Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

OCT PADA GLAUKOMA

Oleh:

Elma Anindita (201920401011122)

Pembimbing:

dr. Bambang Wahyu Widodo, Sp.M

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Optical coherensi tomography (OCT) adalah teknik diagnostik

non-invasif yang membuat sebuah in vivo penampang retina, retina

lapisan serabut saraf, dan kepala saraf optik. Spektrum OCT dalam

diagnosis glaukoma dapat memindai saraf kepala optik ((optic nerve

head) ONH), serat saraf peripapiller retina ((peripapillary retinal

nerve fiber)RNFL), dan daerah makula (GCC- ganglion cell

complex). Sebagai tambahan evaluasi spektrum posterior adalah

dengan segmen anterior OCT (AS-OCT(anterior segment OCT))

yang memanfaatkan cahaya panjang gelombang yang lebih tinggi

untuk menangkap gambar dari sudut bilik mata depan.1

Glaukoma merupakan keadaan terjadinya kerusakan RNFL dan papil

saraf optik, terutama ditandai dengan kematian retinal ganglion cells

(RGCs). Banyaknya faktor risiko turut berperan sebagai penyebab

tersebut. Kematian sel ganglion disebabkan apoptosis dan kematian sel

yang awal mulanya akibat tekanan mekanik yaitu TIO di atas normal.

Tetapi dewasa ini banyak pasien tanpa disertai naiknya TIO namun

kematian sel ganglion tetap berjalan. Berbagai faktor yang diduga

sebagai pemicu adalah apoptosis akibat faktor genetik, stres oksidasi

(ROS, nitrat oksida), vaskularisasi yang tidak baik (iskemia-hipoksia),


inflamasi sitokin (tumor nekrosis faktor-TNF), blokade neurotropin dan

faktor pemicu lain.2

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 285

juta orang di dunia mengalami gangguan penglihatan, 39 juta

diantaranya mengalami kebutaan. Glaukoma menyebabkan gangguan

penglihatan sebanyak 2% dan kebutaan sebanyak 8%. Pada tahun 2020

diperkirakan penderita glaukoma di seluruh dunia akan meningkat

sebanyak 76 juta dengan proporsi terbanyak terdapat di wilayah Asia dan

Afrika.3

Deteksi dini penipisan ketebalan lapisan serabut saraf dan sel

ganglion retina pada pasien glaukoma dapat menunjukkan diagnosis

lebih awal kerusakan saraf retina2

1.2 Rumusan Masalah

Apa Fungsi OCT pada Glaukoma?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas

Kepaniteraan Klinik dan Agar penulis lebih mengetahui kegunaan OCT

pada glaukoma.

1.4 Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan

pemahaman mengenai Manfaat OCT pada pasien glaukoma sehingga


dapat diterapkan dalam menkonseling pasien glaukoma di klinik sesuai

kompetensi dokter umum.

2.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Optical Coherence Tomography (OCT)

2.1.1 Definisi
OCT adalah non-invasif, non-kontak, transpupillary, dalam sistem

pencitraan vivo, menggunakan super luminescent dioda sumber cahaya pada

resolusi tinggi, real time, lintas gambar tomografi bagian retina. OCT adalah

teknik pencitraan interferometric yang menawarkan kedalaman penetrasi

sampel yang diuji 10 mikrometer aksial dan resolusi lateral 8.

2.1.2 Sejarah Perkembangan OCT


OCT di masa lalu sampai sekarang, OCT pertama kali dikembangkan

oleh Huang et al. pada tahun 1991, di Massachusetts Institute of Technology

di Boston. Studi Dr Fujimoto yang merupakan anggota penting dari tim yang

masih terbelakang OCT, pada laser femtosecond dan interferometer yang

dapat melepaskan energi dalam periode yang sangat singkat telah

mendefinisikan dalam hal pengembangan perangkat .Pertama perangkat

OCT dikenal sebagai OCT-1 telah diperkenalkan oleh sebuah perusahaan

bernama Humprey, yang diakuisisi oleh Carl Zeiss pada tahun 1991. Pada

tahun-tahun berikutnya, OCT-2, yang memiliki resolusi meningkat, dan

akhirnya OCT-3 (Stratus OCT) dikembangkan. Teknologi OCT menjadi

tersedia pada tahun 2002, untuk memperjelas perbedaan antara dua

teknologi. OCT-3 adalah produk manufaktur terakhir yang menyediakan

peningkatan signifikan dalam resolusi dibandingkan dengan OCT-1 dan


OCT-2. Saat ini, semua perangkat OCT yang diproduksi memiliki teknologi

domain spektral. Perbedaan penting antara perangkat ini yang menunjukkan

diri mereka secara klinis resolusi aksialmya tinggi, dapat dipengaruhi oleh

gerakan mata tetapi pada tingkat rendah dan artefak yang rendah. Untuk saat

ini, resolusi aksial diperoleh melalui domain spektral perangkat OCT telah

mencapai hingga nilai 3 mikron, dan perangkat ini berhak disebut sebagai

OCTs dengan kecepatan yang sangat tinggi dan resolusi sangat tinggi.

Seperti juga disebutkan sebelumnya, OCT itu menghitung keterlambatan

dalam pantulan cahaya dari berbagai lapisan jaringan. Cahaya yang

dipantulkan dari lapisan dalam jaringan akan menunjukkan waktu yang lebih

lama, dibandingkan dengan cahaya yang dipantulkan dari permukaan.

Distribusi intensitas Menurut cahaya yang dipantulkan ke periode delay

ditunjukkan sebagai aksial A-scan mode. Banyak scan A-mode diperoleh

melalui scan seluruh sampel, dan ini diubah menjadi skala abu-abu atau

berwarna menunjukkan intensitas sinyal. Isu yang paling penting untuk

pembentukan citra dalam sistem OCT adalah pengukuran perbedaan waktu

pantulan cahaya dari jaringan yang berbeda, disebut dengan pantulan

tertunda. Pada OCT dengan time domain terdapat cermin referensi yang

mengatasi masalah ini, berbeda dengan OCT pada spectral/ spectrum domain

yang sudah ada cermin fix untuk mengatasi masalah ini. Dalam time domain

OCT-3, resolusi aksial dalam jaringan yang tertinggi adalah sekitar 8-10

mikron. Batas emisi gelombang cahaya spektrum/spectral domain perangkat


OCT tidak jauh berbeda, di perangkat ini resolusi aksialnya telah diturunkan

hingga 3 mikron. Berkat pengembangan ini, kecepatan untuk mendapatkan

gambar juga meningkat hingga 70.000 scan A-mode per detik dari 400 scan

A-mode (OCT-3) per detik. Peningkatan kecepatan scan telah menurunkan

jumlah artefak pada gambar lebih jauh 7

2.1.3 Prinsip dan Dasar Kerja OCT

Prinsip kerja OCT dimulai dari adanya cahaya koheren rendah yang

berasal dari dioda superlµminan (SLD) digabungkan dengan interferometer

fiber, kemudian dipisahkan oleh serabut splitter pada suatu coupler menjadi

ke dalam jalur acuan (reference) dan sample (measurement). Sinar

dikombinasikan dalam coupler dengan cahaya pantulan (backscattered) dari

mata penderita Kemudian kembali melalui sample arm (retina) dan mencapai

detektor. Sinar yang terkirim ke reference arm (mirror) dipancarkan dengan

sejajar oleh lensa pada keluaran reference arm, direfleksikan dari cermin,

dan ditangkap kembali oleh lensa dan dikombinasi dengan sinar. Sinyal yang

terbentuk diamati hanya bila panjang lintasan optik sesuai dengan panjang

koheren dari sumber cahaya foto dioda yang kemudian diproses. Didapatkan

gambaran serupa dengan ultrasound A-scan. OCT memanfaatkan konsep

yang dikenal sebagai koherensi interferometri rendah. Cahaya broadband

dari dioda Superluminescent diproyeksikan ke retina. Ini dibagi menjadi

cahaya referensi dan cahaya sampel, selanjutnya penundaan waktu cahaya

yang dipantulkan dari retina dibandingkan dengan jarak yang dikenal


melalui referensi cermin. Gelombang cahaya yang menyebar kembali dari

retina, diganggu dengan cahaya referansi dan pola interferensi yang

ditangkap dan diukur sebagai fotodetektor (Gambar 1 atas). Ini adalah

prinsip dasar OCT bekerja. Spektral domain OCT (SD-OCT) juga bekerja

pada prinsip yang sama, bagaimanapun, dengan kecepatan akuisisi data yang

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan TD-OCT (time domain) Hal ini

dicapai dengan tipe Michelson interferometer dengan cermin referensi

stasioner. Alih-alih sinyal interferensi ditangkap oleh detektor,setelah

kembali, kedua cahaya bergabung pada cahaya pemisah dan membentuk

pola interferensi. Pola ini dibagi dalam komponen-komponen frekuensi,

semua komponen ini secara bersamaan terdeteksi oleh perangkat charge-

coupled (CCD) (Gambar 1 bawah). SD-OCT juga dikenal sebagai Fourier

domain OCT (FD-OCT) karena jarak dikodekan dalam Fourier transform

dari frekuensi cahaya yang dipantulkan.1


Gambar 1. (atas) Prinsip OCT (bawah) Prinsip Fourier domain OCT1
2.2 Glaukoma
2.2.1 Definisi
Glaukoma merupakan keadaan terjadinya kerusakan RNFL dan papil
saraf optik, terutama ditandai dengan kematian retinal ganglion cells
(RGCs). Banyaknya faktor risiko turut berperan sebagai penyebab
tersebut. Kematian sel ganglion disebabkan apoptosis dan kematian sel
yang awal mulanya akibat tekanan mekanik yaitu TIO di atas normal.
Tetapi dewasa ini banyak pasien tanpa disertai naiknya TIO namun
kematian sel ganglion tetap berjalan. Berbagai faktor yang diduga
sebagai pemicu adalah apoptosis akibat faktor genetik, stres oksidasi
(ROS, nitrat oksida), vaskularisasi yang tidak baik (iskemia-hipoksia),
inflamasi sitokin (tumor nekrosis faktor-TNF), blokade neurotropin
dan faktor pemicu lain.2
2.2.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 285
juta orang di dunia mengalami gangguan penglihatan, 39 juta
diantaranya mengalami kebutaan. Glaukoma menyebabkan gangguan
penglihatan sebanyak 2% dan kebutaan sebanyak 8%. Pada tahun 2020
diperkirakan penderita glaukoma di seluruh dunia akan meningkat
sebanyak 76 juta dengan proporsi terbanyak terdapat di wilayah Asia
dan Afrika.4
Glaukoma primer sudut tertutup (GPSTp) adalah jenis glaukoma yang
lebih sering menyebabkan kebutaan (3 kali lipat) dibandingkan
glaukoma primer sudut terbuka. GPSTp lebih sering terdapat pada ras
Asia dibandingkan Kaukasia dan Afrika dengan perempuan memiliki
risiko menderita GPSTp 3‐4 kali lebih besar dibandingkan laki-laki.
Hal tersebut disebabkan faktor predisposisi yang lebih besar seperti
bola mata lebih kecil, lebih pendek dan letak struktur anatomi di
bagian depan mata saling berhimpitan.
2.2.3 Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko yang dapat mengarah pada glaukoma adalah5 :
1. Tekanan darah rendah atau tinggi
2. Fenomena autoimun
3. Degenerasi primer sel ganglion
4. Usia diatas 45 tahun
5. Riwayat glaukoma pada keluarga
6. Miopia atau hipermetropia
7. Pasca bedah dengan hifema atau infeksi
Sedangkan beberapa hal yang memperberat resiko glaukoma adalah :
1. Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat
2. Makin tua usia, makin berat
3. Hipertensi, resiko 6 kali lebih sering
4. Pekerja las, resiko 4 kali lebih sering
5. Riwayat keluarga dengan glaukoma, resiko 4 kali lebih sering
6. Merokok, resiko 4 kali lebih sering
7. Miopia, resiko 2 kali lebih sering
8. DM, resiko 2 kali lebih sering
2.2.4 Klasifikasi Glaukoma5
Glaukoma Primer
Glaukoma Primer Sudut Terbuka Keadaan ini disebut sebagai
glaukoma primer karena sebabnya tidak jelas/idiopatik. Kelainan
biasanya bersifat genetik yang diturunkan secara multifaktorial atau
bersifat poligenik. Sedangkan yang dimaksud ‘sudut’ disini adalah
sudut iridokorneal. Sekurang-kurangnya 90 % dari kasus glaukoma
primer adalah sudut terbuka. Jadi, pada glaukoma sudut terbuka iris
tidak menutupi trabekulum. Hambatan aliran cairan akuos terjadi pada
trabekulum itu sendiri, yaitu pada celah-celah trabekulum yang sempit
sehingga cairan akuos tidak dapat keluar dari bola mata dengan bebas.
Secara lebih detil lagi, sempitnya celah-celah trabekulum itu
disebabkan oleh timbunan-timbunan matriks interseluler. Glaukoma
primer sudut terbuka biasanya bersifat bilateral, perjalanannya
progresif sangat lamban, sifatnya tenang, dan sering tidak
menimbulkan keluhan sehingga sulit untuk menegakkan diagnosis
pada stadium dini. Kalau penderita sudah mulai mengeluh dan datang
ke dokter, biasanya penyakitnya sudah dalam keadaan lanjut dimana
lapangan pandangnya sudah sangat sempit. Gejalanya tidak ada atau
sangat ringan, biasanya keluhannya hanya rasa tidak nyaman/pegal-
pegal di mata. Penglihatan tetap jelas pada fase awal, karena
penglihatan sentral belum terlibat. Selanjutnya lapangan pandang
mulai menyempit. Gejala lain adalah kesulitan berjalan, misalnya
sering tersandung atau “kejeglong” kalau naik/ turun tangga atau tidak
tahu benda disampingnya (karena hilangnya lapangan pandang
perifer). Di tahap akhir terjadi kebutaan. Tanda-tanda pada mata antara
lain mata bisa tampak tenang. Maksudnya, tampak luar mata biasa-
biasa saja, tidak merah, kornea jernih, COA dalam, pupil normal.
Funduskopi menunjukkan atrofi papil saraf optik (CD ratio > 0,6). CD
ratio adalah perbandingan antara diskus dan cupping/lekukan dan
diskus pada papil saraf optik. Semakin luas lekukan (semakin besar
CD ratio), menandakan atrofi semakin parah. TIO biasanya >21
mmHg. Dapat ditemukan tanda-tanda papil granulomatosa yaitu
lamina kribrosa nampak jelas, atrofi retina, Dan pemeriksaan
neurooftalmologis menunjukkan adanya kelainan lapang pandang dan
atau skotoma. Penanganannya dengan menurunkan TIO dengan obat
hingga ± 20 – 50% TIO awal. Lapangan pandang perlu diperiksa tiap
6-12 bulan untuk mengontrol kerusakan lebih lanjut. Kalau perlu
operasi filtrasi (pembuatan saluran). Operasi ini dilakukan bila TIO
tidak dapat dikelola dalam batas-batas normal setelah pemberian
obatobatan, sementara lapang pandang terus memburuk. Cara filtrasi
antara lain trepanasi, sklerektomi, sklerostomi termal, dan
trabekulektomi.
Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut Pada glaukoma primer sudut
tertutup, trabekulum tertutup oleh iris, sehingga aliran cairan akuos
terhambat. Kenaikan TIO terjadi secara mendadak karena
terhambatnya aliran cairan akuos ke trabekulum. Perjalanannya akut
dan menimbulkan gejala yang berat. Faktor predisposisi keadaan ini
antara lain bilik mata depan yang dangkal misalnya pada penderita
hiperopia dan sudut iridokorneal sempit. Selain itu iris yang
mempunyai busur singgung yang luas dengan permukaan depan lensa,
sehingga akan menambah resistensi aliran cairan akuos dari COP ke
COA. Tekanan di COP akan meningkat dan mendorong iris ke depan
(iris bombé). Hal ini menyebabkan bertambah sempitnya sudut
iridokorneal dan mungkin terjadi penutupan sudut secara tiba-tiba.
Faktor predisposisi lainnya adalah lensa yang lebih tebal, terletak lebih
ke depan dibandingkan normal. Pada keadaan normal, lensa terus
membesar sedikit demi sedikit dengan penuaan. Faktor pencetus
glaukoma tipe ini adalah peningkatan volume cairan akuos yang
mendadak di COP, yang mana akan mendorong iris ke depan sehingga
sudut bilik mata yang memang sudah sempit akan mendadak tertutup.
Selain itu, pada pemberian midriatikum, mata dengan sudut
iridokorneal yang sempit akan bertambah sempit atau menjadi tertutup
jika terjadi dilatasi pupil. Dilatasi ini menyebabkan iris bagian tepi
menebal dan menutup sudut tadi. Gejala-gejala yang dialami pasien
antara lain mata merah, penglihatan menurun, seperti melihat pelangi
di sekitar lampu, rasa sakit pada mata yang berdenyut, sakit kepala
sebelah, dan mual serta muntah. Sedangkan tanda-tanda yang mungkin
ditemukan adalah spasme palpebra, hiperemia konjungtiva, dan edema
kornea (keruh seperti kaca es). Pada tahap awal, penurunan visus
bukan karena kerusakan saraf optik melainkan karena kekeruhan
kornea. Selain itu bilik depan dangkal dan pupil luas karena
kelumpuhan m. sphincter pupillae. Pada serangan yang sudah terjadi
berulangulang, lensa menjadi keruh/katarak yang tampak di atas
permukaan kapsula lensa depan sebagi bercak putih (disebut glaukoma
flecken). Oftalmoskopi mengungkap gambaran papil yang tidak khas
(edema,pucat). Tonomoteri menunjukkan TIO > 21 mmHg, bisa
mencapai 50-60 mmHg. Penderita dengan kondisi ini harus segera
dirawat inap, turunkan TIO, dan evaluasi sudut iridokornea, apakah
sudut iridokornea bisa terbuka atau tidak. Kalau dapat terbuka, maka
lakukan prevensi supaya sudut tidak menutup lagi yaitu dengan operasi
iridektomi, namun apabila tidak bisa terbuka, dilakukan penanganan
operasi filtrasi misal trabekulektomi.
Gambar 2. Edema kornea pada glaukoma primer sudut tertutup akut
Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang disebabkan karena
penyakit lain, bisa penyakit lokal pada mata atau penyakit sistemik.
Glaukoma Sekunder Sudut Terbuka Pada glaukoma ini terjadi
sumbatan cairan akuos pada anyaman trabekulum atau produksi cairan
akuos yang berlebih dan pada glaukoma sekunder ditemukan sebab
yang jelas. Glaukoma sekunder sudut terbuka bisa terjadi karena
adanya sumbatan sebelum trabekulum (misal oleh lapisan endotel,
selaput peradangan, atau membran fibrovaskular), sumbatan pada
trabekulum (misal karena sumbatan darah, makrofag, sel neoplastik,
partikel pigmen, protein, dan zonula lensa), serta sumbatan setelah
trabekulum (misal sumbatan di kanalis Schlemm, tekanan vena
episklera yang meningkat karena trombus atau sumbatan lain). Gejala
yang timbul dapat akut misal yang disebabkan uveitis; dan dapat pula
kronis. Yang kronis dapat terjadi pada glaukoma karena pengobatan
steroid jangka panjang atau pasca trauma. Gejalanya seperti pada
glaukoma primer sudut terbuka, antara lain: tidak terasa sakit, mata
tenang, sedikit atau tidak menimbulkan keluhan. Secara lebih spesifik,
glaukoma sekunder dapat disebabkan antara lain oleh:
Uveitis
Pada uveitis terjadi proses radang, termasuk terbentuknya eksudat-
eksudat serta adanya infltrasi sel radang sehingga celahcelah
trabekulum dapat tertutup yang mengakibatkan aliran keluar humor
aqueus terhambat. Terjadinya sembab trabekulum, sembab badan
siliar, dan iris mengurangi kemampuan pengaliran humor aqueus
keluar.
Lensa hipermatur
Pada katarak yang dibiarkan, lama kelamaan korteks lensa bisa
mencair kemudian keluar dari kapsul. Produk protein lensa yang keluar
dari kapsul dapat berperan sebagai antigen yang kemudian
mengakibatkan reaksi radang dalam mata (uveitis). Debris protein dan
sel-sel radang yang tersangkut dalam celah trabekulum mengakibatkan
terhambatnya aliran keluar humor aqueus. Glaukoma semacam ini
disebut glaukoma fakolitik.

A. Glaukoma fakolitik B. Katarak hipermatur dengan


Glaukoma fakolitik
Trauma
Glaukoma terjadi apabila terdapat kerusakan jaringan trabekulum
cukup luas sehingga mengganggu aliran keluar cairan akuos. Misal
trauma karena benturan/ lemparan bola.
Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup Pada glaukoma ini, aliran humor
aqueus tidak lancar karena tertutupnya trabekulum oleh iris oleh sebab
yang jelas. Penyebabnya dijelaskan sebagai berikut. Uveitis Pada
uveitis, glaukoma dapat terjadi karena terbentuknya perlekatan iris
dengan permukaan depan lensa (sinekia posterior). Hal ini disebabkan
oleh eksudat dari iris menghasilkan fibrin yang lengket. Sinekia
posterior menyebabkan aliran cairan akuos dari COP ke COA
terhambat. Selanjutnya akan terjadi iris bombe yang akan menutup
sudut iridokorneal. Uveitis juga akan menyebabkan perlekatan iris
bagian perifer (sinekia anterior) sehingga iris menutupi jaringan
trabekulum. Pengelolaan glaukoma sekunder mencakup penanganan
untuk glaukoma dan untuk penyakit yang mendasari. Jadi penyakit
uveitis yang mendasari juga ditangani. Lensa maju/membesar Luksasi
lensa ke depan menyebabkan COA menjadi dangkal. Iris akan
terdorong ke kornea sehingga menutup jaringan trabekulum.
Pembengkakan lensa akibat meresapnya sejumlah cairan ke dalam
lensa pada proses katarak juga mempersempit COA. Penanganannya
dapat dengan pembedahan setelah glaukoma teratasi. Tumor
intraokular Tumor yang berasal dari uvea dapat menyempitkan rongga
bola mata atau mendesak iris ke depan dan menutup COA. Seperti
contoh, melanoma yang berasal dari uvea tumbuh cepat dan dapat
menyebabkan kenaikan TIO, karena perubahan volume, gangguan
pada sudut filtrasi, atau penyumbatan vena korteks. Diperlukan
tindakan enukleasi. Neovaskularisasi sudut Sering terjadi pada
penderita retinopati DM dan penyakitpenyakit vaskular retina. Bila
retinopati terus berlanjut, selanjutnya akan terjadi iskemik retina.
Kondisi iskemik akan merangsang terbentuknya pembuluh darah baru
yang rapuh (neovaskularisasi). Kalau neovaskularisasi ini mencapai
iris, maka akan menutup sudut bilik mata sehingga aliran cairan akuos
terganggu dan TIO meningkat. Tindakan pencegahan dilakukan
dengan terapi fotokoagulasi retina untuk mengurangi respon iskemia,
sehingga tidak terjadi neovaskularisasi.

Gambar 3. Neovaskularisasi pada iris


Tanda dan gejala yang timbul seperti pada glaukoma primer sudut
tertutup, khas disertai dengan rasa sakit, mata merah, dll.
Glaukoma Kongenital
Glaukoma kongetinal terjadi karena saluran pembuangan tidak
terbentuk dengan baik atau bahkan tidak terbentuk sama sekali.
Glaukoma kongenital dibagi menjadi dua, yaitu tipe infantil dan tipe
yang berhubungan dengan kelainan kongenital lainnya.
Glaukoma Kongenital Primer/Glaukoma Infantil Biasanya sejak lahir
bayi sudah menderita glaukoma, atau pada umur tahun pertama.
Kelainan ini terjadi karena terhentinya pertumbuhan struktur sudut
sejak dalam kandungan (kira-kira saat janin berumur 7 bulan).
Gambar 4. Glaukoma kongenital
Pada glaukoma sekunder, sejak lahir penderita memiliki bola mata
besar (buftalmos) yang disebabkan kenaikan TIO saat masih dalam
kandungan dan mendesak batas luar mata bayi yang masih lentur. Bayi
akan takut melihat cahay karena kornea yang keruh memecah sinar
yang datang sehingga bayi merasa silau. Bayi cenderung rewel, karena
peningkatan TIO menyebabkan rasa tegang/sakit pada mata; dan
apabila dilakukan pemeriksaan dengan tonometer, menunjukkan TIO >
21 mmHg.
Glaukoma Kongenital Berhubungan dengan Kelainan Kongenital Lain
Yang termasuk kelompok ini adalah glaukoma berpigmen, aniridia,
sindrom Axenfeld, anomali Peter, dan sindrom Rieger. Terapi yang
dilakukan pada glaukoma kongential yaitu membuat lubang supaya
ada saluran pembuangan. Pembuatan lubang dapat dilakukan dengan
goniotomi, yaitu operasi membuat torehan sudut, dilakukan untuk
sudut terbuka dan kedalaman bilik depan mata yang normal. Selain itu
bisa dilakukan trabekulektomi, yaitu pembuatan fistula antara COA
dengan ruang subkonjungtiva melalui pengangkatan sebagian jaringan
trabekular secara bedah, dilakukan untuk memudahkan drainase humor
aqueus pada glaukoma. Trabekulotomi memiliki prinisip yang sama
seperti goniostomi, tetapi pada trabekulotomi tidak dilakukan
pengangkatan jaringan trabekulum, namun trabekulumnya cuma
disobek sehingga terjadi hubungan langsung dari COA ke kanalis
Schlemm. Sebelum dilakukan operasi tetap diberi obat untuk
menurunkan TIO supaya kerusakan saraf optik tidak lebih parah.
2.2.5 Diagnosis6
Anamnesis
Anamnesis pada pasien ditanyakan spesifik pada :
a. Keluhan Utama
b. Keluhan Tambahan
c. Riwayat Penyakit Sekarang
 Glaukoma primer sudut terbuka : penurunan ketajaman
penglihatan progresif, sakit kepala, sakit mata, halo/pelangi
disekitar lampu.
 Glaukoma primer sudut tertutup : penurunan ketajaman
penglihatan mendadak, nyeri hebat periorbita, pusing, mual
muntah, mata merah, bengkak, berair, halo/pelangi disekitar
lampu.
 Glaukoma sekunder : keluhan mengarah pada penyakit/keadaan
lain yang dapat menjadi penyebab peningkatan TIO
 Glaukoma kongenital : mata berair berlebihan, bola mata
membesar,silau, bayi tidak tahan sinar matahari dan menjauhi
sinar dengan menyembunyikan mata.
 Glaukoma absolut : kebutaan total, mata lelah, mata keras seperti
batu, nyeri periorbita.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit mata seperti mata merah, gangguan lapang
pandang, katarak, uveitis, retinopati diabetic, oklusi vascular dan
trauma
 Riwayat penyakit dahulu seperti operasi mata
 Riwayat penyakit sistemik hipertensi, DM, penyakit CVS
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Glaukoma, miopi, penyakit CVS, DM, migraine, Hipertensi,
vasospasme.
f. Riwayat Pengobatan
Antihipertensi dan steroid topical
g. Riwayat Alergi
Pemeriksaan Fisik Oftamologis
a. Visus
Ketajaman penglihatan dapat normal atau menurun secara progresif
tetapi terjadi penurunan ketajaman penglihatan mendadak pada
glaukoma akut.
b. Kornea
Edema dan keruh
c. Kamera Okuli Anterior
 Glaukoma sudut terbuka : normal
 Glaukoma sudut tertutup : dangkal
 Glaukoma kongenital : dalam sekali
d. Pupil
Reflex cahaya pupil dapat poitif atau negative.
e. Lensa
Bisa keruh dan adanya iris shadow
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Tekanan Bola Mata
2. Gonioskopi
Pemeriksaan gonioskoi adalah tindakan untuk melihat pertemuan
iris dengan kornea disudut bilik mata digunakan goniolens dengan
suatu sistem prisma dan penyinaran yang dapat menunjukkan
keadaan sudut bilik mata. Gonioskopi adalah suatu cara untuk
melihat langsung keadaan patologik sudut bilik mata, juga untuk
melihat halhal yang terdapat pada sudut bilik mata seperti benda
asing. Dengan gonioskopi dapat ditentukan klasifikasi glaukoma
penderita apakah glaukoma terbuka atau glaukoma sudut tertutup
dan dapat menerangkan penyebab suatu glaukoma sekunder.
3. Oftalmoskopi
Oftalmoskopi adalah pemeriksaan ke mata bagian dalam dengan
memakai alat yang disebut oftalmoskop. Dengan oftalmoskop dapat
dilihat saraf optic di dalam mata dan akan dapat ditentukan apakah
tekanan bola mata telah mengganggu saraf optic. Saraf optic dapat
dilihat secara langsung. Warna serta bentuk dari mangkok saraf
optic pun dapat menggambarkan ada atau tidak ada kerusakan
akibat glaukoma yang sedang diderita.
4. OCT
OCT adalah non-invasif, non-kontak, transpupillary, dalam

sistem pencitraan vivo, menggunakan super luminescent dioda

sumber cahaya pada resolusi tinggi, real time, lintas gambar

tomografi bagian retina. OCT adalah teknik pencitraan

interferometric yang menawarkan kedalaman penetrasi sampel

yang diuji 10 mikrometer aksial dan resolusi lateral.


Deteksi dini penipisan ketebalan lapisan serabut saraf dan sel

ganglion retina pada pasien glaukoma dapat menunjukkan

diagnosis lebih awal kerusakan saraf retina2

Mengukur tingkat RNFL penting dalam membedakan

jalannya perkembangan glaukoma, prediksi prognosis penyakit,

dan evaluasi respon pengobatan. OCT dapat memberikan gambar

objektif, kuantitatif, dan direproduksi dari ONH dan RNFL, yang

keduanya mengalami perubahan struktural dalam glaukoma.

Spektral domain OCT memberikan pencitraan video yang tiga-

dimensi dari ONH, peta tiga dimensi RNFL ketebalan, dan

tomografi Doppler optik. Sebuah OCT akan secara signifikan

informatif pada awal perjalanan penyakit untuk mendiagnosis

glaukoma, untuk mengkonfirmasi pada bidang visual, dan untuk

menindaklanjuti perkembangan glaukoma. Namun, evaluasi oleh

SD-OCT masih tidak unggul ke dokter spesialis mata. keputusan

klinis tidak boleh didorong oleh hasil OCT saja, tetapi juga harus

berdasarkan pemeriksaan mata lengkap8. Saat ini, Cirrus high-

definition (HD) -OCT adalah perangkat banyak digunakan untuk

mengevaluasi circumpapil- lary RNFL (cp-RNFL) ketebalan

dalam praktek klinis sama sebagai RTVue-100. Hal ini

dimungkinkan bagi kita untuk menemukan kuantitatif yang

diperlukan dan data kualitatif untuk ment mengelola- baik


glaukoma di perangkat OCT ini. Hal ini memungkinkan kita untuk

mempelajari morfologi dan manometri dari disk optik dan serat

saraf peripapiller7

4.1. scanning disk optik7

disc optik dicatat dalam sebuah kubus 6x6 mm yang terdiri

dari modus scan 200-B, yang masing-masing terdiri dari 200-A

modus scan. Daerah ini dibagi menjadi beberapa bagian untuk

analisis. (gambar a) perangkat secara otomatis mengidentifikasi

pusat dari disk optik melalui data dalam kubus ini dan bentuk

lingkaran 3,46 mm di sekitar disk, yang memungkinkan

ketebalan RNFL sekitar ring papiler peri untuk dianalisis dan

dibandingkan dengan data normatif. Yang paling penting di sini

adalah kemampuan untuk melakukan analisis RNFL dengan

tingkat diandalkan presisi berulang-ulang, meskipun disk optik

tidak ditempatkan di tengah selama pemindaian. Nilai kekuatan

sinyal nilai antara 0 dan 10 untuk seluruh scan, dengan 10 adalah

nilai maksimum. Nilai ambang batas adalah 5 dan nilai-nilai

kekuatan sinyal rendah dari itu mewakili nilai-nilai yang di

bawah nilai ambang batas yang dapat diterima. Pada beberapa

pasien, mungkin tidak sible pos- untuk mendapatkan kekuatan

sinyal yang tinggi. Dalam kasus tersebut, dokter harus menilai


apakah sinyal yang diperoleh untuk analisis scan diterima atau

tidak.

4.2. Citra fundus7

Gambar ini muncul di bagian atas layar analisis RNFL.Lokasi cincin

perhitungan untuk temporal, superior, hidung, inferior dan temporal

(TSNIT) bagian analisis ditampilkan dalam warna merah. (gambar b)

4.3. Peta RNFL ketebalan7

Peta RNFL ketebalan dihitung berdasarkan semua data dari kubus

yang dipindai. skala warna yang digunakan di sini adalah mirip dengan

peta topografi, di mana warna dingin mewakili daerah menipis

sementara warna panas mewakili daerah tebal. Dengan cara ini,

ketebalan RNFL di semua titik daerah 6 × 6 mm dapat dilihat. Dalam

skala warna digunakan untuk menunjukkan daerah normal dan cacat di

RNFL, ketebalan lapisan serat saraf mulai dari nol (biru) untuk 350 m

(putih) diindikasikan menggunakan kode warna.(gambar c)


Gambar a Optic disk Scanning

Gambar b Fundus image


Gambar c Peta RNFL thickness

4.5. profil ketebalan TSNIT

Profil ketebalan TSNIT menunjukkan ketebalan RNFL untuk setiap

titik di seluruh cincin peripapiller dan membandingkan nilai-nilai ini

ke database normatif. Dalam putra compari- pasien dalam kelompok

usia yang sama, kode warna (putih, hijau, kuning dan merah) yang

digunakan. ( Gambar c).

4.6. Normatif database untuk RNFL

Database normatif digunakan untuk pasien glaukoma yang lebih tua

dari 18. Database ini memungkinkan kita untuk membandingkan data

pasien secara klinis di daerah yang kita, dengan data individu lain dalam

kelompok usia yang sama.


Dalam rangka untuk menunjukkan persentase distribusi normal dari

individu-individu dalam kelompok usia yang sama, RNFL basis data

normatif menggunakan warna seperti di bawah ini: Red: Bagian terendah

dari 1% sehubungan dengan semua pengukuran adalah di zona merah dan

indikator ini harus dianggap sebagai abnormal. Kuning: Dalam kasus

pengukuran berada dalam bagian terendah dari 5%, mereka ditampilkan

dalam warna kuning dan harus ditafsirkan sebagai diragukan. Hijau: 90%

dari semua pengukuran di bagian ini dan harus dianggap sebagai normal.

4.7. Peta deviasi

Ketebalan RNFL pasien dibandingkan dengan data normatif melalui

peta penyimpangan. Data yang keluar dari kisaran nilai normal ditampilkan

dalam warna merah dan kuning seperti yang dijelaskan sebelumnya.

4.8. Analisis hasil

Analisis hasil untuk glaukoma dapat dengan mudah dilakukan

sekilas tunggal dengan perangkat ini. Pada baris pertama, gambar fundus

disediakan di bagian atas, diikuti oleh gambar B-mode dari lingkungan

daerah peripapiller. Pada baris kedua, peta ketebalan serabut saraf yang

disediakan, disertai dengan peta deviasi menunjukkan perbedaan antara

ketebalan normal dan ketebalan yang diukur. Pada baris ketiga disediakan.,

ketebalan serabut cincin saraf. Pada baris keempat, ketebalan serabut saraf

ditunjukkan dalam mikron dan yang memungkinkan kita untuk memahami


jika nilai-nilai dalam normal (hijau), diragukan (kuning) atau patologis

(merah).

Dalam analisis yang dihasilkan, data untuk mata kanan disediakan di

sebelah kiri, sedangkan data untuk mata kiri disediakan di sebelah kanan.

Kesimpulannya, Cirrus Zeiss TM HD-OCT perangkat yang memuat

informasi kualitatif dan kuantitatif tentang kerusakan glaukoma pada

pasien . Namun, diagnosis dan tindak lanjut glaukoma dapat cukup menjadi

rumit. Oleh karena itu, membuat diagnosis dengan satu perangkat bisa

menyesatkan dokter terutama dalam kasus-kasus sulit, Data ujian compre-

hensive klinis pasien harus dikumpulkan untuk mendapatkan diagnosis dan

tindak lanjut.

5. Optovue-RTVue 100 glaukoma protokol scanning

Dalam penelitian glaukoma, perangkat yang digunakan ada empat

model scanning untuk Optovue-RTVue SD-OCT (RTVue Optovue Inc

Fremont, CA).

5.1. Scanning disk optik

Disk optik dihitung melalui sebuah kubus 6 × 6 mm yang terdiri dari

101 garis. 3D scanning optik disk digunakan terutama untuk pembentukan

garis-garis referensi dan penentuan vena disc optik. Garis referensi 3D

dibuat secara otomatis oleh perangkat lunak.


5.2. Peta kepala disc optic

Dalam protokol ini, 13 lingkaran dan 9 scan radial dengan diameter

kepala disc optic(ONH(optiv nerve head)) sekitar 1,3-4,9 mm dilakukan.

scan ini membatasi daerah antara epitel pigmen retina dan kepala disk

optik. Perangkat secara otomatis menghitung diameter dari disk (Gambar

d). Peta kepala disc optic (ONH) menyediakan informasi penting tentang

morfologi disk optik, terutama pada rasio cup-to-disk disk optic.

Gambar d. Optik peta kepala disc (ONH) di RTVue.


5.3. Scan RNFL

Scan ini digunakan untuk menganalisis RNFL dan telah menunjukkan bahwa RNFL

parameter RTVue- 100 ° CT memiliki kekhususan yang baik untuk mendeteksi glaukoma. Pola

secara otomatis, melingkar dengan diameter 3,45 mm 0,16 s pada ONH. Rata-rata empat scan

dihitung dan hasilnya disajikan dengan parameter normatif. Peta ketebalan RNFL terdapat di

area kanan bawah dan daerah yang diukur menjadi tipis akan memiliki warna yang lebih gelap

sementara daerah yang diukur menjadi tebal memiliki warna lebih terang ( Gambar e).

Pada bagian kanan bawah, ada profil ketebalan. Profil ketebalan RNFL ditulis dengan

temporal, superior, nasal, inferior dan temporal. Dalam peta profil ketebalan, nilai-nilai dalam

kisaran normal tetap berada di daerah yang hijau-, sementara nilai-nilai di luar kisaran normal

tetap berada di area merah-berbayang.

Gambar e. scan RNFL di RTVue.


5.4. RNFL laporan perkembangan glaukoma

output RNFL dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama, hasil ketebalan RNFL

daerah ditunjukkan dengan nilai-nilai RNFL basal dan nilai-nilai RNFL dari setiap cek

berikutnya. Bagian kedua menunjukkan grafik TSNIT komparatif RNF. Bagian ketiga termasuk

grafik nilai rata-rata, RNFL superior dan inferior. Selain itu, menggambarkan scan untuk setiap

tindak lanjut termasuk perubahan antara scan basal dan pemindaian terakhir dihitung dalam

mikron.

5.5. Peta kompleks sel ganglion (GCC)

Scan GCC telah disediakan parameter baru untuk diagnosis glaukoma. Lapisan serabut

saraf (NFL), lapisan sel ganglion dan lapisan plexiform dalam (IPL) membuat GCC di daerah

makula. Saat ini, lebih menekankan pada GCC daripada ketebalan seluruh retina dalam

diagnosis glaukoma. Dalam studi mengenai masalah ini, telah menunjukkan bahwa glaukoma

sebagian besar menipiskan serabut saraf, sel-sel ganglion dan IPL(Inner plexiform layer). Studi

GCC cukup berguna untuk diagnosis dini glaukoma dan penentuan perkembangan penyakit,

karena hilangnya sel ganglion terjadi sebelum muncul lesi visual dan penipisan serabut saraf.

Ketebalan GCC didefinisikan sebagai jarak yang terdiri dari mulai dari batas dalam

membran dan berakhir di lapisan plexiform. Semua tiga lapisan berpengaruh dalam glaukoma,

terdiri dari tiga bagian dalam lapisan retina (lapisan serat saraf, lapisan sel ganglion dan lapisan

plexiform bagian dalam). (Gambar f). Ketika sel-sel ganglion mati, lapisan sel ganglion akan

lebih tipis dan ketika akson saraf lapisan serat yang merupakan bagian dari sel ini rusak, lapisan

serat saraf akan lebih tipis. Dendrit dari sel yang sama berada di lapisan plexiform dalam dan

sebagai lapisan ini dipengaruhi, lapisan plexiform dalam akan lebih tipis. Jadi, pemindaian GCC

yang dipengaruhi oleh glaukoma mengukur ketebalan masing-masing tiga lapisan


Gambar f. Anatomi sel ganglion kompleks (GCC).

Keuntungan lain dari analisis ketebalan GCC adalah inklusi makula ini dari 50% dari sel-

sel ganglion di retina.

Peta deviasi menggambarkan penyimpangan dari nilai normal untuk usia dan ras yang

tersedia di database normatif. Peta signifikansi melaporkan temuan bagi pasien dengan

membandingkan mereka dengan nilai normal dalam database normatif atas dasar ras. warna

merah, kuning dan hijau digunakan untuk mencatat perbedaan dalam tindak lanjut.

Parameter lain di sini adalah hilangnya volume yang fokus (FLV). FLV adalah jumlah

dari kerugian topografi GCC, dalam segi volume dan dinyatakan sebagai persentase.

Seperti dapat dilihat, sementara RTVue memberikan penilaian yang sangat baik dari

lapisan sel ganglion memungkinkan melakukan perbandingan dengan nilai normal, berdasarkan

usia dan ras.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Glaukoma adalah suatu kondisi yang menunjukkan variasi dari waktu ke waktu, sangat

penting bahwa hal itu harus dipantau ketat. Terutama, perubahan nilai-nilai ketebalan RNFL

dan nilai-nilai variasi untuk ujian pertama dan terakhir dari pasien harus dianalisis secara hati-

hati.

Deteksi dini penipisan ketebalan lapisan serabut saraf dan sel ganglion retina pada pasien

glaukoma dapat menunjukkan diagnosis lebih awal kerusakan saraf retina, mengukur tingkat

RNFL penting dalam membedakan jalannya perkembangan glaukoma, prediksi prognosis

penyakit, dan evaluasi respon pengobatan. OCT dapat memberikan gambar objektif, kuantitatif,

dan direproduksi dari ONH dan RNFL, yang keduanya mengalami perubahan struktural dalam

glaukoma. Spektral domain OCT memberikan pencitraan video yang tiga-dimensi dari ONH,

peta tiga dimensi RNFL ketebalan, dan tomografi Doppler optik. Sebuah OCT akan secara

signifikan informatif pada awal perjalanan penyakit untuk mendiagnosis glaukoma, untuk

mengkonfirmasi pada bidang visual, dan untuk menindaklanjuti perkembangan glaukoma.

Namun, evaluasi oleh SD-OCT masih tidak unggul ke dokter spesialis mata. keputusan klinis

tidak boleh didorong oleh hasil OCT saja, tetapi juga harus berdasarkan pemeriksaan mata

lengkap. Scan GCC telah disediakan parameter baru untuk diagnosis glaukoma. Lapisan serabut

saraf (NFL), lapisan sel ganglion dan lapisan plexiform dalam (IPL) membuat GCC di daerah

makula. Saat ini, lebih menekankan pada GCC daripada ketebalan seluruh retina dalam

diagnosis glaukoma.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sahoo B and Pegu J, 2019, Role of Optical Coherence Tomography in the Evaluation and
Management of Glaucoma[online] di akses 18 Maret 2020 https://www.intechopen.com/
books/a-practical-guide-to-clinical-application-of-oct-in-ophthalmology/role-of-optical-
coherence-tomography-in-the-evaluation-and-management-of-glaucoma
2. Artini, Widya. 2017. Ketebalan Lapisan Serabut Saraf dan Sel Ganglion Retina pada
Pasien dengan Bilik Mata Depan Sudut Tertutup Primer. Vol. 5, No. 1. Departemen Ilmu
Kesehatan Mata FK UI.
3. Ditjen Yankes. 2017. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI [online] di akses 18 Maret
2020 http://www.yankes.kemkes.go.id/read-world-glaucoma-week-2017-beat-invisible-
glaucoma-cegah-kebutaan-akibat-glaukoma-1523.html
4. World Health Organization (WHO). 2012. Global Data On Visua Impairments. 2010

[online] diakses 18 Maret 2020 https://www.who.int/blindness/GLOBALDATAFINAL

forweb.pdf

5. Ilmu Kesehatan Mata.2007. FK UGM halaman 147-149. Yogyakarta

6. John F. Salmon. 2009. Glaukoma. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17.

EGC. Jakarta

7. Yildiz A, 2018, OCT in Glaucoma Diagnosis, Detection and Screening, OCT -

Applications in Ophthalmology, US: IntechOpen http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.

78683

8. Ali, Abdelmongy E., dkk, 2019, Evaluating the role of OCT in optic disc analysis in

glaucoma patients, The Egyptian Journal of Hospital Medicine (January) Vol. 74 (5),

Page 1016-1022

Anda mungkin juga menyukai