Anda di halaman 1dari 9

KEPEMIMPINAN INTEGRITAS

1. Birokrasi
Momentum perubahan struktur kepemimpinan birokrasi ini cukup membuat kepemimpinan birokrasi
yang menjabat sebelumnya gerah dan cukup harap-harap cemas, apakah akan dirotasi, diganti, atau
dinon-jobkan. Namun, sebagai sebuah konsekuensi akibat dari kinerja yang telah dikerjakan selama
pejabat birokrasi itu menjabat.

Perubahan struktur dalam tubuh kepemimpinan birokrasi ini bisa dinilai wajar, akan tetapi tentunya
tersimpan sebuah ekspektasi bahwa perubahan kepemimpinan birokrasi tersebut adalah terbebas dari
unsur politis, dimana kepala daerah secara leluasa menggunakan hak prerogatifnya tanpa melihat asas
kepatutan, kelayakan, dan profesionalitas, namun lebih melihat dari asas kedekatan secara politis dan
relasional. Selayaknya kepemimpinan birokasi itu diangkat dan dipilih menjadi sebuah pimpinan
birokrasi berdasarkan kinerja, profesionalitas, dan integritasnya dalam menjalankan tugas, tanpa
melihat sisi kedekatan politis atau relasional.

Dalam kajian kali ini, lebih menekankan dimensi integritas menjadi salah satu hal yang perlu
dipertimbangkan dan dinilai dalam memilih SKPD sebagai pimpinan birokrasi serta jajaran struktur di
bawahannya. Karena integritas publik dalam sosok kepemimpinan birokrasi merupakan unsur pokok
etika publik (Haryatmoko: 2011).

Dengan melihat sisi integritas publik dalam diri pejabat birokrasi publik, artinya kepala daerah
mempertimbangkan sisi etika yang dimiliki oleh pejabat birokrasi publik tersebut. Seorang pejabat
birokrasi publik dengan nilai etika yang baik, maka tentunya memiliki integritas yang baik. Dengan
integritas yang baik maka akan mudahlah seorang pejabat birokrasi publik tersebut menjalankan fungsi
pemerintahan dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi yang baik dalam melakukan pelayanan
terhadap publik.

Sebagaimana dijelaskan oleh Bennis (Pasolong: 2008), bahwa dalam rangka menciptakan kepemimpinan
birokrasi yang professional, minimal memiliki tiga hal yang penting untuk dipelajari. Pertama, pejabat
birokrasi harus memahami dan menghayati filosofi dari birokrasi sehingga visi misi birokrasi akan
menyatu menjadi karakter dalam diri pejabat birokrasi publik.

Ketika filosofi birokrasi telah menyatu dalam diri pejabat birokrasi, maka tugas yang dibebankan
kepadanya bukan lagi sebagai hal yang hanya menjalankan aturan atau rutinas belaka, namun menjadi
sebuah visi misi yang harus dicapai dengan penuh tanggungjawab dan dedikasi yang tinggi. Dalam
rangka menjalankan amanat dan tanggungjawab moral sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Sehingga akan menciptakan pejabat birokrasi yang memang bermental melayani publik.

Kedua, pemimpin birokrasi harus mampu membaca situasi dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut.
Pemimpin birokrasi yang ideal adalah pemimpin yang bukan saja mengetahui masalah, namun
memahami masalah kemudian benar-benar menciptakan sebuah solusi yang cerdas dalam
mengatasinya. Selain itu pemimpin birokrasi yang mampu memahami lingkungan di sekitarnya, akan
lebih mudah mengetahui adanya indikasi penyimpangan dan kegagalan dalam tubuh struktur birokrasi
tersebut, dan kemudian pemimpin birokrasi akan mencari solusi sehingga hal itu tak berkembang lebih
lanjut dan mengatasinya dengan sangat baik dan rapi.

Ketiga, pemimpin birokrasi harus mempunyai, antara lain 1) pengetahuan dan keterampilan teknis yang
dibutuhkan dalam proses kerja yang menjadi tanggungjawabnya. 2) pemimpin birokrasi tidak hanya
mampu menggerakkan pegawai, namun juga terutama sekali menggerakkan pegawai tersebut agar
bekerja secara efektif dan efisien yang disertai dengan kualitas yang memuaskan, 3) pemimpin birokrasi
harus memiliki pengetahuan psikologi tentang orang-orang yang dipimpinnya, dan 4) pemimpin
birokrasi juga harus memiliki pengetahuan teknologi.

2. Parsitifatif
Gaya kepemimpinan partisipatif Sanggar Satria pada pengembangan kerjasama telah tampak dari
adanya kerjasama dengan berbagai pihak baik internal maupun eksternal. Gaya kepemimpinan
partisipatif pimpinan Sanggar Satria dalam mekanisme pengambilan keputusan telah tampak melibatkan
partisipasi orang-orang di sekitarnya mulai dari pengurus, instruktur, orang tua siswa, bahkan siswa
itu sendiri. Gaya kepemimpinan partisipatif pimpinan Sanggar Satria dalam memberikan motivasi pada
bawahannya telah menjangkau seluruh komponen yang ada dalam sanggar baik secara materiil
maupun non materiil termasuk di dalamnya etos kerja pimpinan sebagai motivasi orang-orang di
sekitarnya. Gaya kepemimpinan partisipatif pimpinan Sanggar Satria dalam membangun komunikasi
dua arah telah terbangun sangat baik dengan pola hubungan yang penuh kekeluargaan. Gaya
kepemimpinan partisipatif pimpinan sanggar dalam menciptakan iklim kondusif sanggar tampak dari
caranya menarik dukungan orang-orang di sekitarnya melalui pemberian kesempatan keterlibatan
gagasan dan ide mereka dalam mekanisme rapat. Gaya kepemimpinan partisipatif pimpinan Sanggar
Satria dalam pemberdayaan bawahan meliputi pendelegasian kewenangan, pertanggungjawaban
tugas, dan pengakuan kerja. Fungsi kepemimpinan dalam penciptaan visi di Sanggar Satria telah
dijalankan oleh pimpinan sanggar dengan penciptaan visi yang melibatkan peran serta semua
pengurus melalui mekanisme yang prosedural. Fungsi kepemimpinan dalam menciptakan budaya
organisasi tampak pada kebebasan berkreasi, demokratis, saling percaya, disiplin, komunikasi yang
hangat, kekeluargaan, keterbukaan, dan menghargai senior. Fungsi kepemimpinan Sanggar Satria dalam
menciptakan sinergi terbukti telah lintas kalangan, baik internal maupun eksternal. Fungsi
kepemimpinan dalam penciptaan perubahan telah dilakukan oleh pimpinan sanggar dalam empat

yang menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan partisipatif berpengaruh positif terhadap efektivitas
dalam organisasi karena para pengikut dalam organisasi termotivasi oleh partisipasi yang dibuka
pimpinan organisasi dengan penerimaan pendapat mereka, saran, dan ide-ide dalam proses
pengambilan keputusan. Pemberian motivasi bagi organisasi seperti Sanggar Satria yang memiliki
kecenderungan menggunakan gaya kepemimpinan partisipatif adalah dalam rangka mengikat setiap
individu dalam kegiatan sanggar untuk secara bersama-sama aktif berpartisipasi mengembangkan
sanggar. Motivasi yang diberikan dalam berbagai bentuknya tersebut merupakan sebuah
pengakuan bahwa kehadiran orang lain, partisipasi mereka, keberadaan mereka dengan segala
sumber daya yang dimilikinya adalah aset yang dapat didayagunakan untuk kebesaran sanggar.
Melalui pembangunan komunikasi dua arah, pimpinan dapat bertukar fikiran, bertukar ide dan
gagasan, dan mampu memahami setiap permasalahan. Jalinan komunikasi dua arah juga memberikan
peluang minimnya konflik karena semua dapat secara leluasa mengungkapkan keberatan atau
ketidaksetujuannya. Penciptaan iklim kondusif dalam Sanggar Satria merupakan nilai soliditas yang
ditunjukkan dari partisipasi aktif semua komponen untuk mendukung setiap kegiatan sanggar. Iklim
kondusif pada Sanggar Satria yang tercipta terbentuk dari sistem komunikasi terbuka. Iklim kondusif
Sanggar Satria tercipta dari budaya organisasi. Peluang keberhasilan sebuah organisasi yang
kondusif menjamin kenyamanan dan ketenangan kerja sehingga memberi keuntungan pada organisasi
dan individu di dalamnya. Pemberdayaan bawahan dalam berbagai bentuknya yang dilakukan pimpinan
sanggar adalah cetusan bahwa partisipasi orang lain adalah penting. Pemberdayaan demikian
dipandang pimpinan Sanggar Satria sebagai partisipasi individu di sekelilingnya yang dapat
meningkatkan komitmen yang tinggi pada tugas yang diemban, inisiatif yang lebih tinggi dalam
menalankan peran dan tanggung jawab mereka, ketekunan yang lebih besar ketika menghadapi
kesulitan, lebih inovatif dan berkemauan untuk maju, dan kepuasan tinggi dalam bekerja karena
partisipasi mereka diperhatikan. Visi yang dibangun Sanggar Satria merupakan visi inovatif jika dilihat
dari isi yang ada. Keterpaduan keempat unsur ini, terutama teaterikal, menjadikan Sanggar

3. Delegatif
Gaya kepemimpinan free-rein (delegasi) adalah penyerahan wewenang pimpinan ke bawahan di dalarn
sebuah organisasi dengan harapan tugas tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dan diselesaikan tepat
pada waktunya, serta tidak bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai (Murai, 2004: 478). Rivai
(2004) menyatakan bahwa tipe seseorang yang bergaya delegatif adalah mempunyai kemampuan
membuat staf atau pengikutnya mengerjakan apa yang diinginkan untuk dilakukan. Salusu (2006: 195)
berpendapat bahwa gaya kepemimpinan delegatif adalah gaya yang mendorong kemampuan staf untuk
mengambil inisiatif. Kurang interaksi dan kontrol yang dilakukan oleh pemimpin sehingga gaya ini hanya
bisa berjalan apabila staf memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan
sasaran organisasi. Sedangkan Permadi (2006: 97) mengatakan bahwa dalam gaya kepemimpinan
bertipe delegatif ditemukan nilai-nilai pelimpahan kekuasaan atau nilai kepercayaan yang sangat tinggi
dari seorang atasan kepada seorang bawahan. Selain itu, nilai pengutusan yang tulus dari seorang
atasan sangat kuat, sehingga bawahan dapat membuat keputusan dengan penuh tanggungjawab, walau
tetap memperhatikan kemajuan manajernya. Sementara Eims (2003: 162) melihat gaya kepemimpinan
delegatif berpusat pada nilai pengutusan. Kata “pengutusan” mengandung makna kepercayaan yang
sangat besar, dan dituntut seorang 202 Pengaruh Kepemimpinan Delegatif terhadap Kinerja Pegawai
pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Jember bawahan untuk dapat
menjadi wakil yang tepat dan benar. Oleh karena itu, seorang delegator harus rnempunyai kompetensi
yang dapat menjamin bahwa apa yang dilakukannya tidak merugikan perusahaan. Jadi karyawan yang
ditunjuk atau didelegasikan oleh pimpinannya dalam menentukan kebijakan harus selalu tepat.
Pengertian delegatif sebagai pelimpahan atau penyerahan wewenang dari sebuah tanggungjawab
tidaklah sama dengan memberikan sebuah benda kepada seseorang dan diberikan kepada orang yang
lain. Dalam proses pemberian wewenang yang dimaksud diikuti oleh sebuah tanggungjawab yang sangat
menentukan mati hidupnya sebuah organisasi. Seorang pimpinan dalam melakukan pendelegasian
sebuah tanggungjawab harus mengenal nilai -nilai yang terkandung dalam apa yang diberikan kepada
orang yang dipercayainya. Keputusan itu sangat besar risikonya, mengingat pendelegasian itu terdapat
kekeliruan yang dapat mengakibatkan malapetaka bagi organisasi. Oleh karena itu, yang perlu dipahami
dan merupakan hal yang bersifat esensial adalah siapa yang akan menerima pendelegasian itu,
bagaimana kapasitasnya di organisasi, bagaimana kreativitasnya, loyalitasnya terhadap organisasi, dan
bagaimana prestasinya (Welch, 2002: 178). Menurut Rivai (2006: 103) bahwa tipe seseorang yang
bergaya delegatif adalah mempunyai kemampuan membuat staf atau pengikutnya mengerjakan apa
yang diinginkan untuk dilakukan. Menilai kesuksesan penyelia dalam meraih respon yang efektif dan
antusias dari stafnya dan dalam mempromosikan suasana yang menyenangkan. Seorang delegator harus
mempertimbangkan sejauhmana telah memberikan pengetahuannya terhadap stafnya, telah
memberikan kontrol yang efektif dan sesuai, telah menstimulasi respon yang efektif dan antusias
bawahannya, memberikan suasana yang menyenangkan, dan disukai bawahan atau stafnya. Pandangan
Thoha terhadap gaya kepemimpinan delegatif mengatakan bahwa secara jujur delegatif itu adalah
sebuah gaya kepemimpinan yang menitikberatkan pada pembagian kebijakan dalam menjalankan tugas
dan wewenang kepada orang lain. Sehingga dalam pengertiannya ia menyingkatnya dengan kalimat,
“Pemberian wewenang dan tanggung jawab kepada orang yang dipercaya” (Tambunan, 2004: 76).

4. Transformasional
Pemimpin dengan gaya transfomasional selalu berupaya untuk mengubah timnya ke arah yang lebih
baik. Perubahan ini bisa berupa penambahan skill set dan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan
dengan lebih cepat.

Awalnya tim yang dipimpin diberi tugas awal dengan beban kerja standar dan deadline pekerjaan yang
cukup lama. Jika dirasa tim mulai bisa mengerjakan pekerjaan sesuai target, pemimpin mulai
memberikan deadline yang lebih cepat.

Setelah itu pemimpin mulai memberi tugas yang sedikit berbeda, dengan tingkat kesulitan yang lebih
tinggi untuk diselesaikan, dan seterusnya. Pemimpin dengan gaya transformasional akan selalu
mendorong timnya keluar dari zona nyaman dengan tugas baru dan menantang.

Certo & Certo (2012) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang
menginspirasi keberhasilan organisasi dengan memengaruhi keyakinan pengikut dalam sebuah
organisasi, serta nilai-nilai mereka, seperti keadilan dan integritas. Gaya kepemimpinan ini menciptakan
rasa kewajiban dalam sebuah organisasi, mendorong cara-cara baru penanganan masalah, dan
mempromosikan belajar untuk kepemimpinan transformasional semua organisasi. Berkaitan erat
dengan konsep seperti kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan inspirasional.

Bagaimana pemimpin mengimplementasikannya?


Certo & Certo (2012) mengilustrasikan keberhasilan Bennett Cohen dan Jerry Greenfield sebagai
pemimpin transformasional. Bennett Cohen dan Jerry Greenfield, pendiri co dari Ben & Jerry merek es
krim ikon, adalah contoh pemimpin transformasional. Dari awal, profitabilitas hanya salah satu dari
tujuan mereka.

Perspektif ke depan mengisyaratkan bahwa kepala sekolah juga harus mampu berperan sebagai figur
dan mediator bagi perkembangan masyarakat dan lingkungan. Untuk merealisasikan hal itu, ada salah
satu tipe kepemimpinan kepala sekolah yang perlu untuk diterapkan dan dikembangkan di sekolah yang
ada di Indonesia yaitu kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional adalah
kepemimpinan kepala sekolah yang mengutamakan pemberian peluang dan kesempatan, serta
mendorong semua warga sekolah (peserta didik, guru dan tenaga kependidikan) untuk bekerja atas
dasar sistem nilai yang baik dan benar, sehingga semua warga sekolah akan bersedia, tanpa paksaan,
dan berpartisipasi secara optimal dalam mencapai visi, misi dan tujuan sekolah.

Menurut Robbins (2001), kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang mampu memberi
inspirasi karyawannya untuk lebih mengutamakan kemajuan organisasi daripada kepentingan pribadi,
memberikan perhatian yang baik terhadap karyawan dan mampu merubah kesadaran karyawannya
dalam melihat permasalahan lama dengan cara yang baru. Leithwood, et.al (1999) mengemukakan
bahwa kepemimpinan transformasional menggiring SDM yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas
pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi secara bersama, pendistribusian
kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi yang menjadi keharusan dalam skema
restrukturisasi organisasi.

5. Karismatik
Kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership): Kharisma diartikan “keadaan atau bakat yang
dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk
membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya” atau atribut
kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas kepribadian individu.

Pemimpin kharismatik menampilkan ciri-ciri sebagai berikut: (a) memiliki visi yang amat kuat atau
kesadaran tujuan yang jelas. (b) mengkomunikasikan visi itu secara efektif. (c) mendemontrasikan
konsistensi dan fokus (d) mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya

Pemimpin kharismatik mempunyai kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan, percaya diri, serta pendirian
dalam keyakinan dan cita-cita mereka sendiri. Suatu kebutuhan akan kekuasaan memotivasi pmimpin
tersebut untuk mencoba mempengaruhi para pengikut. Rasapercaya diri dan pendirian yang kuat
meningktkan rasa percaya para pengikut terhadap pertimbangan dan pendapat pemimpin tersebut.
Seorang pemimpin tanpa pola cirri yang demikian lebih kecil kemungkinannya akan mencoba
mempengaruhi orang. Dan jika berusaha mempengaruhi maka lebih kecil kemungkinan untuk berhasil.
Kesuksesan mempengaruhi bawahan dapat diwujudkan apabila pemimpin mempunyai akhlak dan sifat
yang terpuji. Dengan cirri dan sifat tersebut pemimpin akan dikagumi oleh para pengikutnya.

Pemimpin kharismatik menekankan tujuan-tujuan idiologis yang menghubungkan misi kelompok kepada
nilai-nilai, cita-cita, serta aspirsi-aspirasi yang berakar dalam yang dirasakan bersama oleh para pengikut.
Selain itu kepemimpinan kharismatik juga didasarkan pada kekuataan luar biasa yang dimiliki oleh
seorang sebagai pribadi. Pengertian sangat teologis, karena untuk mengidentifikasi daya tarik pribadi
yang melekat pada diri seseorang , harus dengan menggunakan asumsi bahwa kemantapan dan kualitas
kepribadian yang dimilikiadalah merupakan anugerah tuhan. Karena posisinya yang demikian itulah
maka ia dapat dibedakan dari orang kebanyakan, juga karena keunggulan kepribadian itu, ia dianggap
(bahkan) diyakini memiliki kekuasan supra natural, manusia serba istimewa atau sekurang-kurangnya
istimewa dipandang masyarakat.

Tipe kepemimpinan karismatik dapat diartikan sebagai kemampuan menggunakan keistimewaan atau
kelebihan sifat kepribadian dalam mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain,
sehingga dalam suasana batin mengagumi dan mengagungkan pemimpin bersedia berbuat sesuatu yang
dikehendaki oleh pemimpin. Pemimpin disini dipandang istimewa karena sifat-sifat kepribadiannya yang
mengagumkan dan berwibawa. Dalam kepribadian itu pemimpin diterima dan dipercayai sebagai orang
yang dihormati, disegani, dipatuhi dan ditaati secara rela dan ikhlas. Kepemimpinan kharismatik
menginginkan anggota organisasi sebagai pengikutnya untuk mengadopsi pandangan pemimpin tanpa
atau dengan sedikit mungkin perubahan.

6. Situasional
Menurut Blanchard dan Hersey, kepemimpinan situasional ini berarti memilih gaya kepemimpinan yang
tepat untuk orang yang tepat, serta untuk situasi yang tepat. Jadi, manfaat yang dimiliki oleh teori
kepemimpinan ini adalah kita seperti memberikan obat yang tepat pada setiap penyakit yang dimiliki
dalam tubuh. Hasilnya? semua masalah yang berdatangan dapat diselesaikan dengan solusi terbaik.

Untuk mendapatkan hasil yang tepat dan dapat memilih gaya yang tepat, semuanya tergantung pada
situasi secara spesifik dan kompetensi serta kematangan para karyawan. Inilah sebabnya kedua hal
tersebut berkolaborasi untuk mengembangkan model kepemimpinan situasional. Proses ini juga
membuat para pemimpin yang menerapkan teori kepemimpinan ini terlihat seperti partner yang sangat
akrab dengan para karyawannya, bukan seperti bos yang kaku kepada karyawan pada umumnya.

Kekurangan dari Kepemimpinan Situasional

1. Menimbulkan Kebingungan

Ketika para karyawan berjuang untuk memenuhi harapan pemimpin serta perusahaan, kehadiran
konsistensi sangatlah penting. Namun, jika kepemimpinan situasional diterapkan pada situasi
manajemen dengan tidak sesuai, akibatnya akan muncul sebuah inkonsistensi.
Ini juga dapat menimbulkan kebingungan dari para karyawan, yang mungkin mereka tidak tahu respon
seperti apa yang diharapkan dari manajer mereka, dari hari ke hari. Situasi ini berpotensi menciptakan
lingkungan yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian.

3. Kritik dari Faktor Eksternal

Tentunya, setiap teori yang dihasilkan akan mendapatkan kritik-kritik dari faktor eksternal. Salah
satunya Profesor manajemen David Boje di New Mexico State University. Beliau memberikan kritik
terhadap teori kepemimpinan situasional bahwa teori ini seperti menyangkal kemampuan para
pemimpin yang baik untuk mengubah situasi dan tantangan yang dihadapi oleh mereka. Dalam arti lain,
ini seperti meremehkan kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin.

4. Persepsi

Manajer atau pemimpin pasti tahu bahwa mereka harus ‘merangkul’ para karyawannya. Itulah mengapa
penting bagi para pemimpin untuk tetap memperhatikan persepsi yang diberikan oleh karyawannya
terhadap teori kepemimpinan ini.

Untuk para karyawan yang sangat cerdas dan teliti, kepemimpinan situasional ini dapat dianggap
sebagai sebuah manipulatif atau koersif. Sehingga, pemimpin dapat kehilangan kredibilitas dan
kepercayaan dari para karyawannya.

7. Inovatif
Seorang pemimpin yang inovatif adalah seorang pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan sebagai
democratic style atau gaya kepemimpinan yang tidak mengambil keputusan dari sudut pandangnya saja
melainkan mengumpulkan semua ide-ide dari seluruh pegawainya lalu melakukan musyarawah dan
diputuskan bersama. Artinya menjadi seorang pemimpin yang inovatif adalah melalui gaya
kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin tersebut.

Di dalam membuat sebuah inovasi dan inovatif seorang pemimpin harus memiliki berbagai macam
acuan untuk merumuskan proses penerapan inovasi agar terciptanya orang-orang inovatif, diantaranya

a. Buatlah rumusan yang jelas tentang inovasi apa yang akan diterapkan;

b. Terapkan democratic style atau gaya kepemimpinan demokrasi untuk dengan mudah memberikan
kesempatan kepada anggotanya untuk berpartisipasi aktif dalam usaha merubah pribadi maupun
lembaga tempat ia bekerja;

c. Gunakan berbagai macam alternatif untuk mempermudah penerapan inovasi;

d. Gunakan data atau informasi yang sudah ada untuk bahan pertimbangan dalam menyusun
perencanaan penerapan inovasi;

e. Gunakan tambahan data untuk mempermudah fasilitas terjadinya penerapan inovasi;


f. Gunakan kemanfaatan dari pengalaman;

g. Berbuatlah secara positif untuk mendapatkan kepercayaan;

h. Menerima tanggungjawab pribadi;

i. Usahakan adanya pengorganisasian kegiatan yang memungkinkan terjadinya kepemimpinan yang


efektif;

j. Usahakan mencari jawaban atas berbagai macam pertanyaan dasar tentang inovasi tersebut.

8. Integratif
Tinjauan literatur menemukan berbagai definisi dan konsep kepemimpinan integratif yang diberikan
oleh pakar dan peneliti kepemimpinan dan tidak ditemukan definisi umum pada kepemimpinan
integratif. Huxman & Vangen (2000) mendefinisikan kepemimpinan integratif sebagai kolaborasi antara
individu, proses dan stuktur. Kepemimpinan integratif juga didefinisikan sebagai integrasi dari
kemampuan kepemimpinan, sifat, perilaku, gaya dan variabel situasional, dalam sebuah model teoritis
tunggal untuk dapat menjelaskan efektivitas pemimpin (Yulk, 2002), integrasi dari perilaku
kepemimpinan terhadap tugas, hubungan dan perubahan (Yulk, Gordon & Taber, 2002), kepemimpinan
yang mengintegrasikan elemen transaksi, transformasi dan variabel situasi yang melekat dalam berbagai
kontek masyarakat (Van wart, 2003), proses koordinasi dari kondisi awal proses, struktur dan pemangku
kepentingan, kontinjensi dan kendala serta hasil dan akuntabilitas (Bryson, Crosby, & Stone, 2006) dan
perpaduan antara peran kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, hubungan, perubahan,
keragaman dan integirti (Fernadez et al., 2010).

Dalam model siklus tindakan kepemimpinannya, kepemimpinan diperlakukan sebagai rantai linier antara
factor kausal yang berhubungan dengan pilihan gaya kepemimpinan yang optimal dan tergantung pada
berbagai kondisi organisasi internal dan eksternal (Van Wart, 2003), Hallinger (2003) dan Mark dan
Printy (2003) menyatakan bahwa saat kepemimpinan transformasi berbagi hidup berdampingan
kepemimpinan interaksional dalam bentuk yang kepemimpinan terpadu, pengaruh terhadap prestasi
sekolah dapat diukur dengan kualitas pedagogi dan prestasi siswa. Sanders etal. (2003)
mengintegrasikan kepemimpinan transcendensi, transaksi dan transformasi untuk meningkatkan
efektivitas pemimpin. Jika sekolah dianggap sebagai organisasi belajar, ini berarti bahwa stake-
Subarino, dkk., Kepemimpinan Integratif: Sebuah Kajian Teori hal. 17-50 , No. 01/Th VII/April/2011

29 holder harus diupayakan dan bekerja bersama-sama. Kepemimpinan integratif pula didefinisikan
sebagai kepemimpinan koperasi, kepemimpinan demokratis yang mengintegrasikan semua pemangku
kepentingan, tujuan dan peranan yang berbeda (Moos & Huber, 2007), integrasi manajemen dan
kepemimpinan organisasi (Rosenbusch, 1997), kepemimpinan pasca tranformasional (Jackson & West,
1999) , berfokus pada tujuan inti sekolah, menyesuaikan kepemimpinan sekolah ke tujuan sekolah, yang
menggabungkan peran dan harapan yang berbeda dan menekankan pemberdayaan pemangku
kepentingan yang berbeda-beda. Dari uraian tersebut, kepemimpinan integratif didefinisikan sebagai
integrasi beberapa teori (Hallinger, 2003; Mark & ??Printy, 2003; Sanders et al., 2003), integrasi dari
orang, tujuan, struktur, peran (Bryson, Crosby & Stone, 2006, Huber & Moos, 2007), integrasi perilaku
dan orientasi kepemimpinan (Yulk et al., 2002 & Fernandez et al., 2010) menurut situasi dan kondisi
untuk mencapai efektivitas organisasi. Perpaduan kepemimpinan itu dilaksanakan karena masing-
masing tidak secara efektif terjadi sendiri-sendiri.

Anda mungkin juga menyukai