Anda di halaman 1dari 239

Sudaryatno Sudirham

Analisis
Rangkaian Listrik
Jilid 3
(Rangkaian Piranti Sistem Tenaga)

ii

Darpublic – Edisi Juni 2012


Analisis
Rangkaian Listrrik
Jilid 3
Rangkaian Piranti Sistem Tenaga
(pembebanan seimbang, non-linier, tak-seimbang)

oleh
Sudaryatno Sudirham

i
Hak cipta pada penulis.

SUDIRHAM, SUDARYATNO
Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
(Analisis Keadaan Mantap Pembebanan Seimbang,
Tak Seimbang, Non Linier)
Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.

ii
Pengantar

Buku Analisis Rangkaian Listrik Jilid-3 ini berisi analisis rangkaian


piranti-piranti dalam sistem tenaga listrik, mencakup rangkaian magnetik,
transformator, mesin sinkron, mesin asinkron, dan saluran transmisi.
Pembahasan dilakukan untuk keadaan mantap, dengan pembebanan
seimbang, pembebanan non-linier, serta pembebanan tak-seimbang.
Pembahasan akan diawali dengan analisis rangkaian magnetik yang
menjadi dasar dibangunnya mesin-mesin konversi energi elektrik.
Analisis rangkaian magnetik ini disusul dengan pengenalan pada mesin-
mesin konversi energi mencakup transformator, mesin sinkron, dan
mesin asinkron. Setelah mesin-mesin konversi, pembahasan dilanjutkan
dengan sistem banyak-fasa dengan pembebanan seimbang, disusul
dengan saluran transmisi dengan pembebanan seimbang. Masih dalam
keadaan seimbang, pembahasan berikutnya adalah mengenai pembebanan
nonlinier; pokok bahasan pembebanan nonlinier mencakup tinjauan di
kawasan waktu, tinjauan di kawasan fasor pada sistem satu fasa dan tiga
fasa, serta dampak harmonisa pada piranti. Bahasan berikutnya adalah
mengenai pembebanan tak-seimbang yang diawali dengan bahasan
tentang komponen simetris, rangkaian urutan, serta penggunaan sistem
per-unit. Bahasan terakhir adalah mengenai saluran transmisi yang
mencakup parameter saluran transmisi seperti impedansi, admitansi,
impedansi karakteristik, disusul dengan persamaan saluran transmisi,
rangkaian ekivalen dan pembebanan saluran transmisi. Pembahasan lebih
lanjut mengenai rangkaian sistem tenaga diberikan dalam buku Analisis
Sistem Tenaga.
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan
usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya, sangat
penulis harapkan.

Bandung, Juni 2012.


Wassalam,

Penulis.

iii
Darpublic
Kanayakan D-30, Bandung, 40135

iv
Daftar Isi
Pengantar iii
Daftar Isi v
Bab 1: Rangkaian Magnetik 1
Hukum-Hukum. Perhitungan Pada Rangkaian Magnetik.
Rugi-Rugi dalam Rangkaian Magnetik. Gaya Magnetik.
Induktor.
Bab 2: Transformator 25
Transformator Satu Fasa. Teori Operasi Transformator.
Diagram Fasor. Rangkaian Ekivalen. Impedansi Masukan.
Penentuan Parameter Transformator. Efisiensi dan Regulasi
Tegangan. Konstruksi Transformator. Transformator Pada
Sistem Tiga Fasa.
Bab 3: Mesin Sikron 45
Mesin Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris.
Rangkaian Ekivalen
Bab 4: Motor Asinkron 65
Konstruksi Dan Cara Kerja. Rangkaian Ekivalen.
Penentuan Parameter Rangkaian. Torka.
Bab 5: Pembebanan Seimbang – Sistem Polifasa 85
Sumber Tiga Fasa Seimbang dan Sambungan ke Beban.
Daya Pada Sistem Tiga Fasa Seimbang. Model Satu Fasa
Sistem Tiga Fasa Seimbang. Sistem Enam Fasa Seimbang.
Bab 6: Saluran Transmisi 99
Sistem Tiga Fasa Empat Kawat. Impedansi. Admitansi.
Persamaan Saluran Transmisi. Rangkaian Ekivalen π.
Bab 7: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Waktu) 111
Sinyal Nonsinus. Elemen Linier Dengan Sinyal Nonsinus.
Daya Pada Sinyal Nonsinus. Resonansi. Pembebanan
Nonlinier Dilihat Dari Sisi Beban. Pembebenan Nonlinier
Dilihat Dari Sisi Sumber. Kasus Penyearah Setengah
Gelombang. Perambatan Harmonisa. Ukuran distorsi
Harmonisa.
v
Bab 8: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Fasor) 143
Pernyataan Sinyal Sinus Dalam Fasor. Impedansi. Nilai
Efektif. Sumber Tegangan Sinus Dengan Beban Nonlinier.
Contoh-contoh Perhitrungan. Transfer Daya. Kompensasi
Daya Reaktif.
Bab 9: Pembebanan Nonlinier Sistem Tiga Fasa dan Dampak
Pada Piranti 175
Komponen Harmonisa Pada Sistem Tiga Fasa. Relasi
Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral. Hubungan Sumber
dan Beban. Sumber Bekerja Paralel. Penyaluran Energi ke
Beban. Rangkaian Ekivalen Untuk Analisis. Dampak
Harmonisa Pada Piranti.
Bab 10: Pembebanan Tak Seimbang 211
Pernyataan Komponen Simetris. Mencari Komponen
Simetris. Impedansi dan Rangkaian Urutan. Daya Pada
Sistem Tak Seimbang. Sistem Per-Unit. Sistem Tiga Fasa
Dalam Per-Unit.
Daftar Pustaka 229
Biodata Penulis 230
Indeks 231

vi
Rangkaian Magnetik

BAB 1 Rangkaian Magnetik

Rangkaian magnetik merupakan basis dari sebagian terbesar peralatan


listrik di industri maupun rumah tangga. Motor dan generator dari yang
bekemampuan kecil sampai sangat besar, berbasis pada medan magnetik
yang memungkinkan terjadinya konversi energi listrik. Di bab ini kita
akan melihat hukum-hukum dasar, perhitungan dalam rangkaian
magnetik, rugi-rugi dan gaya magnetik, induktor dan induktansi bersama.
Seperti halnya analisis rangkaian listrik yang dilandasi oleh beberapa
hukum saja, yaitu hukum Ohm dan Hukum Kirchhoff, analisis rangkaian
magnetik juga dilandasi oleh hanya beberapa hukum saja, yaitu hukum
Faraday dan hukum Ampère. Pembahasan kita akan diawali oleh kedua
hukum tersebut dan setelah itu kita akan melihat rangkaian magnetik,
yang sudah barang tentu melibatkan material magnetik. Walaupun
demikian, kita tidak akan membahas mengenai material magnetik itu
sendiri, melainkan hanya akan melihat pada hal-hal yang kita perlukan
dalam kaitannya dengan pembahasan peralatan listrik. Kita juga hanya
akan melibatkan beberapa jenis material saja yang telah sejak lama
digunakan walaupun material jenis baru telah dikembangkan.

1. 1. Hukum-Hukum
Hukum Faraday. Pada 1831 Faraday (1791-1867) menunjukkan bahwa
gejala listrik dapat dibangkitkan dari magnet. Dari kumpulan catatan
hasil percobaan yang dilakukan oleh Faraday, suatu formulasi matematis
telah diturunkan untuk menyatakan hukum Faraday, yaitu :

e=− (1.1)
dt
dengan e menunjukkan tegangan induksi [volt] pada suatu kumparan,
dan λ adalah fluksi lingkup yang dicakup oleh kumparan. Jika kumparan
mempunyai N lilitan dan setiap lilitan mencakup fluksi magnit sebesar φ
[weber], maka fluksi lingkup adalah λ = Nφ [weber-lilitan] dan (1.1)
menjadi

e = −N (1.2)
dt

1
Rangkaian Magnetik

Tanda negatif pada (1.1) diberikan oleh Emil Lenz, yang setelah
melanjutkan percobaan Faraday menunjukkan bahwa arah arus induksi
selalu sedemikian rupa sehingga terjadi perlawanan terhadap aksi yang
menimbulkannya. Reaksi demikian ini disebut hukum Lenz.

Hukum Ampère. André Marie Ampère (1775 – 1836), melakukan


percobaan yang terkenal dalam kaitan kemagnitan, yaitu mengenai
timbulnya gaya mekanis antara dua kawat paralel yang dialiri arus listrik.
Besar gaya F dinyatakan secara matematis sebagai
µl
F= I1 I 2 (1.3)
2π r
dengan I1 dan I2 adalah arus di masing-masing konduktor, l adalah
panjang konduktor, dan r menunjukkan jarak antara sumbu kedua
konduktor dan besaran µ merupakan besaran yang ditentukan oleh
medium dimana kedua kawat tersebut berada.
Arus I2 dapat dipandang sebagai pembangkit suatu besaran medan magnit
di sekeliling kawat yang dialirinya, yang besarnya adalah
µI 2
B= (1.4)
2π r
Hasil ini juga diamati oleh dua peneliti Perancis yaitu J.B. Biot dan F.
Savart. Dengan (4), maka (3) menjadi lebih sederhana yaitu
F = BlI1 (1.5)

Persamaan (1.5) ini berlaku jika kedua kawat adalah sebidang. Jika
kawat ke-dua membentuk sudut θ dengan kawat pertama maka (1.5)
menjadi
F = BlI1 sin θ (1.6)

Secara umum (1.6) dapat ditulis


F = K B B I f (θ) (1.7)
dengan f(θ) adalah suatu fungsi sudut antara medan B dan arus I , dan KB
adalah suatu konstanta untuk memperhitungkan berbagai faktor, seperti
misalnya panjang kawat. Besaran B mempunyai satuan [weber/meter2];
hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.

2 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Rangkaian Magnetik

[newton]
Menurut (1.5), satuan B adalah : [ B] =
[amp] × [meter ]

energi [ watt ].[detik ] [volt ] [amp] [detik ]


sedangkan [newton] = = =
panjang [meter ] [meter ]

[volt ] [amp] [detik ] [volt ] [detik ] [ weber ]


sehingga [ B] = = = .
2 2
[amp] [meter ] [meter ] [meter 2 ]

Jadi B menunjukkan kerapatan fluksi magnetik dengan satuan


[weber/m2] atau [tesla]. Arah B ditentukan sesuai dengan kaidah tangan
kanan yang menyatakan bahwa: jika kawat yang dialiri arus digenggam
dengan tangan kanan dengan ibujari mengarah sejajar aliran arus maka
arah B adalah sesuai dengan arah penunjukan jari-jari yang
menggenggam kawat tersebut.

Dalam persamaan (1.3), µ mewakili sifat medium tempat kedua


konduktor berada; besaran ini disebut permeabilitas. Untuk ruang
hampa, permeabilitas ini adalah

µ 0 = 4π × 10 −7 (1.8)

[henry ]
dengan satuan . Hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.
[meter ]

[newton ] [volt ] [ amp ] [detik ] [volt ] [detik ] [ henry ]


[µ 0 ] = 2
= 2
= =
[amp ] [amp ] [ meter ] [amp ] [meter ] [ meter ]

[volt ] [detik ]
karena = [henry ] yaitu satuan induktansi.
[amp]

Dalam hal mediumnya bukan vakum maka permeabilitasnya dinyatakan


sebagai
µ = µr × µ0 (1.9)

dengan µr adalah permeabilitas relatif, yang merupakan perbandingan


antara permeabilitas medium terhadap vakum.

3
Rangkaian Magnetik

Intensitas Medan Magnet. Dalam perhitungan-perhitungan rangkaian


magnetik, akan lebih mudah jika kita bekerja dengan besaran magnetik
yang tidak tergantung dari medium. Hal ini terutama kita temui pada
mesin-mesin listrik dimana fluksi magnetik menembus berbagai macam
medium. Oleh karena itu didefinisikan besaran yang disebut intensitas
medan magnetik , yaitu
B
H≡ (1.10)
µ

[newton] /[ amp] [meter ] [amp]


dengan satuan [H ] = = .
2 [meter ]
[newton] /[amp ]

Dengan pendefinisian ini, H merupakan besaran yang tidak tergantung


dari medium. Secara umum satuan H adalah [lilitan amper]/[meter] dan
bukan [amp]/[meter] agar tercakup pembangkitan medan magnit oleh
belitan yang terdiri dari banyak lilitan.

Hukum Rangkaian Magnetik Ampère . Hukum rangkaian magnetik


Ampère menyatakan bahwa integral garis tertutup dari intensitas medan
magnit sama dengan jumlah arus (ampere turns) yang
membangkitkannya. Hukum ini dapat dituliskan sebagai

∫ Hdl = Fm (1.11)

Fm dipandang sebagai besaran pembangkit medan magnit dan disebut


magnetomotive force yang disingkat mmf. Besaran ini sama dengan
jumlah ampere-turn yang dilingkupi oleh garis fluksi magnit yang
tertutup.
Dari relasi di atas, diturunkan relasi-relasi yang sangat bermanfaat untuk
perhitungan rangkaian magnetik. Jika panjang total dari garis fluksi
magnit adalah L, maka total Fm yang diperlukan untuk membangkitkan
fluksi tersebut adalah
B
Fm = H L = L (1.12)
µ
Apabila kerapatan fluksi adalah B dan fluksi menembus bidang yang
luasnya A , maka fluksi magnetnya adalah
φ = BA (1.13)
4 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Rangkaian Magnetik

dan jika (1.13) dimasukkan ke (1.12) akan diperoleh


 L 
Fm = H L = φ  (1.14)
 µA 
Apa yang berada dalam tanda kurung pada (1.14) ini sangat menarik,
karena sangat mirip dengan formula resistansi dalam rangkaian listrik.
Persamaan (1.14) ini dapat kita tuliskan
 µA  Fm
φ=  Fm = (1.15)
 L  ℜ
Pada (1.15) ini, Fm merupakan besaran yang menyebabkan timbulnya
fluksi magnit φ. Besar fluksi ini dibatasi oleh suatu besaran ℜ yang kita
sebut reluktansi dari rangkaian magnetik, dengan hubungan
L
ℜ= (1.16)
µA
Persamaan (1.15) sering disebut sebagai hukum Ohm untuk rangkaian
magnetik. Namun kita tetap harus ingat bahwa penurunan relasi ini
dilakukan dengan pembatasan bahwa B adalah kostan dan A tertentu.
Satuan dari reluktansi tidak diberi nama khusus.

1.2. Perhitungan Pada Rangkaian Magnetik


Perhitungan-perhitungan pada rangkaian magnetik pada umumnya
melibatkan material ferromagnetik. Perhitungan ditujukan pada dua
kelompok permasalahan, yaitu mencari mmf jika fluksi ditentukan
(permasalahan ini kita jumpai pada perancangan) mencari fluksi φ
apabila geometri dari rangkaian magnetik serta mmf diketahui
(permasalahan ini kita jumpai dalam analisis, misalnya jika kita harus
mengetahui fluksi gabungan dari suatu rangkaian magnetik yang
dikendalikan oleh lebih dari satu belitan). Berikut ini kita akan melihat
perhitungan-perhitungan rangkaian magnetik melalui beberapa contoh.

5
Rangkaian Magnetik

CONTOH-1.1 : Suatu toroid terdiri dari dua macam material


ferromagnetik dengan belitan pembangkit medan magnet yang
terdiri dari 100 lilitan, seperti terlihat pada gambar di samping ini.
Material a adalah besi nikel
(nickel iron) dengan panjang
rata-rata La = 0.4 m. Material b
+ R
E adalah baja silikon (medium
− La Lb silicon sheet steel) dengan
panjang rata-rata Lb = 0.2 m.
Kedua bagian itu mempunyai
luas penampang sama, yaitu 0.001 m2. a). Tentukan Fm yang
diperlukan untuk membangkitkan fluksi φ= 6×10−4 weber. b).
Hitung arus yang harus mengalir pada belitan agar nilai fluksi
tersebut tercapai.
Penyelesaian :
Untuk memperoleh Fm total yang diperlukan kita aplikasikan hukum
rangkaian Ampère pada rangkaian magnetik ini.
Fm total = Fm a + Fm b = H a L a + H b Lb

Fluksi yang diinginkan di kedua bagian toroid adalah 6×10−4 weber,


sedangkan kedua bagian itu mempunyai luas penampang sama. Jadi
kerapatan fluksi di kedua bagian itu juga sama yaitu
φ 0.0006
Ba = Bb = = = 0.6 tesla
A 0.001

Untuk mencapai kerapatan fluksi tersebut, masing-masing material


memerlukan intensitas medan yang berbeda. Besarnya intensitas
medan yang diperlukan dapat dicari melalui kurva B-H dari masing-
masing material, yang dapat dilihat di buku acuan. Salah satu kurva
B-H yang dapat kita peroleh adalah seperti dikutip pada Gb.1.1 di
halaman berikut.
Dengan menggunakan kurva B-H ini, kita peroleh
Material a : untuk Ba = 0.6 tesla diperlukan H a = 10 AT/m
Material b : untuk Bb = 0.6 tesla diperlukan H b = 65 AT/m

Dengan demikian Fm total yang diperlukan adalah


Fm total = H a L a + H b Lb = 10 × 0.4 + 65 × 0.2 = 17 AT

6 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Rangkaian Magnetik

b). Karena jumlah lilitan adalah 100, maka besar arus yang harus
mengalir di belitan untuk memperoleh Fm total sebesar 17 AT adalah
17
I= = 0.17 A
100
1.75

1.5

Nickel-iron alloy , 47%


1.25
B [tesla]

1
Medium silicon sheet
0.75 steel

Soft steel casting


0.5

0.25
Cast iron
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
H [ampre-turn / meter]
Gb.1.1. Kurva B − H beberapa material magnetik.
Pemahaman :
Dalam pemecahan persoalan di atas, karakteristik medium tidak
dinyatakan oleh permeabilitas medium, melainkan oleh karak-
teristik B-H dari masing-masing material. Kita lihat dari kutipan
kurva B-H Gb.1.1, bahwa hubungan antara B dan H adalah tidak
linier. Apabila kita menginginkan gambaran mengenai besarnya
permeabilitas masing-masing material, kita dapat menghitungnya
sebagai berikut.
Permeabilitas dari material a dan b masing-masing pada titik
operasi ini adalah
Ba 0.6 µ 0.06
µa = = = 0.06 henry/meter → µ r a = a = = 47740
Ha 10 µ 0 4π × 10−7
B 0.6 µ 0.0092
µb = b = = 0.0092 henry/meter → µ r b = b = = 7340
Hb 65 µ0 4π × 10−7

7
Rangkaian Magnetik

Reluktansi rangkaian magnetik pada bagian toroid dengan material a


dan b masing-masing dapat juga kita hitung, yaitu

Fm a 4 Fm b 13
ℜa = = ≈ 6670 ; ℜb = = ≈ 21670
φ 0.6 × 0.001 φ 0.6 × 0.001

Jadi walaupun bagian b dari toroid lebih pendek dari bagian a,


reluktansinya jauh lebih besar. Kedua bagian rangkaian magnetik
yang terhubung seri ini mempunyai reluktansi total sebesar
ℜtot = ℜ a + ℜb ≈ 6670 + 21670 = 28340 .
Untuk meyakinkan, kita hitung balik besarnya fluksi magnet
Fm total 17
φ= = = 6 × 10− 4 weber
ℜtot 28340

dan ternyata hasilnya sesuai dengan apa yang diminta dalam


persoalan ini. Hasil ini menunjukkan bahwa reluktansi magnet yang
dihubungkan seri berperilaku seperti resistansi yang terhubung seri
pada rangkaian listrik; reluktansi total sama dengan jumlah
reluktansi yang diserikan.

CONTOH-1.2 : Pada rangkaian magnetik dalam contoh-1.1. di atas,


berapakah fluksi magnet yang akan dibangkitkan bila arus pada
belitan dinaikkan menjadi 0.35 A ?
Penyelesaian :
Dengan arus 0.35 A, Fm total menjadi Fm total = 100 × 0.35 = 35 AT
Untuk menghitung besarnya fluksi yang terbangkit, kita perlu
mengetahui reluktansi total. Untuk itu perlu dihitung reluktansi dari
masing-masing bagian toroid. Hal ini tidak dapat dilakukan karena
untuk menghitung reluktansi tiap bagian perlu diketahui Fm dan B
untuk masing-masing bagian sedangkan untuk menghitungnya perlu
diketahui besarnya fluksi φ yang justru ditanyakan.
Dari apa yang diketahui, yaitu Fm total dan ukuran toroid, kita
dapatkan hubungan
35 − 0.2 H b
Fm total = H a L a + H b Lb = 0.4 H a + 0.2 H b = 35 ⇒ Ha =
0.4
Karena luas penampang di kedua bagian toroid sama, yaitu 0.001
m2, maka kerapatan fluksi B juga sama. Dengan batasan ini, kita
mencoba menyelesaikan persoalan dengan cara mengamati kurva B-
8 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Rangkaian Magnetik

H. Kita perkirakan suatu nilai Hb dan menghitung Ha, kemudian kita


mengamati lagi kurva B-H apakah untuk nilai Ha dan Hb ini terdapat
Ba = Bb . Jika tidak, kita koreksi nilai Hb dan dihitung lagi Ha dan
dilihat lagi apakah Ba = Bb. Jika tidak dilakukan koreksi lagi, dan
seterusnya sampai akhirnya diperoleh Ba ≈ Bb.
Kita mulai dengan Hb = 100 AT yang memberikan Ha = 37.5. Kedua
nilai ini terkait dengan Bb = 0.75 dan Ba = 0.9 tesla. Ternyata Ba ≠
Bb. Kita perbesar Hb agar Ha mengecil dan akan menyebabkan Bb
bertambah dan Ba berkurang. Pada nilai Hb = 110 AT, maka Ha =
32.5; dan terdapat Bb = 0.8 dan Ba = 0.85 tesla. Kita lakukan koreksi
lagi dan akan kita dapatkan Ba ≈ Bb ≈ 0.825 pada nilai Hb = 125 dan
Ha = 25 AT. Dengan nilai ini maka besar fluksi adalah
φ = B × A = 0.825 × 0.001 = 8.25 × 10−4 weber.
Perhitungan secara grafis ini tentu mengandung ketidak-telitian. Jika
kesalahan yang terjadi adalah ± 5%, maka hasil perhitungan ini
dapat dianggap memadai.
Pemahaman :
Jika kita bandingkan hasil pada contoh-1.1. dan 1.2. maka akan
terlihat hal berikut.
Contoh-1.1 :

I = 0.17 A → B = 0.6 tesla → φ = 6 × 10−4 weber

Contoh-1.2 :

I = 0.35 A → B = 0.825 tesla → φ = 8.25 × 10−4 weber


Menaikkan arus belitan menjadi dua kali lipat tidak menghasilkan
fluksi dua kali. Hal ini disebabkan oleh karakteristik magnetisasi
material yang tidak linier.

CONTOH-1.3 : Pada rangkaian magnetik di bawah ini, tentukanlah mmf


yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar 0.0014 weber
di “kaki” sebelah kanan. Rangkaian magnetik ini mempunyai luas
penampang sama yaitu 0.002 m2, kecuali “kaki” tengah yang
luasnya 0.0008 m2. Material yang digunakan adalah medium silicon
steel.

9
Rangkaian Magnetik

a b c

0.15 m
d
f e
0.15 m 0.15 m
Penyelesaian :
Rangkaian magnetik ini mempunyai tiga cabang, yaitu
efab dengan reluktansi ℜ1;
be dengan reluktansi ℜ2 dan
bcde dengan reluktansi ℜ3.
Rangkaian ekivalen dari rangkaian magnetik ini dapat digambarkan
seperti di bawah ini.

ℜ1
Fm ℜ2 ℜ3

Fluksi yang diminta di kaki kanan adalah φ3 = 0.0014 weber. Karena


dimensi kaki ini diketahui maka kerapatan fluksi dapat dihitung,
yaitu
0.0014
B3 = = 0.7 tesla .
0.002

Berdasarkan kurva B-H dari material yang dipakai, kerapatan fluksi


ini memerlukan H3 sebesar 80 AT/m. Jadi mmf yang diperlukan
adalah
Fm3 = H 3 × Lbcde = 80 × (3 × 0.15) = 36 AT

Rangkaian ekivalen memperlihatkan bahwa ℜ2 terhubung paralel


dengan ℜ3. Hal ini berarti bahwa Fm3 juga harus muncul pada ℜ2,
yaitu reluktansi kaki tengah, dengan kata lain Fm2 = Fm3. Dengan
demikian kita dapat menghitung H2.

10 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Rangkaian Magnetik

Fm 2 Fm3 36
H2 = = = = 240 AT/m
Lbe L be 0.15

Melihat lagi kurva B-H, kita dapatkan untuk H2 ini


B2 = 1.125 tesla .

Luas penampang kaki tengah adalah 0.0008 m2. Maka


φ2 = B2 × 0.0008 = 1.125 × 0.0008 = 0.0009 weber

Fluksi total yang harus dibangkitkan di kaki kiri adalah


φ1 = φ2 + φ3 = 0.0014 + 0.0009 = 0.0023 weber

Luas penampang kaki kiri adalah 0.002 m2, sama dengan kaki
kanan. Kerapatan fluksinya adalah
φ1 0.0023
B1 = = = 1.15 tesla
0.002 0.002

Dari kurva B-H, untuk B1 ini diperlukan H1 = 240 AT/m , sehingga

Fm1 = H1 × Lefab = 240 × (3 × 0.15) = 108 AT

Jadi total mmf yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar


0.0014 weber di kaki kanan adalah
Fmtot = Fm1 + Fm 2 + Fm3 = 108 + 36 + 36 = 180 AT

CONTOH-1.4 : Berapakah mmf yang diperlukan pada Contoh-1.3. jika


kaki tengah ditiadakan?
Penyelesaian :
Dengan meniadakan kaki tengah maka fluksi di seluruh rangkaian
magnetik sama dengan fluksi di kaki kanan, yaitu φ=φ3=0.0014
weber. Kerapatan fluksi di seluruh rangkaian magnetik juga sama
karena luas penampangnya sama, yaitu
0.0014
B = B3 = = 0.7 tesla
0.002

Dari kurva B-H diperoleh H = 80 AT/m, sehingga mmf yang


diperlukan adalah

11
Rangkaian Magnetik

Fm = H × Labcdefa = 80 × (6 × 0.15) = 72 AT

Pemahaman :
Dengan menghilangkan kaki tengah, mmf yang diperlukan menjadi
lebih kecil. Bagaimanakah jika kaki tengah diperbesar luas
penampangnya ?
Memperbesar penampang kaki tengah tidak mempengaruhi
kerapatan fluksi di kaki ini sebab Fm3 tetap harus muncul di kaki
tengah. H2 tak berubah, yaitu H2 = Fm3/Lbe = 240 AT/m dan B2 juga
tetap 1.125 tesla. Jika penampang kaki tengah diperbesar, φ2 akan
bertambah sehingga φ1 juga bertambah. Hal ini menyebabkan naik-
nya B1 yang berarti naiknya H1 sehingga Fm1 akan bertambah pula.
Dengan demikian Fm total akan lebih besar. Penjelasan ini
menunjukkan seolah-olah kaki tengah berlaku sebagai “pembocor”
fluksi. Makin besar kebocoran, makin besar mmf yang diperlukan.

1.3. Rugi-Rugi Dalam Rangkaian Magnetik


Rugi Histerisis. Dalam rekayasa, material ferromagnetik sering dibebani
dengan medan magnit yang berubah secara periodik dengan batas positif
dan negatif yang sama. Pada pembebanan seperti ini terdapat
kecenderungan bahwa kerapatan fluksi, B, ketinggalan dari medan
magnetnya, H. Kecenderungan ini kita sebut histerisis dan kurva B-H
membentuk loop tertutup seperti terlihat pada Gb.1.2. dan kita sebut loop
histerisis. Hal ini telah kita pelajari dalam fisika. Di sini kita akan
membahas akibat dari karakteristik material seperti ini dalam rekayasa.

B [tesla]
d b
c

H [AT/m]
0

a
e

Gb.1.2. Loop histerisis.

12 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Rangkaian Magnetik

Loop histerisis ini menunjukkan bahwa untuk satu nilai H tertentu


terdapat dua kemungkinan nilai B. Dalam memecahkan persoalan
rangkaian magnetik pada contoh-contoh di sub-bab 1.2. kita
menggunakan kurva B-H yang kita sebut kurva B-H normal atau kurva
magnetisasi normal, dimana satu nilai H terkait dengan hanya satu nilai
B, yaitu kurva B-H pada Gb.1.1. Itulah sebabnya kesalahan perhitungan
sebesar ± 5 % masih dapat kita terima jika kita menggunakan kurva B-H
normal karena sesungguhnya B tidak mempunyai nilai tunggal,
melainkan tergantung dari riwayat magnetisasi material.
Perhatikan integrasi :
Bb Bc
∫Ba
HdB = luas bidang abda ; ∫Bb
HdB = luas bidang bdcb

dan satuan dari HB :


ampere newton newton newto ⋅ meter joule
[ HB] = × = = =
meter ampre.meter meter 2 meter 3
meter 3
Jelaslah bahwa HB mempunyai satuan kerapatan energi. Jadi luas bidang
abda pada Gb.1.2. menyatakan kerapatan energi, yaitu energi magnetik.
Karena luas abda diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu H dan B
naik, atau dengan kata lain medan magnetik bertambah, maka ia
menggambarkan kerapatan energi yang disimpan ke material. Luas
bidang bdcb yang diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu medan
magnit berkurang, menggambarkan kerapatan energi yang dilepaskan.
Dari gambar loop histerisis jelas terlihat bahwa luas bdcb < luas abda.
Ini berarti bahwa kerapatan energi yang dilepaskan lebih kecil dari
kerapatan energi yang disimpan. Sisa energi yang tidak dapat dilepaskan
digambarkan oleh luas bidang abca, dan ini merupakan energi yang
diserap oleh material dan tidak keluar lagi (tidak termanfaatkan)
sehingga disebut rugi energi histerisis.
Analisis di atas hanya memperhatikan setengah siklus saja. Untuk satu
siklus penuh, kerapatan rugi energi histerisis adalah luas bidang dari
loop histerisis. Jika kerapatan rugi energi histerisis per siklus (= luas
loop histerisis) kita sebut wh , dan jumlah siklus per detik (frekuensi)
adalah f , maka untuk material dengan volume v m3 besar rugi energi
histerisis per detik atau rugi daya histerisis adalah

13
Rangkaian Magnetik

 joule 
Ph = wh f v   = wh f v [watt] (1.17)
 det ik 
Untuk menghindari perhitungan luas loop histerisis, Steinmetz
memberikan formula empiris untuk rugi daya histerisis sebagai

Ph = v f ( K h Bmn ) (1.18)

dengan Bm adalah nilai maksimum kerapatan fluksi, n mempunyai nilai


antara 1,5 sampai 2,5 tergantung dari jenis material. Kh adalah konstanta
yang juga tergantung dari jenis material; untuk cast steel 0,025; silicon
sheet steel 0,001; permalloy 0,0001.
Rugi Arus Pusar. Jika medan magnetik berubah terhadap waktu, selain
rugi daya histerisis terdapat pula rugi daya yang disebut rugi arus pusar.
Arus pusar timbul sebagai reaksi terhadap perubahan medan magnet.
Jika material berbentuk balok pejal, resistansi material menjadi kecil dan
rugi arus pusar menjadi besar. Untuk memperbesar resistansi agar arus
pusar kecil, rangkaian magnetik disusun dari lembar-lembar material
magnetik yang tipis (antara 0,3 ÷ 0,6 mm). Formula empiris untuk rugi
arus pusar adalah

Pe = K e f 2
Bm2 τ 2 v watt (1.19)

dengan Ke = konstanta yang tergantung dari jenis material; f = frekuensi


(Hz); Bm = kerapatan fluksi maksimum; τ = tebal laminasi; v = volume
material.
Perhatikan bahwa rugi arus pusar sebanding dengan pangkat dua dari
frekuensi, sedangkan rugi histerisis sebanding dengan pangkat satu
frekuensi. Rugi histerisis dan rugi arus pusar secara bersama-sama
disebut rugi-rugi inti. Rugi-rugi inti akan menaikkan temperatur
rangkaian magnetik dan akan menurunkan efisiensi peralatan.

14 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Rangkaian Magnetik

1.4. Gaya Magnetik


Energi yang tersimpan dalam medan magnetik dapat digunakan untuk
melakukan kerja mekanik (misalnya menarik tuas rele). Untuk
mempelajari bagaimana gaya ini dapat timbul, kurva B-H normal yang
tidak linier seperti terlihat pada Gb.1.3.a, kita dekati dengan suatu kurva
linier seperti pada Gb.1.3.b.

B B
B1 b a

H 0 H1 H

a) b)
Gb.1.3. Linierisasi Kurva B-H.

Jika kita menaikkan H dari 0 ke H1, maka B naik dari 0 ke B1. Luas
bidang 0ab0 menyatakan kerapatan energi yang tersimpan dalam
material, dan besarnya adalah
1
w f = B1 H 1 joule/m 3
2
Secara umum, dengan medan magnetik sebesar H dalam suatu material
akan terdapat kerapatan simpanan energi sebesar
1
wf = BH joule/m 3 (1.20)
2
Perhatikan bahwa (1.20) kita peroleh setelah kita melakukan linierisasi
kurva B-H.
Karena (1.20) menunjukkan kerapatan energi, maka jika kita kalikan
dengan volume dari rangkaian magnetik kita akan mendapatkan energi
total yang tersimpan dalam rangkaian tersebut. Misalkan luas penampang
rangkaian A dan panjangnya L, maka energi total menjadi
1 1 1
W= BHAL = ( BA)( HL) = φFm joule (1.21)
2 2 2
Antara fluksi φ dan Fm terdapat hubungan φ = Fm / ℜ , sehingga (1.21)
dapat juga dituliskan

15
Rangkaian Magnetik

2
1 1 Fm 1 2
W= φFm = = φ ℜ joule (1.22)
2 2 ℜ 2
Untuk memahami timbulnya gaya magnetik, kita lakukan percobaan
dengan suatu rangkaian magnetik yang terdiri dari tiga bagian yaitu
gandar, celah udara, dan jangkar, seperti terlihat pada Gb.1.4.

R
+
Vs −

gandar
Lg

Lj x
jangkar
Gb.1.4. Rangkaian
magnetik dengan jangkar

Rangkaian ini dicatu oleh sumber tegangan Vs yang diserikan dengan


resistor variabel R. Luas penampang gandar sama dengan luas
penampang jangkar. Untuk suatu kedudukan jangkar tertentu, dengan Vs
dan R tertentu, terjadi eksitasi sebesar Fm yang akan membuat simpanan
energi dalam rangkaian magnetik ini sebesar

W=
1 2
2
(
φ g ℜ g + φ u2 ℜ u + φ 2j ℜ j ) (1.23)

Indeks g, u, dan j berturut-turut menunjukkan gandar, udara dan


jangkar. Karena ketiga bagian rangkaian terhubung seri maka jika
penyebaran fluksi di bagian pinggir di celah udara diabaikan fluksi di
ketiga bagian tersebut akan sama. Kerapatan fluksi juga akan sama di
ketiga bagian tersebut. Dengan demikian maka persamaan (1.23) dapat
kita tulis

W=
1 2
2
( 1
)
φ ℜ g + ℜ u + ℜ j = φ 2 ℜ total
2
(1.24)

Besar reluktansi total adalah

16 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Rangkaian Magnetik

Lg Lj Lu
ℜ total = + + (1.25)
µg A µ jA µ0 A

Karena kita melakukan linierisasi kurva B-H, maka permeabilitas


material menjadi konstan.
Hal ini ditunjukkan oleh kemiringan kurva B-H. Jadi µg dan µj dianggap
konstan sedangkan permeabilitas udara dapat dianggap sama dengan µ0 .

Percobaan pertama adalah memegang jangkar tetap pada tempatnya dan


menambah eksitasi dengan menurunkan nilai resistor R sehingga arus
catu naik. Eksitasi akan naik menjadi (Fm+∆Fm) dan simpanan energi
pada seluruh rangkaian magnetik akan naik pula. Artinya tambahan
energi sebesar ∆W yang disebabkan oleh tambahan eksitasi sebesar ∆Fm
tersimpan sebagai tambahan energi di semua bagian rangkaian yaitu
gandar, jangkar dan celah udara.
Untuk percobaan kedua, kita kembalikan dulu eksitasi pada keadaan
semula dengan mengembalikan R pada nilai semula sehingga eksitasi
kembali menjadi Fm dan kita jaga konstan. Jangkar kita lepaskan
sehingga celah udara menjadi (x−∆x). Berkurangnya celah udara ini akan
menyebabkan reluktansi ℜu menurun sehingga secara keseluruhan ℜtot
juga menurun. Menurunnya ℜtot akan memperbesar fluksi karena eksitasi
Fm dipertahankan tetap. Ini berarti bahwa simpanan energi dalam
rangkaian magnetik bertambah.
Pertambahan simpanan energi yang terjadi pada percobaan ke-dua ini
berbeda dengan pertambahan energi pada percobaan pertama. Pada
percobaan pertama pertambahan energi berasal dari pertambahan
masukan, yaitu ∆Fm . Pada percobaan ke-dua, Fm dipertahankan tetap.
Oleh karena itu satu-satunya kemungkinan pertambahan energi adalah
dari gerakan jangkar. Jadi perubahan posisi jangkar memberikan
tambahan simpanan energi dalam rangkaian magnetik. Penafsiran kita
dalam peristiwa ini adalah bahwa perubahan posisi jangkar telah
menurunkan energi potensial jangkar. Penurunan energi potensial
jangkar itu diimbangi oleh naiknya simpanan energi pada rangkaian
magnetik sesuai dengan prinsip konservasi energi.
Jika dx adalah perubahan posisi jangkar (∆x→0), Fx adalah gaya mekanik
pada jangkar pada posisi x, maka perubahan energi potensial jangkar
adalah

17
Rangkaian Magnetik

dW j = Fx dx (1.26)

Perubahan energi tersimpan dalam rangkaian magnetik adalah dW.


Karena tidak ada masukan energi dari luar (sumber listrik) maka
dW j + dW = Fx dx + dW = 0 → Fx dx = −dW (1.27)
Karena Fm kita jaga konstan, kita dapat memasukkan persamaan (1.22)
bentuk yang ke-dua ke (1.27) sehingga kita peroleh
1 −1
Fx dx = −dW = − d ( Fm2 ℜ tot )
2

( )
(1.28)
1 Fm dℜ tot 1 2 dℜ tot
2
1 d 2 −1
→ Fx = − Fm ℜ tot = − =− φ
2 dx 2 ℜ tot
2 dx 2 dx

Dengan persamaan (1.28) ini kita dapat menghitung gaya mekanik pada
jangkar rele elektromekanik, plunger, dan lain-lain peralatan listrik yang
memanfaatkan gaya magnetik.

1.5. Induktor
Perhatikan rangkaian induktor (Gb.1.5).

if

+ +
v1 ≈ e1 N1 φ
− −

Gb.1.5. Rangkaian induktor.

Apabila resistansi belitan dapat diabaikan, maka menurut hukum


Kirchhoff

di f
− v1 + e1 = 0 → v1 = e1 = L (1.29)
dt
Persamaan (1.29) adalah persamaan rangkaian listrik yang terdiri dari
sumber v1 dan beban induktor L. Tegangan e1 adalah tegangan jatuh

18 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Rangkaian Magnetik

pada induktor, sesuai dengan konvensi pasif pada dalam analisis


rangkaian listrik.
Sekarang kita lihat rangkaian magnetiknya dengan menganggap inti
induktor ideal (luas kurva histerisis material inti sama dengan nol).
Dalam rangkaian magnetik terdapat fluksi magnetik φ yang ditimbulkan
oleh arus if. Perubahan fluksi φ akan membangkitkan tegangan induksi
pada belitan sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.

et = − N 1 (1.30)
dt
Tanda “−” pada (1.30) mempunyai arti bahwa tegangan induksi et harus
mempunyai polaritas yang akan dapat memberikan arus pada rangkaian
tertutup sedemikian rupa sehingga arus tersebut akan memberikan fluksi
lawan terhadap fluksi pembangkitnya, yaitu φ. Menurut kaidah tangan
kanan, polaritas tersebut adalah seperti polaritas e1 pada Gb.1.5. Jadi
tanda “−” pada (1.30) terpakai untuk menetapkan polaritas et sedangkan
nilai et tentulah sama dengan tegangan jatuh e1. Jadi

dφ di f
et = N 1 = e1 = L (1.31)
dt dt
Persamaan (1.31) menunjukkan bahwa φ dan if berubah secara
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus
if yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.
Arus if sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk
sinus. Jadi dalam sistem ini baik tegangan, arus maupun fluksi
mempunyai frekuensi sama dan dengan demikian konsep fasor dapat kita
gunakan untuk melakukan analisis pada sistem ini, yang merupakan
gabungan dari rangkaian listrik dan rangkaian magnetik. Jika resistansi
belitan diabaikan, persamaan (1.29) dan (1.31) dapat kita tulis dalam
bentuk fasor sebagai
E1 = jωLI f ; E t = jωN1Φ = E1 = jωL I f (1.32)
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor.
Dengan memperhatikan (1.32), diagram fasor tegangan , arus, dan fluksi
dari induktor tanpa memperhitungkan rugi-rugi inti dan resistansi belitan
adalah seperti pada Gb.1.6.a. dimana arus yang membangkitkan fluksi
yaitu Iφ sama dengan If.

19
Rangkaian Magnetik

E1 = E t Ic E1 = E t Ic E1 = E t
I f R1
I f = Iφ Iφ γ Iφ θ
If V1
If
Φ Φ Φ
a). ideal b). ada rugi-rugi inti c). ada resistansi belitan
Gb.1.6. Diagram fasor induktor
Dalam praktek, inti induktor tidaklah bebas dari rugi-rugi. Pada
pembebanan siklis (dalam hal ini secara sinus) rugi-rugi inti
menyebabkan fluksi yang dibangkitkan oleh if ketinggalan dari if sebesar
γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.1.6.b.
dimana arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Melihat kenyataan
ini, I f dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ yang
diperlukan untuk membangkitkan φ, dan I c yang diperlukan untuk
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I c + I φ .
Komponen Ic merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan E1 akan
memberikan rugi-rugi inti
Pc = I c E1 = E1 I f cos(90 o − γ ) watt (1.33)
Apabila resistansi belitan tidak dapat diabaikan, maka V1 ≠ E1 . Misalkan
resistansi belitan adalah R1 , maka
V1 = E1 + I f R1 (1.34)
Diagram fasor dari keadaan terakhir ini diperlihatkan oleh Gb.1.6.c.
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, Pcu.
Jadi Pin = Pc + Pcu = Pc + I 2f R1 = V1 I f cos θ (1.35)
dengan V1 dan If adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.

CONTOH-1.5: Sebuah reaktor dengan inti besi mempunyai 400 lilitan.


Reaktor ini dihubungkan pada jaringan bertegangan 115 volt, 60 Hz.
Dengan mengabaikan resistansi belitan, hitung nilai maksimum
fluksi magnetnya. Jika fluksi maknit dibatasi tidak boleh lebih dari
1,2 tesla, berapakah luas penampang intinya?
20 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Rangkaian Magnetik

Penyelesaian: Dengan mengabaikan resistansi belitan maka


N1ωΦ maks
E1 = V1 → = 115
2
115 2
⇒ Φ maks = = 0,00108 weber
400 × 2π × 60
Agar kerapatan fluksi tidak lebih dari 1,2 tesla maka
Φ maks Φ 0,00108 2
≤ 12 ⇒ A ≥ maks = m = 9 cm 2 .
A 1,2 1,2

Induktansi. Menurut (1.15) besarnya fluksi magnetik adalah


 µA  F
φ=  Fm = m .
 L  ℜ

Dengan mengabaikan fluksi bocor, Fm = N i dan jika φ ini


dimasukkan ke (1.31) akan diperoleh

dφ d  N1i f  N12 di f di f
N1 = N1  =
 ℜ dt = L dt
dt dt  ℜ 

N12  µA 
sehingga L= = N12   (1.36)
ℜ  L 
Induktansi Bersama. Jika pada induktor Gb.1.5. kita tambahkan belitan
kedua, maka pada belitan kedua ini akan diimbaskan tegangan oleh φ
seperti halnya pada belitan pertama. Besar tegangan imbas ini adalah

dφ d  N1i f  N 2 N1 di f
e2 = N 2 = N 2  = (1.37)
dt dt  ℜ  ℜ dt

Jika belitan kedua ini tidak dialiri arus (dalam keadaan terbuka), kita
tahu dari pembahasan di bab terdahulu mengenai induktansi bersama
bahwa

di2 di f di f
e 2 = L2 +M =M
dt dt dt

21
Rangkaian Magnetik

sehingga kita peroleh induktansi bersama


N 2 N1  µA 
M= = N 2 N1   (1.38)
ℜ  L 
Pembahasan di atas memperlihatkan bahwa rangkaian induktor dapat
kita analisis dari sudut pandang rangkaian listrik dengan
mengaplikasikan hukum Kirchhoff yang kemudian menghasilkan
persamaan (1.29). Kita dapat pula memandangnya sebagai rangkaian
magnetik dan mengaplikasikan hukum Faraday dimana fluksi magnetik
yang berubah terhadap waktu (dibangkitkan oleh arus magnetisasi if)
menimbulkan tegangan induksi pada belitan.

CONTOH-1.6: Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti


udara) dengan diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 1 m dan
dengan 1000 lilitan kawat tembaga berdiameter 0,5 mm.
Penyelesaian :
Induktansi:
 −7 −4 
N12  µA  6 (4π × 10 ) × ( π10 / 4) 
L= = N12   = 10  = 98,6 × 10−6 H
ℜ  L   1 
 
Resistansi :

l 1000 × π × 10 −2
R=ρ = 0,0173 × 10 −6 [Ω.m] = 2,77 Ω
A π × (0,5 × 10 −3 ) 2 / 4

CONTOH-1.6: Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan


140 lilitan, digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai
reluktansi 160000. Hitung induktansi bersama, dengan mengabaikan
fluksi bocor.
Penyelesaian : Induktansi bersama :
N 2 N 1 1250 × 140
M = = = 1,094 ≈ 1,1 H
ℜ 160000

CONTOH-1.7: Dua kumparan (inti udara) masing-masing mempunyai


1000 lilitan diletakkan paralel sejajar sedemikian rupa sehingga 60%
fluksi yang dibangkitkan oleh salah satu kumparan melingkupi

22 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Rangkaian Magnetik

kumparan yang lain. Arus sebesar 5 A di salah satu kumparan


membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Hitunglah induktansi masing-
masing kumparan dan induktansi bersama.
Penyelesaian :
Arus 5 A membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Dengan jumlah lilitan
1000 maka reluktansi dapat dihitung
1000 × 5
ℜ= = 10 8
−3
0,05 × 10
Induktansi masing-masing

N 2 1000 2
L= = = 10 −2 H = 10 mH.
ℜ 10 8

Fluksi yang melingkupi kumparan yang lain 60% dari fluksi yang
dibangkitkan di salah satu kumparan. Reluktansi bersama adalah

ℜ 10 8
ℜM = = = 1,667 × 10 8
0.6 0,6
Induktansi bersama
N1 N 2 1000 × 1000
M = = = 0,6 × 10 −2 H = 6 mH
ℜM 1,667 × 10 8

Catatan Tentang Diagram Fasor. Dalam menurunkan fasor tegangan


induksi Et , kita berangkat dari persamaan (1.30) dengan mengambil
tanda “−” sebagai penentu polaritas. Hasilnya adalah Et merupakan
tegangan jatuh pada belitan, sama dengan E1 , dan hal ini
ditunjukkan oleh persamaan (1.32). Kita dapat pula memandang
tegangan terbangkit Et sebagai tegangan naik Et = − E1 , dengan
mengikut sertakan tanda “−” pada (1.30) dalam perhitungan dan
bukan menggunakannya untuk menentukan polaritas. Jika ini kita
lakukan maka
E t = − jωN1Φ = − E1 = − jωLI f (1.39)

23
Rangkaian Magnetik

Dengan memperhatikan (1.39), diagram fasor tegangan, arus, dan fluksi


untuk induktor ideal adalah seperti pada Gb.1.7.a. Di sini fasor tegangan
terbangkit Et berada 90o dibelakang fluksi pembangkitnya yaitu Φ.
Fasor Φ sefasa dengan Iφ = If dan tertinggal 90o dari E1.
Gb.1.7.b. dan Gb.1.7.c. adalah diagram fasor induktor dengan
memperhitungkan rugi-rugi inti dan tembaga.

Et E1
I f = Iφ
a). Induktor ideal. Φ

Ic
Et VL
γ
Iφ If
b). ada rugi-rugi inti Φ

Ic VL
Et
θ I f R1
Iφ Vs
If
c). ada resistansi belitan Φ

Gb.1.7. Diagram fasor induktor riil.

24 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Transformator

BAB 2 Transformator
2.1. Transformator Satu Fasa
Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem
komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio
sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita
mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output
transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga
dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi
agar tercapai transfer daya maksimum.
Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator
berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator
tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak
jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi
listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan
menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan
kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada
umumnya merupakan transformator tiga fasa. Dalam pembahasan ini kita
akan melihat transformator satu fasa lebih dulu.
Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas
rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal
sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas
hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari
secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesin-mesin listrik.

Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal untuk


mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun konversi energi
elektromekanik membahas konversi energi antara sistem mekanik dan
sistem listrik, sedangkan transformator merupakan piranti konversi
energi listrik ke listrik, akan tetapi kopling antar sistem dalam kedua hal
tersebut pada dasarnya sama yaitu kopling magnetik

25
Transformator

2.2. Teori Operasi Transformator


Transformator Dua Belitan Tak Berbeban. Jika pada induktor Gb.2.5.
kita tambahkan belitan ke-dua, kita akan memperoleh transformator dua
belitan seperti terlihat pada Gb.2.1. Belitan pertama kita sebut belitan
primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.
If φ

+ +
Vs ≈ E1 N1 N2 E2

Gb.2.1. Transformator dua belitan.


Jika fluksi di rangkaian magnetiknya adalah φ = Φ maks sin ωt , maka
fluksi ini akan menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar

e1 = N1 = N1Φ maks ω cos ωt (2.1)
dt
atau dalam bentuk fasor
N1ωΦ maks
E1 = E1∠0 o = ∠0 o ; E1 = nilai efektif (2.2)
2
Karena ω = 2π f maka
2π f N 1
E1 = Φ maks = 4.44 f N1Φ maks (2.3)
2
Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan sebesar
E 2 = 4.44 f N 2 Φ maks (2.4)

Dari (2.3) dan (2.4) kita peroleh


E1 N1
= ≡ a = rasio transformasi (2.5)
E2 N 2

Perhatikan bahwa E1 sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan oleh fluksi


yang sama. Karena E1 mendahului φ dengan sudut 90o maka E 2 juga
mendahului φ dengan sudut 90o. Jika rasio transformasi a = 1, dan
26 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Transformator

resistansi belitan primer adalah R1 , diagram fasor tegangan dan arus


adalah seperti ditunjukkan oleh Gb.2.2.a. Arus I f adalah arus
magnetisasi, yang dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen
yaitu I φ (90o dibelakang E1 ) yang menimbulkan φ dan I c (sefasa
dengan E1 ) guna mengatasi rugi inti. Resistansi belitan R1 dalam
diagram fasor ini muncul sebagai tegangan jatuh I f R1 .

V1
Ic E1 = E 2 Ic
jI f X l
I f R1 φl E1 = E 2
Iφ V1 Iφ I f R1
If If
φ φ

a). tak ada fluksi bocor b). ada fluksi bocor


Gb.2.2. Diagram fasor transformator tak berbeban

Fluksi Bocor. Fluksi di belitan primer transformator dibangkitkan oleh


arus yang mengalir di
belitan primer. Dalam
kenyataan, tidak semua If φ
fluksi magnit yang
dibangkitkan tersebut akan
melingkupi baik belitan V s ≈ φl1 E2

primer maupun sekunder.


Selisih antara fluksi yang
dibangkitkan oleh belitan
primer dengan fluksi Gb.2.3. Transformator tak berbeban.
bersama (yaitu fluksi yang Fluksi bocor belitan primer.
melingkupi kedua belitan) disebut fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya
melingkupi belitan primer saja dan tidak seluruhnya berada dalam inti
transformator tetapi juga melalui udara. (Lihat Gb.2.3). Oleh karena itu
reluktansi yang dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi
udara. Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis
sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini ditunjukkan
dalam diagram fasor Gb.2.2.b.
Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan induksi di
belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E1 ). Tegangan induksi

27
Transformator

ini 90o mendahului φl1 (seperti halnya E1 90o mendahului φ) dan dapat
dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, E l1 , di rangkaian
primer dan dinyatakan sebagai
E l1 = jI f X 1 (2.6)

dengan X1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan tegangan


dan arus di rangkaian primer menjadi
V1 = E1 + I1 R1 + El1 = E1 + I1 R1 + j I1 X 1 (2.7)

Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini adalah


Gb.2.2.b.
Transformator Berbeban. Rangkaian transformator berbeban resistif,
RB, diperlihatkan oleh Gb.2.4. Tegangan induksi E 2 (yang telah timbul
dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di
rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini
membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi bersama φ
dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor sekunder).
I1 φ I 2

Vs ≈ φl1 φl2 V 2 RB

Gb.2.4. Transformator berbeban.


Fluksi bocor ini, φl2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan tegangan
E l 2 di belitan sekunder yang 90o mendahului φl2. Seperti halnya untuk
belitan primer, tegangan E l 2 ini diganti dengan suatu besaran ekivalen
yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor sekunder X2 di
rangkaian sekunder. Jika resistansi belitan sekunder adalah R2 , maka
untuk rangkaian sekunder kita peroleh hubungan
E 2 = V2 + I 2 R 2 + El 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2 (2.8)

dengan V2 adalah tegangan pada beban RB.

28 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Transformator

Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi yang


melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan cenderung
mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer
juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung
ke sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik.
Jadi arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban
hanyalah arus magnetisasi I f , bertambah menjadi I1 setelah
transformator berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa
sehingga fluksi bersama φ dipertahankan dan E1 juga tetap seperti
semula. Dengan demikian maka persamaan rangkaian primer (2.7) tetap
terpenuhi.
Pertambahan arus primer dari If menjadi I1 adalah untuk
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 sehingga φ
dipertahankan. Jadi haruslah
( ) ( )
N 1 I1 − I f − N 2 I 2 = 0 (2.9)

Pertambahan arus primer ( I1 − I f ) disebut arus penyeimbang yang akan


mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari
(2.9) kita peroleh arus magnetisasi

I f = I1 −
N2
N1
( ) I
I 2 = I1 − 2
a
(2.10)

2.3. Diagram Fasor Transformator


Dengan persamaan (2.7) dan (2.8) kita dapat menggambarkan secara
lengkap diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita
mulai dari belitan sekunder dengan langkah-langkah:
Gambarkan V2 dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan V2 .
Selain itu kita dapat gambarkan I 2′ = I 2 / a yaitu besarnya arus
sekunder jika dilihat dari sisi primer.
Dari V2 dan I 2 kita dapat menggambarkan E 2 sesuai dengan
persamaan (2.8) yaitu

29
Transformator

E 2 = V2 + I 2 R 2 + E l 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2

Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian


sekunder.
Untuk rangkaian primer, karena E1 sefasa dengan E 2 maka E1
dapat kita gambarkan yang besarnya E1 = a E 2 .
Untuk menggambarkan arus magnetisasi I f kita gambarkan lebih
dulu φ yang tertinggal 90o dari E1 . Kemudian kita gambarkan I f
yang mendahului φ dengan sudut histerisis γ. Selanjutnya arus
belitan primer adalah I 1 = I f + I 2' .
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai
dengan persamaan (2.7), yaitu
V1 = E1 + I1 R1 + El1 = E1 + I1 R1 + j I1 X

Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban.


Gb.2.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan
mengambil rasio transformasi N1/N2 = a > 1

V1
jI1 X 1
E1
E 2 jI 2 X 2 I1 R1
I 2' I 2 V2 I 2 R 2
If
γ I1
φ Gb.2.5. Diagram fasor lengkap,
transformator berbeban resistif . a > 1

CONTOH-2.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat untuk


tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan ini
dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah
besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita
terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms)? b). Berapa
persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55 V
(rms) pada setengah belitan primer? c). Berapa persenkah
pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)
pada setengah belitan primer? d). Jika jumlah lilitan di belitan

30 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Transformator

sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasus-


kasus tersebut di atas?
Penyelesaian :
a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φm
adalah
E1 2 V1 2 220 2
Φm = = =
N 1ω N 1ω 160ω
Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka
V1′ 2 110 2
Φ′m = =
N 1ω 160ω
Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′m = Φm / 2.
b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,
V1′′ 2 55 2 110 2
Φ ′m
′ = = =
(1 / 2) N 1ω 80ω 160ω
Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″m = Φm / 2.
c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka
V1′′′ 2 110 2 220 2
Φ ′m
′′ = = =
(1 / 2) N 1ω 80ω 160ω
Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″m =Φm.
d). Dengan N1/N2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,
tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,
tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan
pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.
Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,
tegangan sekunder adalah 55 V.

CONTOH-2.2 : Sebuah transformator satu fasa mempunyai belitan


primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas
penampang inti efektif adalah 60 cm2. Jika belitan primer
dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,
tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di
belitan sekunder.
Penyelesaian :
31
Transformator

Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka

N1ωΦ m 500 2
V1 = = 500 → Φ m = = 0.00563 weber
2 400 × 2π × 50
0.00563
→ Kerapatan fluksi maksimum : Bm = = 0.94 weber/m 2
0.006
1000
Tegangan belitan sekunder adalah V2 = × 500 = 1250 V
400

CONTOH-2.3 : Dari sebuah transformator satu fasa diinginkan suatu


perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak
berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi
dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan
jumlah lilitan primer dan sekunder.
Penyelesaian :
Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan
mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,
N1ωΦ m 6000 2
V1 = = 6000 → N1 = = 450
2 2π × 50 × 0.06
250
⇒ N2 = × 450 = 18.75
6000
Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan
pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φm tidak akan
terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan
6000
⇒ N 2 = 20 lilitan ⇒ N1 = × 20 = 480 lilitan
250
2.4. Rangkaian Ekivalen Transformator
Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik
biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang
sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara
rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan
perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang
menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (2.7), (2.8), dan (2.10),
yang kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (2.11).

32 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Transformator

V1 = E1 + I1R1 + jI1 X1 ; E2 = V2 + I 2 R2 + jI 2 X 2 ;
I1 = I f + I 2' (2.11)
N2 I
dengan I 2' = I2 = 2
N1 a

Dengan hubungan E1 = aE2 dan I′2 = I2/a maka persamaan ke-dua dari
(2.11) dapat ditulis sebagai

E1
= V2 + a I2′ R 2 + ja I2′ X 2
a
⇒ E1 = aV2 + I2′ (a 2 R 2 ) + j I2′ (a 2 X 2 ) = V2′ + I 2′ R 2′ + j I2′ X 2′ (2.12)
denganV 2′ = aV 2 ; R 2′ = a 2 R 2 ; X 2′ = a 2 X 2
Dengan (2.12) maka (2.11) menjadi

V1 = E1 + I1 R1 + jI1 X 1 ;
E1 = aV2 + I2′ R 2′ + j I2′ X 2′ ; (2.13)
I1 = I f + I2′

I 2' , R′2 , dan X′2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder yang
dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (2.13) dibangunlah rangkaian
ekivalen transformator seperti Gb.2.6. di bawah ini.
I1 I 2'

R1 jX1 R′2 jX′2


∼ E1 Z
If B V 2' = a V2
V1

Gb.2.6. Rangkaian ekivalen diturunkan dari persamaan (2.13).


Pada diagram fasor Gb.2.5. kita lihat bahwa arus magnetisasi dapat
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu Ic dan Iφ . Ic sefasa
dengan E1 sedangkan Iφ 90o dibelakang E1. Dengan demikian maka
impedansi Z pada rangkaian ekivalen Gb.2.6. dapat dinyatakan sebagai
hubungan paralel antara suatu resistansi Rc dan impedansi induktif jXφ
sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil menjadi
seperti Gb.2.7.

33
Transformator

I1 I 2'

R1 jX1 If R′2 jX′2


∼ V1 E1 Ic Iφ B V 2′ = a V2
Rc jXc

Gb.2.7. Rangkaian ekivalen transformator lebih detil.

Rangkaian Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator yang


digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan frekuensi
yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada sistem tenaga
listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari
arus beban penuh transformator. Keadaan ini bisa dicapai karena inti
transformator dibangun dari material dengan permeabilitas magnetik
yang tinggi. Oleh karena itu, jika If diabaikan terhadap I1 kesalahan yang
terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat
rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.2.8.
I1 = I 2'

Re = R1+R′2 jXe =j(X1+ X′2)


∼ V1 B V 2′

V1

j I 2' X e
V 2′
I 2'
Gb.2.8. Rangkaian ekivalen transformator
disederhanakan dan diagram fasornya.
2.5. Impedansi Masukan Transformator
Resistansi beban B adalah RB = V2/I2. Dilihat dari sisi primer resistansi
tersebut menjadi
V 2′ aV 2 V
R B′ = = = a 2 2 = a 2 RB (2.14)
I 2′ I2 / a I2
34 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Transformator

Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.2.10,


impedansi masukan adalah
V1
Z in = = Re + a 2 R B + jX e (2.15)
I1
2.6. Penentuan Parameter Transformator
Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.2.7. terlihat ada enam parameter
transformator yang harus ditentukan, R1 , X1 , R′2 , X′2 , Rc , dan Xφ .
Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur langsung
menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan empat parameter
yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti diuraikan berikut ini.
Uji Tak Berbeban ( Uji Beban Nol ). Uji beban nol ini biasanya
dilakukan pada sisi tegangan rendah karena catu tegangan rendah
maupun alat-alat ukur tegangan rendah lebih mudah diperoleh. Sisi
tegangan rendah menjadi sisi masukan yang dihubungkan ke sumber
tegangan sedangkan sisi tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan
rendah dilakukan pengukuran tegangan masukan Vr, arus masukan Ir, dan
daya (aktif) masukan Pr. Karena sisi primer terbuka, Ir adalah arus
magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan tegangan
jatuh di reaktansi bocor sehingga Vr sama dengan tegangan induksi Er.
Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan kehilangan daya di
resistansi belitan sehingga Pr menunjukkan kehilangan daya pada Rcr (Rc
dilihat dari sisi tegangan rendah) saja.
Pr P
Daya kompleks masukan : S r = Vr I r ; cos θ = = r
S r Vr I r
2
Sr − Pr 2
→ sin θ = (2.16)
Sr
⇒ I cr = I r cos θ ; I φr = I r sin θ
V Vr V Vr
⇒ Rcr = r = ; X φr = r =
I cr I r cos θ I φr I r sin θ

Uji Hubung Singkat. Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan


tinggi dengan si`si tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan
tinggi menjadi sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.
Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan rendah

35
Transformator

masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan tegangan tinggi


dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu tegangan masukan Vt,
arus masukan It, dan daya (aktif) masukan Pt. Tegangan masukan yang
dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi inti menjadi kecil sehingga kita
dapat membuat pendekatan dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan
demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang
disederhanakan Gb.2.9. Daya Pt dapat dianggap sebagai daya untuk
mengatasi rugi-rugi tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen
yang dilihat dari sisi tegangan tinggi Ret.
Pt
Pt = I t2 Ret → Ret = ;
I t2
(2.17)
V
Vt = I t Z et → Z et = t → X e = Z et2 − Ret2
It

Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai Ret = R1 + R′2 . Nilai


resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan pengukuran
terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.
Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai Xet = X1 + X′2 . Kita tidak dapat
memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masing-masing
belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing belitan diperlukan
kita dapat mengambil asumsi bahwa X1 = X′2 . Kondisi ini sesungguhnya
benar adanya jika transformator dirancang dengan baik.

CONTOH-2.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt, 50


Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.
Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil
Vr = 240 volt, Ir = 1.6 amper, Pr = 114 watt
Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat
belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi
tegangan tinggi
Vt = 55 volt, It = 10.4 amper, Pt = 360 watt
a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan
tinggi. b). Berapakah rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada
beban penuh ?
Penyelesaian :

36 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Transformator

a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai Rc dan
Xφ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan
rendah, kita sebut Rcr dan Xφr.

P 114 (240 × 1.6) 2 − 114 2


cos θ = = = 0.3 ; sin θ = = 0.95
VI 240 × 1.6 240 × 1.6
V 240 240 V 240
Rcr = = = = 500 Ω ; X φr = = = 158 Ω
I c I cos θ 1.6 × 0.3 I φ 1.6 × 0.95

Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :


2
 2400 
Rct = a 2 Rcr =   × 500 = 50 kΩ
 240 
X φt = a 2 X φr = 15.8 kΩ

Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji


hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi tegangan
tinggi ini memberikan
Pt 360
Ret = = = 3.33 Ω ;
2
It (10.4) 2
Vt 55
Z et = = = 5.29 Ω → X et = 5.29 2 = 3.33 2 = 4.1 Ω
I t 10.4

b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti transformator


hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban nol. Jadi rugi-rugi
inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt. Rugi-rugi tembaga
tergantung dari besarnya arus. Besarnya arus primer pada beban
penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi pada percobaan
hubung singkat, yaitu
S 25000
I1 = = = 10.4 A → Pcu = I 1 2 Ret = (10.4) 2 × 3.33 = 360 W
V1 2400

Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.

37
Transformator

2.7. Efisiensi dan Regulasi Tegangan


Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai
daya keluaran [watt]
η= (2.18)
daya masukan [watt]

Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugi-rugi


daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai
rugi - rugi daya [watt]
η =1− (2.19)
daya masukan [watt]

Formulasi (2.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator rugi-


rugi daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji hubung
singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.
Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan
besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke beban
nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi
V2 beban nol − V2 beban penuh
Regulasi Tegangan =
V2 beban penuh
(2.25)
V1 / a − V2 V1 − aV2 V − V2′
= = = 1
V2 aV2 V2′

Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.2.9. maka (2.25) menjadi


V2′ + I ′2 ( Re + jX e ) − V2′
Regulasi Tegangan = (2.26)
V2′

CONTOH-2.6 : Transformator pada Contoh-5. mencatu beban 25 KVA


pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b). Hitunglah
regulasi tegangannya.
Penyelesaian :
Total rugi daya : Pc + cu = 114 + 360 = 474 W = 0.474 KW
a). Daya keluaran : Po = 25000 × 0.8 = 20 KW
0.474
Efisiensi : η = 1 − = 0.976 atau 97.6 %
20
b). Mengambil V2 sebagai referensi : V′2 = 10×240 = 2400∠0o V.

38 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Transformator

I ′2 = I 2 / a = (25000 / 240) / 10∠ − cos −1 0.8 = 10.4∠ − 36.8 o


2400∠0 o + 10.4∠ − 36.8 o (3.33 + j 4.1) − 2400
Reg. Tegangan =
2400
0.022 atau 2.2 %

2.8. Konstruksi Transformator


Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan
satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti
dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan
tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan
sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di
setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris
dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini
fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi
bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk
lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih
tinggi.
NR / 2 NR / 2
NT / NT /
2 2 NR / 4
NT / 2
NR / 2
NT / 2
NR / 4
a). tipe inti. a). tipe sel.

Gb.2.9. Dua tipe konstruksi transformator.


NT : jumlah lilitan tegangan tinggi
NR : jumlah lilitan tegangan rendah.
Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satu fasa
adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.2.9.a.
memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder
yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti
yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini
sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah
ditangani. Gb.2.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini
sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi
ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.
39
Transformator

2.9. Transformator Pada Sistem Tiga Fasa


Pada sistem tiga fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu :
(a) menggunakan tiga unit transformator satu fasa,
(b) menggunakan satu unit transformator tiga fasa.
Transformator tiga fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap kaki
mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran daya yang
sama, penggunaan satu unit transformator tiga fasa akan lebih ringan,
lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga unit
transformator satu fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit transformator
satu fasa juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan satu
unit transformator tiga fasa. Misalnya beaya awal yang lebih rendah, jika
untuk sementara beban dapat dilayani dengan dua unit saja dan unit
ketiga ditambahkan jika penambahan beban telah terjadi. Terjadinya
kerusakan pada salah satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh
penyaluran daya. Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari
berbagai pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah
sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder
transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga fasa melalui tiga
unit transformator satu fasa.
Hubungan ∆−∆. Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu
fasa untuk melayani sistem tiga fasa, hubungan sekunder harus
diperhatikan agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini
diperlihatkan pada Gb.2.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W
sedangkan fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer
kita sebut VUO , VVO , VWO dengan nilai VFP , dan tegangan fasa sekunder
kita sebut VXO , VYO , VZO dengan nilai VFS. Nilai tegangan saluran
(tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita sebut VLP dan VLS . Nilai
arus saluran primer dan sekunder masing-masing kita sebut ILP dan ILS
sedang nilai arus fasanya IFP dan IFS . Rasio tegangan fasa primer
terhadap sekunder VFP / VFS = a . Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk
hubungan ∆-∆ kita peroleh :

V LP V FP I I 3 1
= = a ; LP = FP = (2.27)
V LS V FP I LS I FS 3 a

40 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Transformator

U X
VUO VXO
V Y VUV = VUO
VXY = VXO
VVO VYO

VWO VZO

Gb.2.10. Hubungan ∆-∆.

Hubungan ∆-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.11.


Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan
tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder
dengan perbedaan sudut fasa 30o. Dengan mengabaikan rugi-rugi kita
peroleh
V LP V a I I 3 3
= FP = ; LP = FP = (2.28)
V LS V FS 3 3 I LS I FS a
Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30o.
U X
VUO VXO VXY
VUV = VUO VZO
V
Y
VVO VYO
VXO

VWO VZO
VYO
Gb.2.11. Hubungan ∆-Y

Hubungan Y-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.12.


Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer
dengan perbedaan sudut fasa 30o, tegangan fasa-fasa sekunder sama
dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30o.
Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder adalah

41
Transformator

V LP V FP 3 I I 1
= = a ; LP = FP = (2.29)
V LS V FS 3 I LS I FS a

Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat


perbedaan sudut fasa.

U X
VUO VXO

V Y
VVO VYO

VWO VZO

VWO
VUV VZO VXY

VUO VXO

VVO VYO

Gb.2.12. Hubungan Y-Y

42 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Transformator

Hubungan Y-∆ ∆. Hubungan ini terlihat pada Gb.2.13.


Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer
dengan perbedaan sudut fasa 30o, sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder
sama dengan tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi
diperoleh
V LP V FP 3 I LP I 1
= =a 3 ; = FP = (2.30)
V LS V FS I LS I FS 3 a 3

Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30o.

U X
VUO VXO

V Y
VVO VYO

VWO VZO

VWO
VUV
VXY = VXO
VZO
VUO
VYO
VVO

Gb.2.13. Hubungan Y-∆

CONTOH-2.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,


tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan
mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah
tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran
untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;
(d) Y-∆ .

43
Transformator

Penyelesaian :
a). Untuk hubungan ∆-∆ :
V V 6600
V LS = V FS = FP = LP = = 550 V ;
a a 12
I
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a LP 3 = 12 × 10 = 120 A.
3
b). Untuk hubungan Y-Y :
V V 3 6600
V LS = V FS 3 = FP 3 = LP = = 550 V ;
a 3 a 12
I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 × 10 = 120 A.

c). Untuk hubungan ∆-Y :


V V 6600
V LS = V FS 3 = FP 3 = LP 3 = 3 = 953 V ;
a a 12
I 10
I LS = I FS = aI FP = a LP = 12 = 69,3 A.
3 3
d) Untuk hubungan Y-∆ :
V 1 V LP 1 6600
V LS = V FS = FP = = = 318 V ;
a a 3 12 3
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = aI LP 3 = 12 × 10 × 3 = 208 A .
Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan daya
masukan.

S keluaran = S masukan = V LP I LP 3 = 6,6 × 10 3 = 114,3 kVA.

Tentang transformator tiga belitan dibahas dalam buku Analisis


Sistem Tenaga.

44 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

BAB 3 Mesin Sinkron

Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari
sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator
tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka
mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda
besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti
konversi energi dari energi elektrik ke energi listrik.
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder
transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan
fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi
primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu
dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis;
cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari
energi mekanis ke energi elektrik atau disebut konversi energi
elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari
mekanis ke elektrik tetapi juga dari elektrik ke mekanis, dan
dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum
Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini
dinyatakan dalam dua persamaan berikut
dλ dφ
e=− = −N dan F = K B B i f (θ)
dt dt
Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan
dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis
ditimbulkan.
Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat
luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut
generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat
yaitu konstruksi kutub tonjol dan konstruksi rotor silindris.

45
Mesin Sinkron

3.1. Mesin Kutub Menonjol


Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.1.a.
Mesin ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan
a1a11 sampai c2c22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar
yang mendukung kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat
kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor
yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut
belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu
siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut
sudut magnetis atau sudut listrik) 360o. Kisar sudut 360o ini
melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120o
antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a1a11 dan belitan b1b11
berbeda posisi 120o, belitan b1b11 dan c1c11 berbeda posisi 120o, dan
mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan
yang lain, yaitu a2a22, b2b22, dan c2c22 berada dibawah satu kisaran
kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120o.
a11 180o mekanis = 360o
b1 c1
c11 S b11 φ
a1 U U a2

b22 S c22
c2 b2 a1 a11 φ φ
a22

a) b) c)
konstruksi kutub tonjol belitan fluksi magnetik
Gb.3.1. Mesin sinkron kutub tonjol
Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub
(dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran
rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan
antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah
θ magnetik [derajat ] = 2 × θ mekanik [derajat ]

atau secara umum

46 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

p
θ magnetik [derajat ] = × θ mekanik [derajat ] (3.1)
2
dengan p adalah jumlah kutub.
Kecepatan sudut mekanik adalah
dθ mekanik
ω mekanik = = 2π f mekanik (3.2)
dt
Frekuensi mekanik fmekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik
yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik.
Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah
rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n
n n
rpm, maka jumlah siklus per detik adalah atau f mekanis =
60 60
siklus per detik.
Kecepatan sudut magnetik adalah
dθ magnetik
ω magnetik = = 2π f magnetik (3.3)
dt
Dengan hubungan (3.1) maka (3.3) menjadi
p p p n pn
ω magnetik = ω mekanik = 2π f mekanik = 2π = 2π
2 2 2 60 120
pn
yang berarti f magnetik = siklus per detik (3.4)
120
Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi
di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi
pn
f magnetik = Hz maka tegangan pada belitanpun akan
120
mempunyai frekuensi
pn
f tegangan = Hz (3.5)
120

47
Mesin Sinkron

Dengan (3.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi


tertentu, kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah
kutub. Jika diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n =
3000 rpm; jika p = 4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000
rpm, dan seterusnya. Konstruksi mesin dengan kutub menonjol
seperti pada Gb.1. sesuai untuk mesin putaran rendah tetapi tidak
sesuai untuk mesin putaran tinggi karena kendala-kendala mekanis.
Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi
silindris.

180o mekanis = 360o magnetik


a11

φs
a1 θ

Gb.3.2. Perhitungan fluksi.

Dengan pergeseran posisi belitan 120o magnetik untuk setiap pasang


kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga fasa untuk
setiap pasang kutub, yaitu ea1 pada belitan a1a11 , eb1 pada b1b11 , dan
ec1 pada c1c11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan ea2 , eb2
dan ec2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi
setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga fasa
pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan
yang sefasa, misalnya ea1 dan ea2 , dapat dijumlahkan untuk
memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk
memperoleh arus yang lebih besar.
Tegangan yang terbangkit di belitan pada umumnya diinginkan
berbentuk gelombang sinus v = A cos ωt , dengan pergeseran 120o
untuk belitan fasa-fasa yang lain. Tegangan sebagai fungsi waktu

48 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

ini pada transformator dapat langsung diperoleh di belitan sekunder


karena fluksinya merupakan fungsi waktu. Pada mesin sinkron,
fluksi dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor yang dialiri arus
searah sehingga fluksi tidak merupakan fungsi waktu. Akan tetapi
fluksi yang ditangkap oleh belitan stator harus merupakan fungsi
waktu agar persamaan (3.1) dapat diterapkan untuk memperoleh
tegangan. Fluksi sebagai fungsi waktu diperoleh melalui putaran
rotor. Jika φ adalah fluksi yang dibangkitkan di rotor dan memasuki
celah udara antara rotor dan stator dengan nilai konstan maka,
dengan mengabaikan efek pinggir, laju pertambahan fluksi yang
ditangkap oleh belitan stator adalah
dφ s d θ magnetik
=φ = φ ω magnetik (3.6)
dt dt
pn
Karena ω magnetik = 2π f magnetik = 2π , maka
120
dφ s pn
=φπ (3.7)
dt 60
Dari (3.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu
dφ s pn
v = −N = −N φ π (3.8)
dt 60
Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (3.8) memberikan suatu
tegangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah
perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda
berikutnya. Maka (3.8) memberikan tegangan bolak-balik yang
tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus
berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi
sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu
terhadap θmaknetik . Jadi jika
φ = φ m cos θ maknetik (3.9)

maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah

49
Mesin Sinkron

dθmagnetik
dφs dφ d
dt
= =
dt dt
( )
φm cos θmagnetik = −φm sin θmagnetik
dt (3.10)
 p n 
= −φmωmagnetik sin θmmagnetik = −φm  2π  sin θmagnetik
 120 

sehingga tegangan belitan


dφ s pn
e = −N = Nπ φ m sin θ magnetik
dt 60 (3.11)
= 2π f N φ m sin θ magnetik = ω N φ m sin ωt

Persamaan (3.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang


dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini
adalah
E m = ωN φ m Volt (3.12)

dan nilai efektifnya adalah


Em ωN φ m 2π f
E rms = = = N φm
2 2 2 (3.13)
= 4,44 f N φ m Volt
Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan
perhitungan fluksi seperti diperlihatkan pada Gb.2. yang merupakan
penyederhanaan dari konstruksi mesin seperti diperlihatkan pada
Gb.1.a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan
a1a11, yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun
gulungan itu terdiri dari N lilitan. Belitan semacam ini kita
sebut belitan terpusat.
2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a1 dan a11
adalah 180o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut
kisar penuh.
Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan,
melainkan terdistribusi di beberapa belitan yang menempati
beberapa pasang alur stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan
terdistribusi, yang dapat menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh

50 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

(60o magnetik). Selain dari pada itu, gulungan yang menempati


sepasang alur secara sengaja dibuat tidak mempunyi lebar satu
kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180o akan tetapi hanya 80%
sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan terdistribusi
dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk
menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan
fluksi. Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi
komponen fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan
suatu faktor Kw yang kita sebut faktor belitan. Biasanya Kw
mempunyai nilai antara 0,85 sampai 0,95. Dengan adanya faktor
belitan ini formulasi tegangan (3.13) menjadi
E rms = 4,44 f N K w φ m Volt (3.14)

Pada pengenalan ini kita hanya melihat mesin sinkron kutub tonjol
dalam keadaan tak berbeban; analisis dalam keadaan berbeban akan
kita pelajari lebih lanjut pada pelajaran khusus mengenai mesin-
mesin listrik. Selanjutnya kita akan melihat mesin sinkron rotor
silindris.

CONTOH-3.1: Sebuah generator sinkron tiga fasa, 4 kutub, belitan


jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan
setiap alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara
sinus dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan
perputaran rotor 1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar
dan nilai rms tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.
Penyelesaian :
Frekuensi tegangan jangkar adalah
p n 4 ×1500
f = = = 50 Hz
120 120
12
Jumlah alur per kutub adalah = 3 yang berarti setiap pasang
4
kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tiga
fasa. Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.
Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah
E ak = 4,44 f N φ m = 4,44 × 50 × 10 × 0,03 = 66,6 V

51
Mesin Sinkron

Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2
× 66,6 = 133 V.
Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.

CONTOH-3.2: Soal seperti pada Contoh-3.1. tetapi jumlah alur


pada stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain
tetap.
Penyelesaian :
Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh
karena itu frekuensi tetap 50 Hz.
24
Jumlah alur per kutub adalah = 6 yang berarti setiap
4
pasang kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem
tegangan tiga fasa. Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub
terdiri dari 2 belitan yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai
rms tegangan jangkar untuk setiap belitan adalah
E a1 = 4,44 f N φ m V = 4,44 × 50 ×10 × 0,03 = 66,6 V .

Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda,


maka terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya.
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah
360 o
= 15 o mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau
24
2 pasang kutub, maka 1o mekanik setara dengan 2o listrik. Jadi
selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30o
elektrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub
adalah jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa
30o tersebut.

E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 o + j sin 30 o ) = 124,8 + j 33,3

Karena ada 2 pasang kutub maka

E a = 2 × (124,8) 2 + (33,3) 2 = 258 V

Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V

52 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

CONTOH-3.3: Soal seperti pada Contoh-3.1. tetapi jumlah alur


pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat
16 (8 pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375
rpm. Ketentuan yang lain tetap.
Penyelesaian :
16 × 375
Frekuensi tegangan jangkar : f = = 50 Hz
120
144
Jumlah alur per kutub = 9 yang berarti terdapat 9 belitan
16
per pasang kutub yang membangun sistem tiga fasa. Jadi tiap
fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah
E a1 = 4,44 × 50 × 10 × 0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per
belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan
dan fluksi maksimum tidak berubah.
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan
360 o
adalah = 2,5 o mekanik. Karena mesin mengandung 16
144
kutub (8 pasang) maka 1o mekanik ekivalen dengan 8o listrik,
sehingga beda fasa tegangan pada belitan-belitan adalah
2,5 × 8 = 20 o listrik. Tegangan per fasa per pasang kutub adalah
jumlah fasor dari tegangan belitan yang masing-masing
berselisih fasa 20o.

E ak = 66,6 + 66,6∠20 o + 66,6∠40 o


(
= 66,6 1 + cos 20 o + cos 40 o + j (sin 20 o + sin 40 o ) )
= 180,2 + j 65,6
Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah

E a = 8 × (180,2) 2 + (65,6) 2 = 8 × 191,8 = 1534 V

Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V

53
Mesin Sinkron

3.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris


Sebagaimana telah disinggung di atas, mesin kutub tonjol sesuai
untuk perputaran rendah. Untuk perputaran tinggi digunakan mesin
rotor silindris yang skemanya diperlihatkan ada Gb.3.3.

b1 U c1

c S b

a1

Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris.


Rotor mesin ini berbentuk silinder dengan alur-alur untuk
menempatkan belitan eksitasi. Dengan konstruksi ini, reluktansi
magnetik jauh lebih merata dibandingkan dengan mesin kutub
tonjol. Di samping itu kendala mekanis untuk perputaran tinggi
lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin kutub tonjol. Belitan
eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah sehingga rotor
membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti terlihat pada
gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat aa1 , bb1 dan
cc1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar tidak terlalu
rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya dijumpai belitan-
belitan terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari kisaran penuh.
Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi
rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi
mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada
transformator kita mempunyai fluksi mantap, sedangkan pada mesin
sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva
magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol.
Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000
rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran
pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus

54 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran


sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.3.4 disebut
karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada
kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan
ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis
mesin sinkron.
Karakterik lain yang penting adalah karakteritik hubung singkat
yang dapat kita peroleh dari uji hubung singkat. Dalam uji hubung
singkat ini mesin diputar pada kecepatan perputaran sinkron dan
terminal belitan jangkar dihubung singkat (belitan jangkar
terhubung Y). Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus
eksitasi. Kurva yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada
Gb.3.4. Kurva ini berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan
arus beban penuh pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan
tidak besar sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan
jenuh. Fluksi magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang
diperlukan untuk membangkitkan tegangan untuk mengatasi
tegangan jatuh di impedansi belitan jangkar.

12000

11000 beban-nol
celah V=V(If )|I =0
10000 udara
9000 V=kI
Tegangan Fasa-Netral [V]

8000
Arus fasa [A]

7000

6000
hubung singkat
5000
I = I (If ) |V=0
4000

3000

2000
1000

00
0 50 100 150Arus
200 medan
250 300 350 400 450 500
[A]
Gb.3.4. Karakteristik beban-nol dan hubung
singkat.

55
Mesin Sinkron

Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat


memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus
medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf
(lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang
mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan
karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak
dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal
inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor
yang akan kita pelajari beikut ini.

Diagram Fasor. Reaktansi Sinkron. Kita ingat bahwa pada


transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya
merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap
waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan
menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan
dan arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor,
walaupun ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu
tetapi terhadap posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya.
Menurut konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke
dalam fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan
berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang
dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini
mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai
dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar.
Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia
dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar
melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru
karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai
dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi tegangan
imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi yang dilihat
oleh belitan jangkar.
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga
arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.

56 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

a θ a

U
U

sumbu sumbu
emaks imaks
S S

a1 (a) (b) a1
sumbu
sumbu magnet
magnet
Gb.3.5. Posisi rotor pada saat emaks dan imaks.
Gb.3.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa1
maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu
kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a1 adalah
maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang
dilingkupi oleh belitan aa1 adalah minimum. Sementara itu arus di
belitan aa1 belum maksimum karena beban induktif. Pada saat arus
mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat
pada Gb.3.5.b.
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut
magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama
dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan
mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang
akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini
maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan
keluaran mesin dipertahankan.

Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami


reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor.
Hal ini berbeda dengan mesin kutub tonjol yang akan membuat
analisis mesin kutub tonjol memerlukan cara khusus sehingga kita
tidak melakukannya dalam bab pengenalan ini.
Diagram fasor (Gb.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.

57
Mesin Sinkron

2. Tegangan terminal Va dan arus jangkar I a adalah


nominal.
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi
tegangan imbas tertinggal 90o dari fluksi yang
membangkitkannya.
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor Xl dan resistansi
Ra.
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.
Dengan mengambil tegangan terminal jangkar Va sebagai referensi,
arus jangkar Ia tertinggal dengan sudut θ dari Va (beban induktif).
Tegangan imbas pada jangkar adalah
E a = Va + I a (R a + jX l ) (3.15)

Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara


Φa yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa mendahului E a 90o.
Arus jangkar I a memberikan fluksi jangkar Φa yang dinyatakan
dengan arus ekivalen I φa . Jadi fluksi dalam celah udara merupakan
jumlah dari fluksi rotor Φf yang dinyatakan dengan arus ekivalen
I f dan fluksi jangkar. Jadi

I fa = I f + I φa atau I f = I fa − I φa (3.16)

Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor I f haruslah cukup untuk


membangkitkan fluksi celah udara untuk membangkitkan E a dan
mengatasi fluksi jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat
dipertahankan. Perhatikan Gb.3.6. I f membangkitkan tegangan
E aa 90o di belakang I f dan lebih besar dari E a .

58 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

E aa

I f = I fa − I φa

I fa
γ Ea
− I φa
jI a X l
θ Va
I φa Ia I a Ra

Gb.3.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.


Hubungan antara nilai E a dan I fa diperoleh dari karakteristik
celah udara, sedangkan antara nilai I a dan I φa diperoleh dari
karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti
terlihat pada Gb.3.6., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan
E a = k v I fa dan I a = k i I φa atau I fa = E a / k v

dan I φa = I a / k i (3.17)
dengan kv dan ki adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan
kurva. Dari (3.7) dan Gb.3.6. kita peroleh
E I
I f = I fa − I φa = a ∠(90 o + γ ) + a ∠(180 o − θ)
kv ki
(3.18)
E I
= j a ∠γ − a ∠ − θ
kv ki
Dari (3.18) kita peroleh E aa yaitu
 E I 
E aa = − jk v I f = − jk v  j a ∠γ − a ∠ − θ 
 kv ki  (3.19)
kv kv
= E a ∠γ + j I a ∠ − θ = Ea + j Ia
ki ki

59
Mesin Sinkron

Suku kedua (3.19) dapat kita tulis sebagai jX φa I a dengan


k
X φa = v (3.20)
ki
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat
adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (3.19) dapat ditulis

E aa = E a + jX φa I a = Va + I a (R a + jX l ) + jX φa I a
(3.21)
= Va + I a (R a + jX a )

dengan X a = X l + X φa yang disebut reaktansi sinkron.

Diagram fasor Gb.3.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.3.7.


untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi
sinkron.
E aa

I f = I fa − I φa
j I a X φa
I fa
γ Ea jI a X a
− I φa
jI a X l
θ Va
I φa Ia I a Ra
Gb.3.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;
reaktansi reaksi jangkar (Xφa) dan reaktansi sinkron (Xa).

Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan


dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik
linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh
karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak
jenuh.

60 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

3.3. Rangkaian Ekivalen


Dengan pengertian reaktansi sinkron dan memperhatikan
persamaan (3.21) kita dapat menggambarkan rangkaian ekivalen
mesin sinkron dengan beban
seperti terlihat pada Gb.3.8.
Ia

Ra jXa +
+ Beban
− E aa Va

Gb.3.8. Rangkaian ekivalen mesin sinkron.


Perhatikanlah bahwa rangkaian ekivalen ini adalah rangkaian
ekivalen per fasa. Tegangan Va adalah tegangan fasa-netral dan
I a adalah arus fasa.

CONTOH-3.11 : Sebuah generator sinkron tiga fasa 10 MVA,


terhubung Y, 50 Hz, Tegangan fasa-fasa 13,8 kV, mempunyai
karakteristik celah udara yang dapat dinyatakan sebagai
E a = 53,78 I f V dan karakteristik hubung singkat
I a = 2,7 I f A (If dalam ampere). Resistansi jangkar per fasa
adalah 0,08 Ω dan reaktansi bocor per fasa 1,9 Ω. Tentukanlah
arus eksitasi (arus medan) yang diperlukan untuk
membangkitkan tegangan terminal nominal jika generator
dibebani dengan beban nominal seimbang pada faktor daya 0,8
lagging.
Penyelesaian :
13800
Tegangan per fasa adalah Va = = 7967,4 V .
3

10 × 10 6
Arus jangkar per fasa : I a = = 418,4 A .
13800 × 3

61
Mesin Sinkron

k v 53,78
Reaktansi reaksi jangkar : X φa = = = 19,92 Ω
ki 2,7

Reaktansi sinkron : X a = X l + X φa = 1,9 + 19,92 = 21,82 Ω

Dengan mengambil Va sebagai referensi, maka Va = 7967,4


∠0o V dan I a = 418,4∠−36,87, dan tegangan terbangkit :

E aa = Va + I a ( R a + jXa)
= 7967,4∠0 o + 418,4∠ − 36,87(0.08 + j 21.82)
≈ 7967,4∠0 o + 9129,5∠53,13 o = 13445,1 + j 7303,6

E aa = (13445,1) 2 + (7303,6) 2 = 15300 V

Arus eksitasi yang diperlukan adalah


E aa 15300
If = = = 284,5 A
kv 53,78

Daya. Daya per fasa yang diberikan ke beban adalah


P f = Va I a cos θ (3.22)

Pada umumnya pengaruh resistansi jangkar sangat kecil


dibandingkan dengan pengaruh reaktansi sinkron. Dengan
mengabaikan resistansi jangkar maka diagram fasor mesin sinkron
menjadi seperti Gb.3.9.
Gb.3.9. tersebut memperlihatkan bahwa
E aa
Eaa sin δ = I a X a cos θ atau I a cos θ = sin δ .
Xa

Dengan demikian maka (3.22) dapat ditulis sebagai


V a E aa
Pf = sin δ (3.23)
Xa

62 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Mesin Sinkron

Persamaan (3.23) ini memberikan formulasi daya per fasa dan sudut
δ menentukan besarnya daya; oleh karena itu sudut δ disebut sudut
daya (power angle).
E aa

jI a X a

δ Va
θ
Ia

Gb.3.9. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris; resistansi


jangkar diabaikan.
Daya Pf merupakan fungsi sinus dari sudut daya δ seperti terlihat
pada Gb.3.10.

P1.1 generator
f

0
-180 -90 0 90 180
δ (o listrik)

-1.1
motor
Gb.3.10. Daya fungsi sudut daya.

Untuk 0 < δ < 180o daya bernilai positif, mesin beroperasi sebagai
generator yang memberikan daya. (Jangan dikacaukan oleh
konvensi pasif karena dalam menggambarkan diagram fasor untuk
mesin ini kita menggunakan ketentuan tegangan naik dan bukan

63
Mesin Sinkron

tegangan jatuh). Untuk 0 > δ > −180o mesin beroperasi sebagai


motor, mesing menerima daya.
Dalam pengenalan mesin-mesin elektrik ini, pembahasan mengenai
mesin sikron kita cukupkan sampai di sini. Pembahasan lebih lanjut
akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin
listrik.

Tentang pembebanan mesin sinkron dibahas dalam buku


analisis Sistem Tenaga.

64 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

BAB 4 Motor Asinkron

4.1. Konstruksi Dan Cara Kerja


Motor merupakan
piranti konversi dari a
energi elektrik ke energi
mekanik. Salah satu b1 c1
jenis yang banyak
dipakai adalah motor
asinkron atau motor
induksi. Di sini kita
hanya akan melihat c b
motor asinkron tiga fasa.
Stator memiliki alur-alur a1
untuk memuat belitan-
belitan yang akan
terhubung pada sistem
tiga fasa. Gb.4.1. hanya Gb.4.1. Motor asinkron.
memperlihatkan tiga
belitan pada stator sebagai belitan terpusat, yaitu belitan aa1 , bb1
dan cc1 yang berbeda posisi 120o mekanik. Susunan belitan ini sama
dengan susunan belitan pada stator generator sinkron. Ketiga belitan
ini dapat dihubungkan Y ataupun ∆ untuk selanjutnya
disambungkan ke sumber tiga fasa. Rotor mempunyai alur-alur yang
berisi konduktor dan semua konduktor pada rotor ini dihubung
singkat di ujung-ujungnya. Inilah salah satu konstruksi rotor yang
disebut rotor sangkar (susunan konduktor-konduktor itu berbentuk
sangkar).
Untuk memahami secara fenomenologis cara kerja motor ini, kita
melihat kembali bagaimana generator sinkron bekerja. Rotor
generator yang mendukung kutub magnetik konstan berputar pada
porosnya. Magnet yang berputar ini mengimbaskan tegangan pada
belitan stator yang membangun sistem tegangan tiga fasa. Apabila
rangkaian belitan stator tertutup, misalnya melalui pembebanan,
akan mengalir arus tiga fasa pada belitan stator. Sesuai dengan
hukum Lenz, arus tiga fasa ini akan membangkitkan fluksi yang

65
Motor Asinkron

melawan fluksi rotor; kejadian ini kita kenal sebagai reaksi jangkar.
Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi berputar sesuai perputaran
rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus berputar sesuai
perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu hukum Lenz
dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor
membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada
belitan stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan
stator dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi
konstan berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada
reaksi jangkar generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi
berputar timbul jika belitan stator motor asikron dihubungkan ke
sumber tiga fasa.
Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi
berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai
tiga belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120o mekanis satu
sama lain seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masing-
masing dialiri arus ia , ib , dan ic yang berbeda fasa 120o elektrik
seperti ditunjukkan oleh Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan
membangkitkan fluksi yang berubah terhadap waktu sesuai dengan
arus yang mengalir padanya. Kita perhatikan situasi yang terjadi
pada beberapa titik waktu.
Perhatikan Gb.4.2. Pada t1 arus ia maksimum negatif dan arus ib = ic
positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φa , φb
dan φc yang memberikan fluksi total φtot . Kejadian ini berubah pada
t2 , t3 , t4 dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total
berputar seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa.
Peristiwa ini dikenal sebagai medan putar pada mesin asinkron.
Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi
antara jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran
sinkron sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu
p ns 120 f1
f1 = Hz atau n s = rpm (4.1)
120 p

dengan f1 adalah frekuensi tegangan stator, ns adalah kecepatan


perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah
kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator
seperti pada contoh konstruksi mesin pada Gb.4.1. jumlah kutub

66 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

adalah 2, sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran


sinkron adalah 3000 rpm. Untuk mempuat jumlah kutub menjadi 4,
belitan stator disusun seperti pada stator mesin sinkron pada Gb.4.1.

1.1

c
c1 0
-180 - 135 -90 -45 0 45 90 135 180
a1 a t
b1
b - 1.1 ia ib ic

a). b). t1 t2 t3 t4

ic ic ic ic

ia ia ia ia
ib ib ib ib

φb φc
φa φtot φa φa φa
φtot
φc φb φc φb
φc φb
φtot φtot
t1 t2 t3 t4

Gb.4.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berputar.

Arus positif menuju titik netral, arus negatif meninggalkan titik


netral. Fluksi total φtot tetap dan berputar.
Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator
akan mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena
konduktor rotor merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir
arus yang kemudian berinteraksi dengan medan magnetik yang
berputar dan timbullah gaya sesuai dengan hukum Ampere. Dengan
gaya inilah terbangun torka yang akan membuat rotor berputar
dengan kecepatan perutaran n. Perhatikanlah bahwa untuk terjadi
torka, harus ada arus mengalir di konduktor rotor dan untuk itu

67
Motor Asinkron

harus ada tegangan imbas pada konduktor rotor. Agar terjadi


tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n harus lebih kecil
dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu kecepatan
perputaran sinkron ns) sebab jika kecepatannya sama tidak akan ada
fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus terjadi
beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip
yang besarnya adalah :
ns − n
s= (4.2)
ns
Nilai s terletak antara 0 dan 1.

Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron,


kita melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan
rotor sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk
meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan
stator maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal
belitan rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar
bersama rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada
resistor untuk keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan
belitan stator dan rotor diperlihatkan pada Gb.4.3; pada waktu
operasi normal belitan rotor dihubung singkat. Hubungan seperti ini
mirip dengan transformator. Medan putar akan mengimbaskan
tegangan baik pada belitan stator maupun rotor.

E1 E2

belitan stator belitan rotor


Gb.4.3. Skema hubungan belitan stator dan rotor
mesin asinkron rotor belitan. Garis putus-putus
menunjukkan hubung singkat pada operasi normal.

68 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

Tegangan imbas pada stator adalah :

E1 = 4,44 f N1 K w1φ m (4.3)

p ns
dengan Kw1 adalah faktor belitan stator, f == frekuensi
120
tegangan stator, φm adalah fluksi maksimum di celah udara, N1
adalah jumlah lilitan belitan stator.
Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan
imbas pada belitan rotor adalah
E 2 = 4,44 f N 2 K w2 φ m (4.4)

p ns
dengan Kw2 adalah faktor belitan rotor, f = = frekuensi
120
tegangan stator (karena rotor tidak berputar), φm adalah fluksi
maksimum di celah udara sama dengan fluksi yang mengibaskan
tegangan pada belitan stator, N2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.
Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka
terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan
imbas pada rotor menjadi
p ( n s − n) p s n s
f2 = = = s f Hz (4.5)
120 120
Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan
frekuensi stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut
frekuensi slip. Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan
berputar menjadi
E 22 = sE 2 (4.6)

Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.5) dan
(4.6) kita peroleh
E1 N K
= 1 w1 = a (4.7)
E 2 N 2 K w2

Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban.

69
Motor Asinkron

CONTOH-4.1 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan


kepada motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor
melayani beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah
0,05. Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif
terhadap stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan
perputaran medan rotor relatif terhadap rotor; (d) kecepatan
perputaran medan rotor relatif terhadap stator; (e) kecepatan
perputaran medan rotor relatif terhadap medan rotor.
Penyelesaian:
(a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator
(kecepatan sinkron) dengan frekuensi dan jumlah kutub
p ns
adalah f = . Jadi kecepatan perputaran medan putar
120
adalah
120 f 120 × 50
ns = = = 1500 rpm
p 4

(b) Frekuensi arus rotor adalah f 2 = sf1 = 0,05 × 50 = 2,5 Hz.

(c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga


fasa dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor
akan menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus
belitan stator menimbulkan medan putar. Kecepatan
perputaran medan putar rotor relatif terhadap rotor adalah
120 f 2 120 × 2,5
n2 = = = 75 Hz
p 4

(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor


harus sama dengan kecepatan perputaran medan stator,
yaitu kecepatan sinkron 1500 rpm.
(e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan
kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran
relatifnya adalah 0.

70 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

4.2. Rangkaian Ekivalen


Rangkaian ekivalen yang akan kita pelajari adalah rangkaian
ekivalen per fasa.
Rangkaian Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa
adalah R1 dan reaktansinya adalah X1, sedangkan rugi-rugi inti
dinyatakan dengan rangkaian paralel suatu resistansi Rc dan
reaktansi Xφ seperti halnya pada transformator. Jika V1 adalah
tegangan masuk per fasa pada belitan stator motor dan E1 adalah
tegangan imbas pada belitan stator oleh medan putar seperti
diberikan oleh (4.3), maka kita akan mendapatkan hubungan fasor
V1 = I1 (R1 + jX 1 ) + E1 (4.8)

Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan ini


adalah pada frekuensi sinkron ωs = 2π f1. Rangkaian ekivalen stator
menjadi seperti pada Gb.3.4. yang mirip rangkaian primer
transformator. Perbedaan terletak pada besarnya If yang pada
transformator berkisar antara 2 − 5 persen dari arus nominal,
sedangkan pada motor asinkron arus ini antara 25 − 40 persen arus
nominal, tergantung dari besarnya motor.

I1
A
R1 jX1 If
Ic Iφ
V1 E1
Rc jXc
B
Gb.4.4. Rangkaian ekivalen stator.

Selain itu reaktansi bocor X1 pada motor jauh lebih besar karena
adanya celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan
dalam stator sedangkan pada transformator belitan terpusat pada
intinya. Tegangan E1 pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini
haruslah merefleksikan peristiwa yang terjadi di rotor.

71
Motor Asinkron

Rangkaian Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar


maka tegangan imbas pada rotor adalah E22 . Jika resistansi rotor
adalah R22 dan reaktansinya adalah X22 maka arus rotor adalah:
E 22
I 22 = (4.9)
(R22 + jX 22 )
Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai
reaktansi pada persamaan (4.9) ini adalah pada frekuensi rotor ω2 =
2π f2 , berbeda dengan persamaan fasor (4.8). Kita gambarkan
rangkaian untuk persamaan (4.9) ini seperti pada Gb.4.5.a.
I 22 I2
A′ A′
R22 jX22 R2 jsX2
E 22 sE 2

B′ B′
a) b)
I2 I2
A′ A′
R2 jX2 jX2
R2
E2
s E2 1− s
R2
s
B′ B′
c) d)
Gb.5.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor.
Menurut (4.6) E22 = sE2 dimana E2 adalah tegangan rotor dengan
frekuensi sinkron ωs. Reaktansi rotor X22 dapat pula dinyatakan
dengan frekuensi sinkron; jika L2 adalah induktansi belitan rotor
(yang merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh
konstruksinya) maka kita mempunyai hubungan
X 22 = ω 2 L2 = sω1 L2 = sX 2 (4.10)

Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron


X 2 = ω1L2 . Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita
nyatakan resistansi rotor sebagai R2 = R22. Dengan demikian maka
arus rotor menjadi

72 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

sE2
I2 = (4.11)
R2 + jsX 2

Persamaan fasor tegangan dan arus rotor sekarang ini adalah pada
frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang
terlihat pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah
tegangan karena ada slip yang besarnya adalah sE2. Dari rangkaian
ini kita dapat menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor
per fasa, yaitu

Pcr = I 22 R2 (4.12)

Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (4.11) kita bagi


dengan s kita akan mendapatkan
E2
I2 = (4.13)
R2
+ jX 2
s
Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I2 dan rangkaian
dari persamaan ini adalah seperti pada Gb.4.5.c. Walaupun
demikian ada perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada
terminal rotor A´B´ sekarang adalah tegangan imbas pada belitan
rotor dalam keadaan rotor tidak berputar dengan nilai seperti
diberikan oleh (4.14) dan bukan tegangan karena ada slip. Jika pada
Gb.4.5.b. kita mempunyai rangkaian riil rotor dengan resistansi
konstan R dan tegangan terminal rotor yang tergantung dari slip,
maka pada Gb.4.28.c. kita mempunyai rangkaian ekivalen rotor
dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi yang
tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir
ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya
yang diserap rotor kita sebut daya celah udara, yaitu :
R2
Pg = I 22 (4.14)
s
Daya ini jauh lebih besar dari Pcr pada (4.12). Pada mesin besar nilai
s adalah sekitar 0,02 sehingga Pg sekitar 50 kali Pcr. Perbedaan
antara (4.14) dan (4.12) terjadi karena kita beralih dari tegangan

73
Motor Asinkron

rotor riil yang berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan


frekuensi sinkron. Daya nyata Pg tidak hanya mencakup daya hilang
pada resistansi belitan saja tetapi mencakup daya mekanis dari
motor. Daya mekanis dari rotor ini sendiri mencakup daya keluaran
dari poros motor untuk memutar beban ditambah daya untuk
mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat adanya gesekan dan
angin. Oleh karena itu daya Pg kita sebut daya celah udara artinya
daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara yang
meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan
daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika
kita menuliskan
R2 1 − s 
= R2 + R2   (4.15)
s  s 
Suku pertama (4.15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor
(per fasa) Pcr = I 22 R2 dan suku kedua memberikan daya keluaran
mekanik ekivalen
1− s 
Pm = I 22 R2   (4.16)
 s 
Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor
seperti pada Gb.4.5.d.
Rangkaian Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian
ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar
dapat menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita
harus melihat tegangan rotor E2 dari sisi stator yang memberikan
E1 = aE 2 . Jika E 2 pada Gb.4.5.d. kita ganti dengan E1 = a E 2 ,
yaitu tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor dan
semua parameter rotor harus pula dilihat dari sisi stator menjadi
I 2' , R 2' dan X 2' . Dengan demikian kita dapat menghubungkan
terminal rotor A´B´ ke terminal AB dari rangkaian stator pada
Gb.4.4. dan mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat
pada Gb.4.6.

74 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

'
I1
A I2
R1 jX1 If jX 2'
R2'
V1 1− s
Rc jXc R2'
s

B
Gb.4.6. Rangkaian ekivalen lengkap motor asikron.

Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita
baca dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk
ke stator motor melalui tegangan V1 dan arus I1 digunakan untuk :
• mengatasi rugi tembaga stator : Pcs = I12 R1
• mengatasi rugi-rugi inti stator : Pinti
• daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara
R'
Pg = ( I 2' ) 2 2, yang digunakan untuk
s
• mengatasi rugi-rugi tembaga rotor :
Pcr = ( I 2' ) 2 R2'
• memberikan daya mekanis rotor
1 − s 
Pm = ( I 2' ) 2 R2'
  , yang terdiri dari :
 s 
• daya untuk mengatasi rugi rotasi
(gesekan dan angin) : Protasi
• daya keluaran di poros rotor : Po.
Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah :
Po = Pm − Protasi ; Pm = Pg − Pcr ;
Pg = Pin − Pinti − Pcs

75
Motor Asinkron

Rangkaian Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor


asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan
yang lebih sederhana seperti pada Gb.4.7. Dalam rangkaian ini rugi-
rugi tembaga stator dan rotor disatukan menjadi ( I 2' ) 2 Re .

I1 jX e = jX1 + jX 2'

If Re = R1 + R2'
V1 1− s
Rc jXc R2'
s

Gb.4.7. Rangkaian ekivalen pendekatan.

Bagaimana Re dan Xe ditentukan akan kita bahas berikut ini.

4.3. Penentuan Parameter Rangkaian


Pengukuran Resistansi. Resistansi belitan stator maupun belitan
rotor dapat diukur. Namun perlu diingat bahwa jika pengukuran
dilakukan dengan menggunakan metoda pengukuran arus searah dan
pengukuran dilakukan pada temperatur kamar, harus dilakukan
koreksi-koreksi. Dalam pelajaran lebih lanjut kita akan melihat
bahwa resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dibandingkan
dengan resistansi pada arus searah karena adanya gejala yang
disebut efek kulit. Selain dari itu, pada kondisi kerja normal,
temperatur belitan lebih tinggi dari temperatur kamar yang berarti
nilai resistansi akan sedikit lebih tinggi.
Uji Beban Nol. Dalam uji beban nol stator diberikan tegangan
nominal sedangkan rotor tidak dibebani dengan beban mekanis.
Pada uji ini kita mengukur daya masuk dan arus saluran. Daya
masuk yang kita ukur adalah daya untuk mengatasi rugi tembaga
pada beban nol, rugi inti, dan daya celah udara untuk mengatasi rugi
rotasi pada beban nol. Dalam uji ini slip sangat kecil, arus rotor
cukup kecil untuk diabaikan sehingga biasanya arus eksitasi
dianggap sama dengan arus uji beban nol yang terukur.

76 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada
transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi
rotor ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya
mekanis keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat
cukup rendah untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak
melebihi nilai nominal. Selain itu, tegangan stator yang rendah
(antara 10 – 20 % nominal) membuat arus magnetisasi sangat kecil
sehingga dapat diabaikan. Rangkaian ekivalen dalam uji ini adalah
seperti pada Gb.4.8. Perhatikan bahwa kita mengambil tegangan
fasa-netral dalam rangkaian ekivalen ini.

I0 jX e = jX1 + jX 2'

Re = R1 + R2'
V fn

Gb.4.8. Rangkaian ekivalen motor asikron pada uji rotor diam.


Jika Pd adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, Id
adalah arus saluran dan Vd adalah tegangan fasa-fasa yang terukur
dalam uji ini, maka
P
Re = X 1 + jX 2' = d
3I d2
Vd
Ze = (4.17)
Id 3

X e == Z e2 − Re2 = X 1 + X 2'

Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan


antara X1 dan X2´ tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan
X e.

CONTOH-4.2 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga


fasa 50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugi-
rugi inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah
2700 W. Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A..
Hitunglah efisiensi motor jika diketahui slip s = 3,75%.

77
Motor Asinkron

Penyelesaian:
Dari rangkaian ekivalen, daya mekanik ekivalen adalah
1 − s 
Pm = ( I 2' ) 2 R2'  .
 s 
Pm dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor
dan rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah
daya keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui
900 W sehingga
Pm = 75000 + 900 = 75900 W
dan rugi-rugi tembaga rotor adalah
P s 75900 × 0,0375
Pcr = ( I 2' ) 2 R2' = m = = 2957 W
1− s 1 − 0,0375
Efisiensi motor adalah
Pkeluaran
η= ×100%
Pkeluaran + rugi − rugi
75000
= × 100%
75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957
= 87,45%
CONTOH-4.3 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga
fasa rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data
berikut: daya masuk Pd = 10 kW, arus saluran Id = 250 A, Vd =
65 Vdan pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R1
= 0,02 Ω per fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.
Penyelesaian :
Menurut (4.17) kita dapat menghitung
Pd 10000
Re = = = 0,0533 Ω per fasa
3I d2 3 × (250) 2

R2' = Re − R1 = 0,0533 − 0,02 = 0,0333 Ω per fasa

78 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

CONTOH-4.4 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4


kutub, 220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan
uji rotor diam.
Beban nol : V0 = 220 V; I0 = 9,2 A; P0 = 670 W
Rotor diam : Vd = 57 V; Id = 30 A; Pd = 950 W.
Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 Ω
per fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung:
(a) parameter-parameter yang diperlukan untuk
menggambarkan rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus
eksitasi dan rugi-rugi inti.
Penyelesaian :
a). Karena terhubung Y, tegangan per fasa adalah
220
V1 = = 127 V .
3
Uji rotor diam memberikan :
Pd 950
Re = = = 0,35 Ω ;
3( I d ) 2
3 × (30) 2
R2' = Re − R1 = 0,35 − 0,15 = 0,2 Ω
Vd 57
Ze = = = 1,1 Ω ;
3 × Id 3 × 30

X e = Z e2 − Re2 = (1,1) 2 − (0,35) 2 = 3,14 Ω

b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan;
jadi arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap
arus eksitasi If .
Daya pada uji beban nol P0 = 670 = V0 I f cos θ 3
670
⇒ cos θ = = 0,19 lagging.
220 3 × 9,2
Jadi : I f = 9,2∠θ = 9,2∠ − 79 o .

79
Motor Asinkron

Rugi inti :
Pinti = P0 − 3 × I 02 R1 = 670 − 3 × 9,2 2 × 0,15 = 632 W

I1 jX e = j 3,14

I f R = 0,35
e
127∠0 R o 1− s
c jXc 0,2
V s

CONTOH-4.5 : Motor pada Contoh-4.3. dikopel dengan suatu


beban mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan
data : daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah
: (a) arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip
yang terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika
diketahui rugi rotasi 500 W.
Penyelesaian :
a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data
pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu:
I1 = 28∠ − 35 o . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah :

I 2' = I1 − I f = 28∠ − 35 o − 9,2∠ − 79 o


= 28(0,82 − j 0,57 ) − 9,2(0,19 − j 0,98) = 21,2 − j 6,94
= 22,3∠ − 18 o A
b). Daya mekanik rotor adalah :
Pm = Pin − Pinti − Pcs − Pcr
= 9150 − 632 − 3 × 28 2 × 0,15 − 3 × 22,3 2 × 0,2 = 7867 W
c). Slip dapat dicari dari formulasi
3 × ( I 2' ) 2 R2'
Pg = Pin − Pinti − Pcs = .
s
3( I 2' ) 2 R2' 3 × 22,3 2 × 0,2
s= = = 0,0365
Pg 9150 − 632 − 3 × 28 2 × 0,15

80 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

atau 3,65 %
e). Rugi rotasi = 500 W.
Daya keluaran sumbu rotor :
Po = Pm − Protasi = 7867 − 500 = 7367 W
P 7367
Efisiensi motor : η = o × 100% = × 100% = 80%
Pin 9150

4.4. Torka
Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya elektrik di stator
menjadi daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga
rotor, alih daya tersebut adalah sebesar daya celah udara Pg dan ini
memberikan torka yang kita sebut torka elektromagnetik dengan
perputaran sinkron. Jadi jika T adalah torka elektromagnetik maka
Pg
Pg = Tω s atau T = (4.18)
ωs
Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang
dibangkitkan pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol.
Besarnya arus rotor ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen
Gb.4.7. dengan s = 1 adalah
V1
I 2' = (4.19)
(R 1 + R2' ) + (X
2
1 + X2
'
)
2

Besar torka asut adalah

Ta =
Pg
=
1
× 3 I 2' ( )
2
×
R2'
=
1 3V12 R2'
ωs ωs s ωs
(R
1 + R2' ) + (X
2
1 )2
+ X 2'
(4.20)
Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi
besar. Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi
dengan menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus.
Sudah barang tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka
asut. Persamaan (4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan
dturunkan setengahnya, torka asut akan turun menjadi
seperempatnya.

81
Motor Asinkron

Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi


pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka
ini biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan
kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan
motor melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa
saat saja. Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan
secara kontinyu
sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak isolasi.

I1 j ( X1 + X 2' )

If R1
V1 Rc R2'
jXc
s

Gb.4.9. Rangkaian ekivalen pendekatan.


Karena torka sebanding dengan daya celah udara Pg , maka torka
maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum.
Dari rangkaian ekivalen pendekatan Gb.4.9., teorema alih daya
R2'
maksimum mensyaratkan bahwa alih daya ke akan maksimum
s
jika

R2'
(
= R12 + X 1 + X 2' )
2
atau s m =
R2'
(4.21)
sm
R12 (
+ X1 + X 2'
2
)
Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa sm dapat diperbesar
dengan memperbesar R2' . Suatu motor dapat dirancang agar torka
asut mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai
resistansi rotor.
Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah

82 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Motor Asinkron

V1 V1
I 2' = =

( )  + (X )
2 2

( )
'   2 2
 R + R2  + X + X '
2
 R1 + R12 + X1 + X 2' 1+ X 2'
 1 sm  1 2 
   
V1
= (4.22)
2 R12 + 2 R1 R12 (
+ X1 + X 2') + 2(X
2
1+ X 2')2

Torka maksimum adalah

Tm =
1
× 3 I 2'( )
2 R 2'
=
1 3 V12
(4.23)
ωs sm ωs 
(
2 
2  R1 + R12 + X 1 + X 2' 
 
)
 
Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak
tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21)
slip maksimum sm berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi
mengubah resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan
memberikan torka maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya
torka maksimum itu sendiri.

Karakteristik Torka – Perputaran. Gb.4.10. memperlihatkan


bagaimana torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip.
Pada gambar ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor
terhadap karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan
rotor, makin besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum.
resistansi rotor tinggi
300
torka dalam % nominal

resistansi rotor rendah

200

100

0
1 sm1 sm 0 slip
0 ns perputaran
Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran

83
Motor Asinkron

Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut


karakteristik spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam
penggunaannya. Berikut ini data motor yang secara umum
digunakan, untuk keperluan memutar beban dengan kecepatan
konstan dimana tidak diperlukan torka asut yang terlalu tinggi.
Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas angin, blower,
alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan
tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan
jenis motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan
karena akan terjadi pemanasan.
Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan
pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut
dan menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa
merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung
pada sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu
diperhatikan dalam pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut
(agar beban tidak rusak); (b) pembatasan arus asut; (c) proteksi
terhadap pembebanan lebih; (d) proteksi terhadap penurunan
tegangan; (e) proteksi terhadap terputusnya salah satu fasa (yang
dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan sampai di sini
pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan lebih lanjut
akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin
listrik.
Tabel-4.1. Motor Dalam Aplikasi
HP 2p
Ta Tmaks Ia s
f.d. η
[%] [%] [%] [%] [%]
0,5 2 150 200 500 3 0,87 87
s/d 4 150 s/d s/d s/d s/d s/d
200 6 135 250 1000 5 0,89 89
8 125
10 120
12 115
14 110
16 105
2p : jumlah kutub; Ta : torka asut; Tmaks : torka maks
Ia : arus asut; s : slip; f.d. : faktor daya; η : efisiensi.

84 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

BAB 5 Pembebanan Seimbang Sistem


Poli Fasa

5.1. Sumber Tiga Fasa Seimbang dan Sambungan ke Beban


Suatu sumber tiga fasa membangkitkan tegangan tiga fasa, yang dapat
digambarkan sebagai tiga sumber tegangan yang terhubung Y (bintang)
seperti terlihat pada Gb.5.1.a. Tiga sumber tegangan ini dibangkitkan
oleh satu mesin sinkron. Titik hubung antara ketiga tegangan itu disebut
titik netral, N. Antara satu tegangan dengan tegangan yang lain berbeda
fasa 120o. Jika kita mengambil tegangan VAN sebagai referensi, maka kita
dapat menggambarkan diagram fasor tegangan dari sistem tiga fasa ini
seperti terlihat pada Gb.5.1.b. Urutan fasa dalam gambar ini disebut
urutan positif. Bila fasor tegangan VBN dan VCN dipertukarkan, kita
akan memperoleh urutan fasa negatif.
Sumber tiga fasa pada umumnya dihubungkan Y karena jika
dihubungkan ∆ akan terbentuk suatu rangkaian tertutup yang apabila
ketiga tegangan tidak tepat berjumlah nol akan terjadi arus sirkulasi yang
merugikan. Sumber tegangan tiga fasa ini dihubungkan ke beban tiga
fasa yang terdiri dari tiga impedansi yang dapat terhubung Y ataupun ∆
seperti terlihat pada Gb.5.2. Dalam kenyataan, beban tiga fasa dapat
berupa satu piranti tiga fasa, misalnya motor asinkron, ataupun tiga
piranti satu fasa yang dihubungkan secara Y atau ∆, misalnya resistor
pemanas.

C VCN
+ VCN

− +
V AN
N A 120o
VBN +− VAN 120o
B V BN
a). Sumber terhubung Y b). Diagram fasor.

Gb.5.1. Sumber tiga fasa.

85
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

A C

≈ C A
≈ V AB A
VAN
B
B B

Gb.5.2. Sumber dan beban tigaNfasa.

Dengan mengambil tegangan fasa-netral VAN sebagai tegangan referensi,


maka hubungan antara fasor-fasor tegangan tersebut adalah:
V AN = V fn ∠0 o
VBN = V fn ∠ − 120 o (5.1)
VCN = V fn ∠ − 240 o

Tegangan fasa-fasa yaitu VAB , VBC , dan VCA yang fasor-fasornya adalah
V AB = V AN + V NB = V AN − VBN
VBC = VBN + V NC = V BN − VCN (5.2)
VCA = VCN + V NA = VCN − V AN

5.2. Daya Pada Sistem Tiga Fasa Seimbang


Daya kompleks yang diserap oleh beban 3 fasa adalah jumlah dari daya
yang diserap oleh masing-masing fasa, yaitu:

S3 f = VAN I*A + VBN I*B + VCN IC


*

= (V fn )∠0o ( I f ∠θ) + (V fn )∠ − 120o ( I f ∠120o + θ)


(5.3)
+ (V fn )∠ − 240o ( I f ∠240o + θ)
= 3V fn I f ∠θ = 3V fn I A∠θ

Karena hubungan antara tegangan fasa-netral dan tegangan fasa-fasa


adalah Vff = Vfn √3, maka kita dapat menyatakan daya kompleks dalam
tegangan fasa-fasa, yaitu
86 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

S 3 f = V ff I A 3∠θ (5.4)

Daya nyata dan daya reaktif adalah

P3 f = V ff I A 3 cos θ = S 3 f cos θ
(5.5)
Q3 f = V ff I A 3 sin θ = S 3 f sin θ

Formulasi daya kompleks (5.4) berlaku untuk beban terhubung Y


maupun ∆. Jadi tanpa melihat bagaimana hubungan beban, daya
kompleks yang diberikan ke beban adalah

S 3 f = V ff I A 3 (5.6)

CONTOH-5.1: Sebuah beban terhubung ∆ mempunyai impedansi di


setiap fasa sebesar Z = 4 + j3 Ω. Beban ini dicatu oleh sumber tiga
fasa dengan tegangan fasa-fasa Vff = 80 V (rms). Dengan
menggunakan V AN sebagai fasor tegangan referensi, tentukanlah:
a). Tegangan fasa-fasa dan arus saluran; b). Daya kompleks, daya
rata-rata, daya reaktif.
Penyelesaian :

a). Dalam soal ini kita diminta untuk menggunakan tegangan VAN
sebagai referensi. Titik netral pada hubungan ∆ merupakan titik
fiktif; namun perlu kita ingat bahwa sumber mempunyai titik
netral yang nyata. Untuk memudahkan mencari hubungan fasor-
fasor tegangan, kita menggambarkan hubungan beban sesuai
dengan tegangan referensi yang diambil yaitu VAN..
Dengan menggambil VAN sebagai referensi maka tegangan fasa-
netral adalah
380
V AN = ∠0 o = 220∠0 o ; VBN = 220∠ − 120 o ;
3
VCN = 220∠ − 240 o

87
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

Im − VBN VAB
IB VCN
I CA
I AB θ
IA
I BC Re
θ V AN
I BC θ
IC I AB
I CA

V BN

Tegangan-tegangan fasa-fasa adalah

V AB = V AN 3∠(θ AN + 30 o ) = 380∠30 o
VBC = 380∠ − 90 o
VCA = 380∠ − 210 o
Arus-arus fasa adalah

V AB 380∠30 o 380∠30 o
I AB = = = = 76∠ − 6,8 o A
Z 4 + j3 5∠36,8 o
I BC = 76∠ − 6,8 o − 120 o = 76∠ − 126,8 o A
I CA = 76∠ − 6,8 o − 240 o = 76∠ − 246,8 o A
dan arus-arus saluran adalah

I A = I AB 3∠(−6,8o − 30o ) = 76 3∠ − 36,8o = 131.6∠ − 36,8o A


I B = 131.6∠(−36,8o − 120o ) = 131,6∠ − 156,8o A
IC = 131.6∠(−36,8o − 240o ) = 131,6∠ − 276.8o A

b). Daya kompleks 3 fasa adalah

S 3 f = 3V AB I *AB = 3 × 380∠30 o × 76∠ + 6.8 o


= 86.64∠36.8 o = 69,3 + j 52 kVA

88 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

Jika kita mengkaji ulang nilai P3f dan Q3f , dengan menghitung daya
yang diserap resistansi dan reaktansi beban, akan kita peroleh:
2
P3 f = 3 × R × I AB = 3 × 4 × (76) 2 = 69,3 kW
2
Q3 f = 3 × X × I AB = 3 × 3 × (76) 2 = 52 kVAR

CONTOH-5.2: Sebuah beban 100 kW dengan faktor daya 0,8 lagging,


dihubungkan ke jala-jala tiga fasa dengan tegangan fasa-fasa 4800 V
rms. Impedansi saluran antara sumber dan beban per fasa adalah 2 +
j20 Ω . Berapakah daya kompleks yang harus dikeluarkan oleh
sumber dan pada tegangan berapa sumber harus bekerja ?

Is Z = 2+j20 Ω IB
b 100 kW
Vs VB e
≈ b 4800 V
≈ a cosϕ = 0,9 lag
n

Penyelesaian :
Dalam persoalan ini, beban 100 kW dihubungkan pada jala-jala
4800 V, artinya tegangan beban harus 4800 V. Karena saluran antara
sumber dan beban mempunyai impedansi, maka sumber tidak hanya
memberikan daya ke beban saja, tetapi juga harus mengeluarkan
daya untuk mengatasi rugi-rugi di saluran. Sementara itu, arus yang
dikeluarkan oleh sumber harus sama dengan arus yang melalui
saluran dan sama pula dengan arus yang masuk ke beban, baik
beban terhubung Y ataupun ∆.
Daya beban :

100
PB = 100 kW = S B cos ϕ → SB = = 125 kVA
0,8
Q B = S B sin ϕ = 125 × 0,6 = 75 kVAR
⇒ S B = PB + jQ B = 100 + j 75 kVA

Besarnya arus yang mengalir ke beban dapat dicari karena tegangan


beban diharuskan 4800 V :

89
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

100
PB = V B I B cos ϕ 3 → I B = = 15 A
4800 × 0,8 × 3

Daya kompleks yang diserap saluran adalah tiga kali (karena ada
tiga kawat saluran) tegangan jatuh di saluran kali arus saluran
konjugat, atau tiga kali impedansi saluran kali pangkat dua besarnya
arus :

2
S sal = 3Vsal I *sal = 3Z I sal I *sal = 3Z I sal = 3ZI sal
2

Jadi

S sal = 3 × (2 + j 20) × 15 2 = 1350 + j13500 VA


= 1,35 + j13,5 kVA
Daya total yang harus dikeluarkan oleh sumber adalah
S S = S B + S sal = 100 + j 75 + 1,35 + j13,5 = 101,35 + j88,5 kVA

S S = 101,35 2 + 88,5 2 = 134,5 kVA

Dari daya total yang harus dikeluarkan oleh sumber ini kita dapat
menghitung tegangan sumber karena arus yang keluar dari sumber
harus sama dengan arus yang melalui saluran.

S S = VS I S 3 = VS I B 3
SS 134,5 × 1000
⇒ VS = = = 5180 V rms
IB 3 15 3

5.3. Model Satu Fasa Sistem Tiga Fasa Seimbang


Sebagaimana terlihat dalam pembahasan di atas, perhitungan daya
ke beban tidak tergantung pada hubungan beban, apakah Y atau ∆.
Hal ini berarti bahwa kita memiliki pilihan untuk memandang beban
sebagai terhubung Y walaupun sesungguhnya ia terhubung ∆,
selama kita berada pada sisi sumber. Hubungan daya, tegangan, dan
arus sistem tiga fasa adalah:

90 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

S 3φ = 3S f
V ff = V fn 3 (5.7)
I L = I f (beban terhubung Y)
dengan
S 3φ = daya 3 fasa, S f = daya satu fasa, V ff = tegangan fasa ke fasa
V fn = tegangan fasa ke netral, I L = arus saluran, I f = arus fasa.

Dengan mengingat relasi (5.7), kita dapat melakukan analisis sistem


tiga fasa seimbang dengan menggunakan model satu fasa. Hasil
perhitungan model satu fasa digunakan untuk menghitung besaran-
besaran tiga fasa. Akan kita lihat dalam bab berikutnya bahwa model
satu fasa memberi jalan kepada kita untuk melakukan analisis
sistem tiga fasa tidak seimbang, yaitu dengan menguraikan besaran
tiga fasa yang tidak seimbang menjadi komponen-komponen
simetris; komponen simetris merupakan sistem fasa seimbang
sehingga dapat dimodelkan dengan sistem satu fasa.
Berikut ini adalah contoh penggunaan model satu fasa.

CONTOH-5.3: Sebuah sumber tiga fasa, dengan tegangan fasa-fasa


2400 V, mencatu dua beban parallel. Beban pertama 300 kVA
dengan factor daya 0,8 lagging, dan beban ke-dua 240 kVA
dengan factor daya 0,6 leading.
a). Gambarkan rangkaian ekivalen (model) satu fasa.
b). Hitunglah arus-arus saluran.
Penyelesaian:
Perhatikanlah bahwa beban dinyatakan sebagai daya yang
diserapnya dan bukan impedansi yang dimilikinya. Cara
pernyataan beban semacam inilah yang biasa digunakan dalam
analisis sistem tenaga listrik.
a) Kita ambil salah satu fasa misalnya fasa A sebagai referensi
2400
V AN = = 2386 V
3
Beban dan arus beban:

91
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

S 3φ1 300
S f1 = = = 100 kVA
3 3
ϕ1 = cos −1 (0,8) = +36,9 o
(sudut fasa ini positif karena faktor daya lagging )

 S f1  100∠36,9
I1 =   = = 72,2∠ − 36,9 o A
V An ∠0 
o
1386∠0 o

S 3φ2 240
Sf2 = = = 80 kVA
3 3
ϕ 2 = cos −1 (0,6) = −53,1o
(sudut fasa ini negatif karena faktor daya leading )
Sf2 80∠ − 53,1o
I2 = = = 57,7∠ + 53,1o A
V AN ∠0 o
1386∠0 o

Impedansi ekivalen

V AN 1386∠0 o
Z1 = = = 19,2∠36,9
I1 72,2∠ - 36,9 o
= 15,36 + j11,52 Ω

V AN 1386∠0 o
Z2 = = = 24∠ − 53,1
I2 57,7∠ + 53,1o
= 14,4 − j19,2 Ω

V AN = 15,36 Ω 14,4 Ω

1386 V j11,52 Ω − j19,2 Ω

92 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

b) Arus saluran

I A = I1 + I 2 = 15,36 + j11,52 + 14,4 − j19,2


= 92,3 + j 2,9 = 92,4∠1,8 o Ω

I B = 92,4∠(1,8 o − 120 o ) = 92,4∠ − 118,2 o Ω

I C = 92,4∠(1,8 o + 120 o ) = 92,4∠121,8 o Ω

(urutan ABC)

5.4. Sistem Polifasa Seimbang


Pada sistem polifasa (polyphase system), yang secara umum kita
sebut N-fasa, kita mempunyai N penghantar fasa dan satu
penghantar netral. Tegangan fasa-netral dan arus di pengahantar
dapat kita nyatakan sebagai
V AN = V A = V A ∠α A I A = I A ∠β A
(5.8)
VBN = VB = V B ∠α B .... dst. I B = I B ∠β B .... dst.

Dalam system ini, jika I N adalah arus penghantar netral, maka

I A + I B + I C + ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ +I N = 0 (5.9)

Daya kompleks total pada sistem N-fasa adalah jumlah daya dari
setiap fasa, yaitu:

SN = ∑ Vi I i∗ ; PN = ∑ Pi ; QN = ∑ Qi (5.10)
N N N
dengan Vi adalah tegangan fasa-netral dari penghantar fasa ke-i
dan I i adalah arus penghantar ke-i.

Tegangan fasa-fasa adalah


Vij = Vi − V j = Vi ∠α i − V j ∠α j (5.11)

93
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

Sistem Seimbang. Jika sistem beroperasi seimbang maka


V A = V B = VC ....dst = V f
I A = I B = I C .... dst = I L (5.12)
α i − β i = α i − β i .... dst = ϕ

di mana Vf adalah tegangan fasa-netral, IL arus saluran, dan cosϕ


adalah factor daya. Dalam kondisi seimbang
S N = NV f I L ;
PN = NV f I L cos ϕ; (5.13)
Q N = NV f I L sin ϕ

Jika beda sudut fasa antara dua fasa yang berturutan adalah θ maka

360 o
θ= (5.14)
N
Relasi antara tegangan fasa-fasa dan tegangan fasa adalah
Vij
Vij2 = 2V f2 − 2V f2 cos θ atau = 2(1 − cos θ) (5.15)
Vf

Hubungan Beban. Beban terhubung bintang dan poligon terlihat


pada Gb.5.8.
IL IL
ZY Z∆ I∆
ZY Z∆
Z∆

ZY Z∆
Hubungan bintang. Hubungan poligon.
Gb.5.8. Hubungan beban.

94 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

Dalam pembebanan seimbang daya yang diserap setiap impedansi


haruslah sama besar. Dengan demikian relasi antara impedansi ZY
dan Z∆ dapat dicari.

Vij2 2(1 − cos θ) V f2 V f2


= =
Z∆ Z∆ ZY

Z∆
⇒ = 2(1 − cos θ) (5.16)
ZY

Tabel-5.1 memuat nilai θ, rasio tegangan fasa-fasa terhadap


tegangan fasa ( Vij / V f ), dan rasio impedansi hubungan polygon
terhadap impedansi hubungan bintang ( Z ∆ / Z Y ).

Tabel.5.1. θ, Vij / V f dan Z ∆ / Z Y

N θ [o] Vij / V f Z∆ / ZY

2 180 2,000 4,0000


3 120 1,732 3,0000
6 60 1,000 1,0000
9 40 0,684 0,4679
12 30 0,518 0,2679

95
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

5.5. Sistem Enam Fasa Seimbang


Kita mengambil contoh sistem enam fasa seimbang. Pada sistem ini,
perbedaan sudut fasa antara dua fasa yang berturutan adalah 60o.
Jika fasa A dipakai sebagai referensi dengan urutan ABC, maka enam
fasa tersebut adalah

V AN = V fn ∠0 o ;
VBN = V fn ∠ − 60 o ;
VCN = V fn ∠ − 120 o ;
(5.17)
VDN = V fn ∠ − 180 o ;
VEN = V fn ∠ − 240 o ;
VFN = V fn ∠ − 300 o ;

Im
VE VF

Ν
Re
VD θ 60ο VA

VC VB

Gb.5.9. Fasor tegangan sistem enam fasa seimbang.

Dalam diagram fasor ini hubungan tegangan fasa-fasa dan fasa-


netral adalah sebagai berikut:

96 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

V AB = V A − V B = V f ∠0 o − V f ∠ − 60 o = V f ∠60 o
VBC = VB − VC = V f ∠ − 60 o − V f ∠ − 120 o = V f ∠0 o
VCD = VC − VD = V f ∠ − 120 o − V f ∠ − 180 o = V f ∠ − 60 o
(5.18)
VDE = V f ∠ − 120 o
VEF = V f ∠ − 180 o
VFA = V f ∠ − 240 o

CONTOH-5.9: Satu sumber enam fasa seimbang dengan


V A = 1000∠0 V, mencatu beban seimbang yang menyerap daya
o

sebesar 900 kVA pada factor daya 0,8 lagging. Jika urutan fasa
adalah ABC…, hitunglah
a). arus saluran;
b). tegangan fasa-fasa V AE ;
c). impedansi ekivalen untuk hubungan bintang;
d). impedansi ekivalen untuk hubungan segi enam.
Penyelesaian:
a). Arus saluran:
Sf S 6 f / 6 900 / 6
IL = = = = 150 A
VA 1000 1

b). Tegangan fasa-fasa V AE :


V AE = V A − V E = 1000∠0 o + 1000∠ − 60 o = 2 × 500 3∠ − 30 o
= 1732∠30 o V
c). Impedansi ekivalen untuk hubungan bintang
V f 1000
ZY = = = 6,67 Ω
IL 150
ϕ = cos −1 (0,8) = +36,9 o ( factor daya lagging)
→ Z Y = 6,67∠36,9 o Ω

97
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

d). Impedansi ekivalen untuk hubungan segi-enam:


Z∆
= 2(1 − cos θ)
ZY
Z ∆ = 2(1 − cos 60 o ) Z Y = Z Y = 6,67∠36,9 o Ω

98 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

BAB 6 Saluran Transmisi


Saluran transmisi penyulang merupakan koridor yang harus dilalui dalam
penyaluran energi listrik Kita akan membahas saluran udara (dengan
konduktor terbuka). Rangkaian saluran transmisi cukup sederhana, ia
hanya merupakan konduktor-konduktor yang digelar parallel. Namun
ada empat hal yang perlu kita perhatikan yaitu:
• Resistansi konduktor,
• Imbas tegangan di satu konduktor oleh arus yang mengalir di
konduktor yang lain,
• Arus kapasitif karena adanya medan listrik antar konduktor,
• Arus bocor pada isolator
Arus bocor pada isolator biasanya diabaikan karena cukup kecil
dibandingkan dengan arus konduktor. Namun masalah arus bocor sangat
penting dalam permbahasan isolator.

6.1. Sistem Tiga Fasa Empat Kawat.


Saluran transmisi yang akan kita bahas adalah saluran tiga fasa tiga
kawat, terdiri dari tiga konduktor fasa A, B, dan C masing-masing
dengan arus I A , I B , I C , dan satu konduktor balik N dengan arus
( I A + I B + I C ) , seperti terlihat pada Gb.6.1.
IA
A A′
v AN IB v ′AN
B B′
v BN IC v ′BN
C C′
v CN I A + I B + IC ′
v CN
N N′
Gb.6.1. Saluran transmisi tiga fasa empat kawat.
Masing-masing arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa, dan
setelah sampai di ujung terima kembali ke ujung kirim melalui
konduktor netral secara bersama-sama.
Masing-masing konduktor memiliki resistansi, induktansi, induktansi
bersama, dan kapasitansi yang analisis detilnya dapat dibaca dalam buku
“Analisis Sistem Tenaga”. Di buku ini penjelasan dari semua parameter
99
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

saluran transmisi itu akan diberikan secara fonomenologis agar mudah


difahami dan kita dapat segera melakukan analisis dengan mengetahui
parameter-parameter tersebut.

6.2. Impedansi
Tidak terlalu sulit untuk memahami bahwa masing-masing konduktor
mengandung resistansi sendiri yang per satuan panjang (per km
misalnya) kita sebut R A , R B , RC , dan R N . Kita pandang sekarang
bahwa masing-masing konduktor membentuk loop dengan konduktor
balik yaitu loop A - A ′ - N ′ - N , loop B - B ′ - N ′ - N , dan loop
C - C ′ - N ′ - N . Dengan pandangan ini maka dengan segera kita lihat
bahwa masing-masing loop memiliki induktansi sendiri yang
memberikan reaktansi sendiri. Antar loop terdapat kopling magnetik
yang menimbulkan induktansi bersama dan memberikan reaktansi
bersama. Kopling elektrik terjadi karena ada konduktor bersama yaitu
konduktor balik N, yang memberikan resistansi bersama RN.
Resistansi dan reaktansi sendiri memberikan impedansi sendiri per
satuan panjang, Z AA , Z BB , Z CC

Z AA = R A + R N + jX A
Z BB = R B + R N + jX B (6.1)
Z CC = RC + R N + jX C

dengan X A , X B , X C adalah reaktansi sendiri per satuan panjang.


Perhatikan bahwa setiap impedansi sendiri mengandung resistansi sendiri
dan RN karena arus setiap fasa kembali ke ujung kirim melalui
konduktor balik N.
Resistansi dan reaktansi bersama memberikan impedansi bersama,
Z AB , Z BC , Z CA
Z AB = R N + jX AB
Z BC = R N + jX BC (6.2)
Z CA = R N + jX CA

dengan X AB , X BC , X CA adalah reaktansi bersama per satuan panjang.


Perhatikan bahwa impedansi bersama hanya mengandung RN , tidak
mengandung resistansi konduktor fasa.

100 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

Jika panjang saluran adalah d, maka untuk ketiga loop, sesuai dengan
Gb.6.1, terdapat relasi

V AA′ = V A − V A′ = d (I A Z AA + I B Z AB + I C Z AC )
VBB′ = VB − VB′ = d (I A Z AB + I B Z BB + I C Z BC ) (6.3.a)
VCC ′ = VC − VC′ = d (I A Z AC + I B Z BC + I C Z CC )

Persamaan (6.3.)ini dapat kita tulis dalam bentuk matriks sebagai


 V AA′   Z AA Z AB Z AC   I A 
1   
V BB′  =  Z BA Z BB Z BC   I B  (6.3.b)
d   
VCC ′   Z CA Z CB Z CC  I C 

Konfigurasi ∆ (Segitiga Sama-sisi). Konfigurasi ini adalah konfigurasi


segitiga sama-sisi di mana konduktor fasa berposisi di puncak-puncak
segitiga, D AB = D BC = D AC = D . Konduktor netral berposisi di titik
berat segitiga sehingga D AN = D BN = DCN = D / 3 .

D D

D/ 3
D
Gb.6.2. Konfigurasi ∆ (equilateral).
Pada konfigurasi yang simetris ini induktansi bersama di ketiga fasa
sama besar, dan X AB = X BC = X CA = X m . Jika resistansi konduktor
fasa sama besar yaitu R A = R B = RC = R , dan impedansi sendiri juga
samabesar X A = X B = X C = X s , maka pada konfigurasi ∆ yang
simetris ini dapat kita peroleh
Z AB = Z BC = Z CA = Z m
(6.4)
Z AA = Z BB = Z CC = Z S
sehingga (6.3.b) dapat dituliskan:

101
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

 V AA′   Z s Zm Z m  I A 
    
Z m   I B 
1
d  V BB′  =  Z m Zs (6.5)
VCC ′   Z m Zm Z s  I C 
  

Transposisi. Suatu upaya untuk membuat konfigurasi lateral menjadi


simetris adalah melakukan transposisi, yaitu mempertukarkan posisi
konduktor sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan transmisi
mempunyai konfigurasi simetris ataupun hampir simetris seperti terlihat
pada Gb.6.3. Panjang total saluran, d, dibagi dalam tiga seksi dan posisi
konduktor fasa dipertukarkan secara berurutan di ketiga seksi tersebut.
Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.6.3 memiliki resistansi dan
reaktansi sendiri per satuan panjang sama besar . Kita dapat mencari
formulasi impedansi fasa dengan melihat seksi per seksi. Analisis detil
ada di buku “Analisis Sistem Tenaga”.

D AN = D1 D AN = D 2 D AN = D3
D BN = D 2 D BN = D3 D BN = D1
DCN = D3 DCN = D1 DCN = D 2
Gb.6.3. Transposisi.
Dengan melakukan transposisi maka kita mendapatkan relasi sama
seperti pada konfigurasi ∆
 V AA′   Z s Zm Z m  I A 
1   
V BB′  =  Z m Zs Z m   I B  (6.6)
d   
VCC ′   Z m Zm Z s  I C 

yang sudah barang tentu dengan formulasi impedansi yang berbeda.

102 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

Pembebanan Seimbang. Pada pembebanan seimbang, arus di konduktor


balin N adalah nol, ( I A + I B + I C ) = 0 . Kita lihat situasi di salah satu
fasa dari persamaan (6.5) ataupun (6.6) yaitu
1
V AA′ = Z s I A + Z m I B + Z m I C
d
yang dengan (6.1), (6.2), dan (6.4) dapat kita tulis menjadi
1
V AA′ = ( R A + jX A ) I A + R N I A + Z m (I B + I C )
d
= Z AA I A + ( R N + jX m − jX m )I A + Z m (I B + I C )
= Z AA I A − Z m I A + Z m ( I B + I C + I A )
= ( Z AA − Z m ) I A

Dengan cara yang sama kita dapatkan formulasi yang identik


1 1
VBB = ( Z BB − Z m ) I B dan VCC = ( Z CC − Z m ) I C . Jadi untuk
d d
pembebanan seimbang, kita dapat melakukan analisis dengan model satu
fasa, dengan relasi
1
V AA′ = ( Z AA − Z m ) I A (6.7)
d
6.3. Admitansi
Antara konduktor fasa dan konduktor balik terdapat kapasitansi. Adanya
kapasitansi ini menyebabkan terjadinya arus kapasitif yang “bocor” dari
konduktor fasa ke konduktor balik, dan ini terjadi di semua fasa. Arus
kapasitif ini terdistribusi sepanjang saluran transmisi. Jika kapasitansi per
satuan panjang adalah C maka terdapat impedansi kapasitif per satuan
panjang Z kapasitif = 1 / jωC dengan kata lain terdapat admitansi per
satuan panjang Y = 1 / Z kapasitif = jωC . Arus kapasitif per satuan
panjang dapat dinyatakan dengan formulasi
I x = YV x (6.8)

Pada formulasi (6.8) ini, Ix adalah arus kapasitif per satuan panjang di
suatu posisi x di saluran transmisi, dan Vx adalah tegangan di posisi yang
sama. Kita ingat bahwa tegangan konduktor fasa menurun sepanjang
saluran transmisi dari ujung kirim ke ujung terima.

103
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

6.4. Persamaan Saluran Transmisi


Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi sepanjang
saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Oleh karena itu dalam
penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan arus antara setiap
posisi yang berbeda. Kita lihat salah satu fasa saluran transmisi, seperti
pada Gb.6.4.
∆x
I s + ∆x Ix Ir
Z∆x I x

Vs V s + ∆x Vx Vr
Y∆ x V x

x
Gb.6.4 Model satu fasa saluran transmisi.
Saluran transmisi ini bertegangan Vs di ujung kirim dan Vr di ujung
terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima dan kita
perhatikan satu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim. Pada segmen kecil
ini terjadi hal-hal berikut:
• Di posisi x terdapat tegangan Vx .
• Di posisi (x + ∆x) terdapat tegangan Vx + ∆x karena terjadi tegangan
jatuh ∆Vx = Z∆xI x . Di sini Z adalah impedansi per satuan
panjang, Z = Z AA − Z m .
• Arus I x mengalir dari x menuju ujung terima.
• Arus ∆I x = Y∆xVx mengalir di segmen ∆x (Y adalah admitansi per
satuan panjang).
• Arus I x + ∆x mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung kirim.

Pada segmen ∆x ini kita peroleh relasi berikut:


Vx + ∆x − Vx
Vx + ∆x − Vx = Z∆xI x atau = ZI x
∆x
I − Ix
I x + ∆x − I x = Y∆xVx atau x + ∆x = YVx
∆x
104 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

Jika ∆x mendekati nol, maka


dVx dI x
= ZI x dan = YVx (6.9)
dx dx
Jika (6.9) kita turunkan sekali lagi terhadap x kita peroleh

d 2 Vx dI x d 2I x dV x
=Z dan =Y (6.10)
2 dx 2 dx
dx dx
Substitusi (6.9) ke (6.10) memberikan

d 2 Vx d 2I x
= ZYVx dan = ZYI x (6.11)
dx 2 dx 2
Konstanta Propagasi. Persamaan (6.11) ini telah menjadi sebuah
persamaan di mana ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama
(tegangan atau arus) sehingga solusi dapat dicari. Untuk mencari solusi
tersebut didefinisikan

γ 2 = ZY atau γ = ZY (6.12)

γ disebut konstanta propagasi. Karena Z memiliki satuan Ω/m dan Y


memiliki satuan S/m, maka γ memiliki satuan per meter. Selain itu
karena Z dan Y merupakan bilangan kompleks maka γ juga merupakan
bilangan kompleks yang dapat dituliskan sebagai
γ = α + jβ (6.13)

α disebut konstanta redaman, yang akan mengubah amplitudo tegangan


dari satu posisi ke posisi yang lain.
β disebut konstanta fasa, yang akan mengubah sudut fasa tegangan dari
satu posisi ke posisi yang lain.

Impedansi Karakteristik. Dengan menggunakan pengertian konstanta


propagasi maka persamaan tegangan dan arus (6.11) dapat dituliskan
menjadi
d 2 Vx d 2I x
= γ 2 Vx dan = γ2I x (6.14.a)
2 2
dx dx
atau

105
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

d 2 Vx d 2I x
− γ 2 Vx = 0 dan − γ 2I x = 0 (6.14.b)
2 2
dx dx
Solusi persamaan (6.14.b) adalah :

Vx = k v1e γx + k v 2 e − γx dan I x = ki1e γx + ki 2 e − γx (6.14.c)

Kita lihat lebih dulu persamaan pertama (6.14.c) yaitu

Vx = k v1e γx + k v1e − γx (6.15.a)

Turunan (6.15.a) terhadap x memberikan

dVx
= k v1γe γx − k v 2 γe γx (6.15.b)
dx
dVx
sedangkan persamaan pertama (6.9) memberikan = ZI x
dx
sehingga (6.15.b) dan (6.9) memberikan

k v1γe γx − k v 2 γe γx = ZI x (6.15.c)

Konstanta propagasi γ didefinisikan pada (6.12) yaitu γ = ZY

Kita masukkan γ ke (6.15.c) dan kita peroleh

( )
ZY k v1e γx − k v 2 e γx = Z I x

atau
Z Z
k v1e γx − k v 2 e γx = Ix = Ix (6.15.d)
ZY Y

Perhatikan bahwa ruas paling kiri (6.15.d) adalah ruas kanan persamaan
(6.15.a), yaitu tegangan. Hal ini berarti bahwa ruas paling kanan juga
Z
berdimensi tegangan. Oleh karena itu di ruas paling kanan (6.15.c)
Y
haruslah berdimensi impedansi; impedansi ini disebut impedansi
karakteristik, Zc.
Z
Zc = (6.16)
Y

106 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

Perhatikan bahwa kita sedang meninjau satu segmen kecil dari suatu
saluran transmisi yaitu sepanjang ∆x; dan kita memperoleh suatu besaran
impedansi yaitu impedansi karakteristik, Zc. Kita dapat menduga bahwa
impedansi ini terasakan/terdapat di setiap segmen saluran transmisi dan
oleh karena itu dia menjadi karakteristik suatu saluran transmisi.
Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (6.15.d) kita tulis
menjadi
k v1e γx − k v 2 e γx = Z c I x (6.17)

Kita lihat sekarang situasi di ujung terima, dimana x = 0. Persamaan


pertama (6.14.c) memberikan tegangan di setiap poisi x, yaitu
Vx = k v1e γx + k v1e − γx . Dengan memberikan x = 0 pada (6.14.c) ini kita
dapatkan tegangan di ujung terima
k v1 + k v 2 = Vr (6.18.a)

sedangkan pada x = 0 persamaan (6.17) memberikan arus di ujung terima


yaitu
k v1 − k v 2 = Z c I r (6.18.b)

Dari (6.18.a) dan (6.18.b) kita peroleh


Z I + Vr Vr − Z c I r
k v1 = c r kv 2 = (6.18.c)
2 2
Dengan (6.18.c) ini maka persamaan tegangan di setiap posisi x, yaitu
persamaan pertama (6.14.c) menjadi

Vx = k v1e γx + k v 2 e − γx
Z I + Vr γx Vr − Z c I r − γx
= c r e + e
2 2 (6.19)
e γx + e − γx e γx − e − γx
= Vr + ZcIr
2 2
= Vr cosh( γx) + Z c I r sinh(λx)

Inilah persamaan tegangan di setiap posisi x apabila tegangan dan arus di


ujung terima berturut turut adalah Vr dan I r .

Selanjutnya persamaan arus di setiap posisi x yaitu persamaa ke-dua


(6.14.c) dapat kita olah dengan cara yang sama.
107
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

dI x
I x = k i1e γx + ki 2 e − γx → = ki1γe γx − ki 2 γe − γx = YVx
dx
(6.20.a)
1
→ ki1e γx − ki 2 e − γx = Vx
Zc
Untuk x = 0,
1
k i1 + k i 2 = I r k i1 − k i 2 = Vr
Zc

sehingga diperoleh
I + Vr / Z c I − Vr / Z c
k i1 = r ki 2 = r (6.20.b)
2 2
Dengan (6.20.b) ini kita peroleh
I + Vr / Z c γx I r − Vr / Z c − γx
Ix = r e + e
2 2
Vr e γx − e − γx e γx + e − γx
= + Ir (6.20.c)
Zc 2 2
Vr
= sinh( λx) + I r cosh( γx)
Zc
Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan
Vx = Vr cosh( γx) + Z c I r sinh( γx)
V (6.21)
I x = r sinh( γx) + I r cosh( γx)
Zc

Persamaan (6.21) ini memberikan nilai tegangan di setiap posisi x pada


saluran transmisi apabila tegangan dan arus di ujung terima diketahui.
Dengan bantuan komputer tidaklah terlalu sulit untuk melakukan
perhitungan untuk setiap nilai x. Parameter yang terlibat dalam
perhitungan adalah konstanta propagasi γ dan impedansi karakteristik Zc.
Konstanta propagasi mempunyai satuan per meter yang ditunjukkan oleh
persamaan (6.12); impedansi karakteristik mempunyai satuan ohm
(bukan ohm per meter) yang ditunjukkan oleh (6.16).

108 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

6.5. Rangkaian Ekivalen π Saluran Transmisi


Kita telah telah melihat adanya impedansi dan admitansi yang
terdistribusi sepanjang saluran transmisi yang ratusan kilometer
panjangnya. Selain itu kita telah melihat pula bahwa dengan transposisi
saluran transmisi dibuat menjadi simetris. Dengan menggunakan model
satu fasa, parameter terdistribusi tersebut akan kita nyatakan sebagai
parameter tergumpal dalam suatu rangkaian ekivalen. Rangkaian
ekivalen diperlukan dalam analisis saluran transmisi karena saluran
transmisi terhubung dengan piranti lain yang juga dinyatakan dengan
rangkaian ekivalen. Kita akan meninjau suatu rangkaian ekivalen yang
disebut rangkaian ekivalen π seperti terlihat pada Gb.6.6.
Is Ir

Zt
Yt Yt
Vs Vr
2 2

Gb.6.6. Rangkaian ekivalen π.


Jika panjang saluran adalah d, tegangan dan arus di ujung kirim kita
sebut Vs dan I s , sedangkan panjang saluran transmisi adalah d maka
dari (6.21) kita peroleh
Vs = Vr cosh( γd ) + Z c I r sinh( γd )
V (6.22)
I s = r sinh( γd ) + I r cosh( γd )
Zc

Aplikasi hukum Kirchhoff pada rangkaian ini memberikan:

 Y   ZY 
Vs = Vr + Z t  I r + t Vr  = 1 + t t  Vr + Z t I r (6.23.a)
 2   2 

Y Y Y Y  Z Y  
I s = I r + t Vr + t Vs = I r + t Vr + t 1 + t t Vr + Z t I r 
2 2 2 2  2   (6.23.b)
 Z t Yt  Yt  Z t Yt 
= 2 +  Vr + 1 + I r
 2  2  2 

109
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa

Kita ringkaskan (6.23.a dan b) menjadi :


 ZY 
Vs = 1 + t t Vr + Z t I
 2  (6.24)
 ZY  Yt  ZY 
Is = 2 + t t  Vr + 1 + t t  I r
 2 2  2 
Jika kita perbandingkan persamaan ini dengan persamaan tegangan dan
arus pada (6.14) yaitu
Vs = Vr cosh( γd ) + Z c I r sinh( γd )
V (6.14)
I s = r sinh( γd ) + I r cosh( γd )
Zc

kita dapatkan
Z t Yt
1+ = cosh(γd )
2
Z t = Z c sinh( γd ) (6.25)
 Z Y Y 1
2 + t t  t = sinh( γd )
 2  2 Zc

Substitusi persamaan pertama (6.25) ke persamaan ke-tiga (6.25)


memberikan
Yt sinh( γd ) (e γd − e − γd ) / 2
= =
2 Z c (cosh( γd ) + 1) Z c (e γd + e − γd + 2) / 2

(e γd / 2 − e − γd / 2 ) × (e γd / 2 + e − γd / 2 )
=
Z c (e γ d / 2 + e − γ d / 2 ) 2
(e γd / 2 − e − γd / 2 ) 1  γd 
= = tanh  
γd / 2 − γd / 2
Z c (e +e ) Zc  2 
Jadi dalam rangkaian ekivalen π
Yt 1  γd 
Z t = Z c sinh( γd ) dan = tanh   (6.26)
2 Zc  2 
d = jarak antara ujung-terima dan ujung-kirim, Zc = impedansi
karakteristik.

110 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

BAB 7 Pembebanan Nonlinier


(Analisis Di Kawasan Waktu)

Penyediaan energi elektrik pada umumnya dilakukan dengan


menggunakan sumber tegangan berbentuk gelombang sinus. Arus yang
mengalir diharapkan juga berbentuk gelombang sinus. Namun
perkembangan teknologi terjadi di sisi beban yang mengarah pada
peningkatan efisiensi peralatan dalam penggunaan energi listrik. Alat-
alat seperti air conditioner, refrigerator, microwave oven, sampai ke
mesin cuci dan lampu-lampu hemat energi makin banyak digunakan dan
semua peralatan ini menggunakan daya secara intermittent. Peralatan
elektronik, yang pada umumnya memerlukan catu daya arus searah juga
semakin banyak digunakan sehingga diperlukan penyearahan arus.
Pembebanan-pembebanan semacam ini membuat arus beban tidak lagi
berbentuk gelombang sinus.
Bentuk-bentuk gelombang arus ataupun tegangan yang tidak berbentuk
sinus, namun tetap periodik, tersusun dari gelombang-gelombang sinus
dengan berbagai frekuensi. Gelombang periodik nonsinus ini
mengandung harmonisa.

7.1. Sinyal Nonsinus


Dalam pembahasan harmonisa kita akan menggunakan istilah sinyal
nonsinus untuk menyebut secara umum sinyal periodik seperti sinyal gigi
gergaji dan sebagainya, termasuk sinyal sinus terdistorsi yang terjadi di
sistem tenaga.
Dalam “Analisis Rangkaian Listrik Jilid-1” kita telah membahas
bagaimana mencari spektrum amplitudo dan sudut fasa dari bentuk
sinyal nonsinus yang mudah dicari persamaannya [2]. Berikut ini kita
akan membahas cara menentukan spektrum amplitudo sinyal nonsinus
melalui pendekatan numerik. Cara ini digunakan jika kita menghadapi
sinyal nonsinus yang tidak mudah dicari persamaannya. Cara pendekatan
ini dapat dilakukan dengan bantuan komputer sederhana, terutama jika
sinyal disajikan dalam bentuk kurva hasil dari suatu pengukuran analog.
Dalam praktik, sinyal nonsinus diukur dengan menggunakan alat ukur
elektronik yang dapat menunjukkan langsung spektrum amplitudo dari
sinyal nonsinus yang diukur.

111
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Penafsiran Grafis Deret Fourier. Pencarian spektrum amplitudo suatu


sinyal periodik y(t) dilakukan melalui penghitungan koefisien Fourier
dengan formula seperti berikut ini.
1 T0 / 2
a0 =
T0 ∫−T / 2 y(t )dt
0

2 T0 / 2
an =
T0 ∫−T / 2 y(t ) cos(nω0 t )dt
0
; n>0

2 T0 / 2
bn =
T0 ∫−T / 2 y(t ) sin(nω0 t )dt
0
; n>0

dengan T0 adalah perioda sinyal.


T0 / 2
Integral ∫−T / 2 y(t )dt
0
adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva y(t)

dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika luas bidang dalam
rentang satu perioda ini dikalikan dengan (1/T0), yang berarti dibagi
dengan T0, akan memberikan nilai rata-rata y(t) yaitu nilai komponen
searah a0.
T0 / 2
Integral ∫−T / 2 y(t ) cos(nω0t )dt
0
adalah luas bidang yang dibatasi oleh

kurva y (t ) cos(nω0 t ) dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika


luas bidang ini dikalikan dengan (2/T0), yang berarti dibagi (T0/2), akan
diperoleh an. Di sini T0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T0
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω0.
T0 / 2
Integral ∫−T / 2 y(t ) sin(nω0t )dt
0
adalah luas bidang yang dibatasi oleh

kurva y (t ) sin(nω0 t ) dengan sumbu-x dalam rentang satu perioda. Jika


luas ini dikalikan dengan (2/T0) akan diperoleh bn. Seperti halnya
penghitungan an, T0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T0
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω0.
Dengan penafsiran hitungan integral sebagai luas bidang, maka
pencarian koefisien Fourier dapat didekati dengan perhitungan luas
bidang. Hal ini sangat membantu karena perhitungan analitis hanya dapat
dilakukan jika sinyal nonsinus yang hendak dicari komponen-

112 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

komponennya diberikan dalam bentuk persamaan yang cukup mudah


untuk diintegrasi.

Prosedur Pendekatan Numerik. Pendekatan numerik integral sinyal y(t)


dalam rentang p ≤ t ≤ q dilakukan sebagai berikut.
1. Kita bagi rentang p ≤ t ≤ q ke dalam m segmen dengan lebar
masing-masing ∆tk; ∆tk bisa sama untuk semua segmen bisa juga
tidak, tergantung dari keperluan. Integral y(t) dalam rentang p ≤ t ≤
q dihitung sebagai jumlah luas seluruh segmen dalam rentang
tersebut. Setiap segmen dianggap sebagai trapesium; sisi kiri suatu
segmen merupakan sisi kanan segmen di sebelah kirinya, dan sisi
kanan suatu segmen menjadi sisi kiri segmen di sebelah kanannya.
Jika sisi kanan segmen (trapesium) adalah Ak maka sisi kirinya
adalah Ak-1, maka luas segmen ke-k adalah
Lk = ( Ak + Ak −1 ) × ∆t k / 2 (7.1)

Jadi integral f(t) dalam rentang p ≤ x ≤ q adalah

q m

∫p f (t ) dt ≈ ∑ Lk (7.2)
k =1

2. Nilai ∆tk dipilih sedemikian rupa sehingga error yang terjadi masih
berada dalam batas-batas toleransi yang kita terima. Jika sinyal
diberikan dalam bentuk grafik, untuk mencari koefisien Fourier dari
harmonisa ke-n, satu perioda dibagi menjadi tidak kurang dari 10×n
segmen agar pembacaan cukup teliti dan error yang terjadi tidak
lebih dari 5%. Untuk harmonisa ke-5 misalnya, satu perioda dibagi
menjadi 50 segmen. Ketentuan ini tidaklah mutlak; kita dapat
memilih jumlah segmen sedemikian rupa sehingga pembacaan
mudah dilakukan namun cukup teliti.
3. Relasi untuk memperoleh nilai koefisien Fourier menjadi seperti
berikut:

113
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

m
[Ak + Ak −1 ]∆t k ∑ Lka0

1
a0 = =
T0 2 T0
k =1
m
[Ak cos( nω 0 t ) + Ak −1 cos(nω 0 t k −1 )]∆t k ∑ Lkan

2
an = =
T0 2 T0 / 2
k =1
m
[Ak sin( nω0 t ) + Ak −1 sin( nω 0 t k −1 )]∆t k ∑ Lkbn

2
bn = =
T0 2 T0 / 2
k =1
(7.3)
4. Formula untuk sudut fasa adalah
b 
ϕ n = tan −1  n 
 (7.4)
 an 
5. Perlu disadari bahwa angka-angka yang diperoleh pada pendekatan
numerik bisa berbeda dengan nilai yang diperoleh secara analitis.
Jika misalkan secara analitis seharusnya diperoleh a1 = 0 dan b1 =
150, pada pendekatan numerik mungkin diperoleh angka yang
sedikit menyimpang, misalnya a1 = 0,01 dan b1 = 150,2.

6. Amplitudo dari setiap komponen harmonisa adalah An = a n2 + bn2 .


Sudut fasa dihitung dalam satuan radian ataupun derajat dengan
mengingat letak kuadran dari vektor amplitudo seperti telah dibahas
pada waktu kita membahas spektrum sinyal. Persamaan sinyal
nonsinus adalah

y (t ) = a 0 + ∑  a n2 + bn2 cos(nω 0 t − ϕ n )

(7.5)
n =1
Berikut ini kita lihat sinyal periodik yang diberikan dalam bentuk kurva
yang tak mudah dicari persamaannya. Prosedur pendekatan numerik
dilakukan dengan membaca kurva yang memerlukan kecermatan. Hasil
pembacaan kita muatkan dalam suatu tabel seperti pada contoh berikut
ini.

114 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

CONTOH-7.1:
200
y[volt]
150

100

50

0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014 0,016 0,018 0,02

-50 t[detik]

-100

-150

-200

Carilah komponen searah, fundamental, dan harmonisa ke-3 sinyal


periodik y(t) yang dalam satu perioda berbentuk seperti yang
diperlihatkan dalam gambar di atas. Perhatikan bahwa gambar ini
adalah gambar dalam selang satu periode yang berlangsung dalam
0,02 detik, yang sesuai dengan frekuensi kerja 50 Hz.
Penyelesaian: Perhitungan diawali dengan menetapkan nilai t
dengan interval sebesar ∆t = 0,0004 detik, kemudian menentukan Ak
untuk setiap segmen. Sisi kiri segmen pertama terjadi pada t = 0 dan
sisi kanannya menjadi sisi kiri segmen ke-dua; dan demikian
selanjutnya dengan segmen-segmen berikutnya. Kita tentukan pula
sisi kanan segmen terakhir pada t = T0. Hasil perhitungan yang
diperoleh dimuatkan dalam Tabel-1.1 (hanya ditampilkan sebagian),
dimana sudut fasa dinyatakan dalam satuan radian. Pembulatan
sampai 2 angka di belakang koma.

115
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Tabel-7.1. Analisis Harmonisa Sinyal Nonsinus pada Contoh-7.1.


T0 = 0,02 s Komp. Fundamental
∆tk = 0,0004 s f0 = 1/T0 = 50 Hz Harmonisa ke-3
searah
t Ak Lka0 Lka1 Lkb1 Lka3 Lkb3
0 50
0,0004 75 0,025 0,025 0,002 0,024 0,006
0,0008 100 0,035 0,034 0,007 0,029 0,019
0,0012 120 0,044 0,042 0,014 0,025 0,035
: : : : : : :
0,0192 -5 -0,006 -0,006 0,002 -0,003 0,005
0,0196 20 0,003 0,003 0,000 0,003 -0,001
0,02 50 0,014 0,014 -0,001 0,014 -0,001

Jumlah Lk 0,398 0,004 1,501 -0,212 0,211


a0 19,90
a1, b1 0,36 150,05
a3, b3 −21,18 21,13
Ampli-1, ϕ1 150,05 1,57
Ampli-3, ϕ3 29,92 -0,78

Tabel ini memberikan


a 0 = 19,90

a1 = 0,36; b1 = 150,05 ⇒ A1 = 0,36 2 + 150,05 2 = 150,05


ϕ1 = tan −1 (150,05 / 0,36) = 1,57

a3 = −21,18; b3 = 21,13 ⇒ A3 = (−21,18) 2 + 21,13 2 = 29,92


ϕ 3 = tan −1 (21,13 / − 21,18) = −0,78

Sesungguhnya kurva yang diberikan mengandung pula harmonisa ke-


dua. Apabila harmonisa ke-dua dihitung , akan memberikan hasil
a 2 = 49,43 dan b2 = −0,36
amplitudo A2 = 49,43 dan ϕ 2 = −0,01

116 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Dengan demikian uraian sampai dengan harmonisa ke-3 dari sinyal


yang diberikan adalah
y (t ) = 19,90 + 150,05 cos(2πf 0 t − 1,57) + 49,43 cos(4πf 0 t + 0,01)
+ 29,92 cos(6πf 0 t + 0,78)

7.2. Elemen Linier Dengan Sinyal Nonsinus


Hubungan tegangan dan arus elemen-elemen linier R, L, C, pada sinyal
sinus di kawasan waktu berlaku pula untuk sinyal periodik nonsinus.
CONTOH-7.2: Satu kapasitor C mendapatkan tegangan nonsinus
v = 100 sin(ωt + 0,5) + 20 sin(3ωt − 0,2) + 10 sin(5ωt + 1,5) V

(a) Tentukan arus yang mengalir pada kapasitor. (b) Jika C = 30 µF,
dan frekuensi f = 50 Hz, gambarkan (dengan bantuan komputer)
kurva tegangan dan arus kapasitor.
Penyelesaian:
dv
(a) Hubungan tegangan dan arus kapasitor adalah iC = C
dt
Oleh karena itu arus kapasitor adalah

d {100 sin(ωt + 0,5) + 20 sin(3ωt − 0,2) + 10 sin(5ωt + 1,5)}


iC = C
dt
= 100ωC cos(ωt + 0,5) + 60ωC cos(3ωt − 0,2)
+ 50ωC cos(5ωt + 1,5)
= 100ωC sin(ωt + 2,07) + 60ωC sin(3ωt + 1,37)
+ 50ωC sin(5ωt + 3,07) A

(b) Kurva tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.


150
[V] vC
100 5 [A]

50 2,5
iC
0 0
0 0.005 0.01 0.015 detik 0.02
-50 −2,5

-100 −5

-150

117
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Kurva tegangan dan arus pada contoh ini merupakan fungsi-fungsi


nonsinus yang simetris terhadap sumbu mendatar. Nilai rata-rata
fungsi periodik demikian ini adalah nol. Pendekatan numerik
memberikan nilai rata-rata

v rr = 1,8 × 10 −14 V dan i rr = 5 × 10 −17 A.

Nilai Rata-Rata. Sesuai dengan definisi untuk nilai rata-rata, nilai rata-
rata sinyal nonsinus y(t) dengan perioda T0 adalah
1 T
Yrr =
T0 ∫0 y(t )dt (7.6)

Nilai rata-rata sinyal nonsinus adalah komponen searah dari sinyal


tersebut.

Nilai Efektif. Definisi nilai efektif sinyal periodik y(t) dengan perioda T0
adalah
1 T
Yrms =
T0 ∫0 y 2 (t )dt (7.7)

Dengan demikian maka nilai efektif sinyal sinus y1 = Ym1 sin(ωt + θ)


adalah

1 T Ym1
Y1rms = ∫0 Ym1 sin (ωt + θ)dt =
2 2 (7.8)
T0 2

Nilai efektif sinyal nonsinus y (t ) = Y0 + ∑ Ymn sin(nω0 t + θ n ) adalah
n =1
2

1 T  
Yrms =
T0 0  ∫Y0 + ∑
Ymn sin(nω 0 t + θ n )  dt

 n =1 

Jika ruas kiri dan kanan dikuadratkan, kita dapatkan


2

1 T  
Y rms =
2
T0 0  ∫
Y0 + ∑
Ymn sin( nω 0 t + θ n )  dt

atau
 n =1 

118 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

T ∞ 
∑ Ymn2 sin 2 (nω0t + θ n ) dt
1 Y 2 +
Y 2 rms =
T0 ∫0  0
 n =1 
 ∞ 
 2Y
 0 ∑
Ymn sin( nω 0 t + θ n ) 

 n =1 
 ∞  (7.9)

1 T  + 2Ym1 sin(ω 0 t + θ1 ) Ymn sin(nω 0 t + θ n ) 
+ 
T0 0 ∫ n =2
dt

 ∞ 


 + 2Ym 2 sin(2ω 0 t + θ 2 ) Ymn sin(nω 0 t + θ n ) 

n =3
 
 + ................................. 

Melalui kesamaan trigonometri


2 sin α sin β = cos(α − b) − cos(α + β)

dan karena Y0 bernilai tetap maka suku ke-dua ruas kanan (7.8)
merupakan penjumlahan nilai rata-rata fungsi sinus yang masing-masing
memiliki nilai rata-rata nol, sehingga suku ke-dua ini bernilai nol. Oleh
karena itu (7.9) dapat kita tulis

1 T  2 
Y 2 rms = ∫
T 0 
Y0 + 2
Ynm ∑
sin 2 (nω 0 t + θ n ) dt

(7.10)
 n =1 
atau

t ∞ T
∑ T ∫0 Ynm2 sin 2 (nω0t + θn )dt
1 1
Y 2rms =
T ∫0 Y02dt +
n =1 (7.11)

= Y02 + ∑ 2
Ynrms
n =1

Persamaan (7.11) menunjukkan bahwa kuadrat nilai efektif sinyal non


sinus sama dengan jumlah kuadrat komponen searah dan kuadrat semua
nilai efektif konponen sinus. Kita perlu mencari formulasi yang mudah
untuk menghitung nilai efektif ini. Kita bisa memandang sinyal nonsinus
sebagai terdiri dari tiga macam komponen yaitu komponen searah (y0),

119
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

komponen fundamental (y1), dan komponen harmonisa (yh). Komponen


searah adalah nilai rata-rata sinyal, komponen fundamental adalah
komponen dengan frekuensi fundamental ω0, sedangkan komponen
harmonisa merupakan jumlah dari seluruh komponen harmonisa yang
memiliki frekuensi nω0 dengan n > 1. Jadi sinyal nonsinus y dapat
dinyatakan sebagai
y = y 0 + y1 + y h

Akan tetapi kita juga dapat memandang sinyal nonsinus sebagai terdiri
dari dua komponen saja, yaitu komponen fundamental dan komponen
harmonisa total di mana komponen yang kedua ini mencakup komponen
searah. Alasan untuk berbuat demikian ini adalah bahwa dalam proses
transfer energi, komponen searah dan harmonisa memiliki peran yang
sama; hal ini akan kita lihat kemudian. Dalam pembahasan selanjutnya
kita menggunakan cara pandang yang ke-dua ini. Dengan cara pandang
ini suatu sinyal nonsinus dinyatakan sebagai
y = y1 + y h (7.12)

dengan y1 = Y1m sin(ω 0 t + θ1 )


k
dan y h = Y0 + ∑ Ynm sin(nω0 t + θ n ) .
n=2

Dengan demikian maka relasi (1.11) menjadi


Y 2 rms = Y12rms + Yhrms
2
(7.13)

Dalam praktik, komponen harmonisa yh dihitung tidak melibatkan


seluruh komponen harmonisa melainkan dihitung dalam lebar pita
spektrum tertentu. Persamaan sinyal dijumlahkan sampai pada frekuensi
tertinggi yang ditentukan yaitu kω0; sinyal dengan frekuensi di atas batas
frekuensi tertinggi ini dianggap memiliki amplitudo yang sudah cukup
kecil untuk diabaikan.

CONTOH-7.2: Suatu tegangan berbentuk gelombang gigi gergaji


memiliki nilai maksimum 20 volt, dengan frekuensi 20 siklus per
detik. Hitunglah nilai tegangan efektif dengan: (a) relasi nilai efektif;
(b) uraian harmonisa.
Penyelesaian:

120 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

(a) Perioda sinyal 0,05 detik dengan persamaan: v(t ) = 400t .


Nilai efektif:
0,05
1 0,05 1 1600 3 
Vrms =
0,05 ∫0 (400t ) 2 dt =
0,05  3
t 
0
≈ 11,55 V

(b) Uraian sinyal ini sampai harmonisa ke-7 adalah diberikan dalam
contoh di Bab-3, yaitu
v(t ) = 10 − 6,366 sin ω 0 t − 3,183 sin 2ω 0 t − 2,122 sin 3ω 0 t − 1,592 sin 4ω 0 t
− 1,273 sin 5ω 0 t − 1,061sin 6ω 0 t − 0,909 sin 7ω 0 t V

Persamaan ini memberikan nilai efektif tegangan fundamental,


tegangan harmonisa, dan tegangan total sebagai berikut.
6,366
V1rms = ≈ 4,5 V
2
3,166 2 2,10 2
Vhrms = 10 2 + + ≈ 10,5 V
2 2
Vrms = V12rms + Vhrms
2
= 4,49 2 + 10,35 2 ≈ 11,4 V

Contoh ini menunjukkan bahwa sinyal gigi gergaji memiliki nilai


efektif harmonisa jauh lebih tinggi dari nilai efektif komponen
fundamentalnya.

CONTOH-7.3: Uraian dari penyearahan setengah gelombang arus sinus


i = sin ω0 t A sampai dengan harmonisa ke-10 adalah:
i (t ) = 0,318 + 0,5 cos(ω 0 t − 1,57) + 0,212 cos(2ω 0 t ) + 0,042 cos(4ω 0 t )
+ 0,018 cos(6ω0 t ) + 0.010 cos(8ω0 t ) + 0.007 cos(10ω0 t ) A

Hitung nilai efektif komponen arus fundamental, arus harmonisa,


dan arus total.
Penyelesaian:
Nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa dan arus total
berturut-turut adalah

121
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

0,5
I1rms = = 0,354 A
2

0,212 2 0,042 2 0,018 2 0,012 0,007 2


I hrms = 0,318 2 + + + + +
2 2 2 2 2
= 0,354 A

I rms = I 12rms + I hrms


2
= 0,354 2 + 0,354 2 ≈ 0,5 A

Contoh-7.3 ini menunjukkan bahwa pada penyearah setengah gelombang


nilai efektif komponen fundamental sama dengan nilai efektif komponen
harmonisanya.

CONTOH-7.4: Tegangan pada sebuah kapasitor 20 µF terdiri dari dua


komponen yaitu v1 = 200 sin ωt dan v15 = 20 sin 15ωt . Jika
diketahui frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitunglah: (a) nilai
efektif arus yang diberikan oleh v1; (b) nilai efektif arus yang
diberikan oleh v15; (c) arus efektif total; (d) gambarkan kurva ketiga
arus tersebut sebagai fungsi waktu.
Penyelesaian:
a). Komponen tegangan pertama adalah v1 = 200 sin(100πt ) V. Arus
yang diberikan oleh tegangan ini adalah
i1 = 20 × 10 −6 dv1 / dt = 20 × 10 −6 × 200 × 100π cos 100πt = 1,257 cos 100πt

1,257
Nilai efektifnya adalah: I1rms = = 0,89 A
2
b). Komponen tegangan ke-dua adalah v15 = 20 sin(1500πt ) V. Arus
yang diberikan oleh tegangan ini adalah
i15 = 20 × 10 −6 dv15 / dt = 20 × 10 −6 × 20 × 1500π sin 1500πt
= 1,885 cos 1500πt
1,885
Nilai efektifnya adalah: I15rms = = 1,33 A
2
c). Tegangan gabungan adalah
v = 200 sin(100πt ) + 20 sin(1500πt )

122 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Arus yang diberikan tegangan gabungan ini adalah


d
i = 20 × 10 −6 dv / dt = 20 × 10 −6 (v1 + v15 )
dt
= 1,257 cos 100πt + 1,885 cos 1500t
Arus ini merupakan jumlah dari dua komponen arus yang
berbeda frekuensi. Kurva arus ini pastilah berbentuk nonsinus.
Nilai efektif masing-masing komponen telah dihitung di
jawaban (a) dan (b). Nilai efektif sinyal non sinus ini adalah

I rms = I 12rms + I 15
2
rms = 0,89 + 1,33 = 1,60 A
2 2

d). Kurva ketiga arus tersebut di atas adalah sebagai berikut.


4
A3 i i1 i15
2

0
detik
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06
-1

-2

-3

-4

CONTOH-7.5: Arus i = 2 sin ωt + 0,2 sin 3ωt A, mengalir pada beban


yang terdiri dari resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan
induktor 0,5 H. Pada frekuensi 50 Hz: (a) gambarkan kurva
tegangan dan arus beban; (b) tentukan nilai efektif tegangan beban
dan arus beban.
Penyelesaian:
(a) Arus beban adalah i = 2 sin ωt + 0,2 sin 3ωt . Tegangan beban
adalah
di
v = v R + v L = iR + L
dt
= 200 sin ωt + 20 sin 3ωt + ω cos ωt + 0,3ω cos 3ωt V
Kurva tegangan dan arus beban dibuat dengan sumbu mendatar
dalam detik. Karena frekuensi 50 Hz, satu perioda adalah 0,02
detik.
123
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

600
V A
400 4
v
200 2
i
0 0
0 0.005 0.01 0.015 detik 0.02
-200 −2

-400 −4

-600
(b). Nilai efektif arus beban adalah
2 2 0,2 2
I rms = I12rms + I 32rms = + = 1,42 A
2 2
Tegangan beban adalah
v = 200 sin ωt + 20 sin 3ωt + ω cos ωt + 0,3ω cos 3ωt V
Nilai efektif tegangan beban, dengan ω=100π, adalah

200 2 + ω 2 20 2 + (0,3ω) 2
Vrms = + = 272 V
2 2

7.3. Daya Pada Sinyal Nonsinus


Pengertian daya nyata dan daya reaktif pada sinyal sinus berlaku pula
pada sinyal nonsinus. Daya nyata memberikan transfer energi netto,
sedangkan daya reaktif tidak memberikan transfer energi netto.
Kita tinjau resistor Rb yang menerima arus berbentuk gelombang
nonsinus
i Rb = i1 + i h
Nilai efektif arus ini adalah
2
I Rbrms = I12rms + I hrms
2

124 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Daya nyata yang diterima oleh Rb adalah

PRb = I Rbrms
2
× Rb = I12rms Rb + I hrms
2
Rb (7.14)

Formulasi (7.14) tetap berlaku sekiranya resistor ini terhubung seri


dengan induktansi, karena dalam bubungan seri demikian ini daya nyata
diserap oleh resistor, sementara induktor menyerap daya reaktif.

CONTOH-7.6: Seperti pada contoh-1.5, arus i = 2 sin ωt + 0,2 sin 3ωt


A mengalir pada resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan
induktor 0,5 H. Jika frekuensi fundamental 50 Hz: (a) gambarkan
dalam satu bidang gambar, kurva daya yang mengalir ke beban
sebagai perkalian tegangan total dan arus beban dan kurva daya
yang diserap resistor sebagai perkalian resistansi dan kuadrat arus
resistor; (b) hitung nilai daya rata-rata dari dua kurva daya pada
pertanyaan b; (c) berikan ulasan tentang kedua kurva daya tersebut.
Penyelesaian:
(a) Daya masuk ke beban dihitung sebagai: p = v × i
sedangkan daya nyata yang diserap resistor dihitung sebagai: pR =
i2R = vRiR
Kurva dari p dan pR terlihat pada gambar berikut.
600
W p = vi pR = i2R = vRiR
400

200

0
0 0.005 0.01 0.015 detik 0.02
-200

-400

(b) Daya rata-rata merupakan daya nyata yang di transfer ke beban.


Daya ini adalah daya yang diterima oleh resistor. Arus efektif
yang mengalir ke beban telah dihitung pada contoh-3.5. yaitu
1,42 A. Daya nyta yang diterima beban adalah

125
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

PR = I rms
2
R = (1,42) 2 × 100 = 202 W.
Teorema Tellegen mengharuskan daya ini sama dengan daya
rata-rata yang diberikan oleh sumber, yaitu p = vi. Perhitungan
dengan pendekatan numerik memberikan nilai rata-rata p adalah
Prr = 202 W
(c) Kurva pR selalu positif; nilai rata-rata juga positif sebesar 202 W
yang berupa daya nyata. Pada kurva p ada bagian yang negatif
yang menunjukkan adanya daya reaktif; nilai rata-rata kurva p
ini sama dengan nilai rata-rata kurva pR yang menunjukkan
bagian nyata dari daya tampak.

CONTOH-7.7: Tegangan nonsinus pada terminal resistor 20 Ω adalah


v = 100 sin(ωt + 0,5) + 20 sin(3ωt − 0,2) + 10 sin(5ωt + 1,5) V
Tentukan arus efektif yang mengalir dan daya nyata yang
diserap resistor.
Penyelesaian:
Arus yang mengalir adalah
v
i= = 5 sin( ωt + 0,5) + sin(3ωt − 0,2) + 0,5 sin(5ωt + 1,5) A
R
Nilai efektif masing-masing komponen arus adalah
5 1 0,5
I1rms = ; I 3rms = ; I 5rms =
2 2 2
Arus efektif yang mengalir adalah

25 1 0,25 26,25
I rms = + + = = 3,62 A
2 2 2 2
Daya nyata yang diserap resistor adalah
 25 1 0,25 
PR = I rms
2
R= + +  × 20 = 262,5 W
 2 2 2 

CONTOH-7.8: Tegangan nonsinus v = 100 sin ωt + 10 sin 3ωt V, terjadi


pada terminal beban yang terdiri dari resistor 100 Ω tersambung
paralel dengan kapasitor 50 µF. Jika frekuensi fundamental adalah
126 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

50 Hz, (a) Tentukan persamaan arus total beban; (b) hitung daya
nyata yang diserap beban.
Penyelesaian:
(a). Arus total (i) adalah jumlah arus yang melalui resistor (iR) dan
kapasitor (iC).
v
i R = = sin ωt + 0,1 sin 3ωt
R
= 50 × 10 −6 (100ω cos ωt + 30ω cos 3ωt )
dv
iC = C
dt
Arus total beban:
i = sin ωt + 0,1 sin 3ωt + 0,005 cos ωt + 0.0015ω cos 3ωt
(b). Arus efektif melalui resistor
12 0,12
I Rrms = + = 0,71 A
2 2
Daya nyata yang diserap beban adalah daya yang diserap
resistor:
PR = 0,712 × 100 = 50 W

7.4. Resonansi
Karena sinyal nonsinus mengandung harmonisa dengan berbagai macam
frekuensi, maka ada kemungkinan salah satu frekuensi harmonisa
bertepatan dengan frekuensi resonansi dari rangkaian. Frekuensi
resonansi telah kita bahas di bab sebelumnya. Berikut ini kita akan
melihat gejala resonansi pada rangkaian karena adanya frekuensi
harmonisa.
CONTOH-7.9: Suatu generator 50 Hz dengan induktansi internal 0,025
H mencatu daya melalui kabel yang memiliki kapasitansi total
sebesar 5 µF. Dalam keadaan tak ada beban tersambung di ujung
kabel, tentukan frekuensi harmonisa sumber yang akan memberikan
resonansi.
Penyelesaian:
Frekuensi resonansi adalah

127
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

1 1
ωr = = = 2828,4
LC 0,025 × 5 × 10 −6
2828,4
fr = = 450 Hz

Inilah frekuensi harmonisa ke-9.

CONTOH-7.10: Sumber tegangan satu fasa 6 kV, 50 Hz, mencatu


beban melalui kabel yang memiliki kapasitansi total 2,03 µF. Dalam
keadaan tak ada beban terhubung di ujung kabel, induktansi total
rangkaian ini adalah 0,2 H. Tentukan harmonisa ke berapa dari
sumber yang akan membuat terjadinya resonansi pada keadaan tak
ada beban tersebut.
Penyelesaian:
Frekuensi resonansi adalah
1 1
ωr = = = 1569,4 rad/det
LC 0,02 × 2,03 × 10 −6
1569,4
atau fr = = 249,78 Hz

Resonansi akan terjadi jika sumber mengandung harmonisa ke-5.
inonsinus
7.5. Pembebanan Nonlinier Rs p.i.
Dilihat Dari Sisi Beban vs +
− Rb
Rangkaian yang akan kita tinjau
terlihat pada Gb.7.1. Sebuah Gb.6.1. Pembebanan nonlinier.
sumber tegangan sinus
memberikan arus pada resistor Rb melalui saluran dengan resistansi Rs
dan sebuah pengubah arus p.i., misalnya penyearah; pengubah arus inilah
yang menyebabkan arus yang mengalir di Rb berbentuk gelombang
nonsinus.
Menurut teorema Tellegen, transfer daya elektrik hanya bisa terjadi
melalui tegangan dan arus. Namun dalam tinjauan dari sisi beban ini, Rb
hanya melihat bahwa ada arus yang diterima olehnya. Cara bagaimana
arus ini sampai ke beban tidaklah penting bagi beban.
i Rb = i1 + i h (7.15)

128 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

dengan i1 = I1m sin(ω 0 t + θ1 )


k
ih = I 0 + ∑ I nm sin(nω0t + θ n )
n=2

Inilah arus yang diterima oleh Rb.


Daya nyata yang diterima oleh Rb adalah

PRb = I12rms Rb + I hrms


2
Rb (7.16)

7.6. Pembebanan Nonlinier Dilihat Dari Sisi Sumber


Tegangan sumber berbentuk gelombang sinus, yaitu v s = Vs sin ω0 t .
Daya yang diberikan oleh sumber adalah tegangan sumber kali arus
sumber yang besarnya sama dengan arus beban. Jadi daya keluar dari
sumber adalah
p s = v s (t )i s (t )
 k 
 ∑
= V s I 1 sin ω 0 t sin(ω 0 t + θ1 ) + V s sin ω 0 t  I 0 + I n sin( nω 0 t + θ n ) 

 n=2 
(7.17)
Suku pertama (7.17) memberikan daya
 cos θ1 − cos(2ω0t + θ1) 
ps1 = Vs I1 sin ω0t sin(ω0t + θ1) = Vs I1 
 2  (7.18)
Vs I1 Vs I1
= cos θ1 − cos(2ω0t + θ1)
2 2
Walaupun suku ke-dua dari persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol
akan tetapi suku pertama mempunyai nilai tertentu. Hal ini berarti ps1
memberikan transfer energi netto.
Suku kedua (7.17) memberikan daya

p sh = V s I 0 sin ω 0 t + V s ∑ [I n sin(nω0t + θ n ) sin ω0 t ] (7.19)
n=2
= p s 0 + p sh 2

129
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Suku pertama persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol. Suku kedua
juga mempunyai nilai rata-rata nol karena yang berada dalam tanda
kurung pada (7.19) berbentuk fungsi cosinus.

I 
y = Vs ∑  2n {cos((n + 1)ω0 t + θ n ) − cos((n − 1)ω0 t + θ n )}
n =2
yang memiliki nilai rata-rata nol. Hal ini berarti bahwa psh tidak
memberikan transfer energi netto.
Jadi secara umum daya yang diberikan oleh sumber pada pembebanan
nonlinier dapat kita tuliskan sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu
p s = p s1 + p sh (7.20)

Dari dua komponen daya ini hanya komponen fundamental, ps1, yang
memberikan transfer energi netto. Dengan kata lain hanya ps1 yang
memberikan daya nyata, yaitu sebesar
V s I1
Ps1 = cos θ1 = V srms I1rms cos θ1 (7.21)
2
dengan θ1 adalah beda susut fasa antara vs dan i1. Sementara itu Psh
merupakan daya reaktif.
Menurut teorema Tellegen, daya nyata yang diberikan oleh sumber harus
tepat sama dengan daya yang diterima oleh beban. Daya nyata yang
diterima oleh Rb adalah PRb , jadi daya nyata yang diberikan oleh sumber,
yaitu Ps1, haruslah diserap oleh Rb dan Rs.

7.7. Kasus Penyearah Setengah Gelombang


Sebagai contoh dalam pembahasan pembebanan nonlinier ini, kita akan
mengamati penyearah setengah gelombang. Dengan penyearah ini, sinyal
sinus diubah sehingga arus mengalir setiap setengah perioda. Rangkaian
penyearah yang kita tinjau terlihat pada Gb.7.2.a.

vs R vR
a).

130 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Vs
vs
vs
is iR
iR pR pR
0 ωt [o]
pR 0 90 180 270 360 450 540 630 720

b). −Vs
Gb.7.2. Penyearah setengah gelombang dengan beban resistif.
Arus penyearah setengah gelombang mempunyai nilai pada setengah
perioda pertama (yang positif); pada setengah perioda ke-dua, ia bernilai
nol. Uraian fungsi ini sampai dengan harmonisa ke-6adalah

 0,318 + 0,5 cos(ω0 t − 1,57) + 0,212 cos(2ω0 t ) 


i (t ) = I m ×   V (7.22)
 + 0,042 cos(4ω0 t ) + 0,018 cos(6ω 0 t ) 

Dalam rangkaian yang kita tinjau ini hanya ada satu sumber yang
mencatu daya hanya kepada satu beban. Pada waktu dioda konduksi,
arus sumber selalu sama dengan arus beban, karena mereka terhubung
seri; tegangan beban juga sama dengan tegangan sumber karena dioda
dianggap ideal sedangkan resistor memiliki karakteristik linier dan
bilateral. Pada waktu dioda tidak konduksi arus beban maupun arus
sumber sama dengan nol. Gb.7.2.b. memperlihatkan bahwa hanya kurva
tegangan sumber yang merupakan fungsi sinus; kurva arus dan daya
merupakan fungsi nonsinus.
Pada persamaan (7.22) arus fundamental dinyatakan dalam fungsi
cosinus yaitu
i1 = 0,5I m cos(ω 0 t − 1,57)

Fungsi ini tidak lain adalah pergeseran 1,57 rad atau 90o ke arah positif
dari fungsi cosinus yang ekivalen dengan fungsi sinus
i1 = 0,5I m sin(ω 0 t )

Pernyataan i1 dalam fungsi sinus ini sesuai dengan pernyataan bentuk


gelombang tegangan yang juga dalam fungsi sinus. Dengan pernyataan
yang bersesuaian ini kita dapat melihat beda fasa antara keduanya;
ternyata dalam kasus penyearah setengah gelombang ini, arus
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.
131
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

CONTOH-7.11: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi


internal yang dapat diabaikan mencatu beban resistif melalui
penyearah setengah gelombang. Tegangan sumber adalah
v s = 380 sin ω 0 t V dan resistansi beban Rb adalah 3,8 Ω. Hitung
daya nyata yang diterima oleh beban dan daya nyata yang diberikan
oleh sumber.
Penyelesaian:
Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah 380/3,8 = 100 A.
Persamaan arus sampai harmonisa ke-enam menjadi

 31,8 + 50 cos(ω 0 t − 1,57) + 21,2 cos( 2ω 0 t ) 


i (t ) =   A
 + 4,2 cos( 4ω 0 t ) + 1,8 cos(6ω 0 t ) 
yang memberikan arus-arus efektif pada beban
50
I b1rms = A;
2
21,2 2 4,2 2 1,8 2
I bhrms = 31,8 2 + + + = 35,31 A;
2 2 2
Daya yang diterima beban adalah

P = I rms
2
(
Rb = I b21rms + I bhrms
2
)
× 3,8 = 9488 W ≈ 9,5 kW

Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber adalah


v s = 380 sin ω 0 t . Komponen arus fundamental yang diberikan oleh
sumber adalah sama dengan arus fundamental beban
i1s = i1Rb = 50 cos(ω 0 t − 1,57) = 50 sin ω 0 t A

dengan nilai efektif I 1srms = 50 / 2 A

Tak ada beda fasa antara tegangan sumber dan arus fundamentalnya.
Daya dikeluarkan oleh sumber adalah
380 50
Ps1 = V s rms I1s rms = × = 9,5 kW
2 2
Hasil perhitungan dari kedua sisi tinjauan adalah sama. Daya yang
diberikan oleh komponen fundamental sebagai fungsi waktu adalah

132 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

V I
p s1 = s 1 (1 − cos(2ω 0 t )
2
380 × 50
= (1 − cos(2ω 0 t ) = 19(1 − cos(2ω 0 t ) kW
2
Gb.7.3 memperlihatkan kurva ps1 pada Contoh-2.1 di atas. Kurva ps1
bervariasi sinusoidal namun selalu positif dengan nilai puncak 19 kW,
dan nilai rata-rata (yang merupakan daya nyata) sebesar setengah dari
nilai puncak yaitu 9,5 kW.
Kurva daya yang dikontribusikan oleh komponen searah, ps0 yaitu suku
pertama (7.19), dan komponen harmonisa psh2 yaitu suku ke-dua
persamaan (7.19), juga diperlihatkan dalam Gb.7.3. Kurva kedua
komponen daya ini simetris terhadap sumbu waktu yang berarti memiliki
nilai rata-rata nol. Dengan kata lain komponen searah dan komponen
harmonisa tidak memberikan daya nyata.
20000
ps1
W 15000
10000 ps0
5000
t [det]
0
-5000 0 0.005 0.01 0.015 0.02
psh2
-10000
-15000

Gb.7.3. Kurva komponen daya yang diberikan sumber.


Konfirmasi logis kita peroleh sebagai berikut. Seandainya tidak ada
penyearah antara sumber dan beban, arus pada resistor akan mengalir
sefasa dan sebentuk dengan gelombang tegangan sumber. Daya yang di
keluarkan oleh sumber dalam keadaan ini adalah
p s = V s I s sin 2 ω 0 t = 38000 sin 2 ω 0 t
cos 2ω 0 t + cos 0
= 38000 = 38(1 + cos 2ω 0 t ) kW
2
Dalam hal penyearahan setengah gelombang, arus hanya mengalir setiap
setengah perioda. Oleh karena itu daya yang diberikan oleh sumber
menjadi setengahnya, sehingga
p setengah gel = 19(1 + cos 2ω 0 t ) kW , dan inilah ps1.

133
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

CONTOH-7.12: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi


internal yang diabaikan, mencatu beban resistif melalui kabel
dengan resistansi 0,2 Ω dan penyearah setengah gelombang.
Tegangan sumber adalah v s = 380 sin ω 0 t V dan resistansi beban R
adalah 3,8 Ω. Hitung daya yang diterima oleh beban.
Penyelesaian:
Rangkaian sistem ini adalah seperti berikut

Rs=0,2Ω Rb=3,8Ω
vs=380sinω0t

Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah


380
Im = = 95 A
3,8 + 0,2
Persamaan arus sampai harmonisa ke-6 menjadi

 0,318 + 0,5 cos(ω 0 t − 1,57) + 0,212 cos(2ω 0 t ) 


i (t ) = 95 ×  
 + 0,042 cos(4ω 0 t ) + 0,018 cos(6ω 0 t ) 
= 30,21 + 47,5 cos(ω 0 t − 1,57) + 20,14 cos(2ω 0 t )
+ 4,09 cos(4ω 0 t ) + 1,71 cos(6ω 0 t ) A
Nilai efektif arus fundamental dan arus harmonisa total adalah
47.5
I1rms = = 33,59 A;
2
20,14 2 4,09 2 1,712
I hrms = 30,212 + + + = 33,54 A
2 2 2
Daya yang diterima Rb adalah

PRb = I rms
2
Rb = (33,59 2 + 33,54 2 ) × 3,8 = 8563 W

Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber dan arus fundamental


sumber adalah

134 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

v s = 380 sin ω 0 t V

i s1 = i Rb = 47,5 cos(ω 0 t − 1,57) = 47,5 sin ω 0 t A

Tidak ada beda fasa antara vs dan is1. Daya nyata yang diberikan oleh
sumber adalah
380 47,5
Ps = v srms i1rms cos 0 o = × = 9025 W
2 2
Daya ini diserap oleh beban dan saluran. Daya yang diserap saluran
adalah

Psaluran = 0,02 × i srms


2
= 0,02 × (i12rms + i hrms
2
)
= 0,02 × (33,6 2 + 33,55 2 ) = 450,7 W

Perbedaan angka perhitungan PRb dengan (Ps – Psaluran) adalah


sekitar 0,2%.

7.8. Perambatan Harmonisa


Dalam sistem tenaga, beban pada umumnya bukanlah beban tunggal,
melainkan beberapa beban terparalel. Sebagian beban merupakan beban
linier dan sebagian yang lain merupakan beban nonlinier. Dalam keadaan
demikian ini, komponen harmonisa tidak hanya hadir di beban nonlinier
saja melainkan terasa juga di beban linier; gejala ini kita sebut
perambatan harmonisa. Berikut ini akan kita lihat gejala tersebut pada
suatu rangkaian yang mendekati situasi nyata. Gb.7.4. memperlihatkan
rangkaian yang dimaksud.
is A
ia ib=ib1+ibh
Rs
vs Ra Rb
B

Gb.7.4. Sumber mencatu beban paralel linier dan nonlinier.


Tegangan sumber berbentuk sinusoidal murni v s = Vsm sin ω0t .
Sumber ini mencatu beban melalui saluran yang memiliki resistansi Rs.
Beban yang terhubung di terminal A-B (terminal bersama), terdiri dari

135
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

beban linier Ra dengan arus ia dan beban Rb yang dialiri arus nonlinier ib
= ib1 + ibh dengan ib1 adalah komponen fundamental dari ib dan ibh adalah
komponen harmonisa total dari ib.
Pada rangkaian sederhana ini, di sisi beban kita lihat bahwa aplikasi
Hukum Arus Kirchhoff di simpul A, yaitu simpul bersama dari kedua
beban, memberikan
(v A − v s ) / R s + v A / R a + (ib1 + ibh ) = 0
dan dari sini kita peroleh
Ra R s Ra
vA = vs − (ib1 + ibh ) (7.23)
R s + Ra Rs + Ra

Jadi sebagai akibat pembebanan nonlinier di suatu beban menyebabkan


tegangan di terminal-bersama juga mengandung harmonisa. Akibat
selanjutnya adalah bahwa arus di beban lain yang terhubung ke terminal-
bersama ini juga mengandung harmonisa.
vA vs Rs
ia = = − (ib1 + ibh ) (7.24)
Ra R s + Ra Rs + Ra

Sementara itu di sisi sumber, dengan tegangan sumber berbentuk sinus


v s = Vsm sin ω0t , keluar arus yang mengandung harmonisa yaitu
i s = i a + ib
vs Rs
= − (ib1 + ibh ) + (ib1 + ibh ) (7.25)
R s + Ra R s + Ra
vs  Ra 
= +  (ib1 + ibh )

R s + Ra  R s + Ra 
Adanya komponen harmonisa pada arus sumber dan beban yang
seharusnya merupakan beban linier dapat menyebabkan penambahan
penyerapan daya pada saluran. Hal ini akan kita bahas kemudian.

CONTOH-7.13: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, v = 240 sin ω0 t V


memiliki resistansi dan induktansi internal yang diabaikan. Sumber
ini mencatu beban resistif Ra = 5 Ω melalui saluran yang memiliki
resistansi 1Ω. Sebuah beban resistif lain yaitu Rb = 5 Ω dengan
penyearah setengah gelombang dihubungkan paralel dengan Ra.
136 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Hitunglah: (a) daya nyata yang diserap Ra sebelum Rb dan


penyearah dihubungkan; (b) daya nyata yang diserap Rb sesudah Rb
dan penyearah dihubungkan; (c) daya nyata yang diserap Ra sesudah
Rb dan penyearah dihubungkan; (d) daya nyata yang diserap saluran
Rs; (e) daya nyata yang diberikan sumber; (f) bandingkan daya nyata
yang diberikan oleh sumber dan daya nyata yang diserap oleh bagian
rangkaian yang lain.
Penyelesaian:
(a) Sebelum Rb dan penyearah dihubungkan, rangkaian adalah
seperti di bawah ini.
is A
Rs=1Ω
vs = Ra = 5Ω
240sinω0t
B
Arus efektif yang mengalir dari sumber, daya nyata yang
diserap Ra dan Rs , serta daya nyata yang diberikan sumber
adalah
I Rarms = (240 / 2 ) /(5 + 1) = 28,28 A

PRa = 28,28 2 × 5 = 4000 W ; PRs = 28,28 2 × 1 = 800 W

Ps = 28,28 × 240 / 2 = 4800 W = PRa + PRs

(b) Setelah Rb dan penyearah dihubungkan, rangkaian menjadi


is A
ia iRb=
Rs
vs Ra Rb iRb1+iRbh
B

Untuk menghitung iRb kita buat rangkaian ekivalen Thévenin


terlebih dulu di terminal A-B.

137
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

5
v sTh = × 240 sin ω 0 t = 200 sin ω 0 t V ;
1+ 5
1× 5
R sTh = = 0,833 Ω
1+ 5
Setelah Rb dihubungkan pada rangkaian ekivalen Thévenin,
rangkaian menjadi
isTh A
ib=ib1+ibh
0,833Ω
vsTh = 5Ω
200sinω0t B

Nilai maksimum arus iRb adalah


200
I Rbm = = 34,29 A
0,833 + 5
Arus yang melalui Rb menjadi

 0,318 + 0,5 cos(ω 0 t − 1,57) + 0,212 cos( 2ω 0 t ) 


i Rb = 34,29 ×  
 + 0,042 cos( 4ω 0 t ) + 0,018 cos(6ω 0 t ) 
= 10,9 + 17,14 cos(ω 0 t − 1,57) + 7,27 cos(2ω 0 t )
+ 1,47 cos( 4ω 0 t ) + 0,62 cos(6ω 0 t )
Dari sini kita peroleh
17,14
I Rb1rms = = 12,12 A
2
I Rbhrms = 10,9 2 + 7,27 2 / 2 + 1,47 2 / 2 + 0,62 2 / 2 = 12.1 A

Daya yang diserap Rb adalah

PRb = (12,12 2 + 12.12 ) × 5 ≈ 1470 W

(c) Untuk menghitung daya yang diserap Ra setelah Rb


dihubungkan, kita kembali pada rangkaian semula. Hukum Arus
Kischhoff untuk simpul A memberikan

138 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

v A − vs v A  1 1  vs
+ + i Rb = 0 ⇒ v A  + =
 − i Rb
Rs Ra  R s Ra  Rs
Ra R s Ra
vA = vs − (ib1 + ibh )
R s + Ra R s + Ra
5 ×1
× (17,14 sin ω 0 t + ibh )
5
= × 240 sin ω 0 t −
6 6
5
= 185,71sin ω0 t − ibh V = v A1 − v Ah
6
185,71
⇒ V A1rms = = 131,32 V
2

5 5 10,9 + 7,27 cos(2ω 0 t ) 


v Ah = × ibh = ×  
6 6  + 1,47 cos(4ω 0 t ) + 0,62 cos(6ω 0 t ) 
= 9,09 + 6,06 cos(2ω 0 t ) + 1,23 cos(4ω 0 t ) + 0,51 cos(6ω 0 t )

6,06 2 1.23 2 0,512


⇒ V Ahrms = 9,09 2 + + + = 10,09 V
2 2 2
Daya yang diserap Ra adalah
2 2
V V 131,32 2 10,09 2
PRa = A1rms + Ahrms = + = 3469 W
Ra Ra 5 5

(d) Tegangan jatuh di saluran adalah


∆v s1 = v s − v A1
= 240 sin ω 0 t − 185,71 sin ω 0 t = 54,29 sin ω 0 t V

54,29
→ ∆V s1rms = = 38,39 V
2
→ ∆V shrms = V Ahrms = 10,09 V

Daya yang diserap saluran adalah

∆V s1rms 2 ∆V shrms 2 38,39 2 10,09 2


PRs = + = + = 1575 W
Rs Rs 1 1

139
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

(e) Tegangan sumber adalah


v = 240 sin ω 0 t V

Arus fundamental sumber adalah


∆v s1
i s1 = = 54,29 sin ω0 t A
Rs

Daya nyata yang diberikan sumber


240 54,29
p s1 = V srms I s1rms = × = 6515 W
R2 2
(f) Bagian lain rangkaian yang menyerap daya nyata adalah Rs,
Ra, dan Rb. Daya nyata yang diserap adalah
PRtotal = PRs + PRa + PRb = 1575 + 3469 + 1468 = 6512 W

Hasil ini menunjukkan bahwa daya nyata yang diberikan


sumber sama dengan daya nyata yang diserap oleh bagian lain
dari rangkaian (perbedaan angka adalah karena pembulatan-
pembulatan).

7.9. Ukuran Distorsi Harmonisa


Hadirnya harmonisa dalam sistem, menimbulkan dampak negatif. Oleh
karena itu kehadirannya perlu dibatasi. Untuk melakukan pembatasan
diperlukan ukuran-ukuran kehadiran armonisa.

Crest Factor. Crest factor didefinisikan sebagai


nilai puncak
crest factor =
nilai efektif

Total Harmonic Distortion (THD). THD digunakan sebagai ukuran


untuk melihat berapa besar pengaruh keseluruhan adanya harmonisa
terhadap sinyal sinus. Pengaruh keseluruhan harmonisa diperbandingkan
terhadap komponen fundamental, karena komponen fundamental-lah
yang memberikan transfer energi nyata.

140 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

Untuk tegangan nonsinus, THD didefinisikan sebagai


Vhrms
THDV = (7.26)
V1rms

Untuk arus nonsinus, THD didefinisikan sebagai


I hrms
THD I = (7.27)
I1rms

CONTOH-7.14: Arus penyearahan setengah gelombang dengan nilai


puncak arus 100 A, memiliki sampai harmonisa ke-enam sebagi

 31,8 + 50 cos(ω 0 t − 1,57) + 21,2 cos( 2ω 0 t ) 


i (t ) =   A
 + 4,2 cos( 4ω 0 t ) + 1,8 cos(6ω 0 t ) 
Hitunglah crest factor dan THDI.

Penyelesaian: Telah dihitung nilai efektif arus dalam contoh soal


tersebut
50
I b1rms = A;
2
21,2 2 4,2 2 1,8 2
I bhrms = 31,8 2 + + + = 35,31 A
2 2 2
Nilai efektif arus adalah

I rms = 50 2 / 2 + 35,312 = 49,7 A

100
Crest factor adalah: c. f . = =2;
49,2

I 35,31
THDI adalah: THD I = hrms = ≈ 1 atau 100%
I1rms 50 / 2

Crest factor dan THD hanyalah tergantung bentuk dan tidak tergantung
dari nilai mutlak arus. Angka yang sama akan kita peroleh jika nilai
puncak arus hanya 1 ampere. Hal ini dapat dimengerti karena persamaan
arus secara umum adalah

141
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu

 nmaks 
i (t ) = I m  A0 + ∑ An cos( nω 0 t − ϕ n ) 
 
 n =1 
sehingga dalam perhitungan Irms, I1rms, dan Ihrms faktor Im akan
terhilangkan.

142 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

BAB 8 Pembebanan Nonlinier


(Analisis Di Kawasan Fasor)

7.1. Pernyataan Sinyal Sinus Dalam Fasor


Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, suatu sinyal sinus di
kawasan waktu dinyatakan dengan menggunakan fungsi cosinus
v(t ) = V A cos[ω 0 t − φ]
dengan VA adalah amplitudo sinyal, ω0 adalah frekuensi sudut, dan φ
adalah sudut fasa yang menunjukkan posisi puncak pertama fungsi
cosinus. Pernyataan sinyal sinus menggunakan fungsi cosinus diambil
sebagai pernyataan standar.
Jika seluruh sistem bekerja pada satu frekuensi tertentu, ω, maka sinyal
sinus dapat dinyatakan dalam bentuk fasor dengan mengambil besar dan
sudut fasa-nya saja. Untuk suatu sinyal sinus yang di kawasan waktu
dinyatakan sebagai v(t ) = A cos(ωt + θ) maka di kawasan fasor ia
dituliskan dalam format kompleks sebagai V = Ae jθ dengan A adalah
nilai puncak sinyal. Karena kita hanya memperhatikan amplitudo dan
sudut fasa saja, maka pernyataan sinyal dalam fasor biasa dituliskan
sebagai
V = A∠θ = A cos θ + jA sin θ
yang dalam bidang kompleks digambarkan sebagai diagram fasor seperti
pada Gb.7.1.a. Apabila sudut fasa θ = 0o maka pernyataan sinyal di
kawasan waktu menjadi v(t ) = A cos(ωt ) yang dalam bentuk fasor
menjadi V = A∠0 o dengan diagram fasor seperti pada Gb.7.1.b. Suatu
sinyal yang di kawasan waktu dinyatakan sebagai
v(t ) = A sin(ωt ) = A cos(ωt − π / 2) di kawasan fasor menjadi
V = A∠ − 90 o dengan diagram fasor seperti Gb.7.1.c.

143
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Im Im
V = A∠θ
V = A∠0 o
θ
Re Re
a). b).
Im

Re

V = A∠ − 90o
c).
Gb.7.1. Diagram fasor fungsi:
a) v(t ) = A cos(ωt + θ) ; b) v(t ) = A cos(ωt ) ; c) v(t ) = A sin( ωt ) .

Dalam meninjau sinyal nonsinus, kita tidak dapat menyatakan satu sinyal
nonsinus dengan menggunakan satu bentuk fasor tertentu karena
walaupun sistem yang kita tinjau beroperasi pada satu macam frekuensi
(50 Hz misalnya) namun arus dan tegangan yang kita hadapi
mengandung banyak frekuensi. Oleh karena itu satu sinyal nonsinus
terpaksa kita nyatakan dengan banyak fasor; masing-masing komponen
sinyal nonsinus memiliki frekuensi sendiri.
Selain dari pada itu, uraian sinyal sinyal nonsinus ke dalam komponen-
komponennya dilakukan melalui deret Fourier. Bentuk umum komponen
sinus sinyal ini adalah
i n (t ) = a n cos nωt + bn sin nωt

yang dapat dituliskan sebagai


i n (t ) = a n2 + bn2 cos(nωt − θ n )
yang dalam bentuk fasor menjadi
bn
I n = a n2 + bn2 ∠ − θ n dengan θ = tan −1
an

Mengacu pada Gb.7.1, diagram fasor komponen sinyal ini adalah seperti
pada Gb.7.2.

144 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Im

an
θ Re

bn
In = an2 + bn2 ∠ − θ

Gb.7.2. Fasor komponen arus nonsinus dengan an > 0 dan bn > 0.


Fasor I n pada Gb.7.2. adalah fasor komponen arus jika an positif dan bn
positif. Fasor ini leading terhadap sinyal sinus sebesar (90o − θ). Gb.7.3
berikut ini memperlihatkan kombinasi nilai an dan bn yang lain.
Im
bn In = an2 + bn2 ∠θ
an > 0, bn < 0
θ
In leading (900 + θ) an Re
terhadap sinyal sinus

Im

an an < 0, bn > 0
θ Re In lagging (900 − θ)
terhadap sinyal sinus
bn
In = an2 + bn2 ∠(180o + θ)

In = an2 + bn2 ∠(180o − θ)


Im
bn
an < 0, bn < 0
an θ
In lagging (900 + θ)
Re
terhadap sinyal sinus

Gb.7.3. Fasor komponen arus nonsinus untuk berbagai kombinasi nilai


an dan bn.

145
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Perlu kita perhatikan bahwa pernyataan fasor dan diagram fasor yang
dikemukakan di atas menggunakan nilai puncak sinyal sebagai besar
fasor. Dalam analisis daya, diambil nilai efektif sebagai besar fasor. Oleh
karena itu kita perlu memperhatikan apakah spektrum amplitudo sinyal
nonsinus diberikan dalam nilai efektif atau nilai puncak.

CONTOH-7.1: Uraian di kawasan waktu arus penyearahan setengah


gelombang dengan nilai maksimum Im A adalah
 0,318 + 0,5 cos(ω 0 t − 1,57) + 0,212 cos(2ω 0 t ) 
 
i (t ) = I m ×  + 0,042 cos(4ω 0 t ) + 0,018 cos(6ω 0 t ) + 0.010 cos(8ω 0 t )  A
 + 0.007 cos(10ω t ) 
 0 
Nyatakanlah sinyal ini dalam bentuk fasor.
Penyelesaian:
Formulasi arus i(t) yang diberikan ini diturunkan dari uraian deret
Fourier yang komponen fundamentalnya adalah
i1 (t ) = 0 + 0,5 sin ω 0 t ; jadi sesungguhnya komponen ini adalah
fungsi sinus di kawasan waktu.
Jika kita mengambil nilai efektif sebagai besar fasor, maka
pernyataan arus dalam bentuk fasor adalah
0,5I m 0,212 I m 0,042 I m
I0 = 0,318 I m ; I1 = ∠ − 90o ; I2 = ∠0o ; I4 = ∠0o ;
2 2 2
0,018 I m 0,010 I m 0,007 I m
I6 = ∠0 ; I8 =
o
∠0 ; I10 =
o
∠0 ;
o
2 2 2
Diagram fasor arus-arus pada Contoh-7.1 di atas, dapat kita gambarkan
(hanya mengambil tiga komponen) seperti terlihat pada Gb. 7.4.

I2 I4

I1

Gb.7.4. Diagram fasor arus fundamental,


harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4

146 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Persamaan arus pada Contoh-7.1 yang dinyatakan dalam fungsi cosinus


dapat pula dinyatakan dalam fungsi sinus menjadi
 0,318 + 0,5 sin(ω0t ) + 0,212 sin(2ω0t + 1,57) 
 
i (t ) = I m  + 0,021sin(4ω0t + 1,57) + 0,018 sin(6ω0t + 1,57)  A
 + 0.010 cos(8ω t ) + 0.007 cos(10ω t ) 
 0 0 
Jika komponen sinus fundamental digunakan sebagai referensi
dengan pernyataan fasornya I1 = I 1rms ∠0 o , maka masing-masing
komponen arus ini dapat kita nyatakan dalam fasor sebagai:
0,5I m 0,212 I m
I0 = 0,318 I m ; I1 = ∠0o ; I 2 = ∠90o ;
2 2
0,042 I m 0,018I m
I4 = ∠90o ; I6 = ∠90o ;...........
2 2
Diagram fasor-fasor arus ini dapat kita gambarkan seperti terlihat pada
Gb.7.5.

I1 I2 I4

Gb.7.5. Diagram fasor arus fundamental,


harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4
Diagram fasor arus pada Gb.7.5 tidak lain adalah diagram fasor pada
Gb.7.4 yang diputar 90o ke arah positif karena fungsi sinus dijadikan
referensi dengan sudut fasa nol. Nilai fasor dan selisih sudut fasa antar
fasor tidak berubah. Pada Gb.7.5. ini, kita lihat bahwa komponen
harmonisa ke-2 ‘leading’ 90o dari komponen fundamental; demikian juga
dengan komponen harmonisa ke-4. Namun fasor harmonisa ke-2
berputar kearah positif dengan frekuensi dua kali lipat dibanding dengan
komponen fundamental, dan fasor harmonisa ke-4 berputar kearah positif
dengan frekuensi empat kali lipat dibanding komponen fundamental.
Oleh karena itulah mereka tidak dapat secara langsung dijumlahkan.
Dalam pembahasan selanjutnya kita akan menggunakan cara
penggambaran fasor seperti pada Gb.7.4 dimana fasor referensi adalah
fasor dari sinyal sinus yang dinyatakan dalam fungsi cosinus dan
memiliki sudut fasa nol. Hal ini perlu ditegaskan karena uraian arus
nonsinus ke dalam deret Fourier dinyatakan sebagai fungsi cosinus

147
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

sedangkan tegangan sumber biasanya dinyatakan sebagai fungsi sinus.


Fasor tegangan sumber akan berbentuk Vs = V srms ∠ − 90 o dan relasi-
relasi sudut fasa yang tertulis pada Gb.7.3 akan digunakan.

Contoh-7.2: Gambarkan diagram fasor sumber tegangan dan arus-arus


berkut ini
v s = V srms sin ωt = 100 sin ωt V , I1rms = 30 A 30o lagging dari
tegangan sumber dan I 2 rms = 50 A 90o leading dari tegangan
sumber.
Penyelesaian:
Im
I2
Re
I1 30o

Vs

7.2. Impedansi
Karena setiap komponen harmonisa memiliki frekuensi berbeda maka
pada satu cabang rangkaian yang mengandung elemen dinamis akan
terjadi impedansi yang berbeda untuk setiap komponen. Setiap
komponen harmonisa dari arus nonsinus yang mengalir pada satu cabang
rangkaian dengan elemen dinamis akan mengakibatkan tegangan
berbeda.

CONTOH-7.3: Arus i = 200 sin ω 0 t + 70 sin 3ω 0 t + 30 sin 5ω 0 t A


mengalir melalui resistor 5 Ω yang terhubung seri dengan kapasitor
20 µF. Jika frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitung tegangan
puncak fundamental dan tegangan puncak setiap komponen
harmonisa.

(a) Reaktansi dan impedansi untuk frekuensi fundamental adalah

X C1 = 1 /(2π × 50 × 20 × 10 −6 ) = 159,15 →

Z1 = 5 2 + 159,15 2 = 159,23 Ω
148 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Tegangan puncak fundamental adalah


V1m = Z1 × I1m = 159,23 × 200 ≈ 31,85 kV

(b) Impedansi untuk harmonisa ke-3 adalah

X C 3 = X C1 / 3 = 53,05 → Z 3 = 5 2 + 53,05 2 = 53,29 Ω

Tegangan puncak harmonisa ke-3 adalah


V3m = Z 3 × I 3m = 53,29 × 70 = 3,73 kV

(c) Impedansi untuk harmonisa ke-5 adalah

X C 5 = X C1 / 5 = 31,83 → Z 3 = 5 2 + 31,83 2 = 32,22 Ω

Tegangan puncak harmonisa ke-5 adalah


V5m = Z 5 × I 5m = 32,22 × 30 = 0,97 kV

7.3. Nilai Efektif


Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, sinyal nonsinus
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu komponen
fundamental dan komponen harmonisa total. Nilai efektif suatu sinyal
periodik nonsinus y, adalah

Yrms = Y12rms + Yhrms


2
(7.1)

dengan
Y1rms : nilai efektif komponen fundamental.
Yhrms : nilai efektif komponen harmonisa total.

Karena komponen ke-dua, yaitu komponen harmonisa total, merupakan


gabungan dari seluruh harmonisa yang masih diperhitungkan, maka
komponen ini tidak kita gambarkan diagram fasornya; kita hanya
menyatakan nilai efektifnya saja walaupun kalau kita gambarkan
kurvanya di kawasan waktu bisa terlihat perbedaan fasa yang mungkin
terjadi antara tegangan fundamental dan arus harmonisa total.

149
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

7.4. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban Nonlinier


Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, pembebanan nonlinier
terjadi bila sumber dengan tegangan sinus mencatu beban dengan arus
nonsinus. Arus nonsinus mengalir karena terjadi pengubahan arus oleh
pengubah arus, seperti misalnya penyearah atau saklar sinkron. Dalam
analisis di kawasan fasor pada pembebanan non linier ini kita perlu
memperhatikan hal-hal berikut ini.

7.4.1. Daya Kompleks


Sisi Beban. Jika tegangan pada suatu beban memiliki nilai efektif Vbrms V
dan arus nonsinus yang mengalir padanya memiliki nilai efektif Ibrms A,
maka beban ini menyerap daya kompleks sebesar
S b = Vbrms × I brms VA (7.2)

Kita ingat pengertian mengenai daya kompleks yang didefinisikan pada


persamaan (14.9) di Bab-14 sebagai S = VI * . Definisi ini adalah untuk
sinyal sinus murni. Dalam hal sinyal nonsinus kita tidak menggambarkan
fasor arus harmonisa total sehingga mengenai daya kompleks hanya bisa
menyatakan besarnya, yaitu persamaan (3.2), tetapi kita tidak
menggambarkan segitiga daya. Segitiga daya dapat digambarkan hanya
untuk komponen fundamental.
Sisi Sumber. Daya kompleks |Ss| yang diberikan oleh sumber tegangan
sinus v s = V sm sin ωt V yang mengeluarkan arus nonsinus bernilai

efektif I srms = I s21rms + I shrms


2
A adalah
Vsm
S s = Vsrms × I srms = × I srms VA (7.3)
2
7.4.2. Daya Nyata
Sisi Beban. Jika suatu beban memiliki resistansi Rb, maka beban tersebut
menyerap daya nyata sebesar

Pb = I brms
2
(
Rb = I b21rms + I bhrms
2
)Rb W (7.4)

di mana I b1rms adalah arus efektif fundamental dan I bhrms adalah arus
efektif harmonisa total.

150 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Sisi Sumber. Dilihat dari sisi sumber, daya nyata dikirimkan melalui
komponen fundamental. Komponen arus harmonisa sumber tidak
memberikan transfer energi netto.
Ps1 = V srms I1rms cosϕ1 W (7.5)

ϕ1 adalah beda sudut fasa antara tegangan dan arus fundamental sumber,
dan cosϕ1 adalah faktor daya pada komponen fundamental yang disebut
displacement power factor.

7.4.3. Faktor Daya


Sisi Beban. Dengan pengertian daya kompleks dan daya nyata seperti
diuraikan di atas, maka faktor daya rangkaian beban dapat dihitung
sebagai
Pb
f.d. beban = (7.6)
Sb
Sisi Sumber. Faktor daya total, dilihat dari sisi sumber, adalah
Ps1
f .d. s = (7.7)
Ss

7.4.4. Impedansi Beban


Reaktansi beban tergantung dari frekuensi harmonisa, sehingga masing-
masing harmonisa menghadapi nilai impedansi yang berbeda-beda.
Namun demikian nilai impedansi beban secara keseluruhan dapat
dihitung, sesuai dengan konsep tentang impedansi, sebagai
Vbrms
Zb = Ω (7.8)
I brms

Seperti halnya dengan daya kompleks, impedansi beban hanya dapat kita
hitung besarnya dengan relasi (3.6) akan tetapi tidak dinyatakan dalam
format kompleks seperti (a + jb).

7.4.5. Teorema Tellegen


Sebagaimana dijelaskan dalam Bab-7, teorema ini menyatakan bahwa di
setiap rangkaian elektrik harus ada perimbangan yang tepat antara daya
yang diserap oleh elemen pasif dengan daya yang diberikan oleh elemen
aktif. Hal ini sesuai dengan prinsip konservasi energi. Sebagaimana telah
151
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

pula disebutkan teorema ini juga memberikan kesimpulan bahwa satu-


satunya cara agar energi dapat diserap dari atau disalurkan ke suatu
bagian rangkaian adalah melalui tegangan dan arus di terminalnya.
Teorema ini berlaku baik untuk rangkaian linier maupun non linier.
Teorema ini juga berlaku baik di kawasan waktu maupun kawasan fasor
untuk daya kompleks maupun daya nyata. Fasor tidak lain adalah
pernyataan sinyal yang biasanya berupakan fungsi waktu, menjadi
pernyataan di bidang kompleks. Oleh karena itu perhitungan daya yang
dilakukan di kawasan fasor harus menghasilkan angka-angka yang sama
dengan perhitungan di kawasan waktu.

7.5. Contoh-Contoh Perhitungan


CONTOH-7.4: Di terminal suatu beban yang terdiri dari resistor Rb=10
Ω terhubung seri dengan induktor Lb = 0,05 H terdapat tegangan
nonsinus v s = 100 + 200 2 sin ω 0 t V . Jika frekuensi fundamental
adalah 50 Hz, hitunglah: (a) daya nyata yang diserap beban; (b)
impedansi beban; (c) faktor daya beban;
Penyelesaian:
(a) Tegangan pada beban terdiri dari dua komponen yaitu komponen
searah dan komponen fundamental:

V0 = 100 V dan V1 = 200∠ − 90 o


Arus komponen searah yang mengalir di beban adalah
I b 0 = V0 / Rb = 100 / 10 = 10 A
Arus efektif komponen fundamental di beban adalah
V 200
I b1rms = 1rms = = 10,74 A
Zb 10 + (100π × 0,05) 2
2

Nilai efektif arus rangkaian total adalah

I brms = I b20 + I b21rms = 10 2 + 10,74 2 = 14,68 A

Daya nyata yang diserap beban sama dengan daya yang diserap
Rb karena hanya Rb yang menyerap daya nyata.

152 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

PRb = I brms
2
Rb = 14,68 2 × 10 = 2154 W

(b) Impedansi beban adalah rasio antara tegangan efektif dan arus
efektif beban.

Vbrms = V02 + V12rms = 1002 + 2002 = 100 5 V

Vbrms 100 5
Z beban = = = 15,24 Ω
I brms 14,68

(c) Faktor daya beban adalah rasio antara daya nyata dan daya
kompleks yang diserap beban. Daya kompleks yang diserap
beban adalah:

S b = Vbrms × I brms = 100 5 × 14,68 = 3281 VA

Sehingga faktor daya beban


Pb 2154
f.d.b = = = 0,656
Sb 3281

CONTOH-7.5: Suatu tegangan nonsinus yang terdeteksi pada terminal


beban memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V
dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki
nilai puncak berturut-turut 30 V dan 5 V. Beban terdiri dari resistor
5 Ω terhubung seri dengan induktor 4 mH. Hitung: (a) tegangan
efektif, arus efektif, dan daya dari komponen fundamental; (b)
tegangan efektif, arus efektif, dan daya dari setiap komponen
harmonisa; (c) tegangan efektif beban, arus efektif beban, dan total
daya kompleks yang disalurkan ke beban; (d) Bandingkan hasil
perhitungan (a) dan (c).
Penyelesaian:
150
(a) Tegangan efektif komponen fundamental V1rms = = 106 V
2
Reaktansi pada frekuensi fundamental

X L1 = 2π × 50 × 4 × 10 −3 = 1,26 Ω

153
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Impedansi pada frekuensi fundamental adalah


Z1 = 5 2 + 1,26 2 = 5,16 Ω

V 106
Arus efektif fundamental I1rms = 1rms = = 20,57 A
Z1 5,16

Daya nyata yang diberikan oleh komponen fundamental

P1 = I12rms R = 20,57 2 × 5 = 2083 W

Daya kompleks komponen fundamental


S1 = V1rms I1rms = 106 × 20,57 = 2182 VA

P 2083
Faktor daya komponen fundamental f.d.1 = 1 = = 0,97
S1 2182

Daya reaktif komponen fundamental dapat dihitung dengan


formulasi segitiga daya karena komponen ini adalah sinus
murni.

2
Q1 = S1 − P12 = 2182 2 − 20832 = 531,9 VAR

(b) Tegangan efektif harmonisa ke-3 dan ke-5


30 5
V3rms = = 21,21 V ; V5rms = = 3,54 V
2 2
Reaktansi pada frekuensi harmonisa ke-3 dan ke-5
X L3 = 3 × X L1 = 3 × 1,26 = 3,77 Ω ;
X L5 = 5 × X L1 = 5 × 1,26 = 6,28 Ω

Impedansi pada komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:

Z 3 = 5 2 + 3,77 2 = 6,26 Ω ; Z 5 = 5 2 + 6,28 2 = 8,03 Ω

Arus efektif komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:

154 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

V3rms 21,21
I3rms = = = 3,39 A ;
Z3 6,26
V5 rms 3,54
I 5rms = = = 0,44 A
Z5 8,03

Daya nyata yang diberikan oleh harmonisa ke-3 dan ke-5

P3 = I 32rms R = 3,39 2 × 5 = 57,4 W ;


P5 = I 52rms R = 0,44 2 × 5 = 0,97 W

(c) Daya nyata total yang diberikan ke beban adalah jumlah daya
nyata dari masing-masing komponen harmonisa (kita ingat
komponen-komponen harmonisa secara bersama-sama mewakili
satu sumber)
( )
Pb = P1 + P3 + P5 = I12rms + I 32rms + I 52rms × R = 2174 W
( )
= I12rms R + I 32rms + I 52rms R = I12rms R + I hrms
2
R
Tegangan efektif beban

150 2 30 2 5 2
Vbrms = + + = 108,22 V
2 2 2
Arus efektif beban

I brms = 20,57 2 + 3,39 2 + 0,44 2 = 20,86 A


Daya kompleks beban
S b = Vbrms × I brms = 108,22 × 20,86 = 2257 VA

Daya reaktif beban tidak dapat dihitung dengan menggunakan


formula segitiga daya karena kita tak dapat menggambarkannya.
(d) Perhitungan untuk komponen fundamental yang telah kita
lakukan menghasilkan
P1 = 2083 W , S1 = 2182 VA , dan
2
Q1 = S1 − P12 = 531,9 VAR .

Sementara itu perhitungan daya total ke beban menghasilkan


155
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Pb = 2174 W , dan S b = 2257 VA ; Qb = ?

Perbedaan antara P1 dan Pb disebabkan oleh adanya harmonisa


P3 dan P5 .
P1 = I12rms R sedang
( )
Pb = P1 + P2 + P3 = I12rms + I 32rms + I 52rms R = I brms
2
R.

Daya reaktif beban Qb tidak bisa kita hitung dengan cara seperti
menghitung Q1 karena kita tidak bisa menggambarkan segitiga
daya-nya. Oleh karena itu kita akan mencoba memperlakukan
komponen harmonisa sama seperti kita memperlakukan
komponen fundamental dengan menghitung daya reaktif
sebagai Qn = I nrms
2
X n dan kemudian menjumlahkan daya
reaktif Qn untuk memperoleh daya reaktif ke beban Qb.
Dengan cara ini maka untuk beban akan berlaku:
(
Qb = Q1 + Q3 + Q5 = I12rms X L1 + I 32rms X L3 + I 52rms X L5 )
Hasil perhitungan memberikan
Qb = Q1 + Q2 + Q3 = I12rms X L1 + I 32rms X L3 + I 52rms X L5
= 531,9 + 43,3 + 1,2 = 576,4 VAR
Perhatikan bahwa hasil perhitungan
Q1 = I12rms X L1 = 531,9 VAR sama dengan
2
Q1 = S1 − P12 = 531,9 VAR .
Jika untuk menghitung Qb kita paksakan menggunakan
formulasi segitiga daya, walaupun sesungguhnya kita tidak bisa
menggambarkan segitiga daya dan daya reaktif total komponen
hamonisa juga tidak didefinisikan, kita akan memperoleh
2
Qb = Sb − Pb2 = 2257 2 − 2174 2 = 604 VAR
lebih besar dari hasil yang diperoleh jika daya reaktif masing-
masing komponen harmonisa dihitung dengan formula
Qn = I nrms
2
Xn .

156 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

CONTOH-7.6: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt V


mencatu beban resistif Rb = 10 Ω melalui dioda mewakili
penyearah setengah gelombang. Carilah: (a) spektrum amplitudo
arus; (b) nilai efektif setiap komponen arus; (c) daya kompleks
sumber; (d) daya nyata yang diserap beban; (e) daya nyata yang
berikan oleh sumber; (f) faktor daya yang dilihat sumber; (g)
faktor daya komponen fundamental.
Penyelesaian:
a). Spektrum amplitudo arus penyearahan setengah gelombang ini
adalah
80
70.71
70
A
60

50 45.00
40
30.04
30

20

10 6.03
2.60 1.46 0.94
0
01 12 23 44 65 68 10
7
harmonisa
Spektrum yang amplitudo ini dihitung sampai harmonisa ke-
10, yang nilainya sudah mendekati 1% dari amplitudo arus
fundamental. Diharapkan error yang terjadi dalam
perhitungan tidak akan terlalu besar.

b). Nilai efektif komponen arus dalam [A] adalah


I 0 = 45; I 1rms = 50; I 2 rms = 21,2; I 4rms = 4,3;
I 6rms = 1,8; I 8rms = 1; I10rms = 0.7

Nilai efektif arus fundamental I1rms = 50 A

Nilai efektif komponen harmonisa total adalah:

I hrms = 2 × 31,8 2 + 21,2 2 + 4,3 2 + 1,8 2 + 12 + 0,7 2 = 50 A

157
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Nilai efektif arus total adalah

I rms = I12rms + I shrms


2
= 50 2 + 50 2 = 70,7 A

c). Daya kompleks yang diberikan sumber adalah


S s = V srms × I rms = 1000 × 70,7 = 70,7 kVA

d). Daya nyata yang diserap beban adalah

Pb = I rms
2
Rb = 70,67 2 × 10 = 50 kW

e). Sumber memberikan daya nyata melalui arus fundamental.


Daya nyata yang diberikan oleh sumber adalah
Ps = V srms I 1rms cos ϕ1

Kita anggap bahwa spektrum sudut fasa tidak tersedia,


sehingga perbedaan sudut fasa antara tegangan sumber dan
arus fundamental tidak diketahui dan cosϕ1 tidak diketahui.
Oleh karena itu kita coba memanfaatkan teorema Tellegen
yang menyatakan bahwa daya yang diberikan sumber harus
tepat sama dengan daya yang diterima beban, termasuk daya
nyata. Jadi daya nyata yang diberikan sumber adalah
Ps = Pb = 50 kW

f). Faktor daya yang dilihat oleh sumber adalah


f.d.s = Ps / S s = Pb / S s = 50 / 70,7 = 0,7

g). Faktor daya komponen fundamental adalah


Ps 50000
cos ϕ1 = = =1
V srms I1rms 1000 × 50
Nilai faktor daya ini menunjukkan bahwa arus fundamental
sefasa dengan tegangan sumber.
I 50
h). THD I = hrms = = 1 atau 100%
I1rms 50

Contoh-7.6 ini menunjukkan bahwa faktor daya yang dilihat sumber


lebih kecil dari faktor daya fundamental. Faktor daya fundamental

158 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

menentukan besar daya aktif yang dikirim oleh sumber ke beban,


sementara faktor daya yang dilihat oleh sumber merupakan rasio daya
nyata terhadap daya kompleks yang dikirim oleh sumber. Sekali lagi kita
tekankan bahwa kita tidak dapat menggambarkan segitiga daya pada
sinyal nonsinus.
Sumber mengirimkan daya nyata ke beban melalui arus fundamental.
Jika kita hitung daya nyata yang diserap resistor melalui arus
fundamental saja, akan kita peroleh

PRb1 = I12rms Rb = 50 2 × 10 = 25 kW

Jadi daya nyata yang diserap Rb melalui arus fundamental hanya


setengah dari daya nyata yang dikirim sumber (dalam kasus penyearah
setengah gelombang ini). Hal ini terjadi karena daya nyata total yang
diserap Rb tidak hanya melalui arus fundamental saja tetapi juga arus
harmonisa, sesuai dengan relasi
PRb = I brms
2
(
Rb = I12rms + I brms
2
)× Rb
Kita akan mencoba menganalisis masalah ini lebih jauh setelah melihat
lagi contoh yang lain. Berikut ini kita akan melihat contoh yang berbeda
namun pada persoalan yang sama, yaitu sebuah sumber tegangan
sinusoidal mengalami pembebanan nonlinier.

CONTOH-7.7: Seperti Contoh-7.6, sumber sinusoidal dengan nilai


efektif 1000 V mencatu arus ke beban resistif Rb=10 Ω, namun
kali ini melalui saklar sinkron yang menutup setiap paruh ke-dua
dari tiap setengah perioda. Tentukan : (a) spektrum amplitudo
arus; (b) nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa total, dan
arus total yang mengalir ke beban; (c) daya kompleks yang
diberikan sumber; (d) daya nyata yang diberikan sumber; (e)
faktor daya yang dilihat sumber; (f) faktor daya komponen
fundamental.
Penyelesaian:
(a) Diagram rangkaian adalah sebagai berikut:
is saklar sinkron
iRb
vs ∼ V =1000 V
srms Rb 10 Ω

159
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Bentuk gelombang tegangan sumber dan arus beban adalah


300
vs(t)/5
[V] 200 iRb(t)
[A] 100
[detik]
0
0 0,01 0,02
-100
-200
-300

Spektrum amplitudo arus, yang dibuat hanya sampai harmonisa


ke-11 adalah seperti di bawah ini.
90 83.79
80
A 70
60
50 44.96
40
30
20 14.83 14.83
8.71 8.71
10 0.00
0
10 12 33 5
4 75 96 11
7 harmonisa

Amplitudo arus harmonisa ke-11 masih cukup besar; masih di


atas 10% dari amplitudo arus fundamental. Perhitungan-
perhitungan yang hanya didasarkan pada spektrum amplitudo
ini tentu akan mengandung error yang cukup besar. Namun hal
ini kita biarkan untuk contoh perhitungan manual ini mengingat
amplitudo mencapai sekitar 1% dari amplitudo arus
fundamental baru pada harmonisa ke-55.
(b) Arus fundamental yang mengalir ke Rb
83,79
I1rms = = 59,25 A
2

160 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Arus harmonisa total

44,96 2 14,83 2 14,83 2 8,712 8,712


I hrms = 0 + + + + +
2 2 2 2 2
= 36,14 A

Arus total : I rms = 59,25 2 + 36,14 2 = 69,4 A

(c) Daya kompleks yang diberikan sumber adalah


S s = V srms I rms = 1000 × 69,4 = 69,4 kVA

(d) Daya nyata yang diberikan sumber harus sama dengan daya
nyata yang diterima beban yaitu daya nyata yang diserap Rb
karena hanya Rb yang menyerap daya nyata

Ps = Pb = I rms
2
Rb = 69,4 2 × 10 = 48,17 kW

(e) Faktor daya yang dilihat sumber adalah


f.d.s = Ps / S s = 48,17 / 69,4 = 0,69

(f) Daya nyata dikirim oleh sumber melalui arus komponen


fundamental.
Ps = V srms I 1rms cos ϕ1

Ps 48170
f .d .1 = cos ϕ1 = = = 0,813
V srms I1rms 1000 × 59,25

I 36,14
(g) THD I = hrms = = 0,61 atau 61%
I1rms 59,25

Perhitungan pada Contoh-7.7 ini dilakukan dengan hanya mengandalkan


spektrum amplitudo yang hanya sampai harmonisa ke-11. Apabila
tersedia spektrum sudut fasa, koreksi perhitungan dapat dilakukan.

161
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Contoh-7.8: Jika pada Contoh-7.7 selain spektrum amplitudo diketahui


pula bahwa persamaan arus fundamental dalam uraian deret Fourier
adalah
i1 (t ) = I m (− 0.5 cos(ω 0 t ) + 0,7 sin(ω 0 t ) )

Lakukan koreksi terhadap perhitungan yang telah dilakukan pada


Contoh-7.7.
Penyelesaian:
Persamaan arus fundamental sebagai suku deret Fourier diketahui:
i1 (t ) = I m (− 0.5 cos(ω 0 t ) + 0,7 sin(ω 0 t ) )

Sudut θ = tan −1 (0.7 / 0.5) = 57,6 o . Mengacu ke Gb.3.3, komponen


fundamental ini lagging sebesar (90o−57,6o) = 32,4o dari tegangan
sumber yang dinyatakan sebagai fungsi sinus. Dengan demikian
maka faktor daya komponen fundamental adalah

f .d .1 = cos ϕ1 = cos(32,4 o ) = 0,844

Dengan diketahuinya faktor daya fundamental, maka kita dapat


menghitung ulang daya nyata yang diberikan oleh sumber dengan
menggunakan nilai faktor daya ini, yaitu
Ps = V srms I1rms cos ϕ1 = 1000 × 59,4 × 0.844 = 50 kW

Daya nyata yang dikirim sumber ini harus sama dengan yang
diterima resistor di rangkaian beban Pb = I rms
2
Rb = Ps . Dengan
demikian arus total adalah

I rms = Ps / Rb = 50000 / 10 = 70,7 A

Koreksi daya nyata tidak mengubah arus fundamental; yang


berubah adalah faktor dayanya. Oleh karena itu terdapat koreksi
arus harmonisa yaitu

I hrms = I rms
2
− I12rms = 70,7 2 − 59,25 2 = 38,63 A

Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi


S s = V srms I rms = 1000 × 70,7 = 70,7 kVA

162 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Faktor daya total yang dilihat sumber menjadi


f .d . s = Ps / S s = 50 / 70,7 = 0,7

38,63
THD I = = 0,65 atau 65%
59,25
Perbedaan-perbedaan hasil perhitungan antara Contoh-7.8 (hasil koreksi)
dan Contoh-7.7 telah kita duga sebelumnya sewaktu kita menampilkan
spektrum amplitudo yang hanya sampai pada harmonisa ke-11. Tampilan
spektrum ini berbeda dengan tampilan spektrum dalam kasus penyearah
setengah gelombang pada Contoh-7.6, yang juga hanya sampai hrmonisa
ke-10. Perbedaan antara keduanya terletak pada amplitudo harmonisa
terakhir; pada kasus saklar sinkron amplitudo harmonisa ke-11 masih
sekitar 10% dari amplitudo fundamentalnya, sedangkan pada kasus
penyearah setengah gelombang amplitudo ke-10 sudah sekitar 1% dari
ampltudo fundamentalnya.
Pada Contoh-7.8, jika kita menghitung daya nyata yang diterima resistor
hanya melalui komponen fundamental saja akan kita peroleh

PRb1 = I12rms Rb = 59,25 2 × 10 = 35,1 kW


Perbedaan antara daya nyata yang dikirim oleh sumber melalui arus
fundamental dengan daya nyata yang diterima resistor melalui arus
fundamental disebabkan oleh adanya komponen harmonisa. Hal yang
sama telah kita amati pada kasus penyearah setengah gelombang pada
Contoh-7.6.

7.7. Transfer Daya


Dalam pembebanan nonlinier seperti Contoh-3.6 dan Contoh-3.7, daya
nyata yang diserap beban melalui komponen fundamental selalu lebih
kecil dari daya nyata yang dikirim oleh sumber yang juga melalui arus
fundamental. Jadi terdapat kekurangan sebesar ∆PRb; kekurangan ini
diatasi oleh komponen arus harmonisa karena daya nyata diterima oleh
Rb tidak hanya melalui arus fundamental tetapi juga melalui arus
harmonisa, sesuai formula
PRb = ( I b21rms + I bhrms
2
) Rb

Padahal dilihat dari sisi sumber, komponen harmonisa tidak memberi


transfer energi netto. Penafsiran yang dapat dibuat adalah bahwa

163
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

sebagian daya nyata diterima secara langsung dari sumber oleh Rb , dan
sebagian diterima secara tidak langsung. Piranti yang ada di sisi beban
selain resistor adalah saklar sinkron ataupun penyearah yang merupakan
piranti-piranti pengubah arus; piranti pengubah arus ini tidak mungkin
menyerap daya nyata sebab jika demikian halnya maka piranti ini akan
menjadi sangat panas. Jadi piranti pengubah arus menyerap daya nyata
yang diberikan sumber melalui arus fundamental dan segera
meneruskannya ke resistor sehingga resistor menerima daya nyata total
sebesar yang dikirimkan oleh sumber. Dalam meneruskan daya nyata
tersebut, terjadi konversi arus dari frekuensi fundamental yang diberikan
oleh sumber menjadi frekuensi harmonisa menuju ke beban. Hal ini
dapat dilihat dari besar daya nyata yang diterima oleh Rb melalui arus
harmonisa sebesar

PRbh = I bhrms
2
R = ( I12rms + I bhrms
2
) × Rb .

Faktor daya komponen fundamental lebih kecil dari satu, f.d.1 < 1,
menunjukkan bahwa ada daya reaktif yang diberikan melalui arus
fundamental. Resistor tidak menyerap daya reaktif. Piranti selain resistor
hanyalah pengubah arus; oleh karena itu piranti yang harus menyerap
daya reaktif adalah pengubah arus. Dengan demikian, pengubah arus
menyerap daya reaktif dan daya nyata. Daya nyata diteruskan ke resistor
dengan mengubahnya menjadi komponen harmonisa, daya reaktif
ditransfer ulang-alik ke rangkaian sumber.

7.7. Kompensasi Daya Reaktif


Sekali lagi kita memperhatikan Contoh-7.6 dan Contoh-7.7 yang telah
dikoreksi dalam Contoh 7.8. Telah diulas bahwa faktor daya komponen
fundamental pada penyearah setengah gelombang f.d.1 = 1 yang berarti
arus fundamental sefasa dengan tegangan; sedangkan faktor daya
komponen fundamental pada saklar sinkron f.d.1 = 0,844. Nilai faktor
daya komponen fundamental ini tergantung dari saat membuka dan
menutup saklar yang dalam kasus penyearah setengah gelombang
“saklar” menutup setiap tengah perioda pertama.
Selain faktor daya komponen fundamental, kita melihat juga faktor daya
total yang dilihat sumber. Dalam kasus penyearah setengah gelombang,
meskipun f.d.1 = 1, faktor daya total f.d.s = 0,7. Dalam kasus saklar
sinkron f.d.1 = 0.844 sedangkan faktor daya totalnya f.d.s = 0,7. Sebuah
pertanyaan timbul: dapatkah upaya perbaikan faktor daya yang biasa

164 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

dilakukan pada pembebanan linier, diterapkan juga pada pembebanan


nonlinier?
Pada dasarnya perbaikan faktor daya adalah melakukan kompensasi daya
reaktif dengan cara menambahkan beban pada rangkaian sedemikian
rupa sehingga faktor daya, baik lagging maupun leading, mendekat ke
nilai satu. Dalam kasus penyearah setengah gelombang f.d.1 = 1, sudah
mencapai nilai tertingginya; masih tersisa f.d.s yang hanya 0,7. Dalam
kasus saklar sinkron f.d.1 = 0,844 dan f.d.s = 0,7. Kita coba melihat kasus
saklar sinkron ini terlebih dulu.
CONTOH-7.9: Operasi saklar sinkron pada Contoh-3.7 membuat arus
fundamental lagging 32,4o dari tegangan sumber yang sinusoidal.
Arus lagging ini menandakan adanya daya rekatif yang dikirim oleh
sumber ke beban melalui arus fundamental. (a) Upayakan
pemasangan kapasitor paralel dengan beban untuk memberikan
kompensasi daya reaktif ini. (b) Gambarkan gelombang arus yang
keluar dari sumber.
Penyelesaian:
a). Upaya kompensasi dilakukan dengan memasangkan kapasitor
paralel dengan beban untuk memberi tambahan pembebanan
berupa arus leading untuk mengompensasi arus fundamental
yang lagging 32,4o. Rangkaian menjadi sebagai berikut:
is saklar sinkron
iC iRb
vs
∼ C
Rb

Sebelum pemasangan kapasitor:


I1rms = 59,25 A ; I hrms = 38,63 A ; f .d . s = 0,7

S1 = V srms I1rms = 1000 × 59,25 = 59,25 kVA ;

f.d.1 = 0,844;
P1 = 59,25 × 0,844 = 50 kW
2
Qs1 = S − P12 = 31,75 kVAR

165
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Kita coba memasang kapasitor untuk memberi kompensasi daya


reaktif komponen fundamental sebesar 31 kVAR

Q s1 = V srms
2
× Z C = V srms
2
/ ωC

Q s1 31000
→C = = = 99 µF ; kita tetapkan 100 µF
V srms ω 1000 2 × 100π
Dengan C = 100 µF, daya reaktif yang bisa diberikan adalah

QC = 1000 2 × 100π × 100 × 10 −6 = 31,4 kVAR

Arus kapasitor adalah


V srms 1000
I Crms = = = 31,4 A .
ZC 1 /(100π)C
Arus ini leading 90o dari tegangan sumber dan hampir sama
dengan nilai
I1rms sin(32,4 o ) = 31,75 A
Diagram fasor tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.
Im
I1sin32,4o IC
Re

32,4o
I1 I1cos32,4o

Vs

Dari diagram fasor ini kita lihat bahwa arus


o
I C dan I1 sin 32,4 tidak saling meniadakan sehingga beban
akan menerima arus I1rms cos(32,4 o ) , akan tetapi beban tetap
menerima arus seperti semula. Beban tidak merasakan adanya
perubahan oleh hadirnya C karena ia tetap terhubung langsung
ke sumber. Sementara itu sumber sangat merasakan adanya
beban tambahan berupa arus kapasitif yang melalui C. Sumber
yang semula mengeluarkan arus fundamental dan arus
harmonisa total ke beban, setelah pemasangan kapasitor
166 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

memberikan arus fundamental dan arus harmonisa ke beban


ditambah arus kapasitif di kapasitor. Dengan demikian arus
fundamental yang diberikan oleh sumber menjadi
I1rmsC ≈ I1rms cos(32,4 o ) = 50 A

turun sekitar 10% dari arus fundamental semula yang 59,25 A.


Arus efektif total yang diberikan sumber menjadi

I srmsC = I12rmsC + I hrms


2
= 50 2 + 38,63 2 = 63,2 A
Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi
S sC = 1000 × 63,2 = 63,2 kVA

Faktor daya yang dilihat sumber menjadi


f .d . sC = 50 / 63,2 = 0,8
sedikit lebih baik dari sebelum pemasangan kapasitor
f .d . s = 0,7
b). Arus sumber, is, adalah jumlah dari arus yang melalui resistor
seri dengan saklar sinkron dan arus arus kapasitor.
- bentuk gelombang arus yang melalui resistor iRb adalah
seperti yang diberikan pada gambar Contoh-7.7;
- gelombang arus kapasitor, iC, 90o mendahului tegangan
sumber.
Bentuk gelonbang arus is terlihat pada gambar berikut:
300
[V] vs/5
[A] 200
iRb
100
is
0
0 0.005 iC 0.01 0.015 [detik] 0.02
-100

-200

-300

167
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Contoh-7.9 ini menunjukkan bahwa kompensasi daya reaktif komponen


fundamental dapat meningkatkan faktor daya total yang dilihat oleh
sumber. Berikut ini kita akan melihat kasus penyearah setengah
gelombang.
Dalam analisis rangkaian listrik [2], kita membahas filter kapasitor pada
penyearah yang dihubungkan paralel dengan beban R dengan tujuan
untuk memperoleh tegangan yang walaupun masih berfluktuasi namun
fluktuasi tersebut ditekan sehingga mendekati tegangan searah. Kita akan
mencoba menghubungkan kapasitor seperti pada Gb.7.6 dengan harapan
akan memperbaiki faktor daya.
is

iC iR
vs C R

Gb.7.6. Kapasitor paralel dengan beban.

CONTOH-7.10: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt V


mencatu beban resistif Rb = 10 Ω melalui penyearah setengah
gelombang. Lakukan pemasangan kapasitor untuk
“memperbaiki” faktor daya. Frekuensi kerja 50 Hz.
Penyelesaian:
Keadaan sebelum pemasangan kapasitor dari Contoh-3.5:
tegangan sumber V srms = 1000 V ;
arus fundamental I1rms = 50 A ;
arus harmonisa total I hrms = 50 A
arus efektif total I rms = 70,7 A ;
daya kompleks sumber S s = 70,7 kVA ;
daya nyata Ps = P1 = 50 kW ;
faktor daya sumber f .d . s = Ps / S s = 50 / 70,7 = 0,7 ;
faktor daya komponen fundamental f .d .1 = 1 .

Spektrum amplitudo arus maksimum adalah

168 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

80
70.71
A 70

60

50 45.00
40
30.04
30

20

10 6.03
2.60 1.46 0.94
0
01 12 23 44 65 68 10
7 harmonisa

Gambar perkiraan dibawah ini memperlihatkan kurva tegangan


sumber vs/5 (skala 20%), arus penyearahan setengah gelombang
iR, dan arus kapasitor iC seandainya dipasang kapasitor (besar
kapasitor belum dihitung).

400
[V]
[A] vs/5
200
iR
0
0 0.01 iC 0.02 0.03 t [s]
-200

-400

Dengan pemasangan kapasitor maka arus sumber akan merupakan


jumlah iR + iC yang akan merupakan arus nonsinus dengan bentuk
lebih mendekati gelombang sinusoidal dibandingkan dengan
bentuk gelombang arus penyearahan setengah gelombang iR.
Bentuk gelombang arus menjadi seperti di bawah ini.

169
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

400
[V] vs/5
[A] iR+iC
200
iR
0
iR
0 iC 0.01 0.02 0.03 t [s]
-200

-400

Kita akan mencoba menelaah dari beberapa sisi pandang.

a). Pemasangan kapasitor seperti pada Gb.7.6 menyebabkan sumber


mendapat tambahan beban arus kapasitif. Bentuk gelombang arus
sumber menjadi lebih mendekati bentuk sinus. Tidak seperti
dalam kasus saklar sinkron yang komponen fundamentalnya
memiliki faktor daya kurang dari satu sehingga kita punya titik-
tolak untuk menghitung daya reaktif yang perlu kompensasi,
dalam kasus penyerah setengah gelombang ini f.d.1 = 1; arus
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.
Sebagai perkiraan, daya reaktif akan dihitung dengan
menggunakan formula segitiga daya pada daya kompleks total.
2
Qs = Ss − Ps2 = 70.7 2 − 50 2 = 50 kVAR

Jika diinginkan faktor daya 0,9 maka daya reaktif seharusnya


sekitar

Q s = S s sin(cos -1 0,9) ≈ 30 kVAR

Akan tetapi formula segitiga tidaklah akurat karena kita tidak


dapat menggambarkan segitiga daya untuk arus harmonisa. Oleh
karena itu kita perkirakan kapasitor yang akan dipasang mampu
memberikan kompensasi daya reaktif QC sekitar 25 kVAR. Dari
sini kita menghitung kapasitansi C.

170 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

2
Vs 1000 2
QC = = = 10 6 ωC = 25 kVAR
ZC (1/ωC )

25000
Pada frekuensi 50 Hz C = = 79,6 µF .
10 6 × 100π
Kita tetapkan 80 µF
Arus kapasitor adalah

Vs 1000
IC = = = 25,13 A
Z 1 /(100π × 80 × 10 −6 )

yang leading 90o dari tegangan sumber atau I C = 25,13∠90 o

Arus fundamental sumber adalah jumlah arus kapasitor dan arus


fundamental semula, yaitu

I s1C = I s1semula + IC = 50∠0o + 25,13∠90o = 55,96∠21o A

Nilai efektif arus dengan frekuensi fundamental yang keluar dari


sumber adalah

I sCrms = I s21Crms + I hrms


2
= 55,96 2 + 50 2 = 75 A

Jadi setelah pemasangan kapasitor, nilai-nilai efektif arus adalah:


I s1Crms = 55,96 A ; ini adalah arus pada frekuensi
fundamental yang keluar dari sumber
sementara arus ke beban tidak berubah
I hrms = 50 A ; tak berubah karena arus beban tidak berubah.

I sCrms = 75 A ; ini adalah arus yang keluar dari sumber yang


semula I rms = 70,7 A .

Daya kompleks sumber menjadi


S sC = V srms I sCrms = 1000 × 75 = 75 kVA

171
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Faktor daya yang dilihat sumber menjadi

f.d.sC = Ps / S sC = 50 / 75 = 0,67

Berikut ini adalah gambar bentuk gelombang tegangan dan arus


serta spektrum amplitudo arus sumber.

300

V 200
A vs/5
100
iRb isC
0
0 0.005 iC 0.01 0.015 0.02
-100

-200

-300

90
79.14
80
70
A
60
50 45.00
40
30.04
30
20
10 6.03 2.60 1.46 0.94
0
01 12 32 44 65 68 7
10
harmonisa

172 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

Pemasangan kapasitor tidak memperbaiki faktor daya total


bahkan arus efektif pembebanan pada sumber semakin tinggi.
Apabila kita mencoba melakukan kompensasi bukan dengan arus
kapasitif akan tetapi dengan arus induktif, bentuk gelombang arus
dan spektrum amplitudo yang akan kita peroleh adalah seperti di
bawah ini.

300
V vs/5
A 200
isC
100
iRb
0
0 iC 0.005 0.01 0.015 0.02
-100

-200

-300

90
79.14
80
A 70
60
50 45.00
40
30.04
30
20
10 6.03
2.60 1.46 0.94
0
01 12 23 44 65 86 10
7

harmonisa

Dengan membandingkan Contoh-7.9 dan Contoh-7.10 kita dapat melihat


bahwa perbaikan faktor daya dengan cara kompensasi daya reaktif dapat
dilakukan pada pembebanan dengan faktor daya komponen fundamental
yang lebih kecil dari satu. Pada pembebanan di mana arus fundamental
173
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor

sudah sefasa dengan tegangan sumber, perbaikan faktor daya tidak


terjadi dengan cara kompensasi daya reaktif; padahal faktor daya total
masih lebih kecil dari satu. Daya reaktif yang masih ada merupakan
akibat dari arus harmonisa. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan
adalah menekan arus harmonisa melalui penapisan. Persoalan penapisan
tidak dicakup dalam buku ini melainkan dalam Elektronika Daya.

174 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

BAB 9 Pembebanan Nonlinier dan Dampak


pada Piranti
9.1. Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa
Frekuensi Fundamental.
180o mekanis = 360o magnetik
Pada pembebanan seimbang,
komponen fundamental a11
b1 c1
berbeda fasa 120o antara
masing-masing fasa. c11 S b11
Perbedaan fasa 120o antar
fasa ini timbul karena a1 U U a2
perbedaan posisi kumparan
b22 S c22
jangkar terhadap siklus
medan magnet, yaitu sebesar c2 b2
120o sudut magnetik. Hal ini
dijelaskan pada Gb.9.1.
Gb.8.1. Skema generator empat kutub
Gb.9.1. memperlihatkan
skema generator empat kutub; 180 sudut mekanis ekivalen dengan 360o
o

sudut magnetik. Dalam siklus magnetik yang pertama sebesar 360o


magnetik, yaitu dari kutub magnetik U ke U berikutnya, terdapat tiga
kumparan yaitu kumparan fasa-a (a1-a11), kumparan fasa-b (b1-b11),
kumparan fasa-c (c1-c11). Antara posisi kumparan fasa-a dan fasa-b
terdapat pergeseran sudut magnetik 120o; antara posisi kumparan fasa-b
dan fasa-c terdapat pergeseran sudut magnetik 120o; demikian pula
halnya dengan kumparan fasa-c dan fasa-a. Perbedaan posisi inilah yang
menimbulkan perbedaan sudut fasa antara tegangan di fasa-a, fasa-b,
fasa-c.

Harmonisa Ke-3. Hal yang sangat berbeda terjadi pada komponen


harmonisa ke-3. Pada harmonisa ke-3 satu siklus komponen
fundamental, atau 360o, berisi 3 siklus harmonisa ke-3. Hal ini berarti
bahwa satu siklus harmonisa ke-3 memiliki lebar 120o dalam skala
komponen fundamental; nilai ini tepat sama dengan beda fasa antara
komponen fundamental fasa-a dan fasa-b. Oleh karena itu tidak ada
perbedaan fasa antara harmonisa ke-3 di fasa-a dan fasa-b. Hal yang
sama terjadi antara fasa-b dan fasa-c seperti terlihat pada Gb.9.2

175
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

300
v1a v1b v1c
200
V
100
v3a v3b v3c
0 o
0 90 180 270 360 []
-100

-200

-300

Gb.9.2. Tegangan fundamental dan harmonisa ke-3


pada fasa-a, fasa-b, dan fasa-c.
Pada gambar ini tegangan v1a, v1b, v1c, adalah tegangan fundamental dari
fasa-a, -b, dan -c, yang saling berbeda fasa 120o. Tegangan v3a, v3b, v3c,
adalah tegangan harmonisa ke-3 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing
digambarkan terpotong untuk memperlihatkan bahwa mereka sefasa.
Diagram fasor harmonisa ke-3 digambarkan pada Gb.9.3. Jika V3a, V3b,
V3c merupakan fasor tegangan fasa-netral maka tegangan fasa-fasa (line
to line) harmonisa ke-3 adalah nol.
V3a
V3b
V3c

Gb.8.3. Diagram fasor harmonisa ke-3.

Hal serupa terjadi pada harmonisa kelipatan tiga yang lain seperti
harmonisa ke-9. Satu siklus fundamental berisi 9 siklus harmonisa yang
berarti lebar satu siklus adalah 40o dalam skala fundamental. Jadi lebar 3
siklus harmonisa ke-9 tepat sama dengan beda fasa antar fundamental,
sehingga tidak ada perbedaan sudut fasa antara harmonisa ke-9 di fasa-a,
fasa-b, dan fasa-c.

Harmonisa ke-5. Gb.9.4. memperlihatkan kurva tegangan fundamental


dan harmonisa ke-5. Tegangan v1a, v1b, v1c, adalah tegangan fundamental
dari fasa-a, -b, dan -c. Tegangan v5a, v5b, v5c, adalah tegangan harmonisa
ke-5 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing digambarkan terpotong untuk
menunjukkan bahwa mereka berbeda fasa.

176 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

300
v1a v1b v1c
200
V v5a v5b v5c
100

0
0 90 180 270 360 [o]
-100

-200

-300

Gb.9.4. Fundamental dan harmonisa ke-5


Satu siklus fundamental berisi 5 siklus harmonisa atau satu siklus
harmonisa mempunyai lebar 72o dalam skala fundamental. Perbedaan
fasa antara v5a dan v5b adalah (2 × 72o − 120o) = 24o dalam skala
fundamental atau 120o dalam skala harmonisa ke-5; beda fasa antara v5b
dan v5c juga 120o. Diagram fasor V5b
dari harmonisa ke-5 terlihat pada
Gb.9.5. Jika V5a, V5b, V5c
merupakan fasor tegangan fasa- V5a
netral maka tegangan fasa-fasa
(line to line) harmonisa ke-5 V 5c
adalah 3 kali lebih besar dari Gb.8.5. Diagram fasor harmonisa ke-5.
tegangan fasa-netral-nya.

Harmonisa Ke-7. Satu siklus harmonisa ke-7 memiliki lebar 51,43o


dalam skala fundamental. Perbedaan fasa antara v7a dan v7b adalah (3 ×
51,43o − 120o) = 34,3o dalam skala fundamental atau 240o dalam skala
harmonisa ke-7; beda fasa antara v7b dan v7c juga 240o. Diagram fasor
dari harmonisa ke-7 terlihat V7c
pada Gb.9.6. Jika V7a, V7b, V7c
merupakan fasor tegangan
fasa-netral maka tegangan V7a
fasa-fasa (line to line)
harmonisa ke-7 adalah 3 V7b
kali lebih besar dari tegangan Gb.8.6. Diagram fasor harmonisa ke-7.
fasa-netral-nya.

177
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

9.2. Relasi Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral


Pada tegangan sinus murni, relasi antara tegangan fasa-fasa dan fasa-
netral dalam pembebanan seimbang adalah

V ff = V fn 3 = 1,732 V fn

di mana Vff tegangan fasa-fasa dan Vf-n tegangan fasa-netral. Apakah


relasi masih berlaku jika tegangan berbentuk gelombang nonsinus. Kita
akan melihat melalui contoh berikut.

CONTOH-9.1: Tegangan fasa-netral suatu generator 3 fasa terhubung


bintang mengandung komponen fundamental dengan nilai puncak
200 V, serta harmonisa ke-3, 5, 7, dan 9 dengan nilai puncak
berturut-turut 40, 25, 20, 10 V. Hitung rasio tegangan fasa-fasa
terhadap tegangan fasa-netral.
Penyelesaian:
Dalam soal ini harmonisa tertinggi yang diperhitungkan adalah
harmonisa ke-9, walaupun nilai puncak harmonisa tertinggi ini
masih 5% dari nilai puncak komponen fundamental.
Nilai efektif tegangan fasa-netral fundamental sampai harmonisa
ke-9 berturut-turut adalah nilai puncak dibagi 2:
V1 f −n = 141,42 V ; V3 f −n = 28,28 V ; V5 f −n = 17,68 V

V7 f −n = 14,14 V ; V9 f −n = 7,07 V

Nilai efektif tegangan fasa-netral total

V f −n = 141,42 2 + 28,28 2 + 17,68 2 + 14,14 2 + 7,07 2 = 146,16 V

Nilai efektif tegangan fasa-fasa setiap komponen adalah


V1 f − f = 244,95 V ; V3 f − f = 0 V ; V5 f − f = 26,27 V

V7 f − f = 22,11 V ; V9 f − f = 0 V

Nilai efektif tegangan fasa-fasa total

178 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

V f − f = 244,95 2 + 0 + 26,27 2 + 22,112 + 0 = 247,35 V


Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral
Vf − f 247,35
= = 1,70
V f − n 146,16

Perbedaan nilai perhitungan tegangan efektif fasa-netral dan tegangan


efektif fasa-fasa terlatak pada adanya harmonisa kelipatan tiga; tegangan
fasa-fasa harmonisa ini bernilai nol.

9.3. Hubungan Sumber Dan Beban


Generator Terhubung Bintang. Jika belitan jangkar generator terhubung
bintang, harmonisa kelipatan tiga yang terkandung pada tegangan fasa-
netral tidak muncul pada tegangan fasa-fasa-nya. Kita akan melihatnya
pada contoh berikut.

CONTOH-9.2: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung bintang


membangkitkan tegangan fasa-netral yang berbentuk gelombang
nonsinus yang dinyatakan dengan persamaan
v = 800 sin ω 0 t + 200 sin 3ω 0 t + 100 sin 5ω 0 t V
Generator ini mencatu tiga induktor terhubung segi-tiga yang
masing-masing mempunyai resistansi 20 Ω dan induktansi 0,1 H.
Hitung daya nyata yang diserap beban dan faktor daya beban.
Penyelesaian:
Nilai efektif komponen tegangan fasa-netral adalah
V fn1rms = 800 / 2 V ; V fn3rms = 200 / 2 V ;
V fn5rms = 100 / 2 V .
Tegangan fasa-fasa sinyal nonsinus tidak sama dengan 3 kali
tegangan fasa-netralnya. Akan tetapi masing-masing komponen
merupakan sinyal sinus; oleh karena itu tegangan fasa-fasa masing-
masing komponen adalah 3 kali tegangan fasa-netral-nya.
( )
V ff 1rms = 800 / 2 3 = 800 3/2 V ; V ff 3rms = 0 V ;
V ff 5rms = 100 3 / 2 V

179
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

V ffrms = 800 2 (3 / 2) + 100 2 (3 / 2) = 987,4 V

Reaktansi beban per fasa untuk tiap komponen


X 1 = 2π × 50 × 0,1 = 31,42 Ω ; X 3 = 3 X 1 = 94,25 Ω ;
X 5 = 5 X 1 = 157,08 Ω
Impedansi beban per fasa untuk tiap komponen
Z f 1 = 20 2 + 31,42 2 = 37,24 Ω

Z f 3 = 20 2 + 94,25 2 = 96,35 Ω

Z f 5 = 20 2 + 157,08 2 = 158,35 Ω

Arus fasa:
V ff 1rms 800 3 / 2
I f 1rms = = = 26,3 A
Z f1 37,24
V ff 3rms
I f 3rms = =0 A
Z f1
V ff 5rms 100 3 / 2
I f 5rms = = = 0,77 A
Z f5 158,35

I frms = 26,3 2 + 0,77 2 = 26,32 A

Daya nyata diserap beban

Pb = 3 × I 2frms × 20 = 41566 W ≈ 41,6 kW

Daya kompleks beban


Sb = 3 × V ff × I f = 3 × 987,4 × 26,32 = 77967 W ≈ 78 kW

Faktor daya beban


Pb 41,6
f .d . = = = 0,53
Sb 78

180 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Generator Terhubung Segitiga. Jika belitan jangkar generator terhubung


segitiga, maka tegangan harmonisa kelipatan tiga akan menyebabkan
terjadinya arus sirkulasi pada belitan jangkar generator tersebut.

CONTOH-9.3: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung segitiga.


Resistansi dan induktansi per fasa adalah 0,06 Ω dan 0,9 mH. Dalam
keadaan tak berbeban tegangan fasa-fasa mengandung harmonisa
ke-3, -7, dan -9, dan -15 dengan amplitudo berturut-turut 4%, 3%,
2% dan 1% dari amplitudo tegangan fundamental. Hitunglah arus
sirkulasi dalam keadaan tak berbeban, jika eksitasi diberikan
sedemikian rupa sehingga amplitudo tegangan fundamental 1500 V.
Penyelesaian:
Arus sirkulasi di belitan jangkar yang terhubung segitiga timbul oleh
adanya tegangan harmonisa kelipatan tiga, yang dalam hal ini adalah
harmonisa ke-3, -9, dan -15. Tegangan puncak dan tegangan efektif
masing-masing komponen harmonisa ini di setiap fasa adalah

V3m = 4% × 1500 = 60 V ; V3rms = 60 / 2 V


V9 m = 2% × 1500 = 30 V ; V9 rms = 30 / 2 V
V15m = 1% × 1500 = 15 V ; V15rms = 15 / 2 V

Reaktansi untuk masing-masing komponen adalah

X 1 = 2π × 50 × 0,9 × 10 −3 = 0,283 Ω
X 3 = 3 × X 1 = 0,85 Ω
X 9 = 9 × X 1 = 2,55 Ω
X 15 = 15 × X 1 = 4,24 Ω

Impedansi di setiap fasa untuk komponen harmonisa


Z 3 = 0,06 2 + 0,85 2 = 0,85 Ω

Z 9 = 0,06 2 + 2,54 2 = 2,55 Ω

Z15 = 0,06 2 + 4,24 2 = 4,24 Ω

Arus sirkulasi adalah

181
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

60 / 2
I 3rms = = 49,89 A
0,85
30 / 2
I 9rms = = 8,33 A
2,55
15 / 2
I15rms = = 2,5 A
4,24

I sirkulasi( rms ) = 48,89 2 + 8,33 2 + 2,5 2 = 50,6 A

Sistem Empat Kawat. Pada sistem empat kawat, di mana titik netral
sumber terhubung ke titik netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan
mengalir melalui penghantar netral. Arus di penghantar netral ini
merupakan jumlah dari ketiga arus di setiap fasa; jadi besarnya tiga kali
lipat dari arus di setiap fasa.

CONTOH-9.4: Tiga kumparan dihubungkan bintang; masing-masing


kumparan mempunyai resistansi 25 Ω dan induktansi 0,05 H.
Beban ini dihubungkan ke generator 3 fasa, 50Hz, dengan
kumparan jangkar terhubung bintang. Tegangan fasa-netral
mempunyai komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan ke-5
dengan nilai puncak berturut-turut 360 V, 60 V, dan 50 V.
Penghantar netral menghubungkan titik netral generator dan beban.
Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b) tegangan fasa-fasa;
(c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap beban.

Penyelesaian:
(a) Tegangan fasa-netral efektif setiap komponen
V fn1rms = 254,6 V;
V fn3rms = 42,4 V;
V fn5rms = 35,4 V

Reaktansi per fasa


X 1 = 2π × 50 × 0,05 = 15,70 Ω
X 3 = 3 × X 1 = 47,12 Ω
X 5 = 5 × X 1 = 78,54 Ω
182 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Impedansi per fasa

Z 1 = 25 2 + 15,70 2 = 29,53 Ω

Z 3 = 25 2 + 47,12 2 = 53,35 Ω

Z 5 = 25 2 + 78,54 2 = 82,42 Ω

Arus saluran
254,6
I1rms = = 8,62 A
29,53
42,4
I 3rms = = 0,795 A
53,35
35,4
I 5rms = = 0,43 A
82,42

I saluran rms = 8.62 2 + 0,795 2 + 0,43 2 = 8,67 A

(b) Tegangan fasa-fasa setiap komponen


V1 f − f = 440,9 V; V3 f − f = 0 V; V5 f − f = 61,24 V

Tegangan fasa-fasa

V f − f = 440,9 2 + 0 + 61,2 2 = 445 V

Arus di penghantar netral ditimbulkan oleh harmonisa ke-3,


yang merupakan arus urutan nol.
I netral = 3 × I 3rms = 3 × 0,795 = 2,39 A
(c) Daya yang diserap beban adalah daya yang diserap elemen
resistif 25 Ω, yaitu P = 3 × I 2f − n × R . Arus beban terhubung
bintang sama dengan arus saluran. Jadi daya yang diserap
beban adalah

Pb = 3 × I 2 × R = 3 × 8,67 2 × 25 = 5636 W = 5,64 kW

183
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Sistem Tiga Kawat. Pada sistem ini tidak ada hubungan antara titik
netral sumber dan titik netral beban. Arus harmonisa kelipatan tiga tidak
mengalir. Kita akan melihat kondisi ini dengan menggunakan contoh
berikut.

CONTOH-9.5: Persoalan seperti pada contoh sebelumnya akan tetapi


penghantar netral yang menghubungkan titik netral generator dan
beban diputus. Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b)
tegangan fasa-fasa; (c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap
beban.
Penyelesaian:
(a) Karena penghantar netral diputus, arus harmonisa ke-3 tidak
mengalir. Arus fundamental dan harmonisa ke-5 telah dihitung
pada contoh-7.4. yaitu
254,6
I1rms = = 8,62 A
29,53
35,4
I 5rms = = 0,43 A
82,42
Arus saluran menjadi I saluran rms = 8,62 2 + 0,43 2 = 8,63 A

(b) Walaupun arus harmonisa ke-3 tidak mengalir, tegangan fasa-


netral harmonisa ke-3 tetap hadir namun tegangan ini tidak
muncul pada tegangan fasa-fasa. Keadaan ini seperti keadaan
sebelum penghantar netral diputus

V f − f = 440,9 2 + 0 + 61,2 2 = 445 V

(c) Arus di penghantar netral = 0 A


(d) Daya yang diserap beban

Pb = 3 × I 2 × R = 3 × 8,632 × 25 = 5589 W = 5,59 kW

9.4. Sumber Bekerja Paralel


Untuk mencatu beban yang besar sumber-sumber pada sistem tenaga
harus bekerja paralel. Jika sumber terhubung bintang dan titik netral
masing-masing sumber ditanahkan, maka akan mengalir arus sirkulasi
melalui pentanahan apabila terdapat tegangan harmonisa kelipatan tiga.
184 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

CONTOH-9.6: Dua generator tiga fasa, 20 000 kVA, 10 000 V,


terhubung bintang, masing-masing mempunyai reaktansi jangkar
20% tiap fasa. Tegangan terbangkit mengandung harmonisa ke-3
dengan amplitudo 10% dari amplitudo fundamental. Kedua
generator bekerja paralel, dan titik netral masing-masing
ditanahkan melalui reaktansi 10%. Hitunglah arus sirkulasi di
pentanahan karena adanya harmonisa ke-3.
Penyelesaian:
Tegangan kedua generator adalah
V ffrms = 10000 V

10000
V fnrms = = 5774 V
3

3 × 5774 2
Reaktansi jangkar 20% : X a = 20% × =1 Ω
20 000 × 1000

3 × 5774 2
Reaktansi pentanahan 10% : X g = 10% × = 0,5 Ω
20 000 × 1000
Reaktansi pentanahan untuk urutan nol : X 0 = 3 × 0,5 = 1,5 Ω

Tegangan harmonisa ke-3 adalah 10% dari tegangan fundamental :


V fn3rms = 577,4 V

Kedua generator memiliki Xa dan Xg yang sama besar dengan


tegangan harmonisa ke-3 yang sama besar pula. Arus sirkulasi
akibat tegangan harmonisa ke-3 adalah
V fn3rms 577,4
I sirkulasi = = = 231 A
(X a + X 0 ) 2,5

9.5. Penyaluran Energi ke Beban


Dalam jaringan distribusi, untuk menyalurkan energi ke beban digunakan
penyulang tegangan menengah yang terhubung ke transformator dan dari
transformator ke beban. Suatu kapasitor dihubungkan paralel dengan
beban guna memperbaiki faktor daya. Dalam analisis harmonisa kita
menggunakan model satu fasa dari jaringan tiga fasa.
185
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Penyulang. Dalam model satu fasa, penyulang diperhitungkan sebagai


memiliki resistansi, induktansi, kapasitansi. Dalam hal tertentu elemen
ini bisa diabaikan.

Transformator. Perilaku transformator dinyatakan dengan persamaan


V1 = E1 + I1R1 + jI1X1

E2 = V2 + I2 R2 + jI 2 X 2
N2 I
I1 = I f + I2′ dengan I2′ = I2 = 2
N1 a
V1, I1, E1, R1, X1 berturut turut adalah tegangan terminal, arus, tegangan
induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian primer.
V2 , I2 , E2 , R2 , X 2 berturut-turut adalah tegangan terminal, arus,
tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian
sekunder; V2 sama dengan tegangan pada beban. E1 sefasa dengan E 2
karena dibangkitkan (diinduksikan) oleh fluksi yang sama, sehingga nilai
masing-masing sebanding dengan jumlah lilitan, N1 dan N2. Jika
a = N1 / N 2 maka dilihat dari sisi sekunder nilai E1 menjadi
E1 ' = E1 / a , I1 menjadi I1 ' = aI1 , R1 menjadi R1/a2, X1 menjadi X1/a2.
Rangkaian ekivalen transformator berbeban menjadi seperti pada
Gb.5.7.a. Dengan mengabaikan arus eksitasi If dan menggabungkan
resistansi dan reaktansi menjadi RT = R1′ + R2 dan X T = X 1′ + X 2
maka rangkaian ekivalen menjadi seperti pada Gb.9.7.b.

R′1 X′1 If R2 X2
∼1
V E1 R Ic B V2
c Xc
(a)

RT XT
∼1
V B V2

(b)
Gb.9.7. Rangkaian ekivalen transformator berbeban.

186 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

9.6. Rangkaian Ekivalen Untuk Analisis


Karena resistansi dan reaktansi transformator diposisikan di sisi
sekunder, maka untuk menambahkan penyulang dan sumber harus pula
diposisikan di sisi sekunder. Tegangan sumber Vs menjadi Vs/a, resistansi
penyulang menjadi Rp/a2, reaktansi penyulang menjadi Xp/a2 . Jika
resistansi penyulang Rp/a2 maupun resistansi transformator RT diabaikan,
maka rangkaian sumber–penyulang–transformator–beban menjadi
seperti pada Gb.9.8. Bentuk rangkaian yang terakhir ini cukup sederhana
untuk melakukan analisis lebih lanjut. Vs/a adalah tegangan sumber.

Xp/a2 XT
V2
Vs/a XC B

Gb.9.8. Rangkaian ekivalen penyaluran energi dari sumber ke


beban dengan mengabaikan semua resistansi dalam rangkaian
serta arus eksitasi transformator.

Apabila kita menggunakan rangkaian ekivalen dengan hanya


memandang arus nonlinier, maka sumber tegangan menjadi bertegangan
nol atau merupakan hubung singkat seperti terlihat pada Gb.9.9.

Xp/a2 XT ibeban
XC B

Gb.9.9. Rangkaian ekivalen pada pembebanan nonlinier.


Jika kita hanya meninjau komponen harmonisa, dan tetap memandang
bahwa arus harmonisa mengalir ke beban, arah arus harmonisa
digambarkan menuju sisi beban. Namun komponen harmonisa tidak
memberikan transfer energi neto dari sumber ke beban; justru sebaliknya
komponen harmonisa memberikan dampak yang tidak menguntungkan
pada sistem pencatu daya. Oleh karena itu sistem pencatu daya “bisa
melihat” bahwa di arah beban ada sumber arus harmonisa yang mencatu
sistem pencatu daya dan sistem pencatu daya harus memberi tanggapan
terhadap fungsi pemaksa (driving function) ini. Dalam hal terakhir ini
187
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

sumber arus harmonisa digambarkan sebagai sumber arus yang mencatu


sistem seperti terlihat pada Gb.9.10.

Xp/a2 XT
sumber arus
XC harmonisa

Gb.9.10. Rangkaian ekivalen untuk analisis arus harmonisa.

9.7 Dampak Harmonisa Pada Piranti


Dalam analisis rangkaian linier, elemen-elemen rangkaian seperti R, L,
dan C, merupakan idealisasi piranti-piranti nyata yang nonlinier. Dalam
bab ini kita akan mempelajari pengaruh adanya komponen harmonisa,
baik arus maupun tegangan, terhadap piranti-piranti sebagai benda nyata.
Pengaruh ini dapat kita klasifikasi dalam dua kategori yaitu:
a). Dampak langsung yang merupakan peningkatan susut energi yaitu
energi “hilang” yang tak dapat dimanfaatkan, yang secara
alamiah berubah menjadi panas. [5,6].
b). Dampak taklangsung yang merupakan akibat lanjutan dari
terjadinya dampak langsung. Peningkatan temperatur pada
konduktor kabel misalnya, menuntut penurunan pengaliran arus
melalui kabel agar temperatur kerja tak terlampaui. Demikian
pula peningkatan temperatur pada kapasitor, induktor, dan
transformator, akan berakibat pada derating dari alat-alat ini dan
justru derating ini membawa kerugian (finansial) yang lebih
besar dibandingkan dengan dampak langsung yang berupa susut
energi.
Dampak taklangsung bukan hanya derating piranti tetapi juga
umur ekonomis piranti. Pembebanan nonlinier tidaklah selalu
kontinyu, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu pada selang
waktu tertentu piranti terpaksa bekerja pada batas tertinggi
temperatur kerjanya bahkan mungkin terlampaui pada saat-saat
tertentu. Kenaikan tegangan akibat adanya harmonisa dapat
menimbulkan micro-discharges bahkan partial-discharges dalam
piranti yang memperpendek umur, bahkan mal-function bisa
terjadi pada piranti.

188 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

9.7.1. Konduktor
Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan
daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan
temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita
sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus
dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan
kuadrat THD arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur.
Misalkan arus efektif nonsinus I rms mengalir melalui konduktor yang
memiliki resistansi Rs, maka susut daya di konduktor ini adalah

Ps = I rms
2
(
R s = I 12rms + I hrms
2
) (
R s = I 12rms R s 1 + THD I2 ) (9.1)

(
Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor 1 + THD I2 pada )
(9.1) menunjukkan seberapa besar peningkatan susut daya di konduktor.
Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THDI
tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. Dalam contoh-contoh persoalan
yang diberikan di Bab-4, THDI besar terjadi misalnya pada arus
penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus
melalui saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap
setengah perioda yang mencapai 61%.

CONTOH-9.7: Konduktor kabel yang memiliki resistansi total 80 mΩ,


menyalurkan arus efektif 100 A, pada frekuensi 50 Hz. Kabel ini
beroperasi normal pada temperatur 70o C sedangkan temperatur
sekitarnya adalah 25o C. Perubahan pembebanan di ujung kabel
menyebabkan munculnya harmonisa pada frekuensi 350 Hz dengan
nilai efektif 40 A. Hitung (a) perubahan susut daya dan (b)
perubahan temperatur kerja pada konduktor.

(a) Susut daya semula pada konduktor adalah

P1 = 100 2 × 0,08 = 800 W

Susut daya tambahan karena arus harmonisa adalah

P7 = 40 2 × 0,08 = 128 W

Susut daya berubah menjadi


Pkabel = 800 + 128 = 928 W

189
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Dibandingkan dengan susut daya semula, terjadi kenaikan susut


daya sebesar 16%.

(b) Kenaikan temperatur kerja di atas temperatur sekitar semula


adalah (70o − 25o) = 45o C. Perubahan kenaikan temperatur
adalah

∆T = 0,16 × 45 o = 7,2 o C
Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah

T = 45 o C + 7,2 o C ≈ 52 o C
dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah

T ′ = 25 o + 52 o = 77 o C
10% di atas temperatur kerja semula.

CONTOH-9.8: Suatu kabel yang memiliki resistansi total 0,2 Ω


digunakan untuk mencatu beban resistif Rb yang tersambung di
ujung kabel dengan arus sinusoidal bernilai efektif 20 A. Tanpa
pengubah resistansi beban, ditambahkan penyearah setengah
gelombang (ideal) di depan Rb. (a) Hitunglah perubahan susut daya
pada kabel jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tak
berubah. (b) Hitunglah daya yang disalurkan ke beban dengan
mempertahankan arus total pada 20 A; (c) berikan ulasan.
Penyelesaian:
(a) Sebelum pemasangan penyearah, susut daya di kabel adalah
Pk = 20 2 × 0,2 = 80 W
Dengan mempertahankan besar daya tersalur ke beban tidak
berubah, berarti nilai efektif arus fundamental dipertahankan 20
A. THDI pada penyearah setengah gelombang adalah 100%.
Susut daya pada kabel menjadi

( )
Pk* = 20 2 × 0,2 1 + 12 = 160 W
Susut daya menjadi dua kali lipat.

190 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

(b) Jika arus efektif total dipertahankan 20 A, maka susut daya di


kabel sama seperti sebelum pemasangan penyearah yaitu

Pk = 20 2 × 0,2 = 80 W
Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental
yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total,
yaitu
2
I rms = I12ms + I hms
2
= I12ms (1 + THD 2 ) = 20 2

Dengan THD 100%, maka I1rms = 20 /2


2 2

jadi I1rms = 20/ 2 = 14,14 A


Jadi jika arus efektif total dipertahankan 20 A, arus fundamental
turun menjadi 70% dari semula. Susut daya di kabel tidak
berubah, tetapi daya yang disalurkan ke beban menjadi
0,7 2 ≈ 0,5 dari daya semula atau turun menjadi 50%-nya.
(c) Jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tetap, susut pada
saluran menjadi dua kali lipat, yang berarti kenaikan temperatur
dua kali lipat. Jika temperatur kerja semula 65oC pada
temperatur sekitar 25o, maka temperatur kerja yang baru bisa
mencapai lebih dari 100oC.
Jika susut daya pada saluran tidak diperkenankan meningkat
maka penyaluran daya ke beban harus diturunkan sampai
menjadi 50% dari daya yang semula disalurkan; gejala ini dapat
diartikan sebagai derating kabel.

9.7.2. Kapasitor
Ulas Ulang Tentang Kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki
permitivitas relatif εr disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki
luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang
semula (tanpa bahan dielektrik)
A
C0 = ε 0
d
berubah menjadi
C = C0ε r
Jadi kapasitansi meningkat sebesar εr kali.
191
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor diperlihatkan pada Gb.9.11.


Arus kapasitor terdiri dari dua komponen yaitu arus kapasitif IC ideal
yang 90o mendahului tegangan kapasitor VC , dan arus ekivalen losses
pada dielektrik I Rp yang sefasa dengan tegangan.

im

I tot
IC
δ

re
I Rp VC
Gb.9.11. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor.
Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah
P = VC I Rp = VC I C tan δ (9.2)

atau
2
P = ε r V0 ωC V0 tan δ = 2πf V0 C ε r tan δ (9.3)
tanδ disebut faktor desipasi (loss tangent)
εrtanδ disebut faktor kerugian (loss factor)

Pengaruh Frekuensi Pada Dielektrik. Nilai εr tergantung dari frekuensi,


yang secara umum digambarkan seperti pada Gb.9.12.

εr

εr
εrtanδ
loss factor

power audio radio frekuensi

frekuensi listrik frekuensi optik

Gb.9.12. εr dan loss factor sebagai fungsi frekuensi.


Dalam analisis rangkaian, reaktansi kapasitor dituliskan sebagai
192 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

1
XC =
2πfC
Gb.9.12. memperlihatkan bahwa εr menurun dengan naiknya frekuensi
yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun
perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi
dibanding dengan penurunan εr; oleh karena itu dalam analisis kita
menganggap kapasitansi konstan.
Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam
dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, εr juga tergantung
dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun
tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena
itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam
dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor
konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi
panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan
kuadrat tegangan.

Tegangan Nonsinus. Pada tegangan nonsinus, bentuk gelombang


tegangan pada kapasitor berbeda dari bentuk gelombang arusnya. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan tanggapan kapasitor terhadap komponen
fundamental dengan tanggapannya terhadap komponen harmonisa.
Situasi ini dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan pada terminal
kapasitor terdapat tegangan nonsinus yang berbentuk:
vC (t ) = vC1 (t ) + vC 3 (t ) + vC 5 (t ) + ......... (9.4)

Arus kapasitor akan berbentuk


iC (t ) = ω 0 Cv C1 (t ) + 3ω 0 Cv C 3 (t ) + 5ω 0 Cv C 5 (t ) + ......... (9.5)

Dengan memperbandingkan (9.4) dan (9.5) dapat dimengerti bahwa


bentuk gelombang tegangan kapasitor berbeda dengan bentuk gelombang
arusnya.

CONTOH-9.9: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen


fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta
harmonisa ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V.
Sebuah kapasitor 500 µF dihubungkan pada sumber tegangan ini.
Gambarkan bentuk gelombang tegangan dan arus kapasitor.

193
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Penyelesaian:
Jika persamaan tegangan
vC = 150 sin 100πt + 30 sin 300πt V
maka persamaan arus adalah
iC = 150 × 500 × 10 −6 ×100π cos 100πt
+ 30 × 500 ×10 −6 × 500π cos 500πt
Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada
Gb.9.13.
200
[V] vC
[A]
100
iC
0
0 0.005 0.01 0.015 0.02
t [detik]
-100

-200
Gb.9.3. Gelombang tegangan dan arus pada Contoh-9.9.

CONTOH-9.10: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen


fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz,
serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki nilai puncak
berturut-turut 30 V dan 5 V. Sebuah kapasitor 500 µF (110 V rms,
50 Hz) dihubungkan pada sumber tegangan ini. Hitung: (a) arus
efektif komponen fundamental; (b) THD arus kapasitor; (c) THD
tegangan kapasitor; (d) jika kapasitor memiliki losses dielektrik
0,6 W pada tegangan sinus rating-nya, hitunglah losses dielektrik
dalam situasi ini.
Penyelesaian:
(a) Reaktansi untuk komponen fundamental adalah
1
X C1 = = 6,37 Ω
2π × 50 × 500 × 10 −6

194 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Arus efektif untuk komponen fundamental

150 / 2
I C1rms = = 16,7 A
6,37
(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut
adalah
X C1 X
X C3 = = 2,12 Ω ; X C 5 = C1 = 1,27 Ω
3 5
Arus efektif harmonisa
30 / 2
IC 3rms = = 10 A
2,12
5/ 2
I C 5rms = = 2,8 A
1,27

I hrms 10 2 + 2,8 2
THD I = = = 0,62 atau 62%
I C1rms 16,7
(c)
30 2 5 2
+
V 2 2 21,5
THDV = hrms = = = 0,20 atau 20 %
V1rms 150 / 2 106
(d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan
kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V,
losses adalah 0,6 watt.
P50 Hz,110 V = 0,6 W
2
150  30 
P150 Hz,30 V = ×  × 0,6 = 0,134 W
50  110 
2
250  5 
P250 Hz,5V = ×  × 0,6 = 0,006 W
50  110 
Losses dielektrik total:
Ptotal = 0,6 + 0,134 + 0,006 = 0,74 W

195
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

9.7.3. Induktor
Induktor Ideal. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan
sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik.
Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita
melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan
satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai
tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila
resistansi belitan dapat diabaikan, relasi tegangan-arus induktor untuk
gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi
di f
v=L
dt
dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan if adalah arus eksitasi.
Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding
dengan if dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor
sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.

ei = − N
dt
Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v,
sehingga nilai ei sama dengan v.
dφ di f
e = ei = N =L
dt dt
Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan if berubah secara
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus
if yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.
Arus if sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk
sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai
frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk
fasor
V = Ei = jωNΦ = jωLI f

dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan

Vrms = fNφmaks = 4,44 fN φmaks
2

196 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

2π V = Ei
Vrms = fLi fmaks = 4,44 fL i fmaks
2
Relasi ideal memberikan diagram fasor seperti di I f = Iφ
samping ini dimana arus yang membangkitkan
Φ
fluksi yaitu I φ sama dengan I f .

CONTOH-9.11: Melalui sebuah kumparan mengalir arus nonsinus yang


mengandung komponen fundamental 50 Hz, harmonisa ke-3, dan
harmonisa ke-5 dengan amplitudo berturut-turut 50, 10, dan 5 A.
Jika daya input pada induktor diabaikan, dan tegangan pada induktor
adalah 75 V rms, hitung induktansi induktor.

Penyelesaian:
Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen
fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah
V L1rms = 4,44 × 50 × L × 50 = 11100 × L V

V L3rms = 4,44 × 150 × L × 10 = 6660 × L V

V L 5rms = 4,44 × 250 × L × 5 = 5550 × L V

sedangkan V Lrms = V12rms + V32rms + V52rms . Jadi

75 = L × 111002 + 6660 2 + 5550 2 = 14084,3 × L


Induktansi kumparan adalah
75
L= = 0,0053 H
14084,3

Fluksi Dalam Inti. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif Vrms dan
frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam
inti dihitung dengan formula
V rms
φm =
4,44 × f × N

197
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

φ m adalah nilai puncak fluksi, dan N adalah jumlah lilitan. Melalui


contoh berikut ini kita akan melihat fluksi dalam inti induktor bila
tegangan yang diterapkan berbentuk nonsinus.

CONTOH-9.12: Sebuah induktor dengan 1200 lilitan mendapat


tegangan nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental dengan
nilai efektif V1rms = 150 V dan harmonisa ke-3 dengan nilai efektif
V3rms = 50 V yang tertinggal 135o dari komponen fundamental.
Gambarkan kurva tegangan dan fluksi.

Penyelesaian:
Persamaan tegangan adalah

v L = 150 2 sin ω 0 t + 50 2 sin(5ω 0 t − 135 o )

Nilai puncak fluksi fundamental


150
φ1m = = 563 µWb
4,44 × 50 × 1200
Fluksi φ1m tertinggal 90o dari tegangan (lihat Gb.4.4). Persamaan
gelombang fluksi fundamental menjadi

φ1 = 563 sin(ω 0 t − 90 o ) µWb

Nilai puncak fluksi harmonisa ke-3


50
φ 3m = = 62,6 µWb
4,44 × 3 × 50 × 1200

Fluksi φ3m juga tertinggal 90o dari tegangan harmonisa ke-3;


sedangkan tegangan harmonisa ke-3 tertinggal 135o dari tegangan
fundamental. Jadi persamaan fluksi harmonisa ke-3 adalah

φ 3 = 62,6 sin(3ω 0 t − 135 o − 90 o ) = 62,6 sin(3ω 0 t − 225 o ) µWb

Persamaan fluksi total menjadi

φ = 563 sin(ω 0 t − 90 o ) + 62,6 sin(3ω 0 t − 225) µWb

Kurva tegangan dan fluksi terlihat pada Gb.9.14.

198 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

600
[V]
400
[µWb] φ
200
vL
t [detik]
0
0 0.01 0.02 0.03 0.04
-200

-400

-600

Gb.9.14. Kurva tegangan dan fluksi.

Rugi-Rugi Inti. Dalam induktor nyata, rugi inti menyebabkan fluksi


magnetik yang dibangkitkan oleh if ketinggalan dari if sebesar γ yang
disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.9.15. dimana
arus magnetisasi If mendahului φ sebesar γ. Diagram fasor ini digambar
dengan memperhitungkan rugi hiterisis
Ic V = Ei

γ
Iφ If
Φ
Gb.9.15. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)
Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti
transformator, If dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu Iφ
yang diperlukan untuk membangkitkan φ, dan Ic yang diperlukan untuk
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi If = Iφ + Ic.
Komponen Ic merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan
memberikan rugi-rugi inti

Pc = I cV = VI f cos(90 o − γ ) watt (9.6)

Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus
pusar. Rugi histerisis dinyatakan dengan
Ph = wh vf (9.7)

199
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Ph rugi histerisis [watt], wh luas loop kurva histerisis dalam


[joule/m3.siklus], v volume, f frekuensi. Untuk frekuensi rendah,
Steinmetz memberikan formulasi empiris

(
Ph = vf K h B mn ) (9.8)

di mana Bm adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, n tergantung dari


jenis bahan dengan nilai yang terletak antara 1,5 sampai 2,5 dan Kh yang
juga tergantung jenis bahan (untuk silicon sheet steel misalnya, Kh =
0,001). Nilai-nilai empiris ini belum didapatkan untuk frekuensi
harmonisa.
Demikian pula halnya dengan persamaan empiris untuk rugi arus pusar
dalam inti

Pe = K e f 2 Bm2 τ 2 v (9.9)

di mana Ke konstanta yang tergantung material, f frekuensi perubahan


fluksi [Hz], Bm adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, τ ketebalan
laminasi inti, dan v adalah volume material inti.

Rugi Tembaga. Apabila resistansi belitan tidak diabaikan, V ≠ E1 .


Misalkan resistansi belitan adalah R1 , maka
V = E1 + I f R1 (9.10)
Diagram fasor dari keadaan terakhir, yaitu dengan memperhitungkan
resistansi belitan, diperlihatkan pada Gb.9.16.
Ic Ei
I f R1
θ
Iφ V
If
Φ
Gb.9.16. Diagram fasor induktor (ada rugi tembaga).
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, Pcu. Jadi
Pin = Pc + Pcu = Pc + I 2f R1 = VI f cos θ (9.11)
dengan V dan If adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.
200 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

9.7.4. Transformator
Ulas Ulang Transformator Berbeban. Rangkaian transformator
berbeban dengan arus beban I 2 , diperlihatkan oleh Gb.9.17. Tegangan
induksi E 2 (yang telah timbul dalam keadaan tranformator tidak
berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian sekunder dan memberikan
arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini membangkitkan fluksi magnetik yang
melawan fluksi bersama φ (sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian
akan bocor, φl2; φl2 yang sefasa dengan I 2 menginduksikan tegangan
E l 2 di belitan sekunder yang 90o mendahului φl2.
I1 φ I2

V1 φl1 φl2 V2

Gb.9.17. Transformator berbeban.


Dengan adanya perlawanan fluksi yang dibangkitkan oleh arus di belitan
sekunder itu, fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan
menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung
mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang
tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer
yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanya berupa arus
magnetisasi I f , bertambah menjadi I1 setelah transformator berbeban.
Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama
φ dipertahankan dan E1 juga tetap seperti semula. Dengan demikian
maka persamaan rangkaian di sisi primer tetap terpenuhi.
Karena pertambahan arus primer sebesar I1 − I f adalah untuk
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I2 agar φ
dipertahankan, maka haruslah
( )
N 1 I1 − I f − N 2 I 2 = 0 (9.12)
Pertambahan arus primer I1 − I f disebut arus penyeimbang yang akan
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus
201
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder.
Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer,
φl1, yang menginduksikan tegangan El1. Tegangan induksi yang
dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu El1 dan El2, dinyatakan
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada
reaktansi bocor ekivalen, X1 dan X2, masing-masing di rangkaian primer
dan sekunder. Jika resistansi belitan primer adalah R1 dan belitan
sekunder adalah R2, maka kita peroleh hubungan
untuk rangkaian di sisi primer
V1 = E1 + I1R1 + El1 = E1 + I1R1 + jI1X1 (9.13)

untuk rangkaian di sisi sekunder

E2 = V2 + I2 R2 + El 2 = V2 + I2 R2 + jIˆ 2 X 2 (9.14)

Rangkaian Ekivalen. Secara umum, rangkaian ekivalen adalah


penafsiran secara rangkaian elektrik dari suatu persamaan matematik
yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator,
rangkaian ekivalen diperoleh dari tiga persamaan yang diperoleh di atas.
Dengan relasi E 2 = E1 / a = E1′ dan I 2 = aI1 = I1′ di mana
a = N1 / N 2 , tiga persamaan tersebut di atas dapat kita tulis kembali
sebagai satu set persamaan sebagai berikut.
Untuk rangkaian di sisi sekunder, (9.14) kita tuliskan
E1
E2 = = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2
a
Dari persamaan untuk rangkaian sisi primer (4.13), kita peroleh
E1 = V1 − I1 R1 − j I1 X 1

sehingga persamaan untuk rangkaian sekunder dapat kita tuliskan


E1 V1 − I1 R1 − jI1 X 1
E2 = = = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2
a a

202 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

I
Karena I1 = 2 maka persamaan ini dapat kita tuliskan
a

V1 I R jI X
= V2 + I 2 R 2 + j I 2 X 2 + 2 1 + 2 1
2
a a a2
 R   X 
= V2 +  R 2 + 1  I 2 + j  X 2 + 1  I 2 (9.15)
2
 a   a2 
= V2 + (R2 + R1′ ) I 2 + j ( X 2 + X 1′ ) I 2

R X
dengan R1′ = 1 ; X 1′ = 1
2
a a2
Persamaan (9.15) ini, bersama dengan persamaan (9.12) yang dapat kita
tuliskan I 2 = aI1 − aI f = I1′ − aI f , memberikan rangkaian ekivalen
untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang
digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar 2
sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu,
jika I f diabaikan terhadap I1 maka kesalahan dalam menghitung I 2
bisa dianggap cukup kecil.
Pengabaian ini akan membuat I 2 = aI1 = I 1′ . Dengan pendekatan ini,
dan persamaan (9.15), kita memperoleh rangkaian ekivalen yang
disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.4.8. memperlihatkan
rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram fasornya.
I2 = I′1

Re = R2+R′1 jXe = j(X2+ X′1)


∼ V1/a V2

V1/a
V2
jI2Xe
I2Re
I2

Gb.9.18. Rangkaian ekivalen transformator dan diagram fasor.

203
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Fluksi Dan Rugi-Rugi Karena Fluksi. Seperti halnya pada induktor,


transformator memiliki rugi-rugi inti, yang terdiri dari rugi hiterisis dan
rugi arus pusar dalam inti. Fluksi magnetik, rugi-rugi histerisis, dan rugi-
rugi arus pusar pada inti dihitung seperti halnya pada induktor.
Selain rugi-rugi tembaga pada belitan sebesar Pcu = I2R, pada belitan
terjadi rugi-rugi tambahan arus pusar, Pl, yang ditimbulkan oleh fluksi
bocor. Sebagaimana telah dibahas, fluksi bocor ini menimbulkan
tegangan induksi El1 dan El2, karena fluksi ini melingkupi sebagian
belitan; El1 dan El2 dinyatakan dengan suatu besaran ekivalen yaitu
tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor ekivalen, X1 dan X2. Selain
melingkupi sebagian belitan, fluksi bocor ini juga menembus konduktor
belitan dan menimbulkan juga arus pusar dalam konduktor belitan; arus
pusar inilah yang menimbulkan rugi-rugi tambahan arus pusar, Pl.
Berbeda dengan rugi arus pusar yang terjadi dalam inti, yang dapat
diperkecil dengan cara membangun inti dari lapisan lembar tipis material
magnetik, rugi arus pusar pada konduktor tidak dapat ditekan dengan
cara yang sama. Ukuran konduktor harus tetap disesuaikan dengan
kebutuhan untuk mengalirkan arus; tidak dapat dibuat berpenampang
kecil. Oleh karena itu rugi-rugi arus pusar ini perlu diperhatikan.
Rugi arus pusar Pl diperhitungkan sebagai proporsi tertentu dari rugi
tembaga yang ditimbulkan oleh arus tersebut, dengan tetap mengingat
bahwa rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat ferkuensi. Proporsi ini
berkisar antara 2% sampai 15% tergantung dari ukuran transformator.
Kita lihat dua contoh berikut.

Contoh-9.13: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi


0,05 Ω mengalir arus sinusoidal murni bernilai efektif 40 A.
Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar yang
diakibatkan oleh arus ini adalah 5% dari rugi tembaga Pcu = I2R.
Penyelesaian:
Rugi tembaga Pcu = 40 2 × 0,05 = 80 W

Rugi arus pusar 5% × Pcu = 0.05 × 80 = 4 W

Rugi daya total pada belitan 80 + 4 = 84 W.

204 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Contoh-9.14: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi


0,05 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen
fundamental bernilai efektif 40 A, dan harmonisa ke-7 bernilai
efektif 6 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus
pusar diperhitungkan 10% dari rugi tembaga Pcu = I2R.
Penyelesaian:
Rugi tembaga total adalah
Pcu = I rms
2
R = (40 2 + 6 2 ) × 0,05 = 81,8 W
Rugi arus pusar komponen fundamental
Pl1 = 0,1 × I12rms R = 0,1 × 40 2 × 0,05 = 8 W
Rugi arus pusar harmonisa ke-7
Pl 7 = 0,1 × 7 2 × I 72rms R = 0,1 × 7 2 × 6 2 × 0,05 = 8,8 W
Rugi daya total adalah
Ptotal = Pcu + Pl1 + Pl 7 = 81,8 + 8 + 8,8 = 98,6 W

Contoh-9.14 ini menunjukkan bahwa walaupun arus harmonisa memiliki


nilai puncak lebih kecil dari nilai puncak arus fundamental, rugi arus
pusar yang ditimbulkannya bisa memiliki proporsi cukup besar. Hal ini
bisa terjadi karena rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi.

Faktor K. Faktor K digunakan untuk menyatakan adanya rugi arus pusar


pada belitan. Ia menunjukkan berapa rugi-rugi arus pusar yang timbul
secara keseluruhan.
Nilai efektif total arus nonsinus yang dapat menimbulkan rugi arus pusar
adalah
k
I Trms = ∑ I nrms
2
A (9.16)
n =1

dengan k adalah tingkat harmonisa tertinggi yang masih diperhitungkan.


Dalam relasi (9.16) kita tidak memasukkan komponen searah karena
komponen searah tidak menimbulkan rugi arus pusar.
Rugi arus pusar total adalah jumlah dari rugi arus pusar yang
ditimbulkan oleh tiap-tiap komponen arus dan tiap-tiap komponen arus

205
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

menimbulkan rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi dan


kuadrat arus masing-masing.
Jika arus nonsinus ini mengalir pada belitan yang memiliki resistansi R0,
dan rugi-rugi arus pusar tiap komponen arus dinyatakan dalam proporsi g
terhadap rugi tembaga yang ditimbulkannya, maka rugi arus pusar total
adalah
k
PK = gR0 ∑ n 2 I nrms
2
W (9.17)
n =1
Rugi tembaga total yang disebabkan oleh arus ini adalah
k
Pcu = R0 ∑ I nrms
2
= R0 I Trms
2
W (9.18)
n =1

Dengan (9.18) maka (9.17) dapat ditulis sebagai

PK = gKR0 I Trms
2
W (9.19)

dengan
k
∑ n 2 I nrms
2

n =1
K= (9.20)
2
I Trms

K disebut faktor rugi arus pusar (stray loss factor).


Faktor K dapat dituliskan sebagai
k 2 k
I nrms
K= ∑ n2
2
I Trms
= ∑ n 2 I n2( pu) (9.21)
n =1 n =1
I
dengan I n ( pu ) = nrms
I Trms

Faktor K bukanlah karakteristik transformator melainkan karakteristik


sinyal. Walaupun demikian suatu transformator harus dirancang untuk
mampu menahan pembebanan nonsinus sampai batas tertentu.

206 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

CONTOH-9.15: Di belitan primer transformator yang memiliki


resistansi 0,08 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari
komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-11
bernilai efektif berturut-turut 40 A, 15 A, dan 5 A. Hitung: (a) nilai
efektif arus total; (b) faktor K; (c) rugi daya total pada belitan ini
jika rugi arus pusar diperhitungkan 5% dari rugi tembaga.
Penyelesaian:
(a) Nilai efektif arus total adalah

I Trms = 40 2 + 15 2 + 5 2 = 43 A

(b) Faktor K adalah

40 2 + 3 2 × 15 2 + 112 × 5 2
K= = 3,59
43 2
(c) Rugi daya total Ptot, terdiri dari rugi tembaga Pcu dan rugi arus
pusar Pl.

Pcu = 43 2 × 0,08 = 148 W


Pl = gPcu K = 0,05 × 148 × 3,59 = 26,6 W
Ptot = 148 + 26,6 = 174,6 W

9.7.5. Tegangan Maksimum Pada Piranti


Kehadiran komponen harmonisa dapat menyebabkan piranti
mendapatkan tegangan lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini bisa
terjadi pada piranti-piranti yang mengandung R, L, C, yang mengandung
harmonisa sekitar frekuensi resonansinya. Berikut ini kita lihat sebuah
contoh.

CONTOH-9.16: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai


resistansi internal 1 Ω dan reaktansi internal 6,5 Ω. Sumber ini
mencatu beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total
2,9µF. Tegangan terbangkit di sumber adalah
e = 17000 sin ω0 t + 170 sin 13ω0 t . Dalam keadaan tak ada beban
terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada
kabel.

207
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

Penyelesaian:
Tegangan mengandung harmonisa ke-13. Pada frekuensi
fundamental terdapat impedansi internal
Z1int ernal = 1 + j 6,5 Ω ; Z1int = 12 + 6,5 2 = 6,58 Ω

Pada harmonisa ke-13 terdapat impedansi


Z 13 int = 1 + j13 × 6,5 Ω ; Z13int = 12 + (13 × 6,5) 2 = 84,5 Ω

Impedansi kapasitif kabel


−j
Z C1 = = − j1097,6 Ω ;
ω 0 × 2,9 × 10 −6
−j
Z C13 = = − j84,4 Ω
13 × ω 0 × 2,9 × 10 −6

Impedansi total rangkaian seri R-L-C


Z1tot = 1 + j 6,5 − j1097,6 Ω ; Z1tot = 1091,1 Ω
Z13tot = 1 + j13 × 6,5 − j84,4 Ω ; Z13tot = 1,0 Ω

Tegangan fundamental kabel untuk frekuensi fundamental


Z C1 1097,6
V1m = × e1m = × 17000 = 17101 V
Z1tot 1091,1
Z C13 84,4
V13m = × e13m = × 170 = 14315 V
Z13tot 1,0

Nilai puncak V1m dan V13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada
seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang
penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam
setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang
diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental
dantegangan maksimum harmonisa ke-13.
Vm = V1m + V13m = 17101 + 14315 = 31416 V ≈ 31,4 kV
Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum
fundamental yang hanya 17 kV. Gambar berikut ini
memperlihatkan bentuk gelombang tegangan.

208 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

40
[kV] v1+v13
30
20
10
0
0 0.005 0.01 0.015 0.02 [detik]
-10
v1
-20
-30
-40
Gb.9.19. Bentuk gelombang tegangan.

9.7.6. Partial Discharge


Contoh-9.16 memberikan ilustrasi bahwa adanya hamonisa dapat
menyebabkan tegangan maksimum pada suatu piranti jauh melebihi
tegangan fundamentalnya. Tegangan lebih yang diakibatkan oleh adanya
harmonisa seperti ini bisa menyebabkan terjadinya partial discharge
pada piranti, walaupun sistem bekerja normal dalam arti tidak ada
gangguan. Jika hal ini terjadi umur piranti akan sangat diperpendek yang
akan menimbulkan kerugtian finansial besar.

9.7.7. Alat Ukur Elektromekanik


Daya sumber diperoleh dengan mengalikan tegangan sumber dan arus
sumber. Proses ini dalam praktik diimplementasikan misalnya pada alat
ukur tipe elektrodinamis dan tipe induksi. Pada wattmeter
elektrodinamis, bagian pengukurnya terdiri dari dua kumparan, satu
kumparan diam dan satu kumparan berputar. Satu kumparan
dihubungkan ke tegangan dan satu kumparan dialiri arus beban. Jika
masing-masing arus di kedua kumparan adalah iv = k1 I v sin ωt dan
ii = k 2 I i sin(ωt + ϕ) , maka kedua arus menimbulkan medan magnit
yang sebanding dengan arus di kedua kumparan. Momen sesaat yang
terjadi sebagai akibat interaksi medan magnetik kedua kumparan
sebanding dengan perkalian kedua arus
me = k 3 I v sin ωt × I i sin(ωt + ϕ)

Momen sesaat ini, melalui suatu mekanisme tertentu, menyebabkan


defleksi jarum penunjuk (yang didukung oleh kumparan yang berputar) ζ
yang menunjukkan besar daya pada sistem arus bolak balik.

209
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti

ζ = kI vrms I irms cos ϕ

Pada alat ukur tipe induksi, seperti kWh-meter elektromekanik yang


masih banyak digunakan,
kumparan tegangan
dihubungkan pada S1 S2 S1
tegangan sumber S2
sementara kumparan arus
dialiri arus beban. Bagan
alat ukur ini terlihat pada piringan Al
Gb.9.20. Gb.9.20. Bagan KWh-meter tipe induksi.
Masing-masing kumparan menimbulkan fluksi magnetik bolak-balik
yang menginduksikan arus bolak-balik di piringan aluminium. Arus
induksi dari kumparan arus ber-interaksi dengan fluksi dari kumparan
tegangan dan arus induksi dari kumparan tegangan berinteraksi dengan
fluksi magnetik kumpran arus. Interaksi arus induksi dan fluksi magnetik
tersebut menimbulkan momen putar pada piringan sebesar
M e = kfΦ v Φ i sin β

di mana f adalah frekuensi, Φv dan Φi fluksi magnetik efektif yang


ditimbulkan oleh kumparan tegangan dan kumparan arus, β adalah
selisih sudut fasa antara kedua fluksi magnetik bolak-balik tersebut, dan
k adalah suatu konstanta. Momen putar ini dilawan oleh momen lawan
yang diberikan oleh suatu magnet permanen sehingga piringan berputar
dengan kecepatan tertentu pada keadaan keseimbangan antara kedua
momen. Perputaran piringan menggerakkan suatu mekanisme
penghitung.
Hadirnya arus harmonisa di kumparan arus, akan muncul juga pada Φi.
Jika Φv berbentuk sinus murni sesuai dengan bentuk tegangan maka Me
akan berupa hasil kali tegangan dan arus komponen fundamental.
Frekuensi harmonisa sulit untuk direspons oleh kWh meter tipe induksi.
Pertama karena kelembaman sistem yang berputar, dan kedua karena
kWh-meter ditera pada frekuensi f dari komponen fundamental, misalnya
50 Hz. Dengan demikian penunjukkan alat ukur tidak mencakup
kehadiran arus harmonisa, walaupun kehadiran harmonisa bisa
menambah rugi-rugi pada inti kumparan arus.

210 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

BAB 10 Pembebanan Tak Seimbang

Pada pembebanan seimbang, model satu fasa mempermudah analisis


sistem tiga fasa. Apabila beban tidak seimbang, sistem akan
mengandung fasor-fasor tidak seimbang, baik arus maupun
tegangannya. Apabila fasor-fasor tidak seimbang tersebut dapat
diuraikan kedalam komponen-komponen yang seimbang maka
masing-masing komponen seimbang dapat dianalisis menggunakan
model satu fasa. Hasil perhitungan kompenen-komponen tersebut
memungkinkan kita memperoleh nilai besaran sesungguhnya (yang
tak seimbang) dengan memanfaatkan teorema superposisi.
Komponen-komponen seimbang itu disebut komponen simetris.
Dalam pembahasan komponen simetris ini kita hanya akan melihat
sistem tiga fasa.
Bahwa fasor tegangan (ataupun arus) dalam sistem tak seimbang
dapat dinyatakan sebagai jumlah dari fasor tegangan (atau arus-arus)
yang seimbang dikemukakan oleh C.L. Fortesque, dalam papernya,
pada 1918.

10.1. Pernyataan Komponen Simetris


Hanya ada tiga kemungkinan fasor tiga fasa seimbang yang
dapat digunakan untuk menyatakan komponen-komponen dari
fasor tiga fasa tak seimbang, yaitu:
a) Fasor tiga fasa seimbang urutan positif, ABC, dengan
beda fasa 120o.
b) Fasor tiga fasa seimbang urutan negatif, CBA, dengan
beda fasa 120o.
c) Fasor tiga fasa tanpa beda sudut fasa yang disebut
urutan nol.
Ketiga sistem fasor tersebut diperlihatkan dibawah ini.

211
Pembebanan Tak Seimbang

a) Fasor urutan positif (ABC):


Im
V1A = V1∠0o
V1C 120 o
V1B = V1∠ − 120 o Re

V1C = V1∠ − 240o V1B 120 o V1A

b) Fasor urutan negatif (CBA)


Im
V2 A = V2∠0o
V2 B 120 o
V2B = V2∠ +120o Re

V2C = V2∠ + 240o V2C 120 o V2 A

c) Fasor urutan nol


V0 A = V0 B = V0C = V0
V0 A = V0∠θ Im
V0B = V0∠θ
Re
V0C = V0∠θ

Operator a. Untuk menyatakan komponen simetris kita


menggunakan operator a yaitu

a = 1∠120 o (10.1)
Operator semacam ini telah kita kenal yaitu operator j di mana
j = 1∠90 o .

Dengan menggunakan operator a maka fasor urutan positif


dapat kita tuliskan

V1 A = V1 ; V1B = a 2 V1 ; V1C = aV1 (10.2)

dan fasor urutan negatif sebagai

212 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

V2 A = V2 ; V 2 B = aV 2 ; V2C = a 2 V2 (10.3)

Fasor Tak Seimbang. Fasor tak seimbang merupakan jumlah


dari komponen-komponen simetrisnya.
V A = V0 A + V1A + V2 A = V0 + V1 + V2
VB = V0 B + V1B + V2 B = V0 + a 2 V1 + aV2 (10.4)
VC = V0C + V1C + V2C = V0 + aV1 + a 2 V2

yang dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks


 V A  1 1 1   V0 
    
 VB  = 1 a
2
a   V1  (10.5)
VC  1 a a 2   V2 
  

10.2. Mencari Komponen Simetris


Komponen-komponen simetris adalah besaran-besaran hasil
olah matematik. Ia tidak diukur dalam praktek. Yang terukur
dalam praktek adalah besaran-besaran yang tak seimbang yaitu
V A , V B , VC . Komponen simetris dapat kita cari dari (10.4)
dengan menjumlahkan fasor-fasor dan dengan mengingat
bahwa (1+a+a2) = 0, yaitu

V A = V0 + V1 + V2
VB = V0 + a 2 V1 + aV2
VC = V0 + a V1 + a 2 V2 +

V A + V B + VC = 3V0 + (1 + a 2 + a ) V1 + (1 + a + a 2 ) V = 3V0

V0 =
1
3
(
V A + VB + VC ) (10.6)

213
Pembebanan Tak Seimbang

Jika baris ke-dua (10.4) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a2, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
V A = V0 + V1 + V2
aV B = aV0 + a 3 V1 + a 2 V2
a 2 VC = a 2 V0 + a 3 V1 + a 4 V2 +

VA + aVB + a 2 VC = (1 + a + a 2 ) V0 + 3V1 + (1 + a 2 + a ) V2 = 3V1

V1 =
1
3
(V A + aVB + a 2 VC ) (10.7)

Jika baris ke-dua (10.4) kita kalikan dengan a2 dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:

V A = V0 + V1 + V2
a 2 V B = a 2 V0 + a 4 V1 + a 3 V2
aVC = aV0 + a 2 V1 + a 3 V2 +

V A + a 2 VB + aVC = (1 + a 2 + a ) V0 + (1 + a + a 2 ) V1 + 3V2 = 3V2

V2 =
1
3
(
V A + a 2 V B + aVC ) (10.8)

Relasi (10.6), (10.7), (10.8) kita kumpulkan dalam satu


penulisan matriks:
 V0  1 1 1  VA 
  1  
=
 1  3 1 a
V a 2   VB  (10.9)
 V2  1 a 2 a   VC 
 
Dengan demikian kita mempunyai dua relasi antara besaran
fasa dan komponen simetrisnya yaitu (10.5) dan (10.9) yang
dapat kita tuliskan dengan lebih kompak sebagai berikut.

214 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

V ABC = [T ] V012
~ ~
(10.10)
V012 = [T ]−1 V ABC
~ ~

dengan
1 1 1 1 1 1
[T] = 1 a 2 a  dan [T]
−1 1
= 1 a a 2  (10.10.a)
3
1 a a 2  1 a 2 a 

Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk


arus
 I A  1 1 1  I 0  I 0  1 1 1  I A 
      dan   1   
 I B  = 1 a
2
a   I1  =
  3 1 a
I 1 a 2   I B  (10.11)
 I C  1 a a 2   I 2  I 2  1 a 2 a   I C 
    

sehingga secara keseluruhan kita dapatkan relasi untuk


tegangan dan arus:

V ABC = [T ] V012 dan V012 = [T ]−1 V ABC


~ ~ ~ ~
(10.12)
I ABC = [T ] I012 dan I012 = [T ]−1 I ABC
~ ~ ~ ~

CONTOH-10.1: Pada suatu pembebanan tak seimbang terukur


arus-arus sebagai berikut:

I A = 90∠60 o A, I B = 60∠ − 60 o A, I C = 0 A

Hitunglah arus-arus komponen simetrisnya.


Penyelesaian:

I1 =
1
3
(
I A + aI B + a 2 I C )
1
( )
= 90∠60 o + 60∠60 o + 0 = 50∠60 o = 25 + j 43,3 A
3

215
Pembebanan Tak Seimbang

I2 =
1
3
(
I A + a 2 I B + aI C )
1
( )
= 90∠60 o + 60∠180 o + 0 = 30∠60 o + 20∠180 o
3
= 15 + j 25,9 − 20 = −5 + j 25,9 A

I0 =
1
3
(
I A + I B + IC )
1
( )
= 90∠60 o + 60∠ − 60 o + 0 = 30∠60 o + 20∠ − 60 o
3
= 15 + j 25,9 + 10 − j17,3 = 25 + j8,6 A
Dalam Contoh-10.1 ini, IC = 0. Dengan diperolehnya nilai arus
komponen simetris, kita dapat melakukan verifikasi dengan
menghitung arus I C . Dari (10.11) kita peroleh

I C = I 0 + aI1 + a 2 I 2
= 25 + j8,6 + 50∠180 o + 30∠300 o + 20∠60
= 25 + j8,6 − 50 + 15 − j 25,98 + 10 + j17,32 = 0 A

Sesuai dengan yang diketahui.

10.3. Impedansi Urutan


Jika impedansi Z A , Z B , Z C merupakan impedansi seri dengan
tegangan antar terminalnya V AA′ , V BB′ , VCC ′ maka

 V AA′  I A 
   
 VBB′  = [Z ABC ]  I B  atau
VCC ′  I C 
   
(10.13)
V( ABC )′ = [Z ABC ] I ABC
~ ~

216 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

~ ~
V( ABC )′ adalah tegangan antar terminal impedansi dan I ABC
adalah arus yang melalui impedansi. [Z ABC ] adalah matriks 3 ×
3, yang elemen-elemennya merupakan impedansi total yang
terdiri dari impedansi sendiri dan impedansi bersama. Matriks
ini belum tentu diagonal tetapi memiliki simetri tertentu.
Simetri ini adalah sedemikian rupa sehingga matrik impedansi
urutan, yaitu [Z 012 ] merupakan matriks diagonal atau hampir
diagonal. Kita akan melihat sebuah contoh saluran transmisi
yang mendapat pembebanan tidak seimbang.

CONTOH-10.2: Suatu saluran tiga fasa masing masing memiliki


reaktansi sediri Xs sedangkan antar fasa terdapat reaktansi
bersama Xm. Resistansi diabaikan. Tentukanlah impedansi
urutan.
Xs IA
.
VA Xm Xm Xs IB VA′
.
Xm Xs
VB
.
IC VB′

VC I A + I B + IC VC′

Perhatikan bahwa Xs adalah reaktansi sendiri dan Xm adalah


reaktansi bersama sehingga tegangan antara terminal
impedansi adalah
V AA′ = V A − V A′ = jX s I A + jX m I B + jX m I C
VBB′ = VB − VB′ = jX m I A + jX s I B + jX m I C
VCC ′ = VC − VC′ = jX m I A + jX m I B + jX s I C

yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks

217
Pembebanan Tak Seimbang

 V A   V A′   X s Xm X m  I A 
      
 V B  −  VB′  =  X m Xs X m   I B 
VC   VB′   X m Xm X s   I C 
    
dan dapat dituliskan dengan lebih kompak

= [Z ABC ] I ABC
~ ~ ~

V ABC − V ABC

Dari (10.12) kita turunkan

V ABC = [T ] V012
~ ~

= [T ] V012
~ ~

V ABC ′
I ABC = [T ] I 012
~ ~

sehingga

[T ]V~ 012 − [T ]V~ 012


′ = [Z ABC ][T ] I012
~

dan
′ = [T ]−1 [Z ABC ][T ] I012
~ ~ ~
V012 − V012

Pada relasi terakhir ini:


1 1 1   X s X m X m  1 1 1
[T ] [Z ABC ][T ] = 1 a a 2  j  X m X s X m  1 a 2
-1 1
a 
3
1 a 2 a   X m X m X s  1 a a 2 
Xs + 2Xm X s + 2Xm X s + 2X m  1 1 1
=  X s − X m aX s + (1 + a 2 ) X m a 2 X s + (1 + a ) X m  1 a 
j
a2
3
 X s − X m a X s + (1 + a ) X m aX s + (1 + a ) X m  1 a 2 
2 2
a
X s + 2Xm 0 0 
= j  0 Xs − Xm 0 

 0 0 X s − X m 

sehingga

218 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

 V0   V0′  X s + 2X m 0 0  I 0 
     I 
 V1 −  V1′  = j  0 Xs − Xm 0   1
V2  V2′   0 0 X s − X m  I 2 
   
yang dapat ditulis secara kompak
′ = [Z 012 ] I012
~ ~ ~
V012 − V012

Untuk rangkaian dalam contoh di atas, dapat didefinisikan


Impedansi urutan nol Z 0 = j ( X s + 2 X m )

Impedeansi urutan positif Z 1 = j ( X s − X m )

Impedansi urutan negatif Z 2 = j ( X s − X m )

Rangkaian ekivalen urutan dari rangkaian dalam ini


digambarkan sebagai berikut:

Z0 Z1 Z2
V0 V 0′ V1 V1′ V2 V 2′

Urutan nol Urutan positif Urutan negatif


Gb.10.1. Rangkaian ekivalen urutan.

10.4. Daya Pada Sistem Tak Seimbang


Daya pada sistem tiga fasa adalah adalah jumlah daya setiap
fasa.

S 3 f = V A I ∗A + VB I ∗B + VC I C∗
 I ∗A 
[
= VA VB ]
 
VC  I ∗B  (10.14)
I ∗ 
 C 
= V ABCT I ∗ABC

219
Pembebanan Tak Seimbang

Relasi (10.12) memberikan


V ABC = [T ] V012 ⇒ V ABCT = V012T [T ]T
~ ~ ~ ~
(10.15)
I ABC = [T ] I 012 = [T ]∗ I012
~ ~ ~∗ ~∗
⇒ I ABC

sehingga (10.14) menjadi

S 3 f = V012T [T ]T [T ]∗ I 012
~ ∗
(10.16)

Pada (10.16) ini kita hitung [T ]T [T ]∗

1 1 1  1 1 1  3 0 0  1 0 0
[T]T [T ]

= 1 a 2 a  1 a a  = 0 3 0 = 30 1 0
2  
1 a a 2  1 a 2 a  0 0 3 0 0 1

Dengan demikian (10.16) dapat dituliskan


~ ∗
S 3 f = 3V012T I 012 atau
( )
(10.17)
= 3 V0 I 0∗ + V1 I1∗ + V2 I ∗2

CONTOH-10.3: Hitunglah daya tiga fasa pada kondisi tidak


seimbang seperti berikut:
 10   j10 
V ABC = − 10 kV dan I ABC = − 10 A
 
 0  − 10
Penyelesaian:
− j10
V ABCT = [10 − 10 0] dan I ∗ABC =  − 10 
 − 10 

Kita akan memperoleh daya tiga fasa langsung dengan


mengalikan kedua matriks kolom ini

220 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

− j10
= [10 − 10 0]  − 10  = − j100 + 100 + 0
 
S3 f
 − 10 
= (100 − j100) kVA

Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung


formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan
arus yang tidak simetris. Berikut ini kita akan
menyelesaikan soal ini melalui komponen simetris.
Tegangan urutan adalah:
1 1 1   10   0 
V012 = [T ]−1 V ABC = 1 a a 2  − 10 =  10 − a10 + 0 
~ ~ 1 1
3 3
1 a 2 a   0  10 − a 2 10 + 0
~
Dari sini kita hitung V012T
~ 1
[
⇒ V012T = 0 10 − a10 10 − a 2 10
3
]
Arus urutan adalah:
1 1 1   j10 
I 012 = [T ]−1 I ABC = 1 a a 2  − 10
~ ~ 1
3
1 a 2 a  − 10
 0   0 
=  j10 − a10 − a 10 =  j10 + 10
1 2  1
3 3
 j10 − a 2 10 − a10  j10 + 10
 0 
~∗ 1 
⇒ I012 = − j10 + 10
3
− j10 + 10

Daya tiga fasa adalah seperti dinyatakan oleh (10.17).

221
Pembebanan Tak Seimbang

~ ∗
S3 f = 3V012T I012
 0 
1 1
3 3
[ 2
]
= 3 × × 0 10 - a10 10 − a 10 − j10 + 10

− j10 + 10
1
[ ]
= 0 + (10 − a10)(− j10 + 10) + (10 − a 210)(− j10 + 10)
3
= (300 − j 300) = (100 − j100) kVA
1
3
Hasil ini sama dengan yang diperoleh pada perkalian langsung.
(catatan: a + a 2 = −1 ).
Komentar: Jika hasilnya sama, mengapa kita harus bersusah
payah mencari komponen simetris terlebih dulu?
Persoalan pada pembebanan tak seimbang tidak
hanya menghitung daya, tetapi juga arus dan
tegangan; misalnya menghitung arus hubung
singkat yang tidak simetris, yang tetap memerlukan
komponen simetris.

10.5. Sistem Per-Unit


Sistem per-unit sesungguhnya merupakan cara penskalaan atau
normalisasi. Besaran-besaran sistem dalam satuan masing-masing,
adalah: tegangan dalam volt, arus dalam ampere, impedansi dalam
ohm. Besarn-besaran ini dapt ditransformasikan ke dalam besaran
tak berdimensi yaitu per-unit (disingkat pu). Pada mulanya
transformasi ke dalam per-unit dimaksudkan untuk mempermudah
perhitungan, namun dengan perkembangan penggunaan computer
maksud penyederhanaan itu tidak begitu berarti lagi. Walaupun
demikian, beberapa keuntungan yang terkandung dalam sistem per-
unit (yang akan kita lihat kemudian) masih terasakan dan oleh
karena itu kita akan mempelajarinya.
Nilai per-unit dari suatu besaran merupakan rasio dari besaran
tersebut dengan suatu besaran basis. Besaran basis ini berdimensi
sama dengan dimensi besaran aslinya sehingga nilai per-unit besaran
itu menjadi tidak berdimensi

222 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

nilai sesungguhn ya
Nilai per - unit =
nilai basis
Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun
nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu
sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa
sesungguhnya.
Sebagai contoh kita ambil daya kompleks

S = V I ∗ = VI∠(α − β) (10.18)

di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa arus.
Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan Sbasis yang berupa
bilangan nyata, sehingga
S∠(α − β)
S pu = = S pu ∠(α − β) (10.19)
S basis

Didefinisikan pula bahwa


S basis = Vbasis × I basis (10.20)

Nilai Sbasis dipilih secra bebas. Oleh karena itu, kita dapat memilih
salah satu Vbasis atau Ibasis untuk ditentukan secara bebas, tetapi
tidak kedua-duanya.
Jika kita ambil rasio dari (10.18) dan (10.20) kita peroleh
S V∠αI∠ − β
S pu = = = V pu I ∗pu (10.21)
S basis Vbasis I basis

Nilai basis untuk impedansi ditentukan menggunakan relasi


2
Vbasis Vbasis
Z basis = = (10.22)
I basis S basis

Dengan Zbasis ini relasi arus dan tegangan


V
V = Z I atau Z =
I

223
Pembebanan Tak Seimbang

akan memberikan
Z V/I
= atau
Z basis Vbasis / I basis

Z pu = V pu I pu (10.23)

Karena Z = R + jX maka

Z R + jX R X
= = +j atau
Z basis Z basis Z basis Z basis

Z pu = R pu + jX pu (10.24)

Jadi tidaklah perlu menentukan nilai basis untuk R dan X secara


sendiri-sendiri. Selain itu tidak pula diperlukan menentukan nilai
basis untu P dan Q secara sendiri-sendiri.
S P + jQ
= atau
S basis S basis

S pu = Ppu + Q pu (10.25)

CONTOH-10.4: Nyatakanlah besaran-besaran pada rangkaian satu


fasa berikut dalam per-unit dengan mengambil Sbasis = 1000 VA
dan Vbasis = 200 V.

4Ω − j4 Ω
V = 200 ∠0 o V j8 Ω

Penyelesaian:
S basis = 1000 VA; Vbasis = 200 V
S basis 1000
I basis = = =5 A
Vbasis 200
Vbasis 200
Z basis = = = 40 Ω
I basis 5

224 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

200∠0 o
Maka: V pu = = 1∠0 o pu
200
4 4
R pu = = 0,1 pu ; X Cpu = = 0,1 pu ;
40 40
8
X Lpu = = 0,2 pu
40
Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi

0,1 pu − j 0,1 pu
1∠0 o pu ≈ j 0,2 pu

Z pu = 0,1 − j 0,1 + j 0,2 = 0,1 + j 0,1 = 0,1 2∠45 o pu


V pu 1∠0 o
I pu = = = 5 2∠ − 45 o pu
Z pu 0,1 2∠45 o

S pu = V pu I ∗pu = 1∠0 o × 5 2∠45 o = 5 2∠45 o pu

Sistem Tiga Fasa. Sistem tiga fasa sangat luas dipakai dalam
penyediaan energy listrik. Oleh karena itu dikembangkan pengertian
nilai basis tambahan sehingga nilai-nilai basis adalah sebagai
berikut.
S basis3 f = 3S basis
V Lbasis = Vbasis 3
Z Ybasis = Z basis
Z ∆basis = 3Z basis (10.26)
I Lbasis = I basis
I Ybasis = I basis
I ∆basis = I basis / 3
Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita lihat
pada contoh berikut ini.

225
Pembebanan Tak Seimbang

CONTOH-10.5: Sebuah sumber tiga fasa dengan tegangan fasa-


fasa 6 kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung
parallel.
Beban-A: 600 kVA, faktor daya 0,8 lagging.
Beban-B: 300 kVA, ystem daya 0,6 leading.
Tentukan nilai basis untuk ystem ini, hitung arus saluran
dalam per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A.
Penyelesaian: Penentuan nilai basis adalah sembarang.
Kita pilih Sbasis3f = 600 kVA dan VLbasis = 6 kV, sehingga
600
Sbasis = = 200 kVA
3
6
Vbasis = = 3464 V
3
S 200
Ibasis = basis = = 57,74 A
Vbasis 6 / 3
V 3464
Zbasis = basis = = 60 Ω
Ibasis 57,74

Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan


positif. Besaran per fasa adalah:
Beban-A:
600
SA = = 200 kVA; ϕ A = cos −1 (0,8) = +36,9 o (f.d. lag )
3
SA 200∠ + 36,9 o
S A = 200∠36,9 o kVA → S Apu = =
S basis 200
= 1∠36,9 o
6/ 3
V Apu = = 1∠0 o ;
6/ 3
S Apu 1∠36,9 o
I ∗Apu = = = 1∠36,9 o
V Apu 1∠0 o
⇒ I Apu = 1∠ − 36,9 = 0,8 − j 0,6

226 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

Beban-B:
300
SB = = 100 kVA; ϕ B = cos(0,6) = −53,1o (f.d. lead )
3
S B = 100∠ − 53,1o kVA
SB 100∠ − 53,1o
⇒ S Bpu = = = 0.5∠ − 53,1o
S basis 200
V Bpu = V Apu = 1∠0 o


S Bpu 0,5∠ − 53,1o
I Bpu = = = 0,5∠ − 53,1o
V Bpu 1∠0 o

⇒ I Bpu = 0,5∠53,1o = 0,3 + j 0,4

Arus saluran:
I pu = I Apu + I Bpu = 0.8 − j 0,6 + 0,3 + j 0,4 = 1,1 − j 0,2

I = (1,1 − j 0,2) × 57,74 = 63,51 − j11,55 = 64,55∠ − 10,3 o A


V Apu 1∠0 o
Impedansi beban-A: Z Apu = = = 1∠36,9 o
I Apu 1∠ − 36 o

⇒ Z A = 60∠36,9 = (48 + j 36) Ω


o

227
Pembebanan Tak Seimbang

228 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Pembebanan Tak Seimbang

Daftar Pustaka

1. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit


ITB, Bandung, 2002.
2. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik Jilid-1”,
Darpublic, Bandung, 2010.
3. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik Jilid-2”,
Darpublic, Bandung, 2010.
4. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Harmonisa Dalam
Permasalahan Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, ITB,
Bandung, 2008.
5. Vincent Del Toro : “Electric Power System”, Prentice-Hall
International, Inc., 1992.
6. Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey &
Son, 1986.
7. Turan Gönen: ”Electric Power Transmission System
Engineering”, John Willey & Son, 1988.

229
Pembebanan Tak Seimbang

Biodata Penulis

Nama: Sudaryatno Sudirham


Lahir: 26 Juli 1943, di Blora.
Istri: Ning Utari
Anak: Arga Aridarma, Aria Ajidarma.
Pendidikan & Pekerjaan:
1971 : Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung.
1982 : DEA, l’ENSEIHT, INPT, Perancis.
1985 : Doktor, l’ENSEIHT, INPT, Perancis.
1972−2008 : Dosen Teknik Elektro, ITB.
Training & Pengalaman lain:
1974 : TERC, UNSW, Australia; 1975 − 1978 : Berca Indonesia PT,
Jakarta; 1979 : Electricité de France, Perancis; 1981 : Cour d”Ete,
Grenoble, Perancis; 1991 : Tokyo Intitute of Technology, Tokyo,
Jepang; 2006 : Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand;
2005 − 2009 : Tenaga Ahli, Dewan Komisaris PT PLN (Persero);
2006 − 2012 : Komisaris PT EU – ITB.

230 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga


Indeks
i
a
impedansi 34, 100, 105, 106,
admitansi 103
148, 151
alat ukur 209
impedansi urutan 216
Ampère 2, 4
induktansi bersama 21
arus pusar 14
induktor 18, 192
b
intensitas medan magnet 4
beban nol 76
k
Biot 2
kapasitor 181
c
komponen simetris 211, 213
crest factor 140
konduktor 189
d
dampak 175, 188 konfigurasi ∆ 101
daya 62, 86, 124, 150, 151, kurva B-H 7
163, 164, 219 m
dielektrik 192 medan putar 66
e mesin asinkron 65,
efisiensi 38 mesin sinkron 45, 46, 54
empat kawat 97, 182 mmf 11
enam fasa 96 model satu fasa 90
energi 185 n
f newton 3
Faraday 1 nilai efektif 118, 149
Fourier 112 nilai rata-rata 118
g non linier 111
gaya magnetik 15 non sinus 111, 117, 144
generator 180, 181 p
h partial discharge 209
harmonisa 120, 135, 140, penyulang 186
175, 176, 177 per unit 222
henry 3 permeabilitas 3
histerisis 12, 20 polifasa 93
poligon 95
propagasi 105

Biodata Penulis 231


r t
rangkaian ekivalen 61, 71, tak seimbang 211
72, 109 tegangan maksimum 207
rangkaian magnetik 1, 5 Tellegen 151
reaktansi 56, 100 THD 140
regulasi 38 tiga kawat 184
reluktansi 8 torka 81, 82, 83
resistansi 76, 100 transformator 25, 26, 28, 29,
resonansi 127 32, 34, 35, 39, 40, 186, 201
rotor belitan 68 transmisi 97, 104
rotor diam 77 transposisi 102
rugi inti 14, 199 w
rugi tembaga 204 weber 2
s
Savart 2
seimbang 85, 94, 103
setengah gelombang 130
sumber parallel 184

232 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

Anda mungkin juga menyukai