Anda di halaman 1dari 11

Nestapa Kembalinya Fosil Biawak Purba

Kalimantan Memabawa Inspirasi.


MEI 29, 2016 Gabriel Alvando. Sumber : Andi Fachrizal dan Rahmadi RahmadReptil
endemik Kalimantan itu, tiba-tiba muncul ke permukaan. Di balik batu perhuluan Sungai
Kapuas,Puttusibau. Lanthanotus borneensis ini, menampakkan diri setelah sekian lama
hilang dari radar pengetahuan.

http://gabrielalvando04.blogspot.co.id/2016/
Biawak tak bertelinga yang hanya ada di Kalimantan. Foto: Jeaksen Thungku
Cerita berawal ketika warga di sebuah perkampungan kecil di Kabupaten Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat, sedang bergotong royong membangun bendungan untuk kebutuhan air
bersih desa, 22 September 2014. Di tengah kesibukan kerja, tiba-tiba Faulunsius Atet
berteriak lantang: Biawak ada biawak
Spontan, warga lainnya berlarian ke arah suara itu. Di sana, Atet sedang mengamati
makhluk aneh di balik bebatuan sungai. Sesuai pengamatannya, kulit satwa itu bergerigi
dari kepala hingga ekor. Menyerupai buaya dengan warna kecokelatan. Panjang tubuhnya
diperkirakan mencapai 50 sentimeter.
Melihat adegan itu, aparat desa setempat, Jeaksen Thungku, tak ingin melepaskan
momentum langka tersebut. Di tengah kerumunan warga, sebuah kamera saku miliknya dia
manfaatkan. Satwa itu pun direkam sebelum dihalau ke tempat yang lebih aman dari
aktivitas manusia.
Adalah Sodik Asmoro (35), warga Kapuas Hulu yang menceritakan kembali kisah itu.
Terus terang, saya sendiri belum pernah melihat satwa macam ini. Bentuknya memang
seperti biawak. Tapi kulitnya bergerigi seperti kulit buaya, katanya saat berkunjung ke
Pontianak, Selasa (17/11/15).
Menurutnya, warga sudah mulai khawatir akan terjadi sesuatu di kampung. Biasanya
kejadian aneh seperti itu selalu dikaitkan dengan hal berbau mistik. Ini sangat beralasan.
Sebab, warga memang tak pernah berjumpa dengan makhluk yang menyerupai biawak.
Bahkan, dalam rentang waktu bersamaan mereka dapat melihat satwa itu sebanyak dua
ekor dalam satu hamparan yang sama di sekitar sungai. Ya, yang terlihat saat itu ada dua
ekor. Setelah difoto, kami coba halau ke tempat yang lebih aman. Tapi satwa ini kurang
respon, katanya.
Sodik menegaskan bahwa satwa itu enggan melarikan diri meski sudah diusir warga. Jika
dilihat dari bentuk badannya, semua mirip biawak. Kecuali kepalanya yang lebih
menyerupai kadal. Tapi satwa itu terkesan jinak. Berbeda dengan biawak yang biasa kita
lihat. Kalau itu sangat agresif. Terlebih ketika melihat manusia, tuturnya.
Tak hanya itu, Sodik juga menjelaskan bagian-bagian tubuh satwa tersebut. Hidungnya
yang tumpul, dan daun telinga yang tak terlihat sama sekali. Ekornya panjang dan berkaki
empat dengan lima jari di setiap kakinya.
Secara umum, kata Sodik, satwa ini lebih menyerupai biawak. Makanya, kami kira itu
memang biawak. Satwa ini kami temukan sekitar pukul 14.00 WIB. Saat itu, dia berada di
antara bebatuan yang terendam air sungai sedalam 20 sentimeter, ucapnya.
Reptil langka ini ditemukan Faulunsius Atet, 22 September 2014. Foto: Jeaksen Thungku

Berdasarkan sejumlah literatur, satwa yang ditemukan warga di Kapuas Hulu ini tak lain
adalah Lanthanotus borneensis. Kadal endemik Kalimantan ini lebih dikenal dengan
sebutan biawak tak bertelinga.
Seperti ditulis Mongabay Indonesia sebelumnya, perilaku satwa ini terbilang unik. Ia hanya
aktif malam hari (nokturnal). Termasuk dalam hewan semiaquatik, kadang-kadang hidup di
air dan sesekali di darat.
Lanthanotus borneensis pertama kali ditemukan pada 1878 oleh Franz Steindachner, ahli
zoologi asal Austria. Tak banyak data pendukung yang bisa dijadikan sebagai literatur.
Penelusuran Mongabay Indonesia melalui WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat,
literatur reptil ini ditemukan di Sarawak Museum Journal yang ditulis oleh Robert G.
Sprackland, Jr pada 1970.
Borneo Earless Monitor ini tergabung dalam Genus Lanthanotus. Dia masuk dalam
famili Lanthanotidae dan superfamili Varanoidea. Para peneliti menjulukinya fosil hidup
lantaran ia masih eksis alias hidup saat satwa lain seumurannya sudah punah.
Meski telah dilindungi di Indonesia, Biawak Kalimantan ini kerap diburu dan diselundupkan
ke luar negri sebagaimana kasus warga Jerman pertengahan Oktober 2015. Foto: Rahmadi
Rahmad

Dilindungi
Terpisah, Amir Hamidy, peneliti bidang Herpetologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia), membenarkan bahwa satwa yang ditemukan Faulunsius Atet tersebut biawak
tak bertelinga. Menurutnya, ciri satwa yang ada di foto tersebut sama dengan tanda-tanda
umum yang dimiliki Lanthanotus borneensis. Misal, tidak ada telinga pada bagian luar
tubuhnya, serta kulit tubuhnya yang berwarna cokelat dipenuhi gerigi seperti biawak.
Benar, ini Lanthanotus borneensis, jelas Amir, Minggu (22/11/15).
Mengutip dari Reptile Database, satwa ini persebarannya memang hanya ada di
Kalimantan Barat, dan Sarawak. Aktif di malam hari, tempat hidupnya kadang di darat dan
tak jarang main ke air. Penelitian lebih lanjut, terutama sistem pernafasannya, memang
harus dilakukan mengingat informasinya yang minim.
Lanthanotus borneensis merupakan jenis nokturnal dan semiakuatiq. Foto: Rahmadi
Rahmad

Amir mengingatkan upaya perlindungan satwa endemik Kalimantan ini harus dilakukan
sebagaimana kasus penyelundupan yang terjadi 11 Oktober 2015. Adalah Holger Pelz,
warga Jerman, yang ditangkap petugas Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten,
karena coba menyelundupkan biawak tanpa telinga ini. Pelz lolos dari pemeriksaan di
Bandara Supadio Pontianak, Kalimantan Barat, namun tersangka berhasil dibekuk di Pintu
3, Terminal II keberangkatan ke luar negeri saat pemeriksaan x-ray.
Fakta menunjukkan, satwa langka ini diburu karena harga di pasar internasional yang
tinggi. Dua tahun lalu, sepasangnya dijual sekitar 14 ribu Dollar AS. Saat ini, seekornya
dibandrol sekitar 5 ribu Dollar AS. Kenapa harganya selangit? Karena, sejak terakhir
dideskripsikan 1878, tak lebih dari 6 spesimen yang ada. Namun, pada 2008, ditemukan
kembali di Indonesia. Sejak itu, penyelundupan di pasar gelap marak. Bahkan, di Jerman
ditemukan 23 pasang yang diyakini dari Indonesia.
Mengapa penyelundupan terjadi? Menurut Amir, meski reptil ini dilindungi PP No 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa atas nama Varanus borneensis atau
Biawak Kalimantan, namun nama ilmiah yang digunakan saat ini adalah Lanthanotus
borneensis. Nah, para pelaku bisnis haram ini coba berkelit dengan menggunakan nama
ilmiah tersebut. Padahal, nama V. Borneensis jelas-jelas adalah Lanthanotus borneensis.
Ini yang belum diketahui betul oleh para penegak hukum Indonesia. Jadi, apapun nama
ilmiahnya, yang selalu berubah setiap saat, dalam PP No 7/1999 jelas dituliskan, Biawak
Kalimantan merupakan jenis yang dilindungi. Nama bisa berubah, spesies tidak.
Hukuman berat harus diberikan kepada para pemburu satwa liar dilindungi di Indonesia.
Baik lokal maupun warga asing yang tertangkap. Ingat, jaringan mereka internasional. Ini
harus jadi prioritas nasional. Pastikan, keragaman hayati itu tidak ternilai harganya. Terlalu
naif untuk dikonversi dalam Rupiah atau Dollar Amerika. Punahnya jenis satwa tertentu
adalah kerugian luar biasa bagi ekosistem kita, Indonesia, tandas Amir.

Sebagaimana namanya Biawak Kalimantan, reptil ini memang hanya ada di Borneo. Foto:
Rahmadi Rahmad

Diposting oleh Gabriel Alvando di 00.50 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Sabtu, 14 Mei 2016

Kearifan Lokal Suku Dayak Terhadap


Alam
Jauh sebelumnya ada pemikiran mengenai konservasi serta perlindungan alam moderen,
masyarakat suku Dayak sejak jaman dahulu telah mempraktekan secara turun temurun,
apa yang menjadi esensi dari konsep konservasi dengan mencadangkan kawasan hutan di
lingkungan huniannya. Alam pikiran Manusia Dayak yang bercirikan sosio religio magis,
pada gilirannya melahirkan sikap serta tingkah laku yang religius berbentuk praktik
pengelolaan sumber daya hutan secara arif serta bertanggungjawab.
Implemetasi konservasi dan perlindungan alam oleh masyarakat Suku Dayak dapat
ditelusuri melalui penggunaan beragam terminologi seperti Tajahan, Kaleka, Sapan
Pahewan, Pukung Himba dan lain-lainnya. Makna terminologi dan relevansinya dengan
usaha dan upaya konservasi modern diuraikan sebagai berikut :

Tajahan
Tajahan adalah suatu tempat yang dikeramatkan oleh Suku Dayak terutama yang
beragama Kaharingan. Di lokasi tajahan didirikan rumah berukuran kecil untuk tempat
menyimpan sesajen sebagai persembahan bagi roh-roh halus yang bersemayam di tempat
itu. Rumah kecil itu umumnya dilengkapi dengan patung-patung kecil sebagai simbol atau
replika dari anggota keluarga yang telah wafat yang rohnya dipercaya berdiam dalam
patung-patung kecil tersebut dan tidak akan mengganggu anggota keluarga yang masih
hidup.

Lokasi tajahan pada umumnya berada di kawasan rimba belantara yang masih lebat dan
terkesan angker. Di kawasan yang merupakan lokasi Tajahan tersebut ada larangan untuk
melakukan berbagai aktifitas manusia seperti menebang pohon, memungut hasil hutan,
berburu dan aktifitas lainnya. Pemberlakuan larangan beraktifitas di lokasi Tajahan ini
sangat relevan dengan konsep konservasi karena di dalamnya terdapat aspek perlindungan
hutan dan keanekaragaman hayatinya.

Kaleka
Kaleka adalah suatu lokasi peninggalan nenek moyang suku Dayak sejak jaman jaman
dulu yang umumnya ditandai dengan adanya sisa tiang-tiang bangunan betang/rumah
panggung, pohon-pohon besar berusia tua seperti durian, langsat dan sebagainya. Lokasi
tersebut biasanya selalu dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun
sebagai harta warisan yang peruntukan dan pemanfaatannya semata-mata untuk
kepentingan bersama. Dari perspektif konservasi ekologis, Kaleka adalah "lumbungnya"
Plasma Nuftah versi orang Dayak.

Sepan Pahewan
Sepan Pahewan adalah lokasi sumber mata air asin yang merupakan tempat bagi
binatang-binatang hutan seperti rusa, kijang, kancil dan binantang lainnya meminum air
asin sebagai sumber mineral. Lokasi Sepan Pahewan adalah tempat perburuan Suku
Dayak untuk memenuhi kebutuhan hewani sehingga lokasi tersebut senantiasa dipelihara
serta dilindungi. Kearifan lokas suku Dayak dengan melindungi dan mememlihara lokasi
Sepan Pahewan sangatlah relevan dengan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi
moderen.

Pukung Himba
Pukung Himba merupakan bagian dari kawasan hutan yang difungsikan sebagai tempat
untuk memindahkan roh-roh halus (Ganan Himba dalam bahasa Dayak Ngaju) dari
daerah/lokasi yang bakal dijadikan sebagai tempat berladang, oleh karena itu lokasi
Pukung Himba sengaja tidak ditebang dan dibiarkan sebagai kawasan reservasi.

Para peladang Suku Dayak di Kalimantan Tengah umumnya sangat faham bahwa dalam
aktivitas pembukaan ladang, harus menyediakan lokasi Pukung Himba yaitu kawasan
hutan yang dicadangkan sebagai tempat bagi roh-roh penunggu hutan yang dipindahkan
dari lokasi yang akan dijadikan ladang.

Tanda-tanda daerah yang dijadikan Pukung Himba biasanya berhutan lebat, terdapat
pohon-pohon tua dengan diameter vegetasi kayu yang besar-besar, belum banyak
terjamah oleh aktivitas manusia serta banyak dihuni oleh satwa liar. Hutan yang berusia tua
dengan ukuran kayu besar serta berkesan begitu angker dipercayai sebagai tempat yang
disukai roh-roh penunggu hutan untuk tempat bermukim.

Keberadaan dan konsep Pukung Himba dipandang dari perspektif konservasi merupakan
usaha pelestarian kawasan hutan beserta dengan keanekaragaman hayati didalamnya.

Falsafah harmonisasi suku Dayak dengan alam, dengan Tuhan Sang Pencipta, dan dengan
sesama manusia telah terbangun dan tercermin dalam implementasi kearifan ekologi
Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan, Pukung himba dan lain-lainnya. Itulah Kearifan Lokal
Suku Dayak Terhadap Alam dengan menjalankan adat dan tradisi sebagai bakti bumi, dan
menjaga keseimbangan ekologis yang ada.
Sumber :
http://aluedohong.blogspot.co.id/2009/05/kearifan-lokal-dayak-dalam-
perlindungan.html
Diposting oleh Gabriel Alvando di 07.59 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Sabtu, 13 Februari 2016

SEJARAH AWAL PERJUANGAN SUKU


DAYAK !!

Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum
ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu.
Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan
Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi
Menteri Kerajaan.

Tahun 1620, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kerajaan
Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1679 Kerajaan Banjar
mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah.
Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-
daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari
antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman.

Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi
perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam
peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya
Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan
gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan
Tengah.

Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat
daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Tahun 1917,
Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan petugas-
petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak
abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan
maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu saja
mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka lakukan
hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad
Seman terbunuh di Sungai Menawing dan dimakamkan di Puruk Cahu.

Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu menguasai
Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan mengadakan
perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku Dayak Punan yaitu Oot
Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara
Oot Marikit dengan menantunya Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda.

Menurut Hermogenes Ugang , pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik
bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan
ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang
telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membapbtiskan tiga ribu
orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas
(Manusup) dan pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas
perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan
pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara
saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan
Banjarmasin.

Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang
telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal
hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada
mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib
hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga
saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung
dalam bahasa Banjar.

Di masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah


bersosialisasi dengan pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya sendiri.
Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan formal,
mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat Dayak dan
Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips Sinar, Haji
Abdulgani, Sian, Lui Kamis , Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat
Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Sejak saat itu, Suku Dayak
menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak.

Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam
bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah
Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C.
Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian
Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan,
hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia.

Tahun 1945, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang
di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh J. Uvang Uray , F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T.
Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung
dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi
IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan
Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, dan masih
banyak lainnya.

Anda mungkin juga menyukai