Anda di halaman 1dari 16

Bab 11.

Peta Geomorfologi 2012

11
Peta Geomorfologi

11.1. Pedahuluan
Peta geomorfologi pada hakekatnya adalah suatu gambaran dari suatu bentangalam
(landscape) yang merekam proses-proses geologi yang terjadi di permukaan bumi. Pada peta
satuan geomorfologi sungai (fluvial), proses-proses geologi seperti erosi dan pengendapan
sedimen termasuk di dalamnya. Satuan geomorfologi seperti teras sungai (stream terrace) dan
kipas aluvial (alluvial fans) merupakan representasi dari proses-proses pengendapan pada
suatu sistem sungai dan menjadi dasar dalam penarikan batas pada peta geomorfologi. Metoda
pemetaan geomorfologi biasanya dilakukan dengan cara kombinasi antara penafsiran foto
udara (citra satelit), pemetaan lapangan terhadap bentuk bentuk bentangalam, analisis
laboratorium serta menggunakan hasil survei yang telah dipublikasikan.

Cara yang paling efektif untuk mempelajari bentangalam adalah dengan membuat peta
geomorfologi yang menyajikan persebaran dari satuan-satuan geomorfologi yang berbeda-
beda. Pada dasarnya “peta geomorfologi” berbeda dengan “peta geologi”, karena peta
geomorfologi tidak memperlihatkan penyebaran batuan, namun demikian ada hubungan yang
erat antara bentuk bentangalam dengan bebatuan yang mendasarinya; oleh karena itu peta
geomorfologi merupakan “wakil” yang berguna bagi peta geologi. Peta geomorfologi juga
dapat menunjukkan bagian dari sejarah Bumi. Peta geologi menjelaskan sejarah pengendapan,
sedangkan peta geomorfologi dapat menunjukkan sejarah erosi yang ditinggalkan.

Secara tradisional, ahli geomorfologi mempelajari bentangalam di lapangan dengan cara


mengamati melalui mata mereka sendiri dan juga secara tidak langsung melalui foto udara dan
peta topografi. Proses ini sudah sejak lama dilakukan, terutama pada daerah daerah yang
berhutan lebat sehingga sulit untuk ditentukan bentuk bentangalamnya (morfologinya).
Memindahkan hasil penafsiran dari pengamatan lapangan atau dari foto udara kedalam peta
dasar seringkali kurang teliti. Dengan adanya peta topografi maka akurasi, ketelitian,
kelengkapan, dan koordinat yang tepat serta dalam bentuk digital maka akan memudahkan
dalam penafsiran bentangalam (morfologi).

Sebagaimana diketahui bahwa geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk bentuk atau
konfigurasi bentangalam di permukaan bumi yang berbentuk padat (litosfir), baik yang berada
diatas dan dibawah permukaan laut serta melibatkan pengelompokan bentangalam dan proses
yang terlibat didalam perkembangannya. Istilah "fisiografi" sangat erat hubungannya dengan
geomorfologi, terutama dalam pemerian bentuk-bentuk bentangalam dan evolusinya dimana
air sebagai faktor yang paling penting dalam proses geomorfologi, baik air yang ada di lautan
maupun yang terdapat di cabang-cabang sungai di pegunungan.

Sejak adanya pesawat terbang yang kemudian disusul dengan adanya satelit yang mengorbit
bumi, para ahli geomorfologi mulai melakukan analisis dengan menggunakan foto udara

1 Copyright@2012 By Djauhari Noor


Bab 11. Peta Geomorfologi 2012

maupun citra satelit untuk memetakan bentangalam yang ada di permukaan bumi. Pada
umumnya informasi peta geomorfologi berasal dari peta topografi (untuk bentuk bentangalam)
dan peta geologi (untuk jenis struktur dan batuan yang mendasarinya) serta hasil pengamatan
dan pengukuran langsung di lapangan. Sebagaimana diketahui bahwa pengamatan yang
dilakukan di lapangan cenderung bersifat lokal atau terbatas dan daerah yang relatif kecil,
sedangkan pengamatan dan penafsiran yang dilakukan melalui foto udara dan citra satelit
bersifat luas dan regional. Format yang paling umum untuk menggambarkan bentangalam
sebagai peta fisiografi, biasanya menggunakan teknik sketsa.

Penelitian geomorfologi rinci yang dilakukan di lembah Dataran Tinggi Pajarito di Los Alamos
National Laboratory (LANL) sebagai bagian dari implementasi Undang-Undang Konservasi
Sumberdaya dan Penyelidikan Pemulihan Fasilitas. Gambar 11-1 adalah peta sebaran sedimen
sungai yang terkontaminasi oleh limbah radionuklida (plutonium-239) yang dibuang ke ngarai-
ngarai dalam bentuk limbah cair yang berasal dari pabrik fasilitas radiokimia yang berkaitan
dengan upaya pembuatan bom atom pertama kali pada Perang Dunia II tahun 1943. Pemetaan
sedimen yang terkontaminasi ini dilakukan dibagian hilir sungai dikarenakan pengendapan
kembali sedimen sedimen tersebut di bagian saluran-sungai dan dataran banjir.

Gambar 11-1 Peta geomorfologi detil dari endapan sedimen sungai di Dataran Tinggi
Pajarito di Los Alamos National Laboratory (LANL) yang terkontaminasi
oleh radionuklida Plutonium-239.

Pada penyelidikan lapangan, satuan-satuan geomorfologi dari endapan-endapan sungai dimulai


pasca-1942 yang dipetakan dengan menggunakan peta berresolusi tinggi untuk menentukan
sejarah pengendapan serta dipakai untuk memandu dalam pemilihan sampel. Satuan-satuan
geomorfologi yang berbeda mengindikasikan umur sedimen yang berbeda, ketebalan sedimen,
dan konsentrasi dari kontaminasi. Peta lapangan di-digitasi kedalam peta dasar topografi
dengan interval kontur 60 cm dan pada skala 1:200. Digitasi poligon-poligon dipakai untuk
menghitung jumlah dari seluruh satuan geomorfologi dan dipakai untuk memperkirakan daerah
yang terkontaminasi. Inventarisasi daerah yang terkontaminasi ini berguna untuk panduan
dalam penilaian risiko, mengevaluasi alternatif pemulihan, dan pengembangan model untuk
potensi dampak dari perpindahan sedimen yang terkontaminasi di masa depan.

Studi tentang bentangalam beserta struktur dan perkembangannya, termasuk bagaimana


menggambarkan keduanya melalui hasil penelitian dari karakter bentangalamnya. Para ahli
geomorfologi telah memakai berbagai metode untuk menggambarkannya, termasuk dengan
cara membuat sketsa, diagram balok, serta berbagai jenis foto dan citra lainnya, baik dari
permukaan tanah maupun dari udara, untuk menunjukkan gambar permukaan bumi. Peta
geomorfologi yang disajikan dalam berbagai bentuk, merupakan upaya dari para ahli
geomorfologi untuk mengembangkan suatu metode dalam menampilkan gambar dari
permukaan bumi. Peta-peta detil tersebut bukan hanya sebagai alat untuk menggambarkan
bentuk permukaan bumi saja, tetapi sebagai suatu instrumen penelitian baik secara teoritis
maupun terapan.

Selama abad ke-19 hingga awal abad ke-20, studi tentang bentangalam didominasi oleh studi
fisiografi deskriptif yang bersifat statis. Beberapa peneliti di Eropa dan Amerika Serikat
mengakui adanya pengaruh kekuatan-kekuatan dinamis pada bentangalam. Di Pegunungan
Alpen, Swiss, diketahui bagaimana kekuatan es yang bersifat dinamis merubah bentuk
bentangalam, sedangkan John Wesley Powell mengakui kekuatan air yang mengerosi Grand
Canyon menjadi lembah-lembah yang sangat dalam. Ferdinand Hayden mencatat adanya gaya
endogen berupa aktivitas vulkanisme yang merubah bentuk bentangalam di wilayah gunungapi
Yellowstone. Gagasan tentang adanya keseimbangan dinamis dari bentangalam dinyatakan
oleh GK Gilbert dalam studinya di Pegunungan Henry di Utah. Pada tahun 1899, William Morris
Davis memperkenalkan dalam fisiografi yang statis dan konsep Davis tentang "siklus erosi"
telah menghasilkan perubahan radikal dalam bidang geomorfologi. Hal ini menunjukkan
dengan tegas bahwa bentangalam itu bersifat dinamis dan terus berkembang melalui siklus
perubahan akibat kekuatan eksternal air dan atmosfer.

Meskipun hasil pemikiran Davis banyak dikritik namun pendekatan dinamis yang dikemukakan
Davis untuk bentuk-bentuk bentangalam tidak diabaikan bahkan dipakai hingga saat ini.
Konsep tentang dinamika juga diperkenalkan di Perancis pada waktu yang bersamaan melalui
perkembangan dalam "Geologie Dynamique." Dalam praktek, sebagian besar penelitian
geomorfologi dinamis terus berkembang dan mendominasi dibandingkan dengan konsep
geomorfologis yang bersifat statis dimana bentangalam hanya didiskripsi dan dilengkapi
dengan diagram balok yang indah.

Pada tahun 1920, teknologi foto telah berkembang ke tingkat yang cukup canggih yang
seharusnya berguna bagi para ahli geomorfologi. Pada awalnya ada beberapa ahli yang
menggunakan foto untuk mempelajari bentangalam dan pada tahun 1840, Prancis, J. Arago,
menyarankan agar foto dipakai dalam pemetaan topografi. Pada awalnya pemotretan udara
hanya dipakai untuk melihat bentuk bentangalam saja dan pemotretan dilakukan degan
menggunakan balon udara. Pada tahun 1899, Albert Heim menerbitkan foto-foto hasil
pengamatan bentangalam yang diambil selama penerbangan dengan menggunakan balon
diatas Pegunungan Alpen, ia mungkin adalah orang pertama yang menggunakan foto udara
dalam penelitian geomorfologi. Selama Perang Dunia pertama, foto udara juga dipakai untuk
mengetahui lokasi medan perang dan lokasi musuh.

Pada awal abad ke-20, hingga Perang Dunia II, sebagian besar penelitian geomorfologi
difokuskan pada lokasi-lokasi tertentu atau faktor-faktor tertentu dari bentangalam
dibandingkan pada perspektif regional yang komprehensif. Perang Dunia II merupakan suatu
titik awal dimana geomorfologi dibagi menjadi dua, yaitu geomorfologi untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan geomorfologi untuk kepentingan teknik. Berkat kemajuan teknologi
dirgantara foto udara dipakai dalam penafsiran untuk analisis geomorfologi. Dengan semakin
baiknya peralatan foto, film, dan tersedianya instrumen untuk penafsiran maka semakin
meningkatkan kemampuan untuk mempelajari bentuk bentuk bentangalam melalui foto udara.
Teknik analisis kuantitatif, yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu lainnya, yang diterapkan untuk
penelitian geomorfologi. Ahli geomorfologi, terutama di Eropa, menjadi tertarik dalam
menganalisis bentangalam secara regional dan komprehensif dari semua aspek beserta bentuk
bentangalamnya. Penyelidikan dari proses perkembangan bentangalam menyadarkan kita
bahwa perkembangan bentangalam sangat komplek dibandingkan dengan siklus dari Davis
yang relatif sederhana, yaitu adanya pendataran oleh proses peneplenisasi dan proses
peremajaan (rejuvinasi).
Pertanyaan yang harus dijawab tentang sifat dan proses bentangalam masa lalu serta
hubungannya dengan proses masa kini. Bagaimana mungkin berbagai bentangalam
diperbandingkan dan dibedakan satu sama lainnya, dan apa yang signifikan dari pengaruh
relief dari suatu bentangalam oleh hal-hal seperti vegetasi, hidrologi, dan perkembangan
budaya manusia di daerah tersebut? Dari sini akan muncul pertanyaan tentang perlunya
paradigma baru dalam geomorfologi. Karena bentangalam itu sangat kompleks, maka
penelitian ilmiah dari para ahli geomorpologi adalah mencari suatu metode yang dapat
menjelaskan faktor-faktor pembentuk bentangalam. Deskripsi kualitatif dan penyajian diagram
balok yang dibuat oleh para ahli fisiografi tidak memberikan informasi yang dibutuhkan dalam
menganalisa suatu bentang alam secara teliti dan akurat. Klimaszewski (1982) mengatakan
bahwa pemetaan geomorfologi detil yang maju sudah menjadi suatu kebutuhan atau bahkan
sebagai suatu keharusan. Pada 1950-an dan 1960-an, perkembangan ilmu geomorfologi baru
sampai ketahap menganalisa fisiografi permukaan bumi saja sedangkan saat ini
perkembangan konsep untuk menganalisis geomorfologi telah berkembang sedemikian rupa
dimana konsep pemetaan geomorfologi rinci menjadi prioritas utama dalam penelitian
geomorfologi (Demek,1982). Penelitian geomorfologi saat ini berkembang menjadi sekitar 5
konsep dasar bentangalam, yaitu:

1. Morfologi/morfografi: studi tentang bentuk-bentuk bentangalam (bentuk muka bumi).


2. Morfometri: studi tentang ukuran (dimensi) dan pengukuran nilai kemiringan lereng suatu
bentangalam.
3. Morfogenesis: studi tentang genesa (proses pembentukan) bentangalam.
4. Morfokronologi: studi tentang umur dari setiap bentangalam.
5. Morfodinamik: studi tentang proses-proses pembentukan bentangalam yang saat ini masih
aktif atau mungkin aktif di masa depan.

Penggambaran secara grafis dari kelima konsep tersebut merupakan sesuatu yang rumit dan
seringkali sulit dilakukan baik prosedur analisisnya maupun penggambaran secara kartografinya.
Perkembangan teori, prosedur, dan legenda kartografi telah banyak menghabiskan waktu,
terutama oleh para ahli geomorfologi Eropa, selama 30 tahun terakhir. Meskipun semua ahli
geomorfologi sepakat tentang perlunya peta geomorfologi rinci untuk penelitian geomorfologi
lanjut dan untuk meningkatkan nilai geomorfologi dalam mengaplikasikan analisis bentangalam,
namun demikian beberapa ahli tidak atau belum sepakat tentang isi dan sifat dari peta
geomorfologi. Beberapa peta geomorfologi rinci pertama kali diterbitkan oleh Siegfried
Passarge pada tahun 1914 dalam bukunya Peta Morfologi. Sejak saat itu hingga akhir Perang
Dunia II, beberapa peta yang terperinci dari beberapa daerah diterbitkan oleh beberapa ahli
geomorfologi Eropa dan survei geomorfologi rinci ini tetap dilakukan dibeberapa daerah hingga
kongres ke-18 Persatuan Geografis International (IGU) di Rio de Janeiro pada tahun 1956
dengan ditetapkannya pengakuan internasional tentang pentingnya peta geomorfologi rinci.
Dua tahun kemudian, pada kongres IGU di Stockholm, sub-komisi pemetaan geomorfologi
diberi tiga tugas, yaitu untuk:

1. Memperkenalkan dan mengembangkan metodologi pemetaan geomorfologi.


2. Mengadopsi suatu sistem yang seragam dalam pemetaan geomorfologi
3. Mendemontrasikan penerapan peta geomorfologi untuk perencanaan baik yang bersifat
lokal maupun regional dalam rangka pemanfaatan permukaan bumi untuk pembangunan
(Klimaszewski, 1982).

Sebenarnya sebelum terbentuknya subkomisi dalam IGU, peta geomorfologi rinci sudah
dipersiapkan di sejumlah negara, termasuk diantaranya Swiss, Uni Soviet, Polandia, Prancis,
Cekoslovakia, Jepang, Belgia, dan Hongaria. Namun demikian karena adanya perbedaan dalam
hal isi dan metodologinya, secara umum peta tidak dapat diperbandingkan dan oleh karena itu
penggunaannya terbatas apabila diterapkan untuk analisis geomorfologi pada area yang lebih
luas. Para ahli geomorfologi Eropa menyadari bahwa dibutuhkan teknik yang seragam
termasuk legenda yang umum dipakai pada pemetaan yang komprehensif. Pada pertemuan di
Krakow, Polandia, pada tahun 1962, wakil-wakil dari 15 negara menetapkan serangkaian
pedoman untuk menyiapkan peta geomorfologi. Pedoman ini mencakup (Klimaszewski, 1982):

1. Pekerjaan lapangan sebagai suatu kebutuhan dasar dengan foto udara sebagai alat yang
direkomendasikan.
2. Pemetaan pada skala antara 1:10.000 dan 1:100.000 di mana skala "relief dan kekhasan
yang dapat diwakili."
3. Pemetaan semua aspek relief, termasuk morfografi, morfometri, morfogenesis, dan
morfokronologi, sehingga perkembangan relief masa lalu, masa kini, dan masa depan bisa
dipelajari.
4. Penggunaan warna dan simbol untuk menyampaikan informasi.
5. Kronologi pembentukan dalam perkembangan bentang alam.
6. Data litologi dimasukkan.
7. Penyusunan legenda peta dalam urutan genetik-kronologis.
8. Pengakuan bahwa peta geomorfologi rinci sangat penting untuk pengembangan masa
depan geomorfologi.

Sub-komisi Pemetaan Geomorfologi secara teratur bertemu selama tahun 1960-an. Pada
tahun 1968, pada Kongres IGU di New Delhi, India, subkomisi ini ditingkatkan statusnya
menjadi Komisi Pemetaaan dan Survei Geomorfologi dan diberi tanggung jawab untuk
mengembangkan Panduan Detil Pemetaan Geomorfologi dan Penyusunan Legenda untuk
Peta Geomorfologi Internasional pada skala 1:2.500.000.

Terlepas dari kerja kolaboratif oleh Komisi Pemetaan dan Survei Geomorfologi, banyak
keanekaragaman dan ketidak sepakatan yang terjadi terutama pada sifat peta
geomorfologi dan isinya. Banyaknya legenda, pendekatan dan metodologi yang dipakai,
telah berkembang sedemikian banyak. Sebagian besar dari mereka mewakili pandangan
negaranya atau wilayah tertentu dan hanya sedikit yang memenuhi semua persyaratan
dari pemetaan geomorfologi komprehensif. Demek (1982) telah menunjukkan bahwa
perkembangan baru dalam geomorfologi sejak 1970 telah secara substansial meningkat
secara signifikan dan dalam praktek pemetaan geomorfologi. Pemahaman yang lebih baik
dari interaksi gaya endogenik dan eksogenik, berkaitan dengan munculnya teori baru
tentang Tektonik Lempeng dan perkembangan metode penyelidikan Bumi dari ruang
angkasa.

Sesuatu yang baru yang ditekankan dalam mempelajari relief bentangalam adalah
"geomorfologi lingkungan" yaitu pemahaman relief bentangalam bagi kehidupan manusia
beserta aktivitasnya. Metode penelitian yang baru telah diperkenalkan, terutama dalam
kaitannya dengan foto udara, citra satelit, dan citra radar, seiring dengan perkembangan
komputer yang mampu menganalisis data dan menampilkan peta permukaan bumi secara
otomatis. Walaupun ada kemajuan namun permasalahan tetap ada. Selain masalah isi dan
metodologi, juga skala yang tepat untuk peta, baik peta skala besar dan peta skala kecil
belum terjawab. Pertanyaan pertanyaan ini penting untuk diselesaikan terutama bagi masa
depan geomorfologi. Demek berpendapat bahwa, sampai mereka belum menetapkan,
maka tidak ada kemajuan dalam ilmu geomorfologi. Wright (1972) membagi peta
geomorfologi menjadi dua kategori umum, yaitu: "Survei Bentangalam" dan "Penyelidikan
khusus tentang gambaran permukaan bumi." Kategori pertama meliputi berbagai jenis
peta geomorfologi rinci. Kategori kedua mencakup peta khusus seperti "Terrain Analogues".
11.2. Teori Pemetaan Geomorfologi
Di setiap negara, perkembangan pemetaan geomorfologi mengikuti arah yang berbeda-beda,
sebagian karena kepentingan tertentu dan minat dari para ahli geomorfologinya dan sebagian
karena kenyataan yang berbeda atau persepsi yang berbeda dari bentangalam yang
dijumpainya. Sampai saat ini, hampir semua pemetaan geomorfologi rinci telah dilakukan di
Eropa oleh para ahli geomorfologi Eropa. Secara umum, praktisi Amerika lebih tertarik dalam
mempelajari bentuk-bentuk bentangalam yang khas atau memetakan faktor-faktor dari suatu
bentangalam dibandingkan dengan mempelajari perkembangan bentangalam secara
komprehensif. Rendahnya minat terhadap penelitian secara komprehensif kemungkinan
disebabkan oleh berkurangnya minat dalam geografi. Beberapa ahli geomorfologi Eropa,
termasuk Perancis, Cekoslowakia, dan Hungaria, telah memilih satuan litologi-struktural
sebagai unsur dasar dalam menganalisis bentangalam (bentuklahan). Sedangkan negara
lainnya, seperti Polandia, Rusia, Rumania, dan Jerman, menganggap bentuk sebagai satuan
dasar.

Tatacara pemetaan geomorfologi rinci dan legenda peta untuk peta skala 1:2.500.000
umumnya di-ikuti oleh negara-negara seperti Polandia, Rusia, dan Jerman. Di Inggris, para ahli
geomorfologi mengembangkan "sistem empiris" yang didasarkan pada pembagian
bentangalam kedalam "lereng dan dataran". Sistem yang sama telah diadopsi oleh beberapa
ahli geomorfologi dari Belgia dan Kanada karena mereka mampu memberikan nilai kuantitatif
untuk semua bentangalam, terutama untuk genesa dan kronologi kejadiannya. Beberapa ahli
geomorfologi telah berusaha untuk menggabungkan pendekatan. Di Australia, Lembaga
Penelitian Tanah dan hasil survei dari The Commonwealth Scientific dan Industrial Research
Organization (CSIRO) mengembangkan sistem pemetaan geomorfologi untuk survei sumber
daya berdasarkan konsep satuan geomorfologi dan sistem tanah. Satuan geomorfologi yang
terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh permukaan tanah yang memiliki asal yang sama dan
memiliki bentuk topografi yang sama, tanah, vegetasi, dan iklim. Sebuah sistem lahan adalah
"gabungan dari satuan geomorfologi yang secara geografis dan genetikanya saling terkait"
(Kristen, 1958). Sistem ini perlu disesuaikan lagi dengan survei dengan survei tinjau
berdasarkan informasi yang diperoleh dari foto udara.

11.3. Satuan Geomorfologi


Pemetaan geomorfologi dimulai dengan mengidentifikasi satuan satuan dasar yang membentuk
bentangalam. Penentuan sifat dan karakter dari satuan geomorfologi sangat penting dalam
keberhasilan dari setiap penelitian geomorfologi. Tidak ada satupun yang sepakat dalam
menentukan satuan morfologi yang dapat memenuhi semua jenis dan skala untuk pemetaan
geomorfologi. Miyogi et al. (1970) menjelaskan satuan geomorfologi secara umum sebagai
"suatu individu dari bentangalam, yang secara genetika bersifat homogen dan merupakan
hasil dari suatu proses geomorfologi yang membangun (constructional processes) atau proses
geomorfologi yang merusak (destructional processes)". Hampir semua ahli geomorfologi
sepakat dengan definisi diatas, akan tetapi akan berbeda ketika mendeskripsi keseragaman
pembentukan dari karakteristik bentangalamnya. Selain itu, meskipun kebanyakan bentuk
bentangalam dapat dianggap terbentuk secara seragam, namun dalam hal prosesnya, bentuk
bentangalam dicirikan oleh sifat-sifat berbeda dan hal ini dikarenakan proses proses masa
lalunya berbeda. Wright (1972) telah menunjukkan bahwa "setiap bagian dari permukaan bumi
adalah hasil akhir dari evolusi yang dikendalikan oleh kondisi batuan yang menyusunnya,
proses geomorfologi, iklim, dan waktu."

Ada dua pendekatan dalam menentukan satuan geomorfologi, dimana Speight (1974)
membagi bentangalam menjadi model unsur-unsur pembentuk bentangalam dan pola
bentangalamnya. Kedua pendekatan ini dianggap saling melengkapi. Setiap model dapat
digunakan untuk menggambarkan setiap bagian dari bentuk muka bumi, dengan pilihan

170 Copyright@2012 By Djauhari Noor


tergantung pada skala dan tujuan pemetaan. Dalam model unsur-unsur pembentuk
bentangalam, satuan geomofologi diperbandingkan dengan "permukaan geometris lengkungan
sederhana tanpa adanya infleksi" yang terfokus pada kelerengan dan pengukuran kemiringan
lereng. Pada model pola bentangalamnya, permukaan bumi dipandang sebagai "fenomena
yang berulang (siklus) dalam bentuk tiga-dimensi di mana unsur-unsur sederhana berulang
dengan interval pola yang teratur." Disini satuan-satuan dari unsur-unsur yang membentuk
pola yang dipelajari. Sistem pemetaan geomorfologi di Rusia, Polandia, dan Cekoslowakia
mengikuti model pola bentangalamnya dimana satuan dasarnya adalah morfostruktur yang
dipakai sebagai klasifikasi satuan geomorfologinya (Bashenina, 1978). Para ahli geomorlogi
Inggris dan yang lainnya menggunakan model dari unsur-unsur pembentuk bentangalamnya
untuk satuan geomorfologinya sedangkan unsur geometrinya ditentukan berdasarkan hasil
pengukuran kemiringan lerengnya (Savigear, 1965), sedangkan kelompok dari negara lain
menggunakan dengan beberapa variasi dari kedua model.

Perbedaan yang signifikan dalam identifikasi satuan geomorfologi adalah dalam hal skala dan
luas wilayahnya. Pada skala yang berbeda maka luas area yang terkover juga akan berbeda,
perbedaan bentangalam dapat diidentifikasi sebagai satu satuan geomorfologi yang seragam.
Dengan demikian pilihan dari satuan geomorfologi tergantung pada skala yang dipakai. Howard
dan Mitchell (1980) mengatakan bahwa dasar yang paling jelas dan paling sederhana untuk
klasifikasi adalah "klasifikasi bentangalam menjadi satuan satuan yang homogen sesuai dengan
skala peta yang dipakai dan untuk tujuan tertentu."

Tingkatan satuan geomorfologi dapat dengan mudah diidentifikasi di hampir semua wilayah,
tergantung pada skala peta yang digunakan. Menurut Nicholayev (1974, bentangalam adalah
"sebuah geosystem multi-tier." Pada setiap tingkatan, taksonomi dari setiap individu
bentangalam berbeda dan merupakan satuan dasar yang membentuk bentangalam. Sebagai
contoh apabila kita memetakan suatu daerah yang sangat luas dengan skala yang lebih kecil,
maka bentangalam yang lebih kecil serta proses-proses geomorfologi sering tidak
tergambarkan dengan jelas sedangkan apabila pemetaannya menggunakan skala yang lebih
besar maka bentuk bentangalamnya semakin jelas.

Geomorfologi adalah subjek yang kompleks dengan pendekatan ganda, yaitu untuk analisis
geomorfologi dan pemetaan geomorfologi berbagai skala. Secara alamiah, satuan geomorfologi
dikontrol oleh model analisis yang dipakai serta skala pemetaan yang dibutuhkan. Satuan dasar
geomorfologi bukan merupakan suatu satuan geomorfologi yang berdiri sendiri, tetapi harus
secara hati-hati ditentukan berdasarkan homogenitasnya dan skala peta yang dipakai.
Meskipun secara umum semua sepakat bahwa satuan dasar geomorfologi harus merupakan
entitas yang homogen yang dapat didefinisikan dalam hal genetika atau pola strukturalnya.

Sebagian besar peta geomorfologi rinci dikembangkan untuk wilayah yang lebih kecil pada
skala cukup besar, biasanya antara 1:10.000 dan 1:50.000. Salah satu perkembangan yang
paling diminati dalam geomorfologi adalah analisis bentangalam yang bersifat regional.
Penelitian semacam ini memerlukan peta geomorfologi regional. Sejumlah metode telah
disarankan oleh para peneliti melalui tingkatan (hirarki) geomorfologi yang dapat
dikembangkan (Gellert, 1972).

11.4. Peran Penginderaan Jauh


Semua teknik yang dapat melihat bentuk bentuk bentangalam dari kejauhan diklasifikasikan
sebagai Penginderaan Jauh. Bagi ahli geomorfologi, foto udara dan citra satelit keduanya
adalah bekerja atas dasar mengukur dan mencatat berbagai panjang gelombang atau band
dari spektrum elektromagnetik. Panjang gelombang yang digunakan berkisar antara panjang
gelombang sinar tampak, inframerah, dan panjanga gelombang radar. Studi gelombang suara,
atau sonar, serta studi tentang perbedaan medan magnet bumi secara regional juga dapat
diklasifikasikan sebagai penginderaan jauh. Penggunaan gelombang suara (sonar) dapat
dipakai untuk mempelajari relief dasar laut. Lembaga Kelautan Nasional Inggris telah
mengembangkan proyek Geology Long Range Inclined Asdic (GLORIA) untuk penelitian detil
dari dasarlaut dalam (Laughton, 1980).

Sejumlah penelitian morfologi yang memakai data yang berasal dari proyek GLORIA telah
dilakukan di pegunungan tengah samudra (midoceanic ridge) oleh Searle, 1979; Searle dan
Laughton, 1981) dan penelitian dari morfologi kipas bawah laut dari beberapa delta sungai
yang besar besar (Damuth et al, 1983.). Pemetaan geomorfologi dasar dari laut dalam
dikembangkan berdasarkan kombinasi antara metoda sonar dan sistem pemetaan dasar laut
(SeaMARC II) (Hussong dan Fryer, 1983; Blackinton dan Hussong, 1983).

Studi magnetik, gravitasi, dan seismik tidak lazim digunakan dalam penelitian geomorfologi
karena informasi yang mereka berikan terutama untuk bawah permukaan mengacu terutama
pada keadaan bawah permukaan bumi; Bagian interior bumi kadang-kadang dapat membantu
dalam mengenali dan menafsirkan fenomena permukaan (misalnya, menggunakan anomali
gaya berat (gravitasi) atau anomali magnetik untuk mengetahui misalnya adanya tanggul di
bawah punggung suatu bukit.

Dengan memanfaatkan foto udara, para ahli geomorfologi telah dapat melihat bagian yang
cukup besar dari permukaan bumi pada satu waktu dari perspektif peta. Meskipun cakupan
area yang terpotret oleh foto udara terbatas, proses memadukan foto foto yang bersebelahan
menjadi suatu mosaik foto dapat memberikan perspektif (pandangan) secara regional secara
langsung dari wilayah yang lebih luas. Kesempatan untuk melihat pemandangan dalam skala
regional memerlukan kemampuan dalam penafsiran dari bentuk-bentuk bentangalam yang
terekam di dalam foto udara atau citra satelit. Sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, teknik
penginderaan jauh telah disempurnakan, seperti ketersediaan emulsi film baru, dan sebagai
teknologi baru, citra satelit dan penginderaan jauh menjadi lebih banyak digunakan dalam
penelitian geomorfologi.

Saat ini, penggunaan foto udara atau citra satelit menjadi suatu ketentuan yang berlaku umum,
langkah pertama dalam survei geomorfologi yang komprehensif adalah dengan
mengidentifikasi dan memetakan satuan-satuan geomorfologi dengan menggunakan foto-
udara stereokopik pada daerah yang akan dipelajari. Dari foto udara, sebagian besar morfologi
dapat diidentifikasi, dan banyak pertanyaan pertanyaan mengenai morfogenesis, seperti proses
denudasi dan pengendapan, dapat dijawab. Sudut lereng dapat diperkirakan dan dikelompokan,
dan relief relatif dari bentuk muka bumi dapat ditentukan dengan akurasi yang dapat diterima.
Dengan demikian ahli geomorfologi ke lapangan bermodalkan hasil penafsiran yang dilakukan
melalui foto udara.

Langkah kedua dalam survei adalah pekerjaan lapangan. Keakuratan hasil penafsiran foto
udara harus diperiksa kebenarannya di lapangan, dan pengukuran bentuk bentuk bentangalam
yang ukurannya kecil harus dilakukan. Pertanyaan morfo-kronologi, seperti sejarah urut-urutan
terjadinya teras sungai, harus dapat ditentukan. Teknik penginderaan jauh, dengan
memanfaatkan dan menggunakan foto udara sangat penting untuk persiapan sebelum ke
lapangan, akan tetapi survei geomorfologi yang lengkap dan akurat yang mengarah ke
pemetaan geomorfologi secara rinci memerlukan kerja lapangan yang cukup intensif. Ketika
pekerjaan lapangan telah selesai dan peta pendahuluan sudah dilakukan pengecekan ke
lapangan, maka peta geomorfologi detil dapat dibuat, umumnya berbagai warna digunakan
untuk simbol yang komplek.
11.5. Klasifikasi Bentangalam (Bentuk Muka Bumi) untuk
Pemetaan Geomorfologi.
Peta geomorfologi masih belum dianggap penting dalam bidang geologi secara umum.
Walaupun demikian, dalam geologi kerekayasaan dan lingkungan, peta geomorfologi sudah
mulai dipertimbangkan sebagai peta acuan, khususnya ketika menyangkut permasalahan
proses geologi eksogen yang bersifat dinamis. Sejarah pembuatan peta geomorfologi di
Indonesia, khususnya di kalangan perguruan tinggi – tidak mengacu pada satu sistem
manapun (Bandono dan Brahmantyo, 1992), walaupun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan
menggunakan sistem ITC (van Zuidam, 1985). Sistem ini di kalangan mahasiswa umumnya
hanya dimanfaatkan dalam tata cara penamaan satuan geomorfologi karena memberikan
“kotak-kotak” yang jelas dalam penamaannya. Hal ini menjadi alternatif pengganti acuan dari
Lobeck (1939) yang masih memberikan penamaan deskriptif yang panjang.

Namun demikian, di kalangan mahasiswa geologi masih banyak kesulitan penggunaan satuan-
satuan geomorfologi dari klasifikasi yang ada baik dari ITC (van Zuidam, 1985), apalagi Lobeck
(1939). Hambatan pertama dari sistem ITC sebenarnya bermula karena sistem ini
mendasarkan klasifikasinya pada pengamatan dan interpretasi dari foto udara. Kesulitan
pertama dari sistem ITC juga muncul pada penamaan dengan kode D1 sampai D3 dan S1
sampai S3 yang sangat deskriptif dengan kalimat panjang dan tidak memberikan penamaan
yang praktis. Selain itu penamaan “denudational origin” agak sulit diterima mengingat pada
dasarnya semua bentuk muka bumi telah atau sedang mengalami proses denudasional. Hal lain
adalah tidak jelasnya kontrol geologis pada pembentukan morfologi, karena beberapa
penamaan menggunakan kriteria persen lereng.

Di lain pihak, pembagian satuan bentuk muka bumi Lobeck (1939), sebenarnya bisa lebih
praktis dan mempunyai kebebasan yang tinggi. Tetapi dalam contohnya, Lobeck tidak
memberikan penamaan satuan khusus melainkan memberikan deskripsi pada suatu morfologi
tertentu yang harus selalu mengacu pada unsur-unsur struktur – proses – tahapan. Ketiadaan
bentuk diagramatis klasifikasi bentuk muka bumi dengan contoh nama-nama satuan yang
sistematis pada Lobeck telah membuat kesulitan pemakaiannya bagi para pemeta. Namun
demikian, pendekatan Lobeck (1939) sebenarnya lebih cocok untuk geologi karena
mendasarkan pembagian morfologinya secara genetis, yaitu proses-proses geologi baik yang
bersifat endogen maupun eksogen.

Mengingat keterbatasan-keterbatasan pembagian satuan-satuan geomorfologi dari ITC maupun


Lobeck, maka diperlukan suatu acuan penggunaan klasifikasi yang lebih mudah dan praktis,
khususnya bagi mahasiswa. Acuan ini diharapkan tetap tidak meninggalkan analisis
geomorfologi secara kritis, terutama melalui analisis peta topografi, yang dapat didukung juga
melalui interpretasi foto udara dan citra, maupun pengamatan lapangan.

11.5.1. Prinsip Penggunaan Klasifikasi Bentangalam

Dalam geomorfologi, banyak peneliti mengacu pada mahzab Amerika yang mengikuti prinsip-
prinsip Davisian tentang “siklus geomorfologi”. Prinsip ini kemudian dijabarkan oleh Lobeck
(1939) dengan suatu klasifikasi bentang alam dan bentuk muka bumi yang dikontrol oleh tiga
parameter utama, yaitu struktur (struktur geologi; proses geologi endogen yang bersifat
konstruksional/membangun), proses (proses-proses eksogen yang bersifat destruksional /
merusak atau denudasional), dan tahapan (yang kadangkala ditafsirkan sebagai “umur” tetapi
sebenarnya adalah respon batuan terhadap proses eksogen; semakin tinggi responnya,
semakin dewasa tahapannya). Di lain pihak terdapat mahzab Eropa, di antaranya adalah yang
dikembangkan oleh Penck (dalam Thornbury, 1989) yang lebih menekankan pada proses
pembentukan morfologi dan mengenyampingkan adanya tahapan.
Terlepas dari mahzab-mahzab tersebut, Klasifikasi Bentuk Muka Bumi ini mempunyai prinsip-
prinsip utama geologis tentang pembentukan morfologi yang mengacu pada proses-proses
geologis baik endogen maupun eksogen. Interpretasi dan penamaannya berdasarkan kepada
deskriptif eksplanatoris (genetis) dan bukan secara empiris (terminologi geografis umum)
ataupun parametris misalnya dari kriteria persen lereng. Klasifikasi BMB ini terutama adalah
untuk penggunaan pada skala peta 1:25.000 yang membagi geomorfologi pada level bentuk
muka bumi/ landform, yang mengandung pengertian bahwa morfologi merupakan hasil proses-
proses endogen dan eksogen. Sedangkan penggunaan pada skala lebih kecil misalnya 1:50.000
s/d 1:100.000 lebih bersifat pembagian pada level bentang alam/landscape yang hanya
mencerminkan pengaruh proses endogen, dan pada skala lebih kecil lagi misalnya 1:250.000
pada level provinsi geomorfologi atau fisiografi yang mencerminkan pengaruh endogen
regional bahkan tektonik global.

Pembagian skala peta dan perincian deskripsi satuan sudah banyak kecocokan antar berbagai
klasifikasi (Brahmantyo dan Bandono, 1999) dan cocok pula dengan pembagian penggunakan
skala peta untuk penyusunan tata ruang (lihat Gambar 1; UURI No. 24/1992 tentang Penataan
Ruang dan PP No. 10/2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah).
Produk pemetaan geomorfologi adalah peta geomorfologi pada skala 1:25.000 yang
berdasarkan pada analisis desk-study, dengan peta dasar adalah peta topografi, didukung
interpretasi lain baik dari foto udara maupun citra; serta data yang didapat dari pemetaan
geologi. Cara-cara pembuatan peta geomorfologi selanjutnya mengikuti cara-cara yang telah
dilakukan sesuai petunjuk yang telah dipakai secara luas dan sebaiknya menggunakan simbol-
simbol geomorfologi (lihat contoh-contoh pemakaian simbol peta geomorfologi pada van
Zuidam, 1985).

11.5.2. Acuan Pembagian Klasifikasi Bentuk Muka Bumi

Acuan pembagian Klasifikasi Bentangalam ini akan mengikuti beberapa kriteria di bawah ini:

1. Secara umum dibagi berdasarkan satuan bentangalam yang dibentuk akibat proses-proses
endogen/struktur geologi (pegunungan lipatan, pegunungan plateau/lapisan datar,
Pegunungan Sesar, dan gunungapi) dan proses-proses eksogen (pegunungan karst,
dataran sungai dan danau, dataran pantai, delta, dan laut, gurun, dan glasial), yang
kemudian dibagi ke dalam satuan bentuk muka bumi lebih detil yang dipengaruhi oleh
proses-proses eksogen.
2. Dalam satuan pegunungan akibat proses endogen, termasuk di dalamnya adalah lembah
dan dataran yang bisa dibentuk baik oleh proses endogen maupun oleh proses eksogen.
3. Pembagian lembah dan bukit adalah batas atau titik belok dari bentuk gelombang
sinusoidal ideal (Gambar 11-2A). Di alam, batas lembah dicirikan oleh tekuk lereng yang
umumnya merupakan titik-titik tertinggi endapan koluvial dan/atau aluvial (Gambar 11-2B).
4. Penamaan satuan paling sedikit mengikuti prinsip tiga kata, atau paling banyak empat kata
bila ada kekhususan; terdiri dari bentuk / geometri / morfologi, genesa morfologis (proses-
proses endogen – eksogen), dan nama geografis. Contoh: Lembah Antiklin Welaran,
Punggungan Sinklin Paras, Perbukitan Bancuh Seboro, Dataran Banjir Lokulo; Bukit Jenjang
Volkanik Selacau, Kerucut Gunungapi Guntur, Punggungan Aliran Lava Guntur, Kubah Lava
Merapi, Perbukitan Dinding Kaldera Maninjau, Perbukitan Menara Karst Maros, Dataran
Teras Bengawan Solo, Dataran Teras Terumbu Cilauteureun, dsb.
5. Klasifikasi Bentuk Bentangalam menurut (Brahmantyo,B.,1992) terlihat dalam gambar
dibawah ini.
Gambar 11- 2. Bentangalam Pegunungan Lipatan

Gambar 11-3. Bentangalam Pegunungan Patahan (Sesar)


Gambar 11- 4. Bentangalam Pegunungan Gunungapi

Gambar 11- 5 Bentangalam Pegunungan Plateau / Lapisan Datar


Gambar 11- 6 Bentangalam Pegunungan Karst

Gambar 11- 7 Bentangalam Dataran Sungai, Danau, Pantai, Delta dan Laut
Gambar 11- 8 Bentangalam Pegunungan Gurun dan Glasial

11.6. Penyusunan Peta Geomorologi


Peta geomorfologi disusun berdasarkan hasil interpretasi citra penginderaan jauh dan
pengamatan/penelitian lapangan yang disajikan dalam bentuk gambar, melalui proses
kartografi. Keterangan peta ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

 Penyiapan peta
Pada tahap penyusunan peta geomorfologi, semua unsur yang menjadi persyaratan dalam
pembuatan peta harus dimasukkan dan disesuaikan dengan ketersediaan ruang pada
lembar peta.

 Sumber data
Sumber data yang diperlukan dalam pelaksanaan pembuatan peta geomorfologi, di
antaranya: peta rupabumi, foto udara, citra satelit dan lain-lain. Peta rupabumi yang
digunakan mengacu pada sistem penomoran lembar peta Bakosurtanal.

 Sistem referensi koordinat


Sistem referensi koordinat peta geomorfologi mengacu kepada sistem referensi geodetik
nasional yang ditetapkan oleh Bakosurtenal, berdasarkan peraturan yang berlaku.

 Ukuran lembar peta


Batas ukuran dan luas lembar peta ditentukan berdasarkan koordinat, untuk skala
1:250.000 adalah 1,5 x 1 derajat, 1:100.000 adalah 30 x 30 menit, 1:50.000 adalah 15 x
15 menit, sedangkan untuk skala 1:25.000 adalah 7,5 x 7,5 menit.

 Pemerian geomorfologi
Unsur geomorfologi yang tercantum dalam peta geomorfologi meliputi satuan geomorfologi
(bentukan asal dan bentukan lahan), morfologi, jenis batuan, proses geomorfologi,
tanah/soil dan tutupan lahan.
 Penyajian peta
Penyajian peta disusun menurut bagan tata letak sesuai Gambar 11-2. Perubahan tata
letak dapat dilakukan selama proses pengkartografian, dengan ketentuan peta
geomorfologi memuat:

Gambar 11-2. Contoh tata letak peta geomorfologi

1) judul peta
2) nama dan nomor lembar peta
3) instansi penerbit/pimpinan instansi
4) peta geomorfologi
5) garis penampang geomorfologi (A-B-C)
6) peta lokasi daerah pemetaan
7) lokasi indek lembar peta
8) skala peta
9) cakupan foto udara/citra satelit
10) nama penyusun & tahun terbitan
11) daftar istilah toponimi
12) penampang geomorfologi
13) perian satuan geomorfologi
14) simbol
15) sumber data
16) nama penelaah/penyunting dll

 Simbol
Simbol merupakan tanda yang dipergunakan untuk mengutarakan informasi geomorfologi
pada peta, berupa huruf dan angka, warna, garis dan corak.

 Huruf dan angka


Huruf dan angka digunakan untuk menunjukkan satuan geomorfologi. Huruf digunakan
untuk menunjukkan bentukan asal dari satuan bentuk lahan. Angka digunakan untuk
menunjukkan jenis bentuk lahan pada masing-masing bentukan asal.
Contoh penamaan satuan peta:
V1.1 = V adalah bentukan asal gunungapi dan angka 1 adalah jenis bentuk lahan (kerucut
gunungapi), sedangkan .1 adalah bentuk lahan rinci.

 Warna
Warna digunakan untuk membedakan satuan bentukan asal (Tabel 1). Untuk
masingmasing bentuk lahan diberi simbol warna gradasi dari tua ke muda sesuai dengan
warna dasar bentukan asal.

 Garis
Garis digunakan untuk mengekspresikan elemen-elemen geomorfologi dan batas satuan
peta geomorfologi.

Tabel 11-1 Simbol Huruf dan Warna Unit Utama Geomorfologi

UNIT UTAMA KODE/HURUF WARNA

Bentukan asal struktur S (Structures) Ungu


Bentukan asal gunungapi V (Volcanics) Merah
Bentukan asal denudasi D (Denudational) Coklat
Bentukan asal laut M (Marine) Biru
Bentukan asal sungai/fluvial F (Fluvial) Hijau
Bentukan asal angin A (Aeolian) Kuning
Bentukan asal karst K (Karst) Orange
Bentukan asal glasial G (Glacial) Biru Terang

180 Copyright@2012 By Djauhari Noor

Anda mungkin juga menyukai