1. Agenesis gigi
Agenesis adalah tidak terbentuknya atau tidak dibentuknya benih gigi
pada saat tahap bud stage ataupun cup stage. Agenesis dapat
mengenai satu atau beberapa gigi, bahkan dapat mengenai seluruh
gigi dan dapat terjadi pada gigi sulung maupun gigi tetap.
1
STEP II
PROBLEM DEFINITION
STEP III
BRAINSTORMING
2
1. Pada tahap odontogenesis yang mana terjadi kelainan sehingga
timbul kelainan yang terjadi pada pasien tersebut ?
Proses pertumbuhan dan perkembangan gigi disebut odontogenesis,
enamel sediri adalah lapisan paling luar gigi yang terdiri dari 95% -
98% zat anorganik, dimana adalah lapisan terkuat pada gigi,
dengan tidak adanya enamel menyebabkan permukaan gigi paling
luar menjadi dentin yang merupakan lapisan kedua paling luar
setelah enamel, dimana dentin itu sendiri memiliki warna yang
lebih buram dan kuning jika dibandingkan enamel.
Terjadinya hipokalsifikasi dan hipomaturasi sehingga gigi mudah
keropos.
3
Matrik anorganik pada dentin lebih sedikit daripada enamel,
sehingga dentin lebih mudah keropos daripada enamel.
Faktor eksogen : Zat makanan, zat makanan ini berpengaruh pada
warna gigi itu sendiri, warna gigi yang buram dapat disebabkan
karena zat warna makanan yang menempel dan meresap pada gigi
(dentin).
Faktor endogen : florosis dan penyakit lainnya.
odontogenesis, yaitu pada saat tahap bud stage, tahap bud stage itu
4
sendiri terjadi ketika janin berusian 7 minggu intra uterin, dimana
pada tahap ini band epitel primer mengalami perkembangan
menjadi dua proses, yaitu band vestibular dan dental lamina. Band
vestibular sendiri nantinya akan membentuk bagian bibir maupun
bagian bukal dan membentuk vestibulum. Sedangkan dental lamina
akan berkembang menjadi benih gigi dimana pada tahap ini adalah
tahap dimulainya pembentukkan benih gigi. Sehingga ketika terjadi
kesalahan pada tahap bud stage ini dapat menyebabkan agenisis,
dimana tidak adanya proses erupsi gigi dikarenakan tidak adanya
proses pembentukkan benih gigi pada saat tahap bud stage yang
dimulai pada minggu ke 7 usia janin intra uterin.
5
melainkan adalah seorang penderita dengan kelianan pada alel
yang bersifat homozigot resesive, yang kemudian mewariskan
kelainannya pada anaknya.
6
Kelainan warna gigi dapat disebabkan karena terjadinya
kelainan atau gangguan pada saat tahap advance bell stage.
Kelainan pada saat tahap bud stage, kelainan yang timbul adalah
kelainan yang berhubungan dengan jumlah gigi, yaitu tidak adanya 1 atau
lebih benih gigi yang biasanya mengenai gigi M3, I2, P2, pada Rahang
Atas dan Rahang Bawah. Dan supernumenary atau bertambahnya
pertumbuhan benih gigi yang menyebabkan jumlah gigi yang lebih dari
normal
Kelainan pada tahap cup stage biasanya berhubungan dengan fusi
gigi dimana keadaan dua gigi menjadi satu
Sedangkan kelainan atau gangguan pafa tahap bell stage dapat di bagi
kedalam dua bagian, yaitu gangguan pada saat proses histodiferensiasi
dapat menyebabkan kelainan pada struktur gigi, dan gangguan pada saat
7
proses morfodiferensiasi dapat menyebabkan kelainan pada bentuk dan
ukuran gigi.
8
STEP IV
MAPPING
Cup Stage
Bell Stage
Normal Tidak Normal
Patogenesis
Aposisi
Gejala Klinis
Kalsifikasi
9
STEP V
LEARNING OBJECTIVE
PR
1. Salah satu kelainan pada saat tahap bud stage adalah tidak terbentuknya
benih gigi, dimana hal ini dapat menyebakan tidak adanya erupsi satu
atau lebih gigi. Dimana kelaianan ini biasanya sering mengenai gigi M 3,
I2, P2, pada Rahang Atas dan Rahang Bawah.
Menurut pernyataan diatas mengapa terjadinya agenesis atau tidak adanya
benih gigi sering mengenai gigi M3, I2, P2, pada Rahang Atas dan Rahang
Bawah ?
10
STEP VI
SELF STUDY
STEP VII
PEMBAHASAN
11
Berdasarkan perubahan fisiologi yang terjadi, perkembangan gigi dibagi
menjadi:
1. Inisiasi
2. Proliferasi
3. Morfodifferensiasi dan histodifferensiasi
4. Aposisi dan kalsifikasi
12
Gambar 2. Inisiasi (tahap bud)
13
padat di bagian tengah dari organ enamel. Enamel cord merupakan
perpanjangan vertikal dari enamel knot yang meluas ke epitel enamel luar
(Rao, 2008).
Seperti pada defisiensi yang terjadi di bagian inisiasi, defisiensi dari
proliferasi berakibat dalam kegagalan dari benih gigi untuk berkembang dan
kurang dari jumlah gigi yang normal. Proliferasi yang berlebihan dari sel
dapat menghasilkan sisa-sisa epitel. Sisa ini dapat inaktif ataupun menjadi
aktif dikarenakan hasil dari iritasi atau stimulus. Jika sel-sel menjadi
terdifferensiasi sebagian atau terpisah dari organ enamel pada tahap
differensiasi sebagiannya, diperkirakan bahwa fungsi sekretori menjadi
umum terhadap semua sel epitel dan akan berkembang sebuah kista. Jika sel-
sel menjadi terdifferensiasi secara total atau terlepas dari organ enamel, sel
tersebut akan menghasilkan enamel dan dentin dimana berdampak pada
odontoma atau gigi supernumery. Derajat dari differensiasi dari sel
menentukan apakah sebuah kista, odontoma, atau gigi supernumery yang
akan berkembang (Rao, 2008).
14
Gambar 4. Histodifferensiasi dan morfodifferensiasi (tahap bell)
Pada tahap ini, organ enamel mengandung empat lapisan yaitu (Rao,
2008):
- Epitel enamel dalam, terbentuk dari satu lapisan dari sel kolumnar yang
panjang yang disebut sebagai ameloblast
- Stratum intermedium, mengandung sel squamous. Lapisan ini penting untuk
pembentukan enamel bersama dengan epitel enamel dalam.
- Retikulum stelata, berbentuk bintang dan mensekresikan glikosaminoglikan.
- Epitel enamel luar, bentuk sel pipih menjadi bentuk kuboidal (gambar 5).
15
morfodifferensiasi menyebabkan bentuk dan ukuran yang abnormal dari gigi
(Mcdonald, 2004).
Sel perifer dari papila dental berdifferensiasi menjadi odontoblast
yang akan membentuk dentin. Kantung gigi awalnya menunjukkan susunan
sirkular dari seratnya menyerupai struktur kapsul dan nantinya ketika
perkembangan akar berlanjut, akan berdifferensiasi menjadi serat periodontal.
Pada tahap akhir dari tahap bell, bagian servikal dari organ enamel
memberikan perkembangan ke akar epitel sheath of hertwig. Epitel enamel
dalam dan luar akan bertemu pada pinggir dari zona junctional organ enamel
yang disebut sebagai loop servikal (Rao, 2008).
16
matriks. Proses ini dimulai dengan pengendapan dari sejumlah kecil nidus
sampai pengendapan lebih jauh terjadi. Nidus tersebut akan meningkat dalam
ukuran oleh pertambahan dari lamina konsentrik. Terdapat perkiraan yang
seimbang dan penyatuan dari calcospherit individual menjadi lapisan mineral
dari matriks jaringan yang homogen. Jika proses kalsifikasi terganggu
menyebabkan kekurangan dalam penyatuan dari calcospherit. Defisiensi ini
belum teridentifikasi di enamel namun di dentin hal ini telihat secara
mikroskopis dan kemudian disebut sebagai dentin interglobular (Mcdonald,
2004).
17
Gambar 7. Pembentukan akar gigi
Tumbuh kembang gigi geligi terjadi sejak janin masih dalam kandungan
ibu hingga beberapa tahun setelah kelahiran dan meliputi fase pertumbuhan,
kalsifikasi serta erupsi. Zat gizi merupakan salah satu faktor penting bagi tumbuh
kembang gigi geligi yang akan mempengaruhi keadaan gigi geligi setelah erupsi.
Oleh karena itu keadaan gizi ibu hamil perlu diperhatikan untuk mendapatkan gigi
sehat bebas karies.
Proses tumbuh kembang seorang anak dipengaruhi beberapa faktor seperti
genetika, stimulasi atau lingkungan dan asupan nutrisi yang optimal. Faktor
tersebut mempunyai pengaruh yang saling menunjang dan terkait dalam
menciptakan proses tumbuh kembang yang optimal.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang secara umum
terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,
yaitu:
1. Faktor Genetik
a. Pewarisan Gen
18
Kromosom manusia adalah 23 pasang yang terdiri dari 22 pasang
kromosom autosom dan sepasang kromosom kelamin (sex), pada perempuan
mempunyai sepasang kromosom sex yang sama yaitu XX, pada laki-laki
pasangan kromosom sexnya tidak sama yaitu X dan Y. Pewarisan gena tunggal
disebut juga Mendelian atau unifactorial inheritance, di mana pola pewarisannya
mengikuti hukum Mendel sederhana yang ditentukan oleh dua hal yaitu: lokus
gena mutan (pada autosom atau kromosom X) dan sifat ekspresi genanya
(dominan atau resesif). Oleh karenanya pewarisan gena tunggal dibagi menjadi 4
macam, yaitu pewarisan autosomal dominant, autosomal recessive, X-linked
dominant dan X-linked recessive. Kromosom Y miskin gena, sehingga kelainan Y-
linked sangat sedikit dan tidak fatal, misal infertilitas pada laki-laki oleh karena
azoospermia atau oligospermia. Pewarisan gen sendiri sangat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan gigi seseorang. Pewarisan gen sendiri dibagi
kedalam beberapa klasifikasi, yaitu :
1. Pewarisan autosomal dominant
Pewarisan autosomal dominant (AD) disebabkan oleh adanya satu gen
mutan yang merugikan (abnormal) yang terletak pada autosom (pada kromosom
nomor 1 sampai nomor 22). Adanya satu gen mutan yang merugikan (abnormal)
di salah satu genorip, sudah dapat menimbulkan suatu kelainan, atau sifat yang
nampak pada seseorang (Emery & Rimoin, 1990; Lewis, 2007). Karena autosom
itu secara normal berpasangan, maka gennya juga berpasangan dan terletak pada
lokus yang sama (alel). Apabila kedua gen pada sepasang kromosom (disebut
kromosom homolog) tadi:
a) Sama, yaitu keduanya normal atau keduanya mutan (abnormal), maka keadaan
demikian disebut homozigot normal atau homozigot sakit.
b) Berbeda, yaitu yang satu normal dan yang lain mutan (abnormal) maka
keadaan demikian disebut heterozigot, dan karena gen (alel) mutan dominan
terhadap gen (alel) normal, maka individu demikian disebut heterozigot sakit.
Untuk menentukan apakah suatu sifat diwariskan secara autosomal
dominant, ada tiga gambaran khusus yang perlu diamati. Pertama, baik laki-laki
dan perempuan dapat sakit dalam proporsi yang sama (karena gen yang cacat di
autosom); kedua, hal yang dipengaruhi dari satu generasi ke generasi berikutnya,
19
dan ketiga, segala sifat dapat diwariskan dari ayah atau ibu ke anak laki-laki,
maupun anak perempuan. Setiap anak mempunyai kemungkinan mewarisi sifat
dominan 1 : 2 (50%). Beberapa contoh kelainan yang diwariskan secara
autosomal dominant adalah: polidaktili (kelebihan jari tangan atau kaki), sindroma
Marfan, aniridia (tidak terbentuk iris), blefarofimosis (celah mata sempit).
Beberapa contoh sifat/karakter yang diwariskan secara autosomal dominant
adalah: kemampuan menggulung lidah, kemampuan mengecap, lobulus daun
telinga yang bebas, rambut keriting, dagu yang besar dan menonjol (makro dan
prognati), dens in dente, talon cusps.
2. Pewarisan autosomal recessive
Pewarisan autosomal recessive (AR) disebabkan oleh sepasang gen mutan
resesif yang terletak pada lokus yang sama di autosom. Dengan demikian
frekuensi kelainan atau sifat ini pada laki-laki dan perempuan sama. Pada
pewarisan autosomal recessive berlaku ketentuan sebagai berikut: a) Setiap
individu yang mempunyai kelainan harus dalam keadaan homozigot; b) Kedua
orang tua (ayah dan ibu) membawa satu alel untuk gen mutan resesif; c) Individu
dengan satu alel resesif tidak menunjukkan kelainan (disebut carrier); d)
Rasiorata-rata antara anak normal dan anak yang mewarisi kelainan atau sifat
pada perkawinan kedua individu heterozigot adalah 3:1; e) Adanya perkawinan
keluarga antara orang tua (perkawinan sedarah, konsanguin, inbreeding).
Beberapa contoh kelainan yang diwariskan secara autosomal recessive
adalah: albino (bulai), fenilketonuria (karena gangguan metabolisme fenilalanin),
Alzeimer (atrofi cerebri senilis), osteogenesis imperfecta (pertumbuhan tulang
tidak sempurna), amelogenesis imperfecta dan osteogenesis imperfecta
(pertumbuhan enamel dan dentin tidak sempurna). Beberapa sifat/karakter yang
diwariskan secara autosomal recessive adalah: ketidakmampuan menggulung
lidah, buta kecap, lobulus daun telinga melekat, rambut lurus, dagu kecil dan
mundur ke belakang (mikroretrognati), taurodontism atau bull tooth (pelebaran
saluran akar gigi molar)
3. Pewarisan X-linked dominant
Pewarisan X-linked dominant (XLD) ini disebabkan adanya satu gen mutan
dominan pada salah satu kromosom X. Pada perempuan karena sifat ekspresi gen
20
dominan, meskipun dalam keadaan heterozigot (hanya 1 kromosom X membawa
gene yang cacat), tetap tampak sakit. Perempuan dalam keadaan heterozigot akan
menunjukkan kelainan yang lebih ringan daripada laki-laki yang sakit. Ini
disebabkan pada perempuan heterozigot masih ada satu kromosom X dengan alel
yang normal. X-linked dominant ini mempunyai sifat sebagai berikut: a)
Perkawinan antara laki-laki dengan kelainan dan perempuan normal akan
menghasilkan anak laki-laki normal dan semua anak perempuan mempunyai
kelainan; b) Perkawinan perempuan dengan kelainan (heterozigot) dan laki-laki
normal akan menghasilkan 50% anak laki-laki mempunyai kelainan dan 50%
anak perempuan mempunyai kelainan; c) Jumlah perempuan dengan kelainan
kira-kira dua kali lebih banyak daripada laki-laki, tetapi kebanyakan pada
perempuan lebih ringan (karena pada laki-laki pada umumnya kelainannya fatal)
Contoh kelainan pewarisan X-linked dominant adalah: rakitis resisten
terhadap vitamin D, yaitu kelainan tulang yang disebabkan ketidakmampuan
ginjal untuk menyerap kembali kalsium yang difiltrasi ginjal. Contoh lain
kelainan pewarisan X-linked dominant adalah defisiensi transkarbamoilase ornitin
hati (menyebabkan hiperamonemia neonatus) dan sindrome Retts (sindrome
keterlambatan mental)
4. Pewarisan X-linked recessive
Pewarisan X-linked recessive (XLR) disebabkan oleh gen mutan resesif
yang terdapat pada kromosom X, artinya bahwa adanya satu gen mutan pada
wanita normal XX tidak menimbulkan kelainan. Gambaran silsilah keluarga
pewarisan X-linked recessive adalah sangat khas, ialah jauh lebih banyak laki-laki
yang mempunyai kelainan daripada perempuan, atau bahkan yang nampak
mempunyai kelainan hanya laki-laki (Lewis, 2007). Pewarisan X-linked recessive
ini mempunyai sifat sebagai berikut: a) Insiden kelainan X-linked recessive pada
laki-laki jauh lebih besar daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena
perempuan yang mempunyai kelainan membutuhkan sepasang gen mutan pada
sepasang kromosom X (homozigot). Di lain pihak, laki-laki hanya mempunyai
satu kromosom X membawa gen mutan, dapat menyebabkan kelainan (laki-laki
hemizigot mutan); b) Gen yang bertanggung jawab untuk terjadinya kelainan
diwariskan dari laki-laki dengan kelainan kepada semua anak perempuannya.
21
Separo cucu laki-laki juga akan mewarisi gen abnormal tadi; c) Gen resesif tadi
tidak pernah diwariskan langsung dari ayah kepada anak laki-laki, tetapi
diwariskan lewat anak perempuan, baru kemudian ke cucu laki-laki; d) Gen dapat
diwariskan dari sejumlah perempuan pembawa (carrier), sehingga munculnya
penyakit pada pria adalah berasal dari wanita carrier.
Contoh kelainan atau sifat pewarisan X-linked recessive adalah: buta
warna, hemofilia (darah sulit membeku saat perdarahan atau luka), sindrom
displasia ektodermal: displasia ektoderm anhidrotik (sulit berkeringat karena
kelenjar keringat abnormal), hypodontia atau anodontia (gigi tidak tumbuh
sebagian atau seluruhnya.
5. Pewarisan Y-linked
Pewarisan Y-linked (terangkai Y) disebut juga pewarisan holandrik yang
berarti fenotip yang ada hanya diwariskan oleh seorang ayah kepada anak laki-
lakinya, dan kemudian ke cucu laki-laki dan seterusnya kesemua keturunan laki-
lakinya. Dalam pewarisan terangkai Y tidak ada istilah dominan dan
resesif,karena kromosom Y hanya terdapat pada laki-laki, dan laki-laki normal
hanya mengandung satu kromosom Y. Pewarisan terangkai Y, contohnya pada
kelainan yang mengenai masalah keraguan kelamin (sex ambigua). Selain itu di
India, daun telinga berambut juga diwariskan secara terangkai Y.
b. Jenis kelamin
Kromosom X dan Y telah ditemukan memiliki efek pada dimensi gigi.
Amelogenin gen, pengkodean gen salinan untuk protein enamel gigi, ditemukan
pada kromosom Y dan juga di wilayah homolog dari kromosom X. Ada beberapa
berpendapat bahwa ada perbedaan efek dari X dan Y kromosom pada
pertumbuhan gigi, yang dapat membantu menjelaskan dimorfisme seksual dalam
ukuran gigi dan bentuk. Khusus kromosom Y terkait dengan pertumbuhan baik
enamel dan dentin, sedangkan X kromosom hanya terlibat dalam pertumbuhan
enamel. Studi dari gigi permanen telah menemukan laki-laki memiliki lebih
banyak dentin dibandingkan perempuan
2. Faktor Lingkungan
22
tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya.
Lingkungan ini merupakan lingkungan bio-psiko-psikososial yang
mempengaruhi individu setiap hari mulai dan konsepsi sampai akhir hayatnya.
Faktor lingkungan tersebut dapat mempengaruhi dari kelainan morfologi dan
struktur gigi.
Faktor lingkungan ini secara garis besar dibagi menjadi :
A. Faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih dalam
kandungan (faktor prenatal).
23
A. AMELOGENESIS IMPERFECTA
Penurunan Amilogenesis Imperfecta dapat melalui :
1. X-linked .
Amelogenesis imperfecta 1, tipe hipoplasia, AIH1) menunjukkan
pola khas warisan X-linked. Perempuan heterozigot dapat menularkan
gen mutan pada anak anak dengan risiko 50%. Kondisi tersebut
mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam cara yang sangat berbeda.
Laki-laki menunjukkan sifat tersebut sepenuhnya. Mereka mungkin
memiliki gigi yang hanya memiliki lapisan tipis enamel warna yang
normal dan transparan , atau enamel mungkin ketebalan yang normal tapi
dengan mineralisasi yang buruk sehingga warna enamel menjadi
tranparan dan atau perubahan warna kuning-coklat.
Pada beberapa keluarga pewarian X-linked Amilogenesis
Imperfecta menunjukkan keterkaitan gangguan untuk kromosom Xp22
lengan pendek dari X kromosom pada band ke 22 . Pada beberapa keluarga
yang mengalami mutasi telah menunjukkan bahwa gangguan ini adalah
hasil dari mutasi pada gen amelogenin AMELX (amelogenin) yang
terletak pada Xp22.3-p22.1 dan Kode untuk protein amelogenin. Mutasi
yang terjadi termasuk penghapusan bagian dari gen, mutasi basa tunggal
dan berhentinya kodon prematur. Bagian-bagian tertentu dari gen
mungkin penting dalam pengendalian ketebalan enamel,sedangkan bagian
lain mungkin memainkan peran penting dalam minerelisasi enamel.
2. Autosomal
Bentuk autosomal dari amelogenesis imperfecta telah menunjukkan
bahwa gangguan dalam beberapa keluarga dengan tempat kromosom
Amelogenesis Imperfeta autosomal dominan pada kromosom 4Q11-Q21.
Albumin ALB, ameloblastin AMBN dan enamelin gen ENAM semua gen
pada tempat kromosom yang sama. Tuftelin adalah lain protein enamel
yang lain , yang memetakan berbeda kromosom yakni pada 1q21, dan
mungkin terlibat dalam kasus lain dari autosomal Amelogenesis
Imperfecta . Mutasi di gen coding untuk protease enamel, yang terlibat
24
dalam degradasi protein enamel, juga dapat menyebabkan Amelogenesis
Imperfecta.
2.a. Autosomal dominan
Autosomal dominan AI (ADAI ) biasanya mempengaruhi satu
atau lebih individu dalam setiap generasi keluarga. Konsistensi dalam
manifestasi klinis di setiap terpengaruh individu atau mungkin ada
ekspresi variabel, mengakibatkan perbedaan besar atau halus antara
berbeda individu yang terkena dalam keluarga yang sama. Fenotip di
ADAI mungkin dominan atau eksklusif hipoplasia, dimanifestasikan
oleh enamel tipis dan spasi antara gigi, atau dalam beberapa silsilah ,
enamel terlihat kasar, tidak teratur. Keabnormalan adalah di jumlah
matriks enamel diproduksi, enamel akan keras, terlihat transparan.
Sebaliknya, pada beberapa individu dan keluarga yang fenotipe dapat
dominan atau eksklusif hypomineralised
2.b. Autosomal resessive
Autosomal resesif amelogenesis imperfect. Autosomal resesif
AI (ARAI) harus dipertimbangkan jika terdapat kekerabatan didalam
keluarga yang individu terkena. Ini mungkin lebih sering dijumpai di
kelompok etnis dan budaya tertentu di mana perkawinan dalam
keluarga mungkin lebih umum. ARAI juga akan lebih lazim di mana
ada frekuensi tinggi dari gen mutan dalam suatu populasi, seperti
seperti di beberapa komunitas Polynesian
Pada sebuah penelitian menggambarkan tiga probands dengan
autosomal resesif AI . Mereka menemukan bahwa di mana individu
yang homozigot untuk mutasi g.13185_13186insAG ENAM pada
kromosom 4, mereka menunjukkan enamel pitting dengan anterior
open bite, sedangkan heterozigositas disajikan hanya denganenamel
pitting. Mereka menggambarkan ini sebagai "ketergantungan dosis".
Enamel fenotipe mutasi ENAM dapat dosedependent, dengan umum
hipoplasia AI memisahkan sebagai sifat resesif dan pitting enamel
lokal memisahkan sebagai sifat dominan.
25
Kallikrein 4, mutasi pertama dalam keluarga gen kallikrein,
yang KLK4 gen (yang dipetakan di kromosom 19q13.4), baru-baru ini
diidentifikasi sebagai dikaitkan dengan resesif autosomal
hypomaturation amelogenesis imperfecta.
MMP-20Sebuah mutasi dalam matriks metaloproteinase 20
gen (MMP-20) di kromosom 11q22.3-Q23 telah dijelaskan berkaitan
dengan resesif autosomal hypomaturation amelogenesis imperfecta.
C. DENTINOGENESIS IMPERFECTA
Dentinogenesis Imperfecta merupakan suatu kelainan herediter
yang bermanifestasi salama periode perkembangan histodiferensiasi.
Sampai saat ini kelainan gen ini masih belum dapat dijelaskan secara pasti.
Namun beberapa peneliti menghubungkannya dengan abnormalitas jumlah
fosfoprotein. Juga dilaporkan adanya penurunan kandungan mineral yang
diakibatkan oleh sedikitnya kristal hidroksiapatit serta peningkatan
kandungan air pada metriks ekstraseluler (Auerkari et al ,1999)
Terdapat dugaan bahwa pada tahap ini faktor genetik dan
lingkungan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan dentin
selanjutnya DI dapat mengenai gigi sulung maupun gigi tetap, dengan
ekspresi yang menunjukan penetrasi tinggi dan tingkat mutasi yang
rendah. Cacat perkembangan ini diturunkan secara autosomal dominan dan
terjadi pada satu dari 8000 kelahiran dan mempengaruhi produksi serta
26
mineralisasi dentin. Sampai kini kelainan produk gen ini masih belum
dapat dijelaskan secara pasti. Beberapa peneliti, menghubungkannya
dengan adanya abnormalitas jumlah fosfoprotein dentin. Juga dilaporkan
terdapatnya penurunan kandungan mineral yang diakibatkan oleh
sedikitnya kristal hidroksi apatit serta peningkatan kandungan air pada
matriks ekstraseluler dentin dari gigi-gigi dengan dentinogenesis
imperfekta.
Oleh karena karakteristik penurunan DI ini bersifat autosomal
dominan, resiko terjadinya DI memiliki frekurensi tinggi, mencapai 50%
baik pada anak laki-laki maupun anak perempuan. Resiko ini akan terkena
pada setiap generasi, sehingga memberikan bentuk pedigree vertikal yang
khas untuk keturunan. Laki-laki dapat menurunkan DI kepada anak laki-
laki atau anak perempuan, demikian pula sebaliknya. Namun, individu
yang tidak terkena tidak akan menurunkan DI pada keturunannya.
Walaupun orang tua yang tidak terkena DI tidak akan menurunkan DI pada
keturunannya, namun, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pada
kasus-kasus yang jarang, mutasi baru mungkin saja terjadi. Pada
kasus demikian, frekurensi untuk orang tua yang sama tidak dapat
diabaikan, mengingat mutasi dengan derajat penetrasi yang tinggi, yang
terkait dengan gonad akan membawa resiko rekurensi sarnpai dengan
50%. Resiko terjadinya mutasi baru akan meningkat sesuai dengan
meningkatnya umur paternal.
DI biasa dihubungkan dengan suatu kelainan umum jaringan
penyambung osteogenesis imperfekta (OI) yang juga merupakan suatu
kelainan herediter dengan karakterisasi adanya kerapuhan tulang sehingga
mudah fraktur walaupun oleh trauma-trauma minor sekalipun, adanya
deformitas tulang, dan pendeknya tubuh penderita. Tergantung dari
keparahan fenotip secara klinis, DI diklasifikasikan atas 4 tipe: tipe I,
suatu bentuk yang ringan tipe II suatu bentuk perinatal lethal, tipe III
suatu bentuk keparahan yang progresif, dan tipe IV suatu bentuk moderat.
DI jarang terdapat pada tipe III dan IV.
27
Bentuk-bentuk lain dari DI ditentukan sebagai akibat dari berbagai
macam hasil mutasi pada kolagen tipe I, yang menghasilkan berbagai
macam abnormalitas pada jaringan atau organ yang kaya akan kolagen
tipe I. Beberapa penelitian membuktikan bahwa DI tipe II dan III
merupakan ekspresi yang berlainan dari gen yang sama. DI tipe III diduga
hanya merupakan modifikasi ekspresi dari gen yang sarna dengan DI tipe
II klasik. Oleh karena itu, sebaiknya tidak dianggap sebagai suatu tipe DI
yang independen.
Di dalam dentin penderita DI, ditemukan perubahan morfologi
yang dihubungkan dengan abnormalitas struktur serat kolagen perubahan
komposisi asam amino dari kolagen tipe I yang tidak normal dalam
fibronektin dan kolagen III dan IV. Terlepas dari bentuk fenotipnya,
mayoritas kasus-kasus DI nampaknya disebabkan oleh mutasi titik pada
gen yang mengkode rantai 1(I) atau 2(1) dari kolagen tipe I yang
memproduksi suatu substitusi asam amino, dengan sisi rantai yang lebih
besar untuk residu glisin didalam molekul triple helix. Substitusi tersebut
menyebabkan penurunan produksi pro-kolagen dan atau pembentukan
rantai rantai pro(I) yang cacat, hal ini akan mengganggu pelipatan
selanjutnya dari triple helix. Sebagai akibat selanjutnya, sekresi molekul
pro-kolagen atau perakitan kolagen ekstraseluler menjadi fibril dapat
terganggu.
Walaupun model translasi yang tepat dari defek genetik menjadi
abnormalitas jaringan dan akhimya terlihatnya fenotip secara klinis
belum diketahui seeara pasti, namun, terdapat bukti-bukti bahwa kepa
rahan D1tergantung dari sifat dan posisi substitusi asam amino tertentu
di dalam rantai l(I). Sejumlah mutasi yang menda sari DI telah dapat
diidentifikasi; namun, hubungan antara kelainan dentin dan defek
struktural kolagen-I belum dapat ditentukan secara jelas, pernah
dilaporkan secara molekuler terjadi suatu frame-shift deletion pada C-
propeptida dari rantai 2(1). Nampaknya masih perlu penggalian lebih
lanjut untuk konfirmasi hubungan antara keduanya.
28
DI tipe I juga dikatakan merupakan manifestasi dental dari
osteogenesis imperfekta. Dilaporkan bahwa dentinogenesis imperfekta
terdapat pada Osteogenesis Imperfekta tipe III yang berat dan progresif.
DI yang dihubungkan dengan berbagai sindrom OI ini, kemungkinan
berbeda dalam struktur biokimia matriks dentinnya , yang disebabkan oleh
terjadinya perubahan perubahan dalam interaksi makromolekul
matriksnya. Beberapa peneliti melaporkan adanya keterkaitan antara DI
tipe II dan III dengan komponen spesifik protein pengikat vitamin D. Telah
diidentifikasi lokus gen ini yang terbukti terletak pada lengan panjang
kromosom nomer 4 regio 4q 11-q21; namun, jenis kelainan produk gen
ini belum dapat ditentukan. Pada DI II terdapat defisiensi protein kolagen
ekstraseluler dentin yang dihubungkan dengan proses biomineralisasi.
Peneliti lainnya menghu bungkan abnormalitas jumlah fosfoprotein dentin
dengan DI tipe II. Protein yang bersifat asam ini merupakan komponen
non kolagen utama dentin yang diekspresikan oleh sel-sel odontoblast
yang berasal dari ektomesenkim.
Ball membuktikan DI tipe II berlokasi pada lengan panjang (q)
kromosom nomer 4 yang terkait pada komponen kelompok spesifik ( Gc;
protein pengikat vitamin D). Menurut Mikkelsen, lokus gen ini berlokasi
pada regio 4q11-q13 yang ideteksi dengan deletion mapping sedangkan
Combs menemukannya pada 4q13-q21.1 dengan hibridisasi in-situ.
Peneliti lainnya mene-mukan keterkaitan antara DIII dengan penanda
DNA kromosom nomer 4 lainnya misalnya INP 10 (gamma IFN induced
cDNA); sehingga disimpulkan bahwa gen yang bertanggung jawab untuk
DI ini terletak pada regio lengan panjang q13-q21 pada kromosom
nomer 4. Peneliti-peneliti tersebut menduga urutan penanda-penanda pada
kromosom 4 manusia adalah Cen-GcDI/NPI0-ADH3-EGF. Pada DI-II
terdapat defisiensi protein kolagen ekstraseluler dentin yang dihubungkan
dengan proses bio-mineralisasi. (Auerkari, E.I et al., 1999).
D. DENTIN DISPLASIA
29
Displasia adalah pertumbuhan sel atau jaringan yang tidak noral
atau menyimpang. Jadi Dentin Displasia merupakan kelainan dalam
pertumbuahan dentine. Kelainan Dentin Displasia ini tidak ada
hubungannya dengan penyakit sistemik atau Dentinigenesis Imperfecta.
Dentin Displasia merupakan penyakit herediter pada kromosom autosomal
dominan. Mutasi pada gen Dentin Sialo Phospho Protein (DSPP) menjadi
penyebab terjadinya Dentin Displasia. Mutasi DSPP akan menyebabkan
perubahan pada genetic dan fenotip yang ada. Akibatnya pada saat
pembentukan bentuk dan struktur dari gigi (bell stage tahap
morfodiferensiasi) dapat mengalami kelainan
Dentin Displasia terbagi menjadi dua yaitu tipe I dan tipe II. Pada
Dentin Displasia tipe I ditandai dengan akar gigi yang pendek karena
dentin yang membentuk akar kehilangan kemampuan dalam melakukan
pertumbuahan dan perkembangan, sehingga waktu pembentukan gigi lebih
singkat namun hasilnya tidak sempurna. Bagian email dan dentin dibagian
corona gigi dapat tumbuh normal namun dentin pada apeks hilang.
Sedangakan untuk Dentin Displasia tipe II diwariskan pada gen autosomal
dominan. Berbeda dengan Dentin Displasia tipe I, Dentin Displasia tipe II
hanya mengenai gigi permanen dengan akar gigi yang terlihat normal
tetapi terjadi perubahan warna coklat keabu-abuan serta pada bagian
akarnya dapat sedikit lebih besar dari normalnya dengan crown yang bulat
sehingga terlihat mirip dengan displasia pulpa. Namun pada Dentin
Displasia tipe II ini jaringan pulpanya norrmal (Naville et al., 2005).
E. DENS EVAGINATUS
Dens evaginatus adalah anomali perkembangan yang ditandai
dengan terjadinya dari puncak tambahan berbentuk sebagai tuberkulum
memproyeksikan dari palatal atau permukaan bukal (talon cusp). Pada gigi
anterior, dens evaginatus lebih umum ditemukan pada rahang atas dan
pada permukaan palatal gigi.
Dens evaginatus atau evaginated odontoma adalah anomali
perkembangan yang terjadi lebih sering pada gigi premolar rahang bawah.
30
Namun, hal itu juga dapat mempengaruhi gigi lainnya, termasuk gigi
supranumerary. Hal ini terjadi di kedua dentisi primer dan permanen.
Dalam taring dan gigi seri, sarang evaginatus berasal di cingulus palatal,
sering menjadi bilateral. Nodul juga dikenal sebagai "talon cusp" yang
merupakan hasil dari proliferasi abnormal epitel enamel dari interior
retikulum stellata organ enamel.
Dens evaginatus ini sering digambarkan sebagai nodul atau
tuberkulum, berbentuk kerucut silinder dengan titik yang tajam dan terdiri
dari enamel normal dan dentin. Merril membagi berbagai macam
evagination menjadi dua kelompok: 1) nodul berasal dari puncak lingual
cusp bukal, dan 2) nodul berasal dari tengah permukaan oklusal dan
umumnya melenyapkan sulkus sentral..
Sebuah puncak talon cusp ini dapat mengandung jaringan pulpa,
namun ada juga yang tidak mengandung jaringan pulpa. Shay melaporkan
bahwa jaringan pulpa dapat memperpanjang ke pusat tuberkulum dan
ketika dens evagination retak, pulpa exposition dapat terjadi, sehingga
menyebabkan nekrosis pulpa. Gungor et al sendiri dalam evaluasi
histologisnya, melaporkan adanya jaringan pulpa dalam katup talon
bilateral primer gigi seri sentral atas.
Dens evaginatus merupakan anomali dari signifikansi klinis besar,
dens evaginatus dapat menyebabkan gangguan oklusal, mempersulit
pembersihan daerah antara nodul dan gigi, dan karies sering ditemukannya
karies.
F. DENS INVAGINATUS
Dens invaginatus adalah malformasi gigi yang disebabkan oleh
infolding dari papilla gigi selama perkembangan gigi. Gigi yang terkena
menunjukkan infolding mendalam pada enamel dan dentin mulai dari
coecum foramen atau bahkan ujung katup dan dapat lebih jauh ke dalam
akar. Gigi yang paling terpengaruh adalah gigi insisivus lateral rahang atas
dan tidak jarang terjadinya bilateral. Malformasi menunjukkan spektrum
yang luas dari variasi morfologis dan sering menyebabkan nekrosis pulpa
31
awal. Dens invaginatus merupakan hasil dari invaginasi permukaan
enamel ke bagian dalam dari gigi. Invaginasi dapat terjadi baik pada area
cingulum (dens invaginatus), atau pada tepi insisal (dens in dente)
mahkota atau pada akar selama perkembangan gigi. Dens in dente
merupakan keabnormalan pada gigi yang terjadi pada tahap cap stage.
Etiologi dari invaginations koronal gigi diantaranya :
a. Faktor genetik adalah salah satu faktor penyebab dens invaginatus.
b. Dens invaginatus adalah hasil dari kegagalan pertumbuhan epitel
enamel internal saat epitel normal di sekitarnya terus berkembang biak
dan menelan daerah statis.
c. Dens invaginatus adalah hasil dari proliferasi yang cepat dan agresif
epitel enamel internal yang menyerang dental papilla
d. Distorsi organ enamel selama perkembangan gigi dan subsequent
penonjolan bagian dari organ enamel akan mengarah pada
pembentukan enamel - channel berjajar yang berakhir di cingulum
atau kadang-kadang di ujung insisal.
Trauma sebagai faktor penyebab, tetapi tidak bisa cukup menjelaskan
mengapa hanya gigi insisivus lateral rahang atas yang terpengaruh dan
tidak insisivus sentral. Dens invaginatus sendiri sebagai lipatan yang
mengarah ke dalam dari coecum foramen selama perkembangan gigi
yang dalam beberapa kasus bahkan dapat mengakibatkan foramen
apikal kedua. Di sisi lain invaginasi juga mungkin di mulai dari tepi
insisal gigi.
G. AGENESIS
Anodontia dapat diakibatkan oleh adanya agenesis pada gigi.
Agenesis adalah tidak adanya benih gigi oleh karena faktor bawaan
(herediter) yang menunjukkan adanya gangguan selama pembentukan gigi
di tahap inisiasi dan proliferasi. Agenesis ditularkan oleh gen autososmal
dominan, autososmal resesif, dan x-linked.
Etiologi dari agenesis adalah faktor genetik yang dapat diamati
pada keluarga dengan perbedaan prevalensi antar populasi, adanya asosiasi
dari suatu sindrom, ada tidaknya gen kembar, dan lain-lain. Hal ini
32
dikarenakan adanya kecacatan pada suatu gen menyebabkan agenesis dan
anomali pada ukuran serta morfologi gigi.
Patogenesisnya adalah adanya muatasi pada gen MsX1 dan PaX9
sebagai faktor transkripsi utama yang mengatur pertumbuhan dan
perkembangan gigi. Selain itu, terdapat satu gen lagi yaitu AXIN2 yang
dapat menyebabkan agenesis. Namun mutasi gen ini akan muncul pada
jenis agenesis yang lebih kompleks.
MsX1 dapat ditemukan di kromosom tubuh nomor empat. Gen
MsX1 berisi home box yang mengikat urutan DNA tertentu dan mampu
untuk berinteraksi secara langsung degan protein. Meskipun MsX1 ini
dianggap sebagai reseptor penggerak transkripsi gen, namun ia tidak dapat
mengekspresikan suatu gen (berperan sebagai translator). MsX1 diaktivasi
oleh Bone Morphogenetic Protein 4 (BMP4) yang diperlukan untuk
membentuk pusat sinyal pada epitel knot. Epitel knot merupakan
penghubung antara tahapan bud stage menuju cap stage. Jadi bila terjadi
mutasi pada MsX1 tepatnya di R196P dapat menyebabkan enamel knot
tidak terbentuk sehingga timbul agenesis pada premolar gigi permanen dan
molar tiga gigi permanen.
Sedangkan PaX9 dapat ditemukan pada kromosom tubuh nomor 14
(14q2-q3). Gen PaX9 merupakan suatu gen yang berfungsi untuk
mempertahankan sinyal MsX1 dalam perkembangan gigi. PaX9 juga
berfungsi sebagai paired box untuk transkripsi protein yang mengandung
faktor bawaan keluarga dan berperan dalam membentuk posisi dan letak
tumbuh gigi anterior mencit. Adanya mutasi pada PaX9 dapat
meyebabkan PaX9 tidak mampu mengikat DNA sehingga menyebabkan
hipodonsia serta kegagalan parsial pertumbuahan dan perkembangan gigi
yang dapat diamati pada gigi molar tiga dan insisif (agenesis pada
defrensiasi ameloblast dan dentinogenesis). (Rahayu, 2009)
33
Amelogenesis adalah istilah kondisi kelompok heterogen secara
klinis dan genetik yang mempengaruhi enamel gigi, adakalanya
berhubungan dengan gigi, mulut, dan jaringan ekstraoral.
Pembentukan enamel gigi dibagi menjadi tahap sekresi, transisi,
dan maturasi. Selama tahap sekresi, kristal enamel tumbuh memanjang.
Selama tahap maturasi, mineral didepositkan secara khusus di samping
kristal-kristal enamel yang akan tumbuh melebar dan menebal untuk
bergabung mendekat dengan kristal-kristal. Struktur protein utama dalam
pembentukan enamel adalah amelogenin, ameloblastin, dan enamelin.
Selama tahap sekresi, protein enamel disekresikan bersama dengan
protease. Ini merupakan faktor penting dalam menentukan komposisi
matriks enamel. Perubahan dalam mekanisme tersebut oleh karena
kerusakan genetik dari protein dan protease dapat menghasilkan perubahan
patologi selama pembentukan enamel (Gemimaa, 2014).
Klasifikasi Amelogenesis Imperfecta:
a. Hypoplastic AI
Semua subtipe hypoplastic AI dikarakteristikan utamanya oleh adanya
defisiensi jumlah enamel yang terbentuk. Kerusakan kuantitatif terjadi
ketika enamel tidak mencapai ketebalan normal baik dikarenakan faktor
lokal maupun general. Secara klinis, ukuran mahkota gigi bervariasi dari
kecil hingga normal, ukuran gigi yang kecil mungkin dapat mengakibatkan
tidak adanya kontak proksimal, warna gigi dapat bervariasi dari putih
opaque sampai kuning kecokelatan. Enamel dapat kasar atau halus,
bernoda, dan terdapat groove, mahkota gigi pada local hypoplastic atau
complete hypoplastic dapat terlihat dengan enamel yang tipis. Kerusakan
enamel mungkin terjadi. Anterior open bite juga mungkin terjadi. Secara
radiolgrafi, enamel kehilangan kontras, ketebalan enamel berkurang, dan
density enamel juga berkurang (Gemimaa, 2014).
b. Hypomaturation AI
Kerusakan kualitatif dari enamel terlihat ketika enamel kurang
termineralisasi. Gigi secara morfologi normal saat erupsi. Secara klinis,
warna gigi bervariasi dari creamy opaque sampai bercak kuning atau
34
cokelat, permukaan gigi lunak dan kasar, dapat sensitif yang diakibatkan
rangsangan pada gigi. Open bite maloklusi sering ditemukan. Ketebalan
enamel normal namun dapat terabrasi dengan mudah. Secara radiografi,
terdapat pengurangan perbedaan antara enamel dan dentin sehingga sangat
sulit untuk diidentifikasi. Enamel mempunyai kontras yang sama atau
lebih dibandingkan dentin. Secara radiografi mahkota yang tidak erupsi
secara morfologi tampak normal (Gemimaa, 2014).
c. Hypocalcified AI
Kerusakan kualitatif terjadi ketika enamel kurang termineralisasi dan
lunak. Dibandingkan dengan hypomaturation, derajat mineralisasi
hypocalcified AI lebih terlihat kuranng termineralisasi. Secara klinis,
mahkota tampak putih opak sampai kuning kecokelatan, lunak pada
permukaan enamel, gigi sensitif, dan kurang estetis. Terdapat kehilangan
enamel diawal karena terjadi hypomineralisasi. Ketebalan enamel normal
saat erupsi. Dan setelah itu sangat mudah terabrasi. Mungkin ditemukan
gigi yang terlambat erupsi.Anterior open bite mungkin terjadi. Ditemukan
banyak akumulasi kalkulus supragingiva. Secara radiografi terdapat
penurunan kontras diantara enamel dan dentin (Gemimaa, 2014).
PR
1. Salah satu kelainan pada saat tahap bud stage adalah tidak
terbentuknya benih gigi, dimana hal ini dapat menyebakan tidak
adanya erupsi satu atau lebih gigi. Dimana kelaianan ini biasanya
sering mengenai gigi M3, I2, P2, pada Rahang Atas dan Rahang Bawah.
Menurut pernyataan tersebut mengapa terjadinya agenesis atau
tidak adanya benih gigi sering mengenai gigi M 3, I2, P2, pada Rahang
Atas dan Rahang Bawah ?
Jawaban:
Pada agenesis terjadi mutasi pada gen BPM-4. Ektoderm gigi awal di
menghasilkan FGF-8 yang disimpan dalam membran basal (antarmuka
antara ektoderm gigi dan ectomesenchyme) dan kemudian FGF-. Faktor-8
pertumbuhan fibroblast (FGF-8) merupakan molekul sinyal penting dalam
generasi dan pola otak tengah, gigi, dan anggota tubuh yang hasilkan dari
35
waktu ke waktu, mendorong migrasi dan menarik sel ectomesenchymal
menuju batas epitel. Pada waktu bersamaan ektoderm gigi juga
memproduksi Sema3f yang membantu migrasi yang sel menyebabkan
epitel untuk berpisah pada antarmuka mesenchymal. Akibatnya beberapa
gen odontogenik diinduksi (Pax9, Msx1, BMP-4) yang akan membantu
perkembangan dan petumbuhan gigi. PAX9 ( Paired Box gene 9 ) telah
diidentifikasi sebagai pengendali utama Faktor selama proses odontogenik
dengan ekspresi ditemukan secara khusus di calon lokasi dari semua gigi
sebelum untuk ada tanda-tanda morfologi odontogenesis25.Peran umum
untuk MSX1( Msh Homebox 1 ) dalam pengembangan ectodermal
derivatif telah suggested14 dengan itu sangat diungkapkan dalam
mesenkim gigi tapi terutama absen dari gigi epitel selama bud, topi dan
bell tahap gigi pengembangan
36
Teori filogenetik menyatakan bahwa terjadinya gigi supernumerary
adalah regresi untuk jaringan leluhur yang punah atau antropoid. Teori ini
didasarkan pada fenomen leluhur mamalia yang memiliki gigi dengan tiga
gigi seri, satu taring, empat premolar, dan tiga gigi geraham di setiap
kuadran dari rahang. Gigi mamalia modern umum milik empat keluarga
gigi tersebut. Hal ini umumnya berpikir bahwa selama evolusi, jumlah gigi
per jenis gigi menurun (dari polyodonty ke oligodonty) dan generasi gigi
juga berkurang (dari polyphyodonty ke diphyodonty atau
monophyodonty); sedangkan morfologi gigi menjadi lebih kompleks (dari
homodonty ke heterodonty). Selama evolusi, gigi pada plasenta mamalia
cenderung menghilang dalam urutan yang berlawanan dengan urutan
erupsi mereka.
37
menjelaskan mengapa supernumerary insisivus lateralis atas sering muncul
pada gigi sulung, dan dalam kondisi langit-langit dan bibir sumbing.
38
Ciri pada scenario menyerupai dengan tanda klinis pada hypoplasia yakni
bentuk hipoplasia pada AI adalah ditandai dengan enamel tipis
dengan kekuningan -warna coklat, kasar atau halus dan mengkilap,
berbentuk persegi mahkota, kurangnya kontak antara batas gigi,
permukaan oklusal datar dari posterior gigi karena gesekan, dan dengan /
tanpa alur dan pitting.
Sedangkan tanda klinis pada hipokalsifikasi dan hipomaturasi maupun
pada hipoplsia-hipomaturasi dengan atau tanpa taurodontisme , terdapat
ketebalan enamel yang normal.
39
DAFTAR PUSTAKA
Auerkari, E.I et al. 1999. Aspek genetika molekular, klasifikasi dan upaya
penanggulangannya. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia; 6(2):31-
36.
Cawson, R. Odell, E. Porter, S. 2003. Cawsons Essential of Oral Pathology And
Oral Medicine &th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Crawford, Peter JM, Michael Aldred and Agnes Bloch-Zupan. 2007. Review
Amelogenesis imperfecta.Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:17
doi:10.1186/1750-1172-2-17
De Sousa-Romero L, Moreno-Fernndez AM (2016) Growth and Transcription
Factors in Tooth Development. Int J Oral Craniofac Sci 2(1): 015- 029. DOI:
10.17352/2455-4634.000014 ISSN: 2455-4634
Dewi, S. 2010. Jurnal Pengaruh Kalsium terhadap Tumbuh Kembang Gigi Geligi
Anak. Jurnal Stomagtonatik 7 (1), 40-44.
Fan J,Wang XP. 2011. Molecular Genetics of Supernumerary Tooth Formation.
Journal of Genesis. 49(4): 261277.
Ferraz JAB, de calvalho Junior JR, sakuy PC, Pecora JD, suosa Neto MD. 2001.
Dens Evaginatus: relato de um caso clinic. Braz Dent J 12(2): 132 134
GemimaaHemagaran. Arvind, M. 2014. IOSR Journal of Dental and Medical
Sciences. Amelogenesis Imperfecta literature Review. 13(1): 48-51.
Hulsmann M. 1997. dens Invaginatus. International Endodontic Journal. 30, 79
90.
Langlais, R. P., Miller, C. S., Nield-Gehrig, J. S. 2009. Color atlas of
common oral diseases. Philadelphia : Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins.
Mcdonald RE, Avery DR, Dean JA. 2004. Dentistry for the child and adolescent.
Eight edition. Amerika: Mosby inc.
Neville B. Et al. 2005. Abnormalities of teeth. 2nd ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier;Oral and Maxillofacial Pathology; pp. 94101.
Nigam Pankhuri, Vijay Pal Singh, Krishnadeo Prasad, Jalaj Tak, Anju Sinha,
Parveen Grewa. 2014. Amelogenesis Imperfecta- A Review. Department of
40
Oral Pathology, S.B.B.D.C, Ghaizabad, U.P, India. Journal of Advanced
Medical and Dental Sciences Research |Vol. 2|Issue 3| July-September 2014
Pilloud Marin A., Joseph T. Hefner. 2016. Biological Distance Analysis: Forensic
and Bioarchaeological Perspectives. London ; Elsevier Inc.
Rahayu YC, Setyorini D. 2009. The role of Msx1 and Pax9 in pathogenetic
mechanisms of tooth agenesis. Dental Journal, Vol. 42 (3): 141-6.
Rao A. 2008. Principles and practice of pedodontics. Second edition. New Delhi:
jaypee.
Agung, Sultan, 2008. Tips Pemberian Makanan Untuk Pertumbuhan Gigi yang
Sehat dan Kuat Pada Balita. Jakarta : Penerbit Kompas, hal. 30.
Thompson, M. W., McInnes, R. R., Willard, H. F., & Thompson, J. S. 1991.
Thompson & Thompson Genetics in medicine. Philadelphia: W.B. Saunders
Co.
Vogel-Hpker A, Momose T, Rohrer H, Yasuda K, Ishihara L, Rapaport DH.
2000. Multiple functions of fibroblast growth factor-8 (FGF-8) in chick eye
development. Mech Dev. 2000 Jun;94(1-2):25-36.
Yanding Zhang, Zunyi Zhang, Xiang Zhao1, Xueyan Yu, Yueping Hu, Benedicto
Geronimo, Sigurd H. Fromm and YiPing Chen. 2000. A new function of
BMP4: dual role for BMP4 in regulation of Sonic hedgehog expression in the
mouse tooth germ. The Company of Biologists Limited 2000. Development
127, 1431-1443 (2000) 1431.
41