Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

2. 1Odontogenesis

Odontogenesis adalah proses terbentuknya jaringan gigi. Proses ini

tidak terjadi pada yang bersamaan untuk semua gigi. Odontogenesis terbagi

menjadi tiga tahap, yaitu tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi, tahap

kalsifikasi yang terdiri dari tahap aposisi dan maturasi serta tahap erupsi.

Perkembangan gigi dimulai dengan pembentukan ‘primary dental

lamina’,yang menebal dan meluas sepanjang daerah yang akanmenjadi tepi

oklusal dari mandibula dan maxilla dimana gigi kan erupsi. Dental lamina ini

tumbuh dari permukan ke msenchyne dibawahnya. Bersamaan dengan

perkembangan dari primary dental lamina, pada 10 tempat didalam mandibula,

beberapa sel dari dental lamina memperbanyak diri pada laju yang lebih cepat

daripada yang berada di sekitar sel dan 10 tonjolan kecil dari sel-sel epithel

terbentuk pada dental lamina dalam setiap rahang.

2.1.1 Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

Tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi terbagi menjadi empat

tahap, yaitu tahap inisiasi, tahap kuncup (bud stage), tahap topi (cap stage),

dan tahap lonceng (bell stage).


4
Tahap inisiasi merupakan penebalan jaringan ektodermal, merupakan

gambaran morfologi pertama dari perkembangan gigi, akan tetapi hal ini di

dahului oleh suatu gejala dasar induktip. Tanda – tanda pertumbuhan e

komesenhim berasal dari neural crest, menujukkan induksi primer dalam

odontogenesis. Dental lamina terlihat sebagai suatu penebalan jaringan epitel

pada tepi lateral dari stomodeum. Permulaan epitel odontogenik timbul kira –

kira pada usia perkembangan 35 hari. Dental lamina atas dan bawah kemudian

membentuk pta seperti bentuk tapal kuda.

Bila terjadi ganguan pada tahap ini akan mengakibatkan kelainan

pada jumlah gigi misalnya anodonsia, hiperdonsia atau supernumerari.

Tahap proliferasi adalah gejala dimana proyeksi dari lamina gigi

meluas sampai ke dasar mesenhim pada tempat yang khusus dan membentuk

primordia dari gigi primer (organ enamel).Sewaktu sel – sel membiak organ

gigi bertambah besar ukurannya.Bentuk yang tidak umum dari lamina ini

adalah sesudah pembentukan dari sebuah pita epitel yang padat dan lebar, sel –

sel itu pecah dan meninggalkan suatu ruangan yang besar dibatasi oleh jaringan

epitel.Ruangan ini membentuk vestibula dari mulut dan bibir, dan sisa – sisa

jaringan epitel membentuk garis bibir, pipi dan gusi.Pada perkembangan dari

vestibula, lamina memisahkan pipi dan bibir dari jaringan keras stomodeum.

Bila terjadi gangguan pada tahap ini maka akan mengakibatkan

kelainan jumlah gigi seperti anodonsia dan hiperdonsia

5
Tahap histodiferensiasi perubahan bentuk organ pipi dari bentuk topic

bentuk lonceng.Terjadi karena kegiatan inti sel membelah diri.Proliferasi dari

sel – sel sekitar perifer dan pada bagian dalam cekungan organ enamel.Tahap

lonceng ini ditandai dengan histodiferensiasi dan morfodiferensiasi. Rangkaian

perubahan bentuk dari organ enamel yang khas untuk gigi susu dan tetap.

Ketika berubahnya bentuk kuntum yang dini dengan pembesaran dan pelebaran

kedalam organ pada tahap topi (cap), yang kemudian menjadi organ bentuk

lonceng yang besar. Jaringan epitel merangsang jaringan mesoderm dan

jaringan mesoderm mendorong lagi jaringan epitel selama perkembangan dari

organ enamel, sebuah rangkaian dari perubahan sel menghasilkan 4 lapisan :

1. Epitel bagian luar dari organ enamel

2. Stellate Retikulum

3. Stratum Intermediare

4. Ameloblas

Bila terjadi gangguan pada tahap ini maka akan mengakibatkan

kelainan struktur gigi misalnya dentinogenesis imperfekta dan amelogenesis

imperfekta.

Tahap morfodiferiensiasi Hubungan dentino enamel dan

dentinosementum berbeda dan mempunyai sifat khas pada setiap gigi, sebagai

suatu pola tertentu dari pembiakan sel. Dalam penyesuaian dengan pola ini

ameloblas, odontoblas dan sementoblas mengendapkan enamel, dentin dan

6
sementum serta member bentuk dan ukuran yang khas pada gigi. Di ujung

lamina dentalis kemudian dibentuk lagi tonjol kedua (lamina dentalis ) yang

nanti akan menjadi gigi tetap. Tangkai gigi kemudian putus sekitar

pembentukan gigi ini.Jaringan mesodermal menjadi tebal membentuk suatu

kantong yang disebut kantong gigi (Saccus dentis).

Kelainan pada tahap ini akan mengakibatkan anomaly ukuran gigi

misalnya peg shape, hutchinson, mulberry molar, makrodonsia dan

mikrodonsia

Tahap Aposisi adalah pengendapan matriks dari struktur jaringan

keras gigi. Pertumbuhan aposisi dari enamel dan dentin adalah pengendapan

yang berlapis – lapis oleh matriks ekstra seluler. Pertumbuhan aposisi ditandai

oleh pengendapan yang teratur dan berirama dari ekstraseluler yang tidak

mempunyai kemampuan sendiri untuk pertumbuhan akan datang.

Bila terjadi gangguan pada tahap aposisi maka akan terjadi anomali

gigi tetracyclin stain.

Tahap kalsifikasi terjadi dengan pengendapan garam-garam kalsium

organic selama pengendapan matriks.Kalsifikasi mulai selama pengendapan

matriks oleh endapan dari nodus kecil lalu bertambah besar.

Kalsifikasi email dan dentin sangat sensitive terhadap perubahan

metabolik yang kecil pada anak-anak kalsifikasi jaringan ini tidak seragam

tetapi sifatnya bervariasi selama perkembangan yang berbeda dari

pertumbuhan individu.
7
Gangguan pada tahap ini dapat menyebabkan kelainan struktur

jaringan keras gigi seperti hipokalsifikasi.

8
2.2 Klasifikasi Diskolorisasi Gigi

Bagian koronal gigi terdiri dari enamel , dentin, dan pulpa. Setiap

perubahan pada struktur ini cenderung mengakibatkan perubahan pada

penampilan luar gigi yang disebabkan oleh transmisi cahayanya dan

mencerminkan properti. Penampilan warna gigi tergantung pada kualitas

cahaya yang dipantulkan, dan juga tergantung pada cahaya insiden.Pada

masanya, diskolorisasi gigi telah di klasifikasi berdasarkan lokasi dari warna,

yang dapat berupa instrinsik atau ekstrinsik.2

2.2.1 Diskolorisasi Intrinsik

Diskolorisasi intrinsik terjadi setelah perubahan struktural

komposisi atau ketebalan jaringan keras gigi. Warna normal gigi

ditentukan oleh warna biru, hijau dan merah muda pada gigi enamel dan

diperkuat oleh warna kuning hingga coklat di bawah dentin.Sejumah

penyakit metabolik dan faktor sistemik mempengaruhi pertumbuhan gigi

dan menyebabkan diskolorisasi gigi. Faktor lokal seperti cedera juga

termasuk dalam hal itu.

a. Alkaptonuria

b. Congenital erythropoietic porphyria

c. Congenital hyperbilirubinaemia

9
d. Amelogenesis imperfecta

e. Dentinogenesis imperfecta

f. Tetracycline staining

g. Fluorosis

h. Enamel hypoplasia

i. Pulpal haemorrhagic product

j. Ageing

2.2.2 Diskolorisasi Ekstrinsik

Diskolorisasi ekstrinsik berada di luar substansi gigi dan terletak

pada permukaan gigi yang di dapat. Asal usul warna mungkin berasal dari

metalik dan non-logam.

2.2.3 Diskolorisasi Internalisasi

Diskolorisasi internalisasi adalah penggabungan warna ekstrinsik

dalam substansi gigi setelah perkembangan gigi. Hal ini terjadi dalam

cacat enamel dan di permukaan berpori dentin yang terbuka. Rute dimana

pigmen dapat diinternalisasi adalah :

a. Cacat perkembangan

10
b. Cacat yang didapat :

1) Keausan gigi dan resensi gingiva

2) Karies gigi

3) Bahan restoratif

2.3 Mekanisme Diskolarisasi Gigi

2.3.1 Diskolorisasi Intrinsik

Pembentukan gigi yang berubah warna secara intrinsik terjadi selama

perkembangan gigi dan menghasilkan perubahan transmisi cahaya dari

struktur gigi.Seperti yang disebutkan dalam klasifikasinya,ada sejumlah

gangguan metabolisme yang mempengaruhi pertumbuhan gigi selama

pembentukannya, tidak seperti kelainan bawaan dimana hanya jaringan

keras yang terbentuk pada saat itu terlibat.2

a. Alkaptonuria

Kesalahan metabolisme bawaan ini menghasilkan metabolisme

tirosin dan fenilalanin yang tidak lengkap, yang berperan dalam

pemupukan asam homogentisic.Hal ini mempengaruhi pertumbuhan

gigi permanen dengan menyebabkan perubahan warna coklat.

b. Congenital erythropoietic porphyria

11
Anomali ini jarang terjadi, resesif, autosoma. Anomali ini

merupakan gangguan metabolisme dimana ada kesalahan dalam

metabolisme porfirin yang mengarah ke akumulasi porfirin di sum-sum

tulang, sel darang merah, urin, tinja, dan gigi.Warna merah coklat pada

gigi adalah hasilnya dan gigi yang terkena menunjukkan warna merah

pada fluoresensinya di bawah sinar ultraviolet.

c. Congenital hyperbilirubinaemia

Produk uraian dari haemolisis akan menyebabkan perubahan warna

kuning-hijau. Anomali ini relatif umum, tetapi dalam inkompatibilitas

resus masif haemolisis akan menyebabkan deposisi dari pigmen

empedu dalam kalsifikasi jaringan gigi.

d. Amelogenesis imperfecta

Dalam kondisi herediter ini, formasi email terganggu sehubungan

dengan mineralisasi atau pembentukan matriks gigi.Penampilan

tergantung pada jenis amelogenesis imperfekta, bervariasi dari

hipomatur enamel yang relatif ringan ke hipoplasia herediter yang

lebih berat dengan email yang tipisdan keras yang memiliki tampilan

kuning kekuning coklatan.

e. Dentinogenesis imperfecta

12
Cacat dentin dapat terjadi secara genetik atau melalui pengaruh

lingkungan. Secara genetik, cacat dentin mungkin dalam isolasi

dengan gangguan sistemik. Dentinogenesis imperfecta dibagi menjadi

3 tipe, dan kondisi utama yang terkait dengan dentin saja adalah

dentinogenesis imperfecta II (hereditay opalescent dentine). Kedua

gigi tersebut terpengaru, biasanya gigi primer lebih banyak dan sangat

parah. Gigi biasanya berwarna kebiruan atau coklat, dan menunjukkan

opalescence pada transluminasi. Ruang pulpa sering dilenyapkan dan

dentin mengalami keausan yang cepat. Enamel terkelupas dan

mengekpos amelo-dentinal junction. Setelah dentin terbuka, gigi

dengan cepat menunjukkan perubahan warna coklat.

f. Tetracycline staining

Pemberian tetrasiklin secara sistematik selama pengembangan

dikaitkan dengan deposisi tetrasiklin di dalam tulang dan jaringan

keras gigi. Urist dan Ibsen menyarankan bahwa tetrasiklin dan

homolognya memiliki kemampuan membentuk kompleks dengan ion

kalsium pada permukaan hidroksi kristal apatit di dalam tulang dan

jaringan gigi2. Telah terbukti bahwa dentin lebih berwarna (noda)

daripada email. Tetrasiklin mampu melewati pembatas plasenta dan

harus dihindari 29 minggu intra uteri sampai jangka penuh untuk

mencegah penggabungan ke daam jaringan gigi. Karena gigi terus

berkembang sejak bayi, maka penggunaan tetrasiklin harus dihindari

pada anak dibawah usian 12 tahun dan pada ibu hamil. Waktu yang
13
paling kritis untuk menghindari pemberian tetrasiklin untuk gigi

desidui adalah 4 bulan intra uteri hingga 5 buan pasca kelahiran,

sehubungan dengan gigiinsisivusdan gigi kaninus, periode ini adalah 4

bulan pasca melahirkan hingga kira-kira umur 7 tahun. Perubahan

warna yang terlibat tergantung pada obat yang digunakan, dosis dan

periode waktu pemberian obat. Gigi yang terkena efek dari tetrasiklin

memiliki penampilan warna kekuningan atau cokat keabu-abuan yang

lebih buruk pada saat erupsi dan berkurang seiring waktu. Beragam

analog tetrasiklin menghasilkan perubahan warna yang berbeda,

contohnya untuk klortetrasiklin yang menyebabkan warna abu-abu dan

oxytetracycline yang menyebabkan perubahan warna krem.2,3

g. Fluorosis

Hubungan antara asupan flouride dan efeknya pada enamel dicatat

oleh Dean sejak 1932. Hal ini muncul secara endemik dari pasokan air

yang terjadi secara alami atau dari flouride yang didapatkan di obat

kumur, tablet atau pasta gigi.

h. Enamel hypoplasia

Kondisi ini dapat di lokalisasi atau di generalisasi. Penyebab

terlokalisasi paling umumnya dari enamel hipoplasia adalah

kemungkinanterjadi setelah trauma atau infeksi pada gigi-gigi primer.

Kuman yang terlokalisir akan memproduksi enamel hipoplastik, yang

dapat dikaitkan dengan kronologi cedera.


14
i. Pulpal haemorrhagic product

Perubahan warna gigi setelah terjadi trauma parah sehingga

menyebabkan pendarahan pulpa.

j. Ageing

Perletakan alami dentin sekunder yang mempengaruhi sifat-sifat

transmisi cahaya gigi sehingga menyebabkan terjadinya penggelapan

warna gigi seiring bertambahnya usia.

2.4 Penyebab Diskolorisasi Gigi

2.4.1 Faktor instrinsik

a. Kelainan herediter

b. Penggunaan bahan kedokteran gigi

c. Gigi nekrosis

d. Penggunaan obat-obatan tertentu dalam jangka waktu yang lama


seperti tetrasiklin

e. Trauma

f. Mengkonsumsi fluoride dalam kadar yang berlebih dan dalam jangka


waktu yang lama

15
g. Difesiensi nutrisi.4

2.4.2 Faktor ekstrinsik

a. Konsumsi teh

b. Konsumsi kopi

c. Konsumsi minuman berkarbonasi

d. Konsumsi larutan yang dapat meninggalkan warna pada permukaan


email atau pelikel gigi.4

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah :

Seorang anak perempuan tersebut mengalami anomali Tetrasiklin, yang

berarti perubahan warna pada hampir semua gigi geliginya. Pemakaian

obat golongan tetrasiklin selama proses pertumbuhan gigi dapat

menyebabkan perubahan warna gigi permanen. Periode waktu pemberian

tetrasiklin yang menyebabkan perubahan warna pada gigi:

1) Semasa dalam kandungan, pada usia kehamilan ibu lebih dari 4

bulan, molekul tetrasiklin dapat melewati barrier plasenta

mengenai gigi sulung yang sudah terbentuk.

2) Masa bayi sesudah lahir sampai usia 5 tahun, pada periode ini

terjadi pembentukan mahkota gigi seri permanen.

Mekanismenya adalah tetrasiklin akan terikat dengan kalsium dan

membentuk kompleks berupa tetrasiklin kalsium ortofosfat. Jaringan gigi

yang sedang dalam proses mineralisasi itu tidak hanya memperoleh

kalsium, tetapi juga molekul tetrasiklin yang kemudian tertimbun di dalam

jaringan dentin dan email.

17
3.2 Saran

Sebagai mahasiswa, kita juga harus lebih banyak mengetahui dan

mempelajari tentang berbagai hal yang menyangkut anomali pada

perkembangan dan pertumbuhan gigi, seperti anomali jumlah gigi, anomali

ukuran gigi, anomali bentuk gigi, anomali pembentukan akar, anomali struktur

gigi, anomali erupsi gigi, dan diskolorisasi. sebab ini akan menjadi acuan kita

dalam memberikan pengajaran kepada peserta didik nantinya.

Dengan adanya makalah ini kami mengharapkan para pembaca dapat

mengetahui lebih banyak lagi tentang anomali gigi guna menambah wawasan

untuk pembelajaran.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Gultom, Imelda M. Pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi pada masa

embrional. Medan: Universitas Sumatera Utara;2002.pp.1-38.

2. Watts A. and Addy M. Tooth discolouration and staining: a review of the

literature. British dental jurnal 2001;90(6): 309-16

3. Fidya. Anatomi gigi dan mulut. Malang: UB press;2018.pp.106-7.

4. Ghalib N. Dan Ayuandyka U. Prevalensi diskolorisasi gigi pada anak

prasekolah di kota Makassar. Makassar dent J 2017;6(2): 66-72

19

Anda mungkin juga menyukai