Anda di halaman 1dari 4

Berita Teror Buaya, Monster Air Sungai Barito Dan Atraksi Paaliran Pukau Pejabat Hindia

Belanda.

KULTUR masyarakat Banjar yang lekat dengan sungai, termasuk legenda atau mitos
berkembang terkait dengan makhluk gaib berbentuk buaya. Ada yang menyebut buaya kuning,
buaya putih, hingga sebagian lagi mempercayai punya garisan dengan keturunan hewan gaib
yang hidup di aliran Sungai Barito dan Sungai Martapura, berikut anak sungainya. Ya, seperti
tradisi malabuh yang masih diterapkan sebagian masyarakat Banjar, khususnya di tepian sungai.

TERNYATA ancaman buaya ini justru merepotkan penguasa Banjarmasin di era kolonial
Belanda. Hingga harus menerjunkan tim khusus terdiri dari pawang buaya dan pemburu hewan
berdarah dingin dan berkulit keras itu di aliran sungai yang ada di ibukota Borneo Selatan
ini.Sejarawan muda yang juga Sekretaris Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Universitas Lambung
Mangkurat (ULM), Mansyur ‘Sammy’ pun punya cerita yang menarik. Ia menceritakan kisah
perburuan buaya yang diabadikan lewat goresan pena dan foto warisan Hindia Belanda di
Banjarmasin di era 1926-1930.

“Saat itu, monster air bernama buaya ini menjadi ancaman yang menakutkan bagi warga
Banjarmasin, terutama yang bermukim di tepian Sungai Barito dan aliran sungai lainnya.
Keberadaan monster air ini makin merajalela, hingga akhirnya perburuan besar-besaran
ditempuh pemerintah Hindia Belanda,” ucap Mansyur kepada jejakrekam.com, Senin
(18/6/2018).Akhirnya, banyak buaya Kalimantan yang bernama latin crocodylus raninus
ditangkap dan diambil kulitnya untuk diperdagangkan, hingga menembus pasar Eropa. Mansyur
juga mengutip catatan Leather industry and trade of the Netherland East Indies yang ditulis Carl
H. Boehringer (1932) mengungkapkan di Banjarmasin, banyak terdapat perusahaan skala kecil
yang bergerak di bidang pengolahan kulit reptil dan kulit binatang lainnya. Sebut saja, Firma
Neuffer dan Borneosche Bont dan Lederindustrie Bandjermasin, Borneo.

“Perusahaan ini khusus mengolah kulit buaya (krokodil skin). Meski dari nama tertera bont yang
berarti bulu, tapi perusahaan ini mengkhususkan dalam menangani kulit binatang liar. Sejak itu,
buaya tak lagi menakutkan, malah menjadi produk bernilai ekonomi dengan kulitnya yang
berharga mahal,” ucap Mansyur yang akrab disapa Sammy ini. Hal ini terbukti, dari kulit buaya
yang hidup di aliran Sungai Barito dan anak sungainya dibuat menjadi aneka kerajinan seperti
dompet, tas, topi, ikat pinggang, sepatu dan lainnya.Magister sejarah jebolan Universitas
Diponegoro Semarang ini juga memaparkan pada April 2016, ada tiga koran yang melaporkan
insiden terkaman buaya terhadap manusia, yakni Tilburgsche courant dan Algemeen
Handelsblad (edisi 6 April 1926) serta Limburger Koerier (edisi 9 April 1926) bahwa seorang
pribumi bernama Amit dan istrinya baru kembali dari bioskop di Bandjermasin, suatu malam.
Jalanan saat itu berlumpur karena musim hujan. Itulah sebabnya Amit bersama istrinya lalu ke
belakang rumah mencuci kaki mereka di kali (sungai). Tiba-tiba seekor buaya muncul,
menangkap Amit di kakinya dan menyeretnya ke dalam air. Istrinya sempat meraih meraih Amit,
terjadi tarik menarik. Sayangnya sang istri tidak berdaya. Monster air itu memenangkannya.
Sang pemangsa ini menyeret si suami ke kedalaman air. Hingga berita diturunkan, nasibnya
tidak diketahui. Dosen sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat ini juga mengisahkan pada
pertengahan 1928, seorang penduduk asli Banjar di Kampung Talok Dalam (Teluk Dalam),
Bandjermasin sedang mandi di sungai di depan rumahnya sekitar pukul setengah delapan
malam, tiba-tiba diserang buaya. Waktu itu, korban terkesiap serta langsung berteriak minta
tolong. Pada saat mendengar teriakan korban, penduduk bergegas menghampirinya. Untungnya
mereka berhasil menyelamatkannya. Dengan kondisi berdarah dari banyak mata luka, pria yang
malang itu segera diangkut ke rumah sakit, seperti ditulis Koran De Sumatra Post, edisi 10 Mei
1928.

Ternyata, teror monster air ini masih menghiasi headline koran di era Belanda. Seperti
pergulatan manusia dengan buaya yang ditulis Koran Soerabaijasch handelsblad (edisi 15 maret
1929). Koran ini seorang penduduk lokal bernama Lima, disergap buaya pada suatu malam di
Banjarmasin. Pria itu baru saja akan kembali ke rumah dari acara syukuran. Setelah selesai
acara dia ingin melangkah ke perahu kecil yang terletak di Sungei Wilhelmina (sungai di
kawasan Belitung sekarang). Tiba tiba dia disambar oleh buaya dan diseret ke dalam air.

“Dalam berita koran itu, diceritakan ketika binatang jahat tersebut membawanya, ia berteriak
meminta pertolongan. Karena banyaknya orang yang masih hadir di acara syukuran tersebut
dan belum seluruhnya pulang, suaranya sangat jelas terdengar. Segera penduduk berdatangan
untuk menyelamatkan. Sayang, semuanya sudah terlambat. Buaya dengan cepat membawa
badan Lima ke dasar air. Semua tamu malam itu telah mencari keberadaan tubuh Lima, tetapi
tidak ditemukan,” tutur Sammy.

Serangan buaya yang telah merambah ke kawasan perkotaan Banjarmasin benar-benar menjadi
mimpu buruk. Tak mengherankan, jika akhirnya pemerintah Hindia Belanda menganjurkan
penduduk untuk selalu membawa pisau atau senjata tajam untuk berjaga-jaga, ketika
berpergian untuk waspada terhadap serangan sang pemangsa

Masih menurut Sammy, serangan buaya juga tak pandang bulu, dewasa dan anak kecil pun jadi
korban keganasannya. Terbukti, pada suatu sore, sekitar jam 5 masih di kampung Telok Dalam,
tidak jauh dari pusat Kota Banjarmasin dikabarkanseorang gadis lokal berumur 10 tahun
disambar buaya kecil pada bagian paha. “Kondisi air sungainya sangat dangkal (surut),
sehingga anak tersebut agak sulit dan tidak bisa ditarik oleh buaya ke bawah air. Ketika buaya
itu melonggarkan gigitannya, sang gadis kecil tersebut dapat menarik kakinya yang terluka ke
belakang dan menjerit dengan nyaring,” beber Sammy. Untungnya, buaya tersebut tidak segera
menyambarnya, gadis kecil itu bisa melarikan diri dari sungai. Sangat beruntung memang, luka
yang ditimbulkan oleh gigi dan kuku buaya tidak berbahaya. Pada malam yang sama, si anak
kemudian dipindahkan ke rumah sakit militer, di mana ia diobati.

“Itu adalah pemberitaan yang dinaikkan De Indische Courant edisi 29 Januari 1931 dan De
Sumatra post (edisi 03 Februari 1931),” kata Sammy.

Tak hanya itu, pada 19 Maret 1931, Nieuwe Tilburgsche Courant juga memberitakan dengan
headline, Banjarmasin Darurat Buaya. Dua nelayan muda di Kampung Benoea Anjar (Banua
Anyar) di malam hari menghabiskan sekitar sebelas jam di perahu kecil untuk menangkap ikan
dengan jaring. Dalam cahaya bulan yang jelas, mereka menyeberangi sebuah sungai, dengan
lebar hampir seratus meter. Pada bagian belakang perahu duduk pendayung yang langsung
memperingatkan temannya ketika buaya besar berenang menuju perahu mereka. Pendayung
berusaha menghalau buaya. Namun, hewan itu muncul tepat waktu, dengan kibasan ekornya
memukul perahu kecil yang ditumpangi kedua nelayan tersebut. Perahu terbalik dan
penumpangnya masuk ke dalam air. Buaya menyergap salah satu dari nelayan tersebut dan
membawanya ke bagian sungai yang dalam. Sementara nelayan lainnya berenang dan berhasil
mencapai tepian sungai tanpa terluka. Dua hari kemudian, jasad korban ditemukan
mengambang beberapa kilometer lebih jauh dari posisi mereka sebelumnya di sungai.

Prihatin dengan kondisi itu. Tingginya intensitas gangguan buaya inilah justru membikin urang
Banjar di Kween (Kuin), Banjarmasin serta daerah lainnya, membuat teknik penangkapan buaya
yang dinamakan maalir buaya. Menurut Sammy, dari beberapa sumber dipaparkan bahwa
maalir ini sebenarnya seperti memancing buaya dengan pancing yang besar. Ini dilakukan oleh
paaliran atau seorang pawang buaya yang mempunyai ilmu khusus dalam menguasai atau
menundukkan buaya.

“Biasanya dilakukan ketika ada orang yang ditangkap buaya atau ada buaya yang akan
mengganggu orang-orang di suatu kampung. Dengan berbagai alat yang digunakan ini
dilaksanakan baik berupa peralatan untuk menangkap buaya maupun peralatan magis yang
menyertainya, agar buaya tersebut dapat ditangkap,” papar Sammy. Ketua Lembaga Kajian
Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan menyebut paaliran tersebut biasanya
berpakaian yang berwarna kuning khusus untuk paaliran tersebut ketika maaliri buaya tersebut
lengkap dengan laung dan sebagainya. Cukup rinci, Sammy memaparkan bahwa alir atau
pancing yang diberi umpan makanan buaya tersebut ditempatkan di dalam rakit kecil yang
dipasangatau diletakkan di sungai tempat buaya itu berada. “Paaliran ini merupakan pemimpin
dalam menangkap buaya dengan alir tersebut dan dibawa bersama beberapa orang di dalam
perahu ketika memasang dan juga menyeret buaya yang telah kena alir tersebut,” bebernya.

Nah, jika buaya telah menyambar alir yang diberi umpan itu dan kena maka pangaliran tadi
bersama rombongan menarik tali alir tadi dengan perahu. Kemudian, menyeret buaya itu untuk
selanjutnya dibunuh. Menurut Sammy, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang
biasanya harus dikerjakan dan dipimpin oleh paaliran atau pawang buaya tadi.

“Tak heran, jika Paaliran adalah orang yang mempunyai ilmu untuk menundukkan buaya
tersebut, yang lain hanya membantu. Keberadaan mereka ini benar-benar memukau pejabat
Hindia Belanda yang merasa terbantu dengan perburuan buaya di Sungai Barito dan aliran
sungainya,” imbuh Sammy

Anda mungkin juga menyukai