Anda di halaman 1dari 4

Passion and My Flower Path

Nesa Salsabila Bahri

Satu-satunya hal yang paling melekat di ingatanku dari tematik terakhir yang aku ikuti beberapa
minggu yang lalu adalah passion. Ketiga kakak narasumber yang datang untuk berbagi kisah dan
pengalaman kompak menyalipkan kata passion dalam perjalanan hidup mereka. Pilihlah
pekerjaan yang sesuai passion kalian, lakukan apa yang menjadi passion kalian. Passion, passion
dan passion.
Sebenarnya, apa sih definisi dari passion? kenapa orang sukses selalu dikaitkan dengan kata itu?
semagic apa sipassion ini sampai orang-orang begitu mengagungkannya?
Setiap orang mungkin memiliki definisi yang berbeda-beda tentang kata ajaib ini. Mulai dari hal
yang paling kamu sukai, sesuatu yang membuatmu gelap mata atau bisa jadi sesuatu yang
membuatmu ingin berjuang untuk meraihnya. Lha? bukannya mirip dengan definisi hobi, obsesi
atau cita-cita?
Hmm, kalau berdasarkan pemahamannku yang kata orang kadang 'tidak bisa dimengerti oleh
otak manusia ' ini, passion berada di level yang lebih tinggi daripada hobi, obsesi dan cita-cita.
Jika hal yang mempengaruhi kesuksesan manusia dibuat menjadi sistem kasta, tuhan tentu saja
akan menjadi brahmana, passion dan orang dalam adalah ksatria, cita-cita dan motivasi adalah
wasya, sementara hobi dan hasutan orang lain adalah sudra.
Passion sang kesatria menurutku adalah sesuatu yang membuat kita ingin mengenalnya lebih
jauh, membuat kita lupa waktu ketika tenggelam untuk mempelajarinya dan membuat kita rela
berkorban dengan ikhlas tanpa memikirkan risiko yang menyertainya. Sesuatu yang selalu kamu
lakukan dengan bahagia dan membuatmu merasa kosong tanpanya.
Lantas, apakah benar passion itu mempengaruhi kesuksesan seseorang? apakah passion bisa
membawa kita menuju kesuksesan sebagaimana tugas seorang kesatria? bisa jadi iya bisa juga
tidak, tergantung pada bagaimana cara kita menempatkannya. Seperti yang dikatakan kak Fajar
atau yang lebih akrab disapa Kang Jay ditematik lalu, passion itu terbagi dua, passion yang
cukup dijadikan hobi saja dan passion bisa menjadi penghasil pundi-pundi uang.
Sebagai contoh, misalnya kamu adalah seorang marketing staff sebuah perusahaan ternama,
sementara passionmu adalah menggambar. Bukankah akan lebih mantap jika kamu tetap
mengembangkan karirmu di bidang marketing dan menyalurkan passionmu dengan
menggambar acak di waktu luang? Lebih untung jika gambarmu bisa berubah menjadi pundi-
pundi tambahan setelah kamu lelang dalam pameran atau situs penjualan online dan voila,
kamu bisa sukses tanpa harus mengorbankan pekerjaanmu yang memiliki prospek kerja yang
baik ataupun passionmu pada bidang gambar menggambar.
Mungkin memang benar, pekerjaan yang sesuai dengan passion pasti membuat kita menjadi
lebih semangat dan ikhlas dalam menjalaninya. Karena bisa jadi apa yang kita yakini sebagai
passion itu menjadi kunci kehancuran kita di masa depan. Yang sebenarnya juga menjadi
masalah yang sedang kualami saat ini.
Biar kuceritakan sedikit, aku adalah seorang masihsiswa tingkat akhir sebuah Sekolah vokasi
ternama dibawah naungan kementrian perindustrian spesialisasi bidang analis kimia. Disaat
sebagian besar siswa angkatanku sibuk mempersiapkan masa depan mereka setelah lulus dari
sekolah yang kadang mereka sebut 'neraka jahanam' ini, entah itu bekerja atau berkuliah, aku
mungkin menjadi sebagian kecil yang malah kehilangan arah.
Ketertarikanku pada bidang kimia mendadak hilang dipertengahan kelas 12 dan tidak kembali
sampai aku duduk dikelas 13. Padahal, kalau aku diberikan kesempatan untuk menanyai diriku
5 atau 6 tahun tahu, mau jadi apa kamu nanti ? dengan lantang dan tegas pasti aku akan
menjawab, "aku mau jadi peneliti, atau yang ngecek-ngecek di laboratorium pakai jas putih dan
jago ngutak-atik rumus kimia." Sedikit miris mengingat sekarang aku malah ingin mengutuk
orang-orang yang membuat rumus termodinamika, stoikiometri dan teman-temannya.
Semenjak ketertarikanku hilang, rutinitas yang kujalani berubah monoton. Belajar menjadi
sesuatu yang membosankan, ditambah kondisi fisik yang naik turun karena jadwal yang
semakin padat cukup membuatku frustasi. Sampai suatu hari, teman smp ku yang telah lebih
dulu berkuliah di jurusan kedokteran mengajakku berbincang serius mengenai sebuah topik
menarik mengenai self diagnose. Mengapa self diagnose sangat berbahaya dan bagaimana itu
menjadi hal yang umum terjadi di masyarakat. Hati kecilku terusik, rasa prihatin dan ingin
membantu membuatku tergerak untuk mendalami ilmu medis.
Berawal dari satu perbincangan itu, ketertarikanku pada bidang medis menjadi semakin
meluap, terlebih ketika aku mulai lebih sering mendatangi rumah sakit karena penyakit yang
aku derita. Melihat orang-orang dengan penyakit yang berbeda sampai melihat langsung
penyalamatan nyawa yang menegangkan. Aku menjadi senang membaca buku kedokteran,
menonton video skill lab, membaca fiksi mengenai masa koass para dokter muda yang katanya
manis untung dikenang tapi tidak untuk diulang. Tekadku untuk mendalami ilmu kedokteran
semakin kuat. Setelah 17 tahun aku hidup, akhirnya aku berpikir aku telah menemukan passion
yang akan menjadi jalan ninjaku, yaitu meraih gelar dr, Sp.B(K)Onk. karena aku sangat tertarik
untuk mendalami ilmu onkologi. Bahkan spesialisasi yang ingin aku ambil sudah sangat jelas
bukan ?
Tapi tentu saja, ekspektasi tidak pernah semanis realita. Harapanku untuk melanjutkan studi di
prodi pendidikan dokter mungkin tidak akan pernah terwujud. Tepatnya saat kedua orangtuaku
mengajakku berbincang serius mengenai prakerin atau praktek kerja imdustri yang sudah
didepan mata.
Sedikit informasi, sampai sekarang aku belum mendapatkan tempat prakerin karena tempat
yang aku ajukan untuk melakukan prakerin belum memberikan balasan pada pihak sekolah.
Tentu saja, hal ini membuat orangtuaku cukup khawatir, terlebih tempat prakerin yang aku pilih
berdasarkan rekomendasi kenalan itu jauh dari rumah dan kurang bersahabat dengan kondisi
kesehatanku.

Ayahku kemudian menyarankan untuk mengajukan tempat baru yang kebetulan dekat rumah
dan katanya kenalan sepupuku menempati posisi yang cukup tinggi di perusahaan itu. Lebih
jauh, ayahku berharap agar setelah lulus nanti aku dapat melanjutkan bekerja disana dengan
rekomendasi kenalan sepupuku itu. Hhh, zaman sekarang kekuatan orang dalam memang
diatas segalanya.
Hatiku berteriak untuk menolaknya, karena aku masih ingin memperjuangkan passion yang
baru-baru ini aku temukan. Ragu-ragu, aku mengatakan keinginan terpendamku untuk
melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran. Dan sesuai dugaan, orangtuaku menentang dengan
keras hal itu.
Pertama, karena meskipun bidang yang aku geluti sekarang sedikit berkaitan dengan ilmu
medis, tetap saja akan berat untuk menekuni bidang baru setelah 4 tahun berkutat dengan
kimia, terlebih aku harus bekerja sangat keras untuk lolos SBM dan mencari beasiswa penuh.
Kedua, keluargaku bukanlah keluarga yang amat berkecukupan dengan tanggungan 3 orang
adik yang masih sangat kecil, juga usia orangtua yang tidak lagi muda membuat mereka ingin
aku cepat bekerja, sementara lama waktu untuk menyelesaikan rangkaian pre-klinik, koass,
internship hingga mendapat izin praktek itu paling cepat sekitar 6 sampai 7 tahun. Terlebih jika
dilanjut dengan PPDS yang bisa memakan waktu 3 sampai 7 tahun, bukan waktu yang sebentar
untuk terus membebani tanggung jawab orang tua sekalipun dengan beasiswa penuh.
Ibu lantas memberikanku waktu untuk memikirkan kembali matang-matang mengenai masa
depanku karena bagaimanapun juga, aku yang akan menjalaninya dan bukan mereka. Ayah
setuju, memberikan waktu hingga awal oktober untuk menerima atau menolak tawaran
prakerin ditempat yang dipilihkannya itu.
Setelah perbincangan itu berakhir, aku terus memikirkannya. Siang berganti malam, bulan
berganti matahari, aku masih belum mampu menentukan pilihan. Akhirnya, aku meminta
pendapat temanku yang menjadi penyebab aku terjerumus ke dalam hal yang aku yakini
sebagai passionku ini.
Tania namanya, melalui aplikasi line, aku menceritakan semua masalahku. Awalnya dia
menegaskan padaku kalau menjadi dokter itu panggilan hati, bukan cuma pelampiasan rasa
penasaran, yang ketika menemukam jawabannya akan kita lepaskan. Ia bertanya padaku apa
yang awalnya membuatku tertarik pada bidang medis.
Saat itu aku termenung, kembali pada pembicangan serius kami yang menjadi awal dari segala
ketertarikan ini. Apa yang sebenarnya membuatku ingin mendalami ilmu medis ? Ah, berawal
dari rasa keprihatinanku terhadap orang-orang yang melakukan self diagnose tanpa tau apa
yang sebenarnya terjadi pada tubuh mereka. Aku ingin meluruskan hal itu, ingin memberikan
mereka edukasi mengenai hal keliru yang mereka lakukan.
"Aku ingin membantu orang lain dan meluruskan hal keliru yang selama ini mereka lakukan,"
ketikku dengan nafas tertahan. Sebenarnya sesederhana itu, kenapa aku baru menyadarinya ?
Tania mengirimiku emot senyum, dan membalas "Kamu nggak perlu jadi dokter buat
membantu dan mengedukasi orang lain tentang kesehatan mereka, kalau kamu tertarik sama
ilmu medis, ya kamu bisa pelajari di waktu luang, jadinya kalau kamu nemuin sesuatu yang
salah, kamu bisa bantu meluruskan. Dan tentang karir kamu kedepannya, aku tau kamu dulu
sesuka itu sama kimia sampai belajar materi SMA di kelas 8 sampai bikin kita mencak-mencak
karena kamu nanya yang aneh-aneh waktu pelajaran biologi atau fisika.
Mungkin sekarang kamu cuma lagi jenuh, dan butuh suasana yang baru. Yang memutuskan
kamu suka atau nggak sama sesuatu kan hati kamu, kalau hati kamu nolak buat suka lagi sama
kimia ya sampai Yoongi jadi suami aku juga kamu gak akan bisa suka lagi sama kimia."
Balasan Tania benar-benar membuat pikiranku terbuka, ku ingat lagi mengenai apa yang
dikatakan ka Fajar di tematik lalu. Berpikirlah positif dan lakukan dengan tulus, bisa jadi selama
ini hatiku terlalu terobsesi pada satu hal, tanpa peduli pada potensi lain yang sebenarnya aku
punya, dibidang yang dulunya sangat aku sukai dan membuatku tanpa sadar jadi terpaksa
melakukannya.
Setelah berterima kasih pada Tania, aku segera menghubungi orangtuaku untuk mengabarkan
kalau aku akan menerima tawaran itu jika sampai awal Oktober pilihan pertamaku belum juga
memberikan kejelasan.
Aku tidur dengan senyum lebar setelahnya, rasanya seperti satu beban dipunggungku
menghilang. Mungkin menjadi dokter bukanlah rezekiku, tapi setidaknya aku masih bisa
membantu dan mengedukasi orang lain dengan sedikit ilmu yang aku pelajari sendiri. Dan mulai
sekarang aku menyatakan bahwa menjadi seorang kimiawan adalah jalan ninja (hidup)ku. Tapi
tunggu, aku tarik kata-kata itu karena, hei, bukankah takdir senang bercanda ?

Anda mungkin juga menyukai