Anda di halaman 1dari 32

ASKEP LANSIA DENGAN MASLAH PSIKOSOSIAL

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan,
diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatrik pada lanjut usia. Saat ini
disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik, analaog dengan psikiatrik anak
(Brocklehurts, Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia memerlukan
pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam manisfestasi klinis, pathogenesis
dan patofisiologi gangguan mental antara pathogenesis dewasa muda dan lanjut usia (Weinberg,
1995; Kolb-Brodie, 1982). Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga perlu dipertimbangkan,
antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat
(polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif (Weinberg, 1995; Gunadi,
1984).
Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu mulai dipertimbangkan adanya
pelayanan psikogeriatrik di rumah sakit yang cukup besar. Bangsal akut, kronis dan day hospital,
merupakan tiga layanan yang mungkin harus sudah mulai difikirkan (Brocklehurts, Allen, 1987).
Tentang bagaimana kerjasama antara bidang psikogeriatrik dan geriatrik dapat dilihat pada bab
mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.

1.2  Rumusan Masalah


Bagaimanakah asuhan keperawatan lansia yang mengalami gangguan psikologi dan psikososial?

1.3  Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui dan mempelajari tentang asuhan keperawatan lansia yang mengalami gangguan
psikologi dan psikososial.

1.3.2. Tujuan Khusus


1)      Mengetahui tentang Konsep Teori Lansia
2)      Mengetahui tentang Teori Kejiwaan Lansia
3)      Mengetahui tentang Teori Psikologi dan Psikososial.
4)      Mengetahui tentang Teori Psikososial Lansia
5)      Mengetahui tentang Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial
6)      Mengetahui tentang Tahap-tahap Asuhan Keperawatan Lansia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Teori Lansia


2.1.1. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.
2.1.2. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho,
1992). Tiga tahapan ini berbeda baik secara biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa
tua berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai
dengan kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan menurun,
gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat.

2.2. Teori Kejiwaan Lansia


2.2.1. Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini
menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia
pertengahan ke lanjut usia.
2.2.2. Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan
gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada
seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti yang dimiliki.
2.2.3 Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur
mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial
lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan
ganda (triple loss), yakni:
 Kehilangan Peran
 Hambatan Kontak Sosial
 Berkurangnya Kontak Komitmen

2.3. Teori Psikologi


2.3.1. Teori Tugas Perkembangan
Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua antara lain adalah:
a. Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas perkembangan yang spesifik yang dapat
muncul sebagai akibat tuntutan:
a. Kematangan fisik
b. Harapan dan kebudayaan masyarakat
c. Nilai-nilai pribadi individu dan aspirasi
Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan yang memotivasi
seluruh perilaku manusia (Maslow 1954).

2.3.2. Teori Individual Jung


Carl Jung (1960) menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian dari seluruh fase
kehidupan yaitu mulai dari masa kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda, usia
pertengahan sampai lansia. Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran seorang dan
ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau
kearah subyektif. Pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara
kekuatan ini dapat dilihat pada setiap individu dan merupakan hal yang paling penting bagi
kesehatan mental.

2.3.3. Teori Delapan Tingkat Kehidupan


Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat adanya kondisi dimana
kondisi psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan tertentu. Ericson (1950) yang telah
mengidentifikasi tahap perubahan psikologis (delapan tingkat kehidupan) menyatakan bahwa
pada usia tua, tugas perkembangan yang harus dijalani adalah untuk mencapai keeseimbangan
hidup atau timbulnya perasaan putus asa. Peck (1968) menguraikan lebih lanjut tentang teori
perkembangan Erikson dengan mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri dapat dipilih
dalam tiga tingkat yaitu : pada perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, perubahan
tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego terhadap ego preokupasi.
Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas perkembangan yang
harus dijalani oleh lansia adalah menerima identitas diri sebagai orang tua dan mendapatkan
dukungan yang adekuat dari lingkungan untuk menghadapi adanya peran baru sebagai orang tua
(preokupasi). Adanya pensiun dan atau pelepasan pekerjaan merupakan hal yang dapat dirasakan
sebagai sesuatu yang menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan penurunan harga diri dari
orang tua tersebut.

2.4. Teori Psikososial Lansia


2.4.1. Definisi
Perkembangan psikososial lanjut usia adalah tercapainya integritas diri yang utuh.
Pemahaman terhadap makna hidup secara keseluruhan membuat lansia berusaha menuntun
generasi berikut (anak dan cucunya) berdasarkan sudut pandangnya. Lansia yang tidak mencapai
integritas diri akan merasa putus asa dan menyesali masa lalunya karena tidak merasakan
hidupnya bermakna (Anonim, 2006). Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh Arya (2010)
perubahan psikososial lansia adalah perubahan yang meliputi pencapaian keintiman, generatif
dan integritas yang utuh.

2.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Psikososial Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikososial lansia menurut
Kuntjoro (2002), antara lain:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang
bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun,
kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal
ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial,
yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Dalam
kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan
kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau
harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia
harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja
secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai
gangguan fisik seperti:
a. Gangguan jantung
b. Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
c. Vaginitis
d. Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi
e. Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
f. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan
budaya .
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya
cemas, depresi, pikun dsb.
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman,
pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi
makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia
menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek
psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak
mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan
yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat
dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada
masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang
ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia
tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-
marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat
sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah
dirinya.
4. Perubahan Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun
adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan
pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia?
Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki
jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun
negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu
kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan
pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan
hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan
tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang
akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap
memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan
memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya
masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak
jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya
sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini
ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua,
sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna,
menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.
5. Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya
maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya
menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga
sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka
melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan
orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung
diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila
ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki
keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu
memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak
punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun
tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk
pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay rehabilitation yang tetap
memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat
bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada
hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia

2.5. Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial


2.5.1. Depresi
2.5.1.1. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh
diri (Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang
berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri
atau perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan
depresi merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan bunuh
diri.
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah,
rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii (1996;,
depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan
kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa. Depresi
adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 1998).

2.5.1.2. Tanda Dan Gejala Depresi


Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi beberapa aspek
seperti:
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah,
ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan
pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan
perubahan berat badan.
3. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi,
menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri,
pesimis, ketidakpastian.
4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi,
mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang,
isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.

Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:


1. Depresi Ringan
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
2. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
3. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang
nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur terganggu
i) Disertai waham, halusinasi
j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu

2.5.1.3. Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia


Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia, depresi ini sering di diagnosis salah
atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi praktik dokter umum adalah
mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak
memfokuskan pada keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi
(Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini,
mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamarkan atau tersamarkan oleh gangguan
fisik lainnya (masked depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang tua, penyangkalan
pengabaian terhadap proses penuaan normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak
tertanganinya gangguan ini. Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya
keluhan tidak merasa berharga, sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa
kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan pemilihan diri yang
kurang bahkan penelantaran diri (Wash, 1997).

Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :


1. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang menunjukkan gejala depresi.
Pertama, individu yang mengalami depresi memiliki self-esteem yang sangat rendah.
Mereka berpikir tidak adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah
diri dan merasa bersalah terhadap kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu pesimis
dalam menghadapi masalah dan segala sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan
kepercayaan terhadap dirinya (self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga, memiliki motivasi
yang kurang dalam menjalani hidupnya, selalu meminta bantuan dan melihat semuanya
gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-
besarkan masalah dan selalu pesimistik menghadapi masalah. Kelima, proses berpikirnya
menjadi lambat, performance intelektualnya berkurang. Keenam, generalisasi dari gejala
depresi, harga diri rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa, kehilangan
semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang
mengalami depresi menggambarkan dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat
terjangkau dan tidak dapat keluar dari sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti pola tidur yang
terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan seksual yang berkurang. Lansia
lebih rentan terhadap penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena
aging proces juga karena orang yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang
kurang (Schleifer et all, 1984 ; Samiun, 2006).
4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor. Sering duduk
dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar
dan sering menghentikan pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup
untuk menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut Sadavoy et
all (2004) gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur
(sleep) pada lansia yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan
tidak bisa tidur lagi, penurunan minat dan aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan
diri (guilty), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy), penurunan
konsentrasi dan proses pikir (concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan
lamban dan sering duduk terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri
(suicidaly)

2.5.1.4. Penyebab Depresi


Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab depresi ialah :
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat
keluarga dan keturunan.
2. Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan
marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
3. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda
atau yang sangat berarti.
4. Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan harga
diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor.
5. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di
dominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan
masa depan seseorang.
6. Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan
semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak
mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia
mengulang respon yang tidak adaptif.
7. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab depresi
terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi,
termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan variasi
periodik dalam irama biologis.

B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan ( depresi )
menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang,
fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan
konsep kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode
depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan
kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi, terutama
pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti
infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan
alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan
penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang
melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.

Menurut Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi (teori
biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri dari
psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).

2.5.1.5. Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia


Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health) yang serius dan
kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi juga faktor lain yang saling terkait.
Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada lansia harus dengan multiple approach. Menurut
Samiun (2006) ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu :
1. Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman dan
terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut Hawari (1996), seseorang
yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh dari
kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang dicintai (terhadap suami
atau istri yang meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan
orang itu mengalami kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal,
bersalah dan seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan
sedih dan duka cita sesudah kehilangan objek yang dicintai (loss of love object), tetapi seringkali
mengalami perasaan ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai tetapi marah dan benci
karena telah meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya bahwa intropeksi
merupakan satu-satunya cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik,
marah dan menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang
terjadi pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh dan perubahan
yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-perubahan tersebut diatas seringkali
menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis dan biologis. Menurut
Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya kemampuan
dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan
kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan sering menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi adalah
strategi pasif (defence mcanism) seperti menghindar, menolak, impian, displacement dan lain-
lain (Coyne ett all, 1981 ; Samiun, 2006). Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali
melibatkan dukungan sosial (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam
menghadapi stresor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan
emosional yang cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et all,
1983 ; Samiun , 2006).
2. Pendekatan Perilaku Belajar
Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu yang kurang
menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman (punishment) yang lebih banyak
dibandingkan individu yang idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ;
Samiun, 2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini
mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan, kecenderungan
memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan self-concept yang rendah. Hadiah dan
hukuman bersumber dari lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar) dan dari diri sendiri.
Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah yang diterima terlalu rendah dan
hukuman yang diterima terlalu tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri, sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan antara nilai reward dan punishment itu. Peran hadiah dan
hukuman terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ;
Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah seseorang
jika pindah ke tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah dan
perubahan dari tingkah laku yang mendapat hadiah sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi
menjadi tidak berguna. Standar untuk hadiah dan hukuman yang meningkat menyebabkan
performansi yang diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang
sebelumnya diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber alternatif untuk mendapat
hadiah tidak ditemukan.
3. Pendekatan Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena
memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan
diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan
pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu yang
kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu
akan memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa
depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang depresi adalah
kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend,
1998).
Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya
distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan
tingkat aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak
dapat mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya
(helplessness). Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi (Abramson, 1978;
Peterson, 1984; Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang
sering adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative,
pesimistis dan keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned
helplessness) tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan
dasar pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik
yang terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering
dialami individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).
4. Pendekatan Humanistik – Eksitensial
Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi karena adanya
ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu yang menyadari jurang yang dalam
antara reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam kesedihan
dan tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu merasa tidak ada
lagi pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang yang real. Pada lansia yang gagal untuk
bereksistensi diri menyadari bahwa mereka tidak mau berada pada kondisinya sekarang yang
mengalami perubahan dan kurang mampu menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik mereka
segera berakhir. Kegagalan bereksistensi ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai
seseorang yang real.
5. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang rendah
(neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur
kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi hypothalamus,
seperti mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar, 1982; Samiun,
2006), sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan keluhan-keluhan
tersebut.
Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar.
Monozogotik Twins (MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada
kembar bersaudara (Dizigotik Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun,
2006). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang
unik dari berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri
karena penurunan kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta
kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis
penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya
depresi pada lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga
depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.

2.5.1.6. Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)


Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami seseorang
setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi pada pasca kuasa adalah karena
adanya perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun
tujuan ideal pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari tua,
namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai
kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001).
Menurut Kuntioro (2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari
model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension tidak merupakan beban mental
lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental individu dalam masa
pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang takut kehilangan ada yang merasa
senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah).
Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu baik
positif maupun negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan dampak negative
akan mengganggu kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan
interpersonal, peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang besar.
Kejadian yang tidak diinginkan juga sering menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian di masa
lampau (perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan,
perubahan kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan depresi (Stuart dan Larairam,
1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai
kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang
kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini
telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya
keseimbangan mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan
terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan
perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca kuasa (post power
syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial
dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini
merasa lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam
perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan
kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka
keluhan psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan
perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang
mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di
luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan
mekanisme defensive antara lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka
terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut
Maramis (1995), bahwa stress psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan
dan rasa bersalah yang menimbulkan mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada
sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita
harus mengingat bahwa manusia itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh
manusia itu terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen
psikologik dan komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa sedih,
pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas
lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak
senang, lelah tak bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup,
terdapat anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar
untuk tertidur) dan konstipasi.

2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda
(Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan
hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang
baru, orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan
keterasingan merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya
keinginan dan motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat
meningkatkan toleransi dan kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan
kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada
dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan
sering menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan
dukungan social (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi
stressor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional
yang cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983;
Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya
telah gagal karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai
mengakibatkan lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga
mempengaruhi kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di
institusi.
b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social
mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan
keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi
ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia
antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan
self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi.
Sulit bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan
rumah tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi
merupakan pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian
persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering
mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan
depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang
hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya
gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki
peran penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri
dengan peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).
c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan
lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih
untuk menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga
(family system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi
mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis
menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah
penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya
dan mempengaruhi kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena
tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan
keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan
mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman,
1998).
2.5.1.8. Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap lingkungannya.
Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi.
Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan alat pengkajian yang
terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada
lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat,
baik oleh peneliti maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini
diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia, dan
memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan keterampilan khusus dari
pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes reliabilitas
alat ini correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan
dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana
yang diisi sendiri dengan menjawab “ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu
sekitar 5-10 menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak
mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0-10
menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-30
termasuk depresi sedang/berat yang membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik
terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya merupakan alat penapisan. Spesifikasi
rancangan pernyataan perasaan (mood) depresi seperti tabel berikut:
Table 5.1 Spesifikasi rancangan kuesioner GDS
Butir Soal

Parameter Favorable Unfavorable


Minat aktivitas 2, 12, 20, 28 27
Perasaan sedih 16, 25 9, 15, 19
Perasaan sepi dan bosan 3, 4
Perasaan tidak berdaya 10, 17, 24
Perasaan bersalah 6, 8, 11, 18, 23 1
Perhatian/konsentrasi 14, 26, 30 29
Semangat atau harapan terhadap masa 13, 22 5, 7, 21
depan

Skoring nilai 1 diberikan pada pernyataan Favorable untuk jawaban “ya” dan nilai 0
untuk jawaban “tidak” sedangkan pernyataan Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan
jawaban “ya” diberi nilai 0.
Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia sebagai
berikut:
No Pernyataan Ya Tidak
.
Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan
1.
kehidupannya?
Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau
2.
kesenangan akhir-akhir ini?
Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup
3.
ini?
4. Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?
Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di
5.
masa depan?
Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang
6.
menganggu terus menerus?
7. Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?
Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi
8.
pada anda?
9. Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?
10 Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?
11. Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?
Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar
12.
dan mengerjakan sesuatu?
13. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?
14. Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?
Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini
15.
menyenangkan?
16. Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?
17. Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?
18. Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu?
19. Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?
Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang
20
baru?
21. Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?
Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada
22.
harapan?
Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik
23.
keadaannya daripada bapak/ibu?
24. Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?
25. Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?
26. Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?
Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi
27.
hari?
28. Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?
29. Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?
Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam
30.
memikirkan sesuatu seperti dulu?
2.5.1.9. Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu
ditekannkan pendekatan yang mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut
karena pendekatan daru satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut
usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam
bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu
pendekatan yang tidak tertuju pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek
psychological, psikososial, spiritual dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik
adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatan derajat kesehatan lanjut
usia, secara utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996).

2.5.2. Berduka Cita


Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Periode
duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seorang penderita lanjut usia.
Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat atau bahkan seekor hewan yang sangat
disanyangi bias mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang
lansia, yang selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2
tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan
periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat
mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti
dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut
biasanya tidak bersifat self limiting. Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan
pada episode tersebut berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan
keluhan, memberikan hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan
dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat,
konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.

2.5.3. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat
meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga
mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik
berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran
(Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup
sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak
terdapat lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh
mengalami kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi social sangat berarti, karena bias
bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran social penderita, di
samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila memang terdapat disabilitas
penderita dalam hal-hal tersebut.

2.5.4. Dementia
2.5.4.1. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah
sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau
kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkahlaku.
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya
ingat dan daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap
fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan kognitif,
perubahan mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari
penderita.

2.5.4.2. Etiologi
Penyebab demensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang baik
pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal. Untuk mengingat
berbagai keadaan tersebut telah dibuat suatu “jembatan keledai” sebagai berikut:
D Drugs (obat)
Obat sedative
Obat penenang minor atau mayor
Obat anti konvulsan
Obat anti hipertensi
Obat anti aritmia
E emotional (gangguan emosi, ex: depresi)
M metabolic dan endokrin
Seperti: DM
Hipoglikemia
Gangguan ginjal
Gangguan hepar
Gangguan tiroid
Gangguan elektrolit
E Eye & Ear (disfungsi mata dan telinga)
N Nutritional
Kekurangan vit B6 (pellagra)
Kekurangan vit B1 (sindrom wernicke)
Kekurangan vut B12 (anemia pernisiosa)
Kekurangan asam folat
T Tumor dan Trauma
I Infeksi
Ensefalitis oleh virus, contoh: herpes simplek
Bakteri, contoh: pnemokok
TBC
Parasit
Fungus
Abses otak
Neurosifilis
A Arterosklerosis (komplikasi peyakit aterosklerosis, missal: infark miokard, gagal jantung,
dan alkohol).

Keadaan yang secara potensial reversible atau yang bisa dihentikan seperti:
 Intoksikasi (obat, termasuk alkohol)
 Infeksi susunan saraf pusat
 Gangguan metabolic
 Gangguan vaskuler (demensia multi-infark)
 Lesi desak ruang:
 Hematoma subdural akut/kronis
 Metastase neoplasma
 Hidrosefalus yang bertekanan normal
 Depresi (pseudo-demensia depresif)

Penyebab dari Demensia Non Reversible :


1. Penyakit Degenerative
 Penyakit Alzhemeir
 Demensia yang berhubungan dengan badan Lewy
 Penyakit pick
 Penyakit Huntingon
 Kelumpuhan supranuklear progresif
 Penyakit Parkinson
2. Penyakit Vaskuler
 Penyakit serebrovaskuler oklusif (demensia multi-infark)
 Penyakit Binswanger
 Embolisme serebral
 Arteritis
 Anoksia sekunder akibat henti jantung, gagal jantung akibat intiksikasi karbon monoksida
3. Demensia Traumatic
 Perlukaan kranio-serebral
 Demensia pugilistika
4. Infeksi
 Sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS)
 Infeksi opportunistic
 Penyakit creutzfeld-jacob progresif
 Kokeonsefalopati multi fokal progresif
 Demensia pasca ensefalitis
Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala
demensia adalah penyakit Alzhemeir, penyakit vaskuler (pembuluh darah), demensia leury body,
demensia frontotemporer dan 10% diantaranya disebabkan oleh penyakit lain. Penyakit yang
dapat menyebabkan timbulnya gejala demensia ada 7S, sebagian dapat disembuhkan dan
sebagian besar tidak dapat disembuhkan. 50%-60% penyebab demensia adalah penyakit
Alzhemeir. Alzhemeir adalah kondisi dimana sel saraf pada otak mati sehingga membuat signal
dari otak tidak dapat ditransmisikan sebagaimana mestinya.

2.5.4.3. Karakteristik Demensia


Menurut John (1994) bahwa lansia yang mengalami demensia juga akan mengalami keadaan
yang sama seperti orang depresi yaitu akan mengalami deficit aktivitas kehidupan sehari-hari
(AKS), gejala yang sering menyertai demensia adalah :
A. Gejala Awal
 Kinerja mental menurun
 Fatique
 Mudah lupa
 Gagal dalam tugas
B. Gejala Lanjut
 Gangguan kognitif
 Gangguan afektif
 Gangguan perilaku
C. Umum
 Mudah lupa
 Aktivitas sehari-hari terganggu
 Disorientasi
 Cepat marah
 Kurang konsentrasi
 Resti jatuh

2.5.4.4. Klasifikasi Demensia


A. Dementia Senilis
Kekurangan peredaran darah ke otak serta pengurangan metabolism dan O2 yang
menyertainya merupakan penyebab kelainan anatomis di otak. Pada banyak orang terdapat
kelainan aterosklerosis seperti juga yang terdapat pada demensia senifilis, tetapi tidak
diketemukan gejal-gejal demensia. Otak mengecil terdapat suatu atrofi umum, terutama pada
daerah frontal. Yang penting ialah jumlah sel berkurang. Kadang-kadang ada kelainan otak yang
jelas, tetapi orang itu tidak psikotik, sebaliknya pada orang yang sudah jelas demensia kadang-
kadang ada sedikit kelaianan pada otak, jadi tidak selalu ada korelasi antara besarnya kelainan
histology dan beratnya gangguan intelegensi.
1) Gejala
 Biasanya sesudah umur 60 tahun baru timbul gejala-gejala yang jelas untuk membuat
diagnose demensia senilis. Penyakit jasmaniah atau gangguan emosi yang hebat dapat
mempercepat munduran mental.
 Gangguan ingatan jangka pendek, lupa tentang hal-hal yang baru terjadi, merupakan
gejala dini, juga kekurangan ide-ide dan gaya pemikiran abstrak. Yang menjadi
egosentrik dan egoistic, lekas tersinggung dan marah-marah. Kadang-kadang timbul
aktivitas seksual yang berlebihan atau yang tidak pantas, sesuatu tanda control berkurang
atau usaha untuk kompensasi psikologis.
 Penderita menjadi acuh tak acuh terhadap pakaian dan rupanya. Ia menyimpan barang-
barang yang tidak berguna, mungkin timbul waham bahwa ia akan dirampok, akan
dirasuni atau ai miskin sekali atau tidak disuka orang.
 Orientasi terganggu dan ia mungkin pergi dari rumah dan tidak mengetahui jalan pulang.
 Penilaiannya berkurang sehingga ia dapat menyukarkan dan menbahayakan lalu lintas
dijalan.
 Ia mungkin jadi korban penjahat karena ia mudah diajak, umpamanya dalam hal penipuan
dan sex.
 Banyak menjadi gelisah waktu malam, mereka berjalan-jalan tak bertujuan dan menjadi
dekstruktif. Mungkin timbul delirium waktu malam, ini karena penglihatan yang terbatas
diwaktu gelap bila penderita dengan demensia senilis ditaruh dalam kamar yang gelap,
maka akan timbul disorientasi.
 Ingatan jangka pendek makin lama makin keras terganggu, maka makin lama makin
banyak ia lupa, sehingga penderita hidup dalam alam pikiran sewaktu ia masih muda atau
masih kecil.
 Gejala jasmani: kulit menjadi tipis, keriput, dan atrofis, BB mengurang, atrofi pada otot-
otot, jalannya menjadi tidak stabil, suara kasar, dan bicaranya jadi pelan, dan tremor pada
tangan dan kepala.
 Gejala psikologis: sering hanya terdapat tanda kemunduran mental umum (demensia
simplek). Tetapi tidak jarang juga terjadi kebingungan dan delirium, atau depresi atau
serta agitasi. Ada yang menjadi paranoid. Pada presbiofrenia terutama dapat gangguan
ingatan serta konvabulasi dan dapat dianggap sebagai salah satu jenis demensia senilis
dan beberapa gejala yang menonjol dan sedikit lebih cepat.
2) Prognosa
Tidak baik, jalannya progresif, demensia makin lama makin berat sehingga akhirnya
penderita hidup secara vegetative saja, walaupun demikian penderita dapat hidup selama 10
tahun atau lebih setelah gejala-gejala menjadi nyata.
3) Diagnosa
Perlu dibedakan dari arteroskelorosa otak, tapi kedua hal ini tidak jarang terjadi bersama-
sama. Pada melankolia involusi tidak didapat tanda-tanda demensia. Kadang-kadang
sindroma otak organis sebab uremia, anemia, payah jantung atau penyakit paru-paru dapat
serupa dengan psikosa senilis.
4) Pengobatan
 Pertahankan perasaan aman dan harga diri, perhatikanlah dan cobalah memuaskan
kebutuhan rasa kasih saying, rasa masuk hitungan, tercapainya sesuatu dan rasa penuh
dibenarkan serta dihargai.
 Kamarnya jangan gelap gulita dan taruhlah barang-barang yang sudah ia kenal sejak dulu
untuk mempermudah orientasinya.
B. Dementia Presenilis
Seperti namanya, maka gangguan ini gejala utamanya ialah seperti sebelum masa senile
akan dibicarakan 2 macam demensia presenilis yaitu:
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimeir ini biasanya timbul antara usia 50-60 tahun. Yang disebabkan oleh
karena adanya degenerasi kortek yang difus pada otak dilapisan luar, terutama di daerah frontal
dan temporal. Atrofi otak ini dapat dilihat pada pneumoensefalogam, system ventrikel membesar
serta banyak hawa diruang subarachnoid. Penyakit ini dimulai pelan sekali, tidak ada ciri yang
khas pada gangguan intelegensi atau pada kelainan perilaku. Terdapat disorientasi, gangguan
ingatan, emosi yang lebih, kekeliruan dalam berhitung, dam pembicaraan sehari-hari dapat
terjadi afasi, perseverasi (mengulang-ngulang perkataan; perbuatan tanpa guna), pembicaraan
logoklonia (pengulangan tiap suku kata akhir secara tidak teratur), dan bila sudah berat maka
penderita tidak dapat dimengerti lagi. Ada yang jadi gelisah dan hiperaktif.
Kadang-kadang sepintas lalu timbul aproksia (kehilangan kecakapan yang diperoleh
sebelumnya untuk melakukan pekerjaan atau gerakan yang memerlukan keterampilan),
hemiplegia tau pra plegi, parese pada muka dan spasme pada ekstremitas juga sering terjadi
sehingga pada stadium akhir timbul kontraktur. Pada fase ini sudah sangant dement dan tidak
diadakan kotak dengannya lagi. Biasanya penyakit ini berlangsung selama 5-10 tahun.
2. Penyakit Pick
Secara patologis penyakit ini ialah atrofi dan gliosis di daerah-daerah asosiatif. Daerah
motoric, sensorik, dan daerah proyeksi secara relative dan banyak berubah. Yang terganggu ialah
daerah kortek yang secara filogenptik lebih mudah dan yang penting buat fungsi asosiasi yang
lebih tinggi. Sebab itu yang terutama terganggu ialah pembicaraan dan proses berpikir.
Penyakit ini mungkin herediter, diperkirakan terdapat factor menjadi pencetus dari sel-sel
ganglion yang tertentu yaitu: yang genetic paling muda. Lobus frontalis menjadi demikian atrofis
sehingga kadang kelihatan seperti ditekan oleh suatu lingkaran. Biasanya terjadi pada umut 45-
60 tahun, yang termuda yang pernah diberitakan ialah 31 tahun.
Penyakit Pick terdapat 2x lebih banyak pada kaum wanita dari pad kaum pria. Gejala
permulaan: ingatan berkurang, kesukaran dalam pemikiran dan konsentrasi, kurang spontanitas,
emosi menjadi tumpul. Penderita menjadi acuh tak acuh, kadang-kadang tidak dapat
menyesuaikan diri serta menyelesaikan masalah dalam situasi yang baru.
Dalam waktu 1 tahun sudah terjadi demensia yang jelas. Ada yang efor, ada yang jadi
susah dan curiga. Sering terdapat gejala fokal seperti afasia, aproksia, aleksia, tetapi gejala ini
sering diselubungi oleh demensia umum. Ciri afasia yang penting pada penyakit ini ialah
terjadinya secara pelan-pelan (tidak mendadak seperti pada gangguan pembuluh darah otak),
terdapatnya logorrhea yang spontan (yang tidak terdapat pada afasia sebab gangguan pembuluh
darah). Tidak jarang ada echolalia dan reaksi stereotip.
Pada fase lanjut demensia menjadi hebat, terdapat inkontinensia, kemampuan buat
berbicara hilang dan kekeksia yang berat. Biasanya penderita meninggal dalam waktu 4-6 tahun
karena suatu penyakit infeksi tambahan.
Sampai sekarang tidak ada pengobatan terhadap kasus demensia presenilis. Dapat
direncanakan bantuan yang simptomatik dalam lingkungan yang memadai. Biar gelisah dapat
dipertimbangkan pemberian obat psikotropik.
2.5.4.5. Pemeriksaan Demensia
Pemeriksaan penting yang harus dilakukan untuk penderita, mulai dari pengkajian latar
belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian status mental dan sebagai penunjang juga
diperlukan tes laboratorium.
1. Berikut ini untuk menguji aspek-aspek Kognitif dan Fungsi Mental
Nilai Maksimum Score Pertanyaan
Orientasi
(tahun) (musim) (tanggal) (hari) (bulan apa
5
sekarang)
Dimana kita: (negara bagian)(wilayah)(kota)
5
(rumah sakit)(lantai)
Registrasi
Nama 3 objek: 1 detik untuk mangatakan
masing-masing. Kemudian tanyakan klien
ketiga objek setelah anda mengatakannya.
3 Beri 1 poin untuk setiap jawaban yang
benar. Kemudian ulangi sampai ia
mempelajari ketiganya. Jumlahkan
percobaan dan catat.
Perhatian dan
Kalkulasi
Seri 7’s. 1 poin untuk setiap kebenaran
5 Berhenti setelah 5 jawaban. Bergantian eja
“kata” ke belakang.
Meminta
Minta untuk mengulang ketiga objek di atas.
3
Berikan 1 poin untuk setiap kebenaran.
Bahasa
Nama pensil dan melihat (2poin)
9 Mengulangi hal berikut: “task ada jika, dan
atau tetapi”(1 poin)
Nilai Total
Compos mentis Apatis Somnolen Soporus Koma
Keterangan:
Nilai maksimal 30, nilai 21 atau kurang biasanya indikasi adanya kerusakan kognitif yang
memerlukan penyelidikan lanjut. Kriteria demensia:
 Ringan : 21 - 30
 Sedang : 11 – 20
 Berat : < 10

2. Pemeriksaan Portabel untuk Status Mental (PPMS = MMSE = mini mental state
examination)
Daftar pertanyaan Penilaian
1.      Tanggal berapakah hari ini? (bulan, 0-2 kesalahan = baik
tahun) 3-4 kesalahan = gangguan intelek ringan
2.      Hari apakah ini? 5-7 kesalahan = gangguan intelek sedang
3.      Apakah nama tempat ini? 8-10 kesalahan = gangguan intelek berat
4.      Berapa nomor telepon bapak/ibu? (bila
tidak ada telepon, dijalan apakah rumah          Bila penderita tak pernah sekolah,
bapak/ibu?) nilai kesalahan diperbolehkan +1 dari
5.      Berapakah umur Bapak/Ibu? nilai di atas.
6.      Kapan Bapak/Ibu lahir? (tanggal, bulan,         Bila penderita sekolah lebih dari
tahun) SMA, kesalahan yang diperbolehkan -1
7.      Siapakah nama gubernur kita? dari nilai diatas.
(walikota/lurah/camat)
8.      Siapakah nama gadis ibu anda?
9.      Hitung mundur 3-3, mulai dari 20!

2.5.4.6. Penanganan Pasien Demensia


Tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan jika menghadapi pasien demensia aialah sebagai
berikut:
a. Terapi obat dengan pengawasan dokter
b. Intervensi non obat :
a) Intervensi Lingkungan
 Penyesuaian fisik (bentuk ruangan, warna, alat yang tersedia).
 Penyesuaian waktu (membuat jadual rutin).
 Penyesuaian lingkungan malam hari (mandi air hangat, tidur teratur).
 Penyesuaian indra (mata, telinga).
 Penyesuaian nutrisi (makan makanan dengan gizi seimbang).
b) Intervensi Perilaku
Wandering
 Yakinkan dimana keberadaan pasien.
 Berikan keleluasaan bergerak di dalam dan di luar rumah.
 Gelang pengenal “hendaya memory”.
Agitasi dan Agresifitas
 Hindari situasi yang memprovokasi
 Hindari argumentasi
 Sikap kita tenang dan mantap
 Alihkan perhatian kenal lain
Sikap dan pertanyaan yang berulang
 Tenang, dengarkan dengan baik, jawab dengan penuh pengertian. Bila masih berulang,
acuhkan dan usahankan aluhkan ke hal yang menarik.
 Perilaku seksual yang tidak wajar/ sesuai
 Tenang dan bombing pasien keruang pribadinya
 Alihkan ke hal yang menarik perhatiannya
 Bila didapatkan dalam keadaan telanjang, berilah pakaian atau selimut untuk menutupi
badannya. Bantu mengenakan baju kembali.
c) Intervensi Psikologis
 Psiko terapi individual
 Psiko terapi kelompok
 Psiko terapi keluarga
d) Intervensi untuk “care giver” (pengasuh) diperlukan :
 Dukungan mental
 Pengembangan kemampuan adaptasi dan peningkatan kemandirian
 Kemampuan menerima kenyataan
e) Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi mudah lupa :
 Lakukan latihan terus-menerus, berulang-ulang
 Tingkatkan perhatian
 Asosiasikan hal yang diingat dengan hal yang sudah ada dalam otak
f) Aktivitas Keagamaan
g) Mengembangkan hobi yang ada seperti melukis, memasak, main music, berkebun,
fotografi.
2.6.2. Diagnosa Keperawatan
1. Kesepian berhubungan dengan menarik diri
Tujuan :
a. Pasien mampu mengekspresikan perasaannya
b. Pasien mampu kembali bersosialisasi dengan lingkungan
Intervensi
 Bina hubungan saling percaya
 Bantu klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal.
 Bantu klien membina kembali hubungan interpersonal yang positif / adaptif dan
memberikan kepuasan timbal balik :
a) Beri penguatan dan kritikan yang positif
b) Dengarkan semua kata-kata klien dan jangan menyela saat klien bertanya.
c) Berikan penghargaan saat klien dapat berprilaku yang positif
d) Hindari ketergantungan klien
 Libatkan dalam kegiatan ruangan.
 Ciptakan lingkungan terapeutik
 Libatkan keluarga/system pendukung untuk membantu mengatasi masalah klien.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep diri dan depresi
Tujuan :
a. Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan dirinya
b. Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya
Intervensi
 Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat
 Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan
 Beri  kesempatan bagi pasien untuk bertanggung jawab terhadap perawatan dirinya
 Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta pasien memilih
apakah mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.
 Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai  tujuan.
Contoh : Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk
mandi (bawa sabun, handuk, pakaian bersih)
 Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.
 Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.
 Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.
 Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini
 Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang masih dimiliki
pasien.
 Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan  kegiatan sesuai kemampuan
yang dimiliki.
 Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai dengan
jadwal kegiatan yang sudah dibuat.

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas


Tujuan :
a. Pasien mampu mengidentifikasi penyebab gangguan pola tidur
b. Pasien mampu memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
Intervensi
 Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang biasanya
 Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur
 Diskusikan cara-cara utuk memenuhi kebutuhan tidur
 Kurangi tidur pada siang hari
 Minum air hangat/susu hangat sebelum tidur
 Hindarkan minum yang mengandung kafein dan coca cola
 Mandi air hangat sebelum tidur
 Dengarkan musik yang lembut sebelum tidur
 Anjurkan pasien untuk memilih cara yang sesuai dengan kebutuhannya)
 Berikan pujian jika pasien memilih cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tidurnya
 Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk memfasilitasi agar
pasien dapat tidur.

4. Resiko membahayakan diri berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan putusasa
Tujuan :
a. Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri
b. Pasien mampu memilih  alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi
 Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
 Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide bunuh diri.
 Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
 Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan masalah secara
konstruktif.
 Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
 Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungannya
 Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
 Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien dalam
menyelesaikan masalah

5. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon
kehilangan pasangan.
Tujuan :
a. Klien merasa harga dirinya naik.
b. Klien mengunakan koping yang adaptif.
c. Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
 Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
 Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
 Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
 Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
 Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada
klien.
 Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
 Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
 Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif
dan mempertahankan respon koping yang adaptif.
 Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
 Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bahwa pelayanan geriatrik di Indonesia sudah saatnya diupayakan di seluruh jenjang
pelayanan kesehatan di Indonesia. Untuk itu pengetahuan mengenai geriatric harus sudah
merupakan pengetahuan yang diajarkan pada semua tenaga kesehatan. Dalam hal ini
pengetahuan mengenai psikogeriatri atau kesehatan jiwa pada usia lanjut merupakan salah satu di
antara berbagai pengetahuan yang perlu diketahui. Tatacara pemeriksaan dasar psikogeriatri oleh
karena itu sering disertakan dalam pemeriksaan/assesmen geriatric, antara lain mengenai
pemeriksaan gangguan mental. Kognitif, depresi dan beberapa pemeriksaan lain.

DAFTAR PUSTAKA

Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta:
Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai