Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TERAPI BERMAIN

BAB I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Perkembangan anak yang optimal pada usia dini akan menjadi penentu
bagi tahap-tahap perkembangan selanjutnya (Nugroho, 2010). Anak usia
prasekolah yang merupakan bagian dari anak usia dini yang berada pada
rentang usia lahir sampai 6 tahun dan fase ini merupakan usia emas (golden
age) karena pada usia ini anak memiliki peranan penting untuk
mengembangkan berbagai potensi ( Depkes, 2010). Stimulasi yang kurang
pada anak dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang yang akan
mempengaruhi perilaku anak dikemudian hari.
Bermain bagi anak usia dini sangatlah penting, dengan bermain maka
proses belajar akan efektif danlebih cepat ditangkap pada saat mereka
bermain serta salah satu manfaat dari bermain baik untuk pengembangan
kognitif anak (Fadlillah, 2014). Menurut Piaget kemampuan kognitif adalah
hasil dari hubungan perkembangan otak dan system nervous dan pengalaman-
pengalaman yang membantu individu untuk beradaptasi dengan
lingkungannya (Kliegman dkk, 2012).
Kemampuan Kognitif anak dapat ditunjukan dengan cara melaksanakan
kegiatan bermain menggunakan alat permainan yang mengandung unsur atau
nilai edukatif. Sedangkan perkembangan kognitif adalah Perkembangan
berfikir atau kecerdasan, yaitu kemampuan untuk mempelajari keterampilan
dan konsep baru, keterampilan untuk memahami apa yang terjadi di
lingkungannya, serta keterampilan menggunakan daya ingat dan
menyelesaikan soal-soal sederhana (Wiyani, 2014). Menurut Soetjiningsih
(2012) APE (Alat Permainan Edukatif), dapat mengoptimalkan
perkembangan anak, disesuaikan dengan usia dan tingkat perkembangannya.
Permainan puzzle, merupakan jenis permainan edukatif untuk melatih pola
pikir anak dalam menyusun potongan-potongan menjadi satu kesatuan yang
mempunyai bentuk yang utuh (Wahyuni & Maureen dalam Astuti, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amala (2015) terdapat
pengaruh bermain puzzle terhadap perkembangan fungsi kognitif anak TK di
Kecamatan Pinogaluman Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Selain itu
penelitian yang dilakukan oleh Hasana (2013) menunjukkan adanya pengaruh
alat permainan edukatif terhadap aspek perkembangan anak pra sekolah di
wilayah puskesmas Ondong.
Menurut DepKes RI (2010), bahwa 0,4 juta (16%) balita Indonesia
mengalami gangguan perkembangan, baik perkembangan motorik kasar
maupun halus, gangguan pendengaran, kecerdasan kurang dan keterlambatan
bicara. Sedangkan data persentasi penduduk tuna aksara 2014 yang dirilis
oleh Direktorat Jendral (Dirjen) pendidikan anak usia dini dan pendidikan
masyarakat tahun 2015 tercatat 1,2 % dari total penduduk Bolsel tahun 2014
sebesar 64 ribu jiwa masih buta aksara (Raldy, 2016).
Masuk rumah sakit merupakan peristiwa yang sering menimbulkan
pengalaman traumatik, khususnya pada pasien anak yaitu ketakutan dan
ketegangan atau stress hospitalisasi. Stress ini disebabkan oleh berbagai faktor
diantaranya perpisahan dengan orang tua, kehilangan control, dan akibat dari
tindakan invasif yang menimbulkan rasa nyeri. Akibatnya akan menimbulkan
berbagai aksi seperti menolak makan, menangis, teriak, memukul, menyepak,
tidak kooperatif atau menolak tindakan keperawatan yang diberikan
(Handayani & Dewi, 2010).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan pengaruh
hospitalisasi pada anak yaitu dengan melakukan kegiatan bermain. Bermain
merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh
kesenangan dan kepuasan. Bermain merupakan aktivitas yang dapat
menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak dan merupakan cerminan
kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial sehingga bermain
merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain anak-anak
akan belajar berkomunikasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru,
melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan dapat mengenal waktu, jarak
serta suara (Handayani & Dewi, 2010).
Bermain merupakan suatu aktivitas bagi anak yang menyenangkan dan
merupakan suatu metode bagaimana mereka mengenal dunia. Bagi anak
bermain tidak sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak
seperti halnya makanan, perawatan, cinta kasih dan lain-lain. Anak-anak
memerlukan berbagai variasi permainan untuk kesehatan fisik, mentaldan
perkembangan emosinya (Adriana, 2013).
Dengan bermain anak dapat menstimulasi pertumbuhan otot-ototnya,
kognitifnya dan juga emosinya karena mereka bermain dengan seluruh
emosinya, perasaannya dan pikirannya. Elemen pokok dalam bermain adalah
kesenangan dimana dengan kesenangan ini mereka mengenal segala sesuatu
yang ada disekitarnya sehingga anak yang mendapat kesempatan cukup untuk
bermain juga akan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk mengenal
sekitarnya sehingga ia akan menjadi orang dewasa yang lebih mudah
berteman, kreatif dan cerdas, bila dibandingkan dengan mereka yang masa
kecilnya kurang mendapat kesempatan bermain (Adriana, 2013).
Anak-anak pada usia pre-school senang bermain dengan puzzle, oleh
karena itu, merangkai puzzle bisa menjadi alternatif untuk mengembangkan
kreatifitas anak dan dapat menurunkan tingkat kecemasan pada anak selama
dirawat. Salah satu karakteristik perkembangan motorik halus pada anak pre-
school adalah mampu merangkai gambar dengan baik. Dengan permainan
puzzle merangkai gambar menjadi salah satu media bagi perawat untuk
mampu mengenali tingkat perkembangan anak (Handayani & Dewi, 2010).

B. Perumusan Masalah
Penerapan menggunakan media puzzle dalam proses pembelajaran akan
menstimulus anak untuk ikut aktif dalam pembelajaran. Adapun manfaat
puzzle yaitu dapat meningkatkan perhatian anak dalam proses pembelajaran,
suasana kelas menjadi aktif, dan menumbuhkan pemikiran yang teratur
melalui gambar. Media puzzle juga dapat menstimulus anak lebih aktif
mengikuti pembelajaran, warna dan potongan gambar yang bervariasi,
memudahkan dalam menyampaikan materi.
Permainan puzzle bisa memberikan kesempatan belajar yang banyak
kepada anak. Memainkan puzzle bersama-sama dapat merekatkan hubungan
antara orang tua dan anak. Permainan puzzle memberikan tantangan tersendiri
untuk anak disaat anak berada dalam kondisi bingung sebagai orang tua dapat
menyemangati anak agar tidak patah semangat. Semangat yang diperoleh
anak dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan merasa mampu
menyelesaikan permainan puzzle tersebut. Rasa percaya diri dapat menambah
rasa aman kepada anak sehingga anak akan lebih aktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan lainnya. Yulianty (2011) menjelaskan kecerdasan otak anak
akan terlatih karena permainan puzzle yang melatih sel-sel otak untuk
memecahkan masalah. Mencoba beberapa cara memasangkan kepingan
berupa potongan-potongan gambar maka anak dilatih berpikir kreatif.
Memadukan atau memasangkan kepingan puzzle membantu anak memahami
logika sebab akibat dari masalah dan gagasan bahwa objek yang utuh
sebenarnya tersusun dai bagian-bagian yang kecil. Permainan puzzle melatih
koordinasi tangan dan mata anak dikarenakan anak harus mencocokan
keping-keping puzzle dan menyusunnya menjadi satu gambar utuh,
membantu anak mengenal bentuk dan merupakan langkah penting menuju
pengembangan keterampilan membaca. Aktivitas permainan puzzle,
kesabaran akan terlatih karena saat bermain puzzle di butuhkan kesabaran
dalam menyelesaikan permasalahan. Permainan puzzle memberikan
pengetahuan kepada anak-anak untuk mengenal warna dan bentuk. Anak juga
akan belajar konsep dasar binatang, alam sekitar, jenis-jenis benda, anatomi
tubuh manusia, alphabet dan lain-lain. Di usia prasekolah perhatian anak
terhadap ciri fisik objek (bentuk, warna, tekstur, dan lainnya) semakin detail.
Pengetahuan diperoleh dari cara ini lebih mengesankan bagi anak dibanding
dengan pengetahuan yang dihafalkan.

C. Tujuan Kegiatan
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti terapi bermain pada anak selama ± 30 menit, anak
diharapkan bias mengekspresikan perasaannya dan menurunkan
kecemasannya, merasa tenang selama perawatan di rumah sakit dan tidak
takut lagi terhadap perawat sehingga anak bisa merasa nyaman selama
dirawat di rumah sakit, serta dapat melanjutkan tumbuh kembang anak
yang normal atau sehat.
2. Tujuan Khusus
Setelah mendapatkan terapi bermain satu kali diharapkan anak mampu :
a. Bisa merasa tenang selama dirawat Anak bisa merasa senang dan
tidak takut lagi dengan dokter dan perawat mau melaksanakan anjuran
dokter dan perawat
b. Gerakan motorik halus pada anak lebih terarah
c. Dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebaya yang
dirawat di ruang yang sama
d. Ketakutan dan kejenuhan selama dirawat anak dengan berdoa sebelum
dan sesudah kegiatan
e. Melatih sosial emosi anak.

D. Manfaat Kegiatan
Manfaat yang didapat dari terapi bermain, antara lain :
1. Membuang ekstra energi.
2. Mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian tubuh, seperti tulang,
otot dan organ-organ.
3. Aktivitas yang dilakukan dapat merangsang nafsu makan anak.
4. Anak belajar mengontrol diri.
5. Berkembanghnya berbagai ketrampilan yang akan berguna sepanjang
hidupnya.
6. Meningkatnya daya kreativitas.
7. Mendapat kesempatan menemukan arti dari benda-benda yang ada
disekitar anak.
8. Merupakan cara untuk mengatasi kemarahan, kekuatiran, iri hati dan
kedukaan.
9. Kesempatan untuk bergaul dengan anak lainnya.
10. Kesempatan untuk mengikuti aturan-aturan.
11. Dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya.

BAB II. Target dan Luaran Kegiatan


A. Target
1. Anak usia preschool (3-6 tahun)
2. Tidak mempunyai keterbatasan fisik
3. Dapat berinteraksi dengan perawat dan keluarga
4. Pasien kooperatif
5. Peserta terdiri dari : anak usia pra sekolah dan sekolah sebanyak 3 orang
didampingi keluarga

B. Luaran Kegiatan
Aktivitas bermain yang dilakukan perawat pada anak di RS akan
memberikan keuntungan sebagai berikut :
1. Meningkatkan hubungan klien dan perawat
2. Aktivitas beramain yang terprogram akan memulihkan perasaan mandiri
pada anak.
3. Permainan di RS membantu anak mengekspresikan perasaannya.
4. Permainan yang terapeutik akan membentuk tingkah laku yang positif.
Prinsip-prinsip bermain di rumah sakit :
1. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan
sederhana.
2. Relatif aman dan terhindar dari infeksi silang.
3. Sesuai dengan kelompok usia.
4. Permainan tidak boleh bertentangan dengan terapi yang sedang
dijalankan.
5. Perlu partisipasi orang tua dan keluarga.
Tekhnik Bermain di Rumah Sakit :
1. Berikan alat permainan untuk merangsang anak bermain sesuai dengan
umur perkembangannya
2. Berikan cukup waktu dalam bermain dan menghindari interupsi
3. Berikan permainan yang bersifat mengurangi sifat emosi anak
4. Tentukan kapan anak boleh keluar atau turun dari tempat tidur sesuai
dengan kondisi anak.

BAB III. Metodelogi Pelaksanaan


A. Lokasi dan Waktu Kegiatan
Lokasi : Bangsal Arofah
Waktu Kegiatan : Kamis, 05 Maret 2020
Pukul : 10.00-10.30 WIB

B. Metode, Alat dan Bahan


1. Metode
a. Ceramah
b. Bermain Bersama
c. Mendengarkan tanggapan anak
d. Tanya jawab
2. Alat dan Bahan
a. Puzzle
b. Bolpoint
c. Kertas
d. Karpet

C. Tahapan Kegiatan
1. Persiapan
a. Menyiapkan ruangan
b. Menyiapkan alat-alat
c. Menyiapkan anak dan keluarga
d. Kontrak waktu dengan anak dan keluarga
2. Kerja
a. Membuka proses terapi bermain dengan mengucapkan salam dan
memperkenalkan diri.
b. Menjelaskan pada anak dan keluarga tentang tujuan dan manfaat
bermain serta menjelaskan cara permainan.
c. Membagikan permainan dan mengajak anak bermain
d. Leader, co leader dan fasilitator memotivasi anak untuk bermain agar
anak dapat kooperatif
e. Observer mengobservasi anak
f. Mengevaluasi respon anak dan keluarga.
3. Penutup
a. Menanyakan perasaan anak
b. Menyampaikan hasil permainan
c. Menyimpulkan hasil dari terapi bermain puzzle
d. Mengucapkan salam

BAB IV. Hasil dan Pembahasan


A. Hasil
1. Struktur Terapi Bermain
a. Persiapan media terapi bermain
1) Puzzle
2) Tikar
b. Kelengkapan jumlah mahasiswa :
1) Leader (1)
2) Co-leader (1)
3) Fasilitator (2)
4) Observer (1)
2. Proses Terapi Bermain
a. Pembukaan, Leader :
1) Membuka acara terapi bermain dengan mengucapkan salam
2) Memperkenalkan diri dan Meminta peserta menyebutkan nama
3) Menjelaskan kontrak waktu
4) Menjelaskan permainan apa yang dilakukan dan tujuan terapi
bermain
5) Memberikan contoh kepada peserta cara bermain puzzle
6) Memimpin jalannya permainan dari awal ampai akhir.
b. Pelaksanaan
Co-leader :
1) Membantu leader menjelaskan cara bermain kepada peserta
2) Membantu leader memberikan contoh kepada peserta cara
bermain puzzle
3) Memberikan kesempatan pada peserta untuk ikut memulai
permainan
4) Mengatur waktu permainan
Fasilitator :
1) Mengarahkan peserta untuk bermain
2) Memotivasi peserta dalam menyelesaikan permainan
3) Membantu leader dalam mengkondisikan peserta agar fokus pada
jalannya permainan
Pelaksanaan terapi berlangsung tepat waktu
c. Evaluasi : Observer
1) Memberikan check list pada lembar evaluasi kemajuan peserta
2) Memberikan penilaian kemampuan anak berdasarkan kriteria di
lembar evaluasi kemajuan.
d. Terminasi :
1) Memberikan reward (puzzle) kepada peserta terbaik oleh leader
dan fasilitator.
2) Memberikan trik penyelesaian tugas dalam permainan puzzle
3) Leader mengucapkan terima kasih
3. Hasil Terapi Bermain
Peserta Terapi Bermain
a. Peserta antusias mengikuti kegiatan terapi bermain
b. Peserta mengikuti terapi bermain sampai dengan selesai
c. Anak mampu menyelesaikan setidaknya menyusun semua kepingan
pada tahap sulit dan mampu menyusun setidak separo kepingan ringan
dan sedang dalam waktu yang telah ditentukan.
4. Hasil Evaluasi Kemampuan Anak
a. Kategori Kognitif
Kategori kemampuan anak kognitif mayoritas anak mampu mengerti
dan menjelaskan yang terkandung dalam permainan dengan bantuan
orang lain serta anak mampu menyelesaikan tugas dalam permainan
diberbagai tahapan yaitu tahap ringan, tahap sedang dan tahap sulit
dengan bantuan orang lain
b. Kategori Sosial
Kategori kemampuan anak sosial mayoritas anak mau
memperkenalkan diri didepan teman sepermainan, anak mampu
berkomunikasi baik dengan teman sepermainan dan anak mampu
berkomunikasi baik dengan perawat dengan motivasi orang lain.
c. Kategori Afektif
Kategori kemampuan anak afektif mayoritas anak dapat mematuhi
peraturah permainan dengan motivasi orang lain.

B. Pembahasan
Dari hasil terapi bermain pada anak usia pra sekolah (3-6 tahun), kategori
kemampuan anak kognitif mayoritas anak mampu mengerti dan menjelaskan
yang terkandung dalam permainan dengan bantuan orang lain serta anak
mampu menyelesaikan tugas dalam permainan diberbagai tahapan yaitu tahap
ringan, tahap sedang dan tahap sulit dengan bantuan orang lain. Menurut
Erikson (dalam Desmita, 2011) menyatakan kemandirian merupakan usaha
untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan
dirinya melalui proses mencari identitas ego, yakni merupakan perkembangan
kearah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Kemandirian biasanya
ditandai dengan kemampuan menentukkan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif,
mengatur tingkah laku, bertanggungjawab, mampu menahan diri, membuat
keputusan keputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada
pengaruh dari orang lain. Kemandirian meruapakan suatu sikap otonomi
dimana diaman peserta didik secara relative bebas dari pengaruh penilaian,
pendapatan, dan keyakinan orang lain. Melalui bermain dan berkomunikasi
yang dijadwalkan sebagai program untuk memandirikan anak mengenai hal-
hal yang telah dilakukan apabila berbuat salah anak tidak jera tetapi anak
akan terus berusaha untuk lebih baik, mencari solusi belajar dari kesalahan,
sehingga muncul rasa percaya diri dan tumbuhnya kemandirian anak karena
pada kenyataannya disamping anak dalam keluarga dan di sekolah.
Pada kategori kemampuan anak sosial mayoritas anak mau
memperkenalkan diri didepan teman sepermainan, anak mampu
berkomunikasi baik dengan teman sepermainan dan anak mampu
berkomunikasi baik dengan perawat dengan motivasi orang lain. Menurut
Hidayat (2011) menjelaskan proses sosialisasi dapat terjadi melalui
permainan, misalnya pada saat anak akan merasakan kesenangan terhadap
kehadiran orang lain dan merasakan ada teman yang dunianya sama. Pada
usia prasekolah anak sudah mulai menyadari keberadaan teman sebaya,
sehingga diharapkan anak mampu melakukan sosialisasi dengan teman dan
orang lain.
Menurut Mayar (2013), Masa prasekolah sebagai masa bermain, hampir
seluruh kegiatan pada usia prasekolah perlu melibatkan unsur bermain
melalui kegiatan bermain, anak belajar mengembangkan kemampuan
sosialnya sehingga diharapkan munculnya emosi dan perilaku yang tepat
sesuai dengan konteks yang dihadapi dan diterima oleh semua norma
sosialnya. Kesadaran akan dunia lain disekitarnya mulai membuat anak
menyesuaikan ikut masuk dalam pergaulan teman sebayanya. Perkembangan
perilaku sosial anak ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-
teman dan meningkatkan keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota
suatu kelompok, dan tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Anak
tidak lagi puas bermain sendiri dirumah atau dengan saudara-saudara
kandung atau melakukan kegiatan dengan anggota-anggota keluarga, anak
ingin bersama teman-temannya dan akan merasa kesepian serta tidak puas
bila tidak bersama teman-temannya. Dua atau tiga teman tidaklah cukup
baginya. Anak ingin bersama dengan kelompoknya, karena hanya dengan
demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan berolahraga, dan dapat
memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah sampai masa puber,
keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi semakin
kuat.
Pada kategori kemampuan anak afektif mayoritas anak dapat mematuhi
peraturah permainan dengan motivasi orang lain. Andriana (2011)
mengatakan bahwa perkembangan memerlukan rangsangan atau stimulasi,
khususnya dalam keluarga, misalnya penyediaan mainan, sosialisasi anak,
serta keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain terhadap kegiatan anak.
Orang tua dan keluarga diharapkan dapat memantau pertumbuhan dan
perkembangan anaknya, agar dapat dilakukan intervensi dini bila anak
mengalami kelainan atau gangguan (Depkes, 2010). Menurut Aral (2012),
sementara anak-anak menyelesaikan puzzle individual mereka mendapatkan
beberapa keterampilan seperti melakukan aktivitas selama waktu tertentu,
berbagi, kerjasama, menunggu giliran mereka, mematuhi aturan, konsentrasi,
kepercayaan diri, pengaturan diri, rasa hormat untuk orang lain dan
keterampilan mendengarkan.
Menurut Soetjingsih (2012) bahwa alat permainan edukatif adalah alat
permainan yang mengandung nilai pendidikan sesuai usia dan tingkat
perkembangan anak yang berfungsi untuk merangsang perkembangan fisik,
bahasa, kognitif dan sosial anak sehingga dapat mengoptimalkan
perkembangan anak. Belajar dengan menggunakan alat permainan edukatif
(puzzle) dengan baik dan secara teratur perkembangan kognitifnya bisa
berkembang dengan baik dan cepat karena dibantu dengan permainan sebagai
sarana belajar anak. Menurut Montessory (dalam Mahardikha, 2013)
menciptakan alat permainan edukatif yang memudahkan anak untuk
mengingat konsep-konsep yang akan dipelajari tanpa perlu bimbingan
sehingga memungkinkan anak dapat bekerja secara mandiri. Alat permainan
edukatif ciptaannya banyak disesuaikan dengan kebutuhan anak usia
prasekolah di Indonesia yaitu puzzle.
Permainan puzzle bisa memberikan kesempatan belajar yang banyak
kepada anak. Memainkan puzzle bersama-sama dapat merekatkan hubungan
antara orang tua dan anak. Permainan puzzle memberikan tantangan tersendiri
untuk anak disaat anak berada dalam kondisi bingung sebagai orang tua dapat
menyemangati anak agar tidak patah semangat. Semangat yang diperoleh
anak dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan merasa mampu
menyelesaikan permainan puzzle tersebut. Rasa percaya diri dapat menambah
rasa aman kepada anak sehingga anak akan lebih aktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan lainnya. Yulianty (2011) menjelaskan kecerdasan otak anak
akan terlatih karena permainan puzzle yang melatih sel-sel otak untuk
memecahkan masalah. Mencoba beberapa cara memasangkan kepingan
berupa potongan-potongan gambar maka anak dilatih berpikir kreatif.
Memadukan atau memasangkan kepingan puzzle membantu anak memahami
logika sebab akibat dari masalah dan gagasan bahwa objek yang utuh
sebenarnya tersusun dai bagian-bagian yang kecil. Permainan puzzle melatih
koordinasi tangan dan mata anak dikarenakan anak harus mencocokan
keping-keping puzzle dan menyusunnya menjadi satu gambar utuh,
membantu anak mengenal bentuk dan merupakan langkah penting menuju
pengembangan keterampilan membaca. Aktivitas permainan puzzle,
kesabaran akan terlatih karena saat bermain puzzle di butuhkan kesabaran
dalam menyelesaikan permasalahan. Permainan puzzle memberikan
pengetahuan kepada anak-anak untuk mengenal warna dan bentuk. Anak juga
akan belajar konsep dasar binatang, alam sekitar, jenis-jenis benda, anatomi
tubuh manusia, alphabet dan lain-lain. Di usia prasekolah perhatian anak
terhadap ciri fisik objek (bentuk, warna, tekstur, dan lainnya) semakin detail.
Pengetahuan diperoleh dari cara ini lebih mengesankan bagi anak dibanding
dengan pengetahuan yang dihafalkan.
Permainan puzzle yang dilakukan secara berkelompok membantu anak
dalam mengembangkan kemampuan bersosialisasi melalui kerjasama satu
sama lain dan usaha anak untuk menyelesaikan tugas permainan puzzle
sendiri akan membantu anak mengembangkan kemampuan kemandirian
dalam menyelesaikan masalah.

BAB V. Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Bermain tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak, karena bagi anak
bermain sama saja bekerja bagi orang dewasa. Bermain pada anak
mempunyai fungsi yaitu untuk perkembangan sensorik, motorik, intelektual,
sosial, kreatifitas, kesadara diri, moral sekaligus terapi anak saat sakit.
Bermain adalah melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang
normal, mengekspresikan dan mengalihkan keinginan fantasi dan idenya
mengembangkan kreatifitas dan kemampuan memecahkan masalah dan
membantu anak untuk beradaptasi secara efektif terhadap stress karena sakit
dan dirawat di Rumah Sakit.
Adanya stimulasi pemberian permainan puzzle terhadap perkembangan
sosial dan kemandirian anak

B. Saran
1. Terapi bermain dapat menjadi obat bagi anak-anak yang sakit. Jadi,
sebaiknya di Rumah Sakit juga disediakan fasilitas bermain bagi anak-
anak yang dirawat di Rumah Sakit.
2. Mensosialisasikan terapi bermain pada orang tua sehingga orangtua dapat
menerapkan terapi dirumah dan saat di Rumah Sakit.
3. Dapat memperkaya informasi bagi keperawatan terutama keperawatan
anak.
4. Sebagai acuan dalam tata laksana perkembangan anak yaitu pemberian
stimulasi yang dilakukan oleh perawat dan orang tua terhadap anak
dengan pendekatan family center care dalam asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Andriana, D. (2011). Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain pada Anak. Jakarta:
Salemba Medika.

Aral, N. (2011). An Investigation of the Effect of Puzzles as Instructional


Materials on Preschoolers’ Developmental Areas According to Their
Mothers’ Evaluation. Ankara University: Barcelona European Academic
Conference.

Aral, N. (2012). An Investigation of the Effect of Puzzle Design on Children’s


Development Areas. Ankara University: Procedia-Social and Behavioral
Sciences.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Pedoman Pelaksanaan


Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat
Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI.

Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT. Remaja


Rosda Karya.

Fadlillah. M, dkk. (2014). Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana


Prenadamedia Group.

Hasana, Sry, Nur.,S,. (2013). Pengaruh Alat Permainan Edukatif Terhadap Aspek
Perkembangan pada anak pra sekolah di Wilayah Puskesmas Ondong
Kabupaten kepulauan Siau Tagulandang Biaro. E-journal: Universitas
Sam Ratulangi Manado.

Hidayat, A. A. (2011). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan


Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika.

Kliegman, Robert, M., dkk (2012). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Ed. 15, Vol.1.
Jakarta : EGC.

Mahardikha. (2013). Permainan Edukatif dengan Menggunakan Media Puzzle


Mengembangkan Kemampuan Kognitif Anak Usia 4-5 Tahun di TK
Islamiyah. FKIP Untan.

Mayar, F. (2013). Perkembangan Sosial Anak Usia Dini sebagai Bibit untuk Masa
Depan Bangsa. Jurnal Al-Ta’lim, 1(6) 459-464.

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka


Cipta.

Nugroho, H. S, W. (2010). Denver Developmental Screening Test: Petunjuk


Praktis. Jakarta: EGC.

Raldy. D (2016). “1,2 persen Penduduk Bolsel Buta Huruf”. Artikel :


https://totabuanews.com/2016/09/12-persen-penduduk-bolsel-buta-huruf.
Diakses tanggal 15 september 2016 Pukul 8.15 WITA.

Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:


Graha Ilmu.
Soetjiningsih, C. H. (2012). Perkembangan Anak. Jakarta: Prenada Media Group.

Soetjiningsih. (2012). Konsep Bermain Pada Anak dalam Tumbuh Kembang


Anak. Jakarta : EGC.

Wiyani, N. Andry. (2016). Konsep Dasar PAUD. Yogyakarta : Gava Media.

Yulianty I, R. (2011). Permainan yang Meningkatkan Kecerdasan Anak. Jakarta:


Laskar Aksara.

Anda mungkin juga menyukai