Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penyusun panjatkan puji serta syukur ke hadirat Allah SWT


yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penyusun sehingga dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Makalah ini berisi tentang “PERMASALAHAN YANG BERKAITAN


DENGAN SILA KE-4”. Yang merupakan hasil dari pecarian dan penelusuran di
dunia maya.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Pendidikan
Pancasila di Universitas Jenderal Achmad Yani pada jurusan Teknik Sipil.
Penyusun menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kritik
dan saran yang sifatnya membangun akan penyusun terima dengan senang hati.

Cimahi, 9 Februari 2015 Penyusun

Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penyusun khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya serta menjadi
tambahan ilmu bagi kita semua.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................1

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................5

1.3 Tujuan..........................................................................................................................5

1.4 Sistematika Penulisan.......................................................................................................5

BAB II........................................................................................................................................7

LANDASAN TEORI.................................................................................................................7

2.1 Berdasarkan Peraturan yang Berlaku...............................................................................7

2.2 Berdasarkan Para Ahli......................................................................................................8

2.3 Konsep Kepemimpinan Pancasila....................................................................................9

2.4 Sumber Kepemimpinan Pancasila..................................................................................10

2.5 Landasan Kepemimpinan Pancasila...............................................................................11

BAB III.....................................................................................................................................12

PEMBAHASAN......................................................................................................................12

3.1 Penyimpangan...........................................................................................................12

3.2 Studi Kasus.....................................................................................................................13

3.2.1 Pilkada oleh DPRD............................................................................................13

3.2.2 Pencurian............................................................................................................20

3.2.3 Perampok Tewas Dihakimi Masa......................................................................21

2
BAB IV....................................................................................................................................23

PENUTUP................................................................................................................................23

4.1 Kesimpulan.....................................................................................................................23

4.2 Saran...............................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................25

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seluruh warga negara kesatuan Republik Indonesia sudah seharusnya
mempelajari, mendalami dan mengembangkannya serta mengamalkan Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Tujuan pendidikan Pancasila adalah membentuk
watak bangsa yang kukuh, juga untuk memupuk sikap dan perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila.
Tujuan perkuliahan Pancasila adalah agar mahasiswa memahami, menghayati
dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari sebagai
warga negara RI, juga menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam
masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak
diatasi dengan pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam tugas ini, akan dijelaskan mengenai demokrasi sekarang ini yang ada
di Indonesia. Yang akan dihubungkan dengan sila ke-4 dalam Pancasila yang
berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan”. Pada faktanya penerapannya di Indonesia belum
tepat. Paham demokrasi ini sebelumnya sudah dianut oleh negara Amerika dan
Eropa. Indonesia pun ikut serta dalam menganut paham ini. Dapat diambil contoh,
bentuk pemerintahan yang paling bawah di Indonesia yaitu kepala desa, juga telah
menggunakan sistem pemilihan langsung oleh rakyat yang seperti model
demokrasi modern di Eropa dan Amerika Serikat. Termasuk juga sistem
pemilihan ketua adat dibanyak daerah di Indonesia, pada umumnya dipilih secara
langsung oleh masyarakat. Dipilih diantara mereka yang dianggap tetua yang
bijaksana dengan pemilihan melalui permusyawaratan dikalangan yang mewakili
masyarakat maupun dipilih secara langsung oleh masyarakat.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa makna yang terkandung dari sila ke-4 dalam Pancasila?
2. Apa implementasi dari sila ke-4 Pancasila bagi Indonesia?
3. Apa penyimpangan dan kasus yang terjadi di Indonesia yang berhubungan
dengan pancasila sila ke-4?

1.3 Tujuan
1. Memahami makna yang terkandung dari sila ke-4 dalam Pancasila
2. Memahami nilai-nilai yang terkandung dalam sila ke-4 dalam Pancasila
3. Mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada sila ke-4
dalam Pancasila di Negara Indonesia dan mengetahui contoh kasusnya.

1.4 Sistematika Penulisan


Makalah Pencasila ini terdiri dari 4 (empat) bab, dimana setiap bab tersebut
terpisah namun saling berhubungan erat satu sama lain, sehingga menjadi satu
kesatuan.

Agar memudahkan dan mendapatkan uraian yang jelas tentang isi makalah
Pancasila Tentang Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Sila Ke-4 ini, penyusun
menyajikan kerangka keempat bab tersebut secara sistematis terangkum sebagai
berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang lata belakang, rumusan masalah, tujuan dan sistematika
penulisan

BAB II LANDASAN TEORI

5
Bab ini berisi landasan teori berdasarkan peraturan yang berlaku dan
berdasarkan pendapat dari para ahli.

BAB III PEMBAHASAN


Terdiri dari penyimpangan yang dilakukan di Indonesia dan beberapa studi
kasus yang terkait dengan Pancasila sila ke-4.
BAB IV PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran – saran berdasarkan pembahasan dari bab
sebelumnya.

6
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Berdasarkan Peraturan yang Berlaku


Berdasarkan butir-butir Pancasila, sila ke-4 berisi:

a.  Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia


mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
b. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
c.  Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
e. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai
sebagai hasil musyawarah.
f. Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan
hasil keputusan musyawarah.
g. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
h. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur.
i. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan
kesatuan demi kepentingan bersama.
j. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan pemusyawaratan.
Terkait dengan kasus pilkada DPRD, landasannya berdasarkan:

a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun


2014 tentag Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

7
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah
secara langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

2.2 Berdasarkan Para Ahli


Sebelum membahasa arti kepemimpinan karakter pancasila, ada baiknya
kita bahas tentang kepemimpinan. Berikut adalah pengertian kepemimpinan
menurut para ahli.

1. George R. Terry (yang dikutip dari Soetarto, 1998:17)


Kepemimpinan adalah hubungan yang ada pada diri seseorang atau
pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam
hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Ordway Tead (1929)
Kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan
seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya.
3. Rauch dan Behling (1984)
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah
kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan.
4. Katz dan Kahn (1978)
Kepemimpinan peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan
berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin
organisasi.
5. Hemill dan Coon (1995)
Kepemimpinanadalah prilaku dari seseorang individu yang memimpin
aktivitas-aktivitas suatu kelompk kesatu tujuan yang ingin dicapai besama.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa pengertian


kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin
kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah
mempelajari kepemimpinan adalah “melakukannya dalam kerja” dengan praktik
seperti pemagangan pada seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hal ini

8
sang ahli diharapkan sebagai bagian dari perannya memberikan
pengajaran/instruksi.

2.3 Konsep Kepemimpinan Pancasila


Pada dasarnya konsep kepemimpinan di Indonesia adalah kepemimpinan
yang belandaskan nilai-nilai pancasila (Kepemimpinan Pancasila). Kepemimpinan
pancasila mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin
yang mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kepemimpinannya, baik itu nilai
keTuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai
keadilan. Secara lebih terperinci akan dijelaskan sebagai berikut:

Kepemimpinan Thesis adalah kepemimpinan yang religius dan


melaksanakan hal-hal yang harus diperbuat yang diperintahkan Tuhannya, dan
menjauhkan diri dari setiap larangan Tuhan dan agamanya. Kepemimpinan kini
didasarkan pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kepemimpinan
tipe thesis ini biasanya dimaikan oleh tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh religius
dan pemimpin yang taat pada aturan agamanya. Ajaran-ajara agama menjadi tolak
ukur setiap tindakan yang diambil setiap pemimpin yang seperti ini. Konsep
kepemimpinan thesis ini sengat sulit diterapkan karena merupakan konsep ideal
suatu kepemimpinan, dan merupakan das sein namun das sollennya tidak semua
pemimpin mampu mewujudkannya. Kepemimpinan tipe ini sangat dipengaruhi
loeh ajaran agama yang dianutnya, misalnya islam dengan gaya nabi panutannya
yaitu Nabi Muhammad, kemudian Krisen dengan tokoh panutannya yaitu Jesust
Crist, serta Hindudan Budha dengan Dewa yang mereka yakini sebagai tokoh
panutan dalam bertindak.

1. Kepemimpinan yang humanis

Kepemimpinan tipe ini berdasarkan sila ke-2 pancasila kita yaitu


kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka setip tindakan kepemimpinan harus
berdasarkan perikemanusiaan, perikeadaban dan perikeadilan.
Perikemanusiaan diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan nila-nilai
kemanusiaan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Perikeadaban

9
dimaksudkan sebagai nilai-nilai manusia yang beradab, yang memiliki etika
sosila yang kuat yang menjunjung tinggi kebersamaan yang harmonis.
Kemudian perikeadilan dianggap sebagai prilaku pemimpin yang adil kepada
setiap orang yang dipimpinnya, adil bukan berarti sama rata tapi adil sesuai
hak dan kewajibannya atau sesuai dengan porsinya. Praktek kepemimpinan
model ini juga tidak gampang, perlu pembelajaran dan penghayatan yang
mendalam dan harus tertanam dalam sikap dan tingkah laku seehari-hari para
pemimpin model ini.

2. Kepemimpinan yang unitaris atau nasionalis

Kepemimpinan yang mengacu pada sila ke-3 yaitu persatuan Indonesia tidak
boleh melepaskan diri dari nasionalisme yang sehat. Nasionalisme diartikan
sebagaikesetiaan tertinggi dari setiap individu ditujukan kepada keribadian
bangsa.

3. Kepemimpinan demokratik

Kepemimpinan administratif yag mengacu pada sila ke- 4 yaitu kerakyatan


yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan atau dengan kata lain adalah kepemimpinan demokratis pancasila.

2.4 Sumber Kepemimpinan Pancasila


Ada tiga sumber kepemimpinan pencasila, yaitu;

1. Pancasila, UUD 1945 dan GBHN


2. Nilai-nilai kepemimpinan universal
3. Nilai-nilai spiritual nenek moyang. Hal-hal yang dapat dianggap sebagai
sumber kepemimpinan pancasila antara lain berupa:
a. Nilai-nilai positif dari modernisasi
b. Intisari dari warisan pusaka berupa nilai-nilai dan norma-norma
kepemimpinan yang ditulis oleh para nene moyang
c. Refleksi dan kontemplasi mengenai hakikat hidup dan tujuan hidup
bangsa pada era pembangunan dan zaman modern, sekaligus juga

10
refleksi mengenai pribadi selaku “manusia utuh” yang mendiri dan
bertanggungjawab dengan misi hidupya masing-masing.

2.5 Landasan Kepemimpinan Pancasila


Selanjutnya pada tingkat, jenjang serta di bidang apapun, pemimpin harus
mempunyai landasan pokok berupa nilai-nilai moral kepemimpinan, seperti yang
telah diwariskan oleh nene moyang bangsa Indonesia, keempat macam ladasan
pokok itu adalah:

1. Landasan diplomasi (bersumber pada ajaran almarhum Dr. R.


Sosrokartono):
a. Sugih tanpa banda (kaya tanpa harta benda)
b. Nglurung tanpa bala (melurug tanpa balatentara)
c. Menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan)
d. Wweh tanpa kelangan (memberi tanpa merasa kehilangan)
2. Landasan kepemimpinan
a. Sifat ratu/raja: bijaksana, adil, ambeg paramarta, konsekuen dalam
janjinya.
b. Sifat pandita: membelakangi kemewahan dunia, tidak punya interest-
interest, dapat melihat jauh kedepan/waskita.
c. Sifat petani: jujur, sederhana, tekun, ulet, blaka
d. Sifat guru: memberikan teladan baik
3. Landasan pengabdian (Sri Mangkunegara 1)
a. Ruwangsa handarbeni (merasa ikut memiliki negara)
b. Wajib meluangkrengkebi (wajib ikut bela negara)
c. Mulat sarira hangsara wani (mawas diri untuk bersikap berani)

11
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Penyimpangan
Pada saat ini,Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sudah semakin
tergeser dari fungsi dan kedudukannya dalam era demokrasi ini. Paham ini
sebelumnya sudah dianut oleh Amerika yang notabene adalah sebuah Negara
adidaya dan bukan lagi termasuk negara berkembang, pun di Amerika sendiri
yang sudah berabad- abad menganut demokrasi masih dalam proses
demokratisasi. Artinya sistem demokrasi Amerika serikat sedang dalam proses
dan masih memakan waktu yang cukup lama untuk menjadi Negara yang
benar- benar demokratis. Namun jika dibandingkan Indonesia, demokratisasi
di Amerika sudah lebih menghasilkan banyak kemajuan bagi negaranya.
Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran dari bangsa Indonesia terhadap
landasan/dasar Negara dan hukum yang ada di Indonesia ini. Seharusnya jika
bangsa Indonesia mampu melaksanakan apa yang telah diwariskan para
pahlawan kita terdahulu.
Adapun penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan terhadap sila ke-4
adalah:
1.      Banyak warga Negara/masyarakat belum terpenuhi hak dan
kewajibannya didalam hukum.
2.      Ketidak transparannya lembaga-lembaga yang ada didalam Negara
Indonesia dalam sistem kelembagaannya yang menyebabkan masyarakat
enggan lagi percaya kepada pemerintah.
3.      Banyak para wakil rakyat yang merugikan Negara dan rakyat, yang
seharusnya mereka adalah penyalur aspirasi demi kemajuan dan
kesejahteraan Negara Indonesia.
4.      Banyak keputusan-keputusan lembaga hukum yang tidak sesuai
dengan azas untuk mencapai mufakat,sehingga banyak masyarakat yang
merasa dirugikan.

12
5.      Banyak masyarakat yang kurang bisa menghormati adanya peraturan-
peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
6.      Demonstrasi yang dilakukan tanpa melapor kepada pihak yang
berwajib.
7.      Kasus kecurangan terhadap pemilu, yang melihat bukan dari sisi
kualitas, tetapi dari kuantitas.
8.      Lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan daripada
kepentingan bersama atau masyarakat.
9.      Menciptakan perilaku KKN.
10.  Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk
loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan presiden.

3.2 Studi Kasus


Pada saat ini banyak kejadian-kejadian di masyarakat Indonesian yang erat
kaitannya sila sila ke-4. Mulai dari kasus kecil sampai kasus besar yang dapat
berpegaruh bagi banyak orang.

3.2.1 Pilkada oleh DPRD


Argumentasi: demokrasi perwakilan

Pendukung pilkada oleh DPRD Provinsi berargumen, demokrasi


berdasarkan sila ke-4 rasi perwakilan. Sebagai “bukti”, mereka merujuk pada
pilkada langsung yang banyak menghasilkan kepala daerah yang korup.

“Bukti” tersebut tidaklah berbobot sebagai pendukung argumentasi. Cukup


dengan penegakan hukum yang benar, konsekuen, dan tanpa pandang bulu,
bukti tersebut akan gugur dengan sendirinya karena menciptakan efek jera. Di
samping itu, demokrasi perwakilan dan perilaku koruptif adalah dua isu
hukum yang terpisah. Bila keduanya terjadi bersamaan, hal itu adalah
kebetulan belaka, bukan hubungan sebab-akibat. Sama halnya dengan kokok
ayam tidak menerbitkan matahari.

Namun argumentasi itu sendiri patut mendapatkan perhatian kita. Pertama,


karena ini laim serius terkait dasar negara. Kedua, karena argumentasi ini

13
diusung Koalisi Merah Putih, yang di atas kertas merupakan bagian terbesar
dari DPR 2014-2019.

Mari kita periksa sila ke-4. Meski pemeriksaan ini singkat, tetapi Anda bisa
menentukan kebenaran atau keakuratan argumentasi tersebut.

Sila ke-4

Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mencoba memenuhi


permintaan Ketua BPUPKI dr. K. R. T. Radjiman Wediodiningrat tentang
philosofische grondslag Indonesia Merdeka. Untuk dasar ketiga, Sang
Proklamator tersebut menguraikan tentang “dasar mufakat, dasar perwakilan,
dasar permusyawaratan”. Sang Orator haqqul yakin bahwa “syarat multak
untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”.
Indonesia adalah negara“’semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat
satu”.

Proses persidangan berikut kemudian merumuskan dasar itu menjadi sila


ke-4 yang ekarang: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan.

Sila ini kerap kita pahami secara parsial. Hal ini terutama terjadi ketika
kita fokus pada satu aspek, seperti “permusyawaratan” saja. Perbuatan ini
tentunya adalah suatu perbuatan tidak adil terhadap sila ke-4.

Untuk pemahaman yang benar, kita kupas satu persatu aspek yang ada.
Setelah itu kita akan menemukan betapa dalamnya makna sila berlambang
kepala banteng ini.

“Kerakyatan” dan “demokrasi”

Ihwal kerakyatan pertama-tama adalah tentang “segala sesuatu yang


mengenai rakyat”. Dalam kehidupan politik nasional, makna kerakyatan
kemudian mengerucut pada “demokrasi”.

Kita harus camkan, demokrasi adalah kata serapan dalam bahasa


Indonesia. Dalam penyerapan suatu kata, mustahil kita preteli makna atau

14
konsep aslinya. Kemudian, secara konseptual demokrasi adalah buah-pikir
masyarakat Barat. Meski konsep demokrasi kemudian menjadi universal,
tetapi setiap negara mempunyai kisah dan sejarah masing-masing. Universal
sebagai suatu konsep, majemuk dalam pelaksanaan nasional.

Oleh karena itu tidak heran kita mengenal “Demokrasi Parlementer”,


“Demokrasi Terpimpin”, dan “Demokrasi Pancasila”. Ketiganya memiliki
persamaan: sistem pemerintahan. Mengapa kita coba sana coba sini? Karena
kita mencoba mencari sistem yang terbaik dan tercocok. Yang patut kita
camkan: demokrasi adalah alat, bukan tujuan.

Apakah yang menjadi tujuan “demokrasi” (baca: kerakyatan dalam arti


sempit)? Merujuk sila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Apakah ini artinya Pancasila adalah suatu sistem perjenjangan sila? Tidak,
sebab kelima sila paut-memaut sebagai dasar Indonesia Merdeka. Itu sebabnya
Sukarno kemudian mengatakan, urutan sila tidak penting. Pancasila bisa
menjadi Trisila, dan bahkan menjadi satu dasar: “gotong-royong”.

Dasar untuk apa? Untuk “Indonesia Merdeka” (baca: kerakyatan dalam


arti luas). Apakah yang menjadi tujuan “kerakyatan”? Merujuk pada
Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa;
dan melaksanakan ketertiban dunia.

Jadi kerakyatan adalah segala sesuatu yang mengantarkan kita


mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka, dan demokrasi adalah alat untuk
mencapai keadilan sosial bagi seluruh sia.

“Dipimpin”

Sifat pasif sangat dominan dalam penyusunan kalimat dalam bahasa


Indonesia. Hal ini terjadi sebagian karena budaya ewuh-pakewuh; sebagian
lagi karena pribadi/subyek penerima perbuatan adalah lebih penting
ketimbang pribadi/subyek pemberi perbuatan. Kepasifan ini lebih jelas
melalui “tut wuri handayani”: dari belakang mendukung/mendorong.

15
Jadi kerakyatan yang didukung/didorong “hikmat kebijaksanaan”, yang
merupakan buah dari “permusyawaratan perwakilan”, akan mengantarkan
rakyat Indonesia kepada tujuan Indonesia Merdeka.

“Hikmat kebijaksanaan”

Pancasila dengan akurat merumuskan kekhasan demokrasi kita. Bukan


tokoh atau suara mayoritas, tapi hikmat kebijaksanaan yang merupakan
penentu keberhasilan demokrasi. Demikian tinggi kearifan lokal kita dalam
menentukan kriteria kepemimpinan. Akibatnya: pribadi tanpa hikmat
kebijaksanaan tidaklah layak memimpin Indonesia. Pimpinan tanpa hikmat
kebijaksanaan tidak akan jauh dari kubang kesesatan. Bukankah hikmat
kebijaksanaan suatu utopia? Bukankah hanya para filsuf yang mengejar
kebijaksanaan?

Ada dua cara untuk memperoleh “hikmat kebijaksanaan”. Pertama,


kedalaman penguasaan ilmu pengetahuan yang melibatkan kontemplasi.
Kedua, pengalaman langsung ( first-hand experience) menghadapi berbagai
macam masalah. Cara kedua terangkum dalam perumusan sila ke-4.
“Permusyawaratan perwakilan” akan memberikan kita pengalaman yang
langsung berbuah pada hikmat kebijaksanaan. Jadi “hikmat kebijaksanaan”
adalah daya pimpin satu-satunya yang bisa mewujudkan kerakyatan yang kita
cita-citakan.

“Permusyawaratan perwakilan”

Bung Karno menyarankan agar segala tuntutan dan pertarungan ide


berlangsung di forum badan perwakilan. Kita boleh mati-matian berdebat, tapi
hanya terbatas di forum ini. Setelah selesai proses di sini, kita semua bersatu-
suara sebab kepentingan bangsa di atas segalanya. Namun kita juga belajar
memahami permasalahan sesama. Dengan kata lain: lebih berhikmat
kebijaksanaan setiap usai suatu permusyawaratan.

Siapa yang sudi membaca risalah sidang BPUPKI akan menemukan


penjelasan adisarjana hukum kita, Supomo, bahwa “permusyawaratan” dan

16
“perwakilan” adalah dua konsep yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum
Perubahan.

Pertama, musyawarah adalah pembahasan bersama oleh semua pihak. Itu


sebabnya UUD 1945 sebelum Perubahan mengenal Fraksi Utusan Golongan
dan Utusan Daerah di MPR. Kursi di MPR diperoleh bukan lewat pemilu,
tetapi sudah teralokasi sejak awal. Apapun hasil pemilu, semua elemen di
masyarakat harus tetap terwakili.

Kedua, forum musyawarah berbeda dengan forum perwakilan. DPR hanya


mengakomodasi hasil pemilu, tapi MPR mengakomodasi semua elemen
masyarakat. DPR sebagai mitra kerja Presiden, yang adalah “mandataris
MPR”.

Karena komposisi dan sifat kerjanya, secara konseptual DPR sulit


mencapai “hikmat kebijaksanaan”. Sulit, tapi bukannya mustahil. MPR yang
adalah lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat, mutlak
dituntut untuk melulu tergerak oleh “hikmat kebijaksanaan”.

Timbul pertanyaan-pertanyaan: Bukankah setelah Perubahan Ketiga UUD


1945, MPR tidak lagi memegang kedaulatan rakyat? Apakah MPR sekarang,
yang terdiri dari anggota DPR dan DPD hasil pemilu, sepadan dengan MPR
sebelum Perubahan? Apakah tidak mungkin permusyawaratan bersatu dalam
perwakilan di DPR?

Jawab: Pasca Perubahan rakyat kembali memegang penuh kedaulatan,


kecuali yang sudah dinyatakan dengan jelas dalam UUD 1945. Tidak, MPR
sekarang tidak sepadan dalam komposisi dengan MPR sebelumnya. Mungkin
saja permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR jika anggota DPR
mampu meraih kebijaksanaan karena penguasaan ilmu pengetahuannya
ataupun karena pengalaman langsung membimbingnya demikian.

Jelas Perubahan UUD 1945 mengeser sebagian penting dari konsep sejati
“permusyawatan perwakilan” ke luar forum lembaga tertinggi negara. Namun
karena Perubahan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, maka lembaga-

17
lembaga negara harus mampu menangkap dan menampung aspirasi sekecil
apapun di dalam masyarakat. Ulangi: lembaga negara, bukan anggota MPR,
bukan anggota DPR, bukan anggota DPD, tapi lembaga negara.

Jadi “permusyawaratan” tidak identik dengan“perwakilan”.

Sila ke-4 dan Pilkada oleh DPRD

Pancasila tetap menjadi dasar negara meski UUD 1945 mengalami


perubahan. Tidak ada perubahan filosofis, tetapi yang terjadi adalah perubahan
yuridis. Pancasila tetap menjadi dasar dari UUD 1945. Yang berubah adalah
bagaimana UUD 1945 pasca Perubahan mencoba membawa kita mewujudkan
tujuan Indonesia Merdeka.

Argumentasi tentang pilkada oleh DPRD Provinsi dapat kita terima


sebelum Perubahan. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR menjadi forum
permusyawaratan seluruh bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil musyawarah
(Garis-garis Besar Haluan Negara), MPR mengangkat Presiden sebagai
mandataris. Semua kepala daerah menjadi perpanjangan tangan Presiden,
sebab mereka adalah wakil Pemerintah Pusat di daerah. Jika aspirasi rakyat
tidak tertampung, maka kita masih bisa berharap MPR menjadi forum solusi
bersama.

Namun argumentasi itu menjadi tumpul ketika Perubahan UUD 1945


mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. MPR tidak lagi bermusyawarah
menghasilkan GBHN. Presiden menjadi mandataris rakyat yang terpilih secara
terpisah dari kepala daerah. MPR, DPR, dan DPRD tidak lagi berbeda secara
hakikat. Semua sama-sama hasil pemilihan dengan suara mayoritas, sehingga
tidak semua elemen masyarakat terwakili. Oleh sebab itu, tidak semua elemen
rakyat terwakili dalam memilih kepala daerah.

DPRD Provinsi terdiri dari para politisi yang terpilih dalam pemilu.
Politisi pada dasarnya adalah kader partai. Oleh karena itu mereka adalah
partisan. Karena partisan, adakah hikmat kebijaksanaan yang bisa kita

18
harapkan dari mereka? Jika hikmat kebijaksanaan saja masih mereka cari,
“musyawarah” seperti apakah yang bisa mereka hasilkan?

Berdasarkan uraian di atas, maka demokrasi menurut sila ke-4 bukanlah


“demokrasi perwakilan”. Perwakilan yang tidak menyeluruh tidak akan
menjadi suatu permusyawaratan. Tanpa permusyawaratan, tidak akan hadir
hikmat kebijaksanaan. Tanpa hikmat kebijaksanaan, kita hanya akan
mendapatkan kepemimpinan yang pandir. Kerakyatan yang dipimpin oleh
kepandiran adalah kekacauan.

Lalu bagaimanakah rakyat yang tidak terwakili suaranya di DPRD


Provinsi mengeksekusi kedaulatannya? Ya dengan memilih sendiri kepala
daerahnya!

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat


akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah
(RUU Pilkada) melalui mekanisme voting. Hasilnya, pemilihan kepala daerah
dikembalikan lewat DPRD.
Hasil voting menunjukkan sebanyak 226 anggota dewan memilih pilkada
lewat pilihan DPRD. Sedangkan, anggota DPR yang memilih Pilkada
langsung ada sebanyak 135 orang. Total, seluruh anggota DPR yang
mengikuti voting sebanyak 361 orang.
"Untuk pilkada langsung ada 135 orang, yang memilih pilkada dipilih DPRD
ada 226 orang. Dari total 361 orang yang hadir," kata Pimpinan Rapat
Paripurna, Priyo Budi Santoso di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (26/9/2014).
Pilkada melalui DPRD antara lain terdiri dari 55 orang anggota dari Fraksi
PKS, 44 orang dari Fraksi PAN, 32 orang dari Fraksi PPP, dan 22 orang dari
Fraksi Gerindra, serta Golkar ada 73 orang.
Anggota Fraksi Golkar ternyata tidak bulat satu suara. Ada 11 anggota
Fraksi Golkar yang mendukung pilkada langsung. Sementara pendukung
pilkada langsung lainnya yakni dari PDIP ada 88 orang.
Lalu, dari PKB ada 20 orang, dan Hanura 10 orang, serta ada enam orang
anggota Fraksi Partai Demokrat yang memberi suara untuk Pilkada langsung,

19
yaitu Harry Witjaksono, Ignatius Mulyono, Gede pasek suardika, Edy Sadeli
dan Hayono Isman dan Lim Sui Khiang.
"Dengan demikian rapat paripurna, utk subtansi ini lewat DPRD. Setuju?"
tanya Priyo. "Setuju," jawab peserta rapat.
Priyo kemudian menskors rapat dan dilanjutkan pada pukul 13.30 WIB.
Pasalnya, masih ada dua agenda RUU yang belum digarap Paripurna kali ini,
yaitu RUU Pemda dan RUU Administrasi Pemerintahan.

3.2.2 Pencurian
Artinya manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat
Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Dalam
menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu memperhatikan dan
mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Karena
mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama, maka pada dasarnya
tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebalum
diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu
diadakan musyawarah. Musyarwarah untuk mencapai mufakat ini, diliputi
oleh semangat kekeluargaan, yang merupakan ciri khas Bangsa Indonesia.

Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil


keputusan musywarah, karena semua pihak yang bersangkutan harus
menerimanya dan melaksankannya dengan baik dan tanggung jawab.

Kasus yang menyimpang : Hukuman antara koruptor? dengan pencuri kakao,


dan semangka.

Saya tidak tahu apakah Polisi dan Jaksa kita kekurangan pekerjaan
sehingga kasus pengambilan 3 biji kakao senilai Rp 2.100 harus dibawa ke
pengadilan. Begitu pula dengan kasus pencurian satu buah semangka, di mana
kedua tersangka disiksa dan ditahan polisi selama 2 bulan dan terancam
hukuman 5 tahun penjara. Sebaliknya untuk kasus hilangnya uang rakyat
senilai rp 6,7 trilyun di Bank Century, polisi dan jaksa nyaris tidak ada
geraknya kecuali pak Susno Duadji yang ke Singapura menemui Anggoro

20
salah satu penerima talangan Bank Century. Ini juga membuktikan bagaimana
Indonesia yang kaya alamnya ini tidak memberi manfaat apa-apa bagi
rakyatnya. Pihak asing bebas mengambil minyak, gas, emas, perak, tembaga
senilai ribuan trilyun/tahun dari Indonesia. Tapi rakyat Indonesia mayoritas
hidup miskin. Baru mengambil 3 biji kakao saja langsung dipenjara.

Itulah gambaran hukum yang terjadi di Indonesia. Tidak adanya keadilan


hukuman antara rakyat miskin dengan orang yang berkuasa. Hal in
menunjukkan bahwa hukum di Indonesia dapat dengan mudahnya diperjual
belikan bagi mereka yang mempunyai uang. Memang sungguh ironis ini
terjadi dinegara kita, yang notabennya adalah negara hukum, tetapi hukum
yang berjalan sangatlah amburadul. Seharusnya pemerintah lebih tegas kepada
mafia hukum, yang telah banyak mencuri hak-hak rakyat kecil.

Strategi pemberantasan mafia hukum seharusnya segera melakukan


langkah-langkah penting. Salah satu yang perlu dilakukan adalah memberikan
efek jera kepada para pejabat yang ketahuan memberikan fasilitas lebih dan
mudah kepada mereka yang terlibat dalam kejahatan. Selain itu, kepada para
pelaku kejahatan yang terbukti mencoba atau melakukan transaksi atas nama
uang, harus diberikan hukuman tambahan. Memberikan efek jera demikian
akan membuat mereka tidak ingin berpikir melakukan hal demikian lagi.

3.2.3 Perampok Tewas Dihakimi Masa


Dua perampok di Minas, kabupaten Siak, Riau tewas dihakimi oleh warga.
Kedua pelaku tertangkap basah warga saat akan merampok asrama di sebuah
perusahaan ssetempat.

Semula Ade dan Ucok serta kelima kawannya Rabu (8/10) sekitar pukul
20.00 WIT berencana merampok PT. Arara Abadi di Minas, kabupaten Siak di
Riau namun rencana mereka gagal setelah satpam perusahaan tersebut
memergoki mereka. Mereka kabur meninggalkan 4 sepeda motor serta tas
yang berisi senjata api rakitan.

Massa akhirnya berdatangan lalu mengejar mereka dan menangkap Ade,


Ucok dan Edi, sementara 4 rekan mereka yang lainnya berhasil kabur. Massa

21
yang bringas akhirnya menghajar Ade dan Ucok hingga tewas. Sementara Edi
yang babak belur berhasil diselamatkan polisi.

Belum puas menghajar para perampok tersebut, massa juga membakar


sepeda motor RX King milik perampok tersebut. Polisi kini menangkap Edi,
sedangkan mayat Ade alias Bento dan Ucok dikirim ke rumah sakit Pekan
Baru untuk di Visum.

Tanggapan:

Kasus perampokan yang terjadi di Minas tersebut kami kaitkan dengan sila
ke-4 yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawarata perwakilan. Dalam kasus ini satpam dan warga sekitar PT.
Arara Abadi bertindak sewenang-wenang menghakimi perampok sampai
tewas, tanpa dimusyawahkan terlebih dahulu tindakan apa yang seharusnya
dilakukan pada peampok tersebut. Satpam dan masyarakat seharusnya
mengambik tindakan sesuai dengan pancasila sila ke-4. Yaitu dengan
menahan perempok tersebut lalu melaporkannya pada pihak yang berwajib
untuk diadili.

22
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Setelah menyelesaikan makalah ini, kami dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:

1. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan perwakilan merupakan sila keempat pancasila, yang
mengandung arti atau makna penerimaan dari rakyat oleh rakyat, untuk
rakyat dengan cara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga
perwakilan.
2. Terdapat nilai-nilai sila keempat antara lain menjunjung tinggi asas
musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang adil dan beradab dan
mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan social agar
tercapainya tujuan bersama.
3. Tidak adanya ketegasan dari pemerintah terhadap kasus-kasus yang
terjadi.
4. Kurangnya kepemimpinan dalam menjamin kerukunan antar umat
5. Implementasi sila keempat adalah menerapkan nilai-nilai yang terdapat
pada sila keempat antara lain menghargai persamaan derajat yaitu setiap
manusia memiliki persamaan hak dan kewajiban, mengutamakan
musyawarah untuk mencapai mufakat, serta dengan itikad baik dan rasa
tanggung jawab menerima dan melaksanakan  hasil keputusan
musyawarah.
6. Sila keempat telah diterapkan di Indonesia, namun masih ada pelanggaran
antara lain demonstrasi yang dilakukan tanpa melapor kepada pihak yang
berwajib, tidak menerima hasil musyawarah dan kasus kecurangan
terhadap pemilu dan  masih banyak pelanggran yang dilakukan oleh warga
negara dan juga pemerintah yang tidak sesuai dengan Pancasila sila ke-

23
empat dikarenakan masih ada masyarakat yang lebih mementingkan
kepentingan kelompoknya daripada kepentingan Negara.

4.2 Saran
Setelah menyelesaikan makalah ini, kami memiliki menganjurkan kepada
semua pembaca sebaiknya mempelajari dan memahami arti pancasila lebih dalam
lagi agar dapat melaksanakan atau bisa menerapkan pancasila di masyarakat.
Setelah memiliki pemahaman tentang pancasila akan lebih baik apabila hal
tersebut di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan ditularkan kepada aorang-
orang terdekat agar tercipta hubungan yang harmonis baik itu dengan Tuhan dan
manusia.

24
DAFTAR PUSTAKA

http://www.pusakaindonesia.org/nilai-dasar-sila-keempat-dalam-pancasila/

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/13/pengamat-lipi-koalisi-merah-
putih-salah-memaknai-arti-sila-ke-4-pancasila

http://www.academia.edu/9434614/Makna_sila_ke-4_Pancasila

http://law.ui.ac.id/v2/buletin/media/114-makna-sila-ke-4-dalam-konteks-pilkada

http://www.idsejarah.net/2014/01/kepemimpinan-karakter-pancasila.html

25

Anda mungkin juga menyukai