Anda di halaman 1dari 7

‫الر ِحيم‬

‫الرحْ َم ِن ه‬
‫َّللاِ ه‬
‫س ِم ه‬
ْ ِ‫ب‬

NOTULENSI KAJIAN MUSLIMAH 3


PEREMPUAN BERPENDIDIKAN TINGGI, WHY NOT?

PEMBICARA :
ESTY DYAH IMANIAR, S.S
 Peneliti CGS
 Alumni PKU Gontor

MODERATOR :
MARETTA HANURAWATI
 Sekretaris bidang Nisa’ JNUKMI UNS 2019

Jumat, 17 April 2020


Pukul 19.30-21.00

Panitia notulensi :
Ratna Furi Atikasari
PEREMPUAN BERPENDIDIKAN TINGGI, WHY NOT?

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil‟alamin, Washolatu Wassalamu‟ala Asrofil Ambiyai wal


Mursalin Wa‟ala Alihi Wasohbihi Aj Ma‟in. Amma Ba‟du. Segala puji dan syukur kita
haturkan kepada Allah Subhanallahu Wa Ta‟ala karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
kita dapat mengikuti Kajian Muslimah 3 kali ini. Kajian Muslimah kali ini dibuka oleh
Wahyu selaku MC, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur‟an oleh
Hiroshi. Selanjutnya kajian dipandu oleh Maretta Hanurawati selaku moderator. Selanjutnya
peyampaian materi kajian oleh narasumber yakni Esty Dyah Imaniar, S.S.
Kalau menurut KBBI, pengertian pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui proses
mendidik. Sedangkan mendidik diartikan sebagai kegiatan memelihara dan memberi latihan
(ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sederhananya,
berdasar pengertian tersebut karakter pendidikan yang dimaksud tidak hanya cerdas secara
intelektual (pikiran) tetapi juga moral/spiritual (akhlak). Nah, poin ini juga sesuai dengan
konsep ilmu dalam Islam.
Konsep ilmu dalam konsep falsafah hidup selain Islam. Beberapa yang terlihat jelas
perbedaannya:
1️⃣ Pertama, empirisme. Dalam paham ini, ilmu hanyalah yang bisa dipersepsi dengan panca
indera. Sehingga dalam pandangan empirisme, agama hanyalah keyakinan (opinion, belief)
dan bukan ilmu. Beda dengan sains yang “bisa dibuktikan” di laboratorium.
2️⃣ Kedua, pragmatisme. Dalam paham ini, kebenaran ilmu hanyalah jika ia bisa memberi
manfaat (secara praktis). Konsekuensinya, pragmatisme sangat berorientasi hasil. Contoh
nyatanya saat ini ya gimana kita sekolah atau kuliah biar dapat ijazah buat kerja.
3️⃣ Ketiga, rasionalisme. Paham ini lebih mengutamakan rasio (metode berpikir) dibanding
pengalaman inderawi (bertolak belakang dengan empirisme). Sehingga nilai ilmu baru bisa
diterima jika bisa dibuktikan melalui logika. Dalam hal ini, syariat yang tidak bisa dilogika
manusia menjadi tertolak sebagai ilmu.
Ketiga pandangan ideologi tersebut terhadap ilmu sangat berbeda dengan Islam, meskipun
dalam beberapa aspek memiliki spirit yang sama.
Sebenarnya ada beberapa penjelasan ilmu dalam Islam, tapi saya mau mengutip
konsep yang simpel tapi padat dari SMN Al-Attas: ilmu adalah tibanya makna pada jiwa (1)
bersamaan dengan tibanya jiwa pada makna (2). Penjelasan filosofisnya, poin pertama ini
berkaitan dengan sumber ilmu dari Allah SWT, sedangkan poin kedua menjelaskan proses
‘olah’ ilmu oleh manusia. Sebenarnya dalam al-Quran manusia dikatakan telah dikenalkan
pada segala ilmu (QS 2:32, 7:172). Sehingga proses olah ilmu yang dimaksud lebih ke
‘pengenalan kembali’ hal-hal yang sudah diketahui manusia untuk kemudian diwujudkan
dalam bentuk amal (aksi). Sedangkan aksi hanya bisa dilakukan setelah adanya pengakuan
terhadap ilmu tersebut. Istilahnya mengimani kalau dalam bahasa akidah. Masih menurut Al-
Attas, pengakuan ini hukumnya wajib untuk melaksanakan tahqiq (realisasi, afirmasi,
konfirmasi, dan aktualisasi) dari ilmu yang sudah dipelajari. Makanya dalam Islam, konsep
pendidikan tidak hanya disebut ta’lim (pengajaran) atau tarbiyah (pengasuhan) tetapi juga
ta’dib karena memiliki misi pendidikan adab yang penting.
Sederhananya (yang semoga tidak menjadi simplifikasi), sesuatu baru menjadi ilmu
ketika sudah mewujud dalam akhlak. Makanya sering kita dengar nasihat: Siapa yang
bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah petunjuk (hidayah) padanya, maka dia tidak akan
dekat kepada Allah kecuali akan bertambah jauh dari-Nya.
Lalu, apakah hanya pengetahuan agama saja yang dapat menjadi ilmu?
Alhamdulillahnya, Tidak. Kalau menurut Syed Abu al-A’la Maududi, pemisahan ilmu dunia
dan ilmu agama begitu justru bentuk pemikiran sekuler yang bertujuan memisahkan
kehidupan dunia dan agama. Dan ini nggak islami.
Dalam Islam, agama tidak terpisah dari urusan dunia, dan justru melihat dunia sebagai
Kerajaan Allah dengan manusia sebagai hamba (pelayan) Allah. Sehingga dengan segala
keilmuan yang dipelajari manusia bertugas menjadikannya sesuai dengan aturan-Nya.
Menurut beliau bahkan kalau perlu ilmu-ilmu “dunia” tersebut diubah menjadi religius.
Misalnya bagaimana ilmu Fisika bisa menjelaskan konsep Tauhid. Atau bagaiman ilmu
humaniora bisa berkembang tanpa menyelisihi syariat Islam. Konsep soal ini sudah banyak
dan beragam, mulai dari integrasi hingga islamisasi pengetahuan.
Kenapa perempuan harus berpendidikan? Setelah mengetahui konsep ilmu dan
pendidikan dalam Islam, sebenarya pertanyaan di atas nggak terlalu sulit dijawab. Yang
paling sering kita dengar adalah karena perempuan merupakan bakal calon sekolah pertama
(madrasatul ula) bagi anak-anaknya. Tapi... bagaimana kalau masih jomblo belum diamanahi
peran tersebut? Alasan-alasan berikut ini semoga bisa menjelaskannya. Sebab beginilah
kedudukan ilmu semestinya dalam diri setiap muslim, tidak peduli jenis kelamin, status
sosial, ekonomi, apalagi perkawinan....
Pertama, kewajiban mencari ilmu untuk semua (HR. Ibnu Majah). Tidak seperti
peradaban bangsa-bangsa lain yang tidak membolehkan perempuan untuk belajar (Yunani,
Romawi) atau hanya memberikan opsi sukarela bagi mereka (Yahudi), Islam justru
mewajibkan setiap umatnya untuk mencari ilmu, tanpa terkecuali. Nah, bisa disimpulkan
sendiri, jika hukumnya wajib, maka apa yang akan terjadi kalau kita sengaja tidak mau
melakukannya?
Kedua, terkait kedudukan ilmu sendiri. Sebagaimana kita ketahui wahyu pertama
dalam Islam (QS.96:1-5) berisi ajakan untuk mengilmui Rabb dan ciptaan-Nya. Selain itu
ilmu bahkan sudah diberikan melalui pengajaran manusia di alam roh (2:30-35). Serta tidak
lupa mengenai posisi orang-orang yang berpikir (3:18) dan orang-orang yang berilmu (35:28)
yang sangat dimuliakan dalam Islam. Maka simpelnya kalau mau punya posisi spesial di
hatinya hadapan Allah, jadilah orang yang berilmu dengan terus belajar.
Ketiga, ilmu adalah kualitas jiwa. Ini erat kaitannya dengan konsep manusia dalam
Islam. Yang menjadikan manusia sebagai sebaik-baik ciptaan adalah pada kesempurnaan
jiwa (nafs) mereka. Sebab manusia memiliki ketiga nafs, yaitu nafs al-nabatiyyah (dimiliki
tumbuhan, hewan, dan manusia) yang menggerakkan mereka untuk makan dan tumbuh; nafs
al-hayawaniyyah (dimiliki hewan dan manusia) yang memungkinkan mereka memiliki
kehendak dan rasa; serta nafs al-insaniyyah (hanya dimiliki manusia) yang memungkinkan
makhluk memiliki rasio/akal dan kesadaran.
Penjelasan soal nilai jiwa ini lah yang mestinya menjadi pijakan awal kita dalam
menilai manusia dalam perspektif Islam. Yaitu nilai seseorang bukan dilihat dari nyawa atau
tubuhnya (termasuk jenis kelamin), melainkan dari kualitas jiwa yang berpusat pada akal dan
kesadaran.
Disinilah ilmu berperan bagi setiap muslim, baik perempuan maupun laki-laki. Tetapi
perlu dicatat, ilmu tanpa amal diibaratkan bagai keledai memikul lembaran (62:5), sedangkan
untuk menghasilkan amalan terbak diperlukan keseimbangan ilmu dunia dan ilmu akhirat
(30:7).
Kenapa perempuan muslim saat ini mengalami krisis pendidikan? Sayangnya, konsep
yang sudah sangat baik terkait urgensi ilmu bagi setiap muslim tadi belum benar-benar
dipahami, apalagi diterapkan bagi umat Islam saat ini. Sehingga terjadi apa yang disebut
sebagai krisis pendidikan, utamanya bagi kalangan perempuan muslim.
Pertanyaannya.... kenapa krisis tersebut terjadi?
Pertama, ma’rifat (pemahaman) diri yang kurang. Sedih memang, tapi perlu kita akui
kurangnya pemahaman esensial dan filosofis perempuan masa kini terkait tujuan hidup
mereka menyebabkan rendahnya semangat belajar karena yah “buat apa sih sekolah tinggi-
tinggi”. Selain itu, kurangnya pemahaman diri juga mengakibatkan perempuan lalai pada
peran peradaban apa yang hendak dipilihnya sebagai amalan kehidupan sebagai bekal akhirat.
Hal ini juga berimbas pada kurangnya kepekaan untuk menganalisis diri secara lebih practical
(SWOT analysis) untuk mencapai tujuan peran tersebut.
Kedua, adanya ketakutan personal. Di antaranya terkait penerimaan calon bribikan
masyarakat terhadap status perempuan berpendidikan tinggi. Selain itu perlu diakui terdapat
dua pandangan pandangan ekstrim terhadap peran perempuan dan keilmuannya, yaitu kubu
perempuan baik-baik adalah hanya di rumah dan perempuan terbaik adalah yang berkarir
sebebas-bebasnya. Padahal keduanya dilakukan secara seimbang oleh para muslimah
pendahulu kita.
Ketiga, lingkungan yang kurang memadai. Poin ini terkait sistem pendidikan yang
masih berorientasi pragmatisme dan sekularis, kebijakan pemerintah yang tidak pro budaya
ilmu, kurangnya referensi dan otoritas keilmuan perempuan sebagai teladan hits masa kini,
hingga lemahnya qawwam (kepemimpinan) laki-laki yang secara tidak langsung
mempengaruhi akses pendidikan bagi perempuan muslim hari ini.
Lalu, bagaimana menjadi perempuan berpendidikan di masa kini? Yang perlu
diperhatikan sebelum menjadi perempuan berpendidikan:
Pertama, adab. ‘Aliyah binti Syariek, ibu Imam Malik bin Anas berpesan pada
anaknya ketika melepas beliau belajar pada Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman untuk pelajari
adab gurunya sebelum mengambil ilmunya.
Selain itu, ibunda ulama ahli hadis Sufyan ats-Tsauri juga memiliki pesan tidak kalah
kuat untuk anaknya tersebut, bahwa apabila ilmu yang dipelajari tidak membuatnya
bertambah takut, sabar, dan sopan, maka hal-hal itu (yang dipelajari) akan membahayakan
dan tidak bermanfaat bagi seseorang. Selain menunjukkan peran strategis seorang perempuan
dalam pendidikan para ulama, kedua kisah tadi juga menguatkan pentingnya posisi adab
dalam tradisi keilmuan Islam.
Kedua, niat. Menurut Prof Wan Mohd Nor, kurangnya perhatian terhadap upaya
pembersihan jiwa di kalangan komunitas muslimah yang menyebabkan munculnya penyakit
hati seperti iri dan dengki, kurang bersyukur, tidak sabar dan lain lain. Penyakit hati tersebut
akhirnya menjadi penyebab utama dari perpecahan di kalangan umat termasuk muslimah.
Termasuk di sini rasa tidak senang ketika ada saudari kita yang lebih berprestasi dalam hal
pendidikan sehingga muncul niat (bahkan hingga perbuatan) untuk mencegahnya dalam
kesuksesan. Padahal semestinya di tengah krisis ilmu ini sesama muslimah harus saling
menguatkan dalam keilmuan.
Ketiga, memilih ilmu. Sekalipun kita meyakini ilmu dunia (disebut ilmu alat) juga
bermanfaat dalam kehidupan dan keagamaan, setidaknya kita bisa berpedoman pada
ketegorisasi ilmu berdasar Imam al-Ghazali berikut ini.
Pertama adalah ilmu yang sudah jelas kebenarannya, termasuk di dalamnya ilmu
agama Islam. Ilmu ini dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebijaksanaan dalam
berpikir. Kedua, ilmu dinilai berdasarkan kemanfaatan bagi manusia secara umum di dunia
maupun di akhirat. Namun kita harus meninggalkan ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat. Tetapi
manfaat disini kaitannya dengan peran peradaban yang dipilih dan bukan pada perspektif
pragmatisme yang dibahas sebelumnya. Ketiga, ilmu yang terkait dengan tempat termulia
dalam diri manusia, yaitu jiwa. Ilmu yang mengajarkan cara untuk membersihkan hati
manusia dari kotoran dan kemaksiatan, membimbing manusia untuk mendekatkan manusia
pada Allah SWT.
Dengan pedoman ini semoga perempuan muslim dapat berdaya dengan sebaik-baik
peran peradaban melalui keilmuannya. Wallahua’lam.

Hadza Wallahu’alam Bishowab.. Subhaanakallaahumma wa bihamdika,


asyhadu al-laa ilaaha illaa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai