Anda di halaman 1dari 8

Kelompok 2 Akuntansi Sektor Publik :

1. Crismonica Putri : 17043107


2. Fradella Anggraini : 17043117
3. Widyatul Fitri : 17043083

A. Kasus Di Bidang Akuntansi Pendidikan

Kasus Korupsi Dana Pendidikan oleh Bupati Cianjur

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala daerah kembali menjadi sasaran Komisi Pemberantasan


Korupsi ( KPK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 12 Desember 2018. Kepala
daerah yang diciduk adalah Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar. Ia ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pemotongan dana alokasi khusus (DAK)
pendidikan di Kabupaten Cianjur Tahun 2018. Selain Irvan, KPK telah menetapkan tiga
tersangka lainnya, yaitu Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur Cecep Sobandi, Kepala
Bidang SMP Dinas Pendidikan Rosidin, dan Tubagus Cepy Sethiady yang merupakan kakak
ipar Irvan. Baca juga: Apresiasi KPK, Sopir Angkot di Cianjur Gratiskan Tarif ke
Penumpang Berikut fakta-fakta soal kasus tersebut:

1. OTT Dimulai Sejak Dini Hari Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, informasi
mengenai adanya aliran uang kepada bupati telah diterima sejak 30 Agustus 2018. KPK
kemudian menemukan petunjuk dan bukti awal adanya transaksi di beberapa lokasi, pada
Rabu dini hari. Menurut Basaria, pada pukul 05.00 WIB, teridentifikasi terjadinya
perpindahan uang dari mobil milik Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Rosidin ke mobil
milik Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur Cecep Sobandi. Setelah itu, petugas KPK
menangkap Cecep dan sopir di halaman Masjid Agung Cianjur. Kemudian, pada pukul 05.17
WIB, petugas KPK menangkap Rosidin di kediamannya. Sekitar pukul 05.37 WIB, petugas
KPK bergerak ke kediaman Taufik Setiawan alias Opik yang merupakan bendahara majelis
kerja kepala sekolah (MKKS). Kemudian, ke kediaman Rudiansyah yang merupakan Ketua
MKKS. Baca juga: Bupati Cianjur Ditangkap KPK, Wakil Bupati Jabat Pelaksana Tugas
Setelah keduanya ditangkap, sekitar pukul 06.30 WIB, petugas KPK mendatangi pendopo
bupati dan menangkap Bupati Irvan Rivano Muchtar. Menurut Basaria, pada siang hari,
sekitar pukul 12.05 WIB, tim KPK menangkap Budiman selaku kepala seksi di sebuah hotel
di Cipanas, Jawa Barat. Dari OTT tersebut, KPK berhasil menemukan uang sebesar Rp 1,5
miliar. Uang tersebut diduga sebagai barang bukti suap untuk bupati.

2. Korupsi Dana Pendidikan Irvan dan kepala dinas pendidikan serta dua orang lainnya
diduga memotong dana pendidikan untuk 140 sekolah menengah pertama (SMP). "Dana
alokasi khusus untuk pembangunan fasilitas pendidikan justru dipangkas sejak awal dengan
pihak-pihak tertentu. Sehingga yang menjadi korban adalah para siswa di Cianjur," ujar
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Rabu
(12/12/2018). Menurut Basaria, pada 2018, Kabupaten Cianjur mendapatkan dana alokasi
khusus (DAK) untuk pendidikan sebesar Rp 46,8 miliar. Namun, KPK menduga bupati dan
kepala dinas memotong DAK tersebut sebesar 14,5 persen. Padahal, anggaran tersebut akan
digunakan untuk membangun fasilitas pendidikan di 140 SMP di Kabupaten Cianjur.
Beberapa di antaranya untuk pembangunan ruang kelas dan laboratorium. Baca juga: KPK
Tahan Bupati Cianjur dan 2 Tersangka Lainnya untuk 20 Hari Pertama Menurut Basaria,
diduga fee untuk Irvan sebesar 7 persen dari nilai anggaran DAK.

3. Kode "Cempaka" Dalam kasus ini, Irvan dan para pejabat di Dinas Pendidikan diduga
menerima suap dari pemotongan dana pendidikan tersebut. Sementara itu, Cepy, kakak ipar
Bupati Cianjur, diduga bertindak sebagai perantara transaksi dari kepala sekolah kepada
bupati. Menurut keterangan KPK, para kepala sekolah percaya bahwa Cepy adalah orang
kepercayaan bupati. Kemudian, KPK menduga ada kode khusus yang digunakan sejumlah
tersangka saat berkomunikasi. Salah satunya adalah kode "cempaka". "Sandi yang digunakan
adalah cempaka, yang diduga kode yang merujuk pada Bupati IRM," ujar Wakil Ketua KPK
Basaria Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Rabu (12/12/2018).

4. Korupsi Warisan KPK menduga kasus korupsi pada dana pendidikan di Kabupaten
Cianjur, tidak hanya pada saat Bupati Irvan Rivano Muchtar menjabat. KPK menduga praktik
serupa telah terjadi sejak bupati pada periode sebelumnya. Adapun, bupati pada periode
sebelumnya adalah Tjetjep Muchtar Soleh yang merupakan orangtua dari Irvan Rivano
Muchtar. "Ini sudah terjadi pada periode sebelumnya, pada saat orang tuanya menjabat," ujar
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Rabu
(12/12/2018).

5. Akhirnya Menyerah Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Tubagus Cepy
Sethiady, kakak ipar Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar, telah menyerahkan diri ke KPK,
Kamis (13/12/2018). "Siang ini, sekitar pukul 14.00 WIB, tersangka TCS, kakak ipar bupati,
telah menyerahkan diri ke KPK," ujar Febri melalui keterangan tertulis, Kamis.
6. Ditahan KPK resmi menahan Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar, Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten Cianjur Cecep Sobandi, dan Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan
Rosidin, Kamis (13/12/2018).

"Terhadap 3 tersangka lain yang telah melewati proses pemeriksaan, dilakukan penahanan
selama 20 hari pertama," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah melalui keterangan tertulis,
Kamis. Ketiga tersangka tersebut ditahan di tempat yang berbeda. Bupati Cianjur Irvan
ditahan di Rutan cabang KPK, yang berlokasi di belakang Gedung KPK, Jakarta Selatan.
Sementara itu, Cecep Sobandi ditahan di rutan cabang KPK di Kantor KPK Kavling C-1.
Lalu, Rosidin ditahan di Rutan cabang KPK di Polisi Militer Kodam (Pomdam) Jaya, Guntur,
Jakarta Selatan. Untuk satu tersangka lainnya, Cepy yang merupakan kakak ipar Bupati
Cianjur, baru saja menyerahkan diri ke KPK kemarin. Setelah ia menyerahkan diri,
pemeriksaan langsung dilakukan kepada Cepy.

B. Kasus Di Bidang Akuntansi Kesehatan

Penyelewengan Dana Kapitasi Kesehatan di Jombang Bukti Pengawasan Lemah

Bisnis.com, JAKARTA - Operasi tangkap tangan Bupati Jombang Nyono Suharli


Wihandoko menjadi alarm bagi pemerintah bahwa dana kapitasi BPJS Kesehatan rawan
menjadi lahan korupsi.

Apalagi, sejak BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, kasus penyelewengan
dana kapitasi ini bukan yang pertama kali terjadi.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mencatat kasus penyelewenangan dana


kapitasi BPJS Kesehatan tidak hanya terjadi di Jombang, Jawa Timur. Kasus serupa pernah
terjadi di Subang, Jawa Barat pada 2016, melibatkan Bupati Subang Ojang Sohandi.

Dia berpendapat dana kapitasi, khususnya yang disalurkan ke Puskesmas, rawan menjadi
bancakan kepala daerah. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah dinilai memberikan peluang bagi
kepala daerah untuk mengatur dana kapitasi melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
BPJS Kesehatan membayarkan dana kapitasi kepada bendahara dana kapitasi Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Kepala daerah
menetapkan bendahara dana kapitasi JKN pada FKTP atas usul Kepala SKPD Dinas
Kesehatan melalui Pusat Pelatihan Kerja Daerah (PPKD).

Selanjutnya, kepala FKTP menyampaikan rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN
tahun berjalan kepada Kepala SKPD Dinas Kesehatan yang kemudian dianggarkan dalam
Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD Dinas Kesehatan. Sementara itu, pengawasan
terhadap pemanfaatan dana kapitasi JKN pada FKTP juga dilakukan oleh Kepala FKTP dan
Kepala SKPD Dinas Kesehatan.

Timboel menuturkan mekanisme tersebut memberi peluang bagi kepala daerah untuk
mengutak-atik dana kapitasi yang dibayarkan ke Puskesmas milik daerah. Sementara itu,
posisi kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian membuat Aparat Sipil Negara
(ASN) akan melakukan apa saja demi mempertahankan jabatannya.

“Jika membaca pasal 5, 6, 7, dan 8 Perpres 32/2014, SKPD Dinas Kesehatan sangat berperan.
Anggaran kapitasi bagian dari anggaran SKPD Dinas Kesehatan. Demikian juga kepala
daerah sangat menentukan di aturan tersebut,” paparnya kepada Bisnis.

C. Kasus Di Bidang Akuntansi Partai Politik

Korupsi Dana Bantuan Parpol, Eks-Kader Partai Hanura Ditahan Kejaksaan

Bisnis.com, JAKARTA-Kejaksaan Negeri Parigi Moutong Sulawesi Tengah melakukan


penahanan terhadap bekas kader Partai Hanura bernama H. Hasbie Dg. Sitaba atas dugaan
tindak pidana korupsi.

Kepala Kejaksaan Negeri Parigi Moutong, Agus Setiadi mengungkapkan tersangka H. Hasbie
Dg Sitaba yang merupakan mantan Ketua DPC Partai Hanura ditahan selama 20 hari ke
depan. 

Penahanan sesuai dengan surat perintah penahanan No.Print-860/R.2.15/fd.1/11/2018 ter


tanggal 14 November 2018 di Cabang Rumah Tahanan (rutan) Palu Parigi Sulawesi Tengah.
Menurutnya, anggota DPRD Parigi tahun 2009 - 2014 itu ditahan atas tindak pidana korupsi
pengelolaan dana bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
untuk Partai Politik tahun anggaran 2009-2016 di Parigi dan telah merugikan keuangan
negara sebesar Rp140 juta.

"Pada hari Rabu tanggal 14 November 2018, penyidik pada Kejaksaan Negeri Parigi
Moutong melakukan penahanan terhadap tersangka korupsi pengelolaan dana bantuan
keuangan dari APBD untuk partai politik tahun 2009-2016 atas nama H. Hasbie Dg Sitaba,"
tuturnya, Kamis (15/11/2018).

Menurut Agus, tersangka telah melakukan perbuatan melawan hukum dan dijerat dengan
pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 Undang-Undang No. 20 tahun 2001 berdasarkan surat perintah
penyidikan nomor print 512.a/R.2.15/fd.1/01/2018 tanggal 30 Januari 2018.

"Tersangka telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp140 juta dan melanggar Pasal 2
ayat 1 subsider Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001," katanya.

D. Kasus Di Bidang Akuntansi Pemerintahan Daerah

Kasus Dugaan Korupsi anggaran APBD Kota Malang, Perlu Transparansi Anggaran

TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Kasus dugaan korupsi anggaran APBD Kota Malang


yang saat ini tengah ditelusuri Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) dinilai dampak dari
tidak transparannya anggaran yang disepakati legislatif dan eksekutif. Hal itu dikemukakan
pengamat Akuntansi Operasional Publik DR Ana Sopanah.

Perlu ada transparansi dan inovasi penganggaran agar praktik korupsi tidak terjadi kembali di
kemudian hari. Salah satu yang perlu digalakkan menurut Ana adalah sistem digitalisasi
anggaran.

Di mana setiap orang bisa dengan mudah mengakses anggaran yang ada di Kota Malang.
Tidak hanya di situ, usulan-usulan yang dipaparkan semisal saat Musrenbang juga bisa
ditampung melalui sistem digital.
"Seharusnya masyarakat tahu berapa anggaran dari Pemkot, dipakai untuk apa saja. Nah Kota
Malang itu kan smart city, tapi tranparansi dan akuntanbilitas juga susah," kata DR Ana
Sopanah yang juga merangkap sebagai Humas Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) Malang
Raya, Senin (14/8/2017).

Menurut Ana sistem digitalisasi perlu diterapkan untuk menghindari upaya pertemuan antara
individu dengan individu lainnya dalam pembahasan anggaran. Pasalnya, secara aturan main
teorinya anggaran di sektor publik ada muatan politik.

"Sehingga sangat rentan ketika jadi anggota dewan. Harusnya kepentingan publik ya jadi
seperti itu kepentingan sendiri," ujarnya.

Ia mencontohkan, ketika usul pada musrenbang dilakukan secara online, bukan pertemuan
antar orang. Maka tidak terjadi komunikasi langsung sehingga bisa menghindari manuver
politik. Dalam sistem Akuntansi Operasional Publik, kasus korupsi harus dilengkapi dengan
audit laporan dari BPK.

Dari audit yang dilakukan oleh BPK akan terlihat permasalahan keuangan. Dari
permasalahan yang ditemukan itu, bisa ditelusuri sumber masalahnya.

"Artinya laporan keuangan berapa uang yang digunakan untuk proyek itu," lanjutnya.

Ana sekali lagi mendorong agar sistem budgeting di Kota Malang yang manual berganti ke
digital. Ia melihat kalau sumber daya manusia di Kota Malang sudah mumpuni menjalankan
roda pemerintah. Namun hal itu perlu dilengkapi oleh transparansi karena manuver politik
cenderung mencari keuntungan pribadi.

Hal senada juga dikatakan Koordinator MCW Malang Raya, Fachruddin Andriansyah.
Transparansi. MCW mendorong adanya transparansi melalui e budgeting untuk
meminimalisir potensi suap.

“Harus menerapkan e budgeting di mana masyarakat melihat secara langsung,” katanya,


Selasa (15/8/2017).

Fachruddin mewanti-wanti agar Pemkot Malang dan jajaran legislatif bisa berbenah pasca
KPK turun menelusuri kasus korupsi di Kota Malang.

Lebih jauh ia mengatakan sejauh ini Pemkot Malang sangat minim transparansi, khususnya
budgeting kepada publik. Padahal, sudah ada UU yang mengatur perlunya keterbukaan
informasi publik.

“Nah ini menjadi tanda tanya besar oleh publik. Sudah ada UU KIP 2008. Sudah ada
instrumen hukumnya kalau pemerintah daerah harus terbuka terhadap dokumen publik,”
paparnya.

Dengan adanya e-budgeting, Fachruddin meyakini pengawasan akan lebih optimal.


Akibatnya, praktik-praktik di bawah meja bisa diminimalisir. Dalam pengalaman MCW
seperti yang diceritakan Fachruddin, pihaknya pernah mencoba meminta Perda APBD dan
Perwali. Namun Perwali tidak diberikan dengan alasan pihak internal belum bisa memberikan
data.

“Soalnya Perwali yang lebih rinci,” terangnya. (Surya/Benni Indo)

E. Kasus Di Bidang Akuntansi Tempat Peribadatan

Dana untuk Rumah Ibadah Sebesar Rp 500 Miliar Dikorupsi?

TRIBUN-MEDAN.COM - Biro Bina Kemasyarakatan dan Sosial (Binkemsos) Pemprov


Sumut diduga urung menyalurkan bantuan sosial rumah ibadah sesuai keputusan Gubernur
Sumut.

Penelusuran Tribun, tak sedikit rumah ibadah gagal menerima dana bansos tahun anggaran
2017 lalu.

Berdasarkan keputusan Gubernur Sumut tentang daftar penerima hibah berupa uang P-APBD
2017, tercatat 1.847 rumah ibadah mendapatkan bansos dengan total Rp 500 miliar. Namun,
banyak pengurus rumah ibadah mengaku tak menerima uang tersebut meski terdaftar.

Pengurus Masjid Nurul Hidayah, Sei Agul, Medan Barat, Kusmini, misal, ia meneteskan air
mata saat memperlihatkan daftar penerima bansos.

Ia mengaku pernah mengantarkan proposal renovasi pembangunan masjid tersebut pemprov.

Tapi, hingga akhir Desember 2017, belum ada informasi atau pemberitahuan tentang
kejelasan proposal yang ia layangkan.

Saking girangnya melihat daftar penerima bansos yang disodorkan, ia berulangkali mengucap
syukur kepada Tuhan.

"Alhamdulillah sekali. Di mana-mana masjid cantik, sehingga kami pengin melakukan


renovasi," ujarnya sembari menyeka air mata di pipinya, yang ditemui beberapa pekan lalu.
Perempuan paru bayah ini menyatakan, pengurus masjid berencana melakukan renovasi.

Seperti, mengganti pintu dan jendela kaca. Apalagi, pintu dan jendela sudah keropos karena
rayap

Selama ini, kata dia, pembangunan masjid atau renovasi mengandalkan sumbangan dari
jemaah.

Karena itu, ia bersama beberapa pengurus masjid mencari alternatif pembiayaan seperti
mengajukan proposal kepada Pemprov Sumut.

Menurutnya, tidak gampang mengajukan proposal bantuan sosial rumah ibadah, karena
pemohon harus berulangkali datang ke Pemprov Sumut.

Ia menceritakan, rekannya yang berprofesi sebagai ustaz kali pertama membawa proposal itu
ke pemprov. Tapi ditolak.

"Kemudian saya datang sendiri mengantar proposal ke lantai tiga Pemprov Sumut. Saya
masukkan proposal atas saran orang yang bertemu di masjid," katanya.

Ia menceritakan, sejak 1990 telah berjuang bersama suaminya untuk membangun masjid
secara swadaya.

Mereka mengumpulkan uang secara perlahan membeli tanah, dan membangun sedikit demi
sedikit hingga akhirnya masjid berdiri.

Seusai wawacara dengan Tribun, beberapa hari kemudian Kusmini didampingi beberapa
pengurus masjid lainnya datang ke Pemprov Sumut. Namun, Biro Binkemsos malah
menyatakan Masjid Nurul Hidayat tidak menerima bansos.

Anda mungkin juga menyukai