Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“MASALAH LINGKUNGAN DALAM AKUNTANSI KONVESIONAL DAN


URGENSI AKUNTANSI LINGKUNGAN”

Mata Kuliah:
Akuntansi Sosial Dan Lingkungan

Di Susun Oleh:

Az zahra Fatima C 301 17 229

Nurul Anisa C 301 17 301

Ni Luh Pande C 301 17 264

Siti Nur Anisa C 301 17 261

Echaristy Dewi Lestari C 301 16 336

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TADULAKO, PALU
TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha kuasa,
karena berkat limpahan ranmat dan hidayah-Nya kepada kami semua. Makalah ini
dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya yang diharapkan makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “Akuntansi Sosial Dan Lingkungan”.

Dalam penulisan makalah ini pembuat menyadari masih banyak kesalahan


yang perlu di perbaiki besama, untuk itu kritik dan sarannya perlu untuk disampaikan
kepada kami. Agar penulisan makalah selanjutnya akan lebih baik dan sekaligus
sebagai upaya perbaikan danpenyempurnaan dimasa yang akan datang. akhirnya
kurang dan lebihnya kami ucapkan banyak terima kasih, penulis berharap makalah ini
bermanfaat bagi penulis sendiri lebih-lebih kepada seluruh pembaca pada umumnya.

Palu, 9 Maret 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

SAMPUL 1

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB 1 PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang Masalah 4
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Masalah 6
BAB II PEMBAHASAN 7
2.1 Kelemahan dan Keunggulan Akuntansi Konvesional 7
2.2 Akuntansi Untuk Dampak Keuangan Yang Disebabkan Lingkungan 9
2.3 Urgensi Akuntansi Lingkungan 12
2.4 Reformasi Menuju Akuntansi Lingkungan 15
BAB III PENUTUP 21
3.1 Kesimpulan 21
DAFTAR PUSTAKA 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pengaruh dari kerusakan alam terhadap kehidupan manusia telah memunculkan
serangkaian tindakan serius dari masyarakat dunia untuk melakukan upaya
pencegahan dampak kerusakan lingkungan alam secara lebih luas. Contoh kecil dari
tindakan manusia sebagai upaya global mengurangi dampak kerusakan lingkungan
adalah dengan mengurangi perubahan iklim. Inilah salah satu contoh tindakan yang
mempelopori mengapa para pemerhati lingkungan, pebisnis dan pemerintah
mengubah cara pikir mereka dari hanya peduli akan laba tetapi juga mulai peduli
terhadap lingkungan yang menjadi sumber daya utama bagi usaha mereka. Dari
upaya merawat lingkungan tersebut akan timbul pengaruh terhadap bidang akuntansi
di Indonesia dengan munculnya istilah Green Accounting.
Green accounting adalah jenis akuntansi lingkungan yang menggambarkan
upaya untuk menggabungkan manfaat lingkungan dan biaya ke dalam pengambilan
keputusan ekonomi atau suatu hasil keuangan usaha. Green
Accounting menggambarkan upaya untuk menggabungkan manfaat lingkungan dan
biaya ke dalam pengambilan keputusan ekonomi. Green accounting berkaitan dengan
informasi lingkungan dan sistem audit lingkungan. Peran utama green
accounting adalah untuk mengatasi masalah lingkungan sosial dan mungkin memiliki
dampak pada pencapaian pembangunan berkelanjutan dan lingkungan di negara
manapun dan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam menghadapi isu-isu
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Selain itu, green accounting juga digunakan
sebagai upaya perusahaan untuk membantu dalam mencapai tujuan perusahaan
terhadap tanggung jawab kepada stakeholder perusahaan.
Pengungkapan akuntansi lingkungan di negara-negara berkembang memang
masih sangat kurang. Banyak penelitian yang berkembang di area social accounting
disclosure memperlihatkan bahwa pihak perusahaan melaporkan kinerja

4
lingkungannya masih sangat terbatas. salah satu faktor keterbatasan itu adalah
lemahnya sangsi hukum yang berlaku di negara tersebut. Akuntansi lingkungan
kerapkali dikelompokkan dalam wacana akuntansi sosial. Hal ini terjadi karena kedua
diskursus tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu menginternalisasi eksternalitas
(lingkungan sosial dan lingkungan ekologis), baik positif maupun negatif, ke dalam
laporan keuangan perusahaan. Serupa dengan akuntansi sosial, akuntansi lingkungan
juga menemui kesulitan dalam pengukuran nilai cost and benefit eksternalitas yang
muncul dari proses industri.
Demikian pula dengan praktik akuntansi lingkungan di Indonesia sampai saat
ini juga belum efektif. Cepatnya tingkat pembangunan di masing-masing daerah
dengan adanya otonomi ini terkadang mengesampingkan aspek lingkungan yang
disadari atau tidak pada akhirnya akan menjadi penyebab utama terjadinya
permasalahan lingkungan. Para aktivis lingkungan di Indonesia menilai kerusakan
lingkungan yang terjadi selama ini disebabkan oleh ketidakkonsistenan pemerintah
dalam menerapkan regulasi. Ketidakkonsistenan pemerintah misalnya mengabaikan
regulasi mengenai tata ruang. Kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung
dijadikan kawasan industri, pertambangan dan kawasan komersial lain. Otonomi
daerah telah mengubah kewenangan bidang lingkungan menjadi semakin terbatas di
tingkat kabupaten/kota. Tanpa kontrol yang kuat dari pemerintah pusat atau provinsi,
potensi kerusakan lingkungan akan semakin besar.
Sebuah perusahaan dikatakan memiliki kepedulian terhadap permasalahan
lingkungan hidup jika perusahaan tersebut memiliki perhatian terhadap permasalahan
lingkungan hidup di sekitarnya. Berikutnya, perusahaan dikatakan memiliki perhatian
yang baik manakala perusahaan tersebut mempunyai keterlibatan dalam kegiatan
peduli lingkungan hidup ataupun konservasinya. Hal ini harus diikuti dengan
pelaporan akuntansi lingkungan yang ada di perusahaan. Tahapan akhir dari wujud
kepedulian ini adalah adanya audit lingkungan yang dengannya efektivitas dan
efisiensi dari program peduli lingkungan tersebut diukur.

5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan diatas. Rumusan masalah
masalah yang ada pada makalah ini adalah, sebagai berikut:
1.2.1 Apa Kelemahan dan Keunggulan Akuntansi Konvesional?
1.2.2 Bagaimana Akuntansi Untuk Dampak Keuangan Yang Disebabkan
Lingkungan?
1.2.3 Apa Itu Urgensi Akuntansi Lingkungan?
1.2.4 Bagaimana Reformasi Menuju Akuntansi Lingkungan?

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini dibuat untuk dapat mengetahui dan mempelajari masalah
lingkungan dalam akuntansi konvensional dan urgensi akuntansi lingkungan.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kelemahan Dan Keunggulan Akuntansi Konvesional


Akuntansi konvensional dipengaruhi oleh berbagai macam ideologi,
tetapi ideologi  yang  paling dominan adalah ideologi kapitalisme. Menurut Harahap
(2001), ilmu akuntansi konvensional yang berkembang saat ini dilandasi jiwa
kapitalisme dan sebaliknya perkembangan ekonomi kapitalisme sangat dipengaruhi
oleh perkembangan akuntansi konvensional. Prinsip prinsip akuntansi  yang paling
banyak digunakan oleh berbagai kalangan karena pada dasarnya hampir semua
lembaga pendidikan mengajarkan tentang akuntansi konvensional. Berikut ini
beberapa kelebihan dan kelemahan dari akuntansi konvensional.
 Kelebihan akuntansi konvensional:
1. Lebih Mudah Memahami Konsep Modal
Jenis jenis modal dalam akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian,
yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar). Kelebihan
akuntansi konvensional dalam hal ini adalah semua orang akan lebih mudah
memahami tentang hal-hal apa saja yang tergolong dalam modal.
2. Melakukan Pencegahan Kerugian
Konsep dasar akuntansi konvensional mempraktikkan teori pencadangan dan
ketelitian untuk menanggung semua kerugian dalam perhitungan serta
mengenyampingkan laba yang mungkin didapatkan. Inilah yang menjadi kelebihan
akuntansi konvensional.
3. Memperhitungkan Berbagai Jenis Laba
Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal yang mencakup laba
dagang, modal pokok, transaksi, dan uang dari kegiatan perusahaan. Manfaat
akuntansi konvensional lebih rinci dalam perhitungan laba perusahaan.
4. Lebih Selektif dalam Menentukan Laba

7
Ruang lingkup akuntansi konvensional menerapkan prinsip laba hanya dihitung
sebagai laba kalau ada kegiatan transaksi seperti jual beli. jual beli menjadi keharusan
untuk menyatakan laba yang tidak boleh dibagi sebelum laba itu benar-benar
diterima.
5. Lebih Rinci dalam Mencatat Keadaan Perusahaan
Akuntansi konvensional memberikan informasi yang diperlukan tentang
perubahan macam macam harta dalam akuntansi dan kewajiban sehingga kondisi
perusahaan bisa terlihat secara gamblang. Pihak yang membutuhkan laporan
keuangan bisa mengambil keputusan dari laporan keuangan yang sudah tersusun
secara lengkap.
 Kelemahan akuntansi konvensional:
Kelemahan akuntansi konvensional, dimana pencatatan hanya terbatas pada
penghitungan material. Truebold Commitee dalam Harahap dalam Dahnil A
Simanjutak menyatakan kritik terhadap akuntansi konvensional diantaranya :
1. Akuntansi hanya menyangkut laporan historis sehingga tidak dapat
menggambarkan secara eksplisit prospek masa depan.
2. Angka-angka akuntansi umumnya didasarkan pada hasil transaksi pertukaran
sehingga hanyamenggambarkan nilai pada saat itu.
3. Dalam akuntansi sering digunakan metode dari beberapa metode yang sama-
sama diterimayang menghasilkan laporan dan informasi berbeda.
4. Akuntansi menekankan pada laporan keuangan yang bersifat umum yang dapat
digunakansemua pihak. Sehingga terpaksa selalu memperhatikan semua pihak
padahal pemakaiannya yangsebenarnya memiliki perbedaan kepentingan.
5. Angka-angka disatu laporan berkaitan dengan angka-angka dilaporan lainnya.
6. Diakui bahwa laporan keuangan yang sekarang tidak menggambarkan likuiditas
dan arus kas.
7. Perubahan dalam daya beli uang jelas ada, namun hal ini tidak tergambarkan
dalam laporan keuangan.

8
8. Konsep materiality merupakan konsep pelaporan.

2.2 Akuntansi Untuk Dampak Keuangan Yang Disebabkan Lingkungan


Manajer bisnis dan pemangku kepentingan lainnya melihat akuntansi
konvensional untuk membantu memberikan informasi yang relevan tentang
konsekuensi ekonomi yang berkembang dari peluang lingkungan dan biaya
lingkungan, seperti yang terkait dengan langkah-langkah untuk mencegah polusi.
Hanya dengan informasi yang relevan yang dapat dipertimbangkan oleh
manajer, pemegang saham, dan kreditor ,konsekuensi ekonomi aktual dan potensial
dari masalah lingkungan, beradaptasi dengan efek ekonomi dari peraturan lingkungan
baru dan berdiskusi bersama dengan para pemangku kepentingan tentang cara terbaik
untuk menerapkan pencegahan polusi (misalnya untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca) dan bagaimana menangani peluang yang terkait dengan Meningkatnya
permintaan untuk produk dan proses yang bersih (misalnya bagaimana perusahaan
listrik harus menanggapi pengenaan kebijakan pemerintah dan memberi sinyal untuk
masa depan bahwa pada tanggal yang ditentukan 2% dari pasokan listrik harus
bersumber dari sumber yang terbarukan).
Idealnya, semua dampak, termasuk yang ditanggung oleh masyarakat dan
lingkungan alam, akan dimasukkan dalam sistem akuntansi konvensional. Dalam
praktiknya, karena hanya beberapa eksternalitas yang diinternalisasi, baik secara
sukarela atau melalui regulasi langsung dan tidak langsung, keputusan manajemen
strategis mungkin didasarkan pada informasi yang tidak lengkap yang, dari sudut
pandang masyarakat, dapat menyesatkan secara ekonomi (misalnya ketika biaya
eksternal diinternalisasi mengikuti kelambatan dalam kebijakan).
Namun, akan lebih menyesatkan jika manajemen menginternalisasi
eksternalitas dalam akuntansi konvensional ketika mereka bukan bagian dari dampak
ekonomi aktual pada bisnis. Akuntansi konvensional adalah sistem informasi yang

9
dirancang untuk mengukur kinerja ekonomi perusahaan di masa lalu (yaitu
profitabilitas ekonomi, likuiditas, dan solvabilitas — singkatnya, sekelompok
keadaan keuangan yang relevan dengan pemangku kepentingan). Mencampur
transaksi keuangan eksternal dan internal (mis. Biaya eksternal dan internal) dalam
akun bisnis akan mengubah angka aktual sehingga mereka akan kehilangan
relevansinya untuk pengambilan keputusan ekonomi dan tujuan akuntabilitas.
Beberapa peristiwa eksternal memang berdampak pada bisnis. Misalnya, inflasi
mengurangi daya beli modal perusahaan dari waktu ke waktu sehingga penyesuaian
perlu dilakukan terhadap basis modal untuk mencerminkan situasi ini. Namun,
akuntansi konvensional belum sangat mahir mengatasi dampak peristiwa eksternal ini
dalam akun. Memang, kinerja profesi akuntansi dengan akuntansi inflasi tidak
konsisten dan lambat, terlepas dari 'suara' yang diekspresikan selama periode 70
tahun, meskipun kegunaannya dari angka ekonomi 'nyata' (disesuaikan dengan
inflasi) untuk analisis tidak tertandingi.
Biaya yang disebabkan oleh lingkungan dapat ditingkatkan atau dikurangi
melalui upaya untuk mencapai perlindungan lingkungan. Biaya keuangan tipikal yang
terkait dengan masalah lingkungan meliputi: peningkatan biaya bahan baku ramah
lingkungan; biaya pengaturan seperti denda, biaya, dan biaya pembersihan; dan
peningkatan produksi limbah. Di sisi lain, penghematan dapat dicapai melalui
penggunaan sumber daya yang lebih baik, pengurangan limbah dan lebih sedikit
denda serta biaya lisensi.
Manfaat atau pendapatan yang diinduksi lingkungan dapat dibagi menjadi
manfaat atau pendapatan langsung dan tidak langsung. Pendapatan langsung,
misalnya, termasuk keuntungan dari penjualan 'daur ulang' (barang daur ulang),
peningkatan volume penjualan produk konsumen dan harga lebih tinggi dari produk
yang dijual, penjualan teknologi ramah lingkungan dan bahkan keuntungan dari
perdagangan kredit polusi (misalnya penjualan kredit sulfur dioksida, terkait dengan
kualitas udara, atau penjualan kredit garam, terkait dengan kualitas air). Efek tidak
langsung tidak berwujud dan dapat, misalnya, mencakup citra yang disempurnakan,

10
peningkatan kepuasan pelanggan dan karyawan, transfer pengetahuan (modal
intelektual) dan pengembangan pasar baru untuk produk ramah lingkungan.
Aset yang diinduksi lingkungan tidak sering diakui sebagai penting dalam
akuntansi manajemen tetapi, dalam praktiknya, pengeluaran aset membentuk bagian
penting dari sistem penilaian investasi, dan basis aset juga dapat diperlakukan sebagai
bagian dari tanggung jawab keuangan manajer divisi di perusahaan besar . Sejauh
basis aset dapat mencakup modal alam, akuntansi manajemen lingkungan perlu
memperhitungkan aset. Akuntansi keuangan lingkungan berkaitan dengan pendapatan
dan pengeluaran (ditunjukkan dalam laporan laba rugi berkala, juga disebut akun
untung-rugi) dan dengan aset dan kewajiban (ditunjukkan dalam neraca tanggal).
Berdasarkan konvensi biaya historis, biaya diklasifikasikan sebagai pengeluaran
jika telah memberikan manfaat yang kini telah kedaluwarsa. Biaya yang tidak
kedaluwarsa yang dapat memberikan manfaat di masa depan didefinisikan sebagai
aset, sedangkan hak properti kreditor diklasifikasikan sebagai liabilitas. Kewajiban
yang hanya dapat diperkirakan biasanya disebut 'ketentuan'. Jika kejadiannya tidak
pasti, kewajiban diungkapkan sebagai 'kewajiban kontinjensi' (juga disebut
'kewajiban potensial').
Pengeluaran yang disebabkan oleh lingkungan termasuk, misalnya, denda untuk
pembuangan limbah ilegal, atau biaya pembersihan yang diperlukan untuk
memulihkan tanah. Sebagai contoh, scrubber dapat diakui sebagai aset yang diinduksi
lingkungan jika ia mendapatkan manfaat ekonomi di masa depan (melalui produksi
yang berkelanjutan, menurut IASC 1995, IAS 14 dan IAS 16).
Liabilitas lingkungan adalah biaya masa depan, seperti yang terjadi untuk remediasi
masa depan tempat pembuangan sampah atau untuk membela tindakan hukum yang
diajukan terhadap perusahaan.
Sistem akuntansi konvensional lain yang dibedakan secara lingkungan
membangun hubungan akuntansi khusus, sebagian besar yang berkaitan dengan
regulasi. Akuntansi pajak, contoh paling penting, berkaitan dengan implikasi pajak
dari pengeluaran yang disebabkan lingkungan (termasuk topik netralitas fiskal), aset,

11
provisi dan pengeluaran pajak (pajak) dan subsidi pajak. Mereka juga melayani
tujuan lain: misalnya, penyediaan dasar untuk penggantian biaya oleh klien atau
pelanggan.
Pajak yang diinduksi lingkungan termasuk, misalnya, pengeluaran untuk pajak emisi
karbon dioksida (CO2), sedangkan subsidi untuk teknologi bersih diklasifikasikan
sebagai pendapatan pajak yang diinduksi oleh lingkungan. Masalah lainnya termasuk
percepatan depresiasi bersih teknologi.
Informasi yang dikumpulkan melalui sistem akuntansi manajemen lingkungan
sering dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan eksternal melalui akuntansi
keuangan. Demikian juga, sistem akuntansi lingkungan lainnya memperoleh sebagian
besar informasi mereka dari sistem akuntansi manajemen. Sebagai konsekuensinya,
bab selanjutnya membahas akuntansi manajemen lingkungan.

2.3 Urgensi Akuntansi Lingkungan


Dalam satu dekade terakhir, orientasi dari visi, tujuan, sasaran, strategi,
kebijakan, tanggung jawab dan perilaku serta tolok ukur penilaian kinerja dari
entitas korporasi di Indonesia sedang mengalami transformasi besar. Orientasi visi,
tujuan, sasaran, tanggung jawab dan perilaku bisnis dari entitas korporasi yang
sebelumnya hanya berfokus pada upaya-upaya untuk memaksimalkan laba
sehingga mendorong korporasi berperilaku tamak, serakah dan merusak, sejak tahun
2007 hingga saat ini mulai bertransformasi ke arah yang lebih hijau (green) atau
ramah terhadap masyarakat dan lingkungan. Dalam penilaian kinerja dan
pengambilan keputusan investasi, operasi dan pendanaan, para pelaku bisnis dan
stakeholder juga mulai menggunakan indikator- indikator kinerja tanggung jawab
sosial dan lingkungan (TJSLP) yang bersifat wajib karena melekat dalam dokumen
Amdal perusahaan dan kinerja corporate social responsibility (CSR) yang bersifat
sukarela sebagai dasar pertimbangan.
Proses transformasi tersebut tampaknya dipicu oleh intervensi negara melalui
sejumlah regulasi. Melalui sejumlah regulasi, seperti UU No. 40 Tahun 2007

12
tentang Perseroan Terbatas, UU No.25 Tahun 2007 tentang Penaman Modal, PP
No.47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas,
Perda TJSLP di sejumlah daerah dan sejumlah regulasi lainnya, pemerintah
memaksa entitas-entitas korporasi di Indonesia untuk mereformasi, merekonstruksi
dan mentransformasi paradigma tanggung jawab korporasi atau bisnis ke arah yang
lebih ramah masyarakat dan lingkungan.
Dalam sejumlah regulasi tersebut, entitas korporasi diminta untuk
mengintegrasikan dan mensinergiskan visi dan tanggung jawab perseroan untuk
memaksimumkan laba (profit maximize) dengan visi dan tanggung jawab perseroan
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat dan menjaga
kelestarian lingkungan alam. Pemerintah bahkan mewajibkan korporasi mendesain
dan melaksanakan sistem tatakelola korporasi yang baik (good corporate
governance/GCG) yang mengintegrasikan dan mensinergiskan ketiga tanggung
jawab tersebut.
Harapannya, dengan mengintegrasikan visi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan
dan tatakelola dari ketiga tanggung jawab tersebut maka pada level makro negara
akan tercipta stabilitas dan keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan yang
mendukung terwujudnya Pembangunan Berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan.
Kerusakan dan degradasi lingkungan pun akan dapat dicegah atau diminimalisir.
Krisis sosial (kemiskinan, kemelaratan, kesenjangan sosial-ekonomi, penderitaan dan
lainnya) akibat perilaku serakah dan tamak korporasi juga dapat diminimalisir. Pada
akhirnya, integrasi ketiga tanggung jawab tersebut akan menciptakan kondisi
lingkungan alam yang kondusif dan lestari, meningkatkan kualitas kehidupan
dan kesejahteraan social ekonomi masyarakat, dan memperkuat fondasi
perekonomian serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Sementara pada level mikro korporasi, integrasi dan sinergisitas antar ketiga
tanggung jawab tersebut diharapkan akan semakin memperkokoh fondasi dari tiga
pilar dasar bisnis korporasi (triple bottom-line of business: planet, people, profit).

13
Pada akhirnya, intergrasi dan sinergitas tersebut akan mendukung keberlanjutan
pertumbuhan bisnis, laba, nilai ekuitas pemilik dan nilai perusahaan serta
kesejahteraan para stakeholder dan kelestarian lingkungan setempat.
Selain dipaksa oleh regulasi negara, banyak korporasi Indonesia juga sedang
melakukan transformasi bisnis ke arah green business dan green corporation
karena menghadapi tekanan dari lingkungan bisnis global. Sebagai akibat kian
seriusnya implikasi dari pemanasan global, perubahan iklim, krisis lingkungan dan
krisis sosial, secara internasional muncul berbagai prakarsa dan tekanan global agar
entitas korporasi di Tanah Air lebih ramah lingkungan dan masyarakat dalam
aktivitas bisnis. Munculnya berbagai standar, inisiatif dan regulasi
internasional memaksa entitas korporasi Indonesia mau tak mau harus berperan
aktif dalam kolaborasi global mengatasi krisis sosial dan lingkungan global.
 Urgensi Standar Akuntansi Hijau
Seperti telah saya bahas dalam edisi Majalah CPA edisi Juni 2016,
transformasi paradigm standar dan praktik akuntansi konvensional menuju ke
Akuntansi Hijau sangat penting dan mendesak karena adanya sejumlah kelemahan
fundamental dalam akuntansi konservatif. Selain itu, juga karena terjadinya salah
kaprah dalam praktik akuntansi korporasi, terutama menyangkut pengakuan atau
perlakuan akuntansi dan pelaporan informasi terhadap costs dan benefits dari
aktivitas TJSLP dan CSR dalam media pelaporan perusahaan.
Secara lebih spesifik, harus diakui bahwa rerangka konseptual akuntansi dan
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) serta praktik akuntansi keuangan konservatif
selama ini tidak mengakui costs TJSLP/CSR sebagai pengorbanan investasi yang
akan memberikan banyak manfaat ekonomi dan nonekonomi potensial masa datang
kepada korporasi. Akuntansi konservatif mengakuinya sebagai beban periodik
(expense). Alasannya, karena potensi manfaat ekonomi dan nonekonomi dari
pengorbanan tersebut di masa datang tidak pasti dan tidak jelas wujudnya, serta sulit

14
diukur nilainya secara pasti. Dalam sejumlah PSAK Standar Akuntansi Keuangan
(SAK) berbasis IFRS, perlakuan akuntansi yang konservatif tersebut dibenarkan.

Pemaksaan perlakuan akuntansi terhadap costs TJSLP dan CSR sebagai beban
periodik dan tidak diakuinya benefits dari aktivitas TJSLP dalam pelapor
keuangan merupakan suatu kesalahan yang serius. Kesalahan tersebut telah
menimbulkan komplikasi permasalahan sosial-ekologi yang serius pula (Thornton,
2013; Deegan, 2013). Sebelumnya, Maunders dan Burritt (1991) dan Gray dan
Bebbington (2001) sudah mengingatkan bahwa akuntansi keuangan dan profesi
akuntansi turut berkontribusi besar terhadap krisis ekologi karena mengabaikan
pengakuan dan pengukuran nilai serta pelaporan terhadap obyek-obyek, peristiwa-
peristiwa atau fenomena- fenomena dari ekologi dalam proses akuntansi dan
pelaporan keuangan.
Karena itu, kehadiran Standar Akuntansi Hijau (SAH) menjadi sangat penting
dan mendesak. Penyusunan SAH menjadi sangat mendesak untuk memberikan
arahan strategis dan operasional kepada entitas korporas dalam melakukan
pengakuan dan pengukuran nilai terhadap obyek-obyek, peristiwa- peristiwa atau
fenomena-fenomena keuangan, sosial dan lingkungan dalam TJSLP dan CSR, serta
dalam melakukan pencatatan, peringkasan, pelaporan dan pengungkapan informasi
keuangan, sosial dan lingkungan secara terpadu dalam wadah Pelaporan Akuntansi
Hijau.
Keberadaan SAH tersebut tentu akan sangat membantu para akuntan korporasi
dalam proses akuntansi dan penyusunan pelaporan akuntansi hijau yang
mengintegrasikan pelaporan keuangan dan pelaporan sosial dan pelaporan
lingkungan secara sistematis dan terpadu. Selain itu, kehadiran SAH juga akan
sangat membantu para auditor dalam menilai kewajaran dan kelayakan laporan
informasi akuntansi hijau dari suatu entitas. Keberadaan SAH juga akan sangat
membantu para pemakai laporan akuntansi dalam menilai risiko, kinerja dan nilai

15
korporasi serta prospek keberlanjutan bisnis dan laba korporasi dalam jangka
panjang.

2.4 Reformasi Menuju Akuntansi Lingkungan

Transformasi menuju Akuntansi Hijau dirasakan kian mendesak di Indonesia


karena negeri ini juga sedang menghadapi fenomena pemanasan global, perubahan
iklim, kerusakan dan bencana lingkungan, krisis energi dan krisis sosial yang makin
serius. Hal ini penting karena akuntansi juga dituding turut memicu dan memacu
terjadinya kompleksitas krisis tersebut. Alasannya, karena informasi akuntansi
keuangan yang dihasilkan dalam proses akuntansi selama ini dinilai tidak
menyajikan informasi akuntansi sosial dan lingkungan yang memadai dan akurat,
dan bahkan cenderung salah kaprah.
Akibatnya, selain menyesatkan para pihak dalam penilaian dan pengambilan
keputusan, ketiadaan informasi akuntansi sosial dan lingkungan tersebut juga telah
menyebabkan para pihak stakeholder berperilaku serakah dan tamak dalam
memaksimalkan nilai laba dan ekuitas pemilik serta aset mereka. Mereka
mengeksploitasi sumberdaya alam dan merusak lingkungan serta mengekploitasi
sumberdaya ekonomi masyarakat secara serakah dan tamak demi mewujudkan
hasrat ekonomi mereka. Akuntansi konvensional juga dinilai telah gagal dalam
mengembangkan rerangka konseptual dan standar akuntansi hijau untuk mendasari
praktik akuntansi dan tatakelola keuangan yang etis dan ramah lingkungan
(Lako,2006).
Selain itu, reformasi dan tranformasi akuntansi konservatif menuju Akuntansi
Hijau juga kian penting dan mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir
kepedulian dari pemerintah untuk mengaplikasikan konsep Ekonomi Hijau (Green
Economy) dalam model Pembangunan Berkelanjutan nasional makin serius.
Demikian pula kepedulian dunia bisnis terhadap gerakan “tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility/CSR)” yang bersifat sukarela, tanggung

16
jawab sosial dan lingkungan perseroan (TJSLP) yang bersifat wajib, dan bisnis hijau
(green business) serta tatakelola korporasi hijau juga makin meningkat.
Meningkatnya kesadaran dan kepedulian tersebut tentu saja membawa
konsekuensi serius bagi entitas korporasi berupa pengorbanan sumberdaya
ekonomik (aset) dan daya-upaya (efforts) untuk melaksanakannya. Selama ini,
secara akuntansi pengorbanan sumberdaya ekonomi (costs) dan daya-upaya (efforts)
untuk melaksanakan CSR, TJSLP, green business, green corporation dan green
governance umumnya diperlakukan sebagai beban atau biaya periodik (expense)
yang mengurangi aset dan laba serta nilai ekuitas pemilik. Itu sebabnya, banyak
pelaku usaha yang telah melaksanakan CSR dan menerapkan prinsip-prinsip green
business dalam tatakelola korporasi dan praktik bisnisnya meminta insentif pajak
dan kompensasi lainnya dari pemerintah.
Namun di sisi lain, perlakuan akuntansi tersebut menimbulkan beragam
komplikasi permasalahan yang serius bagi negara dan masyarakat konsumen.
Karena diperlakukan sebagai biaya periodik yang mengurangi laba maka pajak
penghasilan badan (PPh Badan) yang dibayarkan korporasi kepada negara menjadi
jauh lebih rendah. Saya mencermati, banyak korporasi secara agresif menggunakan
pendekatan CSR, TJSLP dan green business sebagai strategi untuk penghindaran
pajak (tax avoidance). Selain itu, biaya-biaya untuk melaksanakan CSR, TJSLP dan
green business pada akhirnya juga diperhitungkan dalam komponen penentuan
harga jual produk atau jasa (pricing strategy) yang akan dibebankan kepada
masyarakat pembeli atau konsumen. Jadi, masyarakat konsumenlah yang
sesungguhnya menanggung biaya CSR, TJSLP dan green business korporasi.
Sementara pada sisi yang lain, korporasi juga mendapatkan banyak manfaat
ekonomi dan nonekonomi dari pengorbanan sumberdaya ekonomi untuk
melaksanakan CSR, TJSLP dan green business tersebut. Manfaat tersebut antara
lain menurunnya risiko sosial (social risk), risiko lingkungan (environment risk),
risiko politik (political risk), risiko pasar (market risk), risiko bisnis (business risk)
dan risiko keuangan (financial risk) sehingga memudahkan akses bisnis, investasi

17
dan kredit. Juga meningkatkan reputasi dan nama baik perusahaan serta apresiasi
para stakeholder sehingga meningkatkan pangsa pasar, penjualan, pendapatan dan
nilai perusahaan.
Pada akhirnya, semua manfaat ekonomi dan nonekonomi tersebut akan
meningkatkan pendapatan, laba, ekuitas dan aset, meningkatkan harga saham dan
nilai pasar perusahaan, serta mendorong pertumbuhan bisnis dan keberlanjutan
korporasi dalam jangka panjang. Singkatnya, perusahaan atau entitas korporasi
sesungguhnya mendapat manfaat berlipat ganda dari pengorbanan sumberdaya
ekonomi dan nonekonomi untuk melaksanakan TSJLP, CSR dan green business
Namun, sangat disayangkan akuntansi justru tidak mengakui dan mengukur nilai
kebermanfaatan tersebut. Karena itu, sebagai bagian dari entitas korporasi,
akuntansi mau tak mau harus segera merespon secara bijak sejumlah permasalahan
serius tersebut dengan mereformasi paradigma akuntansi, prinsip-prinsip akuntansi
berterima (PABU), dan standar akuntansi yang mendasari praktik akuntansi menuju
ke paradigma Akuntansi Hijau atau akuntansi yang lebih ramah terhadap lingkungan
dan masyarakat.
Pertanyaannya, aspek-aspek akuntansi apa saja yang perlu direformasi dan
ditransformasikan, serta bagaimana caranya? Menurut hemat saya, reformasinya
perlu difokuskan pada tiga aspek utama berikut yaitu Definisi Akuntansi Hijau,
Prinsip-prinsip Akuntansi Hijau dan Rerangka Konseptual Akuntansi Hijau. Apabila
ketiga aspek tersebut telah direformasi dan ditransformasikan maka langkah
selanjutnya adalah mereformasi standar akuntansi konvensional.
1. Definisi Akuntansi Hijau
Akuntansi Hijau merupakan paradigma baru dalam akuntansi yang
menganjurkan bahwa fokus dari proses akuntansi tidak hanya tertuju pada transaksi-
transaksi, peristiwa-peristiwa atau obyek keuangan, tapi juga pada obyek-obyek,
transaksi-transaksi atau peristiwa-peristiwa sosial dan lingkungan. Pemahaman
tersebut merujuk pada teori atau model triple- bottom line of business yang digagas

18
Elkington (1997, 2001). Berdasarkan teori triple bottom- line Elkington, Akuntansi
Hijau memiliki tiga pilar dasar.
Pilar pertama adalah akuntansi lingkungan (planet accounting),
yaitu proses akuntansi yang mengakui, mengukur, mencatat, meringkas dan
melaporkan transaksi-transaksi, peristiwa - peristiwa atau obyek lingkungan untuk
menghasilkan informasi akuntansi lingkungan. Pilar kedua adalah akuntansi sosial
(people accounting) yaitu proses akuntansi yang mengakui, mengukur nilai,
mencatat, meringkas dan melaporkan informasi akuntansi terkait transaksi-transaksi
atau peristiwa- peristiwa sosial-masyarakat dari suatu entitas untuk menghasilkan
informasi akuntansi sosial. Pilar ketiga adalah akuntansi keuangan (profit accounting)
yaitu proses akuntansi yang mengakui, mengukur nilai, mencatat, meringkas dan
melaporkan transaksi- transaksi atau peristiwa-peristiwa keuangan dari suatu entitas
untuk menghasilkan informasi akuntansi keuangan.
Dengan kata lain, pilar dasar (bottom-line) dari informasi akuntansi
adalah informasi akuntansi lingkungan, sosial dan keuangan. Ketiga pilar dasar
informasi tersebut saling terintegrasi satu sama lain (Deegan, 2013). Dengan
demikian, secara konseptual Akuntansi Hijau dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu proses pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan,
pelaporan dan pengungkapan informasi berkenaan dengan transaksi-transaksi,
peristiwa-peristiwa dan atau obyek-obyek keuangan, sosial dan lingkungan secara
terpadu dalam proses akuntansi agar dapat menghasilkan informasi akuntansi yang
terpadu, utuh dan relevan yang dapat berguna bagi para pemakai dalam penilaian
dan pengambilan keputusan ekonomi dan nonekonomi.”
2. Prinsip-Prinsip Akuntansi Hijau
Secara umum, ada empat prinsip utama yang mendasari Akuntansi Hijau
(Lako,2016b). Pertama, pengorbanan sumberdaya ekonomi dari suatu entitas untuk
melaksanakan ekonomi hijau, bisnis hijau, CSR dan TJSLP dapat diakui sebagai
pengorbanan investasi apabila pengorbanan tersebut dinilai dapat memberikan

19
manfaat ekonomi (tangible benefits) dan nonekonomi (intangible benefits) yang
cukup pasti bagi entitas korporasi di masa sekarang maupun di masa datang.
Kedua, prinsip matching antara cost-benefit dan antara effort-accomplishment
terhadap pengorbanan sumberdaya ekonomi untuk ekonomi hijau, bisnis hijau
dan CSR/TJSLP tidak hanya diberlakukan pada periode akuntansi yang sama
tapi juga untuk periode-periode selanjutnya apabila pengorbanan tersebut dinilai
memiliki potensi manfaat ekonomi dan nonekonomi yang cukup pasti di masa
datang (prinsip aset/investasi).
Ketiga, proses akuntansi yaitu pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan,
peringkasan, pelaporan dan pengungkapan informasi akuntansi harus memadukan
informasi keuangan, sosial dan lingkungan secara terintegrasi dengan tujuan untuk
memberikan informasi akuntansi yang utuh, relevan dan reliabel kepada para
pemakai dalam penilaian dan pengambilan keputusan ekonomi dan nonekonomi.
Keempat, tujuan umum dari Akuntansi Hijau adalah menyediakan informasi
akuntansi keuangan, sosial dan lingkungan yang terintegrasi dan relevan, reliabel
serta berguna untuk membantu para pemangku kepentingan (stakeholders) dan para
pemakai lainnya dalam menilai kinerja dan nilai korporasi, risiko dan prospek
pertumbuhan korporasi, kualitas manajemen dalam pengelolaan entitas korporasi,
dan keberlanjutan korporasi sebelum mengambil keputusan-keputusan ekonomi
dan nonekonomi yang bersifat strategis, taktis dan oprasional.
3. Rerangka Konseptual Akuntansi Hijau
Secara umum, rerangka konseptual (conceptual framework) Akuntansi Hijau
berisi hal-hal umum dan khusus berikut:
1. Tujuan, sasaran, manfaat dan para pemakai dari Akuntansi Hijau,
2. Asumsi-asumsi dan konsep-konsep dasar yang mendasari Akuntansi Hijau;
3. Karakteristik kualitatif informasi Akuntansi Hijau,
4. Pengakuan Akuntansi Hijau;
5 . Elemen-elemen Laporan Akuntansi Hijau; dan
6. Pengukuran nilai dan pelaporan informasi Akuntansi Hijau.

20
Selain itu, rerangka konseptual Akuntansi Hijau juga perlu menjelaskan
definisi- definisi kunci (key definitions) dan karakteristik Akuntansi Hijau,
serta metodologi akuntansi untuk menilai isu-isu responsibilitas,
transparansi, akuntabilitas dan sustainabilitas suatu entitas korporasi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Akuntansi konvensional dipengaruhi oleh berbagai macam ideologi,
tetapi ideologi  yang  paling dominan adalah ideologi kapitalisme. Menurut Harahap
(2001), ilmu akuntansi konvensional yang berkembang saat ini dilandasi jiwa
kapitalisme dan sebaliknya perkembangan ekonomi kapitalisme sangat dipengaruhi
oleh perkembangan akuntansi konvensional. Akuntansi konvensional adalah sistem
informasi yang dirancang untuk mengukur kinerja ekonomi perusahaan di masa lalu
(yaitu profitabilitas ekonomi, likuiditas, dan solvabilitas — singkatnya, sekelompok
keadaan keuangan yang relevan dengan pemangku kepentingan).
Transformasi paradigm standar dan praktik akuntansi konvensional menuju ke
Akuntansi Hijau sangat penting dan mendesak karena adanya sejumlah kelemahan
fundamental dalam akuntansi konservatif. Selain itu, juga karena terjadinya salah
kaprah dalam praktik akuntansi korporasi, terutama menyangkut pengakuan atau
perlakuan akuntansi dan pelaporan informasi terhadap costs dan benefits dari
aktivitas TJSLP dan CSR dalam media pelaporan perusahaan. Secara konseptual
Akuntansi Hijau dapat didefinisikan sebagai berikut:

21
“Suatu proses pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan,
pelaporan dan pengungkapan informasi berkenaan dengan transaksi-transaksi,
peristiwa-peristiwa dan atau obyek-obyek keuangan, sosial dan lingkungan secara
terpadu dalam proses akuntansi agar dapat menghasilkan informasi akuntansi yang
terpadu, utuh dan relevan yang dapat berguna bagi para pemakai dalam penilaian
dan pengambilan keputusan ekonomi dan nonekonomi.”

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/37783943/URGENSI_STANDAR_AKUNTANSI_
HIJAU_Oleh_Andreas_Lako

http://accountingfortheworld.blogspot.com/2012/07/akuntansi-konvensional-
vs-akuntansi.html

https://dosenakuntansi.com/kelebihan-akuntansi-konvensional

22

Anda mungkin juga menyukai