Anda di halaman 1dari 18

PENERAPAN AKAD MUSYARAKAH MUNTANAQISAH PADA

PRODUK KPR DI BANK BRI SYARIAH PINRANG

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Rumah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu (nasabah).


Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang tidak disertai dengan
peningkatan ketersediaan rumah menyebabkan tingkat kebutuhan rumah
meningkat serta harga rumah menjadi mahal. Bank syariah sebagai melihat
tingkat kebutuhan rumah tersebut sebagai peluang untuk menciptakan
pembiayaan kepemilikan rumah (KPR) yang inovatif dan kompetitif. Oleh
karena itu bank BRI Syariah menyalurkan pembiayaan kepemilikan rumah
dalam melayani nasabag dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang
dipergunakan sebagai sarana pembiayaan rumah.

Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang “Perumahan dan


kawasan pemukiman”. Pembiayaan kepemilikan rumah (KPR) bertujuan
untuk memastikan ketersediaan modal secara berkelanjutan untuk pemenuhan
kebutuhan rumah. Produk pembiayaan ini sangat menguntungkan bagi bank
syariah karena mengurangi idle fund. Nasabah akan memilih rumah jika
melakukan pembiayaan dan meneyelesaikan kewajibannya berupa
pembayaran cicilan maupun penyelesaian administrasi. Bank Bri Syariah
menjadi role model bagi manajemen dan pengembangan produk keuangan
syariah di Indonesia Produk KPR bank Bri Syariah yang dikenal dengan
“Griya Faedah” bertujuan untuk memfasilitasi nasabah dalam memiliki rumah
berdasarkan prinsip-prinsip syariah yaitu akad musyarakah muntanaqisah.

Dalam fatwa DSN MUI No.73 Tahun 2008 tentang Musyarakah


Muntanaqisah disebutkan, “Musyarakah Muntanaqisah adalah musyarakah
yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak berkurang
disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya”. Dengan demikian,
di ujung akad ini satu pihak, yaitu nasabah akan memperoleh kepemilikan
sempurna terhadap suiatu asset atau modal salah satu pihak yang berkurang
disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. Dalam syirkah
muntanaqisah harus jelas besaran angsuran dan besaran sewa yang harus
dibayar nasabah. Dalam akad musyarakah muntanaqisah bank syariah wajib
berjanji menjual asset yang disepakati secara bertahap dan nasabah wajib
membelinya.

Pengalihan kepemilikan aset musyarakah muntanaqisah bias bolak balik


antara nasabah dan bank. Selain itu, sertifikat kepemilikan aset musyarakah
muntanaqisah pun nantinya akan atas nama nasabah karena
mempertimbangkan, di akhir akad aset tersebut akan menjadi milik nasabah,
sehingga tidak akan memerlukan biaya balik nama terhadap aset di akhir akad.
Sedangkan Bank ikut memiliki asset tersebut bahkan porsi awal yang bank
sertakan jauh lebih besar dari pernyataan nasabah. Tidak adanya bukti
kepemilikan Bank atas asset musyarakah tersebut secara otentik pada
Sertifikat Asset.

Hybrid contract pada musyarakah muntanaqisah inipun mengandung


banyak akad, di antaranya adalah syirkah inan, dan ijarah. Sejatinya dalam
akad MMQ nasabah hanya membayar cicilan pokok selama pengalihan
kepemilikan. Namun, karena nasabah menggunakan aset tersebut maka ada
akad ijarah disana, di maana bank menyewakan bagian kepemilikannya
kepada nasabah. Dari akad ijarah itulah kemudian terdapat pendapatan sewa
yang dibagi sesuai porsi kepemilikan. Porsi bank masuk sebagai pendapatan
untuk bank, sedangkan bagian pendapatan sewa nasabah akan digunakan
untuk membeli kepemilikan aset dari bank.

Sementara, aset musyarakah muntanaqisah ini juga bisa disewakan ke


pihak ketiga atas kesepakatan pihak bank dan nasabah. Pendapatan sewa akan
dibagi berdasarkan porsi kepemilikan aset. Di akad musyarakah muntanaqisah
ini juga disewakan ke pihak ketiga atas kesepakatan pihak bank dan nasabah.
Pendapatan sewa akan dibagi dengan berdasarkan porsi kepemilikan aset. Di
akad musyarakah muntanaqisah ini juga terjadi double pricing, karena saat
pengalihan kepemilikan aset tidak ada margin yang ditambahkan dalam aset.

Salah satu produk perbankan syariah yang memiliki peluang untuk


digunakan secara luas pada perbankan syariah di Indonesia adalah
Musyarakah Mutanaqisah (MMQ). Produk ini merupakan alternatif dari
produk murabahah yang telah digunakan secara dominan di perbankan syariah
di seluruh dunia. Meskipun kebolehan dan teknis musyarakah mutanaqisah
telah dinyatakan dalam fatwa DSN MUI dalam Fatwa No.73 tahun 2008,
namun dalam praktiknya, pembiayaan musyarakah mutanaqisah ini belum
begitu banyak digunakan, akad ini merupakan akad yang perlu
disosialisasikan dan lebih dipublikasikan dari pihak perbankan, karena
keberadaannya belum banyak diketahui oleh masyarakat umum diantara akad
lain yang juga digunakan pada perbankan syariah di Indonesia, setelah
sebelumnya menggunakan akad murabahah dan ijarah mun tahiya bit tamlik.

Bank Indonesia merasa perlu untuk mendorong penggunaan akad ini pada
tahun 2013 secara lebih masif. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI)
mengeluarkan surat edaran (SE) nomor 14/ 33/DPbS tentang penerapan
kebijakan produk pembiayaan kepemilikan rumah atau KPR dan kendaraan
bermotor bagi bank umum syariah dan unit syariah. Kebijakan yang disebut
LTV atau FTV (finance to value) dalam perbankan syariah itu diperuntukkan
bagi pembiayaan pemilikan rumah (KPR) tipe lebih dari 70 meter persegi.
“FTV paling tinggi 70 persen untuk KPR lebih dari 70 meter persegi dengan
akad murabahah. FTV paling tinggi 80 persen untuk pem-biayaan KPR
dengan akad musyarakah mutanaqisah (MMQ) dan ijarah muntahiyah
bittamlik (IMBT) akan diterapkan pada bulan April 2013 ini berarti bahwa
musyarakah mutanaqisah akan menjadi pilihan yang menarik bagi lembaga
keuangan syariah di Indonesia. Fatwa DSN tidak merinci secara lengkap
teknis akad musyarakah mutanaqisah ini sehingga diperlukan kajian dan
pembahasan lebih lanjut tmengenai akad ini supaya dapat dipraktikkan secara
maksimal.
Bank syariah dan nasabah menyertakan modal atau dana dan dituangkan
dalam kontrak kerjasama tersebut, kemudian nasabah akan membayar dengan
cara mengangsur yaitu sejumlah modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah.
Pembayaran sewa juga wajib dilakukan nasabah sebagai bentuk kompensasi
kepemilikan dan kompensasi jasa bank syariah. DSN-MUI memandang perlu
menetapkan fatwa tentang Musyarakah Mutanaqishah untuk dijadikan
pedoman. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
bersabda:

ُ ْ‫احبَهُ َخ َرج‬
‫ت ِم ْن‬ ِ ‫ص‬َ ‫ فَإ ِ َذا خَ انَ أَ َح ُدهُ َما‬،ُ‫احبَه‬
ِ ‫ص‬َ ‫ث ال َّش ِر ْي َك ْي ِن َما لَ ْم يَ ُخ ْن أَ َح ُدهُ َما‬
ُ ِ‫ أَنَا ثَال‬:ُ‫إِ َّن هللاَ تَ َعالَى يَقُوْ ل‬
‫بَ ْينِ ِه َما‬.

Artinya: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama
salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak
telah berkhianat, Aku keluar dari mereka”. (HR. Abu Daud, yang dishahihkan
oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah)

Produk pembiayaan ini dilandasi oleh fatwa DSN –MUI nomor: 73/DSN-
MUI/XI/2008 dan dapatdigunakan untuk memiliki properti baru (non indent),
properti second, maupun properti take over. Siswantoro dan Qoyyimah (2005:
94) menjelaskan bahwa pembiayaan kepemilikan rumah (KPR) berbasis
musyarakah mutanaqisah merupakan bentuk pembiayaan yang lebih baik
dibandingkan dengan KPR bank konvensional. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Osmani dan Abdullah (2010:10) menjelaskan bahwa penerapan akad
musyarakah mutanaqisah pada pembiayaan kepemilikan rumah (KPR) lebih
maslahat dibandingkan dengan akad bai bithaman ajil. Namun, Sugema dan
Irfany (2011: 26) serta Badri (2012: 20) berpendapat bahwa pembiayaan
kepemilikan rumah (KPR) saat ini dicurigai mengandung riba implisit karena
nasabah berkewajiban untuk membayar cicilan melebihi pembiayaan yang
diberikan bank syariah dan terdapat ketidakjelasan kepemilikan. Shofni (2012:
9) menjelaskan pula bahwa dalam pembiayaan kepemilikan rumah (KPR)
yang berbasis akad musyarakah mutanaqisah terdapat ketidakjelasan tanggung
jawab atas pemeliharaan aset dan tidak adilnya distribusi risiko antara bank
syariah dan nasabah.

Padahal, menurut Razak dan Amin (2013:127), pembiayaan kepemilikan


rumah (KPR) berbasis musyarakah mutanaqisah mampu mencegah krisis
finansial dengan syarat harus sesuai dengan prinsip – prinsip syariah dan
memiliki regulasi yang akomodatif. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Siswantoro dan Qoyyimah (2005: 102) berpendapat bahwa perlu dilakukan
penelitian mengenai implementasi akad musyarakah mutanaqisah dalam
pembiayaan kepemilikan rumah (KPR) pada salah satu bank syariah di
Indonesia. Peranan akademisi dan pihak regulasi sangat dibutuhkan untuk
mengawasi implementasi akad musyarakah mutanaqisah dalam pembiayaan
kepemilikan rumah (KPR) di bank syariah. Dalam pengimplementasian KPR
terdapat perbedaan di beberapa bank syariah, yaitu menggunakan akad
murabahah dan musyarakah muntanaqisah. Dimana disini akad murabahah
sendiri adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah
membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada
nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin
keuntungan yang disepakati antara bank syariah nasabah.

Adapun penelitian terdahulu yang dilakukan Putri Kalimatur Rohmi


terhadap Sub Brunch Manager Bank Muamalat cabang Lumajang pada
tanggal 2 Juni 2014 tentang “ImplementasiI Akad Musyarakah Muntanaqisah
pada Pembiayaan Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang” dimana
hasil penelitiannya adalah yang lebih diminati masyarakat Lumajang sebagai
alternative pembiayaan perumahan yaitu akad musyarakah muntanaqisah,
karena proses pembiayaannya hingga 15 tahun dan membuat cicilannya setiap
bulan menjadi sangat ringan daripada akad murabahah, padahal penerapan
akad ini masih tergolong baru dan masyarkat belum banyak yang mengetahui
tentang akad musyarakah muntanaqisah. Sedangkan penelitian terdahulu
lainnya yang dilakukan oleh Agung Maulana Hidayat pada tahun 2018 tentang
”Analisis Perbandingan Akad Murabahah dan Akad Musyarakah Mutanaqisah
Terhadap Pembiayaan Kepemilikan Rumah (KPR) di Bank Negara Indonesia
Cabang Buah Batu” dimana hasil penelitiannya adalah yang lebih diminati
masyarakat Buah Batu sebagai alternative pembiayaan perumahan yaitu akad
murabahah, walaupun dengan harga yang dirasakan lebih tinggi atau lebih
mahal dibandingkan akad Musyarakah Muntanaqisah. Dan jika dilihat dari
prosedur akad musyarakah muntanaqisah lebih rumit jika dibandingkan
dengan akad murabahah.

Implementasi dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan


kerjasama antara bank syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau
pembelian suatu barang (benda). Dimana asset barang tersebut jadi milik
bersama. Adapun besaran kepemilikan dapat ditentukan sesuai dengan
sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak kerjasama tersebut.
Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah modal/dana yang
dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi bank syariah
kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah dari
pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir
berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi
milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang
atau benda berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.
Selain sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih
kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa kepada bank syariah
hingga berakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa
dilakukan bersamaan dengan pembayaran angsuran.

Pembayaran angsuran merupakan bentuk pengambilalihan porsi


kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa adalah bentuk
keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya terhadap aset
tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan dan
kompensasi jasa bank syariah. Berkaitan dengan syirkah, keberadaan pihak
yang bekerjasama dan pokok modal, sebagai obyek akad syirkah, dan shighat
(ucapan perjanjian atau kesepakatan) merupakan ketentuan yang harus
terpenuhi. Sebagai syarat dari pelaksanaan akad syirkah masing-masing pihak
harus menunjukkan kesepakatan dan kerelaan untuk saling bekerjasama, antar
pihak harus saling memberikan rasa percaya dengan yang lain, dan dalam
pencampuran pokok modal merupakan pencampuran hak masing-masing
dalam kepemilikan obyek akad tersebut. Sementara berkaitan dengan unsur
sewa ketentuan pokoknya meliputi; penyewa (musta’jir) dan yang
menyewakan (mu’jir), shighat (ucapan kesepakatan), ujrah (fee), dan
barang/benda yang disewakan yang menjadi obyek akad sewa. Besaran sewa
harus jelas dan dapat diketahui kedua pihak. Dalam syirkah mutanaqishah
harus jelas besaran angsuran dan besar - an sewa yang harus dibayar nasabah.
Dan, ketentuan batasan waktu pembayaran menjadi syarat yang harus
diketahui kedua belah pihak. Harga sewa, besar kecilnya harga sewa, dapat
berubah sesuai kesepakatan. Dalam kurun waktu tertentu besar-kecilnya sewa
dapat dilakukan kesepakatan ulang.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, akhirnya penulis
dapat menarik kesimpulan beberapa permasalahan yang nantinya akan
dikaji serta dilakukan pembahasan yang lebih mendalam. Adapun rumusan
masalahnya sebagai berikut:
1. Apakah penerapan akad Musyarakah Muntanaqisah pada pembiayaan
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BRI Syariah Pinrang sesuai dengan
fatwa DSN MUI No. 73 /DSN-MUI/XI/2008?
2. Apakah ada kendala dalam penerapan akad Musyarakah Muntanaqisah
pada pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BRI Syariah
Pinrang?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penerapan akad Musyarakah Muntanaqisah pada
pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BRI Syariah Pinrang
apakah sudah sesuai dengan DSN MUI No. 73 /DSN-MUI/XI/2008
2. Untuk mengetahui apa saja kendala dalam penerapan akad
Musyarakah Muntanaqisah pada pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) BRI Syariah Pinrang

1.4 Kegunaan Penelitian


Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dalam melakukan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagi penulis
a. Memenuhi persyaratan untuk meneyelesaikan tugas mata kuliah
Metedologi Penelitian Ekonomi Islam
b. Menambah wawasan dan pengetahuan si penulis yang berkaitan
dengan pembiayaan KPR
2. Bagi perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
kepentingan pihak BRI Syariah Cabang Pinrang untuk meningkatkan
jumlah nasabah.
3. Bagi masyarakat
Diharapkan dapat menjadi referensi sehingga masyarakat memperoleh
wawasan tentang KPR.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai referensi dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Putri Kalimatur Rohmi (2015) dengan
judul penelitian “Implementasi Akad Musyarakah Muntanaqisah Pada
Pembiayaan Kepemilikan Rumah Di bank Muamalat” penelitian ini
dilakukan di Lumajang. Sampel yang digunakan disini yaitu masyarakat
setempat dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian
yang ditemukan adalah yang lebih diminati masyarakat Lumajang
sebagai alternative pembiayaan perumahan yaitu akad musyarakah
muntanaqisah, karena proses pembiayaannya hingga 15 tahun dan
membuat cicilannya setiap bulan menjadi sangat ringan daripada akad
murabahah, padahal penerapan akad ini masih tergolong baru dan
masyarakat belum banyak yang mengetahui tentang akad musyarakah
muntanaqisah. Dari penjelasan diatas tidak terjadi perbedaan yang
dilakukan oleh peneliti karena sama-sama menerapkan akad
musyarakah muntanaqisah pada produk kredit pemilik rumah (KPR).
2. Penelitian yang dilakukan oleh Agung Maulana Hidayat (2018) dengan
judul penelitian “Analisis Perbandingan Akad Murabahah dan Akad
Musyarakah Muntanaqisah Terhadap Pembiayaan Kepemilikan Rumah
(KPR)” penelitian ini dilakukan di Kecamatan Buah Batu Kota
Bandung. Sampel yang digunakan disini yaitu masyarakat setempat
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian yang
ditemukan yang lebih diminati masyarakat Buah Batu sebagai
alternative pembiayaan perumahan yaitu akad murabahah, walaupun
dengan harga yang dirasakan lebih tinggi atau lebih mahal
dibandingkan akad Musyarakah Muntanaqisah. Dan jika dilihat dari
prosedur akad musyarakah muntanaqisah lebih rumit jika dibandingkan
dengan akad murabahah. Perbedaan dari kedua penelitian ini bisa
dilihat dari cara penerapan akad yang ada dalam produk kredit pemilik
rumah (KPR) dimana yang dilakukan oleh Agung Maulana Hidayat
yang lebih diminati masyarakat adalah akad murabahah sedangkan yang
ditemukan oleh peneliti yang lebih diminati masyarakat setempat di
Kota Pinrang adalah akad musyarkah muntanaqisah.

2.2 Tnjauan Teoretis


A. Musyarakah Muntanaqisah
1. Pengertian akad
Dalam melakukan suatu kegiatan muamalah, Islam mengatur
ketentuan-ketentuan perikatan (akad). Dalam islam dikenal
dengan istilah Aqad, ketentuan akad berlaku dalam kegiatan
perbankan Islam. menurut istilah (terminologi), yang dimaksud
dengan akad adalah keterkaitan antara ijab (pernyataan
penawaran/pemindahan kepemilikan) dan Qabul (pernyataan
penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariaatkan
dan berpengaruh pada sesuatu. Akad merupakan keterkaitan
atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya
hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu
pihak, dan kabul adalah jawaban dari persetujuan yang
diberikan mitra sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak
yang pertama. Akad juga merupakan tindakan hukum dua
pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang
mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul
menyatakan kehendak pihak lain. Tindakan hukum satu pihak,
seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf atau pelepasan hak,
bukanlah akad karena tindakan-tindakan tersebut tidak
merupakan tindakan dua pihak dan karenanya tidak
memerlukan kabul. Tujuan dari akad adalah untuk melahirkan
suatu akibat hukum. Lebih jelas lagi tujuan akad adalah
maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh
para pihak melalui pembuatan akad.
2. Pengertian akad musyarakah muntanaqisah
Musyarakah Mutanaqisah berasal dari dua kata musyarakah
dan mutanaqisah. Secara bahasa musyarakah berasal dari kata
syaraka(syaraka-yusyriku-syarkan-syarikan-syirkatan-syirkah)
yang berarti bekerja sama, berkongsi, berserikat atau bermitra
(Cooperation, Partership). Musyarakah adalah kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Dan Mutanaqisah (tanaqisha-yatanaqishu-
tanaqishan mutanaqishun) berarti mengurangi secara bertahap
(To Dimish). Jadi, Musyarakah Mutanaqisah (Diminishing
Partnership) adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana
kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu
pihak sementara pihak yang lain bertambah hak
kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui
mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain.
Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah
satu pihak kepada pihak yang lain.
3. Rukun dan syarat musyarakah muntanaqisah
Dalam syariah rukun dan syarat sama-sama menentukan sah
atau tidaknya suatu transaksi. Salah satunya adalah jenis
transaksi Musyarakah Mutanaqisah dalam kegiatan ekonomi
secara islami. Rukun dan syarat adalah hal yang penting dan
dasar karena Musyarakah Mutanaqisah merupakan suatu
perikatan akad, maka penulis akan memaparkan rukun dan
syarat perikatan dalam syariah Islam yang harus dipatuhi dan
diawasi oleh masyarakat muslim:
a. Rukun musyarakah
Rukun merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam
suatu transaksi (Necessary Condition), begitu pula pada
transaksi yang terjadi pada kerja sama bagi hasil al-
Musyarakah. Pada umumnya, rukun dalam muamalah
iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada empat
yaitu:
1. Sighat, ucapan ijab dan qabul
2. Pihak yang melaksanakan syirkah (kontrak)
3. Obyek kesepakatan (modal dan kerja)
4. Nisbah bagi hasil
b. Syarat musyarakah
Syarat adalah sesuatu yang keberadaanya melengkapi rukun
(Sufficient Condition). Bila rukun dipenuhi tetapi syarat
tidak dipenuhi, rukun menjadi tidak lengkap sehingga
transaksi tersebut menjadi fasid (rusak). Syarat dalam akad
Musyarakah Mutanaqisah antara lain:
1. Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas
barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum
syariah.
2. Presentase pembagian keuntungan untuk masing-
masing pihaj yang berserikat dijelaskan ketika
berlangsungnya akad. Keuntungan itu diambil dari hasil
laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
3. Modal, harga barang dan jasa harus jelas.
4. Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan
berdampak pada biaya transportasi.
5. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam
kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum
dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi
short sale dalam pasar modal.
4. Fatwa DSN MUI No.73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang
Musyarakah Mutanaqisah
Fatwa DSN MUI No: 73/DSN-MUI/XI/2008, dalam fatwa ini
yang dimaksud dengan :
1. Musyarakah Mutanaqisah adalah musyarakah atau syirkah
yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu
pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara
bertahap oleh pihak lainnya.
2. Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad
syirkah (musyarakah).
3. Hishshah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan
musyarakah yang bersifat musya. “Musya” adalah porsi
atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik
bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-
batasnya secara fisik.
Hukum musyarakah muntanaqisah adalah boleh.
Ketentuaan akad musyarakah muntanaqisah adalah sebagai
berikut:
a. Akad Musyarakah Mutanaqisah terdiri dari akad
musyarakah atau syirkah dan bai (jual-beli)
b. Dalam Musyarakah Mutanaqisah berlaku hukum
sebagaimana yang diatur dalam fatwa DSN
No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
musyarakah, yang para mitranya memiliki hak dan
kewajiban.
c. Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak
pertama (syarik) wajib berjanji untuk menjual
seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak
kedua (syarik) wajib membelinya.
d. Jual beli sebagaimana dimaksud dalam poin (c)
dilaksanakan sesuai kesepakatan.
e. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh
hishshah LKS beralih kepada syarik lainnya
(nasabah).
Adapun ketentuan khusus musyarakah muntanaqisah
adalah:
a. Aset Musyarakah Mutanaqisah dapat di-ijarah-kan
kepada syarik atau pihak lain.
b. Apabila aset musyarakah menjadi obyek ijarah,
maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut
dengan nilai ujrah yang disepakati.
c. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut
dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati
dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan
proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat
mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai
kesepakatan para syarik.
d. Kadar atau ukuran bagian atau porsi kepemilikan
asset musyarakah, syarik (LKS) yang berkurang
akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus
jelas dan disepakati dalam akad, biaya perolehan
aset musyarakah menjadi beban bersama, biaya
peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.
Produk pembiayaan ini dilandasi oleh fatwa
DSN –MUI nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 dan
dapatdigunakan untuk memiliki properti baru (non
indent), properti second, maupun properti take over.
Siswantoro dan Qoyyimah menjelaskan bahwa
pembiayaan kepemilikan rumah (KPR) berbasis
musyarakah mutanaqisah merupakan bentuk
pembiayaan yang lebih baik dibandingkan dengan
KPR bank konvensional. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Osmani dan Abdullah menjelaskan bahwa
penerapan akad musyarakah mutanaqisah pada
pembiayaan kepemilikan rumah (KPR) lebih
maslahat dibandingkan dengan akad bai bithaman
ajil. Namun, Sugema dan Irfany serta Badri
berpendapat bahwa pembiayaan kepemilikan rumah
(KPR) saat ini dicurigai mengandung riba implisit
karena nasabah berkewajiban untuk membayar
cicilan melebihi pembiayaan yang diberikan bank
syariah dan terdapat ketidakjelasan kepemilikan.
Shofni menjelaskan pula bahwa dalam pembiayaan
kepemilikan rumah (KPR) yang berbasis akad
musyarakah mutanaqisah terdapat ketidakjelasan
tanggung jawab atas pemeliharaan aset dan tidak
adilnya distribusi risiko antara bank syariah dan
nasabah.
2.3 Tinajauan Konseptual
2.4 Bagan Kerangka Pikir

3. Metode Penelitian
3.1 Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif yaitu pendekatan yang menggambarkan dan membahas keadaan
objek yang diteliti berdasarkan fakta yang ada disertai suatu analisis.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan dikantor BRI Syariah Jalan Ahmad Yani
No.59, Pinrang, Sulawesi Selatan. Waktu dilakukannya penelitian sekitar 3
bulan yang lalu dimulai dari bulan September hingga bulan November
2019.
3.3 Fokus penelitian
3.4 Jenis dan Sumber Data yang digunakan
a. Data Primer
Data primer adalah sumber data yang diperoleh dari hasil wawancara
secara langsung dengan kayawan BRI Syariah Pinrang agar peneliti
dapat memperoleh data tentang akad yang digunakan dalam produk
kredit pembiayaan rumah (KPR).
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung diberikan
kepada sumber pengumpul data. Data sekunder meliputi buku-buku
yang relevan dengan topik penulisan, karya tulis ilmiah, artikel dan
jurnal.

3.5 Teknik pengumpulan Data


a. Observasi
Observasi yaitu peneliti mengunjungi langsung Kantor Cabang
BRI Syariah di Kota Pinrang.
b. Interview
Interview yaitu dengan mewawancarai pihak-pihak yang terkait
dengan masalah ini seperti karyawan BRI Syariah.
c. Dokumentasi
Studi dokumentasi yaitu proses pengumpulan data yang tidak
langsung ditujukan kepada subjek penelitian dalam rangka
memperoleh informasi terkait objek penelitian.
d.
3.6 Teknik Analisis Data

Anda mungkin juga menyukai