Anda di halaman 1dari 53

GAMBARAN KEPATUHAN TERAPI PASIEN EPILEPSI

DI PUSKESMAS SUNGAI PINANG


KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

OLEH : ANAWATI
NPM : 11023172004

PROGRAM STUDI D3 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2018

1
GAMBARAN KEPATUHAN TERAPI PASIEN EPILEPSI
DI PUSKESMAS SUNGAI PINANG
KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan


Pada Program Studi D3 Farmasi

OLEH : ANAWATI
NPM : 11023172004

PROGRAM STUDI D3 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2018

2
i
ii
PROGRAM STUDI D3 FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

LTA, Juli 2018

Anawati
11023172004

Gambaran Kepatuhan Terapi Pasien Epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang


Kabupaten Hulu Sungai Selatan

ABSTRAK

Latar belakang: Pasien epilepsi harus mengonsumsi obat jangka panjang, sehingga
diperlukan kepatuhan dan pola hidup yang sehat agar terapinya berhasil. Dalam
prakteknya, masalah terapi epilepsi antara lain meliputi ketidakpatuhan dalam
meminum obat, penderita bosan dalam meminum obat, serangan yang tidak
kunjung hilang setelah minum obat, harga obat yang mahal, kewajiban pasien
yang selalu kontrol teratur, dan adanya efek samping yang muncul karena
pengobatan. Kepatuhan menjadi masalah utama terapi pada penyakit epilepsi
memerlukan waktu yang tidak sebentar dan kedisiplinan dalam menjalani
pengobatan.

Tujuan: dari penulisan yang dilakukan adalah untuk mengetahui gambaran


kepatuhan terapi pasien epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu
Sungai Selatan.

Metode: Pengambilan data dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah ke


pasien dengan cara wawancara menggunakan kuesioner yang diisi oleh pasien
sendiri, orang tua atau pengasuh pasien serta dilakukan tinjauan ulang rekam
medis. Penilitian ini dilakukan di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode sampling jenuh
dimana seluruh anggota populasi dijadikan sampel dan didapatkan 10 orang
penyandang epilepsi.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 90% pasien epilepsi yang
berobat di Puskesmas Sungai Pinang tidak patuh terhadap pengobatan.

Kata Kunci: Epilepsi, Kepatuhan Terapi

Daftar Rujukan : 10 (2002-2014)

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur Kehadiran Allah Swt atas segala Rahmat dan KaruniaNya
sehingga Laporan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan . Laporan Tugas Akhir ini
merupakan salah satu syarat memperoleh gelar D3 Farmasi, untuk Mahasiswa
Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) D3 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin.
Sholawat serta salam semoga tercurah atas Nabi Kita Muhammad Saw,
yang termulia dari para Nabi dan Rasul dan semoga tercurah atas keluarga,
sahabat, dan para pengikut hingga akhir zaman.
Penghargaan yang setinggi-tingginya dan kata terimakasih penulis
persembahkan kepada kedua orang tua tercinta (Almarhum/almarhummah),
suami, adik, anak dan semua teman-teman yang tak henti-hentinya memberi do’a
dan motivasi serta dukungannya baik moril maupun material, terimakasih tiada
kata yang pantas untuk mengungkapkan betapa besar cinta dan kasih sayang yang
telah kalian berikan. Mereka adalah semangat bagi penulis untuk menyelesaikan
Laporan Tugas Akhir ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan
perlindungan kepada kita semua, Amin.
Penulis tak lupa menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya sebagai
ungkapan kebahagiaan kepada:
1. Bapak Prof. Dr.H. Ahmad Khairuddin,M.Ag. selaku Rektor. Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin yang telah memberikan kesempatan
menyelesaikan Studi di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.
2. Ibu Risya Mulyani,M.SC.,Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin
3. Ibu Sri Rahayu,M,Farm.,Apt. selaku Kaprodi D3 Farmasi Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin
4. Ibu Nita Triadisti,M.Farm.,Apt. selaku Pembimbing I, yang telah dengan
sabar memberikan banyak masukan dan meluangkan waktunya untuk
membimbing penulisan Laporan Tugas Akhir ini

iv
5. Bapak Andika,M.Farm.,Apt. selaku Pembimbing II yang telah dengan sabar
memberikan banyak masukan dan meluangkan waktunya untuk membimbing
penulisan Laporan Tugas Akhir ini
6. Bapak Muhammad Fardiyannor, M.Sc., Apt. selaku Penguji 3 yang bersedia
meluangkan waktunya dalam Laporan Tugas Akhir ini.
7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen pengajar yang dengan ikhlas membagi
ilmunya serta seluruh staf D3 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Banjarmasin.
8. Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
9. Rekan, teman seperjuangan mahasiswa Rekognisi Pembelajaran Lampau
(RPL) D3 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah
Banjarmasin , yang telah saling membantu dan telah berjuang bersama dari
awal sampai akhir
Penulis menyadari bahwa Laporan Tugas Akhir ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan. Namun besar harapan kiranya dapat bermanfaat bagi
penulis selanjutnya, khususnya di bidang Farmasi dan semoga bernilai ibadah
disisi Allah SWT, amin Ya Rabbal Alamin. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh

Sungai Pinang Juli


2018
Penulis

Anawati
NPM 11023172004

v
DAFTAR ISI

Halaman
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................
i
PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR ...................................
ii
ABSTRAK ...........................................................................
................ iii
KATA
PENGANTAR .........................................................................
iv
DAFTAR
ISI ...............................................................................
......... vi
DAFTAR
TABEL .............................................................................
... vii
DAFTAR
LAMPIRAN ........................................................................
viii

BAB 1
PENDAHULUAN ...................................................................
1
1.1 Latar
Belakang ...................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah ..............................................................
2
1.3 Tujuan Penulisan Laporan Tugas Akhir .............................
2
1.4 Manfaat
Penulisan ..............................................................
2
BAB 2 TINJAUN PUSTAKA .............................................................
3
2.1 Pengertian
Epilepsi .............................................................
3
2.2
Patofisiologi .....................................................................
.. 3
2.3 Klasifikasi Kejang Dan Tipe Epilepsi ................................
4
2.4 Tata Laksana
Terapi ........................................................... 5
2.5 Kajian
Teoritis ....................................................................
9
BAB 3 TINJAUAN
KASUS................................................................
13
3.1 Puskesmas Sungai
Pinang .................................................. 13
3.2 Gambaran
Kasus ................................................................
13
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN................................................
16
4.1
Hasil .............................................................................
...... 16
4.2
Pembahasan ........................................................................
17
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................
20
5.1
Kesimpulan.........................................................................
20
5.2
Saran .............................................................................
...... 20

DAFTAR
PUSTAKA ..........................................................................
22
LAMPIRAN ..........................................................................
............... 23

vi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Penatalaksanaan Terapi Epilepsi Berdasarkan Jenis

Epilepsinya........................................................................
............. 8
Tabel 4.1.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur .....................
16
Tabel 4.1.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan

Terakhir ..........................................................................
................ 16
Tabel 4.1.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ....... 17
Tabel 4.1.4. Distribusi Kepatuhan Terapi Pasien
Epilepsi ................................ 17

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Hal
Lampiran 1 : Surat Keterangan Permohonan Bimbingan LTA .........................23
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi Pembimbing
1 ..............................................24
Lampiran 3 : Lembar Konsultasi Pembimbing
2 ..............................................25
Lampiran 4 : Lembar Persetujuan Menjadi
Responden ....................................27
Lampiran 5 : Lembar Persetujuan Menjadi
Responden ....................................28
Lampiran 6 : Lembar Persetujuan Menjadi
Responden ....................................29
Lampiran 7 : Lembar Persetujuan Menjadi
Responden ....................................30
Lampiran 8 : Lembar Persetujuan Menjadi
Responden ....................................31
Lampiran 9 : Lembar
Kuesioner .......................................................................32
Lampiran 10 : Lembar
Kuesioner .......................................................................33
Lampiran 11 : Lembar
Kuesioner .......................................................................34
Lampiran 12 : Lembar
Kuesioner .......................................................................35
Lampiran 13 : Lembar
Kuesioner .......................................................................36
Lampiran 14 : Data Pasien dari Wawancara dengan
Kuesioner .........................37
Lampiran 15 : Dokumentasi Wawancara dengan Pasien Epilepsi ......................38

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Epilepsi menurut World Health Organization ( WHO ) merupakan
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala berupa serangan yang
berulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara,
sebagian, atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel
sarap ) pada rangsangan yang berlebihan, disebabkan tepatnya muatan listrik
abnormal sel-sel otak (Gofir, 2006 )
Obat yang diberikan kepada pasien epilepsi tidak menyembuhkan
terapi hanya mengendalikan, mengurangi bahkan mengendalikan serangan.
Tujuan dari pengobatan epilepsi adalah bebas kejang. Pasien epilepsi harus
mengonsumsi obat jangka panjang, sehingga diperlukan kepatuhan dan pola
hidup yang sehat agar terapinya berhasil. Dalam prakteknya, masalah terapi
epilepsi antara lain meliputi ketidakpatuhan dalam meminum obat, penderita
bosan dalam meminum obat, serangan yang tidak kunjung hilang setelah
minum obat, harga obat yang mahal, kewajiban pasien yang selalu kontrol
teratur, dan adanya efek samping yang muncul karena pengobatan.
Kepatuhan menjadi masalah utama terapi pada penyakit epilepsi
memerlukan waktu yang tidak sebentar dan kedisiplinan dalam menjalani
pengobatan. Hal ini memerlukan strategi dan pendekatan yang kompleks
dan pemberian obat antiepelipsi jangka panjang dengan segala
konsekuensinya, yang menuntut kedisiplinan penderita untuk mematuhi
pengobatan (Andarini, 2007)
Kurangnya tingkat kepatuhan merupakan masalah yang serius.
Kegagalan dalam meminum obat secara teratur sesuai resep dapat berakibat
terjadinya resistensi obat, reaksi obat, peningkatan morbiditas dan
mortilitas, serta mengurangi kualitas hidup. Rendahnya kepatuhan juga
berdampak pada penetapan keputusan terapi obat dokter. Hal tersebut

1
2

berpotensi menyebabkan kenaikan dosis atau penghentian pengobatan


karena pengobatan sebelumnya dipercaya tidak efektif (DiMatteo dkk,
2002). Kepatuhan merupakan masalah utama karena terapi pada pasien
epilepsi membutuhkan waktu jangka panjang yang lama, bahkan bisa
seumur hidup.
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas di atas, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Gambaran Kepatuhan Terapi
Pasien Epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai
Selatan”

1.2.Rumusan Masalah
Dari paparan di atas dapat dirumuskan permasalahan, yaitu
bagaimana Gambaran Kepatuhan Terapi Pasien Epilepsi di Puskesmas
Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan?

1.3.Tujuan Penulisan Laporan Tugas Akhir


Untuk mengetahui Gambaran Kepatuhan Terapi Pasien Epilepsi di
Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan

1.4.Manfaat Penulisan
1.4.1. Menambah pengetahuan tentang kepatuhan minum obat pasien
epilepsi
1.4.2. Dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui kepatuhan
pasien dalam meminum obat epilepsi sehingga dapat digunakan
sebagai bahan evaluasi terhadap pelayanan Farmasi kepada pasien
1.4.3. Dapat digunakan sebagai acuan referensi penulis berikutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Epilepsi


Epilepsi didefinisikan sebagai kondisi neurologis yang dikarakterisir
dengan kekambuhan kejang tak beralasan yang dapat dipicu oleh berbagai
penyebab tertentu. Adanya kejang epilepsi merupakan manifestasi klinis
dari aktivitas syaraf yang berlebihan dan abnormal di dalam konteks
serebral. Manifestasi klinik kejangnya sangat bervariasi tergantung dari
daerah otak fungsional yang terlibat (Ikawati, 2014).
Kejang adalah suatu manifestasi umum dan tidak spesifik dari adanya
cedera neurologis, dan hal ini tidak mengherankan karena fungsi utama dari
otak adalah transmisi impuls listrik. Kemungkinan seseorang dalam seumur
hidupnya mengalami kejang minimal 1 kali adalah sekitar 9%, dan
kemungkinan seumur hidup menerima diagnosa epilepsi hampir 3%. Namun
demikian, prevalensi epilepsi aktif hanya sekitar 0,8% (Ikawati, 2014).

2.2. Patofisiologi (Ikawati, 2014).


Kejang adalah manifestasi paroksimal dari sifat listrik di bagian
korteks otak. Kejang dapat terjadi ketika terjadi ketidakseimbangan yang
tiba-tiba antara kekutan eksitatori / pemicuan dan inhibisi / penghambatan
dalam jaringan neuron kortikal. Ketidakseimbangan bisa terjadi karena
kurangnya transmisi inhibitori, misalnya terjadi pada keadaan setelah
pemberian antagonis GABA, atau selama penghentian pemberian agonis
GABA (alkohol, benzodiazepin); atau meningkatnya aksi eksitatori,
misalnya meningkatnya aksi glutamat atau aspartat.
Untuk mendiagnosa dan memastikan jenis kejang, diperlukan
kemampuan diagnosa yang cermat, yang meliputi beberapa pemeriksaan,
antara lain:

3
4

2.2.1 Wawancara riwayat kejang pasien, termasuk apa yang terjadi


sebelum, selama, dan setelah serangan kejang
2.2.2 Electroencephalography (EEG)
2.2.3 Magnetic resonance imaging (MRI)
2.2.4 Computed tomography (CT) scanning.

2.3. Klasifikasi Kejang Dan Tipe Epilepsi (Ikawati, 2014)


Berdasarkan tanda klinik dan data EEG (Electroencephalography),
kejang dibagi menjadi
2.3.1 Kejang umum (generalized seizure), yaitu kejang yang terjadi
aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama-sama,
terdiri dari Tonic-clonic, Absense, Myoclonic, Atonic, Clonic,
Tonic, dan Infnatile Spasm.
2.3.2 Kejang parsial/focal, adalah kejang yang terjadi jika aktivasi
dimulai dari daerah tertentu dari otak.
2.3.3 Unclassified seizure
Semua jenis kejang yang tidak dapat di klarifikasi karena
ketidaklengkapan data atau tidak dapat dimasukkan dalam kategori
klasifikasi yang tersebut di atas.
2.3.4 Status epilepticus
ada beberapa variasi status epileptikus. Status epileptikus
didefinisikan sebagai kejang terus menerus selama 30 menit.
Definisi lain dari status epileptikus adalah kejang terjadi terus
menerus selama 5 menit atau lebih atau kejadian kejang 2 kali atau
lebih tanpa pemulihan kesadaran di antara dua kejadian tersebut.
Status epileptikus merupakan kondisi darurat yang memerlukan
pengobatan secara tepat untuk meminimalkan kerusakan
neurologic permanen maupun kematian.
5

2.4. Tata Laksana Terapi (Ikawati, 2014)


Farmakoterapi epilepsi sangat individual dan membutuhkan titrasi
dosis untuk mengoptimalisasi terapi obat antiepilepsi (maksimal dalam
mengontrol kejang dengan efek samping yang minimal). Sekitar 50-70%
pasien dapat diterapi dengan obat antiepilepsi tunggal.
2.4.1 Tujuan terapi
Tujuan terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau
mengurangi frekuensi kejang dan memastikan kepatuhan pasien
terhadap pengobatan, dan memungkinkan pasien dapat hidup dengan
normal. Khusus untuk status epileptikus, terapi sangat penting untuk
menghindarkan pasien dari kegawatan akibat serangan kejang yang
berlangsung lama.

2.4.2 Sasaran terapi


Keseimbangan neurotransmitter GABA di otak.

2.4.3 Strategi terapi


Strategi terapi epilepsi adalah mencegah atau menurunkan lepasnya
muatan listrik syaraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal
ion atau ketersediaan neurotransmiter, dan atau mengurangi
penyebaran pacuan dari fokus serangan dan mencegah cetusan serta
putusnya fungsi agregasi normal neuron.

2.4.4 Terapi Nonfarmakologi


Terapi non-farmakologi untuk epilepsi meliputi:
2.4.4.1 Pembedahan
Merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami kejang
meskipun sudah mendapat lebih dari 3 agen antikonvulsan,
lesi epileptik yang menjadi pusat abnormalitas epilepsi.
6

2.4.4.2 Diet ketogenik


Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan
rendah karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein
untuk pertumbuhan, tetapi kurang karbohidrat untuk
kebutuhan metabolisme tubuh. Dengan demikian tubuh
akan menggunakan lemak sebagai sumber energi, yang
pada gilirannya akan menghasilkan senyawa keton.
Mekanisme aksi diet ketogenik sebagai anti epilepsi masih
belum diketahui secara pasti, namun senyawa keton ini
diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan kejang.
Adanya senyawa keton secara kronis akan memodifikasi
siklus asam trikarboksilat untuk meningkatkan sintesis
GABA di otak, mengurangi pembentukan reactive oxygene
species (ROS), dan meningkatkan produksi energi dalam
jaringan otak. Selain itu, beberapa aksi penghambatan
syaraf lainnya adalah peningkatan asam lemak tak jenuh
ganda yang selanjutnya akan menginduksi ekspresi
neuronal protein uncoupling (UCPs), meng-up regulasi
banyak gen yang terlibat dalam metabolisme energi dan
biogenesis mitokondria. Efek-efek ini lebih lanjut akan
membatasi pembentukan ROS dan meningkatkan produksi
energi, mengaktifkan metabolisme K(ATP) saluran dan
hiperpolarisasi syaraf. Berbagai efek ini secara bersama-
sama diduga berkontribusi terhadap peningkatan ketahanan
syaraf terhadap picuan kejang.
2.4.4.3 Stimulasi nerves vagus (Vagus nerves stimulation, VNS)
Mekanisme aksi anti kejang dari VNS pada manusia belum
diketahui, tetapi penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
VNS memiliki beberapa aksi. Studi klinis pada manusia
menunjukkan bahwa VNS mengubah konsentrasi
neurotransmiter inhibisi dan eksiratori pada cairan
7

serebrospinal, dan mengaktifkan area-area tertentu dari otak


yang menghasilkan atau mengatur aktivitas korteks melalui
peningkatan aliran darah. Secara keseluruhan, dalam
penelitian VNS, persentase pasien yang mencapai
pengurangan frekuensi kejang sampai 50% atau lebih
berkisar antara 23% sampai 50%.

2.4.5 Terapi Farmakologi


Obat-obat anti epilepsi yang ada sekarang ini dapat dibagi dalam 3
kategori berdasarkan mekanisme aksinya
2.4.5.1 Obat-obat yang bekerja dengan meningkatkan inaktivasi
kanal Na+.
Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+
memiliki mekanisme aksi menurunkan kemampuan syaraf
untuk menghantarkan muatan listrik. Contoh: fenitoin,
karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, asam valproat.
2.4.5.2 Obat-obat yang bekerja dengan meningkatkan transmisi
inhibitori GABAergik
a. Obat-obat yang merupakan agonis reseptor GABA
bekerja dengan meningkatkan transmisi inhibitori
dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA. Contoh:
benzodiazepin dan barbiturat.
b. Obat-obat yang bekerja dengan menghambat GABA
transaminase sehingga konsentrasi GABA meningkat.
Contoh: vigabatrin.
c. Obat-obat yang bekerja dengan menghambat GABA
transporter sehingga memperlama aksi GABA. Contoh:
tiagabin
d. Obat-obat yang dapat meningkatkan konsentrasi GABA
pada cairan cerebrospinal pasien (diperkirakan dengan
menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesicular
pool). Contoh: gabapentin.
8

2.4.5.3 Obat-obat yang menurunkan nilai ambang arus ion Ca2+


Obat-obat dalam golongan ini memiliki mekanisme aksi
dengan menghambat kanal ion Ca2+ tipe T. Arus Ca2+ kanal
tipe T merupakan arus pacemaker dalam neuron thalamus
yang bertanggung jawab terjadinya letupan kortikal ritmik
serangan kejang. Contoh: etosuksimid.

2.4.6 Penatalaksanaan Terapi


Penatalaksanaan terapi pada pasien dengan epilepsi tergantung pada
jenis epilepsinya, adverse drug reaction obat yang spesifik terhadap
pasien dan kondisi pasien. Tabel berikut ini menunjukkan pilihan
obat pada pasien berdasarkan jenis epilepsinya.
Tabel 2.1 Penatalaksanaan Terapi Epilepsi Berdasarkan Jenis
Epilepsinya
Tipe kejang Terapi lini Terapi lini kedua
pertama
Kejang parsial
Simple Partial Karbamazepin Vigabatrin
Complex partial Fenitoin Klobazam
Secondarily generalized Valproat Fenobarbital
Lamotrigin Asetazolamid
Gabapentin
Topiramat
Kejang umum
Tonic-clonic Valproat Vigabartin
Tonic Karbamazepin Klobazam
Clonic Fenitoin Fenobarbital
Lamotrigin
Absence Ethosuksimid Klonazepam
Valproat Lamotrigin
Asetazolamid
Atypical absence Valproat Phenobarbital
Atonic Klonazepam Lomatrigin
Klobazam Karbamazepin
Fenitoin
Asetazolamid
Myoclonic Valproat Fenobarbital
Klonazepam Azetazolamid
9

2.5 Kajian Teoritis


2.5.1. Teori Kepatuhan
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1990) patuh adalah suka
menurut (perintah, dan sebagainya) taat ( kepada perintah, aturan dan
sebagainya), berdisiplin.
Kepatuhan dapat didifinisikan sebagai tingkat ketepatan perilaku
seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan istilah
ketidakpatuhan pasien memberi kesan bahwa pasien bersalah karena
pengunaan obat yang tidak tepat (Siregar, 2006)
Cara meningkatkan kepatuhan antara lain: memberikan informasi
kepada pasien akan menfaat dan pentinnya kepatuhan untuk mencapai
keberhasilan pengobatan, memberikan keyakinan kepada pasien akan
efektivitas obat dalam penyembuhan, memberikan informasi resiko
ketidakpatuhan, adanya dukungan dari pihak keluarga, teman, dan
orang disekitarnya untuk selalu mengingatkan pasien agar teratur minm
obat demi keberhasilan pengobatan.
Faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pasien menurut Niven(2008),
faktor yang mendukung sikap patuh pasien, diantaranya:
2.5.1.1 Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan sepanjang
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, seperti
penggunaan buku dan lain-lain
2.5.1.2 Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian
pasien yang dapat mempengaruhi patuh pasien yang lebih
mandiri, harus dilibatkan secara aktif dalam program
pengobatan sementara pasien yang tingkat ansietasnya tinggi
harus diturunkan terlebih dahulu. Tingkat ansietas yang terlalu
tinggi atau rendah, akan membuat kepatuhan pasien berkurang.
10

2.5.1.3 Modifikasi faktor lingkungan dan sosial


Membangun dukungan social dari keluarga dan teman-teman
sangat penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk
membantu memahami kepatuhan terhadap program
pengobatan, seperti pengurangan berat badan, contoh
merokok, menurunkan konsumsi alcohol
2.5.1.4 Perubahan Model Terapi
Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan
pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
2.5.1.5 Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien
Adalah suatu yang penting untuk memberikan umpan balik
pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosa.
2.5.1.6 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, dan
pengalaman dari penelitian terbukti bahwa perilaku yang
diterima oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengatahuan (Notoatmodjo,
2007).
2.5.1.7 Usia
Semakin dewasa seseorang, maka cara berpikir semakin
matang dan baik
2.5.1.8 Dukungan Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil mesyarakat yang terdiri atas 2
orang atau lebih, adanya ikatan persaudaraan atau pertalian
darah, hidup dalam satu rumah tangga berinteraksi satu sama
lain, dukungan dari keluarga berupa, misalkan, mengingatkan
pasien kapan harus minum obat, kapan istirahat, menyiapkan
obat yang harus diminum obat pasien, memberi motivasi, dll.
11

Ada beberapa faktor terkait dengan ketidakpatuhan menurut


Siregar (2006) diantaranya:
1) Penyakit
Sikap kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat
berkontribusi pada ketidakpatuhan. Pasien dengan gangguan
psikiatri, kemauan untuk bekerjasama, demikian juga terhadap
pengobatan mungkin dirusak oleh kesakitan, dan individu ini
membuat tidak patuh dari pada pasien.
2) Regimen Terapi
a. Terapi Multi Obat
makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien,
makin tinggi resiko ketidakpatuhan
b. Frekuensi Pemberian
Pemberian obat pada jangka waktu yang sering, membuat
ketidakpatuhan lebih mungkin.
c. Durasi dari Terapi
berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan
menjadi lebih besar, apabila periode pengobatan lama
d. Efek Merugikan
Efek obat yang tidak menyenangkan, cukup menyusahkan
pada sejumlah pasien. Oleh karena itu, memungkinkan
pasien untuk menghindari kepatuhan.
e. Pasien Asimtomatik (Tidak ada Gejala) atau gejala sudah
reda dapat dimengerti adalah sulit meyakinkan pasien,
tentang nilai terapi obat, apabila pasien tidak mengalami
gejala sebelum mulai terapi atau dalam keadaan lain dimana
pasien merasa telah sembuh sementara pengobatan
memerlukan pengobatan lebih lama, jika terapi dihentikan,
memberikan kontribusi pada ketidakpatuhan.
12

f. Harga Obat
ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat
yang relatif mahal
g. Pemberian konsumsi Obat
Walau pasien secara penuh bermaksud patuh pada instruksi,
ada kemungkinan ia kurang hati-hati menerima kuantitas
obat yang salah disebabkan pengukuran obat yang tidak
benar atau penggunaan alat ukur yang tidak tepat.
h. Rasa Obat
Masalah kepatuhan berkaitan dengan rasa obat-obatan tidak
terbatas pada anak-anak. Keberatan terhadap rasa pada
sediaan-sediaan obat sering diajukan, sejumlah pasien
menghentikan penggunaan obat karena alasan rasa.
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1. Puskesmas Sungai Pinang


Puskesmas Sungai Pinang merupakan salah satu unit pelaksana teknis
Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dalam hal ini Puskesmas
Sungai Pinang berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas Teknis
Operasional Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan
merupakan unit pelaksanaan tingkat pertama serta ujung tombak pelayanan
kesehatan di Indonesia.
Puskesmas Sungai Pinang terletak di Kecamatan Daha Selatan, yang
memiliki wilayah kerja 6 desa dengan kondisi daerah berupa sungai dan rawa.
Puskesmas Sungai Pinang memiliki luas wilayah 109 km2 dari 1.703 km2
luas wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten hulu Sungai Selatan, dengan
luas wilayah:
Sebelah utara : Puskesmas Negara Kec.Daha Utara
Sebelah selatan : Kecematan Kelumpang
Sebalah Barat : Puskesmas Bajayau, Kec. Daha Barat
Sebelah Timur : Puskesmas Bayanan, Kec. Daha Selatan
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Sungai Pinang tahun
2017 adalah 15.368 jiwa tersebar di 6 desa di wilayah kerja Puskesmas
Sungai Pinang.

3.2. Gambaran Kasus


Pasien epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang berjumlah 10 orang,
terdiri dari 5 orang berjenis kelamin perempuan dan 5 orang lainnya berjenis
kelamin laki-laki, usia mulai 11 tahun sampai dengan 55 tahun. Pasien
epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang diberikan obat anti epilepsi, yaitu
Carbamazepin 200 mg, fenitoin 100 mg, fenitoin 30 mg, Diazepam 2 mg, dan
penobarbital 30 mg, atau kombinasi obat tersebut. Dengan interval waktu

13
14

minum obat sebanyak 2x sehari tablet/kapsul atau 1x sehari 1 tablet/kapsul


biasanya obat diberikan selama 10 hari atau 15 hari.
Penulis bekerja di Puskesmas Sungai Pinang sejak bulan maret 2014,
untuk keperluan laporan obat harian dan bulanan, penulis juga menulis
laporan harian tersendiri untuk obat-obat tertentu (obat jiwa dan obat epilepsi)
karena pemakaiannya yang memerlukan waktu yang panjang dan perlu
penanganan khusus juga karena ada termasuk obat psikotropika di dalamnya.
Penulis bila menerima obat jiwa dan obat epilepsi selalu mencatat
dibuku khusus yang berisi tanggal pengambilan, hari, nama pasien, umur
pasien, alamat pasien, nama obatnya, dosis pemberian, dan jumlah obatnya,
yang menunjukkan berapa hari pemberian obat, biasanya 10 hari atau 15 hari.
Disini tak jarang penulis temukan selisih hari dalam pengambilan obat.
Dari beberapa pasien epilepsi di wilayah kerja Puskesmas Sungai
Pinang sebagian besar telat mengambil obat dari waktu yang ditentukan, serta
lupa untuk meminumnya, ada juga yang apabila kondisi sudah membaik
mereka tidak melanjutkan pengobatan, sehingga tidak sesuai dengan anjuran
dari dokter, hanya sebagian kecil pasien yang benar-benar mengikuti terapi
sesuai dengan anjuran dokter.
Misalkan pasien datang pada tanggal 1 dan di beri obat sebanyak 30
biji dengan dosis 2 kali sehari 1 tablet atau kapsul, untuk 15 hari seharusnya
pasien mengambil kembali obat tanggal 14 atau 15 sebelum obat habis,
pasien mengambil setelah lewat beberapa hari, jadi penulis bertanya kenapa
baru mengambil obatnya, alasan sibuk, dan merasa kondisi membaik juga
karena biaya ini untuk 1 orang pasien yang ternyata alamat sebenarnya bukan
wilayah Puskemas Sungai Pinang melainkan di wilayah Puskemas Bajayau
(Tanjung selor Pangambang, yang jarak nya ke puskesmas lebih dekat
dibandingkan ke Puskesmas Bajayau menempuh perjalanan dengan perahu
kurang lebih 1,5 jam), penulis tahu setelah melakukan tanya jawab dengan
mendatangi langsung ke rumah pasien yang ternyata pasien adalah
keponakannya mengambil obat sekalian ke pasar. Dokter Puskesmas Sungai
Pinang dan tenaga kesehatan lain sudah sering mengingatkan tentang
15

perlunya kepatuhan terapi, untuk penyakit apapun. Dalam menjalani terapi


kepatuhan merupakan sikap menjaga dan mematuhi dosis regemin dari
tenaga kesehatan terhadap suatu penyakit, prinsip utama dari kapatuhan ini
sendiri yaitu tidak hanya kepatuhan dalam berapa banyak obat perharinya
tetapi bagaimana pengobatan yang benar dilakukan sesuai prosedur. Pasien
dikatakan patuh jika dalam pengobatan mengikuti anjuran dari dokter dan
tenaga kesehatan lainnya.
Ketidakpatuhan dapat di definisikan tidak minum obat sesuai dosis
(terlalu banyak/terlalu sedikit) tidak mengikuti jadwal minum obat, tidak
minum obat sesuai waktu yang di anjurkan dll.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Setelah dilakukan kunjungan rumah terhadap 10 orang pasien epilepsi
dengan menggunakan lembar kuesioner. Partanyaan ditujukan kepada
keluarga dan pasien sendiri. Maka dapat dijelaskankan sfisifikasi responden
sebagai berikut:

Tabel 4.1.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur


No Umur Pasien ( Tahun ) Jumlah Pasien Persentase ( % )
1 11-20 4 40%
2 21-30 4 40%
3 31-40 1 10%
4 41-50 - -
5 51-60 1 10%
Jumlah 10 100%

Berdasarkan tabel 4.1.1. pasien penderita epilepsi terbanyak pada


kisaran umur 11-20 sebanyak 4 orang (40%), umur 21-30 tahun sebanyak 4
orang (40%), Umur 31-40 tahun sebanyak 1 orang (10%) dan umur 51-60
tahun sebanyak 1 orang (10%).

Tabel 4.1.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan


Terakhir

No Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase (%)


1 Rendah (tidak sekolah, SD, 10 100
SMP)
2 Menengah (SMA) -
3 Tinggi (D1, D2, D3, S1, dan -
S2)
Jumlah 10 100%

Berdasarkan Tabel 4.1.2. diatas pendidikan terakhir pasien epilepsi


semuanya berpendidikan rendah yakni 100%.

16
17

Tabel 4.1.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 Laki-Laki 5 50%
2 Perempuan 5 50%
Jumlah 10 100%

Berdasarkan Tabel 4.1.3. diatas jenis kelamin pasien epilepsi 5 orang


laki-laki dan 5 orang perempuan.

Tabel 4.1.4. Distribusi Kepatuhan Pasien Epilepsi


No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1 Patuh 1 10 %
2 Tidak Patuh 9 90 %
Jumlah 10 100%

Berdasarkan Tabel 4.1.4. diatas sebagian besar pasien epilepsi tidak


patuh dengan terapi yang diberikan dokter yakni 9 orang (90%).

4.2. Pembahasan
Puskesmas Sungai Pinang merupakan salah satu dari 21 Puskesmas
yang ada di kabupaten Hulu Sungai selatan. Setelah dilakukan kunjungan
kerumah pasien dan melakukan tanya jawab dengan pasien dan keluarga
dengan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang menggambarkan
data-data yang diinginkan penulis, untuk mengetahui Gambaran Kepatuhan
Terapi Pasien Epilepsi di Puskesmas Sungai Pinang Kabupaten Hulu Sungai
selatan.
Menurut Niven (2012 ) kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti
disiplin dan taat. kepatuhan pasien adalah sejauh mana Perilaku pasien sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan . setiap individu
pasti menginginkan kondisi badan yang sehat, disamping itu manusia juga
tidak bisa menolak jika harus mengalami sakit. Manusia ketika sakit akan
berusaha untuk mengatasi sakit yang diderita dengan berbagai macam cara
kepatuhan pasien berpengaruh terhadap kesembuhan individu atau pasien.
18

Tabel 4.1.1.Menunjukan persentasi pasien epilepsi di wilayah kerja


Puskesmas Sungai Pinang sebanyak 4 orang di usia 11 -20 tahun, 4 orang di
usia 21-30 tahun, 1 orang di usia 31-40 tahun, dan 1 orang di usia 51-60.
Tabel 4.1.2. Karakteristik pasien berdasarkan pendidikan terakhir dari
hasil kuesioner, semua pasien berada pada tingkat pendidikan rendah (hanya
2 orang yang lulus SD, sisanya tidak sekolah dan kelas 5 SD berhenti
sekolah). Bahkan ayah dan ibu pasien rata-rata tidak lulus SD, satu orang
yang lulus SD dan dua orang yang lulus SMP.
Tingkat pendidikan memiliki korelase dengan pola pikir dan perilaku
seseorang sehingga sedikit atau banyak mempengaruhi pengetahuan terhadap
sesuatu hal atau masalah.
Karena pendidikan pasien epilepsi dan orang tuanya yang relatif
rendah sehingga mengakibatkan kurangnya pengetahuan mengenai
pentingnya minum obat epilepsi sesuai dengan yang dianjurkan oleh dokter
karena pendidikan yang relatif rendah juga berimbas kemasalah ekonomi
yang menyebabkan penebusan jumlah obat yang tidak sesuai dengan yang
ditentukan oleh dokter, atau menggantinya dengan OAE yang lebih murah
biaya transportasi tersendiri, juga masih ditemukan adanya dukungan
keluarga yang kurang pada penderita epilepsi, yakni kurang nya perhatian dan
kontrol dan rutinitas minum obat.
Tabel 4.1.3. menunjukan persentasi pasien epilepsi di wilayah kerja
Puskesmas Sungai Pinang sebanyak 5 orang berjenis kelamin laki-laki dan 5
orang berjenis kelamin perempuan.
Tabel 4.1.4. menunjukan persentasi hasil dari kuesioner mengenai
kepatuhan pasien epilepsi mengikuti terapi pengobatan. Hasil dari jawaban 6
pertanyaan yang penulis berikan kepada 10 orang penderita epilepsi didapat
sebanyak 90% pasien epilepsi yang berobat di Puskesmas Sungai Pinang
dikategorikan tidak patuh. Ketidakpatuhan ini dikarenakan berbagai sebab,
antara lain karena pasien bosan meminum obat, kadang karena efek obat
pasien tidur terus dan orang tuanya tidak ingin membangunkan, pasien kurang
menyadari pentingnya dari penjelasan dokter dan tenaga kesehatan karena
19

terlalu banyak intruksi yang harus diingat oleh pasien. Karena kepatuhan
merupakan faktor terpenting dalam mencapai keberhasilan terapi kepatuhan
perlu dinilai dengan teliti. Tingkat kepatuhan yang rendah meningkatkan
resiko kegagalan terapi dan progesivitas penyakit, serta ikut berperan dalam
timbulnya resistensi (dep kes, 2004).
Lebih dari 70% penyandang epilepsi dapat mencapai bebas kejang
dengan terapi Obat Anti Epilepsi optimal namun ketidakpatuhan terhadap
pengobatan dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, timbulnya efek
samping obat, serta munculnya morbiditas psikis dan fisik (Packham, 2009).
Selain dari mempengaruhi kejang, ketidakpatuhan pengobatan juga
mempengaruhi sudden enexpected death in epilepsy (SUDEP),
kecenderungan perawatan di rumah sakit dan meningkatkan perawatan di
rumah sakit dan biaya kesehatan (Davis et al, 2008).
Ketidak patuhan dalam terapi epilepsi menyebabkan serangan
berulang yang ditandai dengat mengompol, pandangan kosong, tangan yang
bergerak-gerak sendiri, sesak napas, terlihat bingung, pingsan, yang pada
akhirnya memperparah penyakit epilepsi. Serangan berulang akibat
ketidakpatuhan dalam menjalani pengobatan dapat berakibat fatal, bisa
menyebabkan jaringan otak rusak sehingga menyulitkan terapi, bahkan
memperparah kondisi sehingga berisiko membahayakan pasien. Ketidak
patuhan pengobatan akan menurunkan plastisitas otak dan bagi anak
penderita epilepsi akan mengalami gangguan tumbuh kembang dan mental.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Dari hasil kunjungan rumah ke-10 pasien epilepsi di wilayah kerja
Puskesmas Sungai Pinang dapat ditarik kesimpulan,
persentasi
ketidakpatuhan pasien dalam terapi sebesar 90 %.

5.2. Saran
5.2.1. Pasien
a. Meningkatkan kepatuhan minum obat sesuai dengan jadwal yang
telah ditetapkan oleh dokter.
b. Meningkatkan kepatuhan jadwal kontrol rutin minimal 6 bulan
berturut-turut untuk memantau keefektifan terapi dan adanya
kemungkinan efek samping obat.

5.2.2. Bagi Masyarakat


Kepatuhan minum obat epilepsi perlu ditingkatkan lagi, yang bukan
hanya menjadi tanggung jawab penderita epilepsi, melainkan perlunya
kerjasama yang baik antara pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat
maupun keluarga penderita epilepsi supaya tujuan terapi tercapai.

5.2.3. Bagi Keluarga Pasien


a. Melalukan pengawasan kepada pasien agar pasien patuh minum
obat sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh dokter.
b. Memberikan dukungan moril kepada pasien agar
dapat
meningkatkan kesadaran penderita untuk patuh dalam pengobatan.
c. Melakukan evaluasi perkembangan penyakit pasien epilepsi dan
mengkondisikan agar mereka teratur minum obat sesuai dengan
ketentuan dari dokter.

20
21

d. Segera konsultasi dengan dokter atau petugas kesehatan bila pasien


tidak mau minum obat dan ada efek samping obat
e. Mempertahankan kondisi rumah yang nyaman bagi pasien epilepsi
dan mepertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan
fasilitas kesehatan

5.2.4. Bagi petugas kesehatan


a. Agar tetap memberikan penyuluhan tentang penyakit epilepsi dan
akibatnya jika tidak patuh minum obat dan memperoleh
kesembuhan.
b. Hendaknya memberikan pengetahuan mengenai epilepsi serta
informasi mengenai obat epilepsi dalam setiap pelayanan
kefarmasian untuk meningkatkan kepatuhan pasien meminum obat
epilepsi.
c. Perlu dilakukan edukasi kepada pasien atau keluarga pasien tentang
arti pentingnya kepatuhan minum obat dan kontrol rutin untuk
meningkatkan keefektifan terapi epilepsi dan pemantauan
kemungkinan adanya efek samping obat.
d. Pencatatan data dalam Rekam Medis diharapkan agar lebih
lengkap, termasuk jadwal kontrol rutin pasien selama pengobatan
epilepsi, efek samping obat, dan ada tidaknya penyesuaian dosis.

5.2.5. Peneliti Selanjutnya


Mengkaji faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum
obat pada pasien epilepsi sehingga hasilnya dapat digunakan untuk
menunjang keberhasilan pengobatan sehingga diperoleh hasil yang
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Andarini. (2007). Hubungan Kepatuhan Pengobatan dengan Remisi Epilipsi pada


Anak. Laporan Penelitian Akhir. IP Saraf FK UGM, Yogyakarta

Davis KL, Candrilli SD, Edin HM. 2008. Prevalence and cost of nonadherence
with antiepileptic drugs in adult managed care population. Epilepsia, 49
(3): 446-454.

Dimatteo, dkk (2002). The Psychology Of Health Ilness and Medical. Universita
Sumatera Utara

Gofir. (2006). Obat Anti Epilepsi. Yogyakarta Penerbit Pustaka Cendikia Press

Ikawati, (2014). Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta: Bursa


Ilmu.

Niven, (2008). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional


Kesehatan Lain. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Niven, (2012). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional


Kesehatan Lain. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Notoatmodjo. (2007). Promosi Kesehatan Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta

Packham B. 2009. How to improve compaliance with epilpetic drugs. Prescriber,


20 (3): 12- 20. www.prescriber.co.uk.

Siregar. (2006). Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.

22
LAMPIRAN

22
23

Lampiran 1 : Surat Keterangan Permohonan Bimbingan LTA


24

Lampiran 2 : Lembar Konsultasi Pembimbing 1


25

Lampiran 3 : Lembar Konsultasi Pembimbing 2


26
27

Lampiran 4 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden


28

Lampiran 5 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden


29

Lampiran 6 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden


30

Lampiran 7 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden


31

Lampiran 8 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden


32

Lampiran 9 : Lembar Kuesioner


33

Lampiran 10 : Lembar Kuesioner


34

Lampiran 11 : Lembar Kuesioner


35

Lampiran 12 : Lembar Kuesioner


36

Lampiran 13 : Lembar Kuesioner


37

Lampiran 14 : Data Pasien dari Wawancara dengan Kuesioner

Nama Umur Pendidikan


Tidak
No Alamat Patuh
Pasien tahun terakhir
Patuh
1. N Sungai Pinang 11 Kelas 1 SD √
2. S.N Tanjung Selor 14 Kelas 2 SD

3. A.W Banua Hanyar 15 SD

4. H Jl. Inpres RT 01 RW 02 20 Kelas 2 SD

5. Z Sungai Pinang 21 Kelas 4 SD

6. F Habirau 24 Kelas 5 SD

7. A.R Jl. Pandai Besi Desa Sungai Pinang 25 -

8. R Jl. Mawar Desa Sungai Pinang 26 Kelas 5 SD

9. D.R Jl Satria Desa Tumbukan Banyu 35 -

10. H.M Jl. Musyawarah Desa Tumbukan Banyu 55 SD

38

Lampiran 15 : Dokumentasi Wawancara dengan Pasien Epilepsi

NAMA PASIEN : FAHMI NAMA PASIEN : HAMIDAH


UMUR : 24 Tahun UMUR : 21 Tahun

NAMA PASIEN : ABDUL WADUD NAMA PASIEN : NADA


UMUR : 15 Tahun UMUR : 11 Tahun
39

NAMA PASIEN : H. MUHAMMAD NAMA PASIEN : AHMAD RIZKI


UMUR : 55 Tahun UMUR : 25 Tahun

NAMA PASIEN : RINI NAMA PASIEN : ZAINUDDIN


UMUR : 26 Tahun UMUR : 21 Tahun
40

NAMA PASIEN : DAHA RAYANI NAMA PASIEN : SITI NURHALIZA


UMUR : 35 Tahun UMUR : 14 Tahun

Anda mungkin juga menyukai