Anda di halaman 1dari 17

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

DISMENORE

Disusun Untuk Memenuhi Nilai Praktik Klinik


Profesi Bidan

Oleh:
Maulida Diah Setiawati
190070500111025

Program Pendidikan Profesi S1 Kebidanan


Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
Malang
2020
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
Dismenore
1. Pokok Bahasan : Dismenore
2. Hari/Tanggal : Sabtu, 28 Maret 2020
3. Alokasi Waktu : 45 menit
4. Tempat : Malang
5. Sasaran : Remaja Putri
6. Tujuan Instruksional Umum
Setelah dilakukan penyuluhan, ibu dapat memahami mengenai dismenore dan dapat
mengatasi keluhannya
7. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah dilakukan penyuluhan tentang dismenore, diharapkan:
a. Remaja mengetahui pengertian dismenore
b. Remaja mengetahui penyebab dismenore
c. Remaja mengetahui cara untuk mengurangi dismenore
8. Strategi
Ceramah dan tanya jawab
9. Media
Leaflet dan lembar balik
10. Materi
Terlampir
11. Evaluasi
a. Input
Terdapat 1 remaja yang ikut dalam penyuluhan.
b. Proses
1) Pelaksana penyuluhan: manajemen waktu, penggunaan variasi metode
penyuluhan, bahasa penyampaian, penggunaan alat bantu, dan kemampuan
melibatkan peserta.
2) Peserta: frekuensi kehadiran, keaktifan bertanya.
c. Output
1 peserta dapat menjelaskan kembali mengenai materi yang telah diberikan
Rincian kegiatan
Media
yang
No Rincian Kegiatan Waktu Peserta Metode
diguna
kan
Pembukaan dan pre-test 10.00-  Menjawab Ceramah dan
verbal 10.10 salam tanya jawab
- Salam dan  Mendengarka
perkenalan n dan
- Penyampaian tujuan memperhatika
1.
penyuluhan n
- Pre-test verbal  Menjawab
- Penyampaian materi pertanyaan
yang akan
disampaikan
Penyampaian materi 10.10- Mendengarkan Ceramah dan Media
mengenai dismenore 10.25 dan tanya jawab leaflet
memperhatikan

2.

Evaluasi 10.25- Diskusi dan tanya Peserta


3. 10.35 jawab mengajukan
pertanyaan
Post test verbal 10.35- Meminta peserta Peserta
10.40 untuk mengulangi menjelaskan
kembali kembali
4. pengertian, tujuan pengertian,
serta macam tujuan serta
kontrasepsi macam
kontrasepsi
Penutup 10.40- Mengucapkan Peserta
10.45 terima kasih dan menjawab salam
5.
salam penutup dan ucapan
terima kasih

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masa remaja disebut sebagai periode transisi antara masa anak-anak dari masa dewasa,
berawal dari usia antara 11 tahun sampai 18 tahun (Prawirohardjo, 2014). Masa ini juga
disebut dengan masa pancaroba masa pubertas dan masa adolescence. Berdasarkan sensus
penduduk tahun 2015, jumlah remaja di Indonesia adalah 62.594.200 jiwa atau sekitar
30,41% dari total seluruh penduduk Indonesia (Dirjen P2PL Kemenkes RI, 2015). Remaja
memiliki rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta
cenderung berani menanggung resiko atas perbuatannya tanpa didahului pertimbangan
(Infodatin, 2017). Proses pertumbuhan dan perkembangan remaja mengalami banyak
hambatan, sifat remaja yang memiliki keingintahuan yang besar dan menyukai tatangan,
seringkali mengakibatkan remaja memiliki masalah kesehatan fisik maupun psikososial.
Masa ini banyak masalah atau problem hidup yang harus dihadapi karena jiwanya belum
stabil dalam mengambil suatu keputusan dan mudah dipengaruhi hal-hal bersifat negatif,
misalnya keingintahuan mencoba rokok, narkoba, seks, dan lain lain (Mardjan, 2016).
Perkembangan remaja dibagi menjadi 3 tahap yaitu remaja awal, remaja tengah,
remaja akhir. Pada tahap perkembangan ini remaja akan mengalami perubahan baik secara
anatomis, fisiologis, maupun psikis (Kligman et al, 2015). Salah satu tanda perkembangan
yang terjadi pada remaja putri adalah menstruasi. Menstruasi merupakan tanda bahwa organ
kandungan telah berfungsi matang (Kusmiran, 2012). Menstruasi seringkali muncul dengan
berbagai jenis rasa nyeri atau yang biasa disebut dengan dismenore. Studi menunjukkan 70-
80% remaja melaporkan memiliki dismenore, dimana 40% diantaranya melaporkan
meliburkan diri dari sekolah dan pekerjaan karena disminorre (Smith, 2018).

Pelayanan kesehatan remaja dapat memenuhi kebutuhan kesehatan remaja, termasuk


kesehatan reproduksi. Bidan memiliki peranan dalam upaya meningkatan kesehatan
reproduksi remaja, khususnya pada remaja perempuan. Hal ini tercantum dalam Permenkes
RI No. 28 tahun 2017 tentang izin Penyelenggaraan Praktik Bidan pasal 18 point C dimana
bidan berwenang memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan.

2. Tujuan
2.1 Tujuan Umum
Setelah mendapatkan penyuluhan mengenai dismenore remaja dapat memahami
bahwa hal tersebut adalah hal yang fisiologis dan dapat waspada terhadap masalah-masalah
seputar dismenore
2.2 Tujuan Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan, peserta diharapkan mampu:
1. Memahami mengenai dismenore
2. Memahami fisiologis dismenore
3. Memahami penanganan masalah dalam dismenore

3. Metode
1) Ceramah
2) Tanya jawab

4. Media
1) Leaflet
2) PPT
Lampiran 1
Materi Penyuluhan
1.1 Definisi
Menstruasi seringkali muncul dengan berbagai jenis rasa nyeri. Nyeri yang
dirasakan setiap individu dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Secara
etimologi nyeri menstruasi (dismenore) adalah aliran menstruasi yang sulit atau aliran
menstruasi yang mengalami nyeri (Anurogo, 2015). Studi menunjukkan 70-80%
remaja melaporkan memiliki dismenore, dimana 40% diantaranya melaporkan
meliburkan diri dari sekolah dan pekerjaan karena disminorre (Smith, 2018).
Dismenorea merupakan nyeri pada perut yang disebabkan kram saat menstruasi.
Dismenore terjadi pada perut bagian bawah yang bisa menjalar ke punggung bagian
bawah, nyeri yang dirasakan hilang timbul (Nugroho & Utama, 2014). Dysmenorrhea
biasanya terjadi pada 24 jam sebelum terjadinya perdarahan menstruasi dan terasa
selama 24- 36 jam.
Dismenore adalah nyeri perut yang berasal dari kram rahim yang terjadi
selama haid. Rasa nyeri timbul bersamaan dengan permulaan haid dan berlangsung
beberapa jam hingga beberapa hari hingga mencapai puncak nyeri. Dismenore terbagi
menjadi dismenore primer dan sekunder. Dismenore primer merupakan nyeri haid
yang tidak didasari kondisi patologis, sedangkan dismenore sekunder merupakan
nyeri haid yang didasari dengan kondisi patologis seperti ditemukannya
endometriosis atau kista ovarium. Onset awal dismenore primer biasanya terjadi
dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah menarke dengan durasi nyeri umumnya 8
sampai 72 jam. Dismenore primer berkaitan dengan kontraksi otot uterus
(miometrium) dan sekresi prostaglandin, sedangkan dismenore sekunder disebabkan
adanya masalah patologis di rongga panggul (Larasati, 2016).
1.2 Klasifikasi Dismenore
Dismenore diklasifikasikan menjadi 2 yaitu,
a. Dismenore primer
Terjadinya menstruasi merupakan salah satu tanda perkembangan system
reproduksi akibat perubahan hormone. Nyeri yang timbul sejak menstruasi
pertama dan akan pulih sendiri dengan berjalannya waktu. Perubahan yang terjadi
pada produksi hormone reproduksi mengakibatkan perubahan pada aktivitas
system reproduksi. Dismenore primer sering terjadi, kemungkinan lebih dari 50%
wanita mengalaminya dan 15% diantaranya mengalami nyeri yang hebat. pada
wanita dengan dismenore menunjukkan relaksasi uterus lebih lambat (10mmHg),
tekanan aktif maksimal 120 mmHg, dan kontraksi terjadi 3-4x dalam 10 menit
disbanding wanita yang tidak mengalami dismenore (Josimovich, 2018). Nyeri
yang dirasakan sebagai kram yang hilang timbul, biasanya nyeri timbul sesaat
sebelum atau selama menstruasi mencapai puncaknya dalam waktu 24 jam dan
setelah 2 hari akan hilang (Nugroho dan Utama, 2014).
b. Dismenore Sekunder
Biasanya baru muncul kemudian, yaitu jika ada penyakit atau kelainan yang
menetap seperti infeksi rahim, kista atau polip dan kelainan lainnya yang dapat
menganggu organ dan jaringan sekitarnya (Kusmiran, 2012). Dismenore sekunder
memiliki ciri khas yaitu: terjadi pada usia 20-an atau 30-an setelah siklus haid
yang relative tidak nyeri di masa lalu, ketidaksuburan, darah haid yang banyak
atau perdarahan yang tidak teratur, sensasi nyeri saat berhubungan seks, keputihan
berlebih, nyeri perut bawah atau pelvis selama waktu selain haid, nyeri yang tidak
berkurang dengan terapi nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs).

1.3 Penegakan Diagnosa


Menurut Bernardi et.al 2017 dapat melakukan pemeriksaan terfokus yang
meliputi pemeriksaan subjektif maupun pemeriksaan objektif. Pada dismenore primer
biasa terjadi 6-12 bulan setelah menarche. Nyeri terasa terus menerus, lokasi nyeri
pada are suprapubis, nyeri dapat dirasakan pada awal menstruasi puncaknya ketika
darah mengalir maksimum. Pada pengkajian subjektif diperlukan untuk menanyakan
mengenai riwayat kesehatan keluarga. Pada pasien dengan riwayat keluarga
endometriosis kemungkinan akan memiliki dismenore primer (Amimi et al, 2014).
Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil yang normal, namun dapat disertai dengan
mual, muntah, diare, kelelahan, demam, pusing, insomnia. USG tidak harus menjadi
pemeriksaan rutin, USG dibutuhkan untuk menegakkan dismenore sekunder.
Pemeriksaan pelvis dapat dilakukan pada wanita yang sudah melakukan hubungan
seksual, dimana pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 76%, spesifitas 74%, 67%
positif prediktif, 81% negative predictif untuk endometriosis. Hasil selalu
menunjukkan normal pada wanita dengan disminore primer. Pada pemeriksaan pelvis
dilakukan pemeriksaan mobilitas uterus, masa adneksa, nodul uterosacral, keputihan
dengan pelvic inflammation disease, uterus asimetris pada pasien adenomiosis
(Amimi, 2014)

Manajemen Penegakan Diagnosa Dismenore dan Penanganannya (Bernardi, et


al. 2017)
1.4 Faktor Penyebab
Terdapat beberapa faktor peranan sebagai penyebab dysmenorrhea primer,
antara lain :
a) Faktor Genetik
Laporan penelitian Charu et al (2012) bahwa 39,46% wanita yang menderita
dismenore seperti ibu atau saudara kandung, maka terdapat korelasi yang
kuat dengan dismenore. Hal ini disebabkan adanya factor genetic dapat
mempengaruhi psikis wanita tersebut. Pada penelitian Mool Raj et al pada
wanita dengan riwayat anggota keluarga (ibu/saudara dengan keluhan
dismenore memiliki3x kesempatan lebih besar mengalami dismenore
dibandingkan wanita tanpa riwayat dismenore.

b) Faktor Kejiwaan
Dalam beberapa penelitian juga disebutkan bahwa dismenorea yang timbul pada
remaja putri merupakan dampak dari kurang pengetahuannya mereka tentang
dismenorea.Terlebih jika mereka tidak mendapatkan informasi tersebut sejak
dini.Mereka yang memiliki informasi kurang menganggap bahwa keadaan
itusebagai permasalahan yang dapat menyulitkan mereka. Mereka tidak siap
dalam menghadapi menstruasi dan segala hal yang akan dialami oleh remaja
putri. Akhirnya kecemasan melanda mereka dan mengakibatkan penurunan
terhadap ambang nyeri yang pada akhirnya membuat nyeri menstruasi menjadi
lebih berat.Penanganan yang kurang tepat membuat remaja putri selalu
mengalaminya setiap siklus menstruasinya (Kartono, 2006).

c) Faktor nutrisi
Menurut Singh et al.(2008) dalam hasil penelitiannya, dari total wanita
yang mengisi kuisioner didapatkan 79,43% memiliki kebiasaan memakan
makanan cepat saji (junk food) didapatkan 16,82% di antaranya menderita
dismenore.18 Makanan cepat saji memiliki kandungan gizi yang tidak
seimbang yaitu tinggi kalori, tinggi lemak, tinggi gula, dan rendah serat.19
Kandungan asam lemak yang terdapat di dalam makanan cepat saji dapat
mengganggu metabolisme progesteron pada fase luteal dari siklus
menstruasi. Akibatnya terjadi peningkatan kadar prostaglandin yang akan
menyebabkan rasa nyeri pada saat dismenore. Prostaglandin terbentuk dari
asam lemak yang ada dalam tubuh. Setelah ovulasi terjadi penumpukan asam
lemak pada bagian fospolipid pada sel membran. Pada saat kadar
progesteron menurun sebelum haid, asam lemak yaitu asam arakidonat
dilepaskan dan mengalami reaksi berantai menjadi prostaglandin yang dapat
menimbulkan rasa nyeri saat haid. Selain dismenore, kebiasaan
mengkonsumsi makanan cepat saji juga dapat menimbulkan oligomenore,
hipermenore, dan sindrom pre-menstruasi.
d) Lama Menstruasi

Pada penelitian Kural et al. (2015) dilaporkan dari 100 wanita yang
mengalami dismenore 20% diantaranya memeliki durasi menstruasi 5-7 hari.
Dengan analalisis tersebut menggambarkan wanita dengan perdarahan durasi
lebih lama memiliki 1,9x lebih banyak kesempatan untuk menderita
dismenore. Lama durasi haid dapat dipengaruhi factor fisiologis yaitu
kontraksi otot uterus yang berlebihan atau sangat sensitive terhadap
hormone, akibatnya endometrium dalam fase sekresi memproduksi hormone
prostaglandin yang lebih tinggi. Semakin lama durasi haid, maka semakin
sering uterus berkontraksi akibatnya semakin banyak pula prostaglandin
yang dikeluarkan sehingga timbul rasa nyeri saat haid.

e) Kebiasaan Sehari-hari (Merokok)

Pada penelitian Gagua (2012) prevalensi dismenore signifikan terjadi


pada perokok yaitu 3,99% dibandi bukan perokok 0,68%. Hal ini dapat
terjadi karena nikotin bersifat vasokonstriktor sehingga menyebabkan
kontraksi.

1.5 Gejala Dismenore


Menurut Kasdu (2008), gejala dysmenorrhea yang sering muncul
adalah :
 Rasa sakit yang dimulai pada hari pertama menstruasi
 Terasa lebih baik setelah pendarahan menstruasi mulai
 Terkadang nyerinya hilang setelah satu atau dua hari. Namun, ada juga
wanita yang masih merasakan nyeri perut meskipun sudah dua hari haid.
 Nyeri pada perut bagian bahwa, yang bisa menja lar ke punggung bagian
bahwa dan tungkai.
 Nyeri dirasakan sebagai kram yang hilang timbul atau sebagai nyeri tumpul
yang terus menerus.
 Terkadang disertai rasa mual, muntah, pusing atau pening

1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap dismenore primer menurut Nugroho dan Utama (2014)
adalah :
1) Anjurkan klien untuk istirahat cukup
2) Kompres hangat didaerah perut
Menurut Kusmiran (2012), ada beberapa hal :
1) Mengkonsumsi minuman hangat yang mengandung kalsium
tinggi
2) Menggosok-gosok perut atau pinggang yang sakit
3) Tarik nafas dalam-dalam secara perlahan
4) Obat-obatan yang digunakan harus berdasarkan pengawasan
bidan atau dokter. Boleh minum alangesik (penghilang rasa sakit) yang
banyak dijual ditoko obat, tetapi dosisnya tidak lebih dari tiga kali sehari.
Menurut Wahyuni dalam Atika dan Siti (2009). Hampir sama dengan teori
Kusmiran (2012) dan Nugroho dan Utama (2014), tetapi ada sedikit perbedaan yaitu
untuk memperbanyak mengkonsumsi protein dan sayuran hijau.
Menurut amami (2014)
penatalaksanaan yang dapat
dilakukan adalah dengan
pengobatan meliputi
pemberian NSAID,
hormonal, apabila
ditemukan dismenore
primer maka dilakukan
penatalaksanaan sesuai masalah
Algoritma penatalaksanaan Dismenore (Amami, 2014)

Pengobatan dapat diberikan secara farmakologis maupun non farmakologis.


Yang termasuk dalam pengobatan non farmakologikal adalah pendidikan, terapi
suportis, dan perubahan kebiasaan seperti makan-makan sehat. Pengobatan
farmakologis memiliki efektifitas yang terbatas dengan efek samping, sehingga
pasien lebih baik diobati dengan pengobatan non farmakologis (Marriam, 2012)

Lampiran 2
Daftar Pustaka

Bernardi, M., Lazzeri, L., Perelli, F., Reis, F. M., & Petraglia, F. (2017).
Dysmenorrhea and related disorders. F1000Research, 6, 1645.
https://doi.org/10.12688/f1000research.11682.1
AMIMI S. OSAYANDE, MD, and SUARNA MEHULIC, MD, University of
Texas Southwestern Medical Center, Dallas, Texas
Am Fam Physician. 2014 Mar 1;89(5):341-346.
Chen C, Cho S, Damokosh AI, Chen A, Li G, Wang X, et al. Prospective
study of exposure to environmental tobbaco smoke and
dysmenorrhea. Environmental Health Perspectives. 2000;
108(11):1019-22.
Kural MR, Noor NN, Pandit D, Joshi T, Patil A. Menstrual characteristics and
prevalence of dysmenorrhea in college going girls. J Family Med
Prim Care [Internet]. 2015 [diakses tanggal 27 Oktober 2015];
4(3):426–431. Tersedia dari : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
Charu S, Amita R, Sujoy R, Thomas GA. Menstrual characteristics and
prevalence and effect of dysmenorrhea on quality of life of medical
students. International Journal of Collaborative Research on Internal
Medicine & Public Health. 2012; 4(4):276-94.
Gagua, T., Tkeshelashvili, B., & Gagua, D. (2012). Primary dysmenorrhea:
prevalence in adolescent population of Tbilisi, Georgia and risk
factors. Journal of the Turkish German Gynecological
Association, 13(3), 162–168. https://doi.org/10.5152/jtgga.2012.21
ABSENSI PESERTA PENYULUHAN

Tanggal :
Jam:
Tempat :
No Nama Alamat Tanda Tangan

Anda mungkin juga menyukai