Anda di halaman 1dari 62

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.

1 Desember 2017 1
ISSN 2599-350X
JURNAL KESEHATAN NASIONAL

Diterbitkan oleh Akper Yaspen Jakarta

Pelindung
Yayasan Pendidikan Nasional Jakarta
Ketua Dewan Redaksi
Sulastri, S. Kp., M. Kep.
Pimpinan Redaksi
Harjati, SST., M. Kes.
Sekretaris
Dra. Yuntinawati
Bendahara
Debby Ratih, S. E.
Anggota Redaksi
Resmiati, S. Kp., M. Kes.
Zompi, S. Kep., MM.
Tety Mulyati Arofi, S. Kep., Ns., M. Kep.
Promosi dan Distribusi
Febriana, S. Kep., Ns., M. Kep.
Imelda Avia, S. Kep., Ns.
Jadual Penerbitan
Terbit dua kali dalam setahun

Penyerahan Naskah
Naskah merupakan hasil penelitian, pengabdian masyarakat dan kajian pustaka ilmu kesehatan
yang belum pernah dipublikasikan/diterbitkan dalam lima tahuan terakhir. Naskah sudah ditulis
dalam bentuk format microsoft office word sesuai dengan template. Naskah dapat dikirim
melalui email atau diserahkan langsung ke redaksi dalam bentuk rekaman Compact Disk (CD)
dan print-out 2 eksemplar.

Penerbitan Naskah
Naskah yang layak terbit ditentukan oleh dewan redaksi setelah mendapat rekomendasi Mitra
Bestari atau reviewer. Perbaikan naskah menjadi tanggung jawab penulis dan naskah yang tidak
layak akan dikembalikan kepada penulis

Alamat Redaksi
Akper Yaspen Jakarta
Jl. Batas II No. 54 Kel. Baru Kec. Pasar Rebo Jakarta Timur
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 2
Telp. (021) 87703785 Fax. (021) 8717353
Website: akperyaspen.ac.id email: akperyaspen@ymail.com

ISSN 2599-350X
DAFTAR ISI

Jurnal Kesehatan Indonesia.................................................................................................. i


Kata Pengantar..................................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................................... iii
Kepatuhan Perawat Terhadap Standar Pemasangan Infus di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Angkatan laut Mintohardjo Jakarta................................................................ 1
Resmiati, Syarifah, Zompi

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi pada


Pasien Stroke di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo Jakarta...................................... 8
Sulastri, Harjati

Kepatuhan Pasien dalam Konteks Asuhan Keperawatan Pasien Diabetes Melitus di


Rumah Sakit PMI Bogor...................................................................................................... 20
Rochmayanti, Rosalina

Kajian Penjadwalan Shift Perawat Dengan Mengguankan Goal Programming .............. 28


Imelda Avia

Analisis Kepuasan Kerja Perawat Dengan Turn Over Intention di Rumah Sakit Terpadu
Kabupaten Bogor................................................................................................................. 36
Ziska Herawati, Renny Deswita

Kajian Beban Kerja Perawat Dengan Perilaku Pencegahan Infeksi di Rumah Sakit Budi
Lestari Bekasi....................................................................................................................... 44
Tety Mulyati Arofi, Neneng Rohwiati

Tata Cara penulisan Artikel Jurnal 53

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 3
KEPATUHAN PERAWAT DALAM MELAKSANAKAN
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS
DI RUMAH SAKIT AL DR MINTOHARDJO JAKARTA
1
Resmiati, 2Syarifah Nur Ruliani, 3Zompi
1,2,3
Dosen Akper Yaspen Jakarta
1
resmiati_hidayat@yahoo.com
2
ns.syarifah@hotmail.com
3
akperyaspen@ymail.co.id

Abstrak

Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yang sering dilakukan
dirumah sakit. Namun, hal ini resiko tinggi terjadinya infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital
Acquired Infection (HAIs) yang akan menambah tingginya perawatan dan waktu perawataan.
Tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada
standard yang diterapkan (Andares, 2009). Desain penelitian ini adalah analisis deskriptif
sederhana dengan mengunakan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan pada perawat
yang sedang berkerja di RSAL dr. Mintohardjo dan waktu penelitian ini mulai bulan Januari-
Febuari 2017 sampel dengan total sampling semua perawat yang ada di RSAL dr. Mintohardjo
yang berjumlah 17 orang diruang IGD. Hasil penelitian kepatuhan perawat dalam melaksanakan
SPO pemasangan infus baik sebanyak 10 (71,4%) responden, tahap interaksi dalam melaksanakan
SPO pemasangan infus baik sebanyak 11 (78,6%) responden, tahap Kerja dalam melaksanakan
SPO pemasangan infus baik sebanyak 13 (92,9%), tahap terminasi dalam melaksanakan SPO
pemasangan infus baik sebanyak 14 (100%) responden. Peneliti menyarankan pihak rumah sakit
untuk melakukan sosialisasi pentingnya kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO terutama
mencuci tangan sebelum melakukan tindakan invasif seperti pemasangan infus karena mengingat
kurangnya kesadaran perawat mencuci tangan sebelum melakukan tindakan.
Kata kunci: kepatuhan perawat, pemasangan infus
Abstract

Installation of an IV is an invasive procedure and is a frequent hospital procedure. However, this is


a high risk of nosocomial infection or also called Hospital Acquired Infection (HAIs) which will
increase the height of care and time of perawataan. Installation of the infusion will be of quality if in
practice always refers to the standard applied (Andares, 2009). The design of this research is a
simple descriptive analysis using cross sectional approach. This research was conducted on nurses
who are working in RSAL dr. Mintohardjo and the time of this study began in January-February
2017 samples with total sampling of all nurses in RSAL dr. Mintohardjo who numbered 17 people in
the room IGD. The results of nurse compliance study in implementing SPO of infusion well as much
as 10 (71,4%) respondent, interaction stage in implementing SPO of infusion either 11 (78,6%)
respondent, Working stage in implementing SPO of infusion well 13 , 9%), termination stage in
implementing SPO infusion well as much 14 (100%) of respondents. The researcher recommends the
hospital to do socialization about the importance of nurse compliance in implementing SPO
especially in the case of hand washing before taking action in the form of invasive such as the
installation of infusion because considering the less awareness of nurses in the case of hand washing
before taking action.
Keywords: nurse compliance, infusion

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 4
1. PENDAHULUAN tenaga medis di rumah sakit dalam hal ini
adalah perawat harus memberikan
Pemasangan infus merupakan pelayanan yang prima dengan
prosedur invasif dan merupakan tindakan memperhatikan kaidah-kaidah prinsip.
yang sering dilakukan dirumah sakit.
Namun, hal ini resiko tinggi terjadinya Hasil observasi yang dilakukan oleh
infeksi nosokomial atau disebut juga peneliti di Instalasi Gawat Darurat RSAL
Hospital Acquired Infection (HAIs) yang dr. Mintohardjo, ditemukan perawat yang
akan menambah tingginya perawatan dan melaksanakan tindakan pemasangan infus
waktu perawataan. Tindakan pemasangan tidak sesuai dengan prosedur tetap.
infus akan berkualitas apabila dalam Berdasarkan pengamatan terhadap 5
pelaksanaannya selalu mengacu pada perawat di ruang IGD didapatkan 5 orang
standard yang diterapkan (Andares, perawat (100%) yang tidak melakukan
2009). pemasangan infus sesuai SPO. Hal ini
ditunjukkan dengan perawat yang tidak
Survei prevalensi yang dilakukan mencuci tangan dahulu, tidak
WHO di 55 rumah sakit dari 14 negara menggunakan handcson, tidak
yang mewakili 4 Kawasan WHO (Eropa, tersedianya kapas alcohol dan juga
Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik bengkok.
Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien
rumah sakit mengalami infeksi nosokomial. Perawat berpendapat pemasangan
Setiap saat, lebih dari 1,4 juta orang di seluruh infus adalah hal yang sudah biasa
dunia menderita komplikasi dari infeksi yang dikerjakan. Bahkan ketika ditanya
diperoleh di rumah sakit. Frekuensi tertinggi masalah SPO pemasangan infus mereka
infeksi nosokomial dilaporkan dari rumah sedikit mengetahui isi dari SPO tersebut
sakit di Kawasan Timur Tengah dan Asia
dan ketika diobservasi saat melaksanakan
Tenggara (11,8% dan 10,0% masing-masing),
dengan prevalensi 7,7% dan 9,0% masing- pemasangan infus ternyata ada beberapa
masing di Kawasan Eropa dan Pasifik Barat kriteria tidak dilaksanakan sesuai SOP,
(WHO, 2002). Penelitian lain, infeksi terutama mencuci tangan dan tidak
nosokomial dilaporkan rata-rata sekitar 3,5% menggunakan handscon.
(Jerman) menjadi 5% (AS) dari seluruh pasien
rawat inap, di perawatan rumah sakit tersier Oleh karena itu, peneliti tertarik
sekitar 10% dan di ICU sekitar 15%-20% untuk melakukan penelitian dengan judul
kasus (Kayser, 2005). “Kepatuhan Perawat Dalam
Melaksanakan Standar Prosedur
Kasmad (2007) menyatakan di negara- Operasional Pemasangan Infus di RSAL dr.
negara berkembang termasuk Indonesia, Mintohardjo”.
kejadian infeksi nosokomial jauh lebih
tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan 2. METODOLOGI PENELITIAN
di dua kota besar Indonesia didapatkan
Desain penelitian ini adalah analisis
angka kejadian infeksi nosokomial sekitar deskriptif sederhana dengan mengunakan
39%-60%. Di negara-negara berkembang pendekatan cross sectional yaitu mengetahui
terjadinya infeksi nosokomial tinggi jawaban variabel SPO (Standard Prosedur
karena satu faktor resiko terjadinya Operasional) pemasangan infuse dengan
phlebitis pada pasien disebabkan oleh melakukan pengukuran atau pengamatan yang
perawat. Tindakan pemasangan infus di dilakukan dengan waktu yang bersamaan.
lokasi lengan bawah dan tidak sesuai (Hidayat, 2007). Penelitian ini dilakukan
dengan pedoman dalam waktu 48 jam bertujuan untuk kepatuhan perawat dalam
masih dapat dikatakan aman menurut melaksanakan SPO (Standard Prosedur
perawat (Lanbeck et al., 2004). Tugas Operasional) pemasangan infus.

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 5
Populasi peneliti ini adalah perawat yang Distribusi frekuensi berdasarkan
ada di RSAL dr. Mintohardjo yang berjumlah Kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO
17 orang diruang IGD. Sampel penelitian ini pemasangan infus tahap pra interaksi
adalah total sampling yaitu mengambil sebanyak 10 orang (71.4%) responden, kurang
seluruh anggota populasi di masing-masing baik sebanyak 4 (28,6%). Tahap Interaksi dari
kelompok yang menjadi kriteria sampel untuk hasil penelitian terhadap kepatuhan perawat
menjadi sampel penelitian dalam hal ini dalam melaksanakan SPO pemasangan infus
adalah tindakan pemasangan infus yang baik sebanyak 11 (78,6%) responden, kurang
dilakukan oleh perawat dan pasien yang baik sebanyak 3 (21,4%). Tahap Kerja dari
dipasang infus sejumlah. Kriteria sampel hasil penelitian terhadap kepatuhan perawat
penelitian ini terdiri dari inklusi dan dalam melaksanakan SPO pemasangan infus
eksklusi. Kriteria inklusi adalah baik sebanyak 13 (92,9%) responden, kurang
baik sebanyak 1 (7,1%). Tahap Terminasi dari
karakteristik yang dapat dirumuskan atau hasil penelitian terhadap kepatuhan perawat
layak untuk diteliti (Nursalam, 2003). dalam melaksanakan SPO pemasangan infus
Kriteria inklusi perawat dan pasien pada baik sebanyak 14 (100%) responden, kurang
penelitian ini adalah perawat dan pasien baik sebanyak 0 (0%).
yang bersedia menjadi responden,
perawat RSAL dr. Mintohardjo yang Dari hasil penelitian terhadap kepatuhan
sudah berstatus pegawai tetap dan perawat dalam melaksanakan SPO
perawat yang akan melaksanakan pemasangan infus pada tahap pra interaksi
masih ada perawat yang kurang patuh. . Hal
tindakan pemasangan infuse sesuai SOP.
ini dikarenakan masih ada diantara perawat
Penelitian ini dilakukan pada perawat lainnya yang tidak memperhatikan
yang sedang berkerja di RSAL dr. tersedianya alat yang akan digunakan pada
Mintohardjo dan waktu penelitian ini saat pemasangan infus contohnya seperti
mulai bulan Januari 2017 sampai dengan tidak tersedianya kapas alcohol, kasa
bulan Febuari 2017. steril, dan handscoon dan langsung
melakukan tindakan sehingga terkadang
ada alat yang tidak tersedia tidak
digunakan dan kadang juga balik
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
ketempat untuk mengambil alat yang
Tabel .1 tidak tersedia.
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Kepatuhan Perawat Dalam Tahap ini adalah masa persiapan
Melaksanakan SPO Pemasangan Infus sebelum memulai berhubungan dengan
Di RSAL dr. Mintohardjo Jakarta klien. Tugas perawat pada fase ini yaitu :
Variabel F (%) mengeksplorasi perasaan,harapan dan
Tahap Pra–Interaksi kecemasannya; menganalisa kekuatan dan
Baik 10 71.4 kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan
Kurang baik 4 28.6 terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar
Tahap Interaksi bernilai tera[eutik bagi klien, jika merasa
11 78.6 tidak siap maka perlu belajar kembali, diskusi
Baik
3 21.4 teman kelompok, mengumpulkan data tentang
Kurang baik
Tahap Kerja klien, sebagai dasar dalam membuat rencana
Baik 1 7.1 interaksi;, membuat rencana pertemuan secara
Kurang baik 13 92.9 tertulis, yang akan di implementasikan saat
bertemu dengan klien.
Tahap terminasi
Baik 14 100
0 0 Pada tahap interaksi perawat sangat
Kurang baik jarang berkomunikasi terlebih dahulu
Total 14 100,0 terhadap pasien dan menganggap hal itu

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 6
tidak begitu penting untuk harus dilaksanakan
contohnya seperti memperkenalkan diri dan
memberitahukan maksud tujuan dari a. Memberikan salam terapeutik disertai
pemasangan infus. Pentingnya berkomunikasi mengulurkan tangan jabatan tangan
dengan pasien dapat menghilangkan rasa
kawatir apalagi bagi pasien yang takut dengan b. Memperkenalkan diri perawat
tindakan medis, dengan menjelaskan maksut c. Menyepakati kontrak. Kesepakatan
dan tujuan pemasangan infus bagi mereka berkaitan dengan kesediaan klien
yang akan terpasang infus bisa merasa tenang untuk berkomunikasi, topik, tempat,
dan sedikit tidak takut pada saat pemasangan dan lamanya pertemuan.
infus berlangsung. Fase ini dimulai pada saat
bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat d. Melengkapi kontrak. Pada pertemuan
pertama kali bertemu dengan klien fase ini pertama perawat perlu melengkapi
digunakan perawat untuk berkenalan dengan penjelasan tentang identitas serta
klien dan merupakan langkah awal dalam tujuan interaksi agar klien percaya
membina hubungan saling percaya. Tugas kepada perawat.
utama perawat pada tahap ini adalah
memberikan situasi lingkungan yang peka dan e. Evaluasi dan validasi. Berisikan
menunjukkan penerimaan, serta membantu pengkajian keluhan utama, alasan
klien dalam mengekspresikan perasaan dan atau kejadian yang membuat klien
pikirannya. meminta bantuan. Evaluasi ini juga
digunakan untuk mendapatkan fokus
Tugas-tugas perawat pada tahap ini pengkajian lebih lanjut, kemudian
antara lain: dilanjutkan dengan hal-hal yang
terkait dengan keluhan utama. Pada
1. Membina hubungan saling percaya, pertemuan lanjutan evaluasi/validasi
menunjukkan sikap penerimaan dan digunakan untuk mengetahui kondisi
komunikasi terbuka. Untuk membina dan kemajuan klien hasil interaksi
hubungan saling percaya perawat harus sebelumnya.
bersikap terbuka, jujur, ihklas, menerima
klien apa danya, menepati janji, dan 5. Menyepakati masalah. Dengan tekhnik
menghargai klien; memfokuskan perawat bersama klien
mengidentifikasi masalah dan kebutuhan
2. Merumuskan kontrak bersama klien. klien. Selanjutnya setiap awal pertemuan
Kontrak penting untuk menjaga lanjutan dengan klien lakukan orientasi.
kelangsungan sebuah interaksi.Kontrak Tujuan orientasi adalah memvalidasi
yang harus disetujui bersama dengan keakuratan data, rencana yang telah
klien yaitu, tempat, waktu dan topik dibuat dengan keadaan klien saat ini dan
pertemuan; mengevaluasi tindakan pertemuan
3. Menggali perasaan dan pikiran serta sebelumnya.
mengidentifikasi masalah klien. Untuk Dalam rangka membantu klien, perawat
mendorong klien mengekspresikan
perawat harus menyadari tentang nilai, sikap,
perasaannya, maka tekhnik yang
dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan
digunakan adalah pertanyaan terbuka;
klien. Apa yang perawat pikirkan dan rasakan
4. Merumuskan tujuan dengan klien. tentang individu dan dengan siapa dia
Tujuan dirumuskan setelah masalah berinteraksi selalu dikomunikasikan kepada
klien teridentifikasi. Bila tahap ini gagal individu baik secara verbal maupun non
dicapai akan menimbulkan kegagalan verbal. Perawat yang mampu menunjukan
pada keseluruhan interaksi rasa iklasnya mempunyai kesadaran tentang
(Stuart,G.W,1998 dikutip dari sikap yang dipunyai terhadap pasien sehingga
Suryani,2005) Hal yang perlu bisa belajar untuk mengkomunikasikannya
diperhatikan pada fase ini antara lain : dengan tepat. Klien tidak akan menolak segala
bentuk persaan negatif yang dipunyai klien,
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 7
bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan RSAL dr. Mintohardjo disebabkan oleh
klien. Hasilnya perawat akan mampu faktor-faktor yang dianggap suatu hal
mengeluarkan perasaan yang dimiliki dengan yang kecil oleh perawat juga akan
cara yang tepat, bukan dengan cara berpengaruh terhadap kejadian plebitis
menyalahkan atau menghukum klien. jika tidak diperhatikan dengan teliti
Dari hasil penelitian terhadap kepatuhan seperti tidak cuci tangan, tidak memakai
perawat dalam melaksanakan SPO hanscond saat pemasangan infus, tidak
pemasangan infus baik sebanyak 1 (7,1%). menggunakan kapas alcohol dan kasa
responden, kurang baik sebanyak 13 steril saat pemasangan infus, sangat
(92,9%). Dari hasil ini dikarenanakan penting untuk diperhatikan untuk
perawat sering kali menganggap sepele meminimalisir sekaligus mencegah
hal kecil yang beresiko terjadinya infeksi tingginya angka kejadian plebitis di
nosokomial seperti tidak mencuci tangan RSAL dr. Mintohardjo.
sebelum melakukan tindakan dan tidak
memakai handscoon pada saat melakukan Berdasarkan hasil penelitian Andares
tindakan, karna dari beberapa perawat ada (2009), menunjukkan bahwa perawat
yang mengatakan bahwa ruang IGD kurang memperhatikan kesterilan luka
bersifat gawat darurat jadi jika kita terlalu pada pemasangan infus. Perawat biasanya
patuh terhadap SPO maka tindakan yang langsung memasang infus tanpa
kita lakukan akan lambat retangani. Ada memperhatikan tersedianya bahan-bahan
yang diperlukan dalam prosedur tindakan
juga beberapa perawat beranggapan
tersebut, seperti tidak tersedia sarung tangan,
bahwa di IGD tindakan invasif seperti kain kasa steril, alkohol, dan pemakaian yang
pemasangan infus bersifat bersih bukan berulang pada selang infus yang tidak steril
steril tetapi diteori segala sesuatu bahkan tidak mencuci tangan sebelum
tindakan yang bersifat infasif itu steril melakukan tindakan.
bukan bersih, jadi tidak menggunakan
handscoond juga tidak masalah karna Cuci tangan dan penggunaan sarung
yang diperlukan ialah pasien butuh tangan, merupakan komponen kunci dalam
penanganan yang cepat. meminimalkan penularan penyakit serta
mempertahankan lingkungan bebas infeksi.
Tahap ini merupakan inti dari Sarung tangan terutama dipakai hanya oleh
keseluruhan proses komunikasi teraeutik. petugas yang merawat pasien yang menderita
Tahap ini perawat bersama klien infeksi patogen tertentu atau yang terpapar
dengan pasien yang berisiko tinggi hepatitis
mengatasi masalah yang dihadapi klien.
B. Sejak 1987, dengan adanya epidemi AIDS,
Perawat dan klien mengeksplorasi terjadi lonjakan dramatis penggunaan sarung
stressor dan mendorong perkembangan tangan oleh petugas kesehatan dengan tujuan
kesadaran diri dengan menghubungkan mencegah penularan HIV dan virus lainnya
persepsi, perasaan dan perilaku klien. dari pasien kepada tenaga kesehatan. Dengan
Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan demikian, dewasa ini sarung tangan sekali
rencana asuhan yang telah ditetapkan. pakai dan sarung tangan bedah menjadi
Tekhnik komunikasi terapeutik yang perlengkapan pelindung yang paling banyak
sering digunakan perawat antara lain dipakai. Sebagai contoh di Amerika Serikat,
mengeksplorasi, mendengarkan dengan penggunaan sarung tangan meningkat dari 1,4
aktif, refleksi, berbagai persepsi, milyar pasang pada 1988 menjadi 8,3 milyar
pada 1993 (NIOSH 1997). Petugas :
memfokuskan dan menyimpulkan
Mencegah kontak tangan dengan darah, cairan
(Geldard,D,1996, dikutip dari Suryani, tubuh, benda yang terkontaminasi
2005).
Pasien : Mencegah kontak mikroorganisme
Tingginya angka kejadian plebitis di dari tangan petugas memakai sarung tangan

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 8
steril. 4. Membuat kontrak untuk pertemuan
berikutnya, kontrak yang perlu disepakati
Dari hasil penelitian terhadap kepatuhan adalah topik, waktu dan tempat
perawat dalam melaksanakan SPO pertemuan. Perbedaan antara terminasi
pemasangan infus pada fase terminasi baik sementara dan terminasi akhir, adalah
sebanyak 14 (100%) responden, kurang baik bahwa pada terminasi akhir yaitu
sebanyak 0 (0%). Dalam tahap ini sangat baik mencakup keseluruhan hasil yang telah
sekali karna mereka melakukan sesuai SPO. dicapai selama interaksi.
Fase ini merupakan fase yang sulit dan
penting, karena hubungan saling percaya Pada terminasi, seperti halnya tahap-
sudah terbina dan berada pada tingkat tahap yang lain, partisipasi klien merupakan
optimal. Perawat dan klien keduanya merasa hal yang sangat penting. Jika relationship
kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat pertolongan semunya signifikan, maka hal itu
perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu merupakan cara terakhir yang penting di
atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien dalam gambaran diri (self image) dan
bersama-sama meninjau kembali proses kemampuannya berelasi dimasa mendatang.
keperawatan yang telah dilalui dan Alasan untuk melakukan terminasi akan lebih
pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini jelas pada pemikiran klien maupun pekerja
dengan sukses dan bernilai terapeutik, sosial tentang segala kemungkinan yang
perawat menggunakan konsep kehilangan. diekspresikan dan dipahami karena terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan sering merupakan proses yang mengharukan.
perawat, yang dibagi dua yaitu: Hal ini disebabkan karena relasi yang baik
dan cukup mendalam diantara pekerja sosial
Terminasi sementara, berarti masih ada dengan kliennya.
pertemuan lanjutan; Terminasi akhir, terjadi
jika perawat telah menyelesaikan proses Perpisahan dengan orang yang terasa
keperawatan secara menyeluruh. Tugas dekat, akrab, dan senasib sepenanggungan
perawat pada fase ini yaitu : dalam pemecahan masalah dirasakan sangat
berat dan memilukan hati, klien juga sering
1. Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi merasa ragu dan kurang yakin akan
yang telah dilakukan, evaluasi ini disebut kemampuannya dalam melaksanakan fungsi
evaluasi objektif. Brammer & Mc Donald dan tugas kehidupan selanjutnya tanpa
(1996) menyatakan bahwa meminta klien dukunga pekerja sosial. Bagi klien, hal ini
menyimpulkan tentang apa yang telah dirasa sebagai situasi yang memberikan hati.
didiskusikan atau respon objektif setelah Oleh sebab itu,pekerja sosial perlu melakukan
tindakan dilakukan sangat berguna pada tekanan psikologi dengan cermat dan
tahap terminasi (Suryani,2005); mengamati manifestasi emosional klien denga
hati-hati.
2. Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan
dengan menanyakan perasaan klien 4. KESIMPULAN
setalah berinteraksi atau setelah
melakukan tindakan tertentu; Dari hasil penelitian terhadap kepatuhan
perawat dalam melaksanakan SPO
3. Menyepakati tindak lanjut terhadap pemasangan infus ada 14 responden. Dari
interaksi yang telah dilakukan. Hal ini hasil penelitian terhadap kepatuhan perawat
sering disebut pekerjaan rumah (planning dalam melaksanakan SPO pemasangan infus
klien). Tindak lanjut yang diberikan harus baik sebanyak 10 (71,4%) responden, kurang
relevan dengan interaksi yang baru baik sebanyak 4 (28,6%). Tahap Interaksi dari
dilakukan atau yang akan dilakukan pada hasil penelitian terhadap kepatuhan perawat
pertemuan berikutnya. Dengan tindak dalam melaksanakan SPO pemasangan infus
lanjut klien tidak akan pernah kosong baik sebanyak 11 (78,6%) responden, kurang
menerima proses keperawatan dalam 24 baik sebanyak 3 (21,4%). Tahap Kerja dari
jam; hasil penelitian terhadap kepatuhan perawat
dalam melaksanakan SPO pemasangan infus

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 9
baik sebanyak 13 (92,9%) responden, kurang Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian
baik sebanyak 1 (7,1%). Tahap Terminasi dari Suatu Pendekatan Praktek Edisi
hasil penelitian terhadap kepatuhan perawat Revisi VI. Jakarta. EGC.
dalam melaksanakan SPO pemasangan infus
baik sebanyak 14 (100%) responden, kurang Darmawan, I.2008. Penyebab dan Cara
baik sebanyak 0 (0%). Mengatasi Flebitis. Diakses dari
http: www.Iyan@Otsuka.com.id.
Saran untuk peneliti selanjutnya, karena
peneliti hanya meneliti tentang gambaran Dougherty: Bravery,K; Gabriel, J:
kejadian phlebitis makan peneliti harap
Kayley,J: Scales,K:& Inwood,S.
peneliti lain dapat meneliti lebih lanjut tentang
kejadi phlebitis yang berhubungan dengan 2010. Standards for infusion
kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO therapy. The RCN IV Therapy
pemasangan infus. Forum.

Adanya hal-hal yang kurang dalam Hinlay. 2006. Terapy Intravena pada
peneliti ini bisa menjadi bahan oleh peneliti pasien di rumah sakit.
lain untuk meneliti lebih lanjut. Untuk Yogyakarta: Nuha Medika
Institusi Pendidikan, sebagai bahan acuan
bagi pendidik tentang gambaran pelaksanaan
pemasangan infus yang tidak sesuai SPO
terhadap resiko terjadinya phlebitis. Kasmad, dkk. 2007. Hubungan antara
kualitas perawatan kateter dengan
Untuk Rumah Sakit,Sebagai bahan kejadian infeksi nosokomial
masukan untuk perawat RSAL dr. saluran kemih. Ejournal
Mintohardjo Jakarta dalam meningkatkan undip.01(01)
kualitas pelayanan asuhan keperawatan
kepada pasien yang sesuai SPO, terutama
dalam hal mencuci tangan untuk
meminimalkan tingkat kejadian phlebitis. Kayser, Fritz, et al. 2005. Nosocomial
Peneliti menyarankan pihak rumah sakit untuk Infection. In: Medical
melakukan sosialisasi tentang pentingnya Microbiology. New York:
kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO Thieme, 342-346.
terutama dalam hal mencuci tangan sebelum
melakukan tindakan dalam tindakan yang Perry dan Potter. 2005. Buku Ajar
berupa invasif seperti pemasangan infus Fundamental Keperawatn
karena mengingat kurang nya kesadaran
Konsep, Proses dan Praktek. Edisi
perawat dalam hal mencuci tangan sebelum
melakukan tindakan. 4. Alih Bahasa Renata
Komalasari. Jakarta. EGC.
Sugiyono. 2007. Statistika untuk
5. REFERENSI Penelitian. Bandung
Andreas. 2009. Analisis hubungan Suryani. 2005. Komunikasi Terapeutik:
karakteristik perawat dan tingkat Teori dan Praktik. Jakarta. EGC.
kepatuhan perawat dalam
pelaksanaan protap pemasangan
infus di Rumah Sakit Badrul Aini
Medan. Skripsi: Tidak
dipublikasikan.

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 10
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMENUHAN
KEBUTUHAN MOBILISASI PADA PASIEN STROKE ISKHEMIK

Sulastri¹, Harjati²
¹²Dosen Akademi Keperawatan Yaspen Jakarta
Email: sulas71@gmail.com
Email: harjati01@gmail.com

Abstrak

Stroke adalah disfungsi neurologi akut yang disebabkan gangguan pembuluh darah dan timbul secara
mendadak dalam beberapa jam. Salah satu gejala umum adalah disfungsi neurologis berupa
hemiparalisis atau hemiparese yang disertai dengan defisit sensorik. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya penurunan kekuatan otot yang mengakibatkan ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan mobilisasi pada pasien
stroke iskhemik. Pemenuhan kebutuhan mobilisasi fisik dapat dilakukan secara efektif dengan
mengetahui secara tepat faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan mobilisasi pada pasien stroke
iskhemik. Karya ilmiah ini bertujuan mendeskripsikan dampak stroke iskhemik terhadap kebutuhan
mobilisasi (exploratory study) dan selanjutnya menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan mobilisasi pada pasien stroke iskhemik (Explanatory study). Karya ilmiah ini
merupakan hasil analisis dan studi literatur dari hasil penelitian maupun studi kasus yang telah
dilakukan tentang mobilisasi pada pasien stroke iskhemik. Hasil studi kasus dan studi literatur ini
adalah dampak imobilitas pada pasien stroke iskhemik dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan mobilisasi pada pasien stroke iskhemik yang meliputi kerusakan area otak,
tingkat energi, gaya hidup dan usia. Hasil studi kasus dan studi literatur ini dapat dijadikan bahan
kajian dalam mengembangkan penelitian lebih lanjut, dan memberikan informasi kepada praktisi
keperawatan sebagai acuan dalam merumuskan perencanaan asuhan keperawatan dalam upaya untuk
meningkatkan pengetahuan dalam pemenuhan kebutuhan mobilisasi pada pasien stroke iskhemik.

Kata kunci: stroke iskhemik, kebutuhan mobilisasi, kerusakan area otak, efektifitas latihan,
tingkat energi, gaya hidup, usia, kebudayaan.

A stroke is an acute neurological dysfunction caused by a blood vessel disorder and occurs suddenly
within a few hours. One common symptom is neurological dysfunction in the form of hemiparalysis or
hemiparese accompanied by a sensory deficit. This condition causes a decrease in muscle strength
resulting in inability to perform daily activities. Many factors can affect the fulfillment of mobilization
needs in ischemic stroke patients. The fulfillment of physical mobilization needs can be done
effectively by knowing exactly the factors that affect the needs of mobilization in ischemic stroke
patients. This paper aims to describe the impact of ischemic stroke on the need for mobilization
(exploratory study) and further explain the factors that affect the fulfillment of the needs of
mobilization in patients ischemic stroke (Explanatory study). This scientific work is the result of
analysis and literature study of research results and case studies that have been done about
mobilization in patients ischemic stroke. The results of this case study and literature study are the
impact of ischemic stroke on mobilization requirements and factors that affect the fulfillment of
mobilization needs in ischemic stroke patients that include damage to the brain area, exercise
effectiveness, energy level, lifestyle and age. The results of this case study and literature study can be
used as study materials in developing further research, and provide information to nursing
practitioners as a reference in formulating nursing care planning in an effort to increase knowledge
in meeting the needs of mobilization in ischemic stroke patients.

Keywords: ischemic stroke, mobilization needs, brain area damage, exercise effectiveness, energy level,
lifestyle, age, culture.

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 11
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 12
1. PENDAHULUAN yang berupa hemiparese yang bersifat kontra
lateral dari daerah lesi di otak (Muttaqin,
Stroke merupakan gangguan fungsi 2008).
sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan
oleh gangguan aliran darah ke otak. World Menurut Rasyid, Misbach & Harris
Health Organization (WHO) menetapkan (2015), salah satu komplikasi dari stroke
bahwa stroke merupakan suatu sindrom adalah hilangnya kontrol dalam gerakan
klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi normal. Ketika tonus otot terganggu, maka
otak secara fokal atau global yang dapat kontrol gerakan akan hilang, ini disebut juga
menimbulkan kematian atau kelainan yang flaksidilitas atau hipotonisitas. Sebaliknya,
menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab jika tonus ototnya meningkat, akan terjadi
lain kecuali gangguan vaskular (Rasyid, & kondisi spastisitas atau hipertonisitas.
Soertidewi, 2007). Menurut Smeltzer & Terhambatnya ruang gerak biasanya dapat
Bare (2008) stroke merupakan sindrom menyebabkan keterbatasan kemampuan
klinis akibat gangguan pembuluh darah otak pergerakan harian pasien.
biasanya timbul secara mendadak dan
mengenai usia 45-80 tahun. Stroke atau Menurut Murbarak & Chayatin (2008)
cerebro vaskuler accident (CVA) adalah dalam (Sihitte, 2013) mobilisasi adalah
kehilangan fungsi otak yang disebabkan kemampuan seseorang untuk bergerak
oleh berhentinya suplai darah ke bagian secara bebas, mudah, dan teratur yang
otak (Smeltzer & Bare, 2008). Stroke adalah bertujuan unutuk memenuhi kebutuhan
sindrom yang terdiri dari tanda dan atau hidup sehat. Setiap orang butuh untuk
gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat bergerak. Kehilangan kemampuan untuk
fokal (global) yang berkembang cepat melakukan pergerakan dapat menyebabkan
(dalam detik atau menit), gejala ini ketergantungan dalam memenuhi
berlangsung lebih dari 24 jam atau aktifitasnya dan ini membutuhkan tindakan
menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008). keperawatan. Mobilisasi diperlukan untuk
meningkatkan kemandirian diri,
Stroke iskemik atau non hemoragik meningkatkan kesehatan, memperlambat
adalah infark atau kematian jaringan yang proses penyakit khususnya penyakit
serangannya terjadi pada usia 20-60 tahun degeneratif dan untuk aktualisasi diri
dan biasanya timbul setelah beraktifitas fisik (Hidayat, 2006).
atau karena psikologis (mental) yang
disebabkan karena trombosis maupun Gangguan mobilisasi adalah satu
emboli pada pembuluh darah di otak keadaan ketika individu mengalami atau
(Fransisca, 2009). Stroke Iskemik terjadi beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik
karena adanya penyumbatan di pembuluh yang disebabkan karena adanya gangguan
darah otak yang disebabkan oleh trombosis, pada sistem saraf pusat maupun karena
emboli sehingga jumlah darah yang ketidakmampuan otot volunter untuk
mengalir ke daerah distal dari penyumbatan melakukan tugasnya lagi (Potter, 2006).
berkurang (Ginting, 2015). Hal ini Hambatan yang muncul akibat penyempitan
menyebabkan daerah tersebut mengalami atau sumbatan darah dan perdarahan di otak
kekurangan oksigen atau iskhemik, dimana bisa menjadi tingkat keparahan stroke,
mennyebabkan perfusi jaringan otak rendah, tergantung pada bagian mana yang terkena
penyediaan oksigen menurun, CO2 dan sumbatan, yakni: apabila yang terkena
asam laktat tertimbun. Pembuluh darah di adalah daerah sensorik, maka akan timbul
bagian pusat daerah iskhemik kehilangan gejala kesemutan atau baal, apabila yang
tonus dan terjadi proses degeneratif akibat terkena adalah otak pusat bicara, maka
dari edema serebri sehingga terjadi infark penderita akan mengalami gejala susah
dan timbul manifestasi defisit neurologik bicara atau susah mengerti perkataan orang

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 13
lain, apabila yang terkena adalah pusat dan otot tidak dilatih maka akan terjadi
penglihatan, maka penderita akan penurunan massa yang berkelanjutan
mengalami kebutaan, apabila yang terkena (Muttaqin, 2008).
adalah daerah otak pusat penggerakan,
maka penderita akan mengalami Penurunan massa otot yang
kelumpuhan. Namun masalah yang sering berkelanjutan dapat mengakibatkan paralisis,
muncul pada pasien stroke adalah gangguan paralisis disebabkan karena hilangnya suplai
gerak, pasien mengalami gangguan atau saraf ke otot sehingga otak tidak mampu
kesulitan saat berjalan karena mengalami menggerakan ekstremitas, hilangnya suplai
gangguan pada kekuatan otot (paralisis) dan saraf ke otot akan menyebabkan otot tidak
keseimbangan tubuh (Muttaqin, 2008). lagi menerima sinyal kontraksi yang
dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran
Pasien stroke yang dirawat di rumah otot yang normal sehingga terjadi atropi.
sakit sering mengalami kelemahan anggota Separuh pasien stroke iskkemik yang hidup
gerak, baik sebagian maupun seluruhnya mengalami kecacatan fisik karena defisit
yang menyebabkan pasien imobilisasi. neurologis yang menetap (Noor, 2016).
Imobilisasi yang berkepanjangan berpotensi Pasien tidak hanya mengalami kelumpuhan
terjadinya masalah kesehatan baru. Salah tetapi juga mengalami gangguan kognitif,
satu faktor yang mempengaruhi adalah gangguan komunikasi dan gangguan lapang
faktor mekanis berkaitan dengan gangguan pandang atau defisit dalam persepsi.
neurologis, pada pasien stroke disebabkan Berbagai program dirancang untuk
oleh penurunan beberapa fungsi neurologis. meningkatkan kemampuan. Salah satu yang
Pertama penurunan fungsi motorik yang menjadi program untuk memperbaiki fungsi
menyebabkan terjadi imobilisasi. Gangguan mobilisasi fisik pada pasien stroke non
mobilitas dan ketidakberdayaan hemoragi adalah latihan pergerakan sendi
(deconditioning) adalah masalah yang paling atau Range Of Motion (ROM). Fungsi fisik
sering dialami pasien stroke yang diperoleh dari latihan mobilisasi
(Wahjoepramono, 2005). Imobilisasi yang adalah mempertahankan kelenturan sendi,
berkepanjangan dapat mengakibatkan kemampuan aktifitas (Munir, 2015).
berbagai komplikasi pada pasien stroke.
Seseorang yang mengalami gangguan gerak Perlu intervensi yang efektif untuk
atau gangguan pada kekuatan ototnya akan meningkatkan kemapuan mobilisasi pasien
berdampak pada aktivitas sehari-harinya. sehingga kebutuhannya dapat terpenuhi.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi Berbagai faktor dapat mempengaruhi
penyakit lain maka perlu untuk pemenuhan kebutuhan mobilisasi pasien
dilakukannya latihan mobilisasi fisik. stroke di antaranya luasnya area otak yang
mengalami kerusakan (Rasyid, Misbach &
Pengaruh lain dari keterbatasan Harris (2015), efektifitas latihan yang
mobilisasi fisik adalah gangguan dilakukan (Noor, 2016), tingkat energi
metabolisme kalsium dan gangguan energi, adanya adat dan budaya tertentu
mobilisasi sendi. Immobilisasi dapat yang melarang untuk beraktifitas dan faktor
mempengaruhi fungsi otot dan skeletal. usia (Kozier, 2010).
Akibat pemecahan protein pada otot, pasien
mengalami kehilangan massa tubuh yang
membentuk sebagian otot. Oleh karena itu Tujuan karya ilmiah ini untuk
penurunan massa otot tidak mampu mengeksplorasi dampak imobilitas pada
mempertahankan aktifitas tanpa adanya pasien stroke iskhemik dan faktor-faktor
yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
peningkatan kelelahan. Massa otot akan
mobilisasi pada pasien stroke iskhemik.
menurun akibat metabolisme dan otot yang
tidak digunakan. Jika imobilisasi berlanjut

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 14
1. METODOLOGI kehilangan kemampuan gerak secara totak
tetapi mengalami penurunan aktivitas dari
Karya ilmiah ini menggunakan
kebiasaan normalnya (Kozier, 2010).
metodologi penulisan deskriptif analitik.
Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan
Metode Deskriptif analitik dalam hal ini
kemandirian diri, meningkatkan kesehatan,
adalah suatu metode yang berfungsi
memperlambat proses penyakit degeneratif
untuk mendeskripsikan atau memberi
dan untuk aktualisai diri (harga diri dan citra
gambaran terhadap objek melalui data yang
tubuh). Mobilisasi adalah kemampuan
telah disajikan dari hasil penelitian
seseorang untuk bergerak secara bebas,
sebelumnya dan selanjutnya diolah dan
mudah dan teratur yang bertujuan untuk
dianalisa untuk diambil kesimpulannya.
memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis
Kehilangan kemampuan mobilisasi dapat
menggali informasi/data dari berbagai
menyebabkan ketergantungan dan ini
referensi berupa hasil studi kasus, hasil
membutuhkan intervensi keperawatan
penelitian dan buku-buku referensi yang
(Wahit, 2007).
mengulas tentang objek yang dibahas. Data
yang didapat kemudian disajikan secara
Berdasarkan hasil studi kasus pada
sistematik dalam bentuk naratif yang
pasien stroke iskhemik di RS. Pasar Rebo
didukung dengan data-data yang faktual.
menunjukkan adanya gangguan mobilisasi
fisik sehingga pasien taidak dapat
memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Intervensi keperawatan yang tepat
Stroke adalah penyakit motor neuron dibutuhkan untuk meningkatkan
atas dan menyebabkan kehilangan kontrol kemampuan mobilisasi pada pasien stroke
vaskuler terhadap gerakan motorik iskhemik. Menurut Lewis (2007) dalam
(Smeltzer, 2012). Neuron motor melintas Maria, et al (2011), ROM (range of motion)
dapat menyebabkan gangguan kontrol merupakan salah satu intervensi
motor volunter terhadap salah satu sisi keperawatan yang fundamental yang
tubuh yang menunjukkan kelainan pada merupakan bagian dari proses rahabilitasi
neuron motor atas pada sisi yang berlainan pada pasien stroke. Latihan harus dilakukan
dengan otak. Disfungsi motorik yang paling beberapa kali dalam sehari untuk mencegah
umum adalah hemiflegia (paralisis pada terjadinya komplikasi.
salah satu sisi) yang disebabkan lesi pada
salah satu sisi otak yang berlawanan. Pasien stroke sering harus dirawat
Hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi dalam jangka waktu lama sehingga terjadi
tubuh) adalah masalah gangguan mobilisasi inaktivasi atau imobilisasi alat gerak, tidak
yang lain. Awal tahapan stroke adalah hanya pengobatan medikamentosa saja yang
paralisis dan hilang atau menurunnya harus kita perhatikan, tetapi juga rehabilitasi
refglek tendon dalam. Reflek tendon dalam medik dan perawatan yang optimal terhadap
ini muncul kembali (biasanya dalam 48 pasien tersebut harus dilaksanakan secara
jam), peningkatan tonus disertai dengan optimal untuk meminimalisir terjadinya
spastisitas (peningkatan tonus otot komplikasi yang mungkin timbul karena
abnormal) pada ekstremitas yang terkena imobilisasi lama. Pada awalnya, imobilisasi
(Smeltzer, 2012). ini menyebabkan perubahan kapasitas
fungsional satu organ tertentu yang
Intervensi keperawatan yang umum kemudian menyebar mempengaruhi banyak
dilakukan pada pasien stroke adalah organ dan sistem tubuh (Purwanti &
memperbaiki mobilitas dan mencegah Arina, 2008).
deformitas. Imobilitas merupakan kondisi
yang relatif. Individu tidak hanya Imobilitas karena tirah baring jangka

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 15
lama akan menyebabkan suatu keadaan Dampak imobilitas pada sistem
klinis yang disebut deconditioning dimana muskuloskeletal.
terjadi penurunan kapasitas fungsional Fungsi utama sistem muskuloskeletal
berbagai sistem tubuh terutama terjadi adalah untuk menopang tubuh, transportasi
gangguan sistem muskuloskeletal. tubuh, dan melakukan berbagai kegiatan
Deconditioning terjadi pada berbagai usia fisik lainnya. Berbagai dapak imobilitas
dan jenis kelamin, terutama pada pasien pada sistem muskuloskeletal (Anbiya, 2014)
dengan kondisi sakit kronis, usia lanjut dan antara lain:
cacat (Purwanti, & Arina, 2008).
Kelemahan dan atrofi otot.
Pada posisi berbaring, aktivitas otot
Dampak imobilitas pada pasien minimal karena berkurangnya kekuatan
stroke iskhemik gravitasi dan hipokinesia. Secara progresif,
hal ini menyebabkan penurunan ukuran,
Menurut Anbiya (2014), beberapa kekuatan dan daya tahan otot. Keadaan ini
dampak dari imobilitas pasien stroke pada biasanya terjadi pada otot anti gravitasi pada
sistem muskuloskeletal adalah kontraktur anggota tubuh bagian bawah. Pada beberapa
pada otot, kelemahan dan atrofi otot dan orang, keadaan ini bersifat reversibel,
gangguan eksitasi elektrik. Pada tulang kecuali pada orang dengan kelainan
dapat terjadi osteoporosis. Pada sendi dapat muskuloskeletal atau neurologis.
menyebabkan degenerasi kartilago, infiltrasi
jaringan fibrofatty, atrofi sinovial dan Dengan tirah baring sempurna, terjadi
ankilosis. Pada Jantung dan paru dapat penurunan kekuatan otot sebesar 1-3 % per
menyebabkan redistribusi cairan tubuh, hari, atau 10-15 % per minggu. Pasien
hipotensi ortostatis, penurunan kapasitas dengan tirah baring total selama 3-5 minggu
fungsional kardiopulmoner, koagulasi darah dapat kehilangan setengah dari kekuatan
(tromboembolisme), resistensi mekanis ototnya. Pada tampilan histologis, terjadi
pernapasan, pneumonia hipostatis, penurunan area gelap ATPase tipe II
peningkatan kapasitas total paru, emboli sebanyak 46% dan area terang ATPase tipe
paru. I sebanyak 69%. Pada awal imobilitas,
terjadi peningkatan aktivitas suksinat
Pada genitourinaria dan dehidrogenase per serat otot, tetapi
gastrointestinal dapat menyebabkan statis kemudian mengalami penurunan secara
urinaria, batu ginjal, infeksi saluran kemih, signifikan pada akhir imobilitas. Secara
gangguan berkemih, penurunan nafsu general, terjadi penurunan aktivitas enzim
makan dan konstipasi. Pada sistem endokrin oksidasi pada otot.
dan metabolik dapat menyebabkan Pada otot, terjadi pula perubahan
peningkatan lemak tubuh, gangguan metabolik sebagai respon terhadap
elektrolit dan mineral, intoleransi glukosa, gangguan aktivitas enzim. Walaupun
gangguan produksi hormon, peningkatan sumber energi utama berasal dari
temperatur dan respon berkeringat, karbohidrat dan lemak, terjadi kehilangan
gangguan ritme sirkadian. Pada kognitif dan nitrogen selama imobilitas akibat aktivitas
perilaku dapat menyebabkan deprivasi otot yang terbatas sehingga
sensoris, disorientasi, depresi dan cemas, menyebabkan berkurangnya sintesis
penurunan kapasitas intelektualitas, protein. Defisiensi protein ini diperberat
gangguan keseimbangan dan koordinasi dengan mekanisme gastrointestinal
serta gangguan tidur. Pada kulit dapat berupa kehilangan nafsu makan,
menyebabkan ulkus dekubitus, edema dan berkrangnya absorspi protein dan
bursitis subkutan. konstipasi. Kehilangan nitrogen per hari
dapat mencapai 2 gram. Peningkatan

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 16
kehilangan nitrogen biasanya dimulai pada faktor mekanis seperti tirah baring yang
hari ke-5 atau ke-6 tirah baring, dengan tidak tepat. Faktor tunggal yang paling
puncaknya pada minggu kedua. sering berkontribusi terhadap terjadinya
kontraktur adalah kurangnya mobilisasi
Inaktivitas Peningkatan pemecahan
sendi dalam lingkup ruang sendi
nitrogen mekanisme sistem GI Penurunan
penuhnya. Imobilisasi sendi yang lama
sintesis nitrogen (berkurangnya nafsu
dapat menyebabkan penurunan panjang otot
makan, absorpsi) hipoproteinemia
dan pemendekkan kolagen pada kapsul
Penurunan kapasitas enzim menyebabkan
sendi dan jaringan lain (Wirawan, 2009).
berkurangnya ekstraksi oksigen dari darah.
Hal ini menyebabkan perubahan pada
Banyak faktor yang dapat
bentuk dan ukuran end plate dan fungsi dari
mempengaruhi kecepatan perkembangan
reseptor asetilkolin sehingga menyebabkan
kontraktur, diantaranya adalah posisi
penurunan daya tahan otot. Penurunan
tungkai, durasi imobilisasi, keadaan
maksimal terjadi pada hari ke 8 dan 10,
patologi awal dan restriksi sendi. Edema,
selanjutnya mengalami penurunan. Sejalan
iskemia, perdarahan dan gangguan lain
dengan perubahan serat otot, terjadi
pada lingkungan mikro sendi dan jaringan
peningkatan relatif dari konten dan cross-
periartrikular juga dapat menyebabkan
linkage kolagen.
kontraktur. Pada usia tua, terjadi kehilangan
serat otot dan peningkatan relatif dari
Hal ini menyebabkan terjadinya
proporsi jaringan ikat sehingga dapat
rigiditas dan kontraktur miogenik.
menyebabkan terjadinya kontraktur
Selanjutnya, jika otot-otot ekstensor tetap
(Wirawan, 2009).
pada posisi ekstensi penuh dan otot-otot
fleksi tetap pada posisi fleksi penuh selama
Pada pasien diabetes melitus, terjadi
imobilisasi, dapat menyebabkan
perubahan mikrovaskular dan iskemia yang
berkurangnya jumlah sarkomer otot
menyebabkan terjadinya kontraktur
sehingga terjadi penurunan panjang dan
terutama pada tangan. Tulang dan otot
kekuatan otot selama aktivitas. Kelemahan
merupakan jenis dari dari jaringan ikat,
dan atrofi otot ini dapat dicegah dengan
dimana jaringan ikat memiliki properti
peregangan otot selama setengah jam setiap
mekanis, terdiri dari sel (fibroblas) dan
harinya. Kelemahan dan atrofi otot ini juga
makromolekul interseluler (kolagen) yang
dapat dicegah dengan penggunaan stimulasi
dikelilingi oleh matriks ekstraseluler (jeli
elektris. Program yang dipakai adalah
polisakarida). Kolagen merupakan protein
stimulasi rectangular bifasik sebanyak tiga
yang paling banyak terdapat pada tubuh.
sesi per hari selama 30 menit. B.
Terdapat paling tidak 12 macam kolagen (I-
XII) yang telah teridentifikasi. Kolagen
Kontraktur
disintesis dari asam amino pada retikulum
Kontraktur adalah kurangnya
endoplasma kasar. Setiap jaringan memiliki
jangkauan aktif atau pasif penuh lingkup
komposisi kolagen yang berbeda sehingga
gerak sendi yang terjadi karena adanya
terjadi kekhasan pada setiap jaringan.
keterbatasan penggunaan sendi, otot atau
Kolagen-kolagen tersebut akan tersusun
jaringan lunak. Berbagai keadaan dapat
teratur sesuai dengan arah gerak sehingga
menyebabkan keterbatasan pergerakan
membentuk fibril. Ikatan silang antara fibril
sendi, contohnya nyeri sendi (yang terjadi
kolagen kemudian memberikan kekuatan
pada proses peradanagan, trauma, infeksi,
otot. Fibril kolagen kemudian akan
degenerasi dan perdarahan), paralisis, beragregasi dalam grup membentuk fasikel.
fibrosis jaringan kapsular atau Sejumlah besar fasikel kemudian
periartrikular, atau kerusakan otot membentuk tendon atau ligamen.
(polimiositis dan distrofi muskuler) atau

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 17
Perubahan pada struktur kolagen dapat (tendinitis, bursitis) Kombinasi Kombinasi
dipengaruhi oleh enzim, faktor pertumbuhan ketiganya ditemukan pada satu sendi
atau stimuli mekanis. Selain kolagen
sebagai penyokong utama struktur jaringan Kontraktur dan perubahan jaringan ikat
ikat, terdapat juga proteoglikan yang Jaringan ikat secara konstan digantikan
berfingsi untuk lubrikasi sendi. Pada dan reorganisasi selama fase penyembuhan.
keadaan trauma atau inflamasi dari jarigan Pada area yang sering bergerak, jaringan
ikat, sel mesenkimal berdiferensiasi ikat longgar terbentuk, sedangkan pada area
menjadi fibroblas yang kemudian yang tidak ada atau minim gerakan akan
memproduksi kolagen yang kemudian terbentuk jalinan padat kolagen. Serat
tersusun secara acak. Jika sintesis kolagen kolagen ini akan memendek bila terjadi
lebih banyak daripada pemecahannya, imobilisasi. Imobilisasi dapat menyebabkan
dapat terjadi fibrosis yang berlebihan. infiltrasi fibrolipid pada sendi yang bisa
Ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan matang menjadi perekat kuat di dalam sendi
kolagen ini dipengaruhi oleh faktor fisik dan bisa merusak kartilago (Anbiya, 2014)
seperti kurangnya peregangan, imobilitas
dan inaktivitas yang lama. Trauma, Kontraktur artrogenik
perdarahan atau iskemia juga dapat Proses patologis yang melibatkan
menstimulasi sintesis kolagen. Sintesis sendi dapat menyebabkan tightness dan
kolagen pada otot juga dipengaruhi level fibrosis. Inflamasi dan efusi synovial
aktivitas otot. disertai rasa sakit yang mengakibatkan
terbatasnya pergerakan sendi dan kontraktur
Pemendekkan panjang otot juga dapat kapsular. ROM pasif selama arthritis akut
terjadi pada orang normal dalam derajat dapat meningkatkan IL-1, IL-1 penetrasi ke
yang ringan, terutama pada otot-otot yang dalam kartilago dan berikatan dengan
melewati beberapa sendi. Hal ini reseptor di membrane kondrosit dan
berhubungan dengan faktor mekanis. menghambat pembentukan proteoglikan
Diagnosis kontraktur ditegakkan setelah yang penting untuk proteksi kartilago. Nyeri
pemeriksaan lingkup gerak sendi yang dan rusaknya kartilago akibat splinting
meliputi evaluasi lingkup gerak sendi aktif menurunkan pergerakan sendi dan ROM.
dan pasif. Kapsul sendi juga bisa kehilangan
ekstensibilitas akibat pemendekan serat
Kontraktur yang diakibatkan oleh kolagen. Penyebabnya adalah karena
keadaan patologi dapat dibedakan menjadi stretching yang kurang dan posisi fleksi.
artrogenik, miogenik dan jaringan lunak. ROM terbatas ke segala arah. Sendi bahu
Tipe kontraktur Penyebab Artrogenik dan pinggul paing sering mengalami
Kerusakan kartilago (inflamasi, infeksi, kontraktur kapsul. Pemendekan kapsul
trauma, degenerasi) Proliferasi jaringan posterior sendi lutut juga bisa terjadi pada
sinovial (efusi) Fibrosis kapsular Miogenik pasien yang menggunakan kursi roda
Intrinsik (struktural) Trauma (edema, (Anbiya, 2014)
perdarahan) Perubahan degeneratif (distrofi
muskular) Iskemik (diabetes melitus,
kelainan pembuluh darah perifer) Ekstrinsik Kontraktur Jaringan Padat dan Lunak
Spastisitas (paralisis, kerusakan medula Trauma terhadap jaringan lunak dengan
spinalis, sklerosis multipel) Flaccid pendarahan bisa menyebabkan fibrosis dan
paralysis Mekanis (imobilisasi, kurang menjadi kontraktur bila stretching tidak
peregangan) Jaringan lunak Gangguan pada dilakukan. Dalam kondisi ini serat kolagen
jaringan lunak periartrikular Gangguan pada berproliferasi dan membentuk jalinan.
kulit atau jaringan subkutan (luka bakar) Keterbatasan gerak hanya terjadi pada satu
Gangguan pada tendon dan ligamen aksis. Kulit yang terbakar rentan terhadap

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 18
kontraktur. Selama masa penyembuhan, Komplikasi bed rest ini dapat dicegah
luka terbakar yang melewati sendi harus dengan latihan penguatan otot abdomen dan
sering digerakkan dan diposisikan melawan paraspinal serta hamstring. Bed rest yang
pemendekan dari jaringan parut. Imobilisasi lama tidak memiliki efek terapi pada
dapat menyebabka perubahan bomekanik sindrom nyeri punggung bawah (Ariani,
dan biokimia pada ligament. Proses yang 2012).
terjadi pada ligament selama imobilisasi
yaitu penurunan sintesis kolagen dan Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang pemenuhan kebutuhan mobilisasi pada
tempat insersi ligamen. pasien stroke iskhemik
Dalam memberikan perawatan untuk
Efek kontraktur pada fungsi fisik memenuhi kebutuhan mobilisasi dan
Menurut Anbiya (2014) mencegah komplikasi akibat imobilisasi
kontraktur memiliki 3 efek, yaitu pada pasien stroke iskhemik harus
mengganggu pergerakan, aktivitas hidup memperhatikan beberapa faktor :
sehari-hari, dan pada perawatan kulit.
Kontraktur pada ekstremitas bawah 1. Luasnya kerusakan otak akibat
mengubah pola berjalan dan bisa stroke
menghambat ambulasi. Kontraktur pinggul :
menurunkan ekstensi pinggul, Stroke infark atau iskemik disebabkan
meningkatkan kemungkinan lordosis lumbar karena adanya penyumbatan pembuluh
dan kebutuhan energi. Kontraktur pinggul darah yang menuju ke otak. Sumbatan ini
dapat menyebabkan pemendekan otot dapat disebabkan oleh dua hal yakni,
hamstring sehingga memfleksikan lutut, trombus dan emboli (Mulyatsih & Ahmad,
tidak jarang pasien dengan kontraktur 2008). Gejala-gejala yang dapat muncul
pinggul mengalami kontraktur lutut dan untuk sementara, lalu menghilang atau lalu
ankle terutama bila tidak dilakukan memberat atau menetap. Gejala ini muncul
mobilisasi. Kontraktur plantarfleksi akibat daerah otak tertentu tak berfungsi
menyebabkan hilangnya hentakan kaki dan yang disebabkan oleh terganggunya aliran
abnormal pus-off. Keterbatasan pada darah ke tempat tersebut. Gejala yang
ekstremitas atas menyebabkan tidak bisa muncul bervariasi, bergantung bagian otak
menggapai, berpakaian, merawat diri, yang terganggu. Dari gejala-gejala yang
makan dan kemampuan motorik halus muncul diakibatkan karena adanya
lainnya. Kontraktur pada banyak sendi gangguan pada pembuluh darah karotis
mengganggu posisi tidur, berdiri, yaitu pada cabangnya yang menuju otak
mobilisasi, dan mempersulit perawatan kulit bagian tengah (arteri serebri media), pasien
dan perineum dan perluasan area tekanan akan mengalami gangguan rasa di lengan
pada kulit.Hipcontracture Plantarflexion dan tungkai sesisi dan dapat terjadi
contracture gangguan gerak/ kelumpuhan dari tingkat
ringan sampai kelumpuhan total pada
Bed rest dan nyeri punggung bawah lengan dan tungkai sesisi (hemiparesis/
Bed rest yang terlalu lama dapat hemiplegi).
menyebabkan nyeri punggung bawah
melalui mekanisme tightness pada otot Bila gangguan pada cabang yang
punggung dan hamstring atau kelemahan menuju otak bagian depan (arteri serebri
otot punggung dan abdomen. Adanya anterior) dapat terjadi gejala kelumpuhan
pemendekan pada otot-otot ini akan salah satu tungkai. Serta jika terjadi
mengubah alignment spinal dan postur gangguan pada pembuluh darah
tubuh. Imobilisasi osteoporosis spinal juga vertebrobasilaris, akan timbul gejala kedua
dapat menyebabkan nyeri punggung. kaki lemah/ hipotoni, tak dapat berdiri

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 19
(paraparesis inferior) (Ilma, 2014). Sebagai akan meningkatkan kemampuan pasien
pegangan biasanya pemulihan gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta
saraf pada stroke terjadi dalam hari, minggu dapat mencegah stroke berulang yang
pertama, dan setelah 6 bulan. Setelah 6 berakibat kematian. Untuk mencegah dan
bulan, jika masih terdapat cacat maka mengurangi hal tersebut maka perlu
perbaikan yang terjadi setelah itu tidak akan melakukan rehabilitasi, di dalamnya
mencolok lagi, walaupun perbaikan ringan termasuk teknik mobilisasi dini. Dasar dari
masih dapat diharapkan sampai 2 tahun, semua rehabilitasi stroke adalah asumsi
tetapi umumnya akan cenderung menetap bahwa pasien akan membaik dengan
(Wirawan, 2009). penyembuhan spontan, belajar, dan latihan
(Ilma, 2014).
2. Efektifitas latihan
3. Tingkat energy
Akibat dari terganggunya kebutuhan
oksigen ke otak dapat terjadi manifestasi Energi adalah sumber untuk melakukan
klinis berupa kelemahan sebagian atau mobilitas. Agar seseorang dapat melakukan
seluruh anggota gerak dari tubuh sehingga mobilisasi dengan baik maka dibutuhkan
pasien tidak mampu melakukan aktivitas energi yang cukup (Hidayat & Uliyah,
karena kelemahan anggota gerak dan 2016). Nutrisi merupakan bahan untuk
membutuhkan latihan anggota gerak yang menghasilkan energi yang digunakan dalam
bertujuan untuk mencegah kecacatan. membantu proses pengaturan keseimbangan
Latihan Range of Motion (ROM) organ, otot, tendon, ligamen,dan persendian.
merupakan salah satu bentuk latihan dalam Apabila status nutrisi kurang, kebutuhan
proses rehabilitasi yang dinilai masih sangat energi pada orang tersebut akan berkurang
efektif untuk mencegah terjadinya sehingga dapat mempengaruhi proses
kecacatan pada pasien dengan stroke keseimbangan dan pada akhirnya
(Sikawin, Mulyadi, & Palandeng, 2013). mempengaruhi kemampuan mobilisasi
(Mubarak & Cahyatin, 2007). Tingkat
Penelitian yang dilakukan Marlina energi yang menurun akibat intake nutrisi
(2011) ada pengaruh yang sangat siknifikas dan metabolisme yang terganggu pada
efektifitas latihan ROM terhadap pasien stroke iskhemik menyebabkan
peningkatan kekuatan otot. Hasil penelitian kemampuan mobilisasi yidak adekuat
menunjukkan nilai rata-rata kekuatan otot (Wirawan, 2009).
responden pada latihan ROM sebelum
intervensi adalah 3,68 dengan standar
deviasi 1,62. Pada pengukuran sesudah 4. Usia dan status perkembangan
intervensi didapat rata-rata 4,60 dengan
standar deviasi 0,81. Terlihat nilai mean Terdapat perbedaan kemampuan
perbedaan antara pengukuran pertama dan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda.
kedua 0,92 dengan standar deviasi 1,07. Hal ini dikarenakan kemampuan atau
Hasil uji statistik didapatkan nilai kematangan fungsi alat gerak seiring dengan
(Pvalue=0,000) sehingga dapat disimpulkan perkembangan usia. (Hidayat & Uliyah,
bahwa ada pengaruh yang bermakna 2016). Laporan U.S. Centers for Disease
kekuatan otot sebelum dan sesudah tindakan Control and Prevention pada umumnya
ROM pada pasien stroke iskemik. masyarakat beranggapan bahwa stroke
adalah penyakit yang hanya terjadi pada
Rekomendasi hasil penelitian agar usia pertengahan dan usia lanjut. Pada
latihan ROM yang dimodifikasi dapat
diterapkan pada pasien stroke untuk
kenyataannya, hampir 10% stroke
meningkatkan nilai kekuatan otot sehingga terjadi pada usia relatif muda (kurang
dari 45 tahun).. selain muncul gejala

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 20
umum stroke yang khas, biasanya pasca stroke (Saryono & Kamaludin,
disertai kelainan lain berupa sindrom 2008).
seperti gangguan perkembangan atau
kejang. Stroke pada usia muda relatif
jarang dibanding kelompok usia lanjut, 3. KESIMPULAN
tetapi memiliki penyebab dan metode Beberapa dampak imobilitas pada
diagnostik yang khusus, berpotensi pasien stroke iskhemik Menurut Anbiya
menyebabkan hilangnya kemampuan di (2014), pada sistem muskuloskeletal adalah
usia produktif akibat gannguan kontraktur pada otot, kelemahan dan atrofi
mobilisasi, dan memberikan dampak otot dan gangguan eksitasi elektrik. Pada
tulang dapat terjadi osteoporosis. Pada sendi
psikososial yang berat (Birawa &
dapat menyebabkan degenerasi kartilago,
Amalia,. 2015).
infiltrasi jaringan fibrofatty, atrofi sinovial
dan ankilosis. Pada Jantung dan paru dapat
menyebabkan redistribusi cairan tubuh,
5. Gaya hidup
hipotensi ortostatis, penurunan kapasitas
Perubahan gaya hidup dapat fungsional kardiopulmoner, koagulasi darah
mempengaruhi kemampuan mobilitas (tromboembolisme), resistensi mekanis
seseorang karena agaya hidup akan pernapasan, pneumonia hipostatis,
berdampak pada perilaku atau kebiasaan peningkatan kapasitas total paru, emboli
paru. Pada genitourinaria dan
sehari-hari (Hidayat & Uliyah, 2016).
gastrointestinal dapat menyebabkan statis
Gaya hidup sangat mempengaruhi kejadian
urinaria, batu ginjal, infeksi saluran kemih,
stroke. Gaya hidup yang salah tentang
gangguan berkemih, penurunan nafsu
kebiasaan mobilisasi fisik akan
makan dan konstipasi. Pada sistem endokrin
mempengaruhi persepsi pasien stroke
dan metabolik dapat menyebabkan
iskhemik melakukan mobilisasi pasca
peningkatan lemak tubuh, gangguan
terserang stroke. Gaya hidup sangat
elektrolit dan mineral, intoleransi glukosa,
tergantung dari tingkat pendidikannya.
gangguan produksi hormon, peningkatan
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang
temperatur dan respon berkeringat,
akan di ikuti oleh perilaku yang dapat
gangguan ritme sirkadian. Pada kognitif dan
meningkatkan kesehatannya, demikian juga
perilaku dapat menyebabkan deprivasi
sebaliknya (Saryono & Kamaludin, 2008).
sensoris, disorientasi, depresi dan cemas,
penurunan kapasitas intelektualitas,
6. Kebudayaan
gangguan keseimbangan dan koordinasi
serta gangguan tidur. Pada kulit dapat
Kemampuan melakukan mobilisasi
dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai menyebabkan ulkus dekubitus, edema dan
bursitis subkutan.
contoh orang yang memiliki budaya sering
berjalan jauh akan memiliki kemampuan
mobilitas yang kuat, dan begitu pula Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan
sebaliknya ada orang yang mudah terkena
gangguan mobilitas karena jarang berjalan mobilisasi pada pasien stroke iskhemik
adalah luasnya kerusakan otak akibat
jauh atau karena adanya adat dan budaya
tertentu yang melarang untuk beraktifitas stroke, efektifitas latihan, tingkat energi,
usia dan status perkembangan, gaya hidup
(Hidayat & Uliyah, 2016). Kebudayaan
dan kebudayaan.
ini menyebabkan perubahan gaya hidup
pasien dan akan mempengaruhi pasien Dalam memberikan asuhan
stroke iskhemik dalam upaya keperawatan pada pasien stroke iskhemik,
meningkatkan kemampuan mobilisasi perawat harus mengidentifikasi dampak

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 21
imobilitas sehingga dapat dicegah dan pISSN 1410-4490, eISSN 2354-
diatasi secara cepat, tepat dan tidak 9203. FIK-UI
menimbulkan komplikasi yang lebih berat. Guyton, A.C., & Hall, J.E. 2006. Buku
Perawat juga harus memperhatikan faktor- ajar fisiologi kedokteran (edisi
faktor yang mempengaruhi pemenuhan
9) (Irawati Setiawan,
kebutuhan mobilisasi pasien stroke
penerjemah). Jakarta: EGC.
iskhemik agar komplikasi pasca stroke
dapat dicegah dan diminimalisasi. Hasil Hidayat, A. A., & Uliyah, M. 2016.
studi ini dapat dijadikan bahan kajian dalam Buku Ajar Ilmu Keperawatan
mengembangkan penelitian lebih lanjut, dan Dasar. Jakarta : Salemba
memberikan informasi kepada praktisi Medika.
keperawatan sebagai acuan dalam
merumuskan perencanaan asuhan Hidayat, A. A. 2009. Kebutuhan Dasar
keperawatan dalam upaya untuk Manusia Aplikasi Konsep dan
meningkatkan pengetahuan dalam Proses Perawatan. (Dikutip
pemenuhan kebutuhan mobilisasi pada dalam jurnal Karya Tulis Ilmiah
pasien stroke iskhemik. Shitte, 2013). Jakarta: Salemba
Medika. P: 5-38
4. REFERENSI
Ilma, M. Z., (2014). Pengaruh Latihan
Anbiya, A.A. dkk. 2014. Komplikasi Range Of Motion Pada
imobilisasi lama, Bagian Ilmu Ekstremitas Atas Dengan Bola
Kedokteran dan Rehabilitasi Karet Terhadap Kekuatan Otot
Fakultas Kedokteran UNPAD Dr.
Pasien Stroke Non Hemoragi Di
Hasan Sadikin Bandung
Ruang Rawat Stroke RSSN
Birawa, A.B.P & Amalia, L. 2015. Stroke
Bukittinggi Tahun 2012. Jurnal
pada Usia Muda, CDK-233/ vol. ‘AFIYAH. VOL. I, NO. I,
BULAN JANUARI, TAHUN 2014.
42 no. 10, th. 2015
Koizer, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder,
Ariani, T. A. 2012. Sistem S. J., (2010). Buku Ajar
Neurobehaviour. Jakarta. Fundamental Keperawatan.
Salemba Medika Edisi 7. Volume 2. Jakarta: EGC
Fransisca, C. B. 2008. Asuhan Marlina. 2013. Pengaruh latihan ROM
Keperawatan Pada Klien dengan terhadap peningkatan kekuatan
Gangguan Sistem Persyarafan. otot pada pasien stroke iskhemik
Jakarta. Salemba Medik di RSUDZA Banda Aceh, Idea
Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes Nursing Journal Fakultas
Neurologi. (Dikutip dalam jurnal Keperawatan Universitas Syiah
penelitian Wibowo, 2016). Kuala.
Jakarta: Erlangga. Misbach, J., & Kalim, H. 2007. Stroke
Ginting, D.B. 2015. Mengatasi mengancam usia produktif.
konstipasi Pasien Stroke dengan Artikel diakses dari www.
masase Abdomen dan Minum Mediacastore.com diakses
Air Puti Hangat. Jurnal tanggal 18 April 2017
Keperawatan Indonesia, Volume
18 No.1, Maret 2015, hal 23-30

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 22
Mubarak, W. & Chayatin, N. 2007.
Kebutuhan Dasar Manusia. Sikawin, C. A., Mulyadi H., Palandeng.
(Dikutip dalam jurnal Karya 2013. Pengaruh Latihan Range
Tulis Ilmiah Shitte, 2013). Of Motion Terhadap Kekuatan
Jakarta : EGC. P: 12. Otot Pada Pasien Stroke Di Irina
F Neurolo Blu RSUP PROF.
Munir, B. 2015. Neurologi Dasar. DR. R. D. Kandou Manado,
Jakarta: Sagung Seto. ejournalKeperawatan (e-Kp)
Volume 1. Nomor 1. Agustus
Muttaqin, A., 2008. Pengantar Asuhan 2013
Keperawatan Klien dengan Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. 2008.
Gangguan Sistem Persarafan. Brunner & Suddarth: Textbook of
Jakarta : Salemba Medika. medical surgical nursing.
Philadelphia: Lippincott Williams
Noor, Z. 2016. Buku Ajar Gangguan & Wilkins.
Ilmu Muskuloskeletal. Jakarta: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Salemba Medika. Simadibrata, M., & Setiati, S.
Potter, P.A., & Perry, A.G. 2006. Buku 2006. Buku ajar ilmu penyakit
ajar fundamental keperawatan: dalam, (edisi ke-4). Jakarta:
Konsep, proses, dan praktik, Pusat Penerbitan Departemen
(edisi ke-4). Alih bahasa: Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Komalasari, R., dkk. Jakarta: Wirawan, R. P. 2009. Rehabilitasi
EGC. Stroke pada Pelayanan
Price, S.A. & Wilson, L.M. 2002. Kesehatan Primer. Majalah
Pathophysiology: Clinical Kedokteran Indonesia, Volume :
concepts of disease processes 59, Nomor: 2, februari 2009
(6th ed.). St. Louis: Elsevier
Science.
Purwanti, O. S., & Arina, M. 2008.
Rehabilitasi Pasien Pasca
Stroke. Dikutip dalam jurnal
penelitian Faradila, 2017). Berita
Ilmu Keperawatan ISSN 1979-
2697, Vol. 1 No.1, Maret 2008
:43-46

Rasyid, A., Misbach, J., & Harris, S.


2015. Stroke Komplikasi Medis
& Tata Laksana. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Saryono & Kamaludin, R. 2008.


Pemenuhan kebutuhan mobilitas
fisik pada pasien di ruang bedah.
Jakarta: Cakra Media.

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 23
HUBUNGAN KEPATUHAN PASIEN DENGAN KEJADIAN ULKUS DIABETES
DALAM KONTEKS ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DIABETES MELITUS
DI RUMAH SAKIT PMI BOGOR
1
Rochmayanti, 2Rosalina
12
Akademi Keperawatan Yayasan Jalan Kimia Jakarta
1
email : giatrafi@yahoo.com
2
lina76@yahoo.com

Abstrak
Ulkus diabetes pada kaki dimulai dari cedera pada jaringan lunak kaki, pembentukan fisura antara jari-jari
kaki atau didaerah kulit yang kering atau pembentukan sebuah kalus sebagai dampak hiperglikemia,
neuropati dan kurangnya pasien melakukan perawatan kaki. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
hubungan antara kepatuhan pasien dengan kejadian ulkus diabetes dalam konteks asuhan keperawatan pada
pasien DM di RS PMI Bogor. Penelitian ini menggunakan rancangan crossectional study. Jumlah sampel
penelitian 60 responden terdiri dari 30 pasien DM dengan ulkus dan 30 pasien DM tanpa ulkus. Teknik
pengambilan sampel yaitu consecutive sampling dan acak sederhana. Analisis statitistik yang digunakan yaitu
Chi Square dan regresi logistic ganda. Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara
kepatuhan pasien DM (p=0.000), kepatuhan memonitor glukosa darah (p=0.000), perawatan kaki, (p=0.000),
aktivitas (p=0.021), kunjungan berobat (p=0.000), diet (p=0.000) dengan kejadian ulkus diabetes. Kepatuhan
kunjungan berobat merupakan faktor paling dominan berhubungan dengan kejadian ulkus diabetes
(OR=8.73). Karakteristik demografi umur, status ekonomi dan tingkat pendidikan bukan faktor pengganggu,
sedangkan jenis kelamin merupakan faktor pengganggu. Penelitian ini menyimpulkan terdapat hubungan
antara ketidakpatuhan pasien DM dengan kejadiaan ulkus diabetes. Berdasarkan hal tersebut peneliti
menyarankan pasien perlu mendapat pendidikan kesehatan dan pemeriksaan kaki secara teratur. Perlu
dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien DM.

Kata kunci : kepatuhan, ulkus diabetes, asuhan keperawatan

Abstract
Diabetic ulcers on the legs start from an injury to the soft tissues of the feet, the formation of fissures between
the toes or the dry skin region or the formation of a callus as a result of hyperglycemia, neuropathy and lack
of patients performing foot care. The purpose of this study to determine the relationship between adherence
of patients with diabetic ulcers in the context of nursing care in DM patients in RS PMI Bogor Hospital. This
research uses crossectional study design. The number of research samples 60 respondents consisted of 30
patients with DM ulcers and 30 patients without ulcer DM. The sampling technique is consecutive sampling
and simple random. Statistical analysis used is Chi Square and multiple logistic regression. The results
showed a significant association between DM patient compliance (p = 0.000), blood glucose monitoring (p =
0.000), foot care, (p = 0.000), activity (p = 0.021), treatment visit (p = 0.000) , diet (p = 0.000) with diabetic
ulcer occurrence. Compliance visits treatment is the most dominant faktor associated with the incidence of
diabetic ulcers (OR = 8.73). The demographic characteristics of age, economic status and level of education
are not a disturbing faktor, while gender is a disturbing faktor. This study concludes that there is an
association between non-adherence of DM patients with diabetic ulcer occurrence. Based on this the
researcher suggests the patient should get health education and foot examination regularly. Need to do
research about the faktors that influence non-compliance DM patients.

Key word : adherence, diabetic ulcer, nursing care

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 24
1. PENDAHULUAN Glukosa darah 30-70%, penggunaan insulin
tidak sesuai 20-80%, perencaaan makanan
Diabetes melitus merupakan penyakit 35-75%, tidak adekuat jumlah latihan 70-
kronis yang menyerang kurang lebih 12 juta 81%, serta tidak adekuat perawatan kaki 23-
orang. Ulkus diabetes merupakan salah satu 52% (Rawley.C, 1999).
komplikasi jangka panjang yang dapat
terjadi pada DM. Hasil penelitian di Rumah Sakit PMI Bogor merupakan
Indonesia bahwa prevalensi kaki diabetes salah satu rumah sakit yang melaksanakan
berkisar antara 17.3 sampai 32.9% dari kegiatan edukasi pada pasien DM. Beberapa
seluruh penderita DM yang dirawat (Adam. kegiatan yang dilaksanakan adalah promosi
JMF.2005). kesehatan perawatan kaki, diet, senam
diabetes dan lain sebagainya. Diketahui
Hasil penelitian di Amerika sekitar jumlah pasien diabetes melitus yang dirawat
50% hingga 70% amputasi ekstremitas pada tahun 2016 cukup banyak yaitu 217
bawah dilakukan pada pasien-pasien yang orang, jumlah pasien DM dengan ulkus
menderita diabetes. Sebanyak 50% dari diabetes yaitu 29 orang atau sekitar 13.3%.
kasus-kasus amputasi ini diperkirakan dapat sedangkan jumlah pasien diabetes yang
dicegah bila pasien diajarkan tindakan berobat ke klinik rawat jalan rata-rata
preventif untuk merawat kaki setiap hari perbulan mencapai 120 pasien. Beberapa
(Smeltzer S.C. & Bare B.G., 2002). diantaranya disertai dengan luka diabetes.
Mekanisme terjadinya ulkus diabetes Tingginya angka kejadian diabetes
disebabkan oleh banyak faktor yang melitus, luka diabetes dan tingkat kepatuhan
berkontribusi pada pasien DM, selain pasien diabetes peneliti tertarik untuk
neuropati, penyakit vaskuler perifer dan melakukan penelitian tentang hubungan
penurunan daya imunitas akibat dari efek kepatuhan pasien dengan kejadian ulkus
hiperglikemia, ulkus diabetic juga dapat diabetes dalam konteks asuhan keperawatan
disebabakan oleh kurang patuhnya pasien pasien DM di Rumah Sakit PMI Bogor.
dalam merawat kesehatan dirinya seperti
monitor kadar glukosa, kurang patuh dalam Tujuan penelitian adalah untuk
memeriksa kaki, penggunaan alas kaki yang mengetahui hubungan antara kepatuhan
tidak sesuai, kurang melaksanakan pasien dengan kejadian ulkus diabetes,
pengobatan dan aktivitas yang tidak sesuai mengetahui faktor kepatuhan yang dominan
(Frykberg, 2002). berhubungan dengan kejadian ulkus
diabetes dan mengetahui faktor pengganggu
Kepatuhan didefinisikan sebagai aktif, hubungan antara kepatuhan pasien dengan
sukarela dan bekerjasama yang melibatkan kejadian ulkus diabetes.
pasien dalam suatu perilaku yang saling
menerima untuk tujuan terapeutik
(WHO,2003). Perilaku perawatan diri
meliputi pematauan glukosadarah dirumah, 2. METODE PENELITIAN
pemberian pengobatan insulin oral,
keteraturan kunjungan berobat, perawatan Penelitian ini merupakan penelitian
kaki, penyesuaian diet, keteraturan aktivitas analisis korelasi dengan rancangan
fisik serta perilaku lainnya tergantung crossectional study yang meneliti kepatuhan
kondisi pasien DM. pasien pada kelompok kontrol dan
kelompok kasus. Kelompok kontrol yaitu
Pasien DM dalam perawatan kesehatan pasien DM tanpa ulkus sedangkan
dirinya sering terjadi ketidakpatuhan, rata- kelompok kasus yaitu pasien DM dengan
rata ketidak patuhan pasien diabetes yaitu ulkus diabtes. Populasi dalam penelitian ini
tidak akurat dalam pencatatan pemeriksaan adalah seluruh pasien DM rawat jalan dan
rawat inap di Rumah Sakit PMI Bogor pada

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 25
bulan Mei-Juni 2016. Jumlah sampel
penelitian 60 responden terdiri dari 30
kontrol dan 30 kasus. Teknik pengambilan 3.1 Analisis Univariat
sampel yaitu acak sederhana pada kelompok
kontrol dan consecutive sampling pada 3.1.1 Karakteristik Responden
kelompok kasus. Analisis statistik yang Tabel 3.1
digunakan yaitu Chi Square dan regresi Distribusi Responden Menurut Demografi diRS
PMI Bogor Mei-Juni 2016 (n=60)
logistik ganda.
NO KARAKTERISTIK f %
Tempat penelitian dilakukan di Rumah DEMOGRAFI
Sakit PMI Bogor di Poliklinik penyakit 1 Umur
endokrin serta ruang rawat inap penyakit Bukan Lansia 27 45
Lansia 33 55
dalam dan bedah. Waktu penelitian 2 Jenis Kelamin
dilaksanakan dari tanggal 9 Mei 2016 Laki-Laki 29 48
Perempuan 31 52
sampai 22 Juni 2016. 3 Pendidikan
Tinggi 22 37
Alat yang digunakan adalah kuesioner Rendah 38 63
yang berhubungan dengan kepatuhan pasien 4 Status Ekonomi
Tinggi 19 32
DM meliputi data demografi, kepatuhan Rendah 41 68
monitor Glukosa darah, riwayat penyakit 5 Tipe DM
DM, keptuhan kontrol berobat, kepatuhan DM Tipe 2 56 93
DM Tipe 1 4 7
perawatan kaki, kepatuhan melakukan 6 Lamanya
aktivitas dan kepatuhan diet. Pedoman >10 tahun 21 35
wawancara yang dibuat diuji validitas 0 – 10 tahun 39 65
reliabilitasnya pada 10 responden diluar
sampel penelitian. Teknik pengumpulan 3.1.2 Umur dan Jenis Kelamin
data yang digunakan adalah wawancara
Kelompok umur bukan lansia lebih
langsung dengan pedoman wawancara.
sedikit dibandingkan dengan lansia.
Penelitian ini menggunakan analisis Umumnya pasien mengalami DM tipe 2 ini
univariat dengan analisis frekuensi dari akibat adanya resistensi insulin yang
karakteristik responden dan tingkat meningkat pada lansia. Pada perempuan
kepatuhan pasien DM. Untuk analisis lebih banyak dari laki-laki, hal ini
bivariat dengan uji Chi Square digunakan bertentangan dengan penelitian di Amerika
mengetahui hubungan antara kepatuhan bahwa resiko ulkus meningkat pada laki-
dengan kejadian ulkus diabetes. Analisis laki, (Smeltzer, S.C., & Bare, B.G, 2002).
multivariate dengan uji regresi logistic
ganda untuk mengetahui komponen
3.1.3 Tingkat Pendidikan dan Status
ketidakpatuhan faktor pengganggu
Ekonomi
hubungan kepatuhan pasien dengan
kejadian ulkus diabetes. Pendidikan rendah 63% dan status
ekonomi rendah 68% dapat mempengaruhi
tingkat kepatuhan pasien. Penelitian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN sebelumnya Jones, R. (2006) mengatakan
tingkat pendidikan dan ekonomi yang
Hasil penelitian tentang hubungan rendah berhubungan dengan rendahnya
kepatuhan pasien dengan kejadian ulkus kepatuhan pasien DM. pengetahuan
diabetes dalam konteks asuhan keperawatan merupakan faktor predisposisi perilaku
pada pasien diabetes melitus di RS PMI kesehatannya. Status ekonomi rendah
Bogor. menyebabkan pasien sulit untuk membiayai
kesehatan atau melakukan pengobatan.

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 26
3.1.4 Jenis dan Lamanya DM 3.2.1 Hubungan KepatuhanPasien DM
dengan Kejadian Ulkus Diabetes
Jumlah pasien DM tipe 2 (93%) dan
tipe 1 (7%). Hasil penelitian ini sesuai Hasil penelitian menunjukan bahwa
laporan WHO (2003) prevalensi DM tipe 2 jumlah pasien DM yang tidak patuh cukup
(90%) dan tipe 1 (5-10%). Pasien DM lebih besar yaitu 25 orang (42%). Hal ini
dari 10 tahun ada 35% beresiko terhadap kemungkinan disebabakan oleh beberapa
terjadinya ulkus sehingga perlu diwaspadai faktor, diantaranya adalah faktor demografi
dan diantisipasi dan diantisipasi dengan seperti status ekonomi, tingkat pendidikan
meningkatkan upaya preventif terjadinya dan dukungan sosial.
ulkus diabetes. Gangguan vaskular perifer
baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) Hasil uji statistik didapatkan p-value =
maupun gangguan mikrovaskular 0.000 dan OR = 31.00 artinya terdapat
menyebabkan terjadinya iskemia kaki. hubungan yang bermakna antara kepatuhan
Keadaan tersebut disamping sebagai pasien DM dengan kejadian ulkus diabetes.
penyebab terjadinya ulkus juga Pasien DM yang tidak patuh mempunyai
mempersulit proses penyembuhan peluang 21 kali untuk mengalami ulkus
(Cahyono, 2007). Hasil penelitian Al- diabetes. Pasien DM yang secara umum
Maskari& EL-Sadiq (2007) ada hubungan tidak patuh artinya pasien tersebut tidak
bermakna antara lama sakit dengan kejadian mematuhi monitor Glukosa darah, diet,
penyakit vaskular perifer dan neuropati aktivitas, perawatan kaki dan kunjungan
penyebab utama ulkus. berobat,

Tabel 3.2
Hubungan Kepatuhan pasien DM dengan kejadian ulkus diabetes di RS PMI
Bogor Mei-Juni 2016 (n=60)
Kajadian Ulkus Diabets
Total OR P
Kepatuhan Ulkus Tidak Ulkus
95% value
n % n % n %
Kepatuhan Pasien DM
34.00
Patuh 7 20 27 80 34 100 0.000
9.77-118.24
Tidak Patuh 23 90 3 10 26 100
Manitor Glukosa Darah
14.09
Patuh 8 24 25 76 33 100 0.000
4.9 – 40.1
Tidak Patuh 22 82 5 18 27 100
Perawatan Kaki
10.37
Patuh 8 25 24 75 32 100 0.000
3.86-27.86
Tidak Patuh 22 78 6 22 28 100
Penyesuaian Diet
13.22
Patuh 7 21 25 79 31 100 0.000
4,78-36,54
Tidak Patuh 23 79 6 21 29 100
Kunjungan Berobat
Patuh 6 18 25 82 31 100 23.78 0.000
Tidak Patuh 24 84 5 16 29 100 7.81-72.41
Melakukan Aktivitas
3.24
Patuh 17 41 25 59 42 100 0.000
1.26-8.31
Tidak Patuh 13 69 5 31 18 100

Tabel 3.3
Hasil analisis pemodelan akhir variabel kepatuhan monitor Glukosa darah, perawatan kaki,
diet dan kunjungan berobat dengan kejadian ulkus diabetes di RS PMI Bogor (n=60)
Variabel B Wald p-Wald OR CI 95%
Kapatuhan Monitor GD 0.75 0.90 0.341 2.12 0.45 – 9.94
Kepatuhan Perawatan Kaki 1.94 8.04 0.005 6.98 1.82-26.76
Kepatuhan Diet 1.44 4.70 0.030 4.22 1.15-15.51
Kepatuhan Kunjungan Berobat 2.19 7.31 0.007 8.95 1.82-43.82

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 27
trauma akut dan atau kronis akibat tekanan
3.1.5 Hubungan Kepatuhan Monitot sepatu atau benda tajam yang mengawali
Glukosa Darah dengan Kejadian terjadinya ulkus diabetes Cahyono JB.S.B.
Ulkus Diabetes (2007).

Responden yang patuh lebih banyak Penelitian ini menunjukan bahwa pasien
yaitu 33 (55%) orang dibandingkan yang DM yang tidak patuh melakukan perawatan
tidak patuh yaitu 27 (45%) orang. Hal ini kaki memiliki resiko untuk mengalami ulkus
sesuai dengan penelitian Harris dan Lustman diabetes, pasien perlu melakukan perawatan
(1988) bahwa rata-rata ketidakpatuhan pasien kaki yang bersifat preventif, disamping terafi
dalam monitor dan mencatat Glukosa darah farmakologi, diet, aktivitas dan pengontrolan
yaitu 30-80%. kadar glukosa darah (Smeltzer S.C. & Bare
B.G. ,2002).
Hasil analisis terdapat hubungan yang
signifikan antara ketidakpatuhan monitor
Glukosa darah dengan kejadian ulkus 3.1.7 Hubungan Kepatuhan Penyesuaian
diabetes (p=0.000) dan OR= 14.09 dimana Diet dengan Kejadian Ulkus Diabetes
responden yang tidak patuh mempunyai
resiko lebih tinggi 14 kali mengalami ulkus Kepatuhan diet responden menunjukan
diabetes. pasien tidak patuh 48.3%. hasil analisis
diketahui ada hubungan yang bermakna
Pemantauan kadar glukosa darah perlu antara kepatuhan diet dengan kejadian ulkus
dilakukan oleh pasien DM karena hasil diabetes (p=0.000 dan OR=13.22).
pemantauan digunakan menilai keberhasilan
penatalaksanaan DM untuk mencapai kadar Lipsky, Barendt, Deery et all (2007)
glukosa darah senormal mungkin. dalam penelitiannya menyatakan bahwa
Pemantauan glukosa teratur memungkinkan kepatuhan pasien bervariasi antara 25-70%.
deteksi dini dan pencegahan hiperglikemi, Pasien yang tidak patuh terhadap diet akan
disamping itu pengontrolan glukasa darah ini mengalami hiperglikemi dan beresiko
berperan dalam memelihara normalisasi terjadinya komplikasi. Oleh karena itu efek
glukosa darah dan mencegah terjadinya jangka panjang ini berkontribusi terhadap
komplikasi (Sudoyo, A.W. at al, 2006). . kelainan mikrovaskuler dan neuropatik
dengan resiko terjadinya ulkus diabetes.

3.1.6 Hubungan Kepatuhan Perawatan Kaki


dengan Kejadian Ulkus Diabetes
3.1.8 Hubungan Kepatuhan Kunjungan
Hasil penelitian menunjukan bahwa Berobat dengan Kejadian Ulkus
masih banyak pasien yang tidak patuh Diabetes
melakukan perawatan kaki yaitu 28 orang
(46.6%), hasil uji statistic didapatkan p-value Hasil penelitian menunjukan bahwa
= 0.000 dan OR=10.37%. hasil penelitian ini pasien DM yang tidak patuh dalam
sesuai dengan teori mengenai faktor resiko melakukan kunjungan berobat masih cukup
terjadinya ulkus diabetes. Menurut Smeltzer besar yaitu sebanyak 29 orang (48.3%). Hal
S.C. & Bare B.G. (2002) jika pasien tidak ini memungkinkan pasien akan mengalami
mempunyai kebiasaan untuk memeriksa atau DM yang tidak terkontrol dan beresiko
merawat kakinya setiap hari maka cidera dan mengalami berbagai komplikasi akut maupun
fisura timbul tanpa diketahui sampai kronik.
terjadinya ulkus diabetes.
Penelitian lebih lanjut diketahui ada
Diketahui bahwa faktor penyebab hubungan yang bermakna antara kepatuhan
terjadinya ulkus selain akibat perubahan kunjungan berobat dengan kejadian ulkus
patofisiologi, deformitas kaki juga diabetes, p-value=0.000 dengan OR=23.78,
disebabkan oleh faktor lingkungan seperti hasil uji regresi logistik p-Wald=0.007
dengan OR=8.95 merupakan OR yang
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 28
terbesar dibandingankan variabel kepatuhan glukosa secara menyelutuh, hal ini terbukti
lainnya. Hasil analisis ini menunjukan bahwa dengan penurunan konsentrasi HbA1C yang
kepatuhan kunjungan berobat merupakan dapat dijadikan pedoman untuk menurunkan
faktor yang paling berhubungan dengan resiko komplikasi DM dan kematian.
kejadian ulkus atau paling dominan.
Hubungannya dengan kejadian ulkus
Pasien yang kunjungan berobatnya diabetes, bahwa pasien DM yang melakukan
teratur akan lebih sering mendapatkan latihan dan aktivitas yang teratur kadar
berbagai informasi mengenai perawatan glukosa darahnya akan lebih terkendali
dalam mengontrol DM yang dialaminya sehingga resiko untuk terjadinya komplikasi
seperti anjuran aktivitas atau latihan, seperti ulkus diabetes akan lebih rendah dan
pengendalian melalui diet, mendapat terapi sebaliknya pasien DM yang tidak atau jarang
obat hipoglikemik oral atau insulin dengan melakukan latihan dapat mengalami
tepat sehingga kadar glukosa darahnya akan hiperglikemia sebagai faktor penyebab
terkontrol dengan baik dan terhindar dari terjadinya ulkus diabetes. Terjadinya ulkus
hiperglikemik persisten. Selain itu pasien diketahui diawali dengan adanya
akan mendapatkan informasi mengenai hiperglikemia yang dapat menyebabkan
perawatan kaki untuk mencegah ulkus neuropati dan kelainan pada pembuluh darah,
diabetes (Cahyono JB.S.B. 2007). (Aguiar, ME.at. al, 2003).

Hasil penelitian ini sesuai dengan


penelitian Davidson (2006), bahwa pasien
DM yang berobat ke klinik kesehatan terbukti 3.1.10 Hubungan Karakteristik Pasien
lebih sering mendapatkan informasi dan Terhadap Kepatuhan Pasien dengan
pemeriksaan dengan p < 0.001 dibandingan Kejadian Ulkus Diabetes
yang berobat ke klinik tradisional. Kondisi
Hasil penelitian menunjukan bahwa
tersebut berdampak pada pengendalian
hubungan antara kepatuhan pasien dengan
glukosa darah dimana glikosilate
kejadian ulkus diabetes tidak dipengaruhi
haemoglobin (HbA1C) pasien yang sering
oleh umur, status ekonomi dan tingkat
mendapat informasi lebih rendah
pendidikan pasien, tetapi banyak dipengaruhi
dibandingkan yang jarang mendapat
oleh jenis kelamin pasien DM dimana
informasi menurut Jones (2006).
peremuan lebih banyak yaitu 52%.

Peneliti berasumsi bahwa kondisi ini


3.1.9 Hubungan Kepatuhan Melakukan
dapat terjadi karena adanya perbedaan
Aktivitas dengan Kejadian Ulkus
kebiasaan yang dilakukan antara wanita dan
Diabetes
laki-laki. Meskipun Wanita biasa melakukan
Hasil penelitian menunjukan pasien yang perawatan dirinya secara umum termasuk
tidak patuh melakukan aktivitas 18 orang perawatan kaki seperti penggunaan pelembab
(30%). Ada hubungan yang bermakna antara pada kulit kaki, merawat kuku kaki dan lain
kepatuhan melakukan aktivitas fisik atau sebagainya tetapi resiko cedera karena sepatu
latihan dengan kejadian ulkus diabetes (p- sandal maupun aktivitas dirumah, sedangkan
value=0.023) dan OR=3.24. pada laki-laki hal itu jarang dilakukan,
sehingga ada kemungkinan pada laki-laki
Penderita DM tipe 2, latihan yang beresiko lebih rendah mengalami ulkus
disertai dengan penatalaksanaan diet akan dibandingkan wanita. Adanya kebiasaan
memperbaiki metabolisme glukosa serta merokok yang lebih banyak dilakukan oleh
menurunkan jumlah lemak tubuh. Latihan laki-laki dibandingkan perempuan merupakan
yang digabungkan dengan penurunan berat faktor resiko untuk terjadinya ulkus diabetes.
badan akan memperbaiki senditifitas insulin.
Pada akahirnya toleransi glukosa dapat Diketahui bahwa merokok merupakan
menjadi normal. Pada DM tipe 2 latihan faktor resiko terjadinya ateriosklerosi, karena
jasmani dapat memperbaiki pengendalian pada tembakau terdapat asam nikotinat yang
memicu pelepasan katekolamin yang dapat
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 29
menyebabkan kontriksi arteri, merokok juga Aguiar, ME., Burrows., Wang, J., Boyle, JP.,
dapat meningkatkan adhesi trombosit Geiss. LS., Enggelgau. (2003).
mengakibatkan kemungkinan terjadinya History of foot ulcer among person
trombus. Perubahan aterosklerotik dalam with diabetes, United States, 2000 to
pembuluh darah besar pada ektremitas bawah 2002. http://www.medscape.
merupakan penyebab meningkatnya kejadian com/nurse/journal, diperoleh 25
penyakit oklusif arteri perifer pada pasien Oktober 2015.
DM dan ini merupakan penyebab utama Alimul, H.A.A. (2003). Riset keperawatan dan
meningkatnya insiden ganggren pada pasien- teknik penulisan ilmiah. Jakarta:
pasien DM (Black. J. M., & Hawks. J. H., Salemba Medika.
2009). Al-Maskari, F. & EL-Sadig, M. (2007).
Prevalence of risk faktors for
diabetic foot complications. BMC
journal.
4. KESIMPULAN http://www.biomedcentral.com,
Terdapat hubungan yang bermakna diperoleh 22 Desember 2015.
antara kepatuhan pasien DM (p=0.000 Almatsier, S. (2006). Penuntun diet. Edisi
OR=34.00), kepatuhan memonitor glukosa Baru. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
darah (p=0.000 OR=14.9), perawatan kaki Utama
(p=0.000 OR= 10.37), diet (p=0.000 American Diabetes Association, (2004).
OR=13.22), kunjungan berobat (p=0,000 Diagnosis and classification of
OR=23.78), aktivitas (p=0.023 OR=3.24), diabetes mellitus. Diabetes care. 27
dengan kejadian ulkus diabetes. Kepatuhan (1), S5-S10. http://www.
kunjungan berobat merupakan faktor paling care.diabetesjournal, diperoleh 02
dominan berhubungan dengan kejadian ulkus Februari 2016.
diabetes (OR=8.95). Karakteristik demografi Arikunto, S. (1998). Prosedur penelitian suatu
jenis kelamin merupakan faktor pengganggu. pendekatan praktek. Jakarta: PT.
Sedangkan umur, tingkat pendidikan dan Rineka Cipta.
status ekonomi bukan faktor pengganggu. Arisman. (2000). Pencegahan diabetes
mellitus: Laporan kelompok studi
Ketidakpatuhan secara keseluruhan akan WHO. Jakarta: Hipokrates.
berdampak pada tidak terkendalinya kadar Boyko et al. (1998). A prospective study of
glukosa darah, kondisi ini menyebabkan risk faktors for diabetic foot ulcer.
pasien mengalami hiperglikemia persisten. Diabetes care. 22 (7), 1036-1042.
Hiperglikemia persisten merupakan penyebab http://www.care.diabetesjournal.org/
utama dari timbulnya berbagai komplikasi content/vol22, diperoleh 22
diabetes, salah satunya adalah ulkus diabetes. Desember 2015.
Kurang adekuatnya perawatan kaki dapat Budiarto, E. (2004). Metodologi penelitian
meningkatkan resiko pasien DM untuk kedokteran: Sebuah pengantar.
mengalami ulkus diabetes. Jakarta. EGC.
Cahyono JB.S.B. (2007). Manajemen ulkus
kaki diabetes. Dexa medica, 20 (3),
103-108. http://www.dexa-medica.
5. REFERENSI com/images/publication, diperoleh
tanggal 06 Januari 2016
Adam, J.M.F. (2005). Komplikasi kronik
Black. J. M., & Hawks. J. H. (2009), Medical-
diabetes masalah utama pasien
Surgical Nursing: Clinical
diabetes dan upaya pencegahan.
Management For Positive Outcomes,
Jurnal Kedokteran Universitas
(7th edition), St Louis, Elsevier
Hasanudin, 26 (3), 53–61.
Saunders.
http://med.unhas.ac.id/datajurnal/tah
Dahlan, M. S.(2006). Besar Sampel dalam
un2005vol26, diperoleh 02 Februari
Penelitian Kedokteran dan
2016.
Kesehatan. Jakarta : PT Arkans.

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 30
Delamater, A.M. (2006). Improving patient Luknis Sabri & Sutanto, P. H. (2009). Statistik
adherente. Clinical diabetes, 24 , 71- Kesehatan. Jakarta : PT
77. http://www.clinical. RajaGrafindo Persada.
diabetesjournal.org, diperoleh Rowley, C. (1999). Factors influencing patient
tanggal 06 Januari 2016. adherence in diabetes.
Frykberg, R.G. (2002). Diabetic foot ulcers: http://http://www.Calgaryhealthregi
Pathogenesis and management. on.ca/adulthpsy/pepers/diabetes,
American family physician, 66 (9), diperoleh 06 Januari 2015.
1655-1662. Polit D. F. & Hungler B. P. (1999). Nursing
http://www.aafp.org/afp/conten.htm, Research : Principles and Methods.
diperoleh tanggal 22 Desember 2015. Philadelphia : Lippincot.
First Nation & Inuit Health, (2005). Clinical Price, S. A. & Wilson, L. M. (2006).
practice guidelines for nurses in Patofisiologi : Konsep Klinis
primary care. Metabolism and Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
endocrinology. http://www.hc- (Terj. dari Pathophysiology :
sc.gc.ca/fnih-spni/index_ e. html, Clinical Concepts of Disease
diperoleh 15 September 2015. Processes, Brahm U. Pandit et al)
Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan: Jakarta : EGC.
Basic data analysis for health Saryono. (2010). Kumpulan Instrumen
research training. FKM. UI. Tidak Penelitian Kesehatan. Yogyakarta :
diterbitkan Nuha medika Bantul.
Jones, R. (2006). Exploring the complex care Sastroasmoro S. dan Ismael S. (2010). Dasar-
of the diabetic foot ulcer dasar Metodologi Penelititan
http://www.jaapa.com/issues/diabetic Klinis. Edisi 3. Jakarta : Sagung
foot, diperoleh 19 Oktober 2015. Seto.
Lipsky, B.A., Berendt, A.R., Deery, H.G., Smeltzer, S. C., Bare, B. G. (2002). Buku Ajar
Embil, J.M., Joseph, W.S., Keperawatan Medikal Bedah
Karchmer, A.W., et al. (2004). Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.
Diagnosis and treatment of diabetic Sudoyo, at al (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit
foot infections. Guidelines for Dalam. jilid III. Departemen IPD FK
diabetic foot infections. CID, 39, UI. Jakarta.
885-888. WHO, (2003).Adherence long-term therapies :
http://www.journal.unchicago.edu, Evidence for action. http://
diperoleh 20 Agustus 2015. www.emro.who.int/ncd/publication
Diamatteo, M. R., & Martin, L. /adherence_report, diperoleh 07
R.(2002).Health Januari 2016.
Psychology.Boston:Allyn &
BaconDoenges, M.E, et al (2000). Wilkinson, J. M. (2007). Buku Saku Diagnosis
Nursing Care Plans. Guidelines For Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
planning and Documenting Patient Kriteria Hasil NOC, Ed. 7 (Terj. Dari Nursing
care. (Kariasa, Sumarwati, Diagnosis Handbook With Intervention and
Penerjemah). Philadelphia : NOC Outcomes, 7 edition, Widyawati….[et
F.A.Davis Company. al.]. Jakarta:EG
Hastono, S. P.(2007). Analisis Data
Kesehatan. Jakarta : Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Lewis, S. L., Heitkemper, M. M., Dirksen, S.
R., O’Brien, P. G., Bucher, L.
(2007). Medical Surgical Nursing.
Philadelpia : Mosby Elsevier Inc.

PENJADWALAN SHIFT PERAWAT DENGAN

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 31
MENGGUNAKAN GOAL PROGRAMMING
1,2
Imelda Avia
1
Program Pascasarjana Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Universitas Indonesia
2
Akper Yaspen Jakarta
E-mail: imeldaavia7@gmail.com

Abstrak

Penjadwalan keperawatan merupakan salah satu masalah kompleks bagi rumah sakit. Penjadwalan
perawat yang baik yang dilakukan oleh manajemen rumah sakit memegang peranan penting dalam
mempengaruhi kinerja rumah sakit di pengguna layanan rumah sakit. Penjadwalan yang tidak
sinkron akan berdampak terhadap kualitas layanan dan menyebabkan kelelahan akibat kelebihan
beban kerja. Kajian literatur ini bertujuan untuk memberikan informasi, menganalisis efektifitas
berbagai macam penjadwalan shift perawat menggunakan model goal programming, serta
membandingkan penggunaannya dengan metode manual. Metode dalam penulisan ini yaitu literature
review. Hasil penelitian penjadwalan shift perawat menggunakan metode goal programming dengan
bantuan software LINGO lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menggunakan metode
manual, pembagian shift merata dan adil, tidak ada yang dinas dua kali secara berturut-turut dalam
sehari serta adanya day off yang proporsional. Penjadwalan dengan metode ini sangat
direkomendasikan bagi manajer keperawatan atau kepala ruangan dalam membuat penjadwalan shift
perawat diberbagai ruangan sesuai dengan peraturan manajemen rumah sakit.

Kata kunci: goal programming, shift, penjadwalan perawat, LINGO

Abstract

Nursing scheduling is one of the complex issues for hospitals. Good nursing scheduling
conducted by hospital management plays an important role in influencing hospital performance in
hospital service users. Unsynchronized scheduling will have an impact on service quality and lead to
excessive workload fatigue. This literature review aims to provide information, analyze the
effectiveness of various scheduling shift nurses using goal programming model, and compare its use
with manual method. The method in this writing is the literature review. The result of nurse shift
scheduling research using goal programming method with the help of LINGO software is more
effective and efficient than using manual method, equitable and fair shift division, and no two duty
service in a row in a day and proportional day off. Scheduling with this method is highly
recommended for nursing managers or head of the room in making scheduling of nurse shifts in
different rooms according to hospital management rules.

Keyword: goal programming, shift, nurse scheduling, LINGO

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 32
1. PENDAHULUAN
Dampak buruk dari penjadwalan dinas
yang tidak sinkron tersebut diatas menurut
Rumah sakit merupakan fasilitas
Robins (2017) dapat diatasi dengan optimasi
layanan kesehatan 24 jam sehingga dalam
dari peran manajer dalam pengaturan jadwal
pelaksanaanya perawat memberikan layanan
dinas dimana manajer memiliki peranan
keperawatan 24 jam selama 7 hari. Pengaturan
penting dalam mencapai tujuan organisasi
jadwal tenaga perawat perlu direncanakan
yaitu memberikan mutu layanan terbaik.
dengan baik agar tidak terjadi kelebihan beban
Permasalahan penjadwalan dinas merupakan
kerja yang berdampak pada kinerja perawat.
salah satu permasalahan di organisasi
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizky
kesehatan yang sulit dipecahkan. Jumlah
Maharja (2015) beban kerja fisik dan
pasien yang tidak menentu dan tidak
kelelahan kerja memiliki hubungan yang kuat
terkendali, berbagai macam keseriusan
dan searah. Beban kerja fisik berbanding lurus
penyakit pasien, karaktersitik organisasi,
dengan peningkatan kelelahan kerja bahwa
adanya absen dan permintaan pribadi untuk
semakin meningkatnya beban kerja fisik, maka
libur, kualifikasi dan spesialisasi perawat itu
kelelahan kerja juga akan mengalami
sendiri membuat manajer sulit untuk membuat
peningkatan. Shift kerja dan kelelahan kerja
jadwal untuk setiap perawat ke dalam jam
juga memiliki hubungan searah dan kuat serta
kerja yang berbeda-beda dalam jangka pendek.
terdapat perbedaan tingkat kelelahan kerja
berdasarkan shift kerja. Pengaturan jadwal Melihat permasalahan yang ada dalam
dinas yang kurang baik selain menyebabkan penjadwalan dinas berbagai inovasi dilakukan
kelelahan juga menyebabkan berkurangnya untuk memudahkan dalam penjadwalan dinas
waktu tidur dan mengganggu irama biologis perawat. Inovasi tersebut salah satunya yaitu
tubuh. adanya sistem perangkat lunak yang
memudahkan dalam penjadwalan dinas dengan
Menurut penelitian Dede Nurul
memperhatikan kebutuhan pasien dan
Khikmah (2017) terdapat perbedaan kualitas
kebutuhan perawat itu sendiri. Aplikasi
kerja dalam setiap shift. Jadwal dinas
software ini membantu manajer keperawatan
mempengaruhi kualitas layanan yaitu
dalam penjadwalan dinas yang sesuai dengan
kepuasan layanan. Khususnya, shift malam
proporsinya sehingga kelebihan beban kerja
memiliki kualitas layanan yang rendah
dapat dihindari dan dapat meningkatkan mutu
disebabkan tingkat kelelahan berat pada
layanan. Berdasarkan hal inilah penulis tertarik
malam hari. Apabila hal ini tidak diatasi maka
dalam membahas berbagai macam aplikasi
akan mempengaruhi kinerja perawat,
software yang dapat membantu manajer
menurunkan kualitas mutu asuhan
keperawatan dalam penjadwalan dinas jaga
keperawatan, menurunkan motivasi,
perawat.
meningkatkan kesalahan, produktivitas kerja
menurun, stress akibat kerja meningkat,
penyakit akibat kerja meningkat, prestasi kerja
2. KAJIAN LITERATUR
menurun, serta kecelakaan kerja pun dapat
meningkat. Rumah sakit merupakan fasilitas
layanan kesehatan 24 jam sehingga dalam
pelaksanaanya perawat memberikan layanan

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 33
keperawatan 24 jam selama 7 hari. Pengaturan jadwal untuk setiap perawat ke dalam jam
jadwal tenaga perawat perlu direncanakan kerja yang berbeda-beda dalam jangka pendek.
dengan baik agar tidak terjadi kelebihan beban
Melihat permasalahan yang ada dalam
kerja yang berdampak pada kinerja perawat.
penjadwalan dinas berbagai inovasi dilakukan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizky
untuk memudahkan dalam penjadwalan dinas
Maharja (2015) beban kerja fisik dan
perawat. Inovasi tersebut salah satunya yaitu
kelelahan kerja memiliki hubungan yang kuat
adanya sistem perangkat lunak yang
dan searah. Beban kerja fisik berbanding lurus
memudahkan dalam penjadwalan dinas dengan
dengan peningkatan kelelahan kerja bahwa
memperhatikan kebutuhan pasien dan
semakin meningkatnya beban kerja fisik, maka
kebutuhan perawat itu sendiri. Aplikasi
kelelahan kerja juga akan mengalami
software ini membantu manajer keperawatan
peningkatan. Shift kerja dan kelelahan kerja
dalam penjadwalan dinas yang sesuai dengan
juga memiliki hubungan searah dan kuat serta
proporsinya sehingga kelebihan beban kerja
terdapat perbedaan tingkat kelelahan kerja
dapat dihindari dan dapat meningkatkan mutu
berdasarkan shift kerja. Pengaturan jadwal
layanan. Berdasarkan hal inilah penulis tertarik
dinas yang kurang baik selain menyebabkan
dalam membahas berbagai macam aplikasi
kelelahan juga menyebabkan berkurangnya
software yang dapat membantu manajer
waktu tidur dan mengganggu irama biologis
keperawatan dalam penjadwalan dinas jaga
tubuh.
perawat.
Menurut penelitian Dede Nurul
Penjadwalan shift menurut Ferreira
Khikmah (2017) terdapat perbedaan kualitas
dan Rocha (2013) merupakan proses dari
kerja dalam setiap shift. Jadwal dinas
perancangan jadwal kerja bagi staf di suatu
mempengaruhi kualitas layanan yaitu
organisasi yang dapat memenuhi permintaan
kepuasan layanan. Khususnya, shift malam
akan barang atau jasa. Proses pertama
memiliki kualitas layanan yang rendah
menentukan jumlah staf dengan keterampilan
disebabkan tingkat kelelahan berat pada
tertentu, kebutuhan permintaan layanan
malam hari. Apabila hal ini tidak diatasi maka
tertentu sehingga dapat meningkatkan kinerja
akan mempengaruhi kinerja perawat,
pegawai di waktu yang berbeda. Pemberian
menurunkan kualitas mutu asuhan
tugas di masing-masing shift, peraturan
keperawatan, menurunkan motivasi,
organisasi harus diperhatikan selama proses
meningkatkan kesalahan, produktivitas kerja
berlangsung (Ferreira & Rocha, 2013).
menurun, stress akibat kerja meningkat,
Penjadwalan dinas terbagi menjadi tiga waktu
penyakit akibat kerja meningkat, prestasi kerja
yaitu dinas pagi, sore dan malam. Dinas pagi
menurun, serta kecelakaan kerja pun dapat
durasi 7 jam dari pukul 07.00-14.00 wib, dinas
meningkat.
sore durasi 7 jam dari pukul 14.00-21.00 wib,
Dampak buruk dari penjadwalan dinas dan dinas malam durasi 10 jam dari pukul
yang tidak sinkron tersebut diatas menurut 21.00-07.00 wib. Dalam pemenuhan
Robins (2017) dapat diatasi dengan optimasi kebutuhan perawat untuk seluruh staff
dari peran manajer dalam pengaturan jadwal sebaiknya mematuhi peraturan yang berlaku di
dinas dimana manajer memiliki peranan rumah sakit. Penjadwalan dinas dapat
penting dalam mencapai tujuan organisasi dilakukan dengan metode manual atau dengan
yaitu memberikan mutu layanan terbaik. sistem komputer (Caisario, 2014).
Permasalahan penjadwalan dinas merupakan
Menurut Caisario (2014) penjadwalan
salah satu permasalahan di organisasi
dengan sistem komputer salah satunya
kesehatan yang sulit dipecahkan. Jumlah
menggunakan metode goal programming yang
pasien yang tidak menentu dan tidak
merupakan pengembangan dari program
terkendali, berbagai macam keseriusan
linear. goal programming diperkenalkan
penyakit pasien, karaktersitik organisasi,
pertama kali oleh Abraham Charnes dan
adanya absen dan permintaan pribadi untuk
William Cooper pada tahun 1950-an. Pada
libur, kualifikasi dan spesialisasi perawat itu
awalnya goal programming terbatas hanya
sendiri membuat manajer sulit untuk membuat
pada masalah pemrograman linier yang
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 34
multiobjektif, yaitu pemrograman linier yang
memiliki lebih dari satu fungsi objektif.
Kemudian pada tahun 1960-an, Ignizio
mengembangkan metode ini untuk model
nonlinier dan integer. Prinsip dasar goal
programming ialah mengubah model linear
yang memiliki fungsi objektif lebih dari satu
ke dalam bentuk fungsi objektif tunggal.
Solusi dari model goal programming biasanya
bukan merupakan solusi yang optimum, tetapi
merupakan solusi yang cukup efisien di mana
beberapa dari tujuan dapat dicapai secara
bersamaan. Secara umum goal programming
terbagi atas dua macam. Pertama, preemptive
goal programming yaitu metode goal
programming dengan menentukan tingkatan
prioritas goal yang ingin dicapai. Kedua,
nonpreemptive goal programming atau lebih Gambar 1. Software LINGO 15.0
dikenal dengan metode pembobotan. Kedua
metode ini memiliki aturan dan solusi yang Pada gambar 1 dimana software
berbeda (Caisario, 2014). LINGO 15.0 menyediakan berbagai pilihan
Model penjadwalan goal dalam pembuatan jadwal dengan goal
programming yaitu mendekripsikan masalah, programming yaitu linear, integer, dan non
memformulasikan masalah yaitu membuat linear (Tim Dosen Penelitian Fakultas Tehnik,
indeks dan parameter, variabel keputusan, 2009)..
variabel deviasi, fungsi objektif, kendala Penelitian penjadwalan shift perawat
uatama dan kendala tambahan (Putri, 2013). dengan menggunakan metode nonpreemptive
Pengumpulan data yang dilakukan yaitu goal programming dilakukan oleh Siregar
tentang jumlah perawat, jumlah perawat yang (2015) dengan judul optimasi penjadwalan
harus ada di masing-masing shift, dan jumlah perawat dengan program goal linear. Hasil
total hari kerja perawat. Tahap pengembangan penelitiannya yaitu penjadwalan perawat
model yaitu dengan menggunakan model dengan menggunakan model program goal
matematika, perawat dijadwalkan selama satu linear dan software LINGO (gambar 1) lebih
bulan, dan berdasarkan level kompetensi. baik dibandingkan dengan jadwal yang dibuat
Kemudian menentukan tujuan yaitu untuk secara manual. Hal ini didukung oleh
meminimalkan perawat ditugaskan pada shift penelitian Caisario (2014) yang hasil
malam, sore, atau pagi secara berturut-turut penelitiannya pun menunjukkan penjadwalan
melebihi range yang ditentukan. model goal programming lebih baik daripada
Pengembangan model juga memperhatikan metode manual.
peraturan-peraturan yang ada di rumah sakit
(Widyastiti, 2016). Hasil penelitian tersebut yaitu
diperoleh jadwal kerja perawat dalam periode
Penjadwalan mennggunakan goal satu bulan, jumlah kebutuhan minimal dan
programming ini dibantu dengna software maksimal perawat untuk tiap shift dalam satu
LINGO seperti gambar berikut: hari sudah memenuhi range yang ditentukan
pihak manajemen RS, untuk setiap perawat
dari jadwal goal programming tidak terdapat
perawat yang ditugaskan pada lebih dari satu
shift berturut-turut dalam sehari. Selain itu
tidak ditemukan perawat ditugaskan pada shift
malam di hari itu lalu kembali ditugaskan pada
shift pagi di hari berikutnya.

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 35
Penelitian serupa dilakukan oleh Nur, dalam satu periode penjadwalan (satu bulan)
I., Dwijanto, & Riza, A. (2016) yaitu setelah dilakukan preemptive goal
menggunakan linear goal programming programming tujuan ini berhasil tercapai.
(LGP). Simpulan dari penelitian tersebut yaitu Sehingga prioritas pertama, kedua, dan ketiga
pada kendala utama diketahui bahwa pada tercapai semua. Sedangkan dengan
jadwal manual memenuhi 5 batasan, yaitu menggunakan nonpreemptive goal
jumlah minimal dan maksimal perawat programming tujuan untuk seminimal
terpenuhi, perawat tidak ditugaskan dua shift mungkin melanggar aturan kendala yaitu:
berturut-turut dalam sehari, jika perawat meminimumkan total dari kelebihan (deviasi)
bertugas pada shift malam di hari i, maka terhadap sasaran yang ingin dicapai yaitu
perawat tersebut tidak boleh ditugaskan pada kelebihan bertugas pada shift malam lebih dari
shift pagi atau shift siang di hari berikutnya, dua hari berturut-turut, deviasi penjadwalan
jumlah total jam jaga perawat minimal 140 libur-masuk-libur, dan kelebihan bertugas
jam, dan untuk setiap perawat tidak ditugaskan pada shift malam selama periode penjadwalan
lebih dari dua shift malam berturut-turut. Semua tujuan tersebut pun tercapai dengan
Sedangkan dua batasan yang tidak terpenuhi, menggunakan nonpreemptive goal
yaitu untuk setiap perawat tidak ditugaskan programming. Antara penggunaan preemptive
lebih dari dua shift pagi berturut-turut dan dan nonpreemptive goal programming ada
untuk setiap perawat tidak ditugaskan lebih hubungan dalam mengenali kendala utama dan
dari dua shift siang berturutturut. Untuk jadwal tambahan hanya prosesnya saja yang berbeda
LGP terpenuhi semua batasan pada kendala dimana preemptive membuat prioritas-prioritas
utama. Untuk kendala tambahan, pada jadwal sebelum hasil akhir dari penjadwalan didapat
manual tidak terpenuhi semua batasan, sedangkan nonpreemptive memproses
sedangkan untuk jadwal LGP terpenuhi semua sekaligus proritas-prioritas tersebut tanpa per
batasan. prioritas (Putri, 2013).
Keefektivitasan penggunaan model Penjadwalan menggunakan goal
goal programming di dukung pula oleh programming lainnya dilakukan oleh Ismail
penelitian Putri (2013) dengan judul penelitian (2012) yaitu dengan siklik goal programming
“Penjadwalan Perawat Menggunakan Goal atau disebut juga G01P atau zero-one goal
Programming: Studi Kasus di Rumah Sakit programming yaitu penjadwalan perawat ke
Hasanah Graha Afiah Depok” yang daftar tugas mereka merupakan tugas penting
menggunakan 2 metode goal programming dan berulang bagi perawat kepala.
yaitu preemptive dan nonpreemptive. Hasil Pengembangan rencana induk untuk model
penjadwalan dengan metode preemptive yaitu penjadwalan perawat siklis membantu kepala
berdasarkan prioritas prioritas pertama perawat menyelesaikan masalah penjadwalan
memiliki fungsi dimana perawat tidak perawat dan memberikan hasil daftar tugas
ditugaskan lebih dari dua kali shift malam yang lebih baik dibandingkan dengan daftar
berturut-turut, tujuan ini berhasil dicapai tugas manual. Meski proses mendapatkan
dengan program software LINGO. hasilnya memakan waktu beberapa kali untuk
Dikarenakan tujuan utama ingin mencapai dijalankan, namun hasilnya masuk akal dan
prioritas pertama maka tentu saja prioritas diterima oleh rumah sakit dan perawat. Teknik
kedua dan ketiga belum tercapai, misal 01GP telah terbukti bisa menyelesaikan lebih
prioritas kedua ingin mencapai agar perawat dari satu tujuan secara efektif, hal ini didukung
tidak mendapat pola jadwal libur-masuk-libur oleh penelitian Agyei (2015) dengan jenis
ada perawat yang mendapatkan pola libur- penelitian yang sama. Penjadwalan siklis
masuk-libur. membantu perawat kepala untuk memiliki
sedikit usaha selama proses penjadwalan.
Prioritas kedua pun dilakukan dengan
Perawat kepala juga dapat mempersiapkan
menggunakan preemptive goal programming
perencanaan aktivitas jangka panjang untuk
kedua terpenuhi namun prioritas ketiga belum
setiap perawat terlebih dahulu. Untuk
terpenuhi. Prioritas ketiga yaitu perawat
penelitian lebih lanjut, model dapat
mendapat shift malam tidak lebih dari 8 hari
ditingkatkan dengan menambahkan berbagai
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 36
ukuran perawat untuk memenuhi berbagai shift malam 5 hari dalam 30 hari (Widyastiti,
jenis bangsal. 2016).
Penjadwalan perawat dengan Perbedaan penjadwalan dinas perawat
menggunakan model integer goal menggunakan manual dan menggunakan goal
programming dilakukan oleh Widyastiti programming juga dikemukakan oleh Siregar
(2016) dengan judul “Nurses Scheduling By (2015), Duka (2015), Caisario (2014), dan
Considering The Qualification Using Integer Putri (2013).
Linear Programming”. Dalam penelitian ini,
masalah penjadwalan perawat dimodelkan
Tabel 1.
dengan mempertimbangkan kualifikasi
Perbandingan sistem manual dan goals
perawat dan modelnya berupa pemrograman
programming
linier integer. Tujuan dari model ini adalah
Manual Goal programming
untuk memaksimalkan jumlah hari libur
Membutuhkan waktu Waktu pembuatan
perawat. Kemudian masalah optimasi
lama jadwal membutuhkan
diimplementasikan pada penjadwalan perawat
waktu yang singkat
di High Care Unit dan ruang darurat Rumah
Sehat Terpadu Dompet Dhuafa Parung Bogor. Merepotkan dan Mudah dan efisien
Penelitian dengan linier integer goal memusingkan karena
programming menunjukkan menunjukkan pola perhitungan manual
pergeseran hari kerja, waktu luang, dan hari kebutuhan perawat kebutuhan perawat
libur selama 30 hari. Jadwal memuaskan tiap shift masih tiap shiftnya telah
semua kendala yaitu tidak ada shift malam mengalami kelebihan terpenuhi sesuai range
yang diikuti dengan shift pagi keesokan dan kekurangan yang ditentukan oleh
harinya, dan juga tidak ada shift malam manajemen rumah
dilanjutkan dengan shift pagi hari berikutnya sakit
hari ditugaskan untuk setiap pola jadwal. pelanggaran perawat tidak ada perawat
ditugaskan pada dua yang ditugaskan dua
Kemudian, menunjukkan pula shift berturut-turut shift berturut-turut
ringkasan untuk jumlah shift, waktu luang, dan dalam sehari terjadi dalam sehari
hari libur untuk masing-masing pola jadwal setiap perawat jumlah perbedaannya tidak
selama 30 hari. Semua perawat memiliki hari kerja untuk terlalu signifikan
jumlah 5 hari yang sama, jumlah shift malam semua shift dan libur
per periode 30 hari. Dan juga mereka memiliki memiliki perbedaan
antara 6 sampai 9 hari kerja, 3-4 hari waktu yang signifikan
luang, dan juga jam kerja 170-176. Metode ini Nilai belum mewakili Nilai hukuman yang
juga menunjukkan ringkasan untuk jumlah kenyataan yang lebih baik terkait
shift untuk setiap hari. Di HCU, ada 2-3 proporsional sesuai dengan pergeseran
perawat yang ditugaskan di shift pagi, padahal kebutuhan dapat didefinisikan
hanya ada dua perawat ditugaskan dalam shift untuk mewakili
lain. Di Emergency Room, ada 2-4 perawat di kenyataan lebih akurat
setiap shift setiap hari. Ini menunjukkan bahwa terutama dengan
Jumlah perawat yang dibutuhkan pada setiap memperhatikan
shift di setiap unit dapat terpenuhi seperti yang panjangnya
diharapkan dan perawat di setiap unit bekerja pergeseran (Duka,
sesuai kualifikasi yang dipersyaratkan. 2015)
Berikutnya, menunjukkan jadwal manual yang Jadwal yang Jadwal yang
disiapkan oleh kepala perawat dalam satu unit. dihasilkan belum dihasilkan meliputi
Jadwal yang dihasilkan secara manual telah seimbang dan masih jadwal yang seimbang
menunjukkan adanya ketidakkonsistenan banyak ketimpangan. dalam hal distribusi
jumlah total jam kerja untuk perawat. beban kerja, keadilan
Distribusi shift malam juga tidak seimbang. dalam hal jumlah
ada satu Perawat yang telah ditugaskan dalam tugas malam berturut-
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 37
turut dan preferensi menjalankan penjadwalan manual
perawat (Agyei, dengan penjadwalan goal
2015). programming serta self efficasy
3. KESIMPULAN manajer keperawatan dalam
Masalah penjadwalan dipandang menggunakan goal programming yang
sebagai masalah program goal programming dapat meningkatkan kinerja perawat.
dengan tujuan meminimalkan variabel deviasi
yang tidak diinginkan atau jumlah 4. REFERENSI
penyimpangan yang dibobotkan dengan Agyei, W., Obeng-denteh, W., & Andaam, E.
memperhatikan kendala-kendala yang terkait A. (2015). Modeling nurse scheduling
dengan peraturan dari rumah sakit dan problem using 0-1 goal programming: A
mempertimbangkan kebutuhan dari masing- case study of tafo government hospital,
masing perawat. Hasil penjadwalan perawat kumasi-ghana. International Journal of
dengan menggunakan model Goal Scientific & Technology Research, 4 (3),
Programming dan software LINGO lebih 5–10.
optimal dibandingkan dengan jadwal yang Al-Najjar, S. M., & Hussain Ali, S. (2011).
dibuat secara manual oleh kepala ruangan. Staffing and scheduling emergency
Jadwal yang dihasilkan dengan Goal rooms in two public hospitals: A case
Programming dapat memenuhi seluruh study. International Journal of Business
kendala utama dari peraturan-peraturan rumah Administration, 2 (2), 137–148.
sakit. Penjadwalan perawat dengan http://doi.org/10.5430/ijba.v2n2p137.
menggunakan model programming baik linier Anonim. (2017). LINGO 15.0 system.
programming, siklik programming, integer, Retrieved from
maupun nonpreemptive ataupun preemptive http://www.lindo.com/index.php?option=
programming memiliki lebih efiien dan efektif com_content&view=article&id=160&Ite
dibandingkan dengan metode manual sehingga mid=151
dampak buruk dari ketidakseimbangan Caisario, I. (2014). Pemodelan penjadwalan
pembobotan jadwal tidak terjadi dan dapat perawat menggunakan preemptive goal
memberikan layanan keperawatan yang programming: Studi kasus rumah sakit
optimal. permata bekasi. Skripsi. Retrieved from
Berikut ini adalah beberapa http://repository.ipb.ac.id/handle/123
pertimbangan yang dapat dipakai untuk 456789/70435.
pengembangan dan penelitian kedepan : Duka, E. (2015). Nurse scheduling problem.
1. Perencanaan penjadwalan perawat di European Scientific Journal, 2 (October),
rumah sakit sebaiknya dilakukan 53–63.
diawal pembuatan jadwal dan Ismail, W. R., Jenal, R., & Hamdan, N. A.
memperhatikan aturan yang ditetapkan (2012). Goal programming based master
oleh manajemen rumah sakit. plan for cyclical nurse scheduling.
2. Penggunaan model penjadwalan Goal Journal of Theoretical and Applied
programming, dapat menjadi alternatif Information Technology, 46 (1), 499–
bagi manajemen rumah sakit dalam 504.
menentukan jadwal perawatnya. Khikmah, N.D. (2017). Perbedaan kualitas
3. Bagi peneliti selanjutnya disarankan pelayanan perawat antara shift pagi,
untuk melakukan penelitian pada siang dan malam berdasarkan persepsi
kasus dimana terdapat permintaan hari pasien di ruang rawat inap rsud kraton
libur, permintaan shift pagi, sore dan pekalongan. E-Skripsi Stikes
shift malam dari perawat atau pada Muhammadiyah Pekajangan
kasus dimana setiap perawat Pekalongan. Retrieved from
mendapatkan jumlah shift yang https://www.google.co.id/url?sa=t&rc
merata. Disarankan pula untuk t=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1
melakukan penelitian terhadap
&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjR
perbandingan persepsi perawat dalam

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 38
nuKTupbXAhXIFJQKHZy0D6QQFg balancing in nurse scheduling problem.
gnMAA&url=http%3A%2F%2Fww Silpakorn U Science & Tech J, 10 (1),
w.e-skripsi.stikesmuh-pkj.ac.id%2Fe- 43–48.
skripsi%2Findex.php%3Fp%3Dshow http://doi.org/10.14456/sustj.2016.6.
_detail%26id%3D1517&usg=AOvVa Widyastiti, M., Aman, A., & Bakhtiar, T.
(2016). Nurses scheduling by considering
w1VkVhvcFFdvIeYDeFBG5y8.
the qualification using integer linear
Maharja, R. (2015). Analisis tingkat kelelahan
programming. TELKOMNIKA
kerja berdasarkan beban kerja fisik
(Telecommunication Computing
perawat di instalasi rawat inap rsu haji
Electronics and Control), 14 (3), 933.
surabaya. The Indonesian Journal of
Occupational Safety and Health, 4 (1), http://doi.org/10.12928/telkomnika.v1
93–102. 4i3.2913.
Nur, I., Dwijanto, & Riza, A. (2016). Model
linear goal programming pada
penjadwalan perawat ugd rumah sakit
umum daerah kota semarang. Unnes
Journal of Mathematics, [S.l.], v. 5, n. 1,
p. 01-08, feb. 2017. ISSN 2460-5859.
Retrieved from
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.p
hp/ujm/article/view/13114.
Putri, R.I. (2013). Penjadwalan perawat
menggunakan goal programming: Studi
kasus di rumah sakit hasanah graha afiah
depok. Skripsi Institut Pertania Bogor.
Retrieved from
http://repository.ipb.ac.id/handle/123
456789/64305.
Robbins, S.P., dan Judge, T.A. (2017).
Organizational behavior. 17th ed. USA:
Pearson Education.
Rocha, M. (2012). The staff scheduling
problem : A general model and
applications. Tesis Faculdade de
Engenharia da Universidade do Porto.
Retrieved from
https://sigarra.up.pt/feup/pt/pub_geral.sh
ow_file?pi_gdoc_id=335854
Satheeshkumar, B., Nareshkumar, S., &
Kumaraghuru, S. (2014). Linear
programming applied to nurses shifting
problems. International Journal of
Science and Research (IJSR), 3 (3), 171–
173. Retrieved from www.ijsr.net.
Siregar, P., Saleh, H., & Gamal, M. D. H.
(2015). Optimisasi penjadwalan perawat
dengan program gol linear. Jurnal Sains
Matematika dan Statistika, 1 (2),17–26,
ISSN 24604542.
Thongsanit, K., Kantangkul, K., &
Nithimethirot, T. (2016). nurse’s shift

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 39
ANALISA HUBUNGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT DENGAN TURNOVER
INTENTION DI RUMAH SAKIT RUMAH SEHAT TERPADU
KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014

1
Ziska Herawati 2Reny Deswita
1,2
Akper Yayasan Jalan Kimia
Email: 1ziskaimannullah@gmail.com
2
rede8605@gmail.com

Abstrak
Perawat memiliki peranan strategis bagi rumah sakit karena merupakan kelompok penting
dalam proses pelayanan di rumah sakit, karena merupakan sentral dari proses pelayanan.Kepuasan
kerja memiliki fungsi hubungan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan dan apa yang dalam
kenyataan dialami. Ketidakpuasan kerja perawat juga memiliki dampak terhadap turnover intention.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepuasan kerja perawat dengan turnover
intention di RS. Rumah Sehat Terpadu di kapupaten Bogor Tahun 2014. Penelitian ini bersifat
deskriptif eksplanatory dengan design cross sectional menggunakan data primer yang diambil dengan
cara memberikan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Mei tahun 2014. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 68 orang dengan kriteria perawat yang aktif
bekerja di RS.Rumah Sehat Terpadu bersedia untuk menjadi responden dan menjawab pertanyaan,
masa kerja minimum 6 bulan. Hasil analisis kuantitatif diketahui (42,9%) kurang puas bekerja sebagai
perawat di RS.Rumah Sehat Terpadu. Responden yang mempersepsikan puas terhadap kepuasan kerja
tetapi memiliki keinginan turnover sebesar 56,3%, sedangkan responden yang kepuasan kerjanya
tidak puas tetapi memiliki keinginan keluar sebesar 16,7% . Kepuasan kerja hubungan memiliki
hubungan antara dengan turnover intention (p value = 0,054, CI 95%).

Kata Kunci: Kepuasan kerja perawat, turnover intention

Abstract

Nurse has a strategic role for the hospital because it is an important group in the process of
care in the hospital, because it is central to the service process. Job satisfaction has a function of the
perceived relationship between what is desirable and what is the reality experienced. Nurse
dissatisfaction also have an impact on turnover intention. This study aims to determine the
relationship of job satisfaction with turnover intention nurse at the hospital. Rumah Sehat Terpadu
hospital in dystric Bogor 2014. Present study is descriptive explanatory with cross sectional design
using primary data collected by giving questionnaires, in-depth interviews, observation. This study
was conducted in May 2014. Samples in this study amounted to 68 people with the criteria nurse who
actively work in the Rumah Sehat Terpadu hospital be willing to answer questions and respondents.
The results of quantitative analysis known (42.9%) were less satisfied working as a nurse in Rumah
Sehat Terpadu hospital. Respondents who perceive satisfied with job satisfaction but has the desire
turnover amounted to 56.3%, while the respondents were not satisfied his satisfaction but has the
desire out of 16.7%. Job satisfaction has a relationship with the relationship between turnover
intention (p value = 0.054, CI 95%).

Key words: Nurse job statisfaction, Turnover Intention

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 40
1. PENDAHULUAN sehingga kepuasan kerja perawat secara
Kementrian Kesehatan Republik individu besar pengaruhnya terhadap kinerja
Indonesia telah mengariskan bahwa rumah rumah sakit.
sakit mempunyai tugas melaksanaan upaya
kesehatan secara berdayaguna dan Kepuasan kerja merupakan sikap atau
berhasilguna dengan mengutamakan upaya penilaian positif/ negatif seseorang atas hasil
kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan pekerjaannya. Kepuasan kerja juga merupakan
secara komprehensif dengan upaya promotif fungsi hubungan yang dipersepsikan antara
dan prefentif serta melaksanakan upaya apa yang diinginkan dan apa yang dalam
rujukan. Rumah sakit merupakan bagian kenyataan dialami. Kepuasan kerja tinggi
integral dari seluruh sistem pelayanan sangat membantu dan mempengaruhi kondisi
kesehatan yang melayani pasien dengan kerja yang positif dan dinamis, sehingga
berbagai jenis pelayanan yang bermutu. Mutu memberikan keuntungan yang nyata tidak
pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh hanya bagi organisasi tetapi juga bagi pekerja
kualitas sarana, tenaga yang tersedia, obat, alat sendiri, kondisi inilah yang diharapkan setiap
kesehatan dan sarana penunjang lainnya, pimpinan perusahaan (Davis dan
proses pemberian pelayanan, dan kompensasi Newstorm,1994). Kepuasan kerja seseorang
yang diterima serta harapan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ciri
pengguna. Dengan demikian peningkatan individu (jenis kelamin,umur, status
kualitas fisik serta faktor diatas merupakan perkawinan, lama kerja, status jabatan dan
prakondisi yang harus dipenuhi. Selanjutnya pendidikan) kompensasi yang diberikan,
proses pemberian pelayanan ditingkatkan lingkungan kerja atau ikilim kerja dan ciri
melalui peningkatan mutu dan profesionalisme pekerjaan Kaplan dalam Grifith (1987).
sumber daya kesehatan.
Kepuasan kerja dirasakan
Upaya peningkatan mutu pelayanan mempengaruhi pemikiran seseorang untuk
kesehatan tidak lepas dari upaya peningkatan keluar. Evaluasi terhadap berbagai alternatif
mutu dan kinerja dari semua sumber daya pekerjaan, pada akhirnya akan mewujudkan
manusia dan keprofesian yang ada di rumah terjadinya turnover karena individu yang
sakit , salah satu asset sumber daya manusia memilih keluar organisasi akan mengharapkan
dan keprofesian yang ada di rumah sakit, dan hasil yang lebih memuaskan ditempat lain.
merupakan asset terpenting adalah kinerja Individu yang merasa terpuaskan dalam
tenaga perawat, karena perawat merupakan organisasi tempatnya bekerja akan cendrung
pintu gerbang pasien yang berobat dirumah bertahan pada organisasi tersebut, tetapi jika
sakit selain kelengkapan dan mutu fasilitas tidak mendapatkan kepuasan dalam bekerja
yang disediakan. Perawat merupakan staf akan memilih untuk meninggalkan
fungsional yang memiliki fungsi strategis di pekerjaanya,hal ini dikatakan oleh Sak (1996).
rumah sakit sehingga mempengaruhi
kelangsungan organisasi dan perlu dikelola Saat ini tingginya turnover intention
dengan baik. Kinerja perawat akan tinggi telah menjadi masalah serius bagi banyak
apabila pada saat melakukan pekerjaannya perusahaan, bahkan banyak perusahaan
perawat merasa nyaman. Rasa nyaman mengalami frustasi ketika proses rekruitmen
didapatkan apabila perawat memperoleh dalam menjaring staf yang berkualitas pada
kepuasan kerja. Menurut Muklas (1997) akhirnya menjadi sia-sia karena staf yang
bahwa kinerja organisasi dipengaruhi oleh direkrut telah memilih pekerjaan lain.
kinerja individu, sementara kinerja individu (Zeffane,1994). Dengan tingginya tingkat
dipengaruhi oleh kepuasan kerja individu turnover pada perusahaan akan semakin
banyak menimbulkan berbagai potensi baik
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 41
biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan 2014. Variabel penelitian ini adalah iklim
pada karyawan, tingkat kinerja organisasi kerja, sifat dan kondisi pekerjaan, komitmen
mesti dikorbankan, maupun biaya rekrutmen organisasi, supervisi,gaji, promosi jabatan,
dan pelatihan kembali (Suwandi dan komunikasi, pendidikan dan pelatihan
Indarto,1999). Penelitian yang dilakukan oleh dikaitkan dengan turn over intention. Populasi
Kervin, dkk (1998) yang dilakukan dirumah dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga
sakit di Florida dengan jumlah responden 466 perawat sebanyak 68 orang. Sampel dalam
karyawan perawat di general care area penelitian ini adalah total sampling dengan
(penyakit umum) dan 244 dari unit penyakit kriteria perawat yang aktif bekerja dan
dalam, metode pengumpulan data dengan berstatus karyawan tetap di RS.Rumah Sehat
kuesioner dengan skala linkert, hasil Terpadu yang sesuai dengan kriteria inklusi.
menunjukkan bahwa kepuasan kerja Kriteria inklusi adalah bersedia untuk menjadi
berpengaruh negatif terhadap turnover responden dan menjawab pertanyaan, masa
intention. kerja minimum lebih dari 6 bulan. Informan
yang dipilih secara purposive (siapa yang
Sumberdaya manusia dalam organisasi paling mengetahui apa yang ditanyakan),
merupakan aspek krusial yang menentukan sedangkan jumlah informan untuk kualitatif
keefektifan suatu organisasi. Oleh karena itu sebanyak 9 orang terdiri dari kepala ruangan,
organisasi senantiasa perlu melalukkan kepala bidang keperawatan, kepala sumber
investasi dengan melaksanakan fungsi MSDM daya manusia,dan manajer pelayanan medis.
yaitu mempertahankan sumberdaya manusia, Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan
akan tetapi fenomena yang sering terjadi yaitu diawali dengan kuantitatif kemudian
adalah manakala kinerja perusahaan telah dengan kualitatif untuk memperkaya informasi
lebih baik dapat rusak baik secara langsung dari hasil kuantitaif. Penelitian ini dilakukan
maupun tidak langsung oleh perilaku analisa univariat dan bivariat.
karyawan. Salah satu bentuk perilaku
karyawan yaitu turnover intention yang
berujung pada keputusan karyawan meninggal
karyawan. Intensi keluar dapat diartikan yaitu 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
perindahan unit organisasi. Porter dan Steers
dalam Munandar (2000), menjelaskan bahwa Deskripsi Responden
berhenti atau keluar dari pekerjaan, besar Berdasarkan hasil univariat diketahui
kemungkinannya berhubungan dengan usia termuda responden perawat adalah 25
ketidakpuasan. Ini sejalan dengan pendapat tahun dan yang tertua 38 tahun. Kategori jenis
Gilles (1994) salah satu dari empat macam kelamin responden lebih banyak perempuan
faktor utama yang menentukan niat keluar yaitu 48 orang (64,3%) daripada laki-laki
yang diikuti dengan penggantian karyawan sebanyak 20 responden (36,7%), masa kerja
ialah rasa puas atau tidak puas terhadap lebih banyak < 1 tahun yaitu 56 orang
pekerjaan. (85,7%) sedangkan yang memiliki masa kerja
lebih dari 1 tahun sebanyak 12 orang (14,3%),
berdasarkan kategori status kepegawaian
2. METODE PENELITIAN karyawan tetap dengan masa kerja lebih dari 1
tahun lebih banyak yaitu 49 orang responden
Penelitian ini merupakan penelitian (67,9%) dan yang memiliki status
deskriptif eksplanatory dengan metode potong kepegawaian karyawan tetap masa kerja
lintang dan kualitatif. Penelitian ini dilakukan kurang dari 1 tahun sebanyak 19 orang
di RS.Rumah Sehat Terpadu Kabupaten responden (32,1%), pendidikan perawat lebih
Bogor, dalam hal ini ruangan yang dipakai banyak Diploma III sebanyak 55 respoden
adalah ruang rawat inap,rawat jalan,instalasi (53,6 %) daripada Ners sebanyak 13
gawat darurat. Penelitian ini dilaksanakan responden (46,4%).
selama 4 minggu dimulai pada minggu
pertama sampai minggu keempat bulan Mei Kepuasan Kerja

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 42
Kepuasan kerja perawat dianalisis meningkatkan kesehatan kaum dhuafa.
berdasarkan indikator dalam teori kepuasan Manajemen berpendapat bahwa perawat cukup
kerja yang modifikasi dari teori Robins memiliki komitmen terhadap rumah sakit,
(2008), Nuk Hg (2003) yaitu gaji, iklim kerja, sedangkan upaya dilakukan oleh manajemen
sifat dan kondisi pekerjaan, komitmen dalam memotivasi perawat untuk memiliki
organisasi, supervisi, promosi jabatan, komitmen yang tinggi terhadap organisasi
pendidikan dan pelatihan, komunikasi. adalah dengan melibatkan perawat dalam
kegiatn-kegiatan rumah sakit seperti areditasi,
hal ini diharapan perawat merasa memiliki.

Komitmen pada organisasi yang tinggi


berarti pemihakan pada organisasi yag
mempekerjaannya. Seorang karyawan dapat
Tabel 1. Distribusi Indikator Kepuasan Kerja tidak puas dengan pekerjaan tertentu dan
Perawat mengangapnya sebagai kondisi sementara,
Variabel Kategori Jumlah Persentase tetapi tidak puas dengan organisasi adalah
Iklim kerja Tidak 22 42,9 sebagai suatu keseluruhan. Tetapi bila
Puas ketidakpuasan menjalar keorganisasi itu, lebih
Puas 36 57,1 besar kemungkinan individu-individu akan
Sifat dan Tidak 22 46,4 mempertimbangkan untuk minta berhenti
Kondisi Puas (Robins, 2008).
pekerjaan Puas 36 53,6
Komitmen Tidak 22 42,9 Sifat dan kondisi pekerjaan yang
organisasi Puas merasa puas sebanyak 36 orang (53,6%)
Puas 36 57,1 sedangkan sifat dan kondisi pekerjaan merasa
Supervisi Tidak 37 60,7 puas 36 orang (53%), hal spesifik yang
Puas mempengaruhi kepuasan terhadap sifat dan
Puas 21 39,3 kondisi pekerjaan adalah kurang lengkapnya
Gaji Tidak 35 53,6 peralatan pemeriksaan yang dapat
puas menyebabkan perawat kurang maksimal dalam
Puas 23 46,4
menggunakan kemampuan dan
Promosi Tidak 34 50
jabatan puas
ketermpilannya. Variabel komitmen organisasi
Puas 34 50 didapatkan 22 orang (46,4%) merasa tidak
Pendidikan Tidak 18 28,6 puas, komitmen organisasi merasa puas
dan puas sebanyak 36 orang (57,1%) hasil wawancara
pelatihan Puas 50 71,4 mendalam informasi yang didapatkan dari
Komunikasi Tidak 34 50 informan perawat bahwa mereka memiliki
puas komitmen organisasi dikarenakan termotivasi
Puas 34 50 untuk mengamalkan ilmu pada kaum dhuafa,
sebagai tabungan pahala, tujuan bekerja
Berdasarkan tabel 1 diatas indikator bukan karena mencari uang semata tetapi
kepuasan kerja, pada variabel iklim kerja yang untuk amal, dan berusaha meningkatkan
merasa puas 54 orang (57,1%) dan yang kesehatan kaum dhuafa.
tidak puas 32 orang (42,9%), menyatakan
tidak puas terhadap komitmen organisasi. Manajemen berpendapat bahwa
Hasil wawancara mendalam informasi yang perawat cukup memiliki komitmen terhadap
didapatkan dari informan perawat bahwa rumah sakit, sedangkan upaya dilakukan oleh
mereka memiliki komitmen organisasi manajemen dalam memotivasi perawat untuk
dikarenakan termotivasi untuk mengamalkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap
ilmu pada kaum dhuafa, sebagai tabungan organisasi adalah dengan melibatkan perawat
pahala, tujuan bekerja bukan karena mencari dalam kegiatan-kegiatan rumah sakit seperti
uang semata tetapi untuk amal, dan berusaha akreditasi, hal ini diharapan perawat merasa
memiliki.,variabel supervisi 21 orang (39,3%)
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 43
dan 37 orang (60,7%) hasil kualitatif dengan Hasil informasi hasil wawancara
wawancara mendalam dengan informan mendalam dengan informan perawat
perawat didapatkan informasi yaitu jarang ada didapatkan informasi bahwa informan perawat
pengawasan yang dilakukan oleh manajemen, menyatakan kurang puas dengan pendidikan
manajemen lebih menyukai bekerja dibelakang dan pelatihan yang dilakukan oleh rumah sakit
meja saja, bahkan ada yang berpendapat tidak karena tidak jelas kriteria pemilihan peserta
pernah ada pengawasan, tetapi juga ada dan belum jelasnya penjadwalan yang dibuat
informan yang mengatakan bahwa kadang- oleh manajemen. Informasi yang didapatkan
kadang saja ada kepala instalasi pelayanan dari manajemen menyebutkan bahwa
yang datang untuk melihat kondisi secara pendidikan dan pelatihan diberikan sesuai
langsung. Informan merasakan belum kebutuhan rumah sakit, tidak ada jadwal
efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh pelatihan yang berkala dan dirasakan telah
manajemen serta penilaian terhadap kerja cukup memenuhi kebutuhan rumah sakit.
perawat yang dirasakan kurang memiliki Evaluasi pasca pelatihan dilakukan oleh
manfaat terhadap kepuasan kerja, Promosi manajemen untuk pelatihan yang berkaitan
jabatan 34 orang (50%) merasa puas dan 34 dengan teknologi terbaru dalam dunia medis.
orang (50%) menyatakan tidak puas Bentuk evaluasi hasil pendidikan dan pelatihan
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan melakukan presentasi untuk
dengan informan perawat, seluruh informan manajemen dan sejawat. Dalam penelitian Huk
mengatakan belum adanya jenjang karier Ng (2003) juga mengemukakan salah satu
untuk perawat, belum ada kebijakan yang yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah
mengatur promosi jabatan untuk karier pendidikan (kursus dan seminar, program
perawat. Hal yang sama juga disampaikan oleh orientasi, dan pelatihan pelayanan).variabel
informan manajemen bahwa RS.Rumah Sehat komunikasi 50 orang (50%) dan 34 orang
Terpadu memang belum memiliki aturan dan (50%),
kebijakan mengenai sistem promosi untuk
perawat, tetapi manajemen berencana akan Hasil wawancara mendalam dengan
membuat aturan untuk jenjang karier. informan kepala perawat dan manajemen
pelayanan medis, mereka menyatakan
Menurut Robins (2008) promosi hubungan dengan rekan kerja dalam kondisi
jabatan dan kesempatan untuk maju baik dan tidak pernah terjadi konflik dengan
dipersepsikan adil oleh karyawan maka rekan kerja yang dapat menghambat proses
kemungkinan akan menghasilkan kepuasan kerja perawat. Perawat dan rekan kerja lebih
dengan pekerjaan mereka. Promosi menyukai diskusi secara personal tanpa
memberikan kesempatan untuk pertumbuhan melibatkan manajemen. Hal ini sejalan dengan
pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak penelitian yang dilakukan oleh Rantz, dkk
dan status sosial yang ditingkatkan, oleh (2013) menjelaskan rendahnya kepuasan kerja
karena itu individu-individu yang disebabkan oleh gaji yang diterima, promosi,
mempersepsikan bahwa keputusan promosi keamanan kerja, status, lingkungan kerja,
dibuat dalam cara yang adil ( fair and just) fasilitas rumah sakit dan masalah
kemungkinan besar akan mengalami kepuasan administrasi. Frasser (1994), mengatakan
dari pekerjaan mereka. Kesempatan untuk bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi
memperoleh promosi melalui jenjang yang amat subjektif sebagai suatu hal yang
kepangkatan mempengaruhi kepuasan kerja menguntungkan atau tidak sehingga bisa
karyawan. Kepuasan kerja mempengaruhi disebutkan bahwa kepuasan kerja bersifat
produktivitas kerja karyawan, dengan individual.
demikian untuk meningkatkan produktivitas
kerja karyawan perlu memperhatikan kepuasan Setelah dilakukan pengabungan dari
kerja karyawan., Pendidikan dan pelatihan total nilai indikator kepuasan pelanggan yaitu
jabatan 50 orang (71,4%) merasa puas, dan 18 gaji, iklim kerja, sifat dan kondisi pekerjaan,
orang (28,6%) merasa tidak puas,dari komitmen organisasi, supervisi, promosi
jabatan, pendidian dan pelatihan dan

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 44
komunikasi. Hasilnya kemudian Penelitian ini sejalan dengan
dikelompokkan menjadi dua berdasarkan nilai penelitian yang dilakukan oleh Rantz, dkk
mean, yaitu puas dan tidak puas. Setelah (2013) menjelaskan rendahnya kepuasan kerja
dilakukan pengabungan dari total nilai disebabkan oleh gaji yang diterima, promosi,
indikator kepuasan pelanggan yaitu gaji, iklim keamanan kerja, status, lingkungan kerja,
kerja, sifat dan kondisi pekerjaan, komitmen fasilitas rumah sakit dan masalah
organisasi, supervisi, promosi jabatan, administrasi. Frasser (1994), mengatakan
pendidian dan pelatihan dan komunikasi. bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi
Hasilnya kemudian dikelompokkan menjadi yang amat subjektif sebagai suatu hal yang
dua berdasarkan nilai mean, yaitu puas dan menguntungkan atau tidak sehingga bisa
tidak puas. Digambarkan dalam Tabel 2 disebutkan bahwa kepuasan kerja bersifat
sebagai berikut : individual. Disebutkan demikian karena setiap
individu mempunyai tingkat kepuasan kerja
Tabel 2. Distribusi Kepuasan Kerja Perawat yang berbeda sesuai dengan sistem nilai yang
berlaku dalam individu tersebut.
Variabel Kategori Jumlah Persentase
Kepuasan Tidak puas 32 42,9 Wekley dan Yulk (1997) mengatakan
kerja Puas 54 57,1 bahwa kepuasan kerja akan dirasakan
perawat seseorang bila mengamati adanya keadilan
terhadap situasi yang dialami bila
Tabel 2. diketahui bahwa berdasarkan membandingkan dengan orang lain ditempat
indikator kepuasan kerja, pada variabel iklim kerjanya. Seseorang mengerjakan pekerjaan
kerja yang merasa puas 36 orang (57,1%) dan yang sama tetapi ia mendapat upah yang
yang tidak puas 22 orang (42,9%). Hasil lebih sedikit, maka ia merasakan
wawancara mendalam dengan informan ketidakadilan. Teori ini berasumsi bahwa
perawat, mereka menyatakan hubungan individu dimotivasi oleh keinginan untuk
dengan rekan kerja dalam kondisi baik dan diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya.
tidak pernah terjadi konflik dengan rekan kerja Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan
yang dapat menghambat proses kerja yang sesuai dengan keinginan seorang pekerja,
perawat,seluruh informan: perawat semakin tinggi tingkat kepuasan yang
mengatakan dirasakan, dan juga sebaliknya akan terjadi
ketidakpuasan bila seorang merasakan aspek-
Perawat dan rekan kerja lebih aspek dalam pekerjaan tersebut tidak sesuai
menyukai diskusi secara personal tanpa dengan keinginannya.
melibatkan manajemen kepuasan kerjanya
kurang dikarenakan manajemen yang kurang Semakin banyak aspek-aspek dalam
terbuka, aturan yang ada masih kurang jelas, pekerjaan yang sesuai dengan keinginan
kesulitan dalam menyampaikan keluhan dan seorang pekerja, semakin tinggi tingkat
tindakan yang jelas dalam menangani kepuasan yang dirasakan, dan juga sebaliknya
keluhan, Perawat dan rekan kerja lebih akan terjadi ketidakpuasan bila seorang
menyukai diskusi secara personal tanpa merasakan aspek-aspek dalam pekerjaan
melibatkan manajemen. Hal ini berbeda tersebut tidak sesuai dengan keinginannya.
dengan yang disampaikan dalam hasildengan
wawancara terhadap pihak manajemen yaitu
manajer pelayanan medis dan kepala bagian Gambaran Turnover Intention perawat
sumber daya manusia terdapat hasil yang Pada tabel dibawah ini digambarkan turnover
bertolak belakang, yaitu sudah dilkukan upaya intention berdasarkan kategori keinginan dan
untuk meningkatkan kepusaan kerja perawat tidak ada keinginan sebagai berikut :
dengan memberikan lingkungan kerja yang
nyaman, memberikan fasilitas yang terbaik, Tabel 2. Distribusi Turn Over Intention
dan berusaha melibatkan perawat dalam setiap Variabel Kategori Jumlah Persentase
kegiatan yang dilakukan oleh RS.Rumah Sehat Turn Over Ada 11 39,3
Terpadu. Intention keinginan

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 45
Tidak ada 57 60,7 Hasil analisa uji bivariat terhadap
keinginan hubungan kepuasan kerja dengan turnover
intention diRS.Rumah Sehat Terpadu
Variabel turnover intention, diketahui diketahui bahwa sebanyak 4 responden
bahwa sebanyak 11 orang responden (39,3%) (16,7%) kepuasannya tidak puas yang ada
menyatakan memiliki keinginan untuk keluar keinginan keluar dari tempat bekerja, sebanyak
dari pekerjaannya dan yang tidak memiliki 20 responden (83,3%) kepuasan kerjanya tidak
keinginan keluar dari pekerjaannya sebanyak puas yang tidak memiliki keinginan keluar
57 orang (60,7%). Dari hasil wawancara dari tempat kerja, sedangkan 26 responden
mendalam pada 4 orang infoman perawat (56,3%) kepuasan kerjanya puas yang
menyatakan bahwa mereka mengetahui memiliki keinginan keluar, sebanyak 18
banyaknya perawat yang keluar dari rumah responden (43,8%) kepuasan kerjanya puas
sakit Rumah Sehat Terpadu dengan berbagai yang tidak memiliki keinginan keluar dari
alasan yang diberikan, mereka berpendapat tempat kerja. Hasil uji statistik diperoleh nilai
bahwa keluar masuknya perawat yang terjadi p=0,054, sehingga disimpulkan kepuasan kerja
di rumah sakit Rumah Sehat Terpadu adalah menjadi faktor pencegah turnover intention
hal yang wajar, tetapi ada juga yang perawat di RS.Rumah Sehat Terpadu.
berpendapat bahwa hal tersebut berdampak
kurang baik bagi rumah sakit, dan sebagian 4. KESIMPULAN
perawat menyatakan memiliki keinginan untuk
keluar dari pekerjaannya jika mendapatkan Sebagian besar responden (42,9%)
kesempatan bekerja ditempat yang lebih baik, kurang puas bekerja sebagai perawat di
dan sebagian lain menyatakan masih ingin RS.Rumah Sehat Terpadu.Sedangkan
tetap bertahan karena merasa masih cukup responden (57,1%) mepersepsikan puas
merasa nyaman dan pekerjaannya mulia dan terhadap iklim kerja, 53,6% responden
menuntut keikhlasan. mempersepsikan puas terhadap sifat dan
kondisi pekerjaan, 57,1 % responden
Manajemen juga berpendapat bahwa mempersepsikan puas terhadap komitmen
tingginya turnover perawat di rumah sakit organisasi, 60,7% responden
Rumah Sehat Terpadu dirasakan kurang baik mempersepsikan tidak puas terhadap
bagi organisasi, tetapi manajemen telah supervisi, 53,6% responden
berupaya dalam mengurangi tingginya mempersepsikan tidak puas terhadap gaji,
turnover dari perawat dengan mencari tahu 50% responden menyatakan puas terhadap
penyebab dari keinginan perawat dan promosi jabatan, 71,4% responden
membantu mencarikan solusi yang terbaik, mempersepsikan tidak puas terhadap
upaya mengantisipasi turnover dilakukan oleh pendidikan dan pelatihan, 50% responden
manajemen dengan merekrut tenaga perawat mempersepsikan tidak puas terhadap
yang memiliki tempat tinggal dekat dengan komunikasi.
rumah sakit Rumah Sehat Terpadu, dan
kenaikan memberikan kompensasi sesuai Responden yang mempersepsikan puas
kemampuan lembaga. Suwandi dan Irianto terhadap kepuasan kerja tetapi memiliki
(1990) mendefinisikan proses keinginan keinginan turnover sebesar 56,3%,
berpindah kerja kaaryawan yang berhubungan sedangkan responden yang kepuasan
dengan konsekuensi ketidaknyamanan kerja kerjanya tidak puas tetapi memiliki
atau kepuasan kerja . Porter dan Sterrs (2000) , keinginan keluar sebesar 16,7% .
menjelaskan bahwa berhenti atau keluar dari Berdasarkan hasil wawancara mendalam
pekerjaan besar kemungkinan berhubungan informan perawat menyatakan kurang puas
dengan ketidak puasaan. terhadap sifat dan kondisi pekerjaannya,
supervisi, gaji, promosi jabatan, pendidikan
Hubungan Turnover intention dengan dan pelatihan dan komunikasi. Terdapat
Kepuasan Kerja hubungan antara kepuasan kerja dengan
turnover intention dengan besaran nilai p
value sebesar 0,054. Artinya kepuasan kerja
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 46
menjadi faktor pencegah turnover intention. Sak. (1996). Exploring Factors Influencing
Dari temuan tersebut dapat disimpulkan The Turnover Intention of
bahwa kepuasan kerja yang tinggi menjadi Employment. Diunduh dari
faktor pencegah dari turnover intention. http//www.actacommercii.co.za/index.
php/acta/articel/133/133. Tanggal 15
april 2014.
5. RFERENSI Suwandi. (1990). Pengujian Model Turnover
Camp,S.D. (1993). Asessing the Effects of Passerwark dan Strawser : studi
Organizational Commitment and Job Empiris pada Lingkungan Akuntan
Statisfaction on Turnover :An Event Publik. Jurnal Riset Akuntansi
History Approach, The Prison Journal Indonesia. Vol.2,pp 173-195.
74:3.279-305. Copyright owned by Wexley,K.H., Yulk, G.A.,(1997).
Sage Publication, Inc Organizational Behaviour and
Crammer,D & Hang (1990), “Job Satisfaction Personal Psychology. Richard D Irwin
and Organizational Continuance Inc. Homewood, Illinois.
Commitment: A Two Werw Panel Zeffane,R.M., (1994) Understanding
Study”, Journal of Organizational Employee Turnover: The Need for a
Behavior, Volume 17, halaman 7-10. Contingency Approach.Diunduh dari:
Davis,K dan Newstorm,J,W. (1994), Perilaku http://www.proquest.umi.com,
dalam Organisasi, Jilid 1 terjemahan, Tanggal :16 April 2014.
Erlangga, Jakarta
Davis,K dan Newstorm,J,W. (1994), Perilaku
dalam Organisasi, Jilid 1 terjemahan,
Erlangga, Jakarta.
Fraser,T.M. (1994). Human Stress,Work and
Job Statisfaction a Critical Approach.
Geneva: International Labor Services.
Griffith. (1987). The Relatioship Between Job
Statisfaction and Patient statisfaction.
Public Productivityand Manajemen
Review vol.21, No.2.
Huk Ng. (2003). Physician Job Statisfacion
Driven by Quality of Care. Rand
Corporation. New Zealand. Diunduh
dari
http://www.sciencedaily.com/release/2
003/10/131009100217.htm. Tanggal:
15 Mei 2014.
Kane, Shamilyan dan Mueller.(2007). Nurse
Staffing and Quality of Patient Care a
case of nuse policy International
Journal of Healthcare Research and
Quality. 7 (05), 35-40. March, 2007.
Miles.B.M. (2009). Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: UI Perss.
Rantz,J, dkk,.(2013). Staff statisfaction at
Hospital Affect The Quality of Patient
Care.London: Imperial College.
Robins.S.P. (2008). Organizational Behaviour:
Concepts,Controversion and
Aplication. Eight Edition. Engelwood
Clifts:Prentice Hall.

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 47
HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN
INFEKSI DI RUMAH SAKIT BUDI LESTARI BEKASI

Tety Mulyati Arofi, Neneng Rohwiati


1,2
Akper Yaspen Jakarta
1
tety75jaenudin@gmail.com
2
akperyaspen@ymail.com

Abstak

Beban kerja perawat yang berlebihan berpengaruh terhadap produktifitas rumah sakit itu
sendiri, (Haryani, 2008). Dampak dari produktifitas tenaga kesehatan yang tinggi
mengakibatkan tingkat kelelahan timbul dan ketelitian menurun sehingga timbul
kejadian infeksi dirumah sakit yang mengancam pasien. Perawat pelaksana
mengungkapkan biasanya melakukan cuci tangan pada saat setelah melakukan tindakan
dan sangat jarang sekali melakukan cuci tangan sebelum melakukan tindakan. Tujuan
penelitian untuk mengetahui hubungan beban kerja perawat dengan perilaku pencegahan
infeksi pada perawat di Rumah Sakit Budi Lestari Bekasi. Metode penelitian deskriptif
korelasi dengan pendekatan cros sectional pada 48 sampel dengan tehnik random
sampling. Pengumpulan data menggunakan kuisioner dengan validitas lebih dari 0,367-
0,887 dan reliabitas 0,932. Analisis data dengan chi-square. Hasil penelitian
menunjukkan beban kerja yang tinggi (83,3%), sebagaian besar perilaku pencegan
infeksi pada perawat baik (81,2%) serta terdapat hubungan yang signifikan antara beban
kerja dengan perilaku pencegahan infeksi pada perawat (p=0,031). Saran keseimbangan
beban kerja, rotasi perawat, manajemen strass dan pelatihan keselamatan pasien.
Kata kunci: beban kerja perawat, perilaku pencegahan infeksi nosokomial

Abstract

The excessive workload of the nurses affects the productivity of the hospital itself. The
impact of high productivity of health workers resulted in the level of fatigue arising and
the accuracy decreased so that the incidence of hospital infections that threaten the
patient. The executing nurse usually discloses hand washing after the act and very
rarely does hand washing before taking action. The purpose of the study to determine
the relationship between the workload of nurses with infection prevention behavior on
the nurses at Budi Lestari Hospital Bekasi. Descriptive research method correlation
with cros sectional approach on 48 samples with random sampling technique. Data
collection using questionnaires with validity of more than 0.367-0.887 and reliabitas
0.932. Analysis of data with chi-square. The result showed that high work load (83,3%),
most of the behavior of infection scare on nurse was good (81,2%) and there was a
significant correlation between work load and infection prevention behavior on nurse
(p=0,031). Suggestion of workload balance, nurse rotation, strass management and
patient safety training.

Keywords: Keywords: nurse workload, behavioral prevention of nosocomial infection

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 48
1. PENDAHULUAN Ivancevich, & Donnelly, 1996;
Definisi rumah sakit menurut UU Robbins, 2003), serta turnover
no. 4 tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Tomey, 2003), pencurian (Davis &
adalah institusi pelayanan kesehatan Newstrom, 2004) berkontribusi
yang menyelenggarakan pelayanan terhadap menurunnya produktivitas.
kesehatan perorangan secara paripurna Kepuasan yang ditunjukkan perawat
yang menyediakan pelayanan rawat dengan kehadiran sesuai jadwal kerja
inap, rawat jalan dan gawat darurat. memberikan efek positif terhadap
Seiring dengan bertambahnya jumlah pemberian asuhan keperawatan dan
penduduk di Indonesia maka terjadi kebutuhan tenaga tetap terpenuhi
pula peningkatan kebutuhan tenaga walaupun beban kerja tinggi.
kesehatan terutama perawat. Perawat
Beban kerja perawat adalah
adalah teanga paling banyak yang
seluruh kegiatan/aktifitas yang
dibutuhkan diantara tenaga kesehatan
dilakukan oleh seorang perawat selama
lain. Oleh karena itu perawat harus
bertugas di suatu unit pelayanan
memberikan pelayanan secara
keperawatan (Marquish & Huston,
konfrehensif.
2000). Beban kerja merupakan kondisi
Sesuai dengan UU Keperawatan kerja dan uraian tugasnya yang dalam
no 38 tahun 2014 keperawatan adalah waktu tertentu mesti terselesaikan
kegiatan pemberian asuhan kepada (Munandar, 2005). Fluktuasi beban
individu, keluarga, kelompok, atau kerja terjadi pada jangka waktu
masyarakat, baik dalam keadaan sakit tertentu, sehingga terkadang bebannya
maupun sehat. Pelayanan Keperawatan sangat ringan dan saat-saat lain
adalah suatu bentuk pelayanan bebannya bisa berlebihan. Keadaan
profesional yang merupakan bagian yang tidak tepat tersebut dapat
integral dari pelayanan kesehatan yang menimbulkan kecemasan,
didasarkan pada ilmu dan kiat. ketidakpuasan kerja dan
Keperawatan ditujukan kepada kecenderungan meninggalkan kerja.
individu, keluarga, kelompok, atau Beban kerja yang berlebihan ini sangat
masyarakat, baik sehat maupun sakit. berpengaruh terhadap produktifitas
tenaga kesehatan dan tentu saja
Pelayanan keperawatan berpengaruh terhadap produktifitas
merupakan bagian utama dari rumah sakit itu sendiri, (Haryani,
pelayanan kesehatan yang diberikan 2008).
kepada pasien. Perawat bertugas
merawat pasien dalam waktu 24 jam, Dampak dari produktifitas tenaga
dengan menerapkan asuhan kesehatan yang tinggi mengakibatkan
keperawatan, sejak pasien masuk tingkat kelelahan timbul dan ketelitian
rumah sakit sampai keluar rumah sakit meningkatkan, sehingga timbul
(Depkes, 2004). Pelayanan tersebut kejadian infeksi dirumah sakit yang
menunjukkan beban kerja perawat mengancam pasien. Kejadian infeksi
padat. dirumah sakit dianggap sebagai suatu
masalah serius karena mengancam
Beban kerja yang tinggi harus kesehatan dan keselamatan pasien dan
tetap ditunjukkan dengan sikap positif petugas kesehatan secara global.
terhadap pelayanan. Sikap pegawai Kewaspadaan universal atau universal
terhadap pekerjaan menunjukkan precaution merupakan upaya
hubungan yang moderat antara pencegahan infeksi yang telah
kepuasan dan kehadiran (Gibson, mengalami perjalanan panjang, dimulai

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 49
sejak dikenalnya infeksi nosokomial tahun 2015 dan belum ada data untuk
(infeksi yang ditimbulkan dari tindakan tahun 2016. Sosialisasi tentang
medis) yang terus menjadi ancaman pencegahan infeksi nosokomial telah
bagi petugas kesehatan dan pasien dilakukan pada setiap pertemuan dan
(Kemenkes, 2010). pemasangn poster di ruang perawatan,
namun kesadaran perawat di ruangan
Unsur kewaspadaan universal masih belum optimal.
meliputi tindakan mencuci tangan, alat
pelindung diri (APD), pengelolaan alat Wawancara yang dilakukan
tajam (disediakan tempat khusus untuk dengan perawat di ruang perawatan
membuang jarum suntik, bekas botol bahwa belum ada petugas khsusus
ampul, dan sebagainya), sehingga masih ada kekurangan seperti
dekontaminasi, sterilisasi, desinfeksi, pendataan tentang infeksi nosokomial
dan pengelolaan limbah (Nursalam, mengalami keterlambatan. Upaya yang
2013). Studi yang dilakukan WHO di dilakukan oleh bagian kepala
55 rumah sakit di 14 negara di seluruh keperawatan antara lainnya
dunia juga menunjukkan bahwa 8,7% menyediakan untuk kebersihan tangan
pasien rumah sakit menderita infeksi (hand hygiene) seperti hand crab dan
selama menjalani perawatan di rumah alat pelindung diri seperti sarung
sakit (Nursalam, 2013). tangan di ruang perawatan dan diruang
lainnya. Perawat lebih sering
Rumah Sakit Budi Lestari Bekasi melakukan handhygine dengan
merupakan salah satu rumah sakit pengunaan hand scrab sedangkan cuci
umum swasta. Hasil wawancara tangan menggunakan sabun jarang.
dengan Kepala Bidang Keperawatan Perawat biasanya melakukan cuci
diperoleh data perawat yang bekerja tangan pada saat setelah melakukan
saat ini adalah 77 orang, 72 orang tindakan dan sangat jarang sekali
diantaranya lulusan diploma III melakukan cuci tangan sebelum
Keperawatan (D3) dan 5 orang lulusan melakukan tindakan. Begitu pun
Sarjana Keperawatan (S1) untuk 108 dengan pemakaian alat pelindung diri
tempat tidur. Kepala bidang khususnya masker sudah terbiasanya
mengatakan bahwa beban kerja memakai satu masker sepanjang hari
perawat cuku tinggi tetapi belum selama bertugas dan bahkan ada yang
dilakukan perhitungan beban kerja tidak mengunakannya sama sekali.
secara rinci. Beban kerja yang tinggi
tersebut memang beresiko terhadap Penanganan infeksi nosokomial
kelalaian dan kesalahan kerja sehingga menurut perawat pelaksana di ruangan
resiko infeksi nosokomial mungkin juga dilakukan dengan pengelolahan
terjadi. sampah yang cukup baik di ruangan
rumah sakit terdapat beberapa tempat
Kepala bidang mengatakan bahwa pembuangan sampah yakni plastik
bagian Pencegahan dan Pengendaian kuning untuk sampah medis dan plastik
Infeksi (PPI) merangkap dengan bidang hitam untuk sampah sisa makanan,
keperawatan, oleh karena itu untuk pembuangan benda tajam
pelaksanaan belum optimal. Data disediakan safety box yaitu untuk jarum
perawat yang sudah mengikuti suntik dan benda-benda tajam lainnya.
pelatihan dan seminar tentang infeksi Ketika seorang perawat mengalami
nosokomial, baik seminar umum kecelakaan kerja, seperti tertusuk jarum
ataupun khusus mengenai infeksi bekas pakai oleh pasien infeksi berat
nosokomial sebanyak 57,14% sampai misalnya pasien dengan hepatitis,

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 50
perawat langsung mengeluarkan atau tidak produktif.
darahnya sendiri, kemudian
melaporkan ke bagian PPI atau Kepala Langkah-langkah yang dilakukan
Bagian Keperawatan untuk dilakukan dalam work sampling menurut Ilyas
pemeriksaan dan penanganan lebih (2013) yaitu menentukan jenis
lanjut. personildengan melakukan pemilihan
sejumlah sampel secara acak. Langkah
Sesuai uraian di atas maka peneliti selanjutnya aitu membuat formulir
merasa tertarik untuk mengetahui daftar kegiatan perawat yang dapat
bagimana hubungan beban kerja diklasifikasikan dalam kegiatan
perawat dengan perilaku pencegahan prosuktif dan tidak produktif. Kegiatan
infeksi di Rumah Sakit Budi Lestari pengamatan dilakukan dengan interval
Bekasi. Tujuan penelitian ini adalah 2-15 menit tanpa memperhatikan
untuk mengetahui hubungan beban kualitas kerjanya.
kerja perawat dengan perilaku
pencegahan infeksi di Rumah Sakit Perilaku seseorang dipengaruhi
Budi Lestari Bekasi. oleh faktor pekerjaan. Faktor pekerjaan
terdiri dari beban kerja dan stress
dalam pekerjaan. Beban kerja berkaitan
dengan tuntutan pekerjaan yang harus
Beban Kerja diselesaikan. Beban kerja yang
berlebihan juga sebagai pemicu
Analisis beban kerja adalah upaya timbulnya stress dalam pekerjaaj.
menghitung beban kerja pada satuan Beban kerja yang tinggi dan stress
kerja dengan cara menjumlahkan dalam pekerjaan dapat mempengaruhi
semua beban kerja dan membagi perilakuindividu termasuk dalam
dengan kapasitas perorangan persatuan menerapkan kewaspadaan universal
waktu. Beban kerja perawat merupakan (Sunaryo, 2004).
kegiatan yang dilakukan perawat
selama bekerja. Kegaitan perawat
menurut Gillies (1994) terdiri dari
kegiatan langsung keperawatan, Pencegahan Infeksi
kegaitan tidak langsung, kegiatan
pribadi dan kegaitan tidak produktif. Pencegahan infeksi adalah bagian
Perhitungan beban kerja dapat esensial dari asuhan lengkap yang
dilakukan berdasarkan need, demand, diberikan kepada pasien dilksankan
rasio dengan standar dan dilakukan secara rutin, saat memberikan asuhan
dengan cara work sampling, time dan dasar selama kunjungan. Tindakan ini
motion study, daily log serta self harus diterapkan dalam setiap aspel
assesment. asuhan untuk melindungi pasien,
keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
Work sampling adalah pengukurn Selain itu upaya-upaya menurunkan
kegiatan kerja dari karyawan dengan resiko terjangkit atau terinfeksi
melakukan pengamatan dan pencatatan, mikroorganisme yang menimbulkan
dimana jumlah sampel pengamatan penyakit-penyakit berbahaya
dilakukan secara acak. Pengukuran ini (Wiknjosastro, 2008).
berfokus pada aktivitas yang dilakukan
karyawan pada jam kerja (Ilyas, 2013). Prinsip utama perilaku
Aktivitas karyawan yang berkaitan pencegahan infeksi sesuai
dengan fungsi dan tugasnya, proporsi kewaspadaan unversal menurut
waktu kerja dengan aktivitas produktif Kemenkes (2010) menjaga hygiene

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 51
sanitasi individu, hygiene sanitasi perawat dalam pencegahan infeksi.
lingkungan dan sterilisasi peralatan. Kuisioner telah diujicon=ba pada 30
Prinsip tersebut dijabarkan dalam responden dengan hasil validitas lebih
kegiatan mencuci tangan guna dari 0,367-0,887 dan reliabitas 0,932.
mencegah infeksi siling, penggunaan Peneliti menjelaskan tujuan penelitian
alat pelindung diri (APD), pengelolaan dan cara pengisian kuisioner. Sebelum
alat bekas pakai, pengelolaan jarum mengisi kuisioner perawat
dan alat bekas pakai, pengelolaan jarun menadatangai inform concent atau
dan alat tajam untuk mencegah lembar persetujuan kesediaan menjadi
perlukaan, pengelolaan limbah dan responden. Selanjunya responden
sanitasi ruangan. mengisi kuisoner selama 10-15 menit.

Hipotesis Analisis data dengan


menggunakan software komputer. Hasil
Variabel independen yaitu faktor analsisi berupa analisis univariat dan
pekerjaan yang meliputi beban kerja, bivariat. Analisis bivariat untuk
sedangkan variabel dependennya mengetahui distribusi frekuensi beban
perilaku pencegahan infeksi perawat di kerja dan perilaku pencegahan infeksi
Rumah Sakit Budi Lestari. Hipotesis dengan mengelompokkan kedua
mayor yaitu ada hubungan beban kerja variabel secara kategorik. Analisis
dengan perilaku pencegahan infeksi bivariat dengan menggunakan chi-
pada perawat di Rumah sakit Budhi square untuk mengetahui hubungan
Lestari Bekasi. kedua variabel beban kerja dan perilaku
pencegahan infeksi perawat di Rumah
2. METODE PENELITIAN Sakit Budi Lestari Bekasi.
Metode penelitian ini mengunakan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
analisis deskriptif korelasi dengan Tabel 1
pendekatan cross sectional secara Distribusi Frekuensi Beban Kerja
ramdon sampling. Penelitian ini dan Perilaku Pencegahan Infeksi
dilakukan di Rumah sakit Budi Lestari di Rumah Sakit Budi Lestari
Bekasi, Sampel yaitu perawat yang Bekasi
bekerja di ruang rawat inap sejumlah 48
Variabel F %
orang. Sampel telah memenuhi kriteria
Beban Kerja Perawat
inklusi yang telah ditetapkan.
- Tinggi 40 83,3
Beban kerja yang dimaksud adalah - Rendah 8 16,7
seluruh aktivitas perawat di ruang rawat Perilaku Pencegahan
inap selama satu shift. Sedangkan Infeksi
perilaku pencegahan infeksi adalah - Kurang 9 18,8
seluruh aktivitas perawat yang - Baik 39 81,2
menunjukkan pencegahan infeksi
selama bekerja satu shift. Perilaku
pencegahan infeksi yaitu hand hygiene, Tabel 1 menunjukkan beban kerja
penggunaan alat pelindung diri, perawat di Rumah sakit Budi Lestari
desinfeksi alat bekas pakai, pemberian sebagian besar merasa tinggi yaitu
injeksi dan jarum bekas pakai, dll. 83,3% dan 16,7% merasa beban kerja
rendah.
Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan kuisioner tentang Sebagain besar perawat merasa
beban kerja perawat dan perilaku bahwa pekerjaannya sebagai perawat

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 52
sangat kelelahan dalam bekerja di Perilaku pencegan infeksi yang
ruangan karena kadang-kadang sering telah ditunjukkan ole peraat di rumah
melakukan tugas diluar keperawatan Sakit Budi Lestari Bekasi adalah
sehingga menghabiskan energi yang mencuci tangan sebelum dan sesudah
seharsunya dgunakan untuk melakukan kontak dengan pasien, sebelum masuk
asuhan keperawatan. Merian dan lingkungan rumah sakit dan sesudah
Tresch (1997) dalam Muslimah 2015 meninggalkan lingkungan pelayanan
dengn jurnalnya yang berjudul “A pasien serta setelah kontak dengan
Performance-Based Clinical cairan tubuh pasien. Perilaku tersebut
Achievement 6 Program” menyatakan sesuai dengan hand hygiene dalam
bahwa untuk memenuhi standar Joint sasaran keselamatan pasien dalam
Commision on Accreditation of Permenkes No 1691 tahun 2011
Healthcare Organization (JCAHO), tentang Keselamtan Pasien di Rumah
tugas perawat dalam memberikan Sakit pada sasaran 5. Sasaran tersebut
asuhan keperawatan harus dicantumkan menyebutkan rumah sakit
secara spesifik. Tugas perawat yang mengembangkan suatu pendekatan
dijabarkan dalam uraian tugas untuk mengurangi risiko infeksi yang
digunakan sebagai standar untuk terkait pelayanan kesehatan. Salah satu
melakukan penilaian kinerja (JCAHO upaya untuk eliminasi infeksi adalah
dalam Marquis dan Huston, 2010). cuci tangan (hand hygiene) yang tepat.
Uraian tugas akan berdampak pada Artinya jika mengharapkan pasien
proses penilaian kinerja apabila uraian terhindar dari infeksi silang maka hand
tugas setiap perawat dibuat berdasarkan hygiene harus dilakukan.
level atau jenjang kompetensinya.
Hasil penelitian yang dilakukan
Perawat pelaksanan di Rumas oleh Sulistyowati (2016) bahwa
sakit Budi Lestari Bekasi mengatakan perilaku perawat dalam pencegahan
jumlah pasien sangat banyak sehingga infeksi nosokomial di ruang bedah
saya sering merasa lelah karena sering RSUD Dr. Moewardi sebagian besar
kelabakan karena volume pekerjaan dalam kategori baik sebanyak 18
terlalu banyak dan kompleks sehingga responden (60%). Hal ini didukung
sangat menyulitkan. Hal tersebut sesuai dengan hasil observasi yang dilakukan
dengan hasil penelitian Werdani (2016) peneliti pada perawat di ruang bedah
menjelaskan beban kerja mental RSUD Dr. Moewardi bahwa kegiatan
perawat yaitu tingginya level yang cuci tangan sebelum melakukan
dicapai pada tingkatan beban kerja tindakan 30%, cuci tangan setelah
mental perawat ini kemungkinan melaukan tindakan 100%. Perawat
disebabkan oleh besarnya persentase lebih sering mencuci tangan setelah
BOR di ketiga rumah sakit yaitu tindakan dibandingkan dengan sebelum
mencapai ± 80% dengan tingkat tindakan. Padahal sebenarnya resiko
ketergantungan pasien rata-rata adalah infeksi nosokomial terhadap pasien
total care yaitu sebesar 35.5%. justru dapt dibawa oleh perawat dari
pasien lain atau dari perawat ketika
Hasil penelitian pada tabel 1 melakukan tindakan pada pasien. Jika
menunjukkan perilaku pencegahan perawat tidak mencuci tangan sebelum
infeksi pada perawat di Rumah sakit tindakan maka sangat besar resiko
Budi Lestari sebagian besar sudah baik infeksi nosokomial yang dibawa oleh
881,2% tetapi masih ada yang kurang perawat untuk pasien.
18,8%.
Perilaku lain yang telah

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 53
ditunjukkan oleh perawat di Rumah Tabel 2 menunjukkan ada 5 dari 40
Sakit Budi Lestari Jakarta adalah perawat yang beban kerja memiliki
penggunaan spuit hanya untuk sekali beban kerja tinggi mempunyai perilaku
pakai, perawat selalu mencuci alat-alat pencehan infeksi kurang dan 35 dari 40
kesehatan setelah digunakan serta (87,5%) perawat yang memiliki beban
membuang sampah sesuai dengan kerja tinggi mempunyai perilaku
sampah medis dan non medis. Hal yang pencegan infeksi yang baik. Sedangkan
sama hasil penelitian yang dilakukan 4 dari 8 (50,0%) perwaat yang memiliki
oleh Bachroen dkk (2000) menunjukan beban kerja rendah mempunyai perilaku
masih didapatinya beberapa tindakan pencegahan infeksi yang kurang dan 4
petugas yang potensial meningkatkan dari 8 (50,0%) perawat yang memiliki
penularan penyakit kepada diri mereka, beban kerja rendah mempunyai perilaku
pasien yang dilayani dan masyarakat pencehan infeksi yang baik. Hasil uji
luas, diantaranya (1) cuci tangan yang chi-square menunjukkan hasil p value
kurang benar; (2) penggunaan sarung 0,031 kurang dari 0,05 artinya ada
tangan yang kurang tepat; (3) hubungan antara beban kerja dengan
penutupan kembali jarum suntik secara perilaku pencegahan infeski pada
tidak aman; (4) pembuangan peralatan perawat di Rumah Sakit Budi Lestari
tajam secara tidak aman; (5) teknik Jakarta.
dekontaminasi dan sterilisasi peralatan
kurang tepat; (6) praktik kebersihan Hasil penelitian tersebut sejalan
ruangan yang belum memadai. dengan Tawas (2016) menunjukan
bahwa terdapat hubungan yang
Pada hasil penelitian ditemukan signifikan antara motivasi, kompetensi,
perawat yang perilaku pencegahan supervisi dan beban kerja denga
infeksi masih kurang. Hal tersebut penerapan universal precaution oleh
menunjukkan salah satunya dapat perawat di di ruang rawat inap bedah
disebabkan pengetahuan perawat yang (IRINA A) RSUP Prof. Dr. R. D.
masih kurang. Akibat pengetahuan Kandou Manado . Beban kerja
yang kurang dapat menjadi kurangnya termasuk dalam salah satu variabel
kesadaran perawat untuk melakukan pemicu stress dilingkungan kerja.
tindakan dengan tepat. Hal teresbut Hasibuan (2012) menyebutkan bahwa
sesuai dengan hasil penelitian faktor penyebab stress karyawan adala
Sulistyorini yaitu ada hubungan antara beban kerja yang sulit dan berlebihan,
tingkat pengetahuan perawat tentang tekanan dan sikap pimpinan yang
infeksi nosokomila dengan perilaku kurang adil dan wajar, waktu dan
pencegahan infeksi nosomkomial di perawlatan kerja yang kurang
ruang bedah RSUD Dr. Moewardi meemadai, konflik antara pribadi dan
Surakarta. pimpinan atau kelompok kerja, nalas
jasa yang terlalu rendah serta masalah
Tabel 2 keluarga.
Distribusi Beban Kerja Perawat menurut
Perilaku Pencegahan Infeksi Stres yang berkepanjangan atau
Perilaku Pencegahan p berlebihan harus ditangani, dan baik
Variabel
Infeksi value individu maupun organisasi memiliki
Kurang Baik
tanggung jawab untuk mengambil
Beban tindakan yang tepat. Ada sejumlah cara
kerja yang dapat dilakukan seseorang untuk
5 35 0,031
Tinggi
(12,5%) (87,5%) mengendalikan stres berlebihan
4 4 (Mondy, 2008); Hidayat (2008) yaitu
Rendah
(50,0%) (50,0%)

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 54
olah raga, istirahat cukup, mengikuti Hasibuan, M., 2012. Manajemen
kebiasaan diet yang sehat, menemukan Sumber Daya Manusia. Edisi
seseorang yang mau mendengar, Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.
membangun keteraturan dalam hidup, Ilyas, Y. 2013, Perencanaan SDM
memanfaatkan waktu luang dengan Rumah Sakit, Fakultas
melakukan aktivitas yang Kesehatan.
meyenangkan. Kemenkes RI, 2010. Pedoman
Pelaksanaan Kewaspadaan
4. KESIMPULAN Universal di Pelayanan
Kesehatan.Jakarta
Sesuai hasil penelitian dapat Marquish, B.L., Huston, C. J. 2000.
dibuat simpulan sebagian besar perawat Leadership roles and manageme
di Rumah Sakit Budi Lestari Bekasi nt functions innursing.
memiliki beban kerja yang tinggi Philadelphia: JB Lippincott
(83,3%), sebagaian besar perilaku Munandar, 2005. Psikologi Industri dan
pencegan infeksi pada perawat baik Organisasi, UI-Press :Jakarta.
(81,2%) serta terdapat hubungan yang Muslimah, F. 2015. Hubungan Beban
signifikan antara beban kerja dengan Kerja dengan Kinerja Peraat di
perilaku pencegahan infeksi pada Raung Rawat Inap Rumah Sakit
perawat di Rumah Sakit Budi Lestari Umum Daerah dr. Rasidin
Bekasi. Padang. Skripsi. Fakultas
Saran yang direkomendasikan Keperawatan Universitas
yaitu pembagian beban kerja yang Andalas Padang.
seimbang antar perawat sesuai dengan repo.unand.ac.id/148/
tingkat ketergantungan pasien, Nursalam. 2013. Manajemen
melakukan rotasi tempat kerja secara keperawatan : Aplikasi dalam
berkala, motivasi perawat untuk praktik keperawatan profesional.
melakukan manajemen stress, (edisi ke-3). Jakarta : Salemba
melakukan pelatihan dan refeshing bagi Medika
perawat tentang keselamatan pasien Sulistyowati, D. 2016. Hubugan Tingkat
serta pemasangan poster motivasi Pengetahuan dan Sikap Perawat
untuk melakukan pencegahan infeksi. tentang Infeksi Nosokomial
dengan Perilaku Pencegahan
5. REFERENSI Infeksi Nosokomial di Ruang
Dewi, R. 2012. Pengaruh Fasilitas Bedah Rumah Sakit Umum
Terhadap Motivasi Kerja Perawat Di Daerah dr. Moewardi Surakarta.
Instalasi Rawat Inap BLUD RS Kementerian Kesehatan
Sekarwangi Kabupaten Sukabumi. Politeknik Kesehatan Surakarta
Jurnal Health Society. Kajian Ilmu Jurusan Keperawatan. Jurnal
Kesehatan Wahana Kesehatan Wahana Keperawatan Global, Volume 1,
Pendidikan Kesehatan yang Kompetitip No1, Juni 2016 hlm 01-
No. 1 Vol. 2 Oktober 2012 54.jurnal.poltekkes-
Gibson, Ivancevich, & Donnelly, 1996; solo.ac.id/index.php/JKG/article
Robbins, 2003), serta turnover /download/.../185
(Tomey, 2003), pencurian Tawas. GBS., Abeng. TDE., Manoppo.
(Davis & Newstrom, 2004) C. 2016. Faktor-faktor yang
Gillies. 1994. Nursing management: Berhubungan dengan Penerapan
System approach. (3th ed), Universal Precaution oleh
philadelpia: W. B. Saunders Co. Perawat di Ruang Rawat Inap
Bedah (IRNA A) RSUP Prof.
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 55
Dr. R. D. Kandau Manado.
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Samratulangi.
https://ejournalhealth.com/index
.php/CH/article/download/.../11
0
Undang-undang U no. 4 tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
Undang-unfang no 38 tahun 2014
tentang Keperawatan
Varleni, R. 2015. Hubungan Ffaktor
Organisasi dengan Kepatuhan
Perawat dalam Penerapan
Kewaspadaan Universal di
Rumah Sakit Inu Sina Padanga
tahun 2015. Skripsi. Fakultas
Keperawatan Universitas
Andalas Padang.
Werdani, Y. D. W., 2016. Pengaruh
Beban Kerja Mental Perawat
terhadap Tingkat kepuasan
Pasien di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Swasta di
Surabaya. Jurnal Ners Lentera,
Vol. 4, No. 2, September 2016.
journal.wima.ac.id/index.php/N
ERS/article/download/873/842

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 56
TATA CARA PENULISAN
ARTIKEL JURNAL KESEHATAN NASIONAL
AKADEMI KEPERAWATAN YASPEN JAKARTA

1. PEDOMAN UMUM
a. Naskah merupakan ringkasan hasil penelitian penulis.
b. Naskah sudah ditulis dalam bentuk format microsoft office word sesuai
dengan template yang disediakan. Template tentang tata cara penulisan artikel.
c. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan huruf Time
New Roman font 11. Panjang naskah sekitar 8-15 halaman dan diketik 1 spasi.
d. Seting halaman adalah 2 kolom dengan equal with coloumn dan jarak antar
kolom 5 mm, sedangkan Judul, Identitas Penulis, dan Abstract ditulis dalam 1
kolom.
e. Ukuran kertas adalah A4 dengan lebar batas-batas tepi (margin) adalah 3,5
cm untuk batas atas, bawah dan kiri, sedang kanan adalah 2,0 cm.

2. SISTIMATIKA PENULISAN
a. Bagian awal : judul, nama penulis, abstraksi.
b. Bagian utama : berisi pendahuluan, kajian literature dan pengembangan
hipotesis jika
ada), metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan,
dan
kesimpulandan saran.
c. Bagian akhir : ucapan terimakasih (jikaada), keterangan simbol (jika ada),
dan daftar pustaka.

3. JUDUL DAN NAMA PENULIS


a. Judul dicetak dengan huruf besar/kapital, dicetak tebal (bold) dengan jenis
huruf Times New Romanfont 12, spasi tunggal dengan jumlah kata maksimum
15.
b. Nama penulis ditulis di bawah judul tanpa gelar, tidak boleh disingkat, diawali
dengan huruf kapital, tanpa diawali dengan kata ”oleh”, urutan penulis adalah
penulis pertama diikuti oleh penulis kedua, ketiga dan seterusnya.
c. Nama perguruan tinggi dan alamat surel (email) semua penulis ditulis di bawah
nama penulis dengan huruf Times New Roman font 10.

4. ABSTRACT
a. Abstract ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, berisi tentang inti
permasalahan/latar belakang penelitian, tujuan, metode, dan hasil yang
diperoleh. Kata abstract dicetak tebal (bold).
b. Jumlah kata dalam abstract tidak lebih dari 250 kata dan diketik 1 spasi.
c. Jenis huruf abstract adalahTimes New Roman font 11, disajikan dengan rata
kiri dan rata kanan, disajikan dalam satu paragraph, dan ditulis tanpa menjorok

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 57
(indent) pada awal kalimat.
d. Abstract dilengkapi dengan Keywords yang terdiri atas 3-5 kata yang menjadi
inti dari uraian abstraksi. Kata Keywords dicetak tebal (bold).

5. ATURAN UMUM PENULISAN NASKAH


a. Setiap sub judul ditulis dengan huruf Times New Romanfont 11 dan dicetak tebal
(bold).
b. Alinea baru ditulis menjorok dengan indent-first line 0,75 cm, antar alinea tidak
diberi spasi.
c. Kata asing ditulis dengan huruf miring.
d. Semua bilangan ditulis dengan angka, kecuali pada awal kalimat dan
bilangan bulat yang kurang dari sepuluh harus dieja.
e. Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas, dan diberi nomor urut.

6. REFERENSI
Penulisan pustaka menggunakan sistem Harvard Referencing Standard. Semua
yang tertera dalam daftar pustaka harus dirujuk di dalam naskah. Kemutakhiran
referensi sangat diutamakan.
A. Buku
[1] Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat).
Tahun
publikasi. Judul Buku cetak miring. Edisi, Penerbit. TempatPublikasi.
Contoh:
O’Brien, J.A. dan. J.M. Marakas. 2011. Management Information
Systems. Edisi 10. McGraw-Hill. New York-USA.

B. ArtikelJurnal
[2] Penulis 1, Penulis 2 dan seterusnya, (Nama belakang, nama
depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel.Nama Jurnal Cetak
Miring. Vol. Nomor. Rentang Halaman.
Contoh:
Cartlidge, J. 2012. Crossing boundaries: Using fact and fiction in adult
learning. The Journal of Artistic and Creative Education. 6 (1): 94-111.

C. Prosiding Seminar/Konferensi
[3] Penulis 1, Penulis 2 dst, (Nama belakang, nama depan disingkat).
Tahun publikasi.
Judul artikel.Nama Konferensi. Tanggal, Bulan dan Tahun, Kota, Negara.
Halaman. Contoh:
Michael, R. 2011. Integrating innovation into enterprise architecture
management. Proceeding on Tenth International Conference on Wirt-
schafts Informatik. 16-18 February 2011, Zurich, Swis. Hal. 776-786.

D. Tesis atau Disertasi


[4] Penulis (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi.
Judul. Skripsi, Tesis, atau Disertasi. Universitas.

Contoh:

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 58
Soegandhi. 2009. Aplikasi model kebangkrutan pada perusahaan daerah di
Jawa Timur.
Tesis. Fakultas Ekonomi UniversitasJoyonegoro, Surabaya.
E. SumberRujukandariWebsite
[5]Penulis. Tahun. Judul.Alamat Uniform Resources Locator (URL). Tanggal
Diakses.

Contoh:
Ahmed, S. dan A. Zlate. Capital flows to emerging market economies: A
brave new world?http://federalreserve.gov/pubs/ifdp/2013/1081/ifdp1081.pdf
Diakses tanggal 18 Juni 2017.

7. ATURAN TAMBAHAN
7.1 Penulisan Tabel

Tabel diberi nomor sesuai urutan penyajian (Tabel 1, dst.), tanpa garis batas kanan
atau kiri. Judul table ditulis dibagian atas table dengan posisi rata tengah (center
justified) seperti contoh berikut.

Tabel 1. Perbandingan Acid danEnsimatis


Hidrolisat Acid Ensimatis
Total sugar (g) 5,5 3,9
Rhamnose 2,5 1,3
Fucose 2,0 1,2
Manose 0,5 1,0
7.2 Gambar
Gambar diberi nomor sesuai urutan penyajian (Gambar.1, dst.). Judul gambar
diletakkan dibawah gambar dengan posisi tengah (center justified) seperti contoh
berikut.

Gambar 1. Mikroskopiisolat VTM1, VTM5, VTM6, VTM9dan VT 12.

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 59
Template Jurnal

JUDUL DITULIS DENGAN

FONT TIMES NEW ROMAN 12


CETAK TEBAL (MAKSIMUM 12
KATA)

Penulis11), Penulis22)dst. [Font Times New Roman 10 Cetak Tebal dan Nama Tidak
Boleh Disingkat]
1
Nama Fakultas, nama Perguruan Tinggi
(penulis1)

email: penulis _1@abc.ac.id


2
Nama Fakultas, nama Perguruan Tinggi
(penulis 2)

email: penulis _2@cde.ac.id

Abstract [Times New Roman 11 Cetak Tebal dan


Miring]

Abstract ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang berisikan isu-isu
pokok, tujuan penelitian, metoda/pendekatan dan hasil penelitian. Abstract ditulis
dalam satu alenia, tidak lebih dari 200 kata. (Times New Roman 11, spasi tunggal,
dan cetak miring).

Keywords: Maksimum 5 kata kunci dipisahkan dengan tanda koma. [Font Times New
Roman 11spasi tunggal, dan cetak miring]

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 60
1. PENDAHULUAN [Times New 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Roman 11 bold]
Bagian ini menyajikan hasil
Pendahuluan mencakup latar penelitian. Hasil penelitian dapat
belakang suatu permasalahan serta dilengkapi dengan tabel, grafik
urgensi dan rasionalisasi kegiatan (gambar), dan/atau bagan. Bagian
(penelitian atau pengabdian). Tujuan pembahasan memaparkan hasil
kegiatan dan rencana pemecahan pengolahan data, menginterpretasikan
masalah disajikan dalam bagian ini. penemuan secara logis, mengaitkan
Tinjauan pustaka yang relevan dan dengan sumber rujukan yang relevan.
pengembangan hipotesis (jika ada) [Times New Roman, 11, normal].
dimasukkan dalam bagian ini. [Times
New Roman, 11, normal].
4. KESIMPULAN
2. METODE PENELITIAN
Kesimpulan berisi rangkuman
Metode penelitian menjelaskan singkat atas hasil penelitian dan
rancangan kegiatan, ruang lingkup atau pembahasan. [Times New Roman, 11,
objek, bahan dan alat utama, tempat.
normal].
Teknik pengumpulan data, definisi
operasional variable penelitian, dan
teknik analisis. [Times New Roman, 5. REFERENSI
11, normal].
Penulisan naskah dan sitasi
yang diacu dalam naskah
ini disarankan menggunakan aplikasi
referensi (reference manager) seperti
Mendeley, Zotero, Reffwork, Endnote
dan lain-lain. [Times New Roman, 11,
normal].

Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 61
Jurnal Kesehatan Nasional Akper Yaspen Jakarta Vol. 1 No.1 Desember 2017 i

Anda mungkin juga menyukai