefery Giovani dari Indonesian Institute– tidak
memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Contohnya, ketika mensikapi fenomena kepala negara
perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih, semua terserah rakyat.” Pada saat didesak
pendapatnya tentang Formalisasi Syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan
dan kesetaraan.” Kalau demikian jawabannya, maka umat akan menilai bahwa, partai-partai Islam
tersebut, tidak ada bedanya dengan partai-partai pada umumnya.
Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukan bagi pemenangan pemilu. Konsekuensinya
kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang pemilu saja.
Keempat, tidak memiliki metode yang jelas. Sehingga terjadi koalisi yang kurang sehat, seperti koalisi
partai Islam dengan partai nasionalis anti Islam dan bahkan di daerah tertentu ada partai Islam yang
berkoalisi dengan partai Kristen –yang jelas-jelas anti Syariah-. Aneh bukan!!
Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat diantara para anggotanya. Ikatan yang ada hanya kepentingan,
konsekuensinya kita lihat banyaknya partai-partai Islam yang berpecah belah dan tidak kompak.
Keenam, harus diakui, bangsa ini mengalami krisis figur, bahkan termasuk perilaku sebagian anggota/
pengurus partai yang tidak mencerminkan partai Islam sesungguhnya. Seperti, aliran dana untuk DPR
termasuk yang tidak jelas asalnya, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Padahal kita semua tahu
hukum risywah (suap) adalah haram.
Inilah beberapa penyebab kegagalan partai, terutama partai Islam. Karenanya, siapapun harus belajar
dari kesalahan-kesalahan tersebut.

Memaknai Partai Politik Islam (At-Ta’rif li Hizb as-Siyasiy al-Islamiy)


Pengertian partai politik diatas merupakan definisi yang masih umum. Adapun definisi partai
politik Islam, secara bahasa: Hizb[un] adalah, Hizbullah, athba’uhu (pengikutnya), fariq (kelompok),
millah, dan rohth (kumpulan orang). (Imam Jalalayn dan al-Qurthubiy). Sementara dalam al-Muhith
disebutkan: “Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut
dan pendukungnya yang mempunyai satu pandangan dan satu nilai”. Imam ar-Razi dalam Mafatih al-
Ghaib : “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam
kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya.”
Adapun terkait makna politik (Siyasah) disebutkan dalam kamus al-Muhith bahwa as-Siyasah
(politik) berasal dari kata: Sasa-Yasusu-Siyasatan bima’na ra’iyatan (pengurusan). Dalam Lisan al-
Arab juga disebutkan as-Siyasah adalah, al-qiyamu ‘ala bima yashluhuhu (politik adalah melakukan
sesuatu yang bisa memberikan mashlahat padanya). Dengan demikian politik adalah: mengurusi
urusan ummat dengan aturan tertentu. Kata politik (Siyasah) juga telah dinyatakan oleh Rasulullah
saw. sebagai berikut:

Dahulu bani Israil diurus oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang
lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, dan kelak akan ada banyak Khalifah yang banyak
(disetiap masanya bergiliran) (HR. Al-Bukhari).

Dalam Fath al-Bariy Syarah Shahih al-Bukhari, maksud Siyasah dalam hadits diatas adalah:
“(mereka diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di tengah-tengah mereka,
Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi yang menegakkan urusan mereka dan
menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat Isyarat, bahwa
harus ada orang yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat melewati
jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang ter-zhalimi dari pihak yang zhalim”

Berdasarkan makna Hizbun dan Siyasah tadi, maka partai politik adalah: suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama
dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Atau merupakan kelompok yang berdiri diatas sebuah
landasan ideologi (Islam) yang diyakini oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di
tengah masyarakat.

Karakteristik Partai Politik Islam :


Allah swt. mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:

1. QS Ali Imraan: 159


ِ E‫ر لَهُ ْم َو َش‬Eْ ِ‫تَ ْغف‬E‫اس‬
‫م فِي‬Eُْ‫اورْ ه‬ ْ ‫اعْفُ َع ْنهُ ْم َو‬EEَ‫ك ف‬ ِ ‫ظَ ْالقَ ْل‬E‫ َغلِي‬E‫ا‬Eًّ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِمنَ هَّللا ِ لِ ْنتَ لَهُ ْم َولَوْ ُك ْنتَ فَظ‬
ُّ َ‫ب ال ْنف‬
َ Eِ‫وا ِم ْن َحوْ ل‬E‫ض‬
)١٥٩( َ‫األ ْم ِر فَإِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكلِين‬
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159)1[1]

Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi,
kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Isi Kandungan QS. Ali Imran : 159, dalam berdakwah seorang muslim/Mukmin hedaknya:
1. Menggunakan cara pendekatan Persuasif (pleksibel), bijaksana, santun, dan lemah lembut.
2. Bersikap demokratis, menghargai pendapat orang lain, tidak ingin menang sendiri.
3. Selalu memaafkan, dan meminta maaf, bermusyawarah dalam segala hal dengan orang lain
4. Selalu bertukar fikiran untuk menambah wawasan dan menyelesaikan setiap permasalahan

1
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang menkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS.
Ali ‘Imran [3]: 104)

Menurut Imam al-Qurthubiy, ummah dalam ayat ini adalah kelompok karena adanya lafadz
minkum (diantara kalian). Imam ath-Thabari, menafsirkannya dengan: “(Wal takun minkum) Ayuhal
mu’minun (ummatun) jama’atun”, (hendaklah ada diantaramu (wahai orang-orang yang beriman) umat
(jamaah yang mengajak pada hukum-hukum Islam).
Sedangkan al-Khair menurut Imam Jalalayn adalah al-Islam,

adapun menurut Ibn Katsir, al-Khair adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.


Menurut Intelektual muda seperti Hafidz Abdurrahman dalam bukunya Diskursus Islam Politik
Spiritual, setelah beliau menganalisis penafsiran para ulama tentang surah Ali Imran diatas, sampailah
pada suatu kesimpulan, bahwa yang dimaksud menegakkan kemakrufan (ya’muruna bi al-ma’ruf) dan
mencegah kemunkaran (yanhauna ‘an al-munkar) adalah: semua bentuk kemakrufan dan semua bentuk
kemunkaran, baik kemunkaran yang dilakukan oleh pribadi, kelompok maupun negara. Juga meliputi
kemakrufan yang diserukan kepada pribadi, kelompok maupun negara.

Tugas tersebut, pada hakikatnya merupakan bentuk aktifitas politik, karenanya dari sinilah
wajibnya mendirikan partai politik yang berasaskan Islam.
Walhasil, partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-
ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya
mencontoh metode (thariqah) Rasulullah saw.

Tujuan partai Islam ini, tentu bukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang meraih
kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah sistem sekular menjadi sistem
yang diatur oleh syariah Islam. Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisisr menjadi satu
kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah
didasarkan dan bersumber dari Islam.

Karenanya, partai Islam yang Ideologis mempunyai beberapa karakter, diantaranya:


1. Dasarnya adalah Islam. Hidup dan matinya adalah untuk Islam
2. Para anggotanya berkepribadian Islam, mereka berpikir dan beraksi berdasarkan Ideologi Islam,
yang dihsilkan dari pembinaan yang dilakukan oleh mereka dalam memahami Islam sebagai sebuah
Ideologi yang harus diterapkan.

3. Memiliki amir/ pimpinan partai yang memiliki pemahaman yang menyatu dan mendalam
terhadap Islam. Yang ia dipatuhi selama sesuai dengan al-Quran dan Sunnah.

4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki
konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial,
sistem pendidikan, politik luar dan dalam negeri dll. Semuanya harus tersedia dan siap untuk
disampaikan kepada masyarakat, hingga mereka menganggap penerapan semua sistem tersebut
menjadi kebutuhan bersama.

5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. yakni. Pertama, melakukan pembinaan pengkaderan dengan pemahaman Ideologi
Islam, beserta metode penerapannya. Kedua, bergerak dan berinteraksi bersama masyarakat, sehingga
kader-kader partai menyatu bersama pola pikir dan pola sikap masyarakat. Artinya: kader-kader partai
tersebut, harus mengopinikan Islam ketengah-tengah masyarakat apa adanya dan tanpa ditutup-tutupi.
Selain itu kader partai juga harus, melakukan perjuangan politik, yakni, membongkar konspirasi jahat
untuk menghancurkan wilayah kaum muslim, juga pergolakan pemikiran, yakni, menentang ide-ide
kufur, seperti Demokrasi, Kapitalisme, Sosialisme juga Komunisme, karena semuanya memang
bertentangan dengan Islam. Ketiga, menegakkan syariah Islam secara total dengan dukungan dan
bersama dengan rakyat, hal tersebut akan tercapai bilamana masyarakat secara alami sudah rindu
diatur oleh syariah Islam, karena mereka meyakini syariah merupakan solusi bagi seluruh
problematika kehidupan.

Jalan Perubahan
Secara umum ada dua jalan yang ditempuh dalam merubah sistem sekular menjadi Islam.
Pertama, jalan parlemen. Jalan ini menggunakan logika linier, yaitu partai politik ikut dalam parlemen
untuk merumuskan perundang-undangan sesuai dengan syariah. Namun fakta menunjukan jalan ini
tidak menuju kepada perubahan total, tapi hanya bersifat parsial.

Karena posisi partai ini, secara sistemik telah dibuat tidak independen, tidak berkutik untuk
bisa merubah sistem, hal tersebut nampak dalam sistem Pemilu yang hanya mengganti orang tapi tidak
mengganti sistem. Partai yang masuk ke-parlemen ini, tentu telah “disandera” oleh Demokrasi, dengan
ratifikasi-ratifikasi yang berisi klausul-klausul dan regulasi-regulasi tertentu yang mereka tidak bisa
mengubahnya. Jangankan untuk merubah sistem, untuk menolak kenaikan BBM pun, nampaknya
partai Islam maksimal hanya bisa Interpelasi tanpa aplikasi.

Selain itu juga, ketika Rasulullah saw. ditawari oleh para Pemuka Quraisy untuk meninggalkan
dakwah dan bergabung dengan “Parlemen” Makkah Bani Quraisy, serta-merta Rasulullah saw.
menolak, dan bersabda:

Demi Allah, seaindanya matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar
aku menanggalkan perkara (dakwah) ini, aku tidak akan meninggalkannya hingga agama ini tegak atau
aku mati karena (membela jalan)-Nya. (HR. Ibn Hisyam, dalam As-Sirah an-Nabawiyah)

Jalan kedua adalah, jalan perubahan melalui jalan ummat (‘an thariq al-ummah). Metode ini
adalah metode yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. metode tersebut berupa pembinaan umat
Islam dan berinteraksi dengan mereka hingga terbentuk kesadaran umum pada diri mereka, bahwa
mereka adalah umat yang terbaik untuk seluruh manusia, lalu muncul pula kesadaran bahwa masalah
utama umat Islam saat ini adalah mengembalikan Khilafah Islam yang akan menerapkan Syariah Allah
di dalam negeri, mengemban risalah Islam keseluruh dunia, dan menyatukan umat di bawah panji la
ilaha ilallah. Umat pun sadar bahwa mengembalikan Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-
nushrah (mencari dukungan), yakni penyampaian Islam yang ditujukan kepada ahl al-Quwwah dan
pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, melalui media massa
dsb. Melalui pendekatan intensif mereka semua sepakat dengan syariah dan mendukung perjuangan
partai bersama rakyat.

Sejatinya aktifitas ini tidak akan terbendung. insyaAllah umat dan ahl al-Quwwah akan secara
alami -dengan kesadarannya- untuk mengganti sistem yang ada, seperti yang telah terjadi pada masa
Rasulullah saw. ketika opini umum tentang Syariah menggema di seantero Madinah, walaupendiduduk
Madinah kala itu belum bertemu Rasul,hal ini yang semestinya menjadi, renungan bagi Partai-partai
yang berbasis Islam maupun ke-Islam-Islaman.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan
dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam
adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam
menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat
diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan
yang keluar dari ketetapan Hukum Allah.
Oleh karena itu, maka perlu sebuah sistem yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1.      Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2.      Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3.      Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4.      Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi   pertimbangan utama dalam
musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk
memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan
tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada
pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5.      Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah
ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6.      Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai   agama.
7.      Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
MAKALAH PARTAI POLITIK MENURUT
PANDANGAN ISLAM

ROBBI’UL CHOFIYANA
30/ XII MIPA 4

Anda mungkin juga menyukai