Anda di halaman 1dari 6

Review Buku

Oleh : Hasanatul Fitria

Judul : Menuju Pemikiran Filsafat

Pengarang : Muhammad In’am Esha

Penerbit : UIN Maliki Press

Tahun Terbit : 2010

Jumlah Halaman : 144 halaman

“Siapa yang menguasai pengetahuan, maka ia menguasai dunia”, kalimat inilah yang pertama
kali saya camkan saat memulai membaca buku ini. Bagaimana tidak? statement ini berada diawal
pengantar bab satu pada buku “Menuju Pemikiran Filsafat”.

Buku ini memiliki tujuh bab yang memiliki fokus berbeda pada tiap babnya. Bab satu membahas
mengenai kuasa dan hasrat pengetahuan. Bab dua membahas mengenai filsafat dan pemenuhan hasrat
pengetahuan manusia. Bab tiga membahas mengenai transmisi filsafat dalam tradisi islam. Bab empat
membahas tentang pohon filsafat. Bab lima membahas mengenai metafisika. Bab enam mengenai
epistimologi dan yang terakhir yakni bab tujuh yag membahas aksiolog.
Pada bab satu dalam buku ini kita disuguhkan dengan perbincangan mengeni kekuasaan yang
mana kekuasaan itu kadang kala tidak dapat dilepaskan dari ranah politik. Ada banyak pendapat tentang
makna kekuasaan dalam konteks politik. Disini penulis menyertakan beberapa pendapat para tokoh.
Tetapi apabila dikerucutkan kita akan digiring pada pernyataan bahwa sesungguhnya manusia adalah
khalifatullahi fil ardl.

Kekuasaan yang dimaksud dalam buku ini adalah sikap netral, bahkan positif. Kekuasaan
adalahpotensi hidup yang dianugerahkan Allah swt. Kepada manusia untuk menciptakan kehidupan
yang penuh kasih sayang bagi semua atau yang biasa disebut dengan “rahmatan lil alamiin”.

Manusia telah dibekali Allah swt. dengan beragam alat pengetahuan yaitu: indera, akal, dan
hati. Ketiga alat tersebut merupakan modal dasar yang sangat penting untuk mendapatkan
pengetahuan. Akibatnya, manusia memunculkan rasa ingin tahunya melalui pertanyaan-pertanyaan.
Namun demikian, keingintahuan manusia yang tak terbatas itu membuka peluang untuk memunculkan
beberapa pertanyaan fundamental yang bisa jadi pertanyaan tersebut tidak mungkin dijawab dengan
menggunakan pendekatan ilmiah.

Dalam bab ini, penulis menyelipkan beberapa konteks islami yang menunjang pemikiran-
pemikiran filsafat. Seperti yang dijelaskan penulispada halaman keenam belas pada buku ini. Disebutkan
bahwa Al-Quran meegaskan bahwa orang yang berilmu akan memiliki derajat yang tinggi. Keinginan
manusia untuk berkuasa yang ditopang dengan kemampuan untuk berpengetahuan bukannya tanpa
tujuan.

Kekuasaan yang diinginkan oleh manusia harus dimuarakan untuk mencapai ridha Allah atau
“kuasa ilahiyah”. Oleh karena itu, dalam Islam relasi kuasa atau pengetahuan harus didasari juga dengan
keimanan sehingga membentuk relasi tiga hal, yakni iman, pengetahuan, dan kuasa.

Memasuki bab dua pada buku ini, penulis mengulas tentang filsafat dan pemenuhan hasrat
pengetahuan manusia. Pada awalnya penulis memaparkan mengenai pengertian filsafat, yakni berasal
dari kata berbahasa Yunani philos yang artinya kekasih dan sophia yang artinya kebijaksanaan atau
kearifan. Apabila disatukan menjadi kata filsafat yang berarti “cita kepada kebijaksanaan”. Kemudian
penulis menyertakan beberapa pendapat mengenai pengertian filsafat oleh beberapa ahli seperti Plato,
Aristoteles, Descartes, Al-Farabi, dan lain-lain. Bila diringkas berfikir filsafat dapat dipahami sebagai
proses berpikir tentang segala sesuatu yang ada secara universal, radikal, dan rasional untuk
mendapatkan kebenaran yang hakiki.
Beberapa perbandingan antara ilmu sains dan ilmu filsafat disebutkan pada bab kedua di buku
ini. Sains membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat diindera, atau alam empiris. Sedangkan filsafat
mencakup pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains. Tetapi kedudukan filsafat sebagai salah satu
modus mendapatkan pengetahuan bagi manusia disbanding dengan pengetahuan yang lain adalah
saling melengkapi.

Pada bab ketiga buku ini, penulis membahas mengenai transmsi filsafat dalam tradisi Islam.
Pada bab ini dijelaskan bahwa Nampak jelas bahwasanya perkembangan intelektual umat Islam
memungkinkan untuk tumbuh dan maju karena ada kemampuan dan kecanggihan dalam mengadopsi
dan sekaligus mengadaptasi tradisi pemikiran yang ada diluar Islam. Adanya fenomena adopsi, adaptasi,
dan kreasi dalam realitas historis telah meniscayakan umat Islam untuk tidak semata-mata meniru
tradisi pemikiran lain.

Bab ketiga ini juga menjelaskan bagaimana Islam telah enjadi fenomena baru di kalangan
masyarakat Arab yang mana ajaran Nabi Muhammad mempu mengubah pengenalan awal masyarakat
Arab yang kurang teratur menjadi sebuah kelompok untuk tujuan penyelesaian perselisihan antar
kelompok. Prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an juga turut andil pada transmisi filsafat dalam tradisi
Islam karena telah memperkenalkan kepada mereka sebuah konsep tentang kenyataan yang
mengedepankan persaudaraan diatas iiman dan membentuk pribadi yang unggul. Kemudian membawa
umat Islam kepada sebuah arah titik terang kemajuan yang sangat luar biasa dalam peradabannya.

Filsafat sebagai sebuah ilmu yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah dipengaruhi oleh
tradisi pemikiran Yunani. Perkembangan tradisi filsafat ini tidak terlepas dari tiga hal. Yang pertama
yakni internasionalisasi yang kemudian menyebabkan umat Islam berinteraksi dengan tradisi lain diluar
Islam. Yang kedua yaitu berkembangnya tradisi penerjemah karya-karya klasik yang tidak sekedar karena
semangat untuk memenuhi kebutuhan material tetapi juga disebabkan semangat religious yang tinggi.
Yang ketiga yaitu dukungan yang besar dari institusi negara atau pejabat pemerintah.

Perbedaan filsafat Islam dengan filsafat pada masa Yunani adalah filsafat Islam berlandaskan al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah, isu-isu dalam filsafat Islam direspon dalam perspektif “nur islam” , dan
terdapat permasalahan khas yang merupakan karya asli para filsuf Islam.

Bab keempat pada buku ini menjelaskan mengenai pohon flsafat. Seperti yang kita ketahui
bahwa setiap pohon memiliki beberapa bagian penting sehingga mengakibatkan pohon tersebut dapat
hidup dan berkembang.
Seperti halnya pohon, filsafat juga memiliki akar filsafat uang berupa ketakjuban atau
kekaguman, ketidakpuasan, keinginan untuk bertanya dan keraguan. Batang filsafat menjadi symbol apa
yang mejadi penopang utama dalam berfilsafat, yakni kegiatan berfikir dana pa yang dihasilkan dalm
proses berfikir itu tadi. Cabang dan ranting filsafat mejelaskan beberapa pembahasan utama dari
masing-masing cabang filsafat. Ada tiga inti cabang filsafat yakni mefisika, epistimologi, dan aksiologi.
Pada ranting-ranting ini nantinya memiliki sub-sub pokok bahasan lagi yang dinamakan daun filsafat.

Yang terakhir pada bab ini yakni buah filsafat yang menjadi simbol dari inti pokok tujuan filsafat
yaitu untuk meraih kebenaran yang sesungguhnya. Kemudian dapat menghasilkan beberapa teori yang
menjadi norma-norma dalam masyarakat. Dan dapat dijadikan kritik terhadap aspek kehidupan yang
kurang sejalan dengan perkembangan zaman.

Bab yang kelima membahas mengenai metafisikan. Pada bab ini, penulis menyertakan beberapa
pengertian tentang metafisika oleh para ahli. Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika
yang secara bahasa diartikan sesudah fisika. Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas persoalan
yang ada sebagai sesuatu yang ada. Sebagai pembahasan yang sangat mendasar mengenai metafisika,
metfisika menjadi sebuah permasalahan yang mendapatt perhatian di kalangan para filsuf.

Metafisika berfungsi sebagai ilmu untuk memahami hakikat suatu kenyataan dan sebagai dasar
dari dasarnya sebuah ilmu. Metafisika dibagi menjadi dua yakni metafisika umum dan metafisika khusus.
Meskipun pembahasan dalam metafisika mutakhir sangat banyak, dalam pembahasan ini hanya dibatasi
pada dua hal tentag permaasalahan pokok metafisika, yaitu yang terkait dengan persoalan kuantitas
realitas dan yang terkait dengan persoallan kualitas realitas. Yang pertama memunculkn aliran monism,
pluralism, dan hierari wujud. Sedangkan yang kedua memunculkan aliran idealisme, materialism, dan
dualisme.

Bab selanjutnya membahas tentang epistimologi. Seperti halnya bab-bab sebelumnya,


pembahasan pada bab ini diawali dengan pengertian. Secara bahasa, epistimologi berasal dari bahasa
Yunani episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti ilmu atau pikiran. Apabila
disimpulkan, epistimologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu
pengetahuan.

Pada bab ini terdapat beberapa hal penting yang dapat kita cermati tentang epistimologi.
Pertama, epistimologi berkenaan dengan sifat pengetahuan, kemungkinan, cakupan, dan dasar-dasar
pengetahuan. Kedua, epistimologi membahas tentang reliabilitas pengetahuan. Lalu yang ketiga
epistimologi melakukan penelusuran tentang sumber, struktur, metode, dan kebenaran pengetahuan.
Nama epistimologi dapat juga disebut dengan kriteriologi, kritika pengetahuan, gnoseologia, dan logika
material.

Epistimologi membahas beberapa persoalan penting seperti objek pengetahuan manusia,


sumber pengetahuan manusia, klasifikasi pengetahuan, hingga kadar pengetahuan manusia. Berbicara
mengenai objek pengetahuan manusia, dapat dibedakan menjadi objek yang epiris, ideal, dan
transenden. Sumber pengetahuan manusia pada bab ini disebutkan ada empat macam, yakni
pengalaman inderawi, rasio atau akal, intuisi atau hati, dan kabar shadiq atau wahyu. Pembagian
pengetahuan dibedakan dalam banyak pendekatan diantaranya adalah dari cara memperolehnya yang
dibagi menjadi dua, hushuli dan hudluri. Pembagian pengetahuan kedua yakni dari kepentingannya,
yakni dominative, deskriptif, dan emansipatoris. Terkait dengan kadar pengetahuan dapat dibedakan
menjadi mutlak, nisbi, dan relative.

Pada bab terakhir, buku ini membahas mengenai aksiologi. Aksiologi berasal dari bahas Yunani
Axios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu, pengetahuan, penalaran, atau teori. Aksiologi secara
bahasa dapat dipahami dengan teori tentang nilai atau rasionalitas nilai. Sedang secara istilah, aksiologi
dapat dipahami sebagai cabang filsafat yang memahas persoalan nilai.

Nilai pada hakikatnya adalah sebuah kulitas. Kualitas sebuah benda menurut Scheler dapat
dibedakan menjadi tiga; kualitas primer, kualitas sekunder, dan kualitas tersier. Keindahan sebuah
benda sebagai kualitas nilai, bukan merupakan bagian yang menentukan bagi keberadaan objek, sebab
barang yang tidak memiliki nilai keindahan dan kegunaan dapat memiliki keberadaanya. Nilai
merupakan kualitas tidak nyata dalam arti kualitas tersebut tidka membentuk bagian dari objek yang
mewujudkannya, sebagaimana kualitas pertama.

Ada banyak pemahaman orang tentang nilai. Bagi yang objektivisme erpendapat bahwa niali itu
ada dalm diri objek. Apakah orang tersebut menyadari atau tidak. Bagi penilai, nilai itu tergantung pada
subjek yag menilai. Itulah sebabnya sekarang ini terdapat aliran relasionalisme aksiologis yang
berpandangan bahwa nilai itu bersifat objektif sekaligus subjektif. Ada kualitas primer, sekunder, dan
tersier yang dimiliki oleh sebuah objek.

Dalam pembahasan aksiologi, selain membahas tentag hakikat ilia adalah hal yang tidak dapat
dipisahkan dari persoalan aksiologi yaitu tentang etika dan estetika. Karena pembahasan tentang dua
hal itu sangat luas, seringkali pembahasan tentang kedua ini berdiri sendiri-sendiri. Dalam makalah ini
kita bahas keduanya menjadi satu bagian dalam aksiologi meskipun sebagai sebuah pembahasn awal.

Keseluruhan buku ini memaparkan dengan detail cara menuju pemikiran yang filsafat. Terlebih
buku ini menambahkan beberapa ayat al-Qur’an sehingga dapat dengan mudah terbayang oleh
pembacanya.

Anda mungkin juga menyukai