Anda di halaman 1dari 19

REFERENSI ARTIKEL

PERAN GIZI TERHADAP MEKANISME TERJADINYA KISTA ERUPSI PADA


PROSES PERTUMBUHAN GIGI ANAK

Periode : 20 Mei – 2 Juni 2019

Disusun oleh :
Evan Permana Putra G99172071

Pembimbing :
Dr. drg. Risya Cilmiaty, M.Si., Sp.KG

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
PERAN GIZI TERHADAP MEKANISME TERJADINYA KISTA ERUPSI PADA
PROSES PERTUMBUHAN GIGI ANAK

A. Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi


Benih gigi mulai dibentuk sejak janin berumur 7 minggu dan berasal dari lapisan ektoderm
dan mesoderm. Lapisan ektoderm berfungsi membentuk email dan odontoblast. Sedangkan
mesoderm membentuk dentin, pulpa, semen, membran periodontal, dan tulang alveolar.
Pertumbuhan dan perkembangan gigi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap perkembangan,
tahap kalsifikasi, dan tahap erupsi1

Gambar 2.1 Tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi1

1. Tahap Perkembangan
a. Tahap Inisiasi (Bud Stage)
Tahap inisiasi merupakan penebalan lapisan basal epitel mulut (stomodeum) ke
dalam jaringan mesenkim yang merupakan gambaran morfologi pertama dari
perkembagan gigi. Penebalan ke dalam ini terjadi pada setiap rahang dan membentuk
pita atau lembaran sel ektoderm yang mengikuti lengkung rahang. Tahap inisiasi
pertama kali tampak pada minggu ke-6 intrauterine1
Lembaran ektoderm didalam jaringan mesenkim tersebut merupakan bakal
lengkung gigi yang disebut lamina dentis. Pada setiap lamina dentis akan muncul
sepuluh penonjolan pada maksila dan mandibula. Setiap penonjolan ini merupakan asal
mula organ enamel benih gigi susu. Inisiasi pada setiap gigi berbeda, dimana organ
enamel gigi seri berkembang paling awal. Tangkai organ enamel ini akan membelah
menjadi dua sehingga tampak memiliki dua ujung. Salah satu ujung akan membentuk

1
gigi susu, sedangkan ujung yang lain membentuk gigi permanen. Pada pembentukan
gigi molar permanen, tangkai emailnya tidak membelah karena tidak diawali oleh
pembentukan gigi susu2

Gambar 2.2 Pembentukan benih gigi (bud stage)1

Waktu perkembangan gigi berbeda pada gigi anterior dan posterior. Gigi anterior
berkembang lebih cepat daripada gigi posterior. Gigi molar permanen seperti pada gigi
desidui, tumbuh dari lamina dental. Gigi insisivus, kaninus, dan premolar permanen
berkembang dari benih gigi desidui sebelumnya. Jika terjadi kelainan pada tahap
inisasi, maka akan menyebabkan kelainan jumlah gigi seperti anodontia dan
hiperdontia atau gigi supernumenary1
b. Tahap Proliferasi (Cap Stage)
Karena sel terus – menerus berproliferasi, maka akan terjadi perubahan ukuran dan
proporsi benih gigi yang sedang berkembang. Benih gigi akan mengarah pada
pembentukan organ enamel yang berbentuk seperti topi. Invaginasi dangkal terjadi
pada permukaan dalam dari benih gigi. Pada tahap ini, organ enamel memiliki tiga
lapisan yaitu epitel enamel luar, epitel enamel dalam, dan retikulum stelata. Sel – sel di
bagian tepi akan membentuk epitel enamel dalam dan luar. Papila dentis menunjukkan
perkembangan benih kapiler yang aktif2,3
Epitel enamel luar terdiri dari sel kuboid yang menutupi konveksitas enamel. Epitel
enamel dalam terdiri dari sel kolumnar yang panjang. Retikulum stelata terdiri dari sel
poligonal diantara epitel enamel dalam dan luar. Lapisan ini cenderung memisah saat
terdapat cairan interseluler sehingga membentuk retikulum yang bercabang. Fungsi

2
retikulum stelata adalah sebagai bantalan yang mendukung dan melindungi sel
pembentuk enamel yang lemah. Enamel knot merupakan kumpulan sel padat di bagian
tengah dari organ enamel. Enamel cord merupakan perpanjangan vertikal dari enamel
knot yang meluas ke epitel enamel luar2

Gambar 2.3 Tahap proliferasi (cap stage) dimana organ enamel terletak di dalam
massa sel ektomesenkimal yang disebut papila dentis4

Jika tahap proliferasi gagal, maka akan menyebabkan benih gigi gagal berkembang
sehingga menyebabkan anodontia. Sebaliknya jika proliferasi sel berlebihan, maka
dapat menimbulkan sisa epitel yang aktif apabila terdapat iritasi atau stimulus. Jika sel
baru berdiferensiasi sebagian atau terlepas dari organ enamel, maka dapat terbentuk
kista. Jika sel telah berdiferensiasi sempurna, maka akan menimbulkan odontoma atau
gigi supernumerary1
c. Tahap Histodiferensiasi (Bell Stage)
Pada tahap ini sel mengalami perubahan morfologi dan fungsional dan memiliki
potensi pertumbuhan aposisi. Fase ini mencapai perkembangan tertinggi pada bell
stage tepat sebelum dimulai pembentukan enamel dan dentin. Epitel terus berinvaginasi
dan semakin dalam sampai organ enamel berbentuk seperti bel. Pada tahap ini, terjadi

3
proses differensiasi papila dentis menjadi odontoblast dan sel – sel dari epitel enamel
dalam menjadi ameloblast3
Diantara lapisan epitel enamel dalam dengan retikulum stelata akan muncul
beberapa lapis sel squamous yang disebut stratum intermedium. Sel – sel ini
mengandung enzim alkalin phosphatase dalam jumlah yang banyak sehingga
diperkirakan berperan dalam mineralisasi enamel. Epitel enamel dalam akan
berdiferensiasi menjadi ameloblast yang akan menghasilkan matriks enamel. Pada awal
pembentukan ameloblast, sel mesenkim pada tepi papila dentis berdiferensiasi menjadi
odontoblast yang akan menghasilkan matriks dentin. Lapisan ini berkembang sebelum
pembentukan enamel. Pada tahap awal pembentukan matriks enamel, ameloblast
mempengaruhi mesenkim di dekatnya untuk membedakan lapisan yang akan berubah
menjadi preodontoblast (lapisan antara ameloblas dan odontoblas), yaitu kumpulan sel
pembentuk dentin1

Gambar 2.4 Lapisan penyusun organ enamel pada tahap histodiferensiasi1

Histodiferensiasi merupakan akhir dari tahap proliferasi karena sel – sel kehilangan
kemampuan untuk berproliferasi. Gangguan differensiasi benih gigi menyebabkan
terbentuknya struktur abnormal dari dentin atau enamel. Kegagalan diferensiasi
ameloblast menyebabkan amelogenesis imperfekta. Kegagalan diferensiasi
odontoblast menyeabkan struktur dentin menjadi abnormal yang disebut
dentinogenesis imperfekta3

4
d. Tahap Morfodiferensiasi (Advanced Bell Stage)
Pada tahap morfodiferensiasi, sel formatif tersusun membentuk morfologi dan
ukuran gigi. Proses ini terjadi sebelum deposisi matriks. Pola morfologi gigi terbentuk
saat epitel enamel dalam disusun sehingga batas antara epitel enamel dengan
odontoblas membentuk dentinoenamel junction. Gangguan dan penyimpangan pada
tahap morfodiferensiasi menyebabkan abnormalitas bentuk dan ukuran gigi3
Sel perifer dari papila dentis berdiferensiasi menjadi odontoblast yang akan
membentuk dentin. Serat pada kantong gigi awalnya tersusun sirkular seperti struktur
kapsul yang akan berdiferensiasi menjadi ligamen periodontal saat perkembangan akar
berlanjut. Pada tahap akhir tahap ini, bagian servikal organ enamel membentuk
perkembangan ke akar epitel sheath of Hertwig. Epitel enamel dalam dan luar akan
bertemu di pinggir zona junctional organ enamel yang disebut cervical loop2

Gambar 2.5 Struktur calon gigi pada tahap morfodiferensiasi1

e. Tahap Aposisi
Aposisi adalah proses pengendapan matriks pada jaringan keras gigi. Pertumbuhan
aposisi pada enamel dan dentin merupakan hasil pengendapan matriks ekstraseluler

5
yang berlapis – lapis. Matriks ini diendapkan oleh sel – sel formatif, ameloblast, dan
odontoblast yang tersusun bersama menjadi dentinoenamel dan dentinocemental
junction pada tahap morfodiferensiasi. Sel – sel tersebut mengendapkan matriks
enamel dan dentin berdasarkan pola dan kecepatan tertentu. Sel formatif memulai
fungsinya pada daerah spesifik yang disebut sebagai pusat pertumbuhan segera setelah
terbentuk dentinoenamel junction1
Jika terjadi gangguan pada tahap aposisi, maka akan menyebabkan kelainan atau
perubahan struktur pada jaringan keras gigi. Contohnya adalah hipoplasia enamel dan
gigi yang berwarna kecoklatan karena tetrasiklin5
2. Tahap Kalsifikasi
Kalsifikasi merupakan proses pengendapan garam kalsium anorganik ke dalam
matriks. Proses ini dimulai selama pengendapan matriks oleh endapan yang berasal dari
nidus kecil yang selanjutnya nidus garam kalsium anorganik bertambah besar oleh
penambahan lapisan – lapisan yang pekat3
Jika kalsifikasi terganggu, maka kalsium individu di dalam dentin tidak bergabung dan
tertinggal sebagai butir kalsium dasar yang terpisah di daerah matriks eosinofilik tersendiri
yang tidak terkalsifikasi. Proses kalsifikasi email dan dentin merupakan proses yang sangat
sensitif dan terjadi secara lambat sehingga sering ditemukan kalsifikasi tidak teratur akibat
gangguan sistemik ataupun lokal. Kalsifikasi enamel dan dentin sangat sensitif pada
perubahan metabolik yang kecil pada anak – anak. Kalsifikasi jaringan ini tidak seragam
tetapi sifatnya bervariasi selama perkembangan yang berbeda dari pertumbuhan individu5
3. Tahap Erupsi
Erupsi gigi adalah proses berpindah atau bergeraknya gigi yang sedang berkembang di
dalam mukosa alveolar yang menutupi rahang menuju ke rongga mulut dan mencapai
dataran oklusal gigi. Erupsi gigi adalah kombinasi pergerakan semua bagian gigi, baik
sebelum dan sesudah mahkota muncul ke rongga mulut. Proses ini dimulai saat
pembentukan mahkota sudah lengkap dan akar gigi mulai terbentuk dan berlanjut sampai
semua bagian gigi muncul di rongga mulut. Munculnya gigi melewati gingiva merupakan
tanda klinis erupsi gigi. Mengikuti kemunculan ini, gigi bererupsi pada jarak maksimal
untuk mencapai dataran oklusal6

6
a. Tahap Prerupsi
Tahap praerupsi dimulai dari pembentukan benih gigi sampai pembentukan
mahkota. Pada tahap ini, rahang tumbuh secara cepat di bagian posterior dan lateral
sehingga rahang memanjang dan melebar kearah anteoposterior. Untuk
mempertahankan hubungan dengan tulang rahang berkembang cepat, maka benih gigi
bergerak ke arah oklusal2
Pembentukan akar dimulai setelah pembentukan enamel dan dentin mencapai
cementoenamel junction. Epitel enamel dalam dan luar bergabung di cementoenamel
junction ke dalam dataran horizontal membentuk sekat epitel. Selubung akar epitel
Hertwig menentukan bentuk akar gigi dan merangsang pembentukan dentin. Selubung
ini hanya terdiri dari epitel email dalam dan epitel email luar, tanpa stratum
intermedium maupun stelata retikulum. Selubung Hertwig di bagian apeks berbentuk
seperti diafragma yang disebut juga diafragma epitel. Pada gigi berakar satu, diafragma
epitel memiliki satu lubang yang membantu pembentukan akar, saluran akar, dan
foramen apikal. Pada gigi berakar ganda, diafragma menonjol pada dua atau tiga
lubang. Pada gigi berakar banyak, diafragma epitel membantu pembentukan furkasi,
akar, saluran akar, dan foramen apikal1

Gambar 2.6 Proses pembentukan akar gigi1

Pembentukan dan penghancuran selubung terjadi secara cepat menyebabkan sulit


melihat selubung Hertwig dalam bentuk lapisan yang kontinu di permukaan akar. Sisa
selubung yang tidak hilang tampak sebagai pulau – pulau epitel pada membran
periodontium yang disebut sisa epitel dari Malassez. Saat panjang akar telah tercapai,

7
foramen apikal akan mengecil sesuai dengan lebar diafragma epitel dan semakin
dipersempit oleh perletakan dentin dan sementum pada apeks gigi1
b. Tahap Erupsi Prafungsional
Tahap prafungsional dimulai dari pembentukan akar sampai gigi mencapai kontak
oklusal. Pada tahap ini gigi bergerak lebih cepat ke arah vertikal. Selain ke arah
vertikal, gigi juga bergerak miring dan rotasi untuk memperbaiki posisi gigi di dalam
rahang yang masih berkembang7
Terdapat lima kejadian utama selama tahap prafungsional yaitu: 1) tahap sekretorik
dari amelogenesis sudah lengkap tepat sebelum pembentukan akar dimulai; 2) tahap
intraosseus terjadi saat pembentukan akar dimulai sebagai hasil dari proliferasi epitel
pelindung akar dan jaringan mesenkim dari papila dan folikel dentis; 3) tahap
supraosseus dimulai saat bagian oklusal gigi yang sedang erupsi bergerak di bawah
tulang dan jaringan ikat pada mukosa mulut; 4) ujung mahkota melewati rongga mulut
dengan cara merusak lapisan ganda sel epite. Terobosan ini kemudian dipenuhi oleh
ujung mahkota; 5) Gigi yang sedang erupsi kemudian bergerak ke arah oklusal pada
jarak maksimal dan mahkota gigi muncul secara perlahan7
c. Tahap Erupsi Fungsional
Pada tahap ini, mahkota gigi sudah tumbuh maksimal dan mencapai penyesuaian
kontak maksimal dengan gigi pada rahang yang berlawanan. Gigi sudah erupsi
sempurna dan dapat berfungsi secara normal. Erupsi fungsional gigi sangat bervariasi
pada setiap individu7

8
Gambar 2.7 Pola erupsi gigi susu8

Gambar 2.8 Pola erupsi gigi permanen8

9
B. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi
1. Faktor Genetik
Faktor genetik secara pasti mempengaruhi erupsi gigi karena kembar monozigotik
menunjukkan tingkat kesesuaian 0,9. Kembar dizigotik dan saudara kandung memiliki
tingkat kesesuaian lebih rendah tetapi masih lebih tinggi dari seseorang yang tidak
berhubungan keluarga. Beberapa penulis menyatakan bahwa faktor genetik lebih
mempengaruhi perkembangan gigi daripada erupsi gigi9
Terdapat beberapa penyakit genetik yang mempengaruhi erupsi gigi. Sebagian besar
menyebabkan keterlambatam erupsi dan sisanya menyebabkan kegagalan erupsi. Penyakit
genetik dapat dibagi menjadi penyakit yang mempengaruhi pembentukan enamel dan/atau
folikel dentis (misalnya amelogenesis imperfekta, sindrom Hurler) dan penyakit yang
mempengaruhi osteoklast (displasia cleidocranial, osteopetrosis). Sindrom lainnya
berhubungan dengan pertumbuhan gigi yang kurang atau keterlambatan erupsi karena gigi
supernumerary atau hiperplasia gingiva9
2. Jenis Kelamin
Erupsi gigi permanen pada perempuan lebih cepat daripada laki – laki. Perbedaan yang
signifikan tampak pada gigi taring atas, gigi seri atas, dan gigi seri bawah. Rata – rata
perbedaan waktu erupsi adalah 4 – 6 bulan dengan perbedaan terbesar pada gigi seri
permanen. Erupsi gigi yang lebih cepat pada perempuan berhubungan dengan onset
pubertas yang lebih dini9
3. Nutrisi
Nutrisi yang diperlukan dalam proses pembentukan dan perkembangan gigi adalah
protein, kalsium, fosfor, flour, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D. Nutrisi tersebut dapat
mempengaruhi gigi selama masa pertumbuhan, maturasi, dan setelah erupsi9
a. Protein
Sumber protein dapat berasal dari tumbuhan dan hewan. Misalnya daging, susu,
telur, ikan, gandum, jagung, dan kacang – kacangan. Kebutuhan protein pada ibu hamil
dan menyusui lebih tinggi karena protein juga diperlukan untuk pertumbuhan janin di
dalam kandungan dan bayi yang sedang menyusui10
Defisiensi protein akan menyebabkan gangguan pembentukan kolagen padahal
jaringan kolagen diperlukan untuk sintesis matriks. Defisiensi protein saat hamil akan

10
menganggu perkembangan tulang rahang, menyebabkan maloklusi, dan gigi mudah
mengalami karies karena protein merupakan komponen penting pada matriks enamel,
dentin, dan sementum. Anak yang mengalami malnutrisi menunjukkan keterlambatan
erupsi gigi susu dan gigi permanen serta lebih sering muncul karies. Malnutrisi energi
protein selama periode tumbuh kembang juga menyebabkan penurunan jumlah dan
kualitas sekresi saliva11,12
b. Mineral (Kalsium, Fosfor, Fluor)
Mineral memiliki fungsi yang bervariasi dan saling berhubungan satu sama lain
sehingga tidak dapat dianggap sebagai unsur tunggal. Dalam proses absorpsi, mineral
membutuhkan protein dan dipengaruhi oleh zat gizi dan senyawa lain pada makanan12
Kalsium meupakan mineral yang paling banyak ditemukan dalam tubuh. Kalsium
dapat diperoleh dari ikan, kerang, kubis, susu, keju, jeruk, roti, dan anggur. Fungsi
utamanya adalah sebagai unsur pembentuk tulang dan gigi. Defisiesi kalsium
menyebabkan gangguan kalsifikasi saat pembentukan tulang dan gigi12
Fosfor merupakan mineral yang paling banyak kedua setelah kalsium. Zat ini
biasanya ditemukan bersama dengan kalsium di dalam tubuh. Sumber fosfo antara lain
daging, sereal, susu, dan telur. Fungsi fosfor adalah pembentukan mineral tulang dan
gigi. Perletakan fosfat pada matriks tulang dan gigi merupakan tahap awal dalam proses
mineralisasi. Defisiensi fosfor juga dapat menyebabkan gangguan kalsifikasi saat
pembentukan tulang dan gigi. Tetapi karena fosfor tersebar luas dalam makanan, maka
defisiensi fosfor jarang terjadi12
Fluor merupakan zat gizi yang sangat penting untuk mineralisasi. Kecukupan fluor
pada tahap praerupsi akan meningkatkan kualitas gigi untuk menghambat terjadinya
karies di kemudian hari. Jika fluor diberikan diberikan saat proses mineralisasi hampir
atau sudah lengkap, maka fluor tidak atau kurang dapat menembus sampai bagian
dalam enamel sehingga hanya terbatas di bagian luar saja12
Dosis fluor yang disarankan sehari – hari adalah 1,3 – 1,5 mg. Fluor sejumlah ini
dapat diperoleh dari makanan dan fluoridasi air minum. Selain itu, fluor juga dapat
diperoleh dengan cara penambahan pada garam dapur, dalam bentuk tablet, atau
penggunaan topikal. Penggunaan fluor dalam waktu lama selama pembentukan enamel

11
dapat menyebabkan terbentuknya garis putih pada gigi, perubahan enamel menjadi
putih seperti kapur, dan enamel berisiko patah pada saat erupsi12
c. Vitamin A, Vitamin C, dan Vitamin D
Vitamin merupakan faktor makanan tambahan dan diperlukan dalam jumlah sedikit
setiap hari untuk mempertahankan integritas tubuh. Vitamin dibagi menjadi vitamin
yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, dan K) dan larut dalam air (vitamin B
kompleks dan C)12
Defisiensi vitamin A yang terjadi pada masa pertumbuhan gigi akan menganggu
fungsi ameloblast saat pembentukan calon gigi sehingga menyebabkan defek pada
mikrostruktur enamel yang sangat sensitif terhadap faktor kariogenik. Ameloblast juga
akan menginduksi odontoblast sehingga juga terbentuk jaringan odontoblast yang
defektif dan sensitif terhadap karies. Defisiensi vitamin A dan kekurangan energi
protein pada ibu hamil menyebabkan hipoplasia enamel dan atrofi kelenjar saliva
sehingga meningkatkan kerentanan gigi terhadap karies11
Vitamin C berperan dalam pembentukan kolagen saat penyembuhan luka dan
mempertahankan integritas sel yang saling berhubungan dengan fibroblast, osteoblast,
dan odontoblast. Sel – sel tersebut terlibat dalam pembentkan jaringan ikat tulang dan
gigi. Defisiensi saat pembentukan gigi menyebabkan terjadinya defek pada jaringan
keras terutama pada dentin sehingga akan sensitif terhadap makanan kariogenik11
Vitamin D meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat di usus halus dimana kalsium
dan fosfat akan meningkatkan proses kalsifikasi. Selain itu, vitamin D juga diperlukan
untuk kalsifikasi normal jaringan keras serta perkembangan tulang dan gigi. Defisiensi
vitamin D menyebabkan hipoplasia enamel, kalsifikasi dentin dan tulang alveolar yang
tidak sempurna, serta memperlambat erupsi gigi dan malposisi gigi11
4. Kelahiran Preterm
Menurut WHO, kelahiran preterm adalah kelahiran yang terjadi pada umur kehamilan
kurang dari 37 minggu atau berat saat lahir di bawah 2500 gram. Sebagian besar bayi
preterm mengalami keterlambatan erupsi gigi susu dan gigi permanen apabila waku erupsi
dibandingkan denan umur kronologis. Tetapi jika dibandingkan dengan umur koreksi,
maka tidak terdapat perbedaan pada maturasi dan erupsi gigi9

12
5. Faktor Sosial Ekonomi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak – anak dengan tingkat sosial ekonomi
yang tinggi mengalami erupsi gigi lebih cepat daripada anak – anak dengan tingkat sosial
ekonomi rendah. Tingkat sosial ekonomi mempengaruhi kondisi nutrisi dan pelayanan
kesehatan dimana keduanya merangsang perkembangan gigi. Selain itu, erupsi gigi
permanen juga berbeda pada tingkat sosial ekonomi. Gigi permanen yang erupsi pertama
kali pada tingkat sosial ekonomi tinggi adalah gigi taring atas sedangkan pada tingkat sosial
ekonomi rendah adalah gigi geraham bawah9
6. Tinggi Badan dan Berat Badan
Anak yang lebih tinggi dan lebih berat menunjukkan erupsi gigi yang lebih cepat
daripada anak yang pendek. Pada anak obese, maturasi dan erupsi gigi lebih cepat sekitar
1,2 – 1,5 tahun daripada anak dengan indeks massa tubuh yang normal9
7. Faktor Hormon
Gangguan kelenjar endokrin biasanya memiliki efek pada semua bagian tubuh,
termasuk pada gigi. Hipotiroidisme, hipopituitarisme, hipoparatiroidisme, dan
pseudohipoparatiroidisme merupakan penyakit endokrin yang paling sering berhubungan
dengan keterlambatan erupsi gigi permanen9
Perkembangan gigi yang lebih cepat berhubungan dengan peningkatan sekresi
androgen adrenal. Sedangkan efek hipersekresi hormon pertumbuhan dan hormon tiroid
terhadap perkembangan gigi masih belum jelas9
8. Penyakit Sistemik
Sebagian besar penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan keterlambatan erupsi
gigi dan hanya diabetes mellitus yang mempercepat erupsi. Mekanisme keterlambatan
berbeda pada setiap penyakit, biasanya berupa retensi gigi susu, hiperplasia gingiva,
fibromatosis atau perubahan hormon yang mempengaruhi resorpsi tulang. Contoh penyakit
yang mempengaruhi erupsi gigi antara lain gagal ginjal, radiasi ionisasi, anemia, cerebral
palsy, infeksi HIV, labiopalatoschizis, kemoterapi jangka panjang, intoksikasi logam berat,
dan lain – lain9

13
C. Kista Erupsi
1. Definisi
Kista adalah rongga patologis yang dilapisi oleh epitel. Kista mengandung cairan yang
bukan berasal dari akumulasi pus atau darah. Lapisan epitel dikelilingi oleh jaringan ikat
fibrokolagen. Kista tersebut dapat menyebabkan pembesaran intraoral atau ekstraoral yang
secara klinis dapat menyerupai tumor jinak13,14
Kista erupsi merupakan kista yang terletak superfisial pada mahkota gigi yang akan
erupsi. Kista erupsi merupakan bentuk kista jaringan lunak yang berhubungan dengan
erupsi gigi susu atau gigi permanen dan hanya muncul sebentar sebelum gigi susu atau gigi
permanen tersebut muncul ke dalam rongga mulut. Kista erupsi merupakan kista
dentigerous yang terjadi pada jaringan lunak tanpa melibatkan tulang15,16
2. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan penyebab terjadinya kista erupsi. Misalnya
karies awal, trauma, infeksi, kekurangan ruang untuk erupsi gigi, dan faktor genetik
sebagai predisposisi. Kista erupsi berasal dari pemisahan antara folikel dentis dengan
mahkota gigi yang akan erupsi dan akumulasi cairan pada ruang folikular yang terbentuk.
Tetapi etiologi yang tepat bagi terjadinya kista erupsi belum jelas16
3. Patogenesis
Kista dapat terletak seluruhnya di dalam jaringan lunak, di antara tulang, atau di atas
permukaan tulang. Kista pada tulang rahang kemungkinan berasal dari epitel odontogenik
seperti sisa lamina dentis atau organ enamel17
Perkembangan kista dimulai dan dilanjutkan oleh stimulasi sitokin terhadap sisa epitel
ditambah dengan produk degradasi seluler yang menghasilkan cairan transudat sehingga
terjadi akumulasi cairan dan kista semakin membesar18
4. Manifestasi Klinis
Kista erupsi biasanya terjadi pada anak – anak dan berhubungan dengan keterlambatan
erupsi gigi. Rata – rata kasus kista erupsi terjadi pada umur 6 – 9 tahun dimana periode ini
berhubungan dengan erupsi gigi molar pertama permanen dan insisivus. Prevalensi
tertinggi kista erupsi terjadi pada erupsi gigi insisivus dan gigi molar diikuti oleh gigi
caninus dan gigi premolar19

14
Gambaran klinis kista erupsi adalah massa translusen pada puncak tulang alveolar dari
gigi yang akan erupsi disertai fluktuasi. Pembuluh darah yang terdapat pada rongga kista
memberikan warna ungu atau biru tua secara klinis16

Gambar 2.9 Kista erupsi yang mengandung darah sehingga disebut juga sebagai
hematoma erupsi18

5. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiologi, sangat sulit menemukan kista erupsi karena kista dan gigi
yang akan erupsi sudah berada di jaringan lunak dari puncak tulang alveolar dan tidak
melibatkan tulang. Gambaran ini sangat berbeda dengan kista dentigeous dimana terdapat
massa radiolusen berbentuk setengah bulat di atas mahkota gigi yang tidak erupsi15

Gambar 2.10 Foto intraoral periapikal tampak bayangan pericoronal pada jaringan
lunak yang menutupi gigi yang akan erupsi20

Pada pemeriksaan histopatogi, tampak epitel squamous kompleks dengan keratinisasi


dan epitel enamel tereduksi pada dasar jaringan ikat stroma. Selain itu, juga terdapat
infiltrasi sel inflamasi kronis19

15
Gambar 2.11 Gambaran histopatologi kista erupsi. Tampak ruang kistik epitelial di
bawah mukosa mulut18

6. Terapi
Kista erupsi tidak membutuhkan tata laksana khusus karena sebagian besar dapat
sembuh dan hilang sendiri saat gigi erupsi. Jika kista tidak ruptur spontan, maka dapat
dilakukan insisi kecil untuk mempercepat erupsi gigi. Intervensi bedah juga diperlukan
apabila kista tersebut menimbulkan nyeri, perdarahan, infeksi, atau masalah estetika18,21

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar, G. et al. Orbans Oral Histology and Embryology. (Reed Elsevier India, 2015).

2. Rao, A. Principles and Practice of Pedodontics. (Jaypee Brothers Medical Publishers, 2008).

3. Dean, J. McDonald and Averys Dentistry for the Child and Adolescent. (Elsevier, 2016).

4. Nanci, A. Ten Cates Oral Histology. (Elsevier, 2018).

5. Sudiono, J. Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. (EGC, 2008).

6. Melfy, R. & Alley, K. Permars Oral Embryology and Microscopic Anatomy. (Lippincott

Williams and Wilkins, 2000).

7. Kurniasih, I. Emerging Problems Associated with Tooth Eruption. 8, 52–59 (2008).

8. McKinley, M. & O’Loughlin, V. Human Anatomy. (McGraw Hill, 2012).

9. Almonaitiene, R., Balciuniene, I. & Tutkuviene, J. Factors influencing permanent teeth

eruption. Part one general factors. Stomatologija 12, 67–72 (2010).

10. Casamassimo, P., Fields, H., McTigue, J. & Nowak, A. Pediatric Dentistry : Infancy through

Adolescence. (Elsevier, 2012).

11. Alvarez, J. O. & Navia, J. M. Nutritional status, tooth eruption, and dental caries: a review.

Am. J. Clin. Nutr. 49, 417–426 (1989).

12. Andriany, P. Nutrisi pada Pertumbuhan Gigi Praerupsi. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 8,

57–60 (2008).

13. Eversole, L. Clinical Outline of Oral Pathology Diagnosis and Treatment. (Peoples Medical

Publishing House USA, 2011).

14. Pedlar, J. & Frame, J. Oral and Maxillofacial Surgery. (Churchill Livingstone, 2007).

15. Dhawan, P., Kochhar, G. K., Chachra, S. & Advani, S. Eruption cysts : A series of two cases.

Dent Res J (Isfahan) 9, 647–650 (2012).

17
16. Şen-Tunç, E. et al. Eruption cysts : A series of 66 cases with clinical features. Med Oral

Patol Oral Cir Bucal 22, e228–e232 (2017).

17. Kuhuwael, F., Pieter, N. & Nasrul. Kista odontogenik di Rumah Sakit Dr Wahidin

Sudirohusodo Makassar. Dentofasial 8, 80–87 (2009).

18. Neville, B., Damm, D., Allen, C. & Bouquot, J. Oral and Maxillofacial Pathology.

(Saunders Elsevier, 2009).

19. Gopal, S. & Bhoopalan. An Eruption Cyst A Case Report. World Journal of Pharmacy and

Pharmaceutical Sciences 5, 1131–1135 (2016).

20. Shaul, H. et al. Eruption Cyst : A Case Report. Pacific Journal of Medical Sciences 11, 2013

(34-38).

21. Nagaveni, N. B., Umashankara, K. V., Radhika, N. B. & Maj Satisha, T. S. Eruption cyst : A

literature review and four case reports. Indian J Dent Res 22, 148–151 (2011).

18

Anda mungkin juga menyukai