Woran, Reividi
Rondonuwu, Chicilia
Engka, Tesalonika
Hermanus, Reysita Inri
Wagey, Ervina Putri
Ohy, Eslin Saskia
1. Nonmaleficience
Yaitu memastikan pasien terhindar dari bahaya baik itu fisik maupun emosional.
2. Beneficience
Yaitu melakukakn sesuatu yang baik terhadap pasien dan menguntungkan seperti
mendengarkan keluhan pasien dengan penuh perhatian, memperlakukan pasien seperti
manusia seutuhnya, dan terus berusaha meringankan beban pasien baik itu fisik, psikologis,
sosial dan spiritual.
3. Autonomy
Yaitu pasien memiliki hak tentang pengambilan keputusan terkait perawatan dengan
menggunakan inform konsen yang menekankan terhadap hak atas kerahasian, privasi, dan
hak untuk menolak pengobatan.
2. Komunikator
Peran sebagai komunikator dilakukan baik terhadap pasien, keluarga, maupun
terhadap dokter. Berkomunikasi dengan keluarga pasien yaitu untuk menjelaskan kondisi
pasien dan memberikan dukungan emosional. Dan salah satu aspek penting dalam
menyediakan dukungan untuk anggota keluarga dari pasien menjelang ajal adalah dengan
melibatkan penggunaan komunikasi terapeutik yang dapat dilakukan dalam memfasilitasi
ekspresi perasaan mereka.
3. Fasilitator
Salah satu bentuk bentuk peran perawat sebagai fasilitator adalah perawat
memberikan waktu kunjungan yang lebih lama bagi keluarga pasien sehingga pasien dan
keluarganya memiliki lebih banyak waktu kebersamaan. Penelitian menyebutkan bahwa
menyedihkan apabila membiarkan pasien meninggal dalam keadaan tanpa di damping oleh
keluarga. Ketika pasien tidak mempunyai keluarga dalam menghadapi akhir kehidupannya
maka di situlah perawat menunjukan perannya untuk mendampingi pasien.
D. PALLIATIVE CARE
Menurut WHO, palliative care merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan masalah yang
mengancam jiwa, melalui pencegahan dan menghentikan penderitaan dengan identifikasi dan
penilaian dini, penangnanan nyeri dan masalah lainnya, seperti fisik, psikologis, sosial dan
spiritual (WHO, 2017).
Dalam menjalankan peran dan fungsi perawat dalam palliative care, perawat harus
menghargai hak-hak pasien dalam menentukan pilihan, memberikan kenyamanan pasien dan
pasien merasa bermartabat yang sudah tercermin didalam rencana asuhan keperawatan. Hal-
hal yang berkaitan dengan pasien harus dikomunikasikan oleh perawat kepada pasien dan
keluarga yang merupakan standar asuhan keperawatan yang profesional.
Berdasarkan National Consensus Project For Quality Palliative Care (NCP, 2013)
pedoman praktek klinis untuk perawat palliative dalam meningkatkan kualitas pelayanan
palliative terdiri dari 8 domain, yaitu :
1. Structure and proses of care
2. Physical Aspect Of Care
3. Physical Aspect Of Care
4. Social Aspect Of Care
5. Spiritual, Religious, And Existential Aspect Of Care
6. Culture Aspect Of Care
7. Care Of The Patient At End of life
8. Ethical And Legal Aspect Of Care
Dalam palliative care juga di sebutkan ada perawatan kepada pasien menjelang ajal pada
point yang ketujuh yaitu Care Of The Patient At End of life merupakan cara yang dilakukan
untuk menggali lebih dalam tentang kesiapan menghadapi kematian dan duka cita setelah
kematian bagi keluarga yang ditinggalkan (De Roo et al., 2013).
Adapun panduan bagi perawat apaliatif sebagai berikut:
a. Perawat hospice dan perawat palliative harus mampu mengenali tanda dan gejala
kematian pasien, keluarga dan komunitas ini harus dikomunikasikan dan
didokumentasikan.
b. Semua perawat harus mampu menjamin kenyamanan pada akhir kehidupan.
c. Semua perawat harus meninjau kembali ritual budaya, agama, dan adat dalam
menghadapi kematian pasien.
d. Semua perawat harus mampu memberikan dukungan pasca kematian pada keluarga
yang ditinggalkan.
e. Semua perawat harus mampu merawat jenazah sesuai dengan budaya, adat dan agama
pasien (Ferrell, 2015).
2. Pengalaman Menyenangkan
Nyaman /perasaan menyenangkan didefinisikan secara inclusive oleh Kolcaba, sebagai
kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan tentram dan damai, dan apapaun yang membuat
hidup terasa menyenangkan.
4. Merasakan Damai
Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan puas, (bebas) dari
kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan ketakutan”.
Dilema Etik
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama di terapkan namun masih menjadi dilemma
bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.519/MenKes/Per/Iii?2011 tentang “Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi
dan Terapi Intensif di RS”, disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau
penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU yaitu
semua bantuan kecuali RJP, dilakukan pada pasien dengan fungsi otak yang tetap ada tetapi
mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat akhir penyakit yang
tidak dapat disembuhkan.
Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat di karenakan timbulnya
penolakan dari hati nurani perawat terhadap label DNR dan kondisi dilemma itu sendiri.
2. Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik,
tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti
sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, akan tetapi untuk mengurangi atau
meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya.
Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan tegas mengenai masalah
euthanasia dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui
tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang hal tersebut. Pihak yang menyetujui
tindakan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk
mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup
mendukung, yaitu alasan kemanusiaan.
Dengan keadaan pasien yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup,
maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian
pihak yang tidak memperbolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki
hak untuk mengakhiri hidupnya karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak
Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Secara umum, argumen pihak anti
euthanasia adalah kita harus mendukung seseorang untuk hidup, bukan menciptakan struktur
yang mengizinkan mereka untuk mati.
Bentuk Euthanasia
Terdapat juga pendapat dari Dr. R. Soeprono, yang membagi euthanasia empat bentuk
yaitu:
a. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia).
Pasien meminta, memberi ijin atau persetujuan untuk menghentikan atau meniadakan
perawatan yang memperpanjang hidup.
b. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu)
Membiarkan pasien mati tanpa sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan cara
menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.
c. Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing)
Dengan sepengetahuan dan persetujuan pasien diambil tindakan yang menyebabkan
kematian.
d. Mercy Killing terpaksa (Involunlari A1ercv Killing)
Tindakan sengaja di ambil tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat kematian.
Jenis Euthanasia
Euthanasia dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu:
a. Euthanasia aktif, adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk
mengakhiri hidup pasien yang dilakukan secara medis.
b. Euthanasia pasif, adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup pasien.
Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk
euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri
dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/ korban
sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP.
a. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : (Moeljatno, 2005 : 116) “Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”
b. Pasal 304 KUHP dinyatakan: “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
REFERENSI
Dr.dr. C. H. Soejono, S.-K. (2015). Pedoman Penerapan Paliatif Dan Akhir Kehidupan (End
Of Life/EOL).
Dyer. (2015). What are End of Life and End of Life Care? Health Disease and Conditions.
Euggune, M., Ibrahim, K., & Agustina, H. R. (2014, April). Persepsi Perawat Neurosurgical
Critical Care Unit terhadap Perawatan Pasien Menjelang Ajal. Akademi Keperawatan
Bethesda, 2.
Friedenberg, A., Levy, M., Ross, S., & Evans, L. (2011). Barriers to end of life care in the
Itensive Care Unit: Perceptions Vary by Level of training, dicipline, and institution.
Journal of Paliative Medicine, 4.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, a. S. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan. In E. Wahyuningsih, D. yulianti, Y. Yuningsih, & d. A. Lusyana, Buku
ajar fundamental keperawatan : Konsep, proses dan praktik (Vol. 2). New Jersey:
EGC.
Pradjonggo, T. S. (2016, Juni). Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau dari Asoek Hukum Pidana
dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, 56-63.
Prakoso, D., & Nirwanto D, A. (n.d.). Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana.
Ruland, C., & Moore, S. (n.d.). Nursing Theory Peacful End Of Life. TEXAS: Texas
University Health Sciences Center School Of Nursing.