Anda di halaman 1dari 25

BAB 6

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PERITONITIS

6.1 Pengertian
Peritonitis adalah peradangan pada lapisan dinding perut atau peritoneum.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis/kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri
tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan
dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Infeksi
peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder
(berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier
(infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada
abdomen dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen
(local infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari
penyakit yang mendasarinya.
6.2 Etiologi
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial
Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi
intraabdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi
hingga kerongga peritoneal sehinggan menjadi translokasi bakteri munuju dinding
perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen
jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah
kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses.
Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites
pathogen. Yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative
E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram
lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis
Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat
anaerob dan infeksi campur bakteri.
Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi
atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri
rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari
saluran cerna bagian atas.
Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal
dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau
flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB,
peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya
cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural
dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).
6.3 Manifestasi klinis
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri
abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas
lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya
(peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat
yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi,
dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki
punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan
terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk
menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan
nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa
jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes
berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan
penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis,
atau penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
6.4 Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam
rongga abdomen sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau
perforasi tumor. Terjadinya proliferasi bacterial, terjadinya edema jaringan dan
dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal
menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler
dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh
ileus paralitik disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus.
1.5 Pemeriksaan diagnostik
1. Drainase panduan CT-Scan
2. USG
1.6 Penatalaksanaan
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah focus utama. Analegesik
diberikan untuk mengatasi nyeri antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk
mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan
meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang inkubasi jalan
napas dan bentuk ventilasi diperlukan. Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan
terapi antibiotic, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan
metabolic dan terapi modulasi respon peradangan.
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada
bagian bawah atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat
pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah,
tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa-tanda sepsis dengan hemodinamik
stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih
dahulu. Bila luka menembus peritoniummaka tindakan laparotomi diperlukan.
Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdapat darah
dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara bebas intraperitoneal dan
lavase peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi.
Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien
luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotomi.
1.7 Asuhan Keperawatan Peritonitis
1. Pengkajian
a. keluhan utama : keluhan yang sangat mengganggu aktivitas klien,
pasien peritonitis biasanya mengalami nyeri di bagian abdomen
b. riwayat penyakit sekarang: dikaji perjalanan penyakit klien
c. riwayat kesehatan dahulu: yang diakaji penyakit yang pernah diderita
klien sebelum penyakit yang diderita saai ini.
d. riwayat kesehatan keluarga: apakah ada anggota keluarga yang pernah
mengalami penyakit atau keluhan seperti yang dialami klien
e. kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : kebersihan anak, keadaan kulit, kesadaran
b. Pengukuran lain: BB sebelum dan saat pengkajian, tinggi badan
c. Vital Sign: suhu, nadi, respirasi, tekanan darah
d. Keadaan Fisik:
1). Kepala : bentuk, warna rambut, ada tidaknya lesi
2). Mata : warna, penglihatan
3). Mulut : perhatikan mukosa bibir, kelembaban, perdarahan,
kebersihan, jumlah gigi
4). Hidung : perhatikan ada tidaknya epistaksis, nyeri tekan,
pernafasan cuping hidung, kebersihan
5). Telinga : perhatikan ada tidaknya nyeri tekan, kebersihan
6). Thorax: perhatikan bentuk dada, kesimetrisan, suara paru dan
jantung
7). Abdomen : perhatiakan apakah ada nyeri tekan, asites, peristaltic
8). Ekstremitas: perhatikan apakah ada edema, cianosis, pergerakan
sendi
9). Genetalia : perhatikan kebersihan, ada tidaknya kelainan
10). Anus : perhatikan kebersihan, dan ada tidaknya perdarahan
6.8 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi peritonium
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah, anoreksia, penurunan penyerapan nutrient sekunder
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder
akibat mual, muntah
6.9 Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat, lokasi, R/ Untuk memperoleh data
dengan inflamasi peritonium keperawatan diharapkan frekuensi nyeri yang akurat sehingga
nyeri berkurang dengan dapat memberikan asuhan
KH : keperawatan yang tepat
1. Klien melaporkan nyeri
berkurang atau hilang 2. Bantu klien mengatur R/ Posisi yang tepat dan
2. Tidak ada nyeri tekan posisi senyaman nyaman dapat menurunkan
mungkin nyeri
.

3. Ajarkan teknik R/ Pengalihan perhatian


distrakasi dapat menurunkan nyeri
karena klien terfokus pada
hal lain

R/ Nafas dalam dapat


4. Ajarkan teknik nafas meningkatkan input
dalam oksigen sehingga otot –
otot tidak tegang sehingga
nyeri berkurang
R/ Analgesic dapat
5. Kolaborasi dengan menurunkan nyeri
dokter dalam
pemberian analgesic

2. Ketidakseimbangan nutrisi: Setelah dilakukan tindakan 1. Berikan klien makan R/Meningkatkan intake
kurang dari kebutuhan tubuh keperawatan diharapkan dalam porsi kecil tapi makanan.
berhubungan dengan mual, nutrisi terpenuhi dengan sering
muntah, anoreksia, KH:
penurunan penyerapan 1. Klien menunjukan 2. Berikan informasi yang R/ Pengetahuan yang

nutrient sekunder peningkatan nafsu akurat tentang adekuat dapat


makan pentingnya nutrisi meningkatkan kepatuhan
2. Berat badan klien klien terhadap intervensi
normal
3. Motivasi klien untuk R/ Dukungan dari orang
menghabiskan lain akan membuat klien
makanannya merasa dihargai
4. Timbang berat badan R/ Untuk mengetahui
setiap hari perkembangan klien

5. Pertahankan kebersihan R/ Meningkatkan

mulut yang baik kesejahteraan klien

sebelum dan sesudah sehingga nafsu makan

makan meningkat

6. Kolaborasi dengan R/ Meningkatkan nafsu

dokter untuk pemberian makan


multivitamin penambah
nafsu makan
3. Kekurangan volume cairan Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau berat badan, R/Mengetahui
berhubungan dengan keperawatan diharapkan suhu tubuh, perkembangan kondisi
kehilangan sekunder akibat cairan terpenuhi dengan kelembaban pada klien
mual, muntah KH : rongga oral, volume
1. Mukosa bibir lembab dan konsentrasi urine
2. Memperlihatkan tidak 2. Kaji yang disukai dan R/ Meningkatkan intake
adanya tanda dan yang tidak disukai, cairan
gejala dehidrasi berikan cairan yang
disukai dalam batasan
diet

3. Pantau masukan, R/ Mencegah dehidrasi


pastikan sedikitnya
1500 mL cairan per
oral setiap 24 jam

4. Kaji pengertian
R/ Untuk menentukan
individu tentang alasan
metode pemenuhan cairan
mempertahankan
hidrasi yang adekuat
dan metode – metode
untuk mencapai tujuan
masukan cairan
DAFTAR PUSTAKA

Inayah, Iin. 2004. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pencernaan. Salemba Medika. Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta.
Santosa, Budi.2005-2006. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Prima Medika.
Jakarta
BAB 7
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS GUILLAIN BARRE SYNDROME
(GBS)

7.1 Pengertian
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu inflamasi /peradangan akut
yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Ditandai
dengan kelemahan motorik, paralisis, dan hiperflasia simetris asenden dan
progresif dengan atau tanpa disertai gejala sensorik atau otonom. GBS adalah
sindrom klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh yang disebabkan oleh
kelainan saraf tepi dan buan oleh penyakit yang sistematis (Kuman & Robin,
2011; Dewanto et al, 2009).
7.2 Etiologi
Penyebab Guillain Bare Syndrome yang merupakan penyakit autoimun
tidak diketahui. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik ; Keganasan, Systemic lupus erythematosus, Tiroiditis,
Penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal Salah satu hipotis menyatakan bahwa
infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.
Pada penyakit autoimun ini sel-sel system imun menyerang dan merusak selubung
myelin yang membungkus axon sel-sel saraf perifer dan juga axon saraf (axon
adalalah tonjolan kecil dan panjang dari sel saraf, yang berfungsi membawa sinyal
rangsangan saraf). Akibat rusaknya selubung myelin maka kecepatan transmisi
rangsangan saraf akan menurun.
7.3 Manifestasi Klinis
Gejala awal antara lain adalah : rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung

jari kaki atau tangan mati raa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku

atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bias menggenggam

erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng, dll).

Gejala-gejala awal ini bias hilang dalam tempo waktu beberapa minggu,

penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada

tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang

pada saat diperiksa.

Gejala tahap berikutnya disaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya

kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit, lemah, dan kemudian dokter

menemukan saraf reflex lengan telah hilang fungsi. Gejala klinis lainnya yaitu

antara lain sebagai berikut.

8 Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama dalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe

lower motor neurn. Pada sebagian besar kelumpuhan dimulai dari kedua

ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak

atas dan saraf cranialis kadang-kadang juga bisa keempat anggota dikenai

kemudian menyebar ke badan dan saraf cranialis.

9 Gangguan sensibilitas

Paratesia biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga

bias dikenai dengan distribusi sirkumolar. Defisit sensori obyektif biasanya

minimal. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas

fisik.
10 Saraf Kranialis

Paling sering dikenai adalah N.VI kelumpuhan otot sering dimulai pada

satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bias ditemukan berat

pada kedua sisi. Semua saraf cranial bias dikenai kecuali N.I dan N. VIII.

Diplopia bias terjadi akibat terkena N.IV, N.III. Bila N. IX dan N.X terkena akan

menyebabkan gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus yang berat

menyebabkan gangguan pernapasan karena paralisis dan laringeus.

11 Gangguan fungsi otonom

Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan

tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah

(fasial Flushing), hipertensi atau hipotensi yang fluktuatif,, hilangnya keringat

atau episodic profuse diphoresis. Retensi atau inkonteninsia urin jarang dijumpai.

Gangguan ini jarang menetap lebih dari 1 atau 2 minggu.

12 Kegagalan pernapasan

Merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak

ditangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini disebabkan paralisis pernapasan

dan kelumpuhan otot pernapasan, yang dijumpai pada 10-33% penderita.

13 Papiledema

Kadang dijumpai papiledema, penyebab belum diketahui, diduga karena

peninggian kadar protein dalam otot yang menyebabkan penyumbatan

arachcoidales sehingga absorbs cairan otak berkurang (Smeltzer, 2002).


Gejala awal sindrom ini adalah kelemahan otot dan tingling sensation

otototot kaki yang kemudian menjala ke lengan dan tubuh bagian atas. Gejala ini

dapat memburuk sehingga dalam beberapa waktu otot penderita tidak dapat

digunakan. Dalam keadaan berat, sekitar 3 minggu kemudian penderita akan

mengalami kelumpuhan total. Akibatnya dapat menggangu system pernapasan,

sehingga dibutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Pengawasan dilakukan

dengan baik untuk memantau fungsi jantung dan tekanan darah, gangguan system

pembekuan darah dan mencegah terjadinya infeksi.

7.4 Patofisiologi
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan
limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai
pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah
susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda
asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang.
Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang
kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya
untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls
sensoris dari seluruh bagian tubuh.
7.5 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar
protein ( 1 – 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh
Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.
Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang
kurang dari 10 / mm3 . pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus ataupun
bakteri Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada
pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau
bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang memanjang dan
latensi distal yang memanjang .Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2,
akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan
menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik Pemeriksaan MRI akan
memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira kira pada hari ke 13 setelah
timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang
bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS. Pemeriksaan serum
CK biasanya normal atau meningkat sedikit . Biopsi otot tidak diperlukan dan
biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya
denervation atrophy
7.6 Penatalaksanaan
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping
pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam
waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti
hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan .
Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa. Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat
obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian
steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat
memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun
mempercepat penyembuhan.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek
lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling
efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik
berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian
menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak
terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul
dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan
dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.
Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan
fleksibilitas otot setelah paralisa. Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk
mencegah terjadinya thrombosis.
7.7 Konsep Asuhan Keperawatan GBS
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus
terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan.
Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan
EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan
emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a. Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat,
pekerjaan, agama, pendidikan, dsb.
b. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan
fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otototot
pernapasan.
c. Riwayat Penyakit Saat Ini : Keluhan yang paling sering ditemukan
pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS
adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien
dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan
infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah
pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir
sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan
lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang mungkin
menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang
dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
d. Riwayat Penyakit Dahulu : Pengkajian penyakit yang pernah dialami
klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-
obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk
menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar
untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan
pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena
melemahnya fungsi otototot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi
pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran
napas.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan
darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi
transien ) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
c. B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
1). Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ).
Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian
GCS sangat penting untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk
monitoring pemberian asuhan keperawatan.
2). Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik yang pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat
kesadaran biasanya status mental klien mengalam perubahan.
3). Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralis ocular. Saraf V. Pada klien GBS didapatkan
paralis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya
tuli konduktif dan tuli persepsi. Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring,
kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan
kurang baik sehngga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral. Saraf
XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan
trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik. Saraf XII. Lidah simetris,
tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan normal.
4). System motoric
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada
klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami
kelemahan motorik secara umum sehingga menggaganggu moblitas
fisik .
5). Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
periosteum derajat reflexs dalam respons normal.
6). Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia
7). System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah.
Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba,
nyeri, dan suhu.
d. B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia
dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral kurang terpenuhi.
f. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menururnkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari klien lebh banyak dibantu orang lain.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala-gejala klinik.
a. Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal
memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan
menghitung jumlah sel normal
b. Pemeriksaan Konduksi Saraf mencatat transmisi impuls sepanjang
serabut saraf. Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk
lambatnya laju konduksi saraf. Sekitar 25% orang dengan penyakit ini
mempunyai antibody baik terhadap cytomegalovirus atau virus
EpsteinBarr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan respons imun pada
antigen saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.
c. Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga
dapat ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan
penyakit. Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan
akan ventilasi mekanik.
7.8 Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif
cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
2. Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
3. Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.
7.9 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Pola napas tidak efektif yang Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji fungsi paru, adanya R/ Menjadi parameter
berhubungan dengan keperawatan diharapkan bunyi napas tambahan, monitoring serangan gagal

kelemahan progresif cepat pola napas kembali efektif perubahan irama dan napas dan menjadi data dasar
dengan KH : kedalaman, penggunaan intervensi selanjutnya
otot-otot pernapasan dan
1. secara subjektif sesak otot bantu pernapasan
ancaman gagal pernapasan
napas (-),
2. RR 16-20x/menit. 2. Evaluasi keluhan sesak R/ Tanda dan gejala meliputi
3. Tidak menggunakan otot napas bak secara verbal adanya kesukaran bernapas
bantu pernapasan, maupun nonverbal saat bicara, pernapasan
gerakan dada normal dangkal dan
ireguler,takikardia dan
perubahan pola napas.
3. Beri ventilasi mekanik

R/ Ventilasi mekanik
digunakan jika pengkajian
sesuai kapasitas vital, klien
memperlihatkan
perkembangan kearah
kemunduran, yang
mengndikasikan kearah
4. Lakukan pemeriksaan memburuknya kekuatan otot
kapasitas vital pernapasan
pernapasan
R/ Penurunan kapasitas vital
dhubungkan dengan
kelemahan otot-otot
pernapasan saat
menelan,sehingga hal ini
menyebabkan kesukaran saat
batuk dan menelan, dan
5. Pemberian humidifikasi adanya indikasi
oksigen 3L/Menit memburuknya fungsi
pernapasan

R/Membantu pemenuhan
oksigen yang sangat
dperlukan tubuh dengan
kondisi laju metabolism
sedang meningkat
2. Resiko tinggi penurunan Setelah dilakukan tindakan 1.Auskultasi TD, R/ Hipotensi dapat terjadi
curah jantung yang keperawatan diharapkan bandingkan kedua lengan, sampai dengan disfungsi

berhubungan dengan penurunan curah jantung ukur dalam keadaan ventrikel, hipertensi juga
tidak terjadi dengan KH : berbaring, duduk, atau fenomena umum karena nyeri
perubahan frekuensi, irama,
stabilitas hemodinamik baik berdiri bila memungkinkan cemas pengeluaran
dan konduksi listrik jantung.
katekolamin.

2. Evaluasi kualitas dan R/ Penurunan curah jantung


kesamaan nadi mengakibatkan menurunnya
kekuatan nadi.

3. Catat murmur R/ Menunjukkan gangguan


aliran darah dalam jantung,
(kelainan katup, kerusakan
septum, atau fibrasi otot
papilar).

4. Pantau frekuensi jantung R/ Perubahan frekuensi dan


dan irama irama jantung menunjukkan
komplikasi disritma.
5. Berikan O2 tambahan R/ Dapat meningkatkan
sesuai indikasi saturasi oksigen dalam darah
3. Resiko gangguan nutrisi : Setelah dilakukan tindakan 1.Kaji kemampuan klien R/ Perhatian yang diberikan
kurang dari kebutuhan tubuh keperawatan diharapkan dalam pemenuhan nutrisi untuk nutrisi yang adekuat

yang berhubungan dengan pemenuhan nutrisi klien klien oral dan pencegahan kelemahan
terpenuhi dengan KH : otot karena kurang makanan
ketidakmampuan mengunyah
setelah dirawat klien tidak
dan menelan makanan.
terjadi komplikasi akibat 2.Monitor komplikasi akibat R/ Ilius paralisis dapat
penurunan asupan nutrisi paralisis akibat disebabkan oleh insufisiensi
insufisisensi aktivitas aktivitas parasimpatis. Dalam
parasimpatis kejadian ini, makanan melalui
intravena dipertimbangkan
diberikan oleh dokter dan
perawat mementau bising
usus sampai terdengar

R/ Indikasi jika klien tidak


3.Berikan nutrisi via NGT mampu menelan melalui oral

R/ Bila klien dapat menelan,


4.Berikan nutrisi via oral makanan melalui oral
bila paralis menelan diberikan perlahan-lahan dan
berkurang sangat hati-hati
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hudak & Gallo. (1996).
Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta. Jukarnain.,2011.”
Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan”.
Makassar. R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi
Revisi, EGC, Jakarta Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa
oleh Agung Waluyo dkk, EGC, Jakarta. Soedarto. 2012.Buku ajar Parasitologi
kedokteran. Jakarta: Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai