Disusun oleh:
Kelompok 5 Farmasi B / 2018
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Kami haturkan puji syukur kehadirat- Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayat, serta inayah- Nya kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah biokimia ini yang berjudul “PENETAPAN POTENSI
ANTIMIKROBA PADA SEDIAAN SALEP GENTAMISIN TERHADAP
BAKTERI Staphylococcus epidermidis”
Makalah ini sudah disusun dengan sepenuh hati dengan maksimal
sehingga dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini. Maka dari itu, kami pun
bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepada kami.
Namun, kami menyadari berbagai kekurangan dalam penyusunan makalah
ini baik dari kekurangan piliham kata, kesalahan ejaan ataupu kesalaahn lainnya.
Oleh karena itu, kami sangatlah memerlukan saran dan kritik yang membangun
demi proses pembelajaran untuk kedepannya.
Akhir kata, kami berharap agar makalah ini memberikan manfaat bagi kita
semua sehingga dapat memahami topic kali ini dengan mudah.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
dan uji kadar hambat minimum (KHM). Dengan menggunakan kultur
bakteri standar, dibuat kolerasi antara diameter zona pada difusi cakram
dengan hasil konsentrasi hambatan minimum. Dengan cara ini maka akan
ditentukan zona tertentu termasuk dalam kategori “sensitive”, „intermediate”,
atau “resistance”.
Menurut Ditjen POM (1995) Gentamisin sulfat dapat ditentukan
potensinya menggunakan metode lempeng/ difusi cakram, dengan batas
keyakinan terendah tidak kurang dari 95% dan tidak lebih dari 135% dari
potensi yang ditetapkan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara penetapan potensi antimikroba pada sediaan salep
gentamisin ?
2. Apakah produk salep gentamisin memenuhi persyaratan daya
hambat terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis sesuai yang
disyaratkan oleh Farmakope Indonesia Edisi V ?
1.3 Tujuan
Pengujian potensi salep gentamisin bertujuan untuk mengetahui apakah
produk salep gentamisin memenuhi persyaratan daya hambat terhadap
bakteri yang sesuai dengan persyaratan yang telah tertera pada Farmakope
Indonesia Edisi V yaitu bakteri Staphylococcus epidermidis
1.4 Manfaat
Manfaat dari uji potensi produk salep gentamisin adalah dapat
mengetahui cara pengujian potensi produk salep gentamisin, serta dapat
memberikan informasi kepada masyarakat bahwa setiap produk salep
gentamisin telah diuji dan telah memenuhi persyaratan potensi sebelum
dipasarkan. Sehingga masyarakat tidak perlu ragu atau takut untuk
menggunakan produk tersebut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antibiotika
Antibiotik yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrichtahun 1910,
sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus
penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir telah mengalami
peningkatan yang signifikan, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi
juga menjadi masalah di negara maju seperti Amerika Serikat. The Center
for Disease Controland Prevention di Amerika Serikat menyebutkan
terdapat 50 juta peresepan antibiotik yang tidak diperlukan (unnescecery
prescribing) dari 150 juta peresepan setiap tahun. Ketika digunakan secara
tepat, antibiotik memberikan banyak manfaat. Namun bila dipakai atau
diresepkan secara tidak tepat dapat menimbulkan kerugian yang luas dari
aspek kesehatan, ekonomi bahkan untuk generasi mendatang. Munculnya
kuman-kuman patogen yang resisten terhadap satu (antimicrobacterial
resistance) atau beberapa jenis antibiotik tertentu (multiple drug resistance)
sangat menyulitkan proses pengobatan (Utami, 2012).
Tingginya penggunaan antibiotika yang tidak tepat pada masyarakat
menyebabkan terjadinya masalah resistensi antibiotika. Hasil penelitian
Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) menunjukkan bukti
bahwa dari 2.494 individu di masyarakat 43% Escherichia coli resisten
terhadap berbagai jenis antibiotika, antara lain: ampisilin (34%),
kotrimoksazol (29%), dan kloramfenikol (25%). Permasalahan resistensi ini
mengakibatkan turun atau hilangnya efektivitas obat atau senyawa kimia
yang berguna untuk mencegah atau mengobati infeksi. Dampak lain dari
pemakaian antibiotika yang irrasional adalah meningkatnya toksisitas dan
efek samping antibiotika tersebut, serta meningkatnya biaya terapi (Menkes
RI,2011).
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri
dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang
3
seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs
resistance didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat
maupun klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu
obat yang diikuti demean obat lain yang belum pernah dipaparkan.
Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lebih kondisi yang
menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau
bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi.
Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak menimbulkan
lebih banyak kerugian. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh
kadar hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri
( Bari dkk,2008).
Umumnya antibiotik dibuat secara mikrobiologi, yaitu fungi dibiakkan
dalam tangki besar bersama zat gizi khusus. Oksigen atau udara steril
disalurkan kedalam cairan pembiakan guna mempercepat pertumbuhan
fungi dan meningkatkan produksi antibiotikumnya. Setelah diisolasi dari
cairan kultur, antibiotikum dimurnikan dan aktifitasnya ditentukan (Tjay
dan Rahardja, 2007)
Berdasarkan kegiatannya, antibiotika dibagi menjadi dua golongan besar,
yaitu :
a. Antibiotika yang mempunyai kegiatan luas (Bord spectrum), yaitu
antibiotika yang dapat mematikan bakteri gram-positif dan bakteri
gram negatif. antibiotika ini diharapkan dapat mematikan sebagian
besar bakteri, termasuk virus tertentu dan protozoa.
b. Antibiotika yang mempunyai kegiatan sempit (narrow
spectrum).Antibiotika golongan ini hanya aktif terhadap beberapa
jenis bakteri.
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan
digunakan sebagai obat luar pada kulit dengan atau tanpa penggosokan.
Bahan obatnya larut atau terdispersi homogeny dalam dasar salep. Sediaan
setengah padat terdiri dari salep, krim, pasta,jeli, cerata (Anief,2007).
4
2.2 Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari dua atau lebih gula
amino yang berikatan secara glikosidik pada inti heksosa. Heksosa tersebut
disebut aminosiklitol, yaitu berupa streptidin (pada streptomisin) atau 2-
deoksisistreptamin (ciri ikatan pada aminoglikosida lainnya); berbentuk
senyawa polikation yang bersifat basa kuat dan sangat polar, baik dalam
bentuk basa maupun garamnya (Gan, V.H.S dan Gan, S.S. 1991.
Obat-obat yang termasuk dalam golongan aminoglikosida adalah
streptomisin, neomisin, framisetin, kanamisin, paromomisin, gentamisin,
tobramisin, dan amikasin. Aktivitas antibakteri gentamisin, tobramisin,
kanamisin, netilmisin, dan amikasin terutama adalah terhadap basil bakteri
Gram negatif yang aerobik. Aktivitas terhadap mikroorganisme atau bakteri
fakultatif dalam kondisi anaerobik sangat rendah. Streptomisin dan
gentamisin aktif terhadap enterokokus dan streptokokus (selain S.
pneumoniae dan S. pyogenes) pada kadar yang secara klinis hanya dapat
dicapai bila digabung dengan penisilin (Gan, V.H.S dan Gan, S.S. 1991).
Aminoglikosida bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri.
Kebanyakan antibiotika yang bekerja dengan rnenghambat sintesis protein
bakteri bersifat bakteriostatik, namun aminoglikosida bersifat bakterisidal
cepat Aktiv1tas antimikrobanya tergantung konsentrasi obat; makin tinggi
konsentrasi, makm cepat kemampuan membunuh bakteri (Chambers, 2001).
2.3 Mekanisme Kerja Antibakteri
Aminoglikosida bekerja dengan mulamula berdifusi bebas melalui
saluran air membran luar bakteri Gram negatif, masuk ke dalam ruang
sitoplasma. Transpor ke dalam membran dalam sitoplasma mi
membutuhkan energi, yang terbagi menjadi dua fase yaitu fase I dan II. Fase
I dapat diblok oleh Ca++ dan Mg++, hiperosmolaritas, penurunan pH, dan
anaerobiasis. Hal ini dapat menjelaskan, mengapa pada lingkungan asam
atau anaerob (misalnya pada abses atau urin asam yang hiperosmolar),
aktivitas aminoglikosida menurun (Chambers, 2001).
Saat sudah masuk ke dalam sel, maka aminoglikosida akan berikatan
dengan polisom (untuk streptomisin terutama pada subunit 30S) dan
5
mengganggu sintesis protein dengan menyebabkan "kesalahan baca" dan
terjadi pengakhiran translasi mRNA Protein yang salah bentuk ini disisipkan
ke dalam membran sel, menyebabkan permeabilitas membran meningkat
dan memacu transport aminoglikosida selanjutnya. Fase transport
aminoglikosida ini disebut fase II, yang mekanismenya berkaitan dengan
rusaknya struktur membrane sitoplasma, mungkin karena protein “salah”
yang disisipkan tadi. Hal ini didasari pemikiran bahwa terjadi kebocoran
ion-ion, yang akhirnya protein juga keluar dari sel bakteri, sehingga terjadi
kematian yang diinduksi oleh aminoglikosida tersebut. Kerusakan progresif
selubung sel ini mirip dengan kejadian pada virus. (Masjhoer, M ,1990)
Aminoglikosida selain streptomisin misalnya neomisin, patomomisin,
kanamisin, dan gentamisin dapat berinteraksi pada lebih dari satu subunit
ribosom (bukan hanya subunit 30s tetapi juga subunit lain misalnya 50s),
sehingga fungsi ribosom yang terganggu lebih luas dan potensi
antimikrobanya melebihi streptomisin. (Gan, V.H.S dan Gan, S.S. 1991)
Mekanisme kerja antimikroba aminoglikosida skemanya dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
8
1. Metode dilusi cair atau padat
Pendekatan yang lebih kuantitatif untuk menguji sensitivitas
bakteri terhadap suatu antibiotika atau mencari nilai Minimum
Inhibitory Concentration (MIC). MIC adalah konsentrasi terendah
yang masih dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kadar
minimum yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan suatu
mikroorganisme juga disebut Kadar Hambatan Minimum (KHM).
Antimikroba dapat meningkatkan aktivitasnya dari bakteriostatik
menjadi bakteriosid, apabila kadar antimikrobanya ditingkatkan
lebih besar dari MIC tersebut. Aktivitas antibakteri ditentukan oleh
spektrum kerja, cara kerja, MIC, serta potensi pada MIC. Suatu
bakteri dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi bila MIC terjadi
pada kadar rendah tetapi mempunyai daya bunuh atau daya hambat
yang besar. Pada dasarnya antibiotika diencerkan sampai didapatkan
beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi
obat ditambah suspensi bakteri dalam media cair, sedangkan pada
dilusi padat, tiap konsentrasi obat dicampur dengan media agar lalu
ditanam kuman dalam media cair. Ada beberapa metode dilusi, yaitu
Broth macrodilution, Microdilution, dan agar dilution test.
2. Metode difusi
Memakai media Mueller Hinton agar, ada beberapa cara, yaitu :
a) Cara Kirby Bauer ( diambil dari nama ahli mikrobilogi W. Kirby
dan A. W. Bauer di tahun 1966 ), atau disebut filter paper disk agar
diffusion method, juga dikenal sebagai NCCLS/ National Committee
For Clinical Laboratory Standars. Prosedur difusi- kertas
cakramagar yang terstandardisasikan merupakan cara untuk
menentukan sensitivitas antibiotika untuk bakteri. Sensitivitas suatu
bakteri terhadap antibiotik ditentukan oleh diameter zona hambat
yang terbentuk. Semakin besar diameternya maka semakin
terhambat pertumbuhannya, sehingga diperlukan standar acuan
untuk menentukan apakah bakteri itu resisten atau peka terhadap
suatu antibiotik. Faktor yang mempengaruhi metode Kirby-Bauer :
9
A. Konsentrasi mikroba uji
B. Konsentrasi antibiotika yang terdapat dalam cakram
C. Jenis antibiotik.
D. pH medium.
Prinsipnya yaitu adanya zona hambatan yang terlihat pada paper disk
di medium Muller Hinton Agar yang telah diinkubasi selama 18- 24
jam.
b) Cara Joan- Stokes, yaitu dengan cara membandingkan radius zona
hambatan yang terjadi antara bakteri kontrol yang sudah diketahui
kepekaannya terhadap obat tersebut dengan isolat bakteri yang diuji.
Pada cara ini, prosedur tes sensitivitas untuk bakteri control dan
bakteri uji dilakukan bersama- sama dalam satu piring agar.
3. Antimikrobial Gradient
Cara ini termasuk cara baru, dengan menggunakan satu jenis
antibiotika dengan beberapa derajat konsentrasi yang diletakkan
pada strip plastic, sering disebut E- test. Prinsipnya hampir sama
dengan cara Kirby Bauer, yaitu meletakkan strip pada Muller Hinton,
kemudian diinkubasi selama 12 jam dan dilakukan pengamatan
adanya zona hambat E- test.
4. Short Automated Instrument System (SIAIA)
FDA (Food and Drugs Administration) memperkenalkan dua
system untuk tes sensitivitas yang lebih cepat dan akurat, yaitu
MicroScan walk away dan Vitek systems utilize similar techniques.
Sebuah penampang microdilution diberi bakteri dengan jumlah yang
telah diketahui sebelumnya, kemudian beberapa antibiotika dapat
diberikan pada penampang microdilution. Dalam 3 sampai 10 jam
akan muncul pada software informasi mengenai reaksi, identifikasi
bakteri dan pola resistensi antibiotika. Cara ini merupakan cara
terbaru dan menggunakan teknologi tercepat. Berdasarkan metode
Kirby Bauer, beberapa antibiotika menunjukkan diameter daerah
hambatannya dengan menggunakan disk sensitivitas ( Benson, 1980,
11 ).
10
2.6 Staphylococcus
2.6.1 Definisi Staphylococcus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk
bulat berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang
tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk
spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC,
tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC).
Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning
keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau.
Staphylocccus yang patogen sering menghemolisis darah, mengkoagulasi
plasma dan menghasilkan enzim ekstraseluler dan toksin. Bentuk
keracunan makanan paling sering disebabkan oleh enterotoksin
stafilokokus yang stabil terhadap panas. Kira-kira 75% infeksi yang
disebabkan oleh stapilokokus koagulase negatif, biasanya adalah
S.epidermidis
2.6.2 Patogenisitas
Staphylococcus khususnya S.pidermis adalah anggota floral normal
pada kulit manusia. Sebagian besar orang mempunyai Staphylococcus
pada kulit dan dalam hidung atau tenggorokan.Staphylococcus juga
ditemukan pada pakaian, sprei, dan benda lain dilingkungan manusia.
Infeksi stapilokokus lokal tampak sebagai jerawat, infeksi folikel rambut
atau abses. Terdapat reaksi inflamasi yang kuat, terlokalisir dan nyeri
yang mengalami surpurasi sentral dan sembuh dengan cepat jika pus
dikeluarkan. Infeksi S.epidermis sulit untuk disembuhkan sebab kuman
tumbuh pada prostese dimana bakteri dapat menghindar dari disirkulasi
sehingga terhindar pula dari obat antibiotik. Dari pada S.aureus hampir
75% strain S.epidermis resisten terhadap nafsilin. Karena banyak galur
yang resisten obat, maka setiap isolat stapilokokus harus diuji kepekaan
antimikrobanya untuk membantu memilih obat sistemik. Uji kepekaan
mikrodilusi atau difusi cakram hendaknya dilakukan secara rutin pada
isolat Staphylococcusdari infeksi yang secara klinis bermakna (Brooks,
2005).
11
BAB III
METODELOGI
3.1 Alat
Penetapan potensi antimikroba pada sediaan salep gentamisin diperlukan
beberapa alat yang dapat digunakan diantaranya alat-alat gelas, autoklaf
destruksi merk Hirayama tipe 36 HI, autoklaf sterilisasi merk Nuve tipe OT
90 L, Bio Safety Cabinet Class II, coloni counter, Hot plate, inkubator, oven
merk Memmert type U-40, ring stainless stell,alat ultrasonik, timbangan
analiti
3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah aquademineralisata steril, baku
pembanding kerja gentamisin sulfat, biakan bakteri staphylococcus
epidermidis ATCC 12228, media Antibiotik No.1, media non selektif TSA,
kalium hidrogen fospat, larutan dapar fosfat (LDF) III, larutan NaCl 0,9%,
produk ruahan salep gentamisin.
3.3 Prosedur
3.3.1 Sterilisiasi Alat dan Bahan
Alat-alat gelas perlu di sterilisasikan pada suhu 160º-170ºC selama 2
jam. Media pembenihan di sterilkan dalam autoklaf pada suhu 121ºC
selama 15 menit.
3.3.2 Preparasi Media Pertumbuhan Bakteri
Komposisi media yang digunakan kali ini ialah dengan media
Antibiotik No.1 (media standar yang sesuai dengan media penetapan
hayati antibiotika menurut FI Ed III 1979), dengan komposisi sebagai
berikut :
Pepton 6,0 g
Tryptone 4,0 g
Yeast extracti 3,0 g
Lab lemco powder 1,5 g
Glucose 1,0 g
12
Agar 11,5 g
Air 1000 ml
Pertama-tama ditimbang seksama 27,02 g serbuk Antibiotik medium No.1,
dilarutkan dalam 1000 ml aquademineralisata, dipanaskan diatas hot plate
sampai mendidih, di sterilkan dalam autoklaf dengan pH 6,6 ± 0,1.
3.3.3 Preparasi Larutan Pengencer
Pengencer disini yang dipilih adalah dapar fosfat no. 3 dengan
komposisi Larutan Dapar Fosfat II FI Ed IV 1995 Komposisi:
Kalium dihidrogen fosfat 8,36 g
Aquademineralisata 500ml
Cara pembuatannya sendiri, mula-mula dilarutkan 8,36 g kalium
dihidrogen fosfat dalam 500 ml aquademineralisata. Atur pH hingga syarat
8,0 ± 0,1 dengan kalium hidroksida 10 N dan asam fosfat 18 N lalu kocok
hingga homogen.
3.3.4 Preparasi Inokula
Pertama dilakukan pembiakan bakteri Staphylococcus epidermidis
ATCC 12228 kedalam tabung agar miring media non selektif TSA dan
diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 35-37ºC. Diambil 1 ose biakkan
bakteri dari media non selektif kemudian dipindahkan pada media agar
miring Antibiotik No.1 dengan metode gores. Setelah itu dilakukan
inkubasi selama 24-48 jam pada suhu 35-37ºC, serta ditambahkan 3 ml
NaCl 0.9% kedalam biakan media antibiotik no.1yang telah ditumbuhi
bakteri dan dikocok pelan sampai semua larut. Setelah larut, dituangkan
kedalam botol roux yang berisi 250ml media antibiotik No.1. Kemudian
diinkubasi kembali selama 7 hari pada suhu 35-37ºC. Setelah itu
ditambahkan kembali 40 ml larutan NaCl 0,9% setelah diinkubasi selama
7 hari, serta dikocok sampai semua bakteri terlarut kemudian suspensi
dipindahkan kedalam erlenmeyer dan disimpan di lemari pendingin
dengan masa simpan 1 bulan pada suhu 2-8ºC.
3.3.5 Preparasi Larutan Baku Pembanding Kerja
Dtimbang baku pembanding sesuai dengan potenis yang ada pada
etiket setara dengan 1000 µg/ml. Diperoleh larutan baku induk setara
13
dengan potensi baku pembanding 1000 µg/ml (ppm). Masukkan dalam
labu ukur 50 ml, tambahkan pelarut 25 ml dan diletakkan diatas alat
ultasonic selama 15 menit, ditambahkan kembali pelarut sampai garis
tanda. Kemudian dipipet larutan baku induk sesuai peraturan Baku
Pembanding Farmakope Indonesia (BPFI) sebanyak 1: 1,25, yang mana
untuk larutan standar 1 (S1) dipipet 0,64 ml [64 mcg/ml], laruta standart 2
(S2) dipipet sebanyak 0,8 ml [80 mcg/ml], larutan standar 3 (S3) dipipet
sebanyak 1 ml [100 mcg/ml], larutan standar 4 (S4) dipipet sebnyak 1,25
ml [125 mcg/ml], larutan standar 5 (S5) dipipet sebanyak 1,56 ml [156
mcg/ml], masing-masing dimasukkan dalam labu ukur 10 ml add dengan
larutan dapar fospat (LDF III) sampai garis tanda dan homogenkan.
Kemudian dimasukkan masing-masing dalam vial yang berbeda.
3.3.6 Preparasi Larutan Uji
Pembulatan larutan uji disini dilakukan dengan menimbang 1 gram
produk ruahan gentamisin salep kulit dalam beaker gelas 50 ml.
Tambahkan 5 ml larutan dapar fospat (LDF III), panaskan diatas hotplate
hingga larut dengan sesekali pengadukan. Didinginkan sampai terpisah
dasar salep (vaselin) pada bagian atas larutan, dibuang dasar salep yang
berada pada permukaan larutan. Dimasukkan filtrat kedalam labu
tentukur 10 ml lalu tambahkan pelarut sampai garis tanda.
3.3.7 Pengenceran Suspensi Bakteri
Diencerkan suspensi bakeri uji dengan NaCl 0,9% hingga diperoleh
transmitran 25%. Dipipet suspensi bakteri yang telah diencerkan
sebanyak 2,5 ml dimasukkan kedalam 75 ml media untuk penggunaan 15
cawan petri sebagai kultur. Untuk menyiapkan kultur, tentunya
diperlukan media kultur. Media kultur disini disiapkan dengan cara
menuangkan 15 ml larutan antibiotik medium No.1 kedalam cawan petri.
Lalu diratakan dan diamkan hingga memadat. ditambahkan 5 ml
suspensibakterikedalam cawan petri, lalu dihomogenkan dandiamkan.
3.4 Penetapan Potensi Antimikroba
Penetapan potensi tersebut dilakukan dengan cara menanamkan 6 buah
ring pada cawan petri sesuai dengan titik penandaan secara perlahan,
14
kemudian ring dipastikan tidak menyentuh dasar cawan petri (dilakukan
terhadap keseluruhan cawan petri). Lalu diteteskan larutan uji dan larutan
standar dengan menggunakan mikropipet masing-masing sebanyak 100 µl
kedalam ring sesuai dengan penandaan yang ada. Diinkubasi selam 24 jam
pada suhu 35-37ºC. Kemudian zona hambatnya dapat diukur setelah
diinkubasi selama 24 jam.
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Tabel 2. Hasil Pengolahan Data
Larutan Log S = X Diameter X² Y² XY
Baku Hambatan
=Y
Dosis 1,80618 a= 3,2622861 28.186,2127 303,235045
S1=64 167,8875
Dosis 1,90309 b= 3,6217515 35.346,8201 357,795193
S2=80 188,0075
Dosis 2 c= 4 38.546,4506 392,665
S3=100 196,3325
Dosis 2,09691 d= 4,3970316 40.087,0473 439,101925
S4=125 200,2175
Dosis 2,1931246 e = 4,8097955 43.864,0664 459,322533
S5=156 209,4375
Jumlah 9,9993 961,8825 20,090865 186.030,597 2.411,44223
Persamaan Garis regresi:
a = -0,476669
b = 28.945,7957
y = a+bx x= 2 y= 57.891,1147
Yu = [y + (U – S3u)] = 57.891,4147
Dosis U = 100,002468
Potensi U = (U / S3) x 100 % = 100,002468% → 681,7969 mcg/mg
4.1.1 Perhitungan
Korektor = rata-rata baku S3-diameter hambatan S3
S1=196,00-196,3325
= -0,3325
S2=196,67-196,3325
= 0,3375
S4=200,33-196,3325
= -0,1125
S5=209,33-196,3325
= 0,1075
17
hasil koreksi = rata-rata baku + korektor
S1=168,22+(0,3325)
= 167,8875
S2=187,67+(0,3375)
= 188,0075
S4 =200,33+(-0,1125)
= 200,2175
S5=209,33+(0,1075)
= 209,4375
Menghitung Garis regresi
(Ʃx² . Ʃy) – (Ʃx . Ʃxy)
a=
n. Ʃx² . (Ʃx)²
(20,090865 . 961,8825) – (9,9993 . 2.411,44223)
=
5 . 20,090865 . (9,9993)²
(19.325,0515) – (24.112,7343)
=
10.044,0262
−4.787,6828
=
10.044,0262
= − 0,476669
(n . Ʃxy) (Ʃx . Ʃxy)
b=
n. Ʃx² . (Ʃx)²
(5 . 2.411,44223) (9,9993 . 2.411,44223)
=
5. 20,090865 . (9,9993)²
(12.057,2112) (24112,7343)
=
10.044,0262
290.732.330
=
10.044,0262
= 28.945,7957
18
x = log S dari S3
y= a + bx
y= -0,476669 + 28.945,7957 (2)
y= -0,476669 + 57.891,5914
y= 57.891,1147
Yu= [y + (U-S3u]
= [57.891,1147+ (196,78-196,48)]
= 57.891,1147 + 0,3
= 57.891,4147
Xu =
57.891,4147-(-0,476669)
=
28.945,7957
Xu = 2,00001072
Dosis U = (10)Xu
= (10)2,00001072
= 100,002468
Dosis U
Potensi U = 𝑥100 %
Dosis S3
100,002468
= 𝑥100 %
100
= 100,002468%
Potensi U
Potensi = 𝑥 Potensi baku pembanding sekunder
100
100,002468
= 𝑥 681,78
100
= 681,7969 % → 681,7969 mcg/mg
19
4.2 Pembahasan
Metode difusi cakram adalah metode yang rutin dilakukan dalam
mikrobiologi klinikdan cara ini didasarkan semata-mata pada ada atau tidaknya
zona hambatan. Dengan menggunakan kuman-kuman stadar, dibuat kolerasi
antara diameter zona pada difusi cakram dengan hasil konsentrasi hambat
minimum. Dengan cara ini ditentukan zona tertentu termasuk dalam kategori
“sensitive”, „intermediate”, atau “resistance”.
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan didapatkan hasil perhitungan
regresi kurva baku yaitu: Dosis larutan uji (U) = 100,002468; Potensi larutan
uji = (U/ S3) x 100% = 100,002468%. Hal ini memenuhi dengan persyaratan.
Potensi yang didapatkan adalah 681,7969 mcg/mg dengan potensi baku
pembanding sekunder adalah 681,78 mcg/mg. Prinsip penetapan potensi
antibiotik ini prinsipnya adalah mengukur diameter daerah hambat dengan
mengamati zona bening atau tidak adanya pertumbuhan mikroba maupun
bakteri dalam media akibat dari antibiotik yang diuji dengan dibandingkan
antibiotik baku.
Uji potensi salep gentamisin 0,1% pada media pertumbuhan bakteri
Staphylococcus epidermidis menunjukkan adanya zona bening pada baku
pembanding yaitu pada titik sampel S1, S2, S3, S4 dan S5 secara berturut
adalah 167,88 mm; 188,0075 mm; 196,33 mm; 200,21 mm dan 209,43 mm.
Hal ini dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi antibiotik yang
digunakan maka semakin besar diameter hambat atau zona bening yang
ditimbulkan.
Dalam perhitungan menggunakan persamaan regresi baku didapatkan dosis
larutan uji sebesar 100,002468% dengan potensi uji aktivitas antibiotik yang
didapatkan adalah 100,002468%. Hal ini memenuhi syarat pada produk ruahan
salep gentamisin 0,1% terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis sesuai
dengan baku pembanding Farmakope Indonesia Edisi IV, yaitu syarat uji
potensi antibiotik pada salep gentamisin sulfat tidak kurang dari 90% dan tidak
lebih dari 135 % kadar gentamisin dari yang tertera pada etiket kemasan (FI
IV, 1995).
20
BAB V
PENUTUP
21
DAFTAR PUSTAKA
22
Masjhoer, M. 1990. Efek Samping Antibiotika, dalam S. Suryawati, E. Kristin,
Mustofa, B. Santosa (editor) : Pemilihan dan Pemakaian Antibiotika dalam
Klinik. Yayasan melati Nusantara. Jogjakarta, halaman 60-63.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 2406 / MENKES / PER / XII / 2011 tentang Pedoman
Umum Penggunaan Antibiotik. Menteri Kesehatan. Jakarta; 2011.
Novick, J.J. Ferreti, D.A. Portnoy, and J.I. Rood. 2000. Gram Positif. Washington
DC: ASM Press.
Ryan, K.J., J.J. Champoux, S. Falkow, J.J. Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt,
and C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An Introduction to Infectious
Diseases. 3rd ed. Connecticut: Appleton&Lange.
Syahrurachman A., Chatim A. and Sherazi S.T., 2002, Mikrobiologi Kedokteran,
Edisi Review, 125. Tangerang : Binarupa Aksara
Tjay, T.H. dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting. Edisi keenam. Cetakan
Pertama. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Halaman 47-48; 65;
66; 75; 77.
Utami, Eka Rahayu. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Sainstis
volume 1, Nomor 1, April-September 2012.
Wahyutomo, ridha. 2009. Tes sensitivitas untuk menentukan resistensi antibiotika.
http://www.tributememories.com. Diakses 28 Maret 2020
Warsa, U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Edisi Revisi. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
23