Anda di halaman 1dari 19

Jurnal Reading

Kolelitiasis

Oleh:
Natasha Santoso 1902611208

Pembimbing:
dr. I Made Mulyawan SpB-KBD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT SANGLAH
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Kolelitiasis adalah batu yang terbentuk pada kantung empedu. Komposisi
dari batu dapat berupa kolesterol, kalsium bilirubinat, garam empedu, pigmen,
garam kalsium inorganik, dan mineral. Kategori batu empedu berdasarkan zat
yang membentuk terdapat 3, yaitu kolesterol, pigmen, dan campuran. Batu
empedu dapat muncul di kantung empedu atau saluran empedu. Kolelitiasis dapat
menimbulkan gejala/simptomatis dan tidak menimbulkan gejala/asimptomatis1
Di Amerika, penyakit ini merupakan salah satu masalah di masyarakat,
dengan 10 – 15% orang dewasa atau 20 – 25 juta penduduk Amerika memiliki
batu empedu. Prevalensi terendah ditemukan di negara Asia dan Afrika.
Prevalensi yang dilaporkan di Asia berkisar antara 4,35%-10,7%. 10% hingga
20% orang Amerika akan mengembangkan batu pada suatu waktu. Mayoritas
tidak akan mengalami gejala, hingga 80% tidak akan pernah mengalami nyeri
empedu atau komplikasi seperti kolesistitis akut, kolangitis, atau pankreatitis.
Sebagian besar batu empedu secara klinis "silent" ditemukan insidental bersama
USG abdomen yang dilakukan karena alasan lain. Pasien dengan kolelitiasis
asimptomatik, dapat berkembang menjadi menimbulkan gejala (nyeri empedu)
yang memerlukan pengobatan. Tetapi, resiko ini cukup rendah, rata-rata 2% untuk
3% per tahun, 10% pada 5 tahun. Oleh karena itu, manajemen profilaksis adalah
pilihan yang tepat untuk batu empedu asimptomatis.2
Situasi berbeda di Asia Timur, batu pigmen coklat terletak di saluran
empedu dan sebagian besar terkait dengan infestasi parasit. Di negara-negara
maju, batu saluran empedu ini timbul sehubungan dengan peradangan dan infeksi
yang disebabkan oleh striktur empedu dan keganasan.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Batu empedu terjadi ketika ada ketidakseimbangan di konstituen kimia
empedu yang menghasilkan pengendapan satu atau lebih komponen.1

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan bahan pembentuk:
Tabel 2.1 Jenis Batu Empedu3
Karakteristik Kolesterol Bilirubin Campuran
Warna Kuning-putih Hitam sampai Kuning-coklat
dengan pigmentasi coklat tua sampai jingga
di tengah ± cincin
± cangkang hitam
atau putih
Permukaan Keras dan Berkilau atau Lembut,
berkilau pudar berminyak,
terlaminasi
Bentuk Bulat atau bersegi Bersegi atau tajam Ovoid atau tidak
rata
Jumlah Single atau Multipel, banyak Single atau
multipel multipel
Lokasi Biasanya kantung Biasanya kantung Biasanya saluran
empedu empedu empedu
Komposisi 45-98% kolesterol 10-50% pigmen Kalsium
+ 2-20% kalsium polimer + kalsium bilirubinat +
bilirubinat ± bilirubinat dan polimer 10-60%;
cangkang dari fosfat ± kalsium kalsium palmitat
pigmen atau karbonat 5-20%; sampai
kalsium karbonat 45% kolesterol

2.3 Faktor resiko


Faktor resiko utama kolelitiasis adalah female, forty, fertile dan fat(4F).
Pembagian faktor resiko berdasarkan fakor-faktor yang dapat dimodifikasi dan
tidak dapat dimodifikasi.4,5
2.3.1 Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
 Wanita memiliki resiko 2 – 4 kali lebih tinggi dari pria; hormon estrogen
meningkatkan saturasi kolesterol dan berpengaruh terhadap motilitas dari
kantung empedu
 Usia diatas 40 tahun; inaktivasi kolesterol 7-alfa-hidroksilase dengan
peningkatan hipersekresi kolesterol empedu, saturasi kolestrol dan
pembentukan batu bertahap.
 Pada wanita hamil terdapat peningkatan hormon progesteron yang
menyebabkan peningkatan saturasi kolesterol dan juga peningkatan
kecepatan kristalisasi kolesterol dan presipitasi kristal padat
 Genetik dan etnis; riwayat keluarga
 Total nutrisi parenteral; gastrektomi total dengan diseksi pembuluh limfe,
vagotomi, cedera spinal cord, somatostatinoma
 Hipomagnesaemia yang menyebabkan resistensi insulin dan perubahan
susunan serum LDL kolesterol dan HDL kolesterol
 Riwayat diabetes mellitus tipe 2 dan dyslipidemia
 Riwayat penyakit yang dapat meningkatkan kemungkinan terbentuknya
batu berpigmen hitam atau kolesterol:
o Sirosis liver (hiperestrogenism, stasis kantung empedu,
malabsorpsi garam empedu, dan peningkatan sirkulasi
enterohepatik dari bilirubin)
o Chron’s disease (meningkatkan konsentrasi bilirubin conjugated
dan unconjugated serta kalsium)
o Penyakit ileus (peningkatan sirkulasi enterohepatik dari bilirubin)
o Anemia bulan sabit (stasis kantung empedu)
o Infeksi kantung empedu atau usus seperti biliary strictures,
duodenal diverticula, cholangitis, pancreatic insufficiency (bakteri
β-glucuronization dengan biotransformasi oleh bilirubin
conjugated dan unconjugated presipitat bersama kalsium dan asam
lemak rantai panjang)
o Defisiensi vitamin B12 (anemia hemolitik)
o Kista fibrosis (meningkatkan konsentrasi bilirubin conjugated dan
unconjugated serta kalsium dan peningkatan sirkulasi
enterohepatik dari bilirubin)
 Riwayat intraductal stasis dan infeksi empedu oleh bakteri anaerob, seperti
Streptococcus faecalis, Clostridium spp., Bacteroides spp atau parasit,
seperti Ascaris lumbricoides, Clonorchis sinensis dan Opisthorchis
viverrini

2.3.2 Faktor yang dapat dimodifikasi


 Obesitas meningkatkan sintesis kolesterol, penurunan sekresi kolesterol
empedu dan hipersaturasi kolesterol
 Penurunan berat badan cepat dalam waktu singkat, yaitu lebih dari 1 kg
per minggu (CDC, 2018) (meningkatkan resiko lithogenik, rasio kolesterol
dengan garam empedu dan stasis)
 Beberapa obat-obatan, seperti fibrates, octreotide, calcineurin inhibitors
(tacrolimus, ciclosporin), tamoxifen, kontrasepsi oral, dan lainnya
 Merokok, konsumsi alkohol (kerusakan liver dan penurunan sintesis asam
empedu)

2.4 Patogenesis
Terdapat 3 proses yang menyebabkan terbentuknya batu kolesterol di
kantung empedu, yaitu supersaturasi empedu, nukleasi dan inisiasi pembentukan
batu, dan pembesaran batu dengan penambahan secara bertahap. Batu kolesterol
dan campuran membutuhkan keadaan supersatursi kolesterol pada empedu yang
didasari oleh konsentrasi kolesterol, asam empedu, fosfatidilkolin (lecithin) dan
air. Kenaikan sekresi kolesterol atau penurunan asam empedu atau sekresi lecithin
menginduksi supersaturasi. Pembentukan batu diinisiasi oleh stasis empedu,
infeksi, atau mucin.6
Pembentukan batu empedu sering didahului oleh adanya endapan empedu,
campuran kental glikoprotein, endapan kalsium, dan kristal kolesterol di kantong
empedu atau saluran empedu. Hal utama yang mendasari pembentukan batu
empedu kolesterol adalah kelebihan kolesterol empedu dibandingkan dengan
pelarut garam empedu atau fosfolipid. Penurunan ekspresi protein transpor garam
empedu ileum apikal transporter asam empedu yang bergantung natrium, protein
pengikat lipid ileum sitosol, dan transporter zat terlarut organik basolateral α dan
β juga berperan dalam pembentukan batu empedu kolesterol.7
Sebagian besar batu empedu sebagian besar terdiri dari empedu yang
jenuh dengan kolesterol. Hipersaturasi ini, yang dihasilkan dari konsentrasi
kolesterol yang lebih besar daripada persentase kelarutannya, disebabkan terutama
oleh hipersekresi kolesterol karena perubahan metabolisme kolesterol hepatik.
(mempromosikan kristalisasi) dan protein antinukleat (menghambat kristalisasi)
dalam empedu juga dapat mempercepat kristalisasi kolesterol dalam empedu.
Mucin, campuran glikoprotein yang disekresikan oleh sel epitel empedu, telah
didokumentasikan sebagai protein pronukleat. Ini adalah penurunan degradasi
musin oleh enzim lisosom yang diyakini dapat mendorong pembentukan kristal
kolesterol.7
Pada inisiasi pembentukan batu empedu di membrane kanalikuli
hepatosik, ABCDG5-G8 mengangkut kolesterol ke kantung empedu yang diatur
oleh reseptor nuclear LXR. ABCB11 dan ABCB4 mengangkut garam empedu
dan fosatidilkolin ke empedu dengan diregulasi oleh reseptor nuclear FXR.
Kelebihan sekresi kolesterol hati atau sekresi garam empedu-fosfatidilkolin yang
tidak cukup menyebabkan supersaturasi kolesterol empedu. Selanjutnya, vesikel
supersaturasi kolesterol dapat terbentuk, yang dipromosikan oleh konsentrasi
empedu, komposisi empedu hidrofobik, atau rantai asil fosfolipid tak jenuh.
Nukleasi kristal kolesterol dapat terjadi dari vesikel jenuh ganda yang teragregasi
atau tergabung.8
Kehilangan motilitas dinding otot kantung empedu dan kontraksi
sphincteric yang berlebihan juga terlibat dalam pembentukan batu empedu.
Hipomotilitas ini menyebabkan stasis empedu yang berkepanjangan
(pengosongan kantong empedu tertunda), seiring dengan penurunan fungsi
reservoir. Kurangnya aliran empedu menyebabkan akumulasi empedu dan
kecenderungan meningkat untuk pembentukan batu. Pengisian tidak efektif dan
proporsi yang lebih tinggi dari empedu hati dialihkan dari kantong empedu ke
saluran empedu kecil dapat terjadi sebagai akibat dari hipomotilitas.7
Batu berpigmen sebagian besar terdiri dari kalsium hidrogen bilirubinat,
Ca(HUCB)2, yang dipolimerisasi dan dioksidasi dalam batu berwarna hitam dan
tidak dipolimerisasi pada batu berwarna coklat. Terdapat garam kalsium lainnya
yang juga membentuk kedua jenis batu, yaitu kristal kalsium fosfat dan/atau
karbonat dalam kasus batu hitam dan garam kalsium amorf dari asam lemak jenuh
rantai panjang (sabun) dalam kasus batu coklat. Kolesterol terdapat dalam
proporsi yang lebih bervariasi dalam coklat dari pada hitam dan di sterol empedu
mungkin sama sekali tidak ada.9
Batu hitam terbentuk dalam kantung empedu steril. Batu berpigmen hitam
terbentuk karena adanya hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh faktor
hiperbilirubinbilia (hemolisis, hepatitis kronis, erythropoiesis yang tidak efektif
dan siklus enterohepatik patologis bilirubin tak terkonjugasi). Hidrolisis bilier-
glukuronidase bilier endogen dari konjugat bilirubin menghasilkan hidrogen
bilirubinat yang mengendap dengan kalsium terionisasi. Mukosa kantong empedu
yang inflamasi mengeluarkan spesies oksigen reaktif yang mengubah endapan
awal menjadi batu empedu pigmen hitam dengan partisipasi dari campuran
matriks glikoprotein mucin yang berperan sebagai struktur penyangga sementara
dari batu empedu. Permukaan mukosa kantung empedu tidak teratur dengan celah
dalam (sinus Rokitansky-Aschoff) yang dapat memfasilitasi pembentukan batu
mikro hitam karena efek β-glucuronidase, spesies oksigen reaktif dan matriks
glikoprotein musin diperkuat.9
Penyebab lain dari batu hitam adalah hipomotilitas kantung empedu,
penyakit sekunder dari diabetes melitus, nutrisi parenteral total, dan vagotomi
trunkal. Data terbaru menunjukkan bahwa batu hitam mungkin juga dilengkapi
oleh kondisi empedu yang terinfeksi nanobakteri yang menghasilkan
hidroksiapatit seperti yang terdapat pada nefrolitiasis, namun klaim ini belum
dijelaskan lebih lanjut secara klinis atau eksperimental.
Batu coklat terbentuk sekunder karena stasis dan infeksi bakteri anaerob di
setiap bagian dari cabang empedu, termasuk kantong empedu. Infeksi terjadi pada
cabang bilier oleh mikrobiota anaerobik yang memproduksi β-glucuronidase,
enzim yang menghidrolisis bilirubin glucuronosyl menjadi UCB. Bakteri
memproduksi detergent-resistant phospholipase A1 yang memproduksi palmitik
bebas dan asam stearik yang menjadi hasil produk dari hidrolisis ikatan sn-1 ester
dari phosphatidylcholine bilier. Hal tersebut diawali oleh counter-ions kalsium
sebagai rantai panjang sabun tidak larut. Ikatan amide garam empedu terkonjugasi
dihidrolisis oleh cholyglycylamidase yang diproduksi oleh bakteri anaerob,
menjadi bentuk bebas, seperti asam empedu tidak terkonjugasi. Ini mampu
mengendap sebagai asam empedu yang tidak larut per se atau kemungkinan
sebagai garam empedu kalsium. Endapan ini terkumpul dalam nuclei yang
tersumbat seperti kolesterol migrasi kecil atau batu hitam yang terbentuk di
kantong empedu, telur parasit dan cacing mati atau cacing.9

2.5 Diagnosis
Biasanya pasien memiliki keluhan kolik empedu, yaitu nyeri akut tiba-tiba
pada abdomen kuadran kanan atas atau epigastrium (dermatome T8/9) dengan
karakteristik nyeri menetap dengan intensitas sedang sampai berat.5 Kolik empedu
terutama dirasakan postprandial karena stimulasi vagal yang meransang kontraksi
kantung empedu sehingga batu terdorong hingga ke saluran cystic.10 Nyeri
ditimbulkan oleh batu yang menyumbat dibagian leher dari kantung empedu.
Nyeri biasanya hilang dalam kurun waktu 1 – 5 jam setelah batu lepas dari bagian
leher kantung empedu atau mengonsumsi analgesik. Keluhan lainnya adalah nyeri
menjalar, intoleransi lemak, dan nyeri tekan di abdomen kuadran atas. Selain itu,
gejala yang dapat muncul adalah jaundice (jika penyumbatan terjadi dalam kurun
waktu lama), demam bila terdapat komplikasi, dan muntah – muntah.5 Kolelitiasis
sering kali dideteksi tidak sengaja ketika pemeriksaan ultrasonografi atau
computed tomography abdomen.5

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium dianjurkan untuk pasien yang memiliki dugaan
komplikasi dari kolelitiasis. Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah lengkap
dan penghitungan transaminase hepar, total bilirubin, alkaline phospathase,
amilase, dan lipase.5
Pemeriksaan radiologi yang paling utama digunakan untuk pasien dengan
suspek kolelitiasis atau komplikasi kolelitiasis adalah ultrasonografi abdominal.
Selain itu, pemeriksaan juga dianjurkan untuk pasien dengan gejala
gastrointestinal yang tidak membaik setelah dilakukan terapi. Pemeriksaan
tersebut memiliki harga terjangkau, tidak ada efek radiasi yang ditimbulkan, dan
sensitivitas tinggi untuk mendeteksi batu pada kantung empedu.5 Dalam
ultrasonografi, batu empedu ditunjukkan dengan bayangan akustik posterior,
kemungkinan endapan.11
Computed tomography (CT scan) dilakukan pada pasien yang memiliki
hasil pemeriksaan ultrasonografi negatif atau kurang jelas atau curiga ada
komplikasi. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) dan drip
infusion cholangiography (DIC) CT adalah pemerikaan yang memiliki sensitivitas
dan spesifisitas tinggi untuk mendeteksi batu pada kantung empedu. MRCP dan
DIC CT direkomendasikan untuk dilakukan pada pemeriksaan ultrasonografi
yang kurang memuaskan pada pasien dengan dilatasi saluran empedu dan/atau tes
fungsi liver abnormal. endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP),
ultrasonografi endoskopik, ultrasonografi intraductal, dan kolangiografi
transhepatik perkutan dapat dilakukan bila MRCP tidak cukup untuk diagnosis
penyakit atau komplikasi.11

2.7 Terapi
Peleburan batu empedu dapat dicapai dengan pemberian asam empedu,
seperti asam ursodeoxycycolate acid (UDCA), dan chenodeoxycholic acid
(CDCA). Pasien yang kemungkinan besar akan mendapat manfaat dari terapi
disolusi oral adalah mereka yang memiliki banyak batu yang mengapung dengan
temuan negatif pada radiografi abdomen, berdiameter kurang dari 15 mm dengan
ultrasonografi dan kolangiografi ekskretoris, dan dengan nilai CT kurang dari 60
HU. Perlu dicatat bahwa ada batas efikasi terapeutik, dan efek disolusi tidak dapat
diharapkan dengan batu empedu yang terkalsifikasi dengan jelas, berpigmen, atau
jika kantong empedu tidak berfungsi.11
Dosis optimal dan rejimen pemberian formulasi asam empedu berbeda,
tergantung pada laporan yang dipublikasikan. UDCA pada 7-11,1 mg / kg berat
badan / hari atau 600 mg / hari setelah setiap makan atau sebelum tidur. Dosis
UCDA yang digunakan di Jepang adalah 600 mg / hari. Jika CDCA digunakan
dalam kombinasi dengan UDCA, CDCA dengan 300 mg / hari diminum setelah
setiap kali makan. Kemanjuran pembubaran dinilai dengan pencitraan diagnostik
setelah 6-12 bulan pengobatan.11
UDCA meningkatkan konversi kolesterol menjadi asam empedu,
menaikan transport kolesterol sebagai kristal likuid, dan memiliki kemampuan
inhibisi prostaglandin dan glikoprotein empedu. Dosis yang dibutuhkan adalah 12
mg/kg berat badan setiap hari. Namun, CDCA memiliki efek samping berupa
diare, hepatotoksik, hiperkolesterolemia, dan leukopenia.5 Perawatan nonsurgical
dengan asam ursodeoxycholic (UDCA) telah dilaporkan secara signifikan
mengurangi risiko nyeri saluran empedu, pembedahan, dan kolesistitis akut
bahkan pada pasien simptomatik. UDCA direkomendasikan untuk pasien
bergejala yang tidak menjalani operasi jika diindikasikan terapi pembubaran.11
Pengobatan dengan ESWL dalam kombinasi dengan terapi disolusi oral
mencapai eliminasi lengkap batu empedu pada 87% kelompok pasien bergejala.
Terapi ESWL diindikasikan untuk batu empedu kolesterol X-ray-negatif. Batu
dengan nilai CT kurang dari 50 HU dan gambaran ultrasonografi karakteristik
batu empedu kolesterol murni adalah optimal. Juga fungsi kandung empedu
normal (kandung empedu dapat divisualisasikan pada kolangiografi intravena).11
Endoskopi retrograde sphincterotomy (ERS) setelah endoskopi retrograde
kolangiopancreatography (ERCP) dapat memecah batu dengan menggunakan
prosedur yang disebut extracorporeal shock wave lithotripsy (sering disebut
"lithotripsy") yang merupakan metode pemekatan gelombang kejut ultrasonik ke
batu untuk memecahnya menjadi potongan-potongan kecil kemudian disekresi
melalui feses. Namun, terapi ini hanya cocok pada jumlah batu yang sedikit.12
Pasien kolelitiasis asimptomatik disarankan untuk melakukan pemantauan
dan terapi gaya hidup. Bila terdapat kesulitan untuk mengevaluasi batu karena
penebalan dinding kandung empedu, disarankan untuk melakukan
kolesistektomi.11
Kolesistektomi (pengangkatan kantung empedu) 99% dapat
menghilangkan kolelitiasis rekuren. Indikasi pembedahan hanya pada pasien
bergejala. Hilangnya kantung empedu tidak menghasilkan efek negatif pada
sebagian besar pasien. Namun, ada 10% - 15% yang mengalami sindrom pasca
kolesistektomi yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan nyeri yang
menetap di perut bagian atas, serta 10% resiko terkena diare kronis.
Kolesistektomi dilakukan dengan 2 prosedur, yaitu open kolesistektomi dan
laparoscopik kolesistektomi. Open kolesistektomi dilakukan dengan laparotomi
abdomen dibawah costa bagian bawah. Penyembuhan pasca operasi
membutuhkan waktu kurang lebih 3 – 5 hari di rumah sakit dan dapat beraktivitas
normal setelah beberapa minggu. Laparoskopi kolesistektomi dilakukan dengan
membuat lubang tiga sampai empat buah untuk kamera dan instrument.
Penyembuhan pasca operasi hanya memerlukan 1 hari di rumah sakit dan dalam
waktu seminggu sudah dapat kembali beraktivitas normal.13 Pembedahan tidak
dianjurkan untuk pasien dengan diabetes, anak-anak, atau riwayat transplantasi
organ.11
Telah dilaporkan bahwa 3,6–8% kolesistektomi laparoskopi dialihkan
secara intraoperatif menjadi prosedur terbuka karena berbagai alasan, termasuk
kesulitan teknis, kerusakan saluran empedu, masalah anestesi, dan kerusakan
perangkat. Peralihan ke kolesistektomi terbuka terjadi lebih sering pada pria
daripada pada wanita; pada pasien berusia 60 tahun atau lebih; dan pada mereka
yang memiliki riwayat operasi perut bagian atas, diabetes, penyakit
kardiovaskular yang ada, peradangan yang ditandai (yaitu, kolesistitis akut), batu
yang terkena di leher sistik kandung empedu, abses pericholecystic, dinding
kandung empedu yang menebal, peningkatan kadar alkali fosfatase, atau jumlah
sel darah putih yang tinggi. Pergantian juga dilakukan pada pasien yang
ditemukan kanker kantung empedu selama operasi. Analisis multivariat telah
mengidentifikasi adanya kolesistitis akut dan temuan penebalan dinding kandung
empedu sebagai faktor independen yang signifikan untuk beralih ke operasi
terbuka.11
Perawatan kolik empedu akut terutama melibatkan kontrol nyeri dengan
obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) atau penghilang rasa sakit narkotika.
NSAID lebih disukai untuk sebagian besar pasien karena mereka sama-sama
efektif dengan efek samping yang lebih sedikit. Sebuah uji coba terkontrol secara
acak terhadap 324 pasien yang diberikan ketorolak intravena atau meperidine
(Demerol) menemukan bahwa kedua obat tersebut sama efektifnya dalam
menghilangkan rasa sakit, tetapi pasien yang menerima NSAID memiliki efek
samping yang lebih sedikit. Pilihan lain untuk mengendalikan rasa sakit adalah
agen antispasmodik (Skopolamin), yang dianggap menenangkan dan meredakan
kejang kantung empedu. Namun, studi perbandingan telah menunjukkan bahwa
NSAID memberikan penghilang rasa sakit yang lebih cepat dan lebih efektif.
Pasien harus berpuasa sebagai bagian dari manajemen kolik empedu konservatif
dan untuk menghindari pelepasan kolesistokinin endogen.5
Pada terapi diet, pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan yang
memiliki kantungan serat tinggi, karbohidrat yang mengandung sukrosa dan
fruktosa, dan lemak tidak jenuh. Makanan yang mengandung karbohidrat yang
mengandung glukosa dan lemak jenuh berefek pada penurunan sintesis asam
empedu di liver sehingga menurunkan jumlah asam empedu di kantung empedu.
Serat berfungsi untuk menurunkan absorpsi dan meningkatkan ekskresi
(melalui feses) dari asam deoksikolik yang diproduksi dari asam empedu oleh
bakteri usus yang berpengaruh pada penurunan tingkat kelarutan kolesterol di
empedu. Makanan berserat yang disarankan untuk dikonsumsi adalah sayur, buah,
pectin, oat bran, dan guar gum.
Buckwheat memiliki efek protektif lebih tinggi dari kedelai dengan cara
menurunkan konsentrasi kolesterol dan pembentukan batu empedu. Selain itu,
makanan yang mengandung kasein, seperti produk dari hewan, meningkatkan
pembentukan batu empedu. Alternatif dari produk hewan adalah protein dari
tumbuhan, seperti kedelai.
Makanan yang bersifat alergen dapat menyebabkan nyeri pada kantung
empedu karena efek pembengkakan saluran empedu dan aliran empedu yang
terhambat. Contoh makanan tersebut adalah telur, daging babi, susu, kopi, dan
lainnya. Kopi dapat mencegah pembentukan batu empedu jika dikonsumsi
sebanyak 4 cangkir sehari, dengan cara meningkatkan kontraksi kantung empedu.
Namun hal tersebut dilakukan setelah kolelitiasis telah disembuhkan. Restriksi
kalori pada pasien kolelitiasis harus dilakukan dengan hati-hati karena penurunan
berat badan terlalu cepat dan puasa dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu
dalam kantung empedu.14
Minyak ikan memiliki efek meningkatkan sekresi empedu fosfolipid dan
menurunkan konsentrasi kolesterol di kantung empedu dan menurunkan
pembentukan batu. Omega 3 eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic
acid (DHA) mencegah pembentukan batu empedu dan menurunkan jumlah
kalsium empedu dan protein total. Asam lemak omega 3 juga meningkatkan
stabilitas fosfolipid-kolesterol vesikel empedu. 14

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi akibat kolelitiasis adalah kolesistitis,
kolangitis, pancreatitis, dan kanker kantung empedu dan saluran empedu, dan
sindrom mirizzi. Setiap tahun, 1 dari 100 orang yang memiliki gejala kelainan
pada kantung empedu seperti kolik, penyakitnya berkembang menjadi
komplikasi.15
Kantung empedu mengalami inflamasi ketika batu empedu menyumbat
saluran ekskresi empedu, sehingga terdapat penumpukan cairan dan pelebaran
dinding kantung empedu yang menyebabkan iritasi. Bakteri mudah tumbuh di
bagian yang iritasi dan inflamasi. Gejala yang muncul pada inflamasi akut adalah
nyeri berat dan menetap pada abdomen kanan atas, dan demam. Nyeri pada saat
dipalpasi abdomen kanan atas dan terasa mengikat. Nyeri menjalar ke bahu kanan.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dan peningkatan kadar
bilirubin dan alkaline phosphatase. Inflamasi akut dapat menyebabkan komplikasi
lebih jauh bila tidak ditangani dengan baik. Dapat terbentuk nanah di kantung
empedu lalu kematian organ dan penyebaran inflamasi ke organ disekitarnya.
Pada infeksi kronik, keadaan dinding kantung empedu menjadi tebal dan
terkalsifikasi atau disebut kantung empedu porselin. Sehingga, kantung empedu
tidak dapat berkontraksi lagi.15
Cholangitis adalah inflamasi pada bagian saluran empedu yang dapat
terjadi karena batu di saluran empedu. Gejala yang muncul adalah nyeri hebat di
abdomen kanan atas, demam, dan terkadang jaundice. Enzim liver dan bilirubin
biasanya meningkat.15
Pankreatitis sering kali disebabkan oleh batu empedu di saluran empedu.
Penyumbatan terjadi di bagian percabangan kantung empedu dan pankreas. Cairan
pencernaan yang diproduksi oleh pankreas tidak dapat diserap sehingga
menyerang pankreas. Pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan
peningkatan amilase dan lipase dan tes fungsi liver abnormal. Pankreatitis adalah
penyakit yang mengancam nyawa bila tidak diterapi dengan baik atau terlambat.15
Batu empedu meningkatkan resiko kanker kantung empedu dan saluran
empedu, walaupun tipe kanker tersebut jarang ada. 5 dari 1.000 orang yang
memiliki riwayat batu empedu mengalami kanker kantung empedu, terutama
orang yang memiliki batu besar dan kantung empedu porselin. Peningkatan
ukuran batu (> 3 cm), jumlah, volume, dan berat, semuanya dikaitkan dengan
peningkatan resiko kanker. Yang kurang penting adalah durasi kolelitiasis. Batu
kolesterol tampaknya lebih umum daripada batu pigmen pada pasien kanker
kantung empedu. Konsensus umumnya tidak mendukung kolesistektomi
profilaksis untuk batu asimptomatik karena kolelitiasis terlalu umum dan kanker
kantung empedu terlalu jarang.2
Sindrom Mirizzi adalah batu empedu yang berlokasi di saluran kistik atau
kantung Hartmann yang menyumbat common hepatic duct atau common biliary
duct. Gejala yang dirasakan mirip dengan choledocholithiasis. Sindrom Mirizzi
dapat berkembang menjadi fistula cholecystocholedochal. Terapi utama adalah
operasi kolesistektomi dan ERCP.16

Pasien yang memiliki resiko tinggi untuk terjadi komplikasi kolelitiasis


adalah:2
1. pasien dengan batu empedu besar (> 3 cm) atau kantung empedu dipenuhi
oleh batu memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker kantong empedu,
sehingga perleru dilakukan kolesistektomi profilaksis.
2. Pasien dengan penyakit sel sabit dikaitkan dengan perkembangan batu
empedu pigmen, seringkali memerlukan kolesistektomi. Kolesistektomi
profilaksis harus dipertimbangkan karena komplikasi batu sering kali sulit
dibedakan dengan gambaran klinis dari krisis sel sabit atau komplikasinya
seperti infark hati atau visera perut. Ketika dilakukan di awal, di luar situasi
darurat, kolesistektomi mengurangi resiko pembedahan, tetapi masih
membawa tingkat kematian tinggi pada 1% dan komplikasi pasca operasi>
30%.
3. Pasien yang melakukan transplantasi organ padat (jantung, paru-paru, ginjal,
pankreas). Meskipun transplantasi sel induk (sumsum tulang) membawa
masalah tersendiri dari cholelithiasis dan endapan empedu yang berkembang,
yang lebih bermasalah adalah setelah transplantasi organ padat di mana batu
empedu yang berkembang sering progresif menjadi menimbulkann gejala dan
komplikasi seperti kolesistitis, terutama selama 2 tahun pertama.
Transplantasi hati dikecualikan; kantong empedu diangkat pada saat
hepatektomi. Kontroversi manajemen profilaksis pada pasien dengan
penyakit batu empedu asimptomatik yang menjalani transplantasi organ padat
yaitu dengan skrining ultrasonografi rutin atau kolesistektomi profilaksis (pra
/ pasca transplantasi).
4. Operasi abdomen dilakukan karena alasan lain, dapat mengambil manfaat
dari kolesistektomi simultan dalam situasi di mana risiko pembentukan batu
empedu dan komplikasinya tinggi. Oleh karena itu kolesistektomi profilaksis
harus dipertimbangkan pada pasien obesitas yang tidak sehat yang menjalani
operasi bariatrik.
Meskipun sulit untuk membandingkan tingkat komplikasi untuk prosedur
operasi terbuka dan laparoskopi, konsensus saat ini adalah bahwa mereka hampir
setara. Infeksi yang ditimbulkan saat proses pembedahan telah dilaporkan terjadi
lebih sering pada prosedur bedah terbuka.11
Komplikasi intraoperatif dilaporkan untuk sekelompok 452.936 pasien
dengan cholelithiasis yang menjalani kolesistektomi laparoskopi antara 1990 dan
2013 (termasuk 19.597 prosedur port tunggal) termasuk cedera saluran empedu,
perdarahan yang memerlukan hemostasis melalui operasi terbuka, dan cedera
organ lainnya. Prosedur ini beralih ke membuka kolesistektomi pada 16.231 kasus
karena anatomi sulit ditentukan karena peradangan lanjut, adhesi yang dihasilkan
dari operasi sebelumnya, choledocholithiasis, atau identifikasi penyakit lain
selama operasi. Tiga puluh satu kasus dengan komplikasi dan kecelakaan yang
terkait dengan kerusakan instrumen. Klip yang digunakan dalam operasi
endoskopi adalah penyebab paling umum dari masalah. Cedera saluran empedu,
terutama sayatan atau kerusakan dari pemutusan setelah kesalahan identifikasi
saluran empedu sebagai saluran kandung empedu, dilaporkan.17 Situs perdarahan
yang umum termasuk arteri kistik, tempat tidur kandung empedu (terletak di dekat
cabang-cabang vena hepatik tengah), dan arteri hepatik. Komplikasi ini paling
sering terkait dengan kompetensi teknis ahli bedah, tingkat peradangan atau
adhesi, atau operasi yang terkandung terlalu lama.18
Komplikasi pasca operasi yang dilaporkan dalam survei termasuk 389
kasus (0,09%) yang memerlukan operasi terbuka untuk menghentikan perdarahan
pasca operasi dan 977 kasus (0,21%) dari cedera saluran empedu pasca operasi
yang diidentifikasi. Situs umum perdarahan pasca operasi adalah arteri kistik dan
kandung empedu (dekat cabang vena hepatika tengah). Penyebab tumpahan
empedu pasca operasi termasuk kerusakan saluran empedu yang tidak terlihat
selama operasi (perforasi terlambat karena kerusakan panas), pengeluaran empedu
karena kegagalan atau penyimpangan klip, dan, jarang, saluran paten Luschka.17
Dilaporkan kekambuhan situs kanker kandung empedu, mengindikasikan
perlunya penugasan indikasi pasien secara hati-hati. Survei kuesioner nasional
kedelapan oleh Masyarakat Jepang untuk pembedahan endoskopi melaporkan
komplikasi tambahan, seperti nyeri bahu pasca operasi, infeksi luka, emfisema
subkutan, dan komplikasi pernapasan, tetapi frekuensinya tidak pernah lebih besar
dari 2%. Dua puluh dua kematian setelah kolesistektomi laparoskopi dilaporkan
antara tahun 1990 dan 2003. Penyebab yang berhubungan langsung dengan
prosedur bedah termasuk cedera pada pembuluh darah besar atau oleh
pneumoperitoneum yang disebabkan oleh jarum dan trocar, cedera saluran
empedu, dan cedera duodenum. Penyebab kematian lainnya termasuk emboli paru
pasca operasi dan pankreatitis pasca operasi.19
BAB III
SIMPULAN
Kolelitiasis adalah batu yang terbentuk di organ empedu. Terdapat 3 jenis
batu, yaitu kolesterol, pigmen, dan campuran. Faktor resiko pembentukan batu
dibagi menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi
dengan faktor resiko utama adalah 4F. Patogenesis kolelitiasis batu kolesterol
terjadi berdasarkan proses supersaturasi empedu, nukleasi dan inisiasi
pembentukan batu, dan pembesaran batu dengan penambahan secara bertahap.
Batu berpigmen hitam terbentuk karena adanya hiperbilirubinemia yang
disebabkan oleh faktor hiperbilirubinbilia (hemolisis, hepatitis kronis,
erythropoiesis yang tidak efektif dan siklus enterohepatik patologis bilirubin tak
terkonjugasi). Batu coklat terbentuk sekunder karena stasis dan infeksi bakteri
anaerob di setiap bagian dari cabang empedu, termasuk kantong empedu. Infeksi
terjadi pada cabang bilier oleh mikrobiota anaerobik yang memproduksi β-
glucuronidase. Kolelitiasis umumnya asimpomatik. Gejala yang muncul pada
sebagian besar pasien adalah nyeri kolik, nyeri menjalar, intoleransi lemak, dan
nyeri tekan di abdomen kuadran atas. Selain itu, gejala yang dapat muncul ketika
ada komplikasi adalah jaundice, demam, dan muntah – muntah. Pemeriksaan
laboratorium tidak dapat menegakan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang
utama digunakan adalah ultrasonografi abdomen. Pemeriksaan lainnya adalah CT
scan, MRCP, DIC CT, endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP),
ultrasonografi endoskopik, ultrasonografi intraductal, dan kolangiografi
transhepatik perkutan. Terapi medikamentosa utama yang digunakan adalah
UDCA dan CDCA. Terapi non surgical lainnya adalah ESWL, ERS dan ERCP.
Terapi pembedahan kolesistektomi dibagi menjadi 2, yaitu bedah terbuka dan
laparoskopi kolesistektomi. Selain terapi dari rumah sakit, pasien juga dapat
mengubah gaya hidup untuk mengurangi fakor resiko batu empedu. Komplikasi
kolelitiasis dapat berupa komplikasi dari penyakit dan komplikasi dari prosedur
kolesistektomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lammert F, dkk. Gallstones. Nat Rev Dis Primers. 2016;2:16024
2. Stinton Laura M dan Eldon A. Shaffer. Epidemiology of Gallbladder Disease:
Cholelithiasis and Cancer. Gut Liver. 2012; 6(2): 172–187.
3. Koppisetti Sreedevi, Bharat Jenigiri, dkk. Reactive Oxygen Species and the
Hypomotility of the Gall Bladder as Targets for the Treatment of Gallstones
with Melatonin: A Review. Dig Dis Sci. 2008;53:2592-2603
4. Bonfrate Leonilde, David QHW, Gabriella G, dan Piero P. Obesity and the
risk and prognosis of gallstone disease and pancreatitis. Best Practice and
Research Clinical Gastroenterology. 2014;28:623-635
5. Abraham Sherly, Abraham Sherly, Haidy G. Rivero, Irina V. Erlikh, Larry F.
Griffith, dan Vasantha K. Surgical and Nonsurgical Management of
Gallstones. AAFP 2014; 89(10):795-802
6. Tanaja J, Meer JM. Cholelithiasis. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2019. [diakses pada Juli 2019]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470440
7. Reshetnyak Vasiliy Ivanovich. Concept of the pathogenesis and treatment of
cholelithiasis. World J Hepatol. 2012; 4(2): 18–34.
8. Vázquez Mary C, Attilio Rigotti, dan Silvana Zanlungo. Molecular
Mechanisms Underlying the Link between Nuclear Receptor Function and
Cholesterol Gallstone Formation. J Lipids. 2012: 547643.
9. Vítek Libor dan Martin C. Carey. New pathophysiological concepts
underlying pathogenesis of pigment gallstones. Clinics and Research in
Hepatology and Gastroenterology. 2012; 36, 122—129.
10. Goljan EF. Rapid Review Pathology. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders;
2018
11. Tazuma Susumu, dkk. Evidence-based clinical practice guidelines for
cholelithiasis 2016. Journal of Gastroenterology. 2017; 52(3);276-300.
12. Abraham Sherly, Haidy G. Rivero, Irina V. Erlikh, Larry F. Griffith, dan
Vasantha K. InformedHealth.org [Internet]. Complications of gallstones.
Cologne, Germany: Institute for Quality and Efficiency in Health Care
(IQWiG). 2017 [diakses pada Juli 2019]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK424898/
13. Sharma RK, Shah HS, dan Gohel JK. Non Surgical Management of
Cholelihiasis: A Case Study. AJPRD;2019:7(1):34-37.
14. Pizzorno Joseph E, Michael T, Murray, dan Herb Joiner-Bery. Gallstones.
The Clinician’s Handbook of Natural Medicine. 2016;3(29):332-339.
15. InformedHealth.org. Complication of Gallstones. Cologne, Germany:
Institute for Quality and Efficiency in Health Care. 2017 [diakses pada Juli
2019]. Available from: https://www.ncbi.rlm.rib.gov/books/NBK482488/
16. Beltrán Marcelo A. Mirizzi syndrome: History, current knowledge and
proposal of a simplified classification. World J Gastroenterol. 2012 Sep 14;
18(34): 4639–4650.
17. Zha Y, Chen XR, Luo D, et al. The prevention of major bile duct injures in
laparoscopic cholecystectomy: the experience with 13,000 patients in a single
center. Surg Laparosc Endosc Percutan Tech. 2010;20:378–83.
18. Halilovic H, Hasukic S, Matovic E, et al. Rate of complications and
conversions after laparoscopic and open cholecystectomy. Med Arh.
2011;65:336–8.
19. 18th nationwide survey of endoscopic surgery in Japan. J Jpn Soc Endosc
Surg 2006;11:527–628.

Anda mungkin juga menyukai