Anda di halaman 1dari 21

HUKUM BISNIS

FRANCHISE/WARALABA

Nama : Silva Tasya Tanjung

NIM : 115180315

Kelas : CX

Universitas Tarumanagara

Fakultas Ekonomi

2019
KATA PENGANTAR

Pertama – tama saya ucapkan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga

saya dapat menyelesaikan tugas makalah hukum bisnis dengan tema

“Franchise”. Dalam menyelesaikan tugas ini saya cukup mendaptkan

kesulitan, tetapi berkat bimbingan, pengarahan serta bantuan dari

berbagai pihak, akhirnya tugas ini dapat terselesaikan dengan baik dan

selesai pada waktu yang telah ditentukan. Tidak lupa saya ucapkan

terimakasih kepada Ibu Rita Erlina SH, M.Hum selaku pengajar dan

pebimbing saya dalam mata kuliah Hukum Bisnis. Saya sebagai penulis

makalah ini menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan

makalah ini. Oleh karena itu saya menerima kritik dan saran guna

menyempurnakan tulisan selanjutnya. Harapan saya sebagai penulis,

kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi siapa saja

terimakasih.

Jakarta, 27 Oktober 2019

Silva Tasya Tanjung

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................ i

Daftar Isi ................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan................................................................................... 1

1.1 Sejarah dan Perkembangan Waralaba/Franchise ............ 1

1.2 Pengertian Waralaba/Franchise ........................................ 2

1.3 Kelebihan dan Kekurangan Waralaba/Franchise .......... 4

1.4 Manfaat Waralaba/Franchise ............................................. 4

1.5 Perlindungan Hukum Usaha

Waralaba/Franchisee di Indonesia ................................... 5

1.6 Dasar Hukum Waralaba/Franchise ................................... 5

Bab II Permasalahan .............................................................................. 6

Bab III Pembahasan ............................................................................... 7

Bab IV Penutup ....................................................................................... 15

4.1 Kesimpulan ............................................................................ 15

4.2 Saran ....................................................................................... 16

Daftar Pustaka ......................................................................................... 17

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Sejarah dan Perkembangan Waralaba/Franchise

Waralaba pertama kali dikenal di Amerika Serikat pada

tahun 1851 ketika Isaac M.Singer menentukan suatu metode

yang dikenal lebih efisien untuk menjual mesin jahit Singer.

Pada saat itu, Singer membangun jaringan distribusi hamper di

seluruh daratan Amerika untuk menjual produknya. Disamping

menjual mesin jahit, para distributor tersebut juga memberikan

pelayanan purna jual dan suku cadang. Walaupun tidak

terlampau berhasil, Singer telah menebarkan benih untuk

franchising di masa yang akan dating dan dapat diterima secara

universal. Pada tahun 1887 Asa Chandler membeli hak untuk

distribusi minuman ringan Coca Cola. Di inggris waralaba

dirintis oleh J. Lyons melalui Wimpy and Golden Egg pada

decade 1960-an.

Pada tahun 1950 hingga 1960-an menjadi saksi dengan

lahirnya berbagai waralaba yang kini menjadi waralaba besar

dan terkemuka seperti Holiday Inn, Sheraton, Dunkin Donuts,

Burger King, Baskin-Robbins, Wendy’s dan Kentucky Fried

Chicken (KFC)

1
Di Indonesia waralaba mulai dikenal pada tahun 1970

hingga 1980-an dengan hadirnya waralaba asing seperti Shakey

Pisa, KFC, Swensen dan Burger King.

Pada awal tahun 1990-an International Labour Organization

(ILO) pernah menyarankan Pemerintah Indonesia untuk

menjalankan system franchise guna memperluas lapangan kerja

sekaligus merekrut tenaga-tenaga ahli franchise untuk

melakukan survei, wawancara, sebelum meberikan

rekomendasi. Hasil kerja para ahli franchise tersebut

menghasilkan “Franchise Resource Center” dimana tujuan

lembaga tersebut adalah mengubah berbagai macam usaha

menjadi franchise serta mensosialisasikan sistem franchise ke

masyarakat Indonesia. Istilah franchise ini selanjutnya menjadi

istilah yang akrab dengan masyarakat, khususnya masyarakat

bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk

mendalaminya, kemudian istilah franchise dicoba di Indonesia

dengan istilah “Waralaba” yang diperkenalkan pertama kali

oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen

(LPPM) sebagai padanan istilah franchise.

1.2. Pengertian Waralaba/Franchise

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

42 Tahun 2007,waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh

orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis

2
dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang

dan/atau jasa yang telah terbukti dan dapat dimanfaatkan

dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian

waralaba

Menurut Asosiasi Franchise Indonesia, waralaba adalah

suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan

akhir, di mana pemilik merek (pewaralaba) memberikan hak

kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis

dengan merek, nama, sitem, prosedur dan cara-cara yang telah

ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi

area tertentu.

Menurut Munir Fuady, waralaba adalah suatu cara

melakukan kerjasama di bidang bisnis antara 2 (dua) atau lebih

perusahaan, dimana 1 (satu) pihak akan bertindak sebagai

franchisor dan pihak yang lain sebagai franchisee, dimana

didalamnya diatur bahwa pihak yang franchisor sebagai pemilik

suatu merek dari know-how terkenal, memberikan hak kepada

franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari atas/suatu

produk barang atau jasa, berdasar dan sesuai dengan rencana

komersil yang telah dipersiapkan, di ujji keberhasilannya dan

diperbaharui dari waktu ke waktu, baik atas dasar hubungan

yang eksklusif ataupun noneksklusif dan sebaliknya suatu

imbalan tertentu akan dibayarkan kepada franchisor sehubungan

dengan hal tersebut.

3
1.3. Kelebihan dan Kekurangan Waralaba/Franchise

Kelebihan franchise:

1. Pengakuan reputasi (branded image)

2. Standarisasi mutu

3. Bantuan modal

4. Bantuan manajemen

5. Profit relatif tinggi karena telah teruji

Kekurangan franchise:

1. Tidak mandiri

2. Kreativitas tidak berkembang

3. Menjadi independen, terdominasi

4. Rentan terhadap perubahan franchisor

5. Perjanjian atau kontrak franchise

1.4. Manfaat Waralaba /Franchise

Manfaat yang diperoleh oleh franchisor:

1. Pengembangan usaha dengan biaya yang relatif murah

2. Potensi passive income yang besar

3. Efek bola salju dalam hal brand awareness dan brand equity

usaha

4. Terhindar dari Undang-Undang Antimonopoli

Manfaat yang diperoleh oleh franchisee:

4
1. Memperkecil risiko kegagalan usaha

2. Menghemat waktu, tenaga, dan dana untuk proses trial dan

error

3. Memberi kemudahan dalam operasional usaha

4. Penggunaan nama merek yang sudah lebih dikenal

masyarakat

1.5. Perlindungan Hukum Usaha Waralaba/Franchisee di Indonesia

Perlindungan hukum didasarkan pada: Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

1.6. Dasar Hukum Waralaba/Franchise

1. Peraturan khusus

2. Perjanjian sebagai dasar hukum KUHPerdata pasal 1338

(1), 1233 s/d 1456 KUHPerdata

3. Hukum keagenan sebagai dasar hukum

4. UU Merek, Paten dan Hak Cipta sebagai dasar hukum

5. Perundang-undangan lain sebagai dasar hukum

5
BAB II

PERMASALAHAN

2.1. Mengapa franchisor Indonesia tidak mampu bersaing dengan franchisor

dari luar negeri ? Sehingga hal tersebut menyebabkan franchisor

Indonesia sulit untuk go internasional.

2.2. Bagaimana jika franchisee yang telah memutuskan kontrak dengan

franchisor membuka usaha sendiri yang sejenis dengan milik franchisor

sehingga menimbulkan persaingan dan kompetisi dengan usaha franchisor

sebelumnya ?

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Permasalahan 2.1

Pertumbuhan industri waralaba lokal sampai saat ini, dinilai belum

signifikan. Sementara, waralaba asing begitu deras mengalir ke Tanah

Air. Agar bisa bersaing, pelaku usaha dinilai harus lebih memperhatikan

manajemen dari bisnis waralaba mereka tersebut. Serbuan waralaba asing

pun semakin tampak dalam setiap event atau pameran franchise, yang

diselenggarakan di Indonesia. Kendati begitu, eksistensi waralaba lokal

secara kuantitas belum mampu mengimbangi pamor waralaba asing.

Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) mengatakan, pertumbuhan

industri waralaba tidak lebih dari 2% setiap tahunnya. Ada sekitar 400

waralaba asing yang berkembang di Indonesia. Sementara, pemain

waralaba lokal masih bertengger di sekitar angka 200 secara kuantitas.

Definisi waralaba nyatanya belum dipahami secara jelas, oleh para

pemain dalam industri waralaba. Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor

42 Tahun 2007, bisnis waralaba semestinya sudah memiliki ciri khas

usaha, terbukti sudah memberikan keuntungan, memiliki standar atas

pelayanan atau barang yang ditawarkan, dan dibuat secara tertulis. Selain

itu, dukungan yang berkesinambungan juga harus ada, dan memiliki hak

atas kekayaan intelektual yang telah terdaftar. Sayangnya, beberapa

pengamat menilai masih banyak pemain yang usahanya tidak bisa

7
bertahan dalam waktu yang cukup lama, lantaran tidak memiliki

fundamental yang kuat.

Masalah utama yang kerap dijumpai dalam bisnis waralaba adalah

SDM dan penataan risiko. Seharusnya franchisor sudah mempunyai

sistem dan strategi untuk mengatur orang lain. Namun kenyataannya, hal

yang ada saat ini, banyak usaha waralaba lokal yang terlalu cepat

memutuskan untuk mewaralabakan usaha mereka. Padahal, mereka belum

mempunyai bukti yang cukup bahwa usaha mereka tersebut telah

memiliki pencapaian yang maksimal. Hal inilah yang kemudian merusak

industri waralaba Indonesia. Menurut Konsultan Waralaba dari Ben

WarG Consulting, secara produk, kreativitas pelaku UMKM di Indonesia

masih bersaing. Yang masih jauh tertinggal adalah penerapan manajemen

pada perusahaan franchisor-nya. Hal tersebut yang membuat waralaba

lokal hanya bertahan sekitar empat sampai tujuh tahun. Para pelaku

UMKM, khususnya franchisor atau pihak-pihak yang mewaralabakan

usaha mereka, perlu memiliki laporan keuangan yang jelas, sebelum

memutuskan untuk mewaralabakan bisnis mereka. Pasalnya waralaba

bukan hanya sekedar menjual merek dari sebuah produk, tetapi juga

konsep bisnis, target pencapaian, dan strategi operasional agar selalu

terkendali. Sehingga nantinya, bisnis itu dapat berjalan secara

berkesinambungan.

Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI)

mengungkapkan penyebab produk waralaba Indonesia kalah bersaing

dengan waralaba asing dinegeri sendiri disebabkan kemudahan perizinan

8
bagi waralaba asing di Indonesia. Selain mudahnya perizinan juga pajak

yang terbilang ringan dibandingakn untuk waralaba lokal yang masih

dibebani pajak yang tidak bersahabat. Hal ini membuat waralaba asing

mendominasi di Indonesia, padahal produk waralaba Indonesia tidak

kalah bagus dari waralaba asing. Selain itu banyaknya persyaratan yang

membuat pelaku usaha waralaba lokal sulit mengembangkan usahanya

seperti Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STWP) yang seharusnya

dipermudah. Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) mengatakan

Malaysia, Thailand, Jepang, Korea Selatan, dan banyak negara lainnya

mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah masing-masing. Malaysia

misalnya, menjalankan program penguatan waralaba lokal dengan dana

100 juta ringgit dalam periode 2003-2008 dan Negeri Jiran sudah

mempunyai franchise di lebih dari 50 negara. Thailand pun memiliki

program pengembangan 1.000 restoran di seluruh dunia. Pemerintah juga

seharusnya membantu waralaba lokal berekspansi ke luar negeri ,

diantaranya dengan menbantu dengan pendanaan khusus dan promosi.

Tetapi pada saat ini pemerintah melakukan hemat anggaran yang

menyebabkan tidak semuanya waralaba dipromosikan oleh pemerintah.

Dan juga rata-rata pewaralaba yang bisa ekspansi di luar negeri adalah

pemain besar dengan permodalan yang sudah sangat kuat. Sementara itu,

pemain menengah belum terlalu berani, karena tidak ada insentif dari sisi

permodalan. Akses permodalan yang terbatas salah satunya disebabkan

oleh bunga pinjaman perbankan yang terlalu tinggi. Walhasil, para

pelaku menunda ekspansi kendati telah memiliki gambaran potensi pasar

9
di luar negeri. Tetapi, faktor lain yang membuat pelaku usaha tidak mau

ke luar negeri adalah karena pasar domestik masih sangat besar untu

digarap

Di sisi lain, bantuan dari pemerintah masih terbatas kepada

pemberian slot untuk mendirikan stan di pameran internasional. Untuk

mengikuti pameran, para pelaku waralaba harus mengeluarkan dana

sendiri untuk menyewa stan, mengangkut barang, dan melakukan

promosi di negara tujuan. Contohnya Malaysia, yang memberi dukungan

berupa bunga kredit permodalan bagi peritel dan waralaba untuk ekspansi

ke luar negeri hingga 0%. Akibatnya, mereka bisa berkembang pesat

untuk melakukan ekspansi di pasar internasional. Selain itu, kendala lain

yang dihadapi para pelaku adalah kesiapan sumber daya manusia untuk

ditempatkan di luar negeri. Para pengusaha masih menemui kesulitan

dalam menempatkan karyawan yang memiliki spesialisasi untuk

melakukan pelatihan terhadap pekerja lokal di negara tujuan agar sesuai

dengan kriteria yang dibutuhkan perusahaan. Sejauh ini ekspansi para

pewaralaba dan peritel modern Indonesia masih tersentral di Asia

Tenggara, Asia Tengah, dan Timur Tengah. Hal itu disebabkan kultur

kebudayaan dan kebutuhan produk di kawasan-kawasan tersebut hampir

serupa dengan Indonesia. Para peritel yang sudah melakukan ekspansi ke

luar negeri mengaku insentif dari negara tujuan masih belum dapat

dimaksimalkan lantaran modal yang dimiliki pengusaha terbatas. Dengan

adanya kondisi tersebut , ekspansi peritel ke luar negeri relative kecil

dibandingkan dengan potensi yang tersedia.

10
3.2. Permasalahan 2.2

Asas perjanjian yang tersirat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

yaitu asas kebebasan berkontrak. Pasal tersebut menyatakan bahwa

semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Sampai dengan batas tertentu, ketentuan

dalam perjanjian yang disepakati oleh para pihak harus dihormati. Di

Indonesia meskipun tidak dirumuskan secara eksplisit mengenai

pembatasan tersebut, namun dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata,

terdapat pembatasan bahwa setiap perjanjian tidak boleh bertentangan

dengan peraturan, kesusilaan dan ketertiban umum. Secara khusus dalam

peraturan tertentu yang melarang setiap perbuatan hukum atau peristiwa

hukum yang menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum.

Sehubungan dengan syarat sahnya perjanjian waralaba antara

pemberi waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee),

harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai

berikut :

1. Adanya kesepakatan (isi atau klausul perjanjian)

2. Umur para pihak sudah mencapai 18 tahun atau sudah pernah

melakukan perkawinan (cakap atau dewasa menurut hukum)

3. Mengenai hal tertentu, dalam hal ini mengenai waralaba

4. Suatu causa yang halal, tidak bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan, atau ketertiban umum.

11
Pengertian waralaba yaitu hak khusus yang dimiliki oleh orang

perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas

usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti

berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain

berdasarkan Perjanjian Waralaba (Pasal 1 butir 1 Permendag 31/2008).

Berdasarkan pengertian tersebut, hal yang perlu dipahami terkait

dengan pemberian lisensi dalam waralaba adalah kerahasiaan atas

seluruh data, keterangan dan informasi yang diperoleh oleh penerima

waralaba dari pemberi waralaba. Umumnya, lisensi merupakan rangkaian

independen dan sulit dipisahkan. Untuk melindungi rangkaian inilah

maka kemudian dilakukan pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

dan selanjutnya pemberi waralaba mewajibkan penerima waralaba untuk

merahasiakannya. Adapun Perjanjian Waralaba berdasarkan Pasal 5 PP

42/2007 Perjanjian Waralaba, setidaknya memuat:

1. Nama dan alamat para pihak;

2. Jenis Hak Kekayaan Intelektual;

3. Kegiatan usaha;

4. Hak dan kewajiban para pihak;

5. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran

yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;

6. Wilayah usaha;

7. Jangka waktu perjanjian

8. Tata cara pembayaran imbalan;

9. Kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;

12
10. Penyelesaian sengketa;dan

11. Tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian

Pemberi waralaba memiliki andil besar dalam sistem waralaba yang

telah dikembangkannya karena dianggap berhasil dan oleh karenanya

telah didaftarkan dan memperoleh Surat Tanda Pendaftaran Waralaba

(STWP). Kerahasiaan ditujukan untuk melindungi bisnis yang dimiliki

pemebri waralaba dari “pencurian” oleh penerima waralaba. Walaupun

dalam praktiknya jamak kali dilakukan pengembangan- pengembangan

atas “rahasia” bisnis tersebut melalui car ATM (Amati, Tiru, Modifikasi)

yang kemudian sudah menjadi sistem waralaba baru yang independen.

Merujuk lagi pada kerahasiaan dan upaya untuk melindunginya,

maka diatur ketentuan non-kompetisi (non-competition clause). Jika

dalam ketentuan kerahasiaan penerima waralaba hanya diwajibkan untuk

merahasiakan data dan informasi sistem waralaba, dalam ketentuan non-

kompetisi ini penerima waralaba tidak diperkenankan untuk

melaksanakan kegiatan yang sama, serupa, mirip, ataupun yang langsung

atau secara tidak langsung akan berkompetisi dalam kaitan pemberian

lisensi waralaba tersebut dalam jangka waktu teretentu. Baik dengan

menggunakan atau tidak mempergunakan satu atau bahkan lebih

informasi yang dimiliki oleh penerima waralaba. Pembatasan non-

kompetisi ini dalam banyak hal ditindaklanjuti dengan larangan

melakukan kegiatan yang serupa dengan waralaba setelah pengakhiran

perjanjian waralaba. Apabila Penerima Waralaba (franchisee) melanggar

ketentuan non-kompetisi tersebut maka Pemberi Waralaba (franchisor)

13
dapat menuntut Penerima Waralaba (franchisee). Sepanjang ketentuan

non-kompetisi tersebut disepakati oleh para pihak dalam perjanjian

waralaba, maka ketentuan tersebut sah dan berlaku mengikat para pihak.

14
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Penyebab produk waralaba Indonesia kalah bersaing dengan waralaba

asing dinegeri sendiri adalah kemudahan perizinan bagi waralaba asing di

Indonesia, mudahnya perizinan pajak dibandingkan untuk waralaba lokal

dan juga kurangnya dukungan dan promosi dari pemerintah. Berbeda

dengan Indonesia, negara Malaysia, Thailand, Jepang, Korea Selatan, dan

banyak negara lainnya mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah

masing-masing. Seharusnya pemerintah Indonesia dapat mengikuti hal

tersebut agar waralaba Indonesia dapat melangkah ke go internasional

Dan jika franchisor ingin bisnisnya go internasional, franchisor harus

lebih memperhatikan manajemen dari bisnis waralaba mereka. Selain itu,

dukungan yang berkesinambungan juga harus ada, dan memiliki hak atas

kekayaan intelektual yang telah terdaftar.

2. Terdapat ketentuan non-kompetisi dalam perjanjian waralaba antara

franchisor dan franchisee yang didalamnya berisi ketentuan kerahasiaan

penerima waralaba hanya diwajibkan untuk merahasiakan data dan

informasi sistem waralaba, dalam ketentuan non-kompetisi ini penerima

waralaba tidak diperkenankan untuk melaksanakan kegiatan yang sama,

serupa, mirip, ataupun yang langsung atau secara tidak langsung akan

berkompetisi dalam kaitan pemberian lisensi waralaba tersebut dalam

jangka waktu teretentu. Baik dengan menggunakan atau tidak

15
mempergunakan satu atau bahkan lebih informasi yang dimiliki oleh

penerima waralaba. Pembatasan non-kompetisi ini dalam banyak hal

ditindaklanjuti dengan larangan melakukan kegiatan yang serupa dengan

waralaba setelah pengakhiran perjanjian waralaba. Sepanjang ketentuan

non-kompetisi tersebut disepakati oleh para pihak dalam perjanjian

waralaba, maka ketentuan tersebut sah dan berlaku mengikat para pihak

4.2. Saran

1. Sebaiknya pemerintah mendukung secara penuh franchisor dengan cara

mempermudah pembuatan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW)

dan memberikan bantuan untuk mendirikan stan di pameran internasional

2. Sebaiknya franchisee membuka usaha sendiri dengan produk yang

berbeda dari franchisor sebelumnya. Dimana produknya yang dijual lebih

unik dari produk franchisor sebelumnya

16
DAFTAR PUSTAKA

Slamet, Franky (2016). Pengantar Manajemen Waralaba, Jakarta:Indeks.

https://ekbis.sindonews.com/read/1436984/34/ini-penyebab-waralaba-

lokal-kalah-bersaing-di-indonesia-1567726254?

fbclid=IwAR0DTiKf2R326ooZiNtCXHxlMpuoYRlcAcoQf2IY7KjNU92

TxvlgypAq9-E

https://ekonomi.bisnis.com/read/20190514/12/922398/alasan-waralaba-

indonesia-sulit-berkembang-di-luar-negeri

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4718/kontrak-

perjanjian-franchise/?fbclid=IwAR2y4jETMu_tsC9mWKXm-OV-

AbcvXJ-8cEwatD8YKrkcY1E18_dYnuK2sSI

https://contohdanfungsi.blogspot.com/2013/03/waralaba-manfaat-dan-

penjelasan-waralaba.html?m=1&fbclid=IwAR2y4jETMu_tsC9mWKXm-

OV-AbcvXJ-8cEwatD8YKrkcY1E18_dYnuK2sSI

https://subaripemuda.blogspot.com/2015/06/makalah-franchise-waralaba-

lengkap.html?m=1&fbclid=IwAR1raS5Z5-hflcLnXrjybszbvodpnC-

Bm6P3tym6wOe7nKLLLcqeEhCKxps

17

Anda mungkin juga menyukai