Anda di halaman 1dari 31

GAGAL GINJAL AKUT

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata berbentuk mirip kacang, sebagai bagian dari
system urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran(terutama urea) dari darah dan membuangnya
bersama dengan air dalam bentuk urin. Progresivitas penurunan fungsi ginjal berbeda-beda, yaitu
dapat berkembang cepat atau lambat.
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA, acute
renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun
terakhir menunjukkan peningkatan insidens. Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan
dengan peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan
dapat terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat
meningkatnya populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya
jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan terapeutik yang lebih
agresif.
Gagal ginjal akut ialah suatu sindroma klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal yang
terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam-hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme
nitrogen dan non nitrogen. Diagnosis GGA berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditegakkan
bila terjadi peningkatan secara mendadak kreatin serum 0,5 mg% pada pasien dengan kadar
kreatinin awal <2,5 mg% atau meningkat >20% bila kreatinin awal >2,5 mg%.
Penyebab dari GGA ini dapat dibagi menjad 3, yaitu penyebab pre renal, renal, dan post
renal. GGA post renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post renal disebabkan oleh
obstruksi intrarenal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat,
oksalat, sulfonamid) dan protein (mioglobin , hemoglobin). Obstruksi ekstra renal dapat terjadi
pada pelvis-ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papila) dan ekstrinsik
(keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis), serta pada kandung kemih (batu, tumor,
hipertrofi/ keganasan prostat), dan uretra.
GGA post renal terjadi bila terjadi obstruksi akut pada uretra, buli-buli dan ureter bilateral,
atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi.

1.2  RUMUSAN MASALAH


Makalah ini membahas definisi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan gagal
ginjal akut.

1.3  TUJUAN PENULISAN


Untuk dapat lebih memahami definisi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan
gagal ginjal akut.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANATOMI & FISIOLOGI GINJAL
ANATOMI GINJAL
Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilicus dan
kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 gr pada bayi cukup bulan
sampai 12 cm atau lebih dan 150 gr pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks
yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimal-distal dan duktus kolektivus, serta di lapisan
dalam, medulla, yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa) henle,
vasa rekta dan duktus koligens terminal.

Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang keluar
dari aorta; arteri renalis multiple bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri renalis utama membagi
menjadi bercabang-cabang segmental dalam medulla, dan arteri-arteri ini menjadi arteri
interlobaris yang melewati medulla ke batas antara korteks dan medulla. Pada daerah ini, arteri
interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, yang berjalan sejajar dengan permukaan ginjal.
Arteri interlobaris berasal dari arteri arkuata dan membenntuk arteriole aferen glomerulus. Sel-
sel otot yang terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian
distal tubulus (macula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk apparatus
jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi urin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman
kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole eferen
glomerulus dekat medulla (glomerulus jukstamedulari) lebih besar daripada arteriole di korteks
sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rekta) ke tubulus dan medulla.
Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (glomerulus dan tubulus terkait). Pada
manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi maturasi fungsional belum
terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada nefron baru yang dapat dibentuk sesudah lahir,
hilangnya nefron secara progresif dapat menyebabkan inusfisiensi ginjal.
Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai mekanisme penyaring
ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel endothelium yang mempunyai sitoplasma sangat tipis
yang berisi banyak lubang (fenestrasi). Membrane basalis glomerulus (MBG) membentuk
lapisan berkelanjutan antara endotel dan sel mesangium pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi
yang lain. Membrane ini mempunyai 3 lapisan :
         Lamina densa yang sentralnya padat-elektron
         Lamina rara interna, yang terletak diantara lamina densa dan sel-sel endothelial
         Lamina rara eksterna, yang terletak diantara lamina densa dan sel-sel epitel

Sel epitel viscera menutupi kapiler dan menonjolkan ‘tonjolan kaki’ sitoplasma, yang
melekat pada lamina rara eksterna. Diantara tonjolan kaki ada ruangan atau celah filtrasi.
Mesangium terletak diantara kapiler-kapiler glomerulus pada sisi endotel membrane basalis dan
membentuk bagian tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur
pendukung pada kapiler glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran
darah glomerulus, filtrasi dan pembuangan makromolekul (seperti kompleks imun) dari
glomerulus, melalui fagositosis intraseluler atau dengan pengangkutan melalui saluran
intraseluler ke daerah jukstaglomerulus. Kapsula bowman, yang mengelilingi glomerulus, terdiri
dari 1. Membrana baslis, yang merupakan kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus
dan tubulus proksimalis, 2. Sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel
viscera.

Filtrasi Glomerulus
Saat darah melewati kapiler glomerulus, plasmanya difiltrasi melalui dinding kapiler
glomerulus. Ultrafiltrat, yang bebas sel, mengandung semua substansi dalam plasma (elektrolit,
glukosa, fosfat, urea, kreatinin, peptide, protein dengan berat molekul rendah), kecuali protein
(seperti albumin dan globulin) yang mempunyai berat molekul lebih dari 68.000. filtrate
terkumpul di ruang bowman dan masuk tubulus, dimana komposisinya diubah sesuai dengan
kebutuhan tubuh sampai filtrate tersebut meninggalkan ginjal sebagai urin.
Filtrasi glomerulus adalah hasil akhir dari gaya-gaya yang berlawanan melewati dinding
kapiler. Gaya ultrafiltrasi (tekanan hidrostatis kapiler glomerulus) berasal dari tekanan arteri
sistemik, yang di ubah oleh tonus arteriole aferen dan eferen. Gaya utama yang melawan
ultrafiltrasi adalah tekanan onkotik kapiler glomerulus, yang dibentuk oleh perbedaan tekanan
antara kadar protein plasma yang tinggi dalam kapiler dan ultrafiltrat yang hampir saja bebas
protein dalam ruang bowman. Filtrasi dapat diubah oleh kecepatan aliran plasma glomerulus,
tekanan hidrostatis dalam ruang bowman, dan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus.
Permeabilitas, seperti yang diukur dengan koefisien ultrafiltrasi (K1) adalah hasil kali
permeabilitas air pada membrane dan luas permukaan kapiler glomerulus total yang tersedia
untuk filtrasi.
Meskipun filtrasi glomerulus telah dimulai sekitar minggu ke 9 kehidupan janin, fungsi
ginjal tampaknya tidak diperlukan untuk homeostasis intrauteri normal, plasenta berperan
sebagai organ ekskresi utama. Setelah lahir, kecepatan filtrasi glomerulus naik sampai
pertumbuhan berhenti pada akhir umur decade ke-2. Untuk mempermudah perbandingan
kecepatan filtrasi glomerulus (KFG) anak dan orang dewasa, kecepatan tersebut distandarisasi
terhadap luas permukaan tubuh (1,73 m2) dari orang dewasa berat 70 kg. Bahkan setelah koreksi
terhadap luas permukaan tubuh, KFG anak tidak mendekati nilai KFG dewasa sampai usia tahun
ke 3.
KFG dapat diperkirakan dengan pengukuran kadar kreatinin serum. Kreatinin berasal dari
metabolism otot. Produksinya relative konstan, dan sekresinya terutama melalui filtrasi
glomerulus (meskipun sekresi tubulus mungkin menjadi penting pada insufisiensi ginjal).
Berbeda dengan kadar nitrogen urea darah, kadar kreatinin serum dipengaruhi secara minimal
oleh beberapa faktor (kesetimbangan nitrogen, keadaan hidrasi) selain fungsi glomerulus.
Kreatinin serum berharga untuk menilai KFG pada keadaan yang mantap (misalnya, sesaat
setelah mulainya gagal ginjal akut dan penghentian curah urin penderita dapat mempunyai kadar
kreatinin yang normal tetapi fungsi ginjalnya tidak efektif). Kadar kreatinin serum selanjutnya
terganggu oleh kenyataan bahwa kadarnya tidak naik di atas normal sampai kecepatan filtrasi
turun dibawah 70% normal.
KFG sebaiknya ditetapkan dengan cara pengukuran klirens kreatinin atau dengan
memakai rumus sebagai berikut :
KFG = k* x tinggi badan (cm) / kreatinin serum (mg/dl)
k* : BBLR < 1 tahun = 0,33
Aterm < 1 tahun = 0,45
1-12 tahun = 0,55
Perempuan 13-21 tahun = 0,57
Laki-laki 13-21 tahun = 0,70

Fisiologi Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi
glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus.
Fungsi utama ginjal terbagi menjadi :
1.      Fungsi ekskresi
        Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi air.
        Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk
kembali HCO3ˉ
        Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal.
        Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama urea, asam urat dan
kreatinin.
        Mengekskresikan berbagai senyawa asing, seperti : obat, pestisida, toksin, & berbagai zat
eksogen yang masuk kedalam tubuh.
2.      Fungsi non ekskresi
         Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.
         Menghasilkan kalikrein, suatu enzim proteolitik dalam pembentukan kinin, suatu vasodilator
         Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam stimulasi produk sel darah
merah oleh sumsum tulang.
         Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
         Sintesis glukosa dari sumber non-glukosa (glukoneogenesis) saat puasa berkepanjangan.
         Menghancurkan/menginaktivasi berbagai hormone, seperti : angiotensin II, glucagon, insulin, &
paratiroid.
         Degradasi insulin.
         Menghasilkan prostaglandin

Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan substansi
yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi yang paling penting untuk
dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain
itu ion-ion natrium, kalium, klorida dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam
tubuh secara berlebihan.

Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak diperlukan dalam
tubuh adalah :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan menghasilkan cairan
filtrasi.
2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak diperlukan tidak akan
direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan
kapiler peritubulus.
Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi yang tidak
diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi
dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi
urine yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi
dan juga sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi.

2.2  DEFINISI
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi
ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang
menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau
tanpa disertai oliguri. Tergantung dari keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi
sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti asidosis dan
hiperkalemia, gangguan keseimbangan cairan serta dampak terhadap berbagai organ tubuh
lainnya. Diagnosis GGA berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditegakkan bila terjadi
peningkatan secara mendadak kreatinin serum 0,5 mg% pada pasien dengan kadar kreatinin awal
<2,5 mg% atau meningkatkan >20% bila kreatinin awal >2,5mg%.
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA, acute
renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun
terakhir menunjukkan peningkatan insidens. Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan
dengan peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan
dapat terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat
meningkatnya populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya
jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan terapeutik yang lebih
agresif.
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48 jam)
ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L) atau meningkat
sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam. Suatu kondisi
penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan.
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
Penurunan LFG dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI “klasik”) atau
tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu hal tersebut dikatakan sebagai gagal
ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam sehingga parameter dan batas
parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Atas dasar
hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan
intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI.
Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat
awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal.
Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria
diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr)
serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi
penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali
mendahului peningkatan Cr serum; (4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum,
UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal
yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja.
2.3  ETIOLOGI
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1)
penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat
terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)
AKI Prarenal I. Hipovolemia
        Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
        Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi
        usus
        Kehilangan darah
        Kehilangan cairan ke luar tubuh
        Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran
        kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
        (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
        Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
        Penyebab perikard: tamponade
        Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
        Aritmia
        Penyebab katup jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
        Penurunan resistensi vaskular perifer
        Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan
        (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
        Vasokonstriksi ginjal
        Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
        amphotericin B
        Hipoperfusi ginjal lokal
        Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
        Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
        Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi
        kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna),
        penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi
        tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,
        sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
        Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
        Penggunaan penyekat ACE, ARB
        Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
       Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal I. Obstruksi renovaskular
        Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
        diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis,
        kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
        Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
        Iskemia (serupa AKI prarenal)
        Toksin
        Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
        pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis,
        asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
        Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri,
        viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
        idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
        Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
AKI pascarenal I. Obstruksi ureter
        Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
        Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan,
darah
III. Obstruksi uretra
        Striktur, katup kongenital, fimosis
2.4  KLASIFIKASI
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang
menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan
prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Roesli R, 2007).
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007
Kategori Peningkatan kadar SCr Penurunan LFG Kriteria UO
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24
jam
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
minggu

End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3


Bulan
2.5  PATOFISIOLOGI
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri dari kapsula
Bowman yang mengitari kapiler glomerolus, tubulus kontortus proksimal,
lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri
k e d u k t u s  pengumpul.

Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus


relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme
yang berperan dalam autoregulasi ini adalah (9):
         Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
         Timbal balik tubuloglomerular.
Selain itu, norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi otoregulasi.
(Sudoyo dkk, 2007)

AKI Pra Renal


Pada AKI pra renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi,
akan terjadi penurunan tekanan darah yang mengaktivasi baroreseptor kardiovaskularyang
selanjutnya mengaktivasi sistim saraf simpatis, sistim renin-angiotensin serta merangsang
pelepasan vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk
mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi ginjal. Pada keadaan ini
mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik,
prostaglandin, dan nitrit oxide (NO), serta vasokontriksi arteriol afferen yang terutama
dipengaruhi oleh angiotendin-II dan ET-1. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri
rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka mekanisme
otoregulasi tersebut akan terganggu dimana arteriol afferen mengalami vasokontriksi, terjadi
kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini disebut pre renal
atau acute kidney injury fungsional belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. (Sudoyo dkk,
2007)
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostatis intrarenal menjadi normal
kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACE inhibitor,
NSAID terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin
2mg/dL sehingga dapat terjadi acute kidney injury pre renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada
kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretik, sirosis hati, dan gagal jantung. Perlu diingat
bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan resiko AKI pra
rena; seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal
polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. (Sudoyo dkk, 2007)

AKI Renal
Pada AKI renal, terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut
(NTA), dimana pada NTA terjadi kelainan vaskular dan tubular
Kelainan vaskular
Pada kelainan vaskular terjadi:
1.      Peningkatan Ca2+ sitosolik dan arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan sensitifitas
terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
2.      Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular ginjal
yang mengakibatkan peningkatan angiotensin II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan
ketersediaan nitrit oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.
3.      Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor (TNF) dan interleukin-18 (IL-18),
yang selanjutnya meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari
sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Keseluruhan proses di atas secara bersama-
sama menyebabkan vasokontriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR. (Sudoyo
dkk, 2007)

Patofisiologi acute kidney injury di renal.

Kelainan Tubular
Pada kelainan tubular terjadi:
1.      Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain sostolik phospholipase A2 serta
kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan sitoskeleton. Keadaan ini akan
mengakibatkan penurunan basolateral Na+/K+-ATPase yang selanjutnya menyebabkan penurunan
reabsorbsi natrium di tubulus proksimalis serta terjadi pelepasan NaCl ke makula densa. Hal
tersebut mengakibatkan peningkatan umpan tubuloglomerular.
2.      Peningkatan NO yang berasal dari inducable NO sintase, caspases, dan metalloproteinase serta
defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel.
3.      Obstruksi tubulus, mikrovili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan
membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalm hal ini pada thick assending limb diproduksi
Tamm-Horsfall protein (THP) yang disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang
kemudian berubah menjadi polimer yang akan membentuk materi berupa gel dengan adanya
natrium yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel polimerik THP bersama sel
epitel tubulus yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik, maupun yang apoptopik, mikrovili dan
matriks ekstraseluler seperti fibronektin akan membentuk silinder-silinder yang akan
menyebabkan obstruksi tubulus ginjal.
4.      Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler
masuk ke dalam sirkulasi peritubuler.
Keseluruhan proses tersebut di atas secara bersama-sama yang akan menyebabkan
penurunan LFG. (Sudoyo dkk, 2007)

AKI Post Renal


Merupakan 10% dari kejadian keseluruhan AKI. AKI post renal disebabkan oleh obstruksi
intrarenal dan ekstra renal. (Sudoyo dkk, 2007)
Obstruksi intrarenal
Terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein (mioglobin dan
hemoglobin) (Sudoyo dkk, 2007)
Obstruksi ekstrarenal
Dapat terjadi pada pelvus ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla)
dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih
(batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (striktura). (Sudoyo dkk, 2007)
AKI post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter
bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase
awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan
peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh  prostaglandin-E2.
Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah
normal akibat pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. T e k a n a n pelvis ginjal tetap
meningkat tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ke-3 atau fase kronik,ditandai oleh aliran
ginjal yang makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa
minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2
minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai
terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang
menyebabkan fibrosis interstisial ginjal. (Sudoyo dkk, 2007)

Batu pada ginjal

2.6  PENDEKATAN DIAGNOSIS


Anamnesis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan
di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau
merupakan suatu keadaan akut pada penyakit ginjal kronik (PGK). Beberapa patokan umum
yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi
penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit
(pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai.
Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal
bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. (Kasper et al,
2005) Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI,
dan penentuan komplikasi.

Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan urine output dan
berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, ACE
inhibitor dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan
takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering,
stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan
AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki
tanda AKI.
Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik
ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal
lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis,
glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri
sudut kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau
kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi
ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat
pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.
Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan
disfungsi saraf otonom. (Sudoyo dkk, 2007)

Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan
aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan
gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi
intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast, cast
yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan
glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular
cast pada nefritis interstitial.
Gambaran “muddy brown” granular cast

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI.

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan
menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%. Akibatnya,
ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi
pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium
(FENa = [(Na urin x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea
kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang
menggunakan diuretik, manitol, atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus
dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK
tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun
demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan
mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi
tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.
(Schrier, Poole, Mitra; 2004)
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan
urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan
pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos
abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. (Kasper et al,
2005)
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum
jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut
terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik,
seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain. (Kasper et al, 2005)

Peranan Penanda Biologis


Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosis AKI (Cr serum, LFG dan UO)
dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain:
1)                         Sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang berat
2)                         Tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik,
kerusakan glomerulus atau tubulus)
3)                         Tidak sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan
tidak baik dipakai sebagai parameter pemulihan.
Penghitungan LFG menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan
perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi kadar Cr serum yang stabil. Perubahan
kinetika Cr yang cepat terjadi tidak dapat “ditangkap” oleh rumus-rumus yang ada. Penggunaan
kriteria UO tidak menyingkirkan pengaruh faktor prarenal dan sangat dipengaruhi oleh
penggunaan diuretik. Keseluruhan keadaan tersebut menggambarkan kelemahan perangkat
diagnosis yang ada saat ini, yang dapat berpengaruh pada keterlambatan diagnosis dan tata
laksana sehingga dapat berpengaruh pada prognosis penderita.
Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara
dini sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI,
menentukan derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI. Penanda biologis dari
spesimen urin yang saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni penanda
inflamasi (NGAL, IL-18), protein tubulus (kidney injury molecule [KIM]-1, Na+/H+ exchanger
isoform 3), penanda kerusakan tubulus (cystatin C, a-1 mikroglobulin, retinol-binding protein,
NAG). (Han et al, 2008; Coca et al, 2008)
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa:
         IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI
         NGAL, IL-18, GST-p ð, dan g-GST merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI
         NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI. (Coca et
al, 2008)
Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel
pemeriksaan beberapa penanda biologis. Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang
beredar di Indonesia. (Roesli, 2007)
2.7  PENATALAKSANAAN
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status
katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti
pada tabel berikut:
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)
2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obatobatan
tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-
ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain
itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan
dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah
keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan
ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada
keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan
cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian
dari tata laksana AKI adalah:
a.       Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi.
Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan
isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.
b.      Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal.
Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12
jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat,
dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan
lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas (Robert, 2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga
dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegunaan
manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat
nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek
negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain
menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak
memperbaiki prognosis pasien (Sja’bani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata
laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis
rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase
dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis
tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat
perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang
baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat
tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta
abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga
beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal”
seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia,
iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan,
pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat
perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas.
Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai
indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010).

Komplikasi dan Penatalaksanan


Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai
dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Penatalaksanaan Komplikasi AKI (Robert, 2010)


TERAPI PENGGANTI GINJAL
Yang dimaksud Terapi Pengganti Ginjal (TPG) adalah usaha untuk menggantikan fungsi
ginjal penderita yang telah menurun dengan menggunakan ginjal buatan (dialisis/hemofiltrasi).
Pada TPG seperti dialysis atau hemofiltrasi yang dapat diganti hanya fungsi eksokrin dan fungsi
pengaturan cairan dan elektrolit, serta ekskresi sisa-sisa metabolisme protein. Sedangkan fungsi
endokrin seperti fungsi pengaturan tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal
maupun integritas tulang tidak dapat digantikan oleh jenis terapi ini. Indikasi TPG pada penderita
gagal ginjal akut sangat berbeda bila dibandingkan dengan indikasinya pada gagal ginjal
terminal. Indikasi TPG pada gagal ginjal akut adalah untuk mempertahankan homeostasis tubuh
(live or organ saving) dengan melakukan perbaikan terhadap gangguan-gangguan homeostasis
yang terjadi, disamping dapat menghindari terjadinya overhidrasi akibat pengobatan. Sedangkan
pada gagal ginjal terminal adalah untuk menggantikan fungsi ginjal secara permanent. Dibawah
ini daftar indikasi TPG untuk penderita gagal ginjal akut:
Kriteria awal untuk pasien kritis dewasa yang memerlukan terapi pengganti ginjal:
         Oliguria (output urin 200ml/12 jam)
         Anuria (output urin <50 ml/12 jam)
         Hiperkalemia (K+ >6,5 mmol/L)
         Asidemia berat (pH <7,1)
         Azotemia (urea >30 mmol/L)
         Organ signifikan (edema paru)
         Ensefalopati uremia
         Perikarditis uremia
         Neuropati/miopati uremia
         Disnatremia berat (Na >160 atau <15 mmol/L)
         Hipertermi
         Overdosis obat dengan toksin dialysis.

Adanya salah satu gejala pada tabel diatas sudah dapat menjadi indikasi untuk melakukan
TPG. Adanya dua atau lebih gejala menjadi indikasi kuat untuk segera melakukan TPG.
Ada berbagai jenis TPG yang dapat digunakan untuk penderita gagal ginjal akut kritis.
Dewasa ini CRRT (Continous Renal Replacement Therapy) dan SLED (Sustained Low
Efficiency Dialysis) adalah teknik TPG yang paling sering digunakan. Masing-masing TPG
mempunyai indikasi yang spesifik, derajat kesulitan dalam teknik, monitoring yang berbeda,
serta perbedaan dalam biaya pengobatan yang dibutuhkan.
Berdasarkan prinsip translokasi ion ada 2 jenis TPG, yaitu:
         Dialisis (Hemodialisis, dialysis peritoneal), prinsip dasarnya adalah osmosis/ dialysis,
dibutuhkan cairan dialisat.

Dialysis peritoneal
Dialysis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien
GGA, menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel.

Prinsip dasar dialisis peritoneal


Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai kateter peritoneum untuk dipasang pada
abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum
douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan ke dalam kavum peritoneum melalui
kateter tersebut. Membran peritoneum bentindak sebagai membran dialisis yang memisahkan
antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di
peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium, dan toksin lain yang dalam
keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam
plasma darah karena kadarnya yang tinggi akan melalui difusi melalui membran peritoneum dan
akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan oleh tubuh. Sementara itu
setiap waktu cairan dialisat yang sudah di keluarkan diganti dengfan cairan dialisat baru.
Cairan dialisat adalah cairan yang mengandung elektrolit dengan kadar seperti dalam
plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat : natrium, kalsium, magnesium,
klorida, laktat glukosa. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium karena
tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal.

Indikasi dialisis peritoneal


1.      dialisis peritoneal pencegahan : dilakukan setelah diagnosis GGA ditegakkan
2.      dialisis peritoneal dilakukan ats indikasi :
a.       indikasi klinis : keadaan umum jelek dan gejala klinis nyata
b.      indikasi biokimiawi : ureum darah > 200 mg % ; kalium < 6 mEq/ L ; HCO 3 < 10-15 mEq/ L ;
pH < 7,1
Keuntungan dialysis peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknis lebih
sederhana, cukup aman, serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga
dapat dilakukan disetiap rumah sakit.

         Filtrasi (CRRT) prinsip dasarnya adalah filtrasi/konveksi, dibutuhkan cairan substitusi.
CRRT merupakan terapi penggati ginjal yang berkesinambungan.
Prinsip dasar CRRT
Membuang (translokasi) zat- zat dengan kadar yang berlebihan keluar tubuh. Zat-zat ini dapat
berupa yang terlarut dalam darah (solute), seperti toksin ureum, kalium, dll. Atau zat peralutnya
yaitu air atau serum darah (solution). Di dalam proses CRRT tranlokasi terjadi di dalam ginjal
buatan (dialyzer), yang terdiri dari 2 kompartemen atau ruangan, yaitu kompartemen darah dan
kompartemen dialisa. Kedua kompartemen ini dibatasi oleh sebuah membran semipermeabel.
Perbedaan tekanan antara kedua kompartemen disebut trans membran pressure (TMP). Darah
dari dalam tubuh akan dialirkan ke kompartemen darah, sedang cairan dialisat dialirkan ke
kompartemen dialisat. Translokasi dapat terjadi dengan mekanisme difusi atau ultrafiltrasi.

2.8  PROGNOSIS
Kematian biasanya disebabkan karena penyakit penyebab, bukan gagal ginjal itu sendiri.
Prognosis buruk pada pasien lanjut usia dan bila terdapat gagal organ lain. Penyebab kematian
tersering adalah infeksi (30%-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-
20%), gagal napas 10%, dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya.( Price & Wilson. 2005)

BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48 jam)
ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L) atau meningkat
sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam. Suatu kondisi
penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan.
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1)
penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih (AKI pascarenal,~5%).
Gejala klinis dari AKIyang tampak adalah adanya oligouri , anuria, high output renal failure
BUN, dan kreatinin serum yang meningkat. Tujuan utama dari pengelolaan AKI adalah
mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi,
mencegah komplikasi metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai
faal ginjalnya sembuh secara spontan.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Bagshaw SM, George C, Bellomo R. 2008. A Comparison of The RIFLE and AKIN Criteria For
Acute Kidney Injury in Critically Ill Patients. Nephrol Dial Transplant
2.      Coca SG, Parikh CR. 2008. Urinary Biomarkers for Acute Kidney Injury: Perspectives on
Translation. Clin J Am Soc Nephrol.
3.      Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. 2005. Harrison’s
Principle of Internal Medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill
4.      Lattanzio MR and Kopyt NP. 2009. Acute Kidney Injury: New Concepts in Definition,
Diagnosis, Pathophysiology, and Treatment. University of Maryland Medical Center in
Baltimore and Nephrology Hypertension Associates of the Lehigh Valley
5.      Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
6.      Roesli R. 2007. Kriteria “RIFLE” Cara yang Mudah dan Terpercaya untuk Menegakkan
Diagnosis dan Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut. Ginjal Hipertensi
7.      Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute Renal Failure: Definitions, Diagnosis,
Pathogenesis, and Therapy. J. Clin. Invest.
8.      Sinto R, Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9.      Sudoyo AW dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
IPD FKUI

Anda mungkin juga menyukai