Anda di halaman 1dari 5

NAMA : JAEMSHON

NIM : D011191137
PRODI : TEKNIK SIPIL

TUGAS WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM


Review Film Dokumenter “Hunter of The South Seas; The Whale Hunters Of
Lamalera”

KRONOLOGI FILM
Film dokumenter ini bercerita tentang perjalanan seorang penulis Will Millard di
pesisir Pulau Lembata, Desa Lamalera, Flores, Nusa Tenggara Timur. Millard
mendokumentasikan bagaimana aktivitas perburuan paus secara tradisional dan
kehidupan sosial masyarakat di tempat ini.
Tujuan Millard datang ke Lamalera yaitu untuk melihat langsung aktivitas
perburuan paus yang banyak dihina oleh dunia luar. Untuk melihat langsung, Millard
dibawa bersama nelayan dalam perburuan ke tengah laut. Di tengah laut ia berkenalan
dengan Stefanus, nelayan lokal yang kemudian memandu kapal yang membawa
Millard. Setelah perburuan, mereka membawa pulang seekor ikan pari manta. Ekor dari
ikan pari ini diberikan kepada pemilik kapal, dan kepala ikan pari diberikan kepada
orang yang mengerok air, yaitu Millard sendiri. Pari Manta ini dikatakan cukup untuk
memberi makan 40-50 orang.
Kemudian pada kegiatan perburuan selanjutnya, Millard dipandu oleh bapak
Aloysius. Aloysius adalah seorang nelayan pemburu paus yang tinggal bersama tiga
anaknya. Ia mengarungi lautan untuk menghidupi ketiga anaknya dan merasa
bertanggung jawab akan keberlangsungan hidup 2000 orang di Lamalera. Aloysius
sangat memperhatikan dan menyayangi anaknya sehingga anaknya menyebutnya “Bapa
berhati Ibu”. Dalam perburuan ini, Millard juga berkenalan dengan seorang nelayan
yang lain, Marcel. Marcel bercerita bahwa ia telah menjadi seorang nelayan sejak tamat
SD saat berusia 12 tahun. Akhirnya mereka pulang tanpa membawa ikan. Para nelayan
bercerita bahwa mereka akan sangat malu dan merasa terbebani jika pulang melaut
tanpa membawa hasil.
Pada hari Minggu, mereka hanya mengamati dari pinggir pantai dan tidak
melakukan aktivitas perburuan paus. Ketika mereka melihat paus hari itu, mereka tidak
akan masuk ke laut dan memilih untuk menunggu sampai tiba hari esok. Hal ini terjadi
karena pada hari Minggu mereka harus beribadah dan mematuhi aturan agama. Seluruh
masyarakat yang tinggal di daerah Lamalera beragama Kristen Katolik. Pada awalnya,
pendahulu-pendahulu mereka beragama animisme. Setelah ratusan tahun kemudian,
para misionaris masuk ke wilayah Lamalera dan menyebarkan agama Kristen Katolik.
Diceritakan bahwa keluarga sangat mengkhawatirkan mereka yang mengarungi laut
berburu paus. Dalam melakukan aktivitas perburuan ini tentunya nyawa yang menjadi
taruhannya. Aloysius berkata bahwa ketika mereka sudah memasuki lautan, tidak ada
lagi yang dipikirkan selain untuk menangkap paus. Ia juga bercerita bahwa ada para
pendahulu mereka yang harus rela memakan pakaian mereka sendiri agar bisa bertahan
di tengah laut. Selain itu pada 20 tahun yang lalu, ada juga nelayan yang harus berenang
selama 16 jam karena perahu yang mereka gunakan dibalikkan dan dihancurkan oleh
paus. Ada juga yang diceritakan kakinya putus karena diserang paus.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan lainnya, masyarakat pesisir harus pergi ke
pasar barter yang ada di bukit. pesisir pergi ke pasar barter dengan membawa daging
paus yang telah dikeringkan selama 4 pekan. Mereka menuju pasar dengan
menggunakan minibus. Di pasar barter ini, tidak ada transaksi dengan uang, di mana
semua transaksi terjadi dengan pertukaran. Masyarakat pesisir menukarkan daging paus
mereka dengan beberapa bahan pangan seperti jagung, pisang, dan sayuran lainnya.
Pasar barter ini hanya terbuka sebanyak dua minggu sekali.
Mendapat kabar bahwa paus sedang muncul di permukaan, minibus langsung
tancap gas membawa Millard untuk kembali ke pesisir. Sekitar 50 kapal yang
merupakan komunitas pemburu paus semuanya bergerak menuju laut. Kapal yang
mereka gunakan merupakan kapal yang menggunakan tenaga mesin. Lompatan
Aloysius yang pertama meleset dan tidak mengenai paus. Pada lompatan selanjutnya,
Aloysius berhasil menusuk paus dengan tombak dan nelayan lainnya segera bergerak
mengamankan paus. Millard tampak ketakutan saat paus berusaha bergerak ke bawah
kapal untuk membalikkan kapal. Tangannya tampak bergetar. Pada akhirnya mereka
berhasil menaklukkan paus tersebut. Saat semua kapal berbalik ke pesisir, mereka
berhasil menangkap 5 ekor paus. Masyarakat kemudian bergerak memotong daging
ikan paus tersebut. Bagian sirip ekor paus diberikan kepada orang yang melompat ke
tengah laut.
Salah satu nelayan bercerita bahwa pada tahun 1980, aktivitas perburuan paus ini
dilarang. Walau dikecam oleh beberapa aktivis dan kumpulan pemerhati lingkungan,
mereka tetap melakukan aktivitas perburuan. Tapi karena metode perburuan mereka
yang masih menggunakan cara tradisional, pemerintah tetap mengizinkan aktivitas
perburuan ini. Terlebih hal ini adalah budaya yang diwariskan sejak 500 tahun lalu oleh
para pendahulu mereka. Aktivitas perburuan paus ini mereka katakan sebagai rezeki
dari Tuhan yang harus dijemput. Setiap tahunnya mereka hanya memburu paus rata-rata
sebanyak 20 ekor per tahunnya. Mereka juga selektif dalam memburu paus dengan
hanya memburu paus yang besar saja. Mereka tidak akan menangkap paus yang masih
kecil atau sedang hamil.
Setelah membawa pulang 5 ekor paus, mereka kembali ke laut untuk melakukan
aktivitas perburuan. Millard tampak kebingungan mengapa mereka tetap melaut padahal
sudah membawa pulang 5 ekor paus. Kemudian para nelayan ini membawa pulang 16
ekor ikan Pari Manta. Millard tentu mempertanyakan untuk apa mereka memburu ikan
Pari Manta yang banyak. Millard menelusuri dan mengikuti salah seorang nelayan
hingga ke rumahnya pada malam hari. Mama, istri dari nelayan tersebut yang tampak
memotongi daging ikan Pari Manta kemudian mengatakan bahwa ikan Pari ini memiliki
nilai jual yang tinggi. Mereka menjual bagian insang dari ikan Pari untuk dijadikan
obat. Millard merasa mereka curang karena pada awalnya, nelayan menjelaskan bahwa
ikan Pari ini akan dibagikan kepada 40 sampai 50 orang. Millard berpendapat bahwa
mungkin mereka mulai memikirkan kepentingan sendiri karena waktu yang dihabiskan
di laut dan rasa sakit yang haru mereka terima, tetapi Ia tetap setuju bahwa tidak akan
ada kehidupan di Lamalera tanpa aktivitas berburu paus. Setelah sebulan tinggal di
Lamalera, Millard pun berpamitan dengan mendatangi satu persatu nelayan yang telah
membawa Millard menyaksikan langsung aktivitas perburuan paus.

PANDANGAN PRIBADI
Awal menonton film ini, saya sangat menghargai dan menaruh respect terhadap
mereka, para nelayan yang mempertaruhkan nyawa dalam memburu paus sperma
(Sperm Whale) untuk menopang keberlangsungan hidup masyarakat di Desa Lamalera.
Mereka menganggap paus ini sebagai anugerah dari Tuhan, sehingga tujuan mereka
berburu paus hanya sekadar untuk mempertahankan hidup, bukan dengan tujuan
komersial. Cara mereka berburu pun dengan cara tradisional sehingga tidak merusak
keseimbangan alam. Saya memahami ada tiga tujuan mereka melakukan budaya ini
secara turun temurun. (1) Daging paus adalah satu-satunya komoditas pangan yang
mengandung protein di Desa Lamalera, (2) Daging paus digunakan sebagai alat barter
yang dilakukan di pasar barter (terbuka hanya dua kali seminggu berdasarkan info dari
film Indonesia Biru Edisi ke-28). Mereka menukar daging paus yang telah dikeringkan
dengan bahan pangan lain seperti jagung, wortel, dan sayuran lainnya, dan (3) Daging
paus mereka bagikan sebagai jaminan sosial terhadap para janda dan orang yang sudah
lanjut usia. Mereka menganggap daging paus terlalu besar untuk mereka miliki secara
pribadi. Tampaknya ikatan sosial mereka sangat kuat.
Namun, setelah menonton film dokumenter ini sampai akhir, saya merasa ada
sedikit keganjilan. Saya melihat adanya penyimpangan kultur, khususnya dalam
penangkapan Pari Manta (Manta Ray). Saya setuju dengan penulis film ini, Will Millard
yang mengatakan mereka agak sedikit curang. Pada awal mereka menunjukkan bahwa
mereka membagikan ikan Pari Manta kepada 40 sampai 50 orang. Namun pada akhir
film, Millard menyaksikan pelaut yang tetap memburu Pari Manta setelah sebelumnya
mereka telah menangkap 5 ekor paus. Para pelaut itu kemudian berkata jujur bahwa Pari
Manta tersebut akan mereka jual untuk mendapatkan uang. Yang perlu kita ketahui
bahwa ikan Pari Manta ini termasuk sebagai satwa yang langka dan dilindungi oleh
pemerintah. Mereka membagi-bagikan daging ikan paus kepada orang banyak, tetapi
khusus untuk Pari Manta, hanya untuk kalangan yang menangkapnya yaitu orang yang
berada di atas perahu saat penangkapan berlangsung. Mereka menangkap Pari Manta
untuk kepentingan pribadi, yaitu memperoleh keuntungan dengan menjual bagian
tubuhnya. Bagian utama yang mereka jual adalah insangnya. Insang dari Pari Manta
bisa dijadikan obat kuat atau jamu perkasa bagi pria. Kegiatan memperjualbelikan ikan
Pari Manta merupakan tindakan ilegal dan melanggar aturan. Kasus ini terjadi pada
tahun 2014, di mana Wildlife Crime Unit (WCU) menangkap oknum yang menjual
insang pari manta kepada seorang pengusaha di Makassar.
Berbicara tentang cara nelayan berburu paus yang tradisional ini, saya rasa cukup
baik. Mereka menggunakan sebatang bambu dan pada ujungnya diikat pisau. Kemudian
mereka berlayar ke laut menggunakan perahu. Perahu yang mereka gunakan sudah
modern, di mana di dalam film ditunjukkan perahu yang mereka gunakan sudah
memanfaatkan tenaga mesin. Menurut informasi yang saya dapat dari film Indonesia
Biru Edisi ke-28, mereka menggunakan perahu mesin sejak tahun 2001. Sebelum
mereka menggunakan perahu mesin, pendahulu-pendahulu mereka menggunakan
perahu kayu yang didayung atau dalam bahasa mereka “peledang”. Mereka hanya
menangkap paus yang telah tua atau besar. Mereka tidak akan menangkap paus yang
kecil atau sedang hamil, karena mereka menganggap rezeki dari Tuhan akan terhenti
apabila mereka menangkap dengan sewenang-wenang.
Di sela-sela menonton film ini, saya bingung mengapa kegiatan perburuan paus ini
dilegalkan oleh pemerintah. Setelah membaca informasi dari internet, Komisi Perburuan
Paus Internasional sudah mendefinisikan perburuan paus di Lamalera sebagai perburuan
tradisional yang masih diperbolehkan untuk dilakukan. Selain itu, ternyata paus hasil
tangkapan mereka dimanfaatkan seutuhnya. Berbeda dengan penangkapan paus yang
terjadi di negara tertentu, seperti Jepang, yang hanya memanfaatkan sirip dan minyak
yang terdapat pada paus.
Saya bukannya menolak budaya mereka dalam menangkap paus, atau dalam bahasa
mereka “menjemput rezeki dari Tuhan”, tapi yang perlu dikritisi di sini adalah tujuan
mereka menangkap Pari Manta. Beberapa dari mereka mulai egois dan jika hal ini
berlanjut, bukan tidak mungkin di masa yang akan datang anak cucu mereka mulai
mengklaim paus hasil tangkapan sebagai milik pribadi. Saya pikir pemerintah ataupun
pemerhati lingkungan perlu turun tangan untuk menyadarkan mereka apa yang menjadi
tujuan mereka berlayar di laut. Mungkin instansi terkait perlu merancang dan menyusun
aturan khusus mengenai penangkapan paus di Lamalera.
Saya mendukung penuh budaya mereka untuk berburu paus sperma sebagai budaya
sekaligus cara mempertahankan hidup. Lagi pula mereka menangkap paus hanya sekitar
20 ekor setiap tahunnya. Namun saya perlu mengkritisi penangkapan Pari Manta yang
seharusnya tidak diperjualbelikan, apalagi jika memburu Pari Manta hanya untuk dijual
insangnya sebagai obat kuat. Satu kalimat yang dapat saya katakan, yang perlu
diperkuat di sini bukan keperkasaan dari para pria, namun ikatan sosial dan adat sebagai
benteng pertahanan terakhir sejarah Lamalera.
Di sisi lain cerita film dokumenter ini, saya mengagumi sosok Bapak Aloysius yang
sangat ramah dan sangat bijak. Saya terharu melihat kehidupan beliau yang harus
menghidupi ketiga anaknya yang sudah kehilangan sosok ibu. Beliau memperlakukan
anaknya sangat baik sehingga anaknya menyebutnya sebagai “Bapa berhati Ibu”. Selain
itu, beliau menganggap sekitar 2000 orang di Desa Lamalera sebagai tanggung
jawabnya. Saya beranggapan bahwa sangat sulit untuk menemukan orang-orang bijak
dan rela berkorban seperti bapak Aloysius ini. Selain itu, beliau juga adalah orang yang
taat beragama. Beliau tidak melaut di hari Minggu karena beribadah, terlebih juga
mematuhi aturan agama. Sungguh besar dan mulia hati bapak ini.

PANDANGAN UMUM
Pandangan umum ini saya rangkum setelah melihat komentar-komentar netizen
pada film dokumenter tersebut, entah mereka menonton sampai habis atau tidak. Tapi
tampaknya mereka tidak menonton sampai habis. Atau mungkin saja mereka menonton
sampai habis, tetapi beberapa dari mereka yang berkomentar tidak menangkap semua
informasi karena film ini berbahasa Inggris.
Sebagian besar bahkan hampir semua komentar setuju dan mendukung adanya
budaya perburuan paus oleh masyarakat di Lamalera. Mereka terharu akan perjuangan
dari para nelayan yang mempertaruhkan nyawa di tengah laut demi keberlangsungan
hidup masyarakat banyak di Desa Lamalera. Mereka cenderung lebih menyalahkan
oknum pabrik atau industri yang membuang polusi ke laut yang memberi dampak
merusak lebih besar karena langsung merusak lingkungan tempat tinggal makhluk laut.
Selain itu ada yang memberi kritik dengan membandingkan kehidupan para penguasa
yang korup di mana para pemburu paus ini dipandang lebih layak untuk menikmati
hidup daripada para penguasa.

PENUTUP
Kata mereka “Ada paus kami hidup, tidak ada paus kami mati” menandakan bahwa
kehidupan masyarakat Lamalera ini sangat bergantung pada paus. Saya merasa tidak
akan mengapa jika beberapa ekor paus yang dikorbankan daripada generasi di Lamelera
yang harus dikorbankan. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah penangkapan ikan
Pari Manta. Beberapa dari mereka sudah mulai egois dengan memanfaatkan secara
pribadi untuk tujuan komersial. Besar harapan saya agar mereka bisa kembali
memanfaatkan sumber laut dengan tepat sesuai tujuan budaya ini diturunkan sejak 500
tahun yang lalu.
Biarkanlah mereka meneruskan budaya ini, lebih dari sekadar mempertahankan
hidup, tetapi juga sebagai media pemersatu ikatan sosial dan adat Lamalera. Jangan
sampai anak cucu mereka ke depan menjadi buta dan lupa akan sejarah yang besar.

Anda mungkin juga menyukai