Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era globalisasi saat ini, persaingan antar perusahaan bank menjadi semakin
ketat, maka perlunya peningkatan terhadap pelayanan dan pengembangan produk
berkualitas yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. 1Hal tersebut
secara radikal disebabkan oleh keinginan masyarakat itu sendiri sekaligus sebagai
pelaku ekonomi dan perbankan sebagai suatu kontribusi untuk menyesuaikan seluruh
aktivitas kegiatan sehari-hari masyarakat yang didasarkan atas prinsip syariah yang
diyakini.2
Selain itu, didalam menawarkan produk-produk terhadap masyarakat,
diperlukan adanya keseuaian dengan prinsip syariah maka, hal tersebut merupakan
pokok utama yang membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional. 3
Perkembangan didalam perbankan dengan semakin banyaknya permintaan
dari berbagai kegiatan baik itu dalam perkembangan bidang ekonomi maupun usaha
dalam suatu perusahaan maka, diperlukan adanya sumber-sumber untuk penyediaan
dana guna dalam membiayai kegiatan usaha. Salah satu bentuk sumber dana yang
dapat dimanfaatkan oleh suatu perusahan adalah pembiayaan.4
Kemudian, pembiayaan dengan kepemilikan rumah merupakan pembiayaan
dengan jumlah market pangsa pasar yang paling banyak diminati mengingat bahwa
kebutuhan rumah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu. Faktor penyebab
tingginya tingkat pertumbuhan, yaitu meningkatnya jumlah penduduk yang tidak
disertai dengan peneingkatan ketersediaan rumah yang menyebabkan melonjaknya
kebutuhan rumah serta harga rumah yang semakin waktu ke waktu mengalami
peningkatan.5
1
Nuhbatul Basyariah, Analisis Implementasi Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah pada
perbankan syariah di Indonesia, Jurnal Muqtasid ,2018, h.121
2
Mulya E. Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah,
h. 2
3
Putri Dona Balgis, Akad Musyarakah Muanaqishah Inovasi Baru Produk Pembiayaan
Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Syariah, 2017, Vol VII, h.14
4
Nurul Dwi Arifiani, Mekanisme Akad Musyarakah Mutanaqishah Studi Kasus Pada
Nasabah Pembiayaan Sindikasi Syariah Di Bank Jateng Syariah, Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam, 2016, h.1
5
Ikhsan Dwitama, Studi penerapan akad musyarakah mutanaqishah pada kpr muamalat iB
kongsi bank muamalat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, 2014, h.1

1
Salah satu solusi dalam meningkatkan pangsa pasar (market share) di
perbankan syariah harus melakukan beberapa pengembangan inovasi-inovasi yang
mendukung dengan produk yang lebih beragam dan mampu bersaing dengan bank
konvensional.
Dalam rangka untuk melakukan pengembangan inovasi produk, bank syariah
diperlukan dasar yang kokoh dengan berpedoman terhadap prinsip-prinsio yang
tertera didalam syariah, serta perlu mempertimbangkan sesuai ketentuan hukum
positif. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan produk perbankan
syariah, karena untuk menjaga keselarasan sehingga produk tersebut bisa diterapkan
maupun diaplikasikan tanpa menimbukan resiko hukum atau resiko financial bagi
bank ketika dihadapkan dikemudian hari.6
Kemudian, mengenai kredibilitas bank syariah saat ini pun sudah banyak
diakui oleh masyarakat, tentunya karena bank syariah telah banyak melakukan
inovasi-inovasi yang mendorong kearah pembiayaan bagi hasil dengan
memperlihatkan dari segi aspek keadilan, keseimbangan dan tanggung jawab, dimana
sistem didalamnya saling memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak baik
bagi nasabah maupun pihak bank. 7
Prinsip bagi hasil disini adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syariat
yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam (1) Menetapkan
imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan pemanfaatan
suatu dana masyarakat yang diamanatkan kepadanya, (2) Menetapkan imbalan yang
akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk
pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja. Pengertian prinsip
bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan yang
dimaksud dalam kententuan ini, termasuk pada kegiatan usaha jual beli.8
Semakin berkembangnya produk perbankan syariah melakukan berbagai riset
dengan mengembangkan jenis-jenis akad yang telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008, secara tegas dan rinci sesuai dengan kegiatan-kegiatan usaha
yang dilaksnakan oleh Bank Umum Syariah yaitu dari salah satunya adalah
penyalurkan dalam pembiayaan bagi hasil dapat dilakukan dengan berdasarkan akad
murabahah, akad musyarakah, atau akad lain yang sudah sesuai dengan prinsip

6
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia, 2012), h. 36
7
Dewi Lestari, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Impelemntasi Akad Musyarakah
Mutanaqishah pada Pembiayaan Hunian Syariah, Fakultas Syariah, Skripsi, 2014 h.7
8
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press), 2018,h.5

2
syariah.9 Salah satu akad lain yang memiliki peluang dapat diterapkan secara
keseluruhan dengan berdasarkan bagi hasil adalah akad musyarakah mutanaqishah
(MMQ). Sebagai akad alternatif dalam menyelesaikan pembiayaan untuk produk
kepemilikan rumah. Sesuai dengan penjelasan Putri Kamilatur bahwa penerapan
produk kepemilikan rumah paling banyak diminati Bank Muamalat iB dengan akad
musyarakah mutanaqishah (MMQ) sangat diminati oleh masyarakat Lumajang
dengan persentase 56% dari seluruh produk pembiayaan.10
Akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) adalah salah satu produk
pengembangan dari produk berbasis akad musyarakah. Musyarakah mutanaqishah
(MMQ) dapat diaplikasikan sebagai suatu produk pembiayaan perbankan syariah
berdasarkan prinsip syirkah 'inan, dimana porsi modal (hishshah) salah satu syarik
(mitra) yaitu Bank berkurang disebabkan oleh pembelian atau pengalihan komersial
secara bertahap (naqlul hishshah bil 'iwadh mutanaqishah) kepada syarik (mitra) yang
lain yaitu Nasabah. 11
Dalam aktivitas pembiayaan menggunakan produk musyarakah maupun
musyarakah mutanaqishah (MMQ), perbankan syariah haruslah memastikan bahwa
pelaksanaan pembiayaan sesuai dengan kepatuhan Syariah sebagaimana telah
ditetapkan dalam berbagai ketentuan hukum Islam termasuk fatwa DSN. Namun
seringkali timbul beberapa permasalahan dan isu terkait dengan kepatuhan syariah
tersebut. Salah satu dari isu legal tersebut adalah lemahnaya Fatwa DSN MUI yang
mengatur nyatanya belum cukup dalam melengkapi subsanti perjanjian secara rinci
yang diperlukan oleh pihak Bank Syariah.12 Kerena aturan-aturan yang tertera dalam
fatwa serta PBI masih bersifat umum dan belum jauh beda dengan peraturan yang ada
pada bank umum lainnya bakna bank konvensional.13
Namun disisi lain, ada pendapat ulama yang membolehkan akad musyarakah
mutanqishah (MMQ) yaitu menurut Wahbah Zuhaily menyebutkan bahwa akad
musyarakah mutanaqishah (MMQ) ini dibenarkan dalam syariah, karena
sebagaimana dengan akad Ijarah muntahiyah bi al-tamlik, yaitu bersandarkan atas
janji dari bank kepada mitra (syarik) bahwa bank akan menjual kepada mitra porsi
kepemilikannya dalam syirkah, kemudian apabila pihak syarik tersebut membayar
9
Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Grafika, 2012),
h.127
10
Putri Kamilatur,
11
Mulya E. Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah, h.114
12
Mulya E. Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah
13
Nuhbatul Basyariah, Analisis Implementasi Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah
pada perbankan syariah di Indonesia

3
keapada bank harga porsi bank tersebut. Saat berlansgsung, musyarkah mutanqishah
tersebut dipandang sebagai syirkah ‘inan karena kedua belah pihak menyerahkan
kontribusi ra’sul mal dan bank mendelegasikan kepada nasabah-mitranya untuk
mengelola kegiatan usaha. Setelah selesai, syirkah bank menjual seluruh atau
sebagian kepada mitra dengan ketentuan akad penjualan ini dilakukan secara terpisah
yang tidak berkaitan dengan akad syirkah.14
Akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) ini sudah diterbitkan oleh Fatwa
DSN MUI dalam pembiayaan rumah, namun pada prakteknya masih belum
diterapkan oleh seluruh perbankan syariah. Keunggulan dari akad musyarakah
mutanaqishah (MMQ) adalah memberikan kemudahaan kepada nasabah dalam
pembiayaan KPR, karena dalam jangka waktu pembiayaan yang diberikan oleh bank
lebih lama dan angsuran dengan harga relatif murah.15
Salah satu perbankan syariah di Indonesia yang sudah menerapkan akad
musyarakah muatanqishah (MMQ) adalah Bank Syariah Mandiri Bintaro dengan
produk pembiayaan yang bersifat konsumtif atau pembiayaan KPR Griya. Jika
ditinjau dari beberapa kebutuhan masyarakat tersebut Bank Syariah Mandiri Bintaro
terdapat produk yang bernama Pembiayaan Kepemilikan Rumah (KPR) Griya.
Pembiyaan KPR Griya ini adalah menyediakan fasilitas yang disediakan oleh Bank
Pembiayaan ini dapat digunakan untuk pembelian rumah baru/second, bangun
kavling, pengalihan (take over) dan renovasi.
Pembiayaan KPR Griya dengan akad musyarakah mutanaqishah ini telah
diatur dalam Fatwa DSN MUI No.73/DSN/-MUI/XI/2008 tentang musyarakah
mutanaqishah. Hanya saja dalam praktiknya belum diketahui secara signifikan apakah
sudah sesuai dengan yang tertuang di dalam aturan-aturan Fatwa tersebut telah
diaplikasikan secara baik dengan melalui mekanisme pembiayaan KPR Griya ini.16
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik ingin meneliti lebih
spesifik mengenai bagaimana “Implementasi Fatwa DSN MUI No. 73/DSN-
MUI/XI/2008 tentang akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) pada Pembiayaan
Kepemilikan Rumah Griya di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Bintaro”.
B. Permasalahan
a. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang permasalahan diatas, maka penulis mengidentifikasi


14
Wahbah Zuhaily, al-muamalah Al-Maliyah Al-Mu’asirah (Beirut Dar al-Fikr al-Mu’ashir,
2006), h436-437
15
Rahmawaty, Implikasi Akad Musyarakah Mutanaqishah Perbankan Syariah, Jurnal
Economic and Business Of Islam, 2018, h.226
16
Fatwa DSN MUI No. 73/IX/DSN-MUI/IV/2008 tentang Akad Musyarakah Mutanaqishah

4
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Ketentuan tentang akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) pada
pembiayaan kepemilikan rumah griya dalam fatwa DSN MUI?
2. Implementasi fatwa DSN MUI mengenai akad musyarakah mutanaqishah
(MMQ) pada produk pembiayaan griya di Bank Syariah Mandiri Bintaro.
Dari beberapa identifikasi masalah diatas, maka penulis membatasi
permasalahan yang akan dibahas mengenai akad musyarakah mutanaqishah
(MMQ) pada praktik pembiayaan rumah yang hanya membahas tentang
implementasi ketentuan fatwa DSN MUI tentang akad musyarakah
mutanaqishah (MMQ) pada pembiayaan kepemilikan rumah griya (studi
kasus Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Bintaro saja.
b. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah yang


akan diteliti diantaranya:
1. Bagaimana ketentuan akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) pada
praktik pembiayaan rumah menurut fatwa DSN MUI NO. 73/DSN-
MUI/XI/2008?
2. Bagaimana implementasi fatwa DSN MUI terhadap akad musyarakah
mutanaqishah (MMQ pada pembiayaan KPR Griya di Bank Syariah
Mandiri Kantor Cabang Bintaro?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Untuk mengetahui ketentuan akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) pada
pembiayaan KPR Griya menurut fatwa DSN MUI NO.73/DSN-MUI/XI/2008?
2. Untuk mengetahui kesesuaian implementasi fatwa DSN MUI terhadap akad
musyarakah mutanaqishah (MMQ) pada pembiayaan KPR Griya di Bank
Syariah Mandiri Kantor Cabang Bintaro?
D. Manfaat penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, diharapkan bahwa penelitian ini akan
memberikan kontribusi serta manfaat yang baik secara teoritis maupun praktis
dalam rangka pengaplikasiannya. Adapun manfaat penelitian ini antara lain
adalah:
1. Secara Teoritis

5
a. Untuk memperoleh data sebagai bahan kajian utama dalam proses penyusunan
skripsi guna untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar sarjana di
bidang Muamalah Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
b. Untuk dijadikan sebagai salah satu reformasi atau bahan kajian dalam
menambah wawasan pengetahuan bagi penelitian selanjutnya terkait akad
musyarakah mutanaqishah (MMQ) pada pembiayaan KPR Griya.
c. Untuk menambah ilmu pengetahuan yang lebih luas mengenai mekanisme-
mekanisme serta pelaksanaan akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) pada
pembiayaan KPR Griya.
2. Secara Praktis
a. Untuk menambah khazanah ilmiah khususnya pada bank dan lembaga
keuangan lainnya mengenai akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) pada
pembiayaan Kepemilikan Rumah Griya.
b. Menambah wawasan dan informasi terbaru dalam mengembangkan
perekonomian Islam.
c. Memberikan gambaran umum terhadap masyarakat dalam mengetahui tentang
produk akad di Lembaga Keuangan Syariah khususnya di Bank Syariah
Mandiri KC Bintaro.

E. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian terhadap ketentuan fatwa DSN MUI terhadap
Akad Musyarakah Mutanaqishah pada pembiayaan Kepemilikan Rumah Griya,
maka perlu kiranya dilakukan telaah terhadap penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat relevansi dan sumber-
sumber yang akan dijadikan bahan rujukan dalam penelitian ini, sekaligus sebagai
upaya dalam menghindari dari duplikasi terhadap penelitian ini. Seperti beberapa
skripsi yang pernah penulis kaji sebelum pembuatan skripsi, diantaranya:
1. Jurnal yang ditulis oleh Putri Kamilatur Rohmi, Mahasiswa Institut Agama Islam
Syarifuddin Wonorejo Lumajang, Jurnal Ekonomi Islam tahun 2015 yang
berjudul: “Impelementasi akad Musyarakah Mutanaqishah pada Pembiayaan
Kepemilikan Rumah di Bank Muamalat Lumajang”. Pada jurnal tersebut
persamaan dengan penelitian yang akan diteliti oleh penulis disini adalah
persamaan pada akad yang diterapkan yaitu pada akad musyarakah mutanaqishah
(MMQ). Sedangkan perbedaan dengan jurnal tersebut meneliti dalam pembiayaan
Kepemilikan Rumah sedangkan penulis disini hanya memfokuskan pada
pembiayaan refinancing (pembiayaan ulang). Penelitian ini membahas tentang

6
implementasi akad musyarakah mutanaqishah pada pembiayaan kepemilikan
rumah di Lumajang sudah disesuaikan dengan fatwa DSN/MUI No. 72 tahun
2008 dan dalam penerapan akadnya menggunakan beberapa prosedur yang
meliputi analisis 5C (character, capital, capacity, condition of economy,
collateral).

2. Skripsi ini disusun oleh Nurul Arifiani Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam yang
berjudul “Mekanisme akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) (studi pada
nasabah Pembiayaan Sindikasi Syariah di Bank Jateng Syariah”, tahun 2016.
Skripsi ini telah diajukan dan telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Ahli Madya dalam Ilmu Perbankan Syariah. Pada skripsi
tersebut persamaannya dengan penulis teliti adalah terletak pada akadnya yaitu
pada akad musyarakah mutanaqishah (MMQ). Perbedaan yang terdapat pada
skripsi tersebut membahas tentang pembiayaan sindikasi sedangkan penulis disini
membahas tentang pembiayaan perumahan Griya. Penelitian ini membahas
tentang mekanisme akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) di bank Jateng yang
mana akad yang digunakan dalam pembiayaan sindikasi antar bank sindikasi
adalah musyarakah. Sedangkan bank Jateng Syariah menjual objek pembiayaan
sindikasi syariah tersebut kepada nasabah menggunkan akad sewa yang
didasarkan pada akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) dimana aset
kepemilikan dari objek pembiayaan akan berpindah kepemilikan kepada nasabah
setiap bulannya. Sedangkan akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) ini adalah
merupakan gabungan dari akad musyarakah dan ijarah. Akad musyarakah ini
terjadi karena adanya pembiayaan sindikasi nasabah yang memberikan kontribusi
berupa uang muka. Kemudian, penerapan dalam akad musyarakah mutanaqishah
pada pembiayaan sindikasi di bank Jateng Syariah sudah disesuaikan dengan
fatwa DSN-MUI.
3. Skripsi ini disusun oleh Muchammad Fatchurahman Fathur Rozaq Fakultas
Syariah dan Hukum Universutas Islam Negeri Walisongo Semarang dengan judul
“ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kepemilikan Aset dengan Akad Musyarakah
Mutanaqishah (Studi Kasus: Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah (PKR) di
Bank CIMB Niaga Syariah Cabang Pandanaran) tahun 2017. Perbedaan pada
skripsi ini adalah membahas tentang Tinjaun Hukum Islam Terhadap Kepemilikan
Aset,sedangkan persamaan dengan penulis adalah terletak apada akad yang

7
diterapkan yaitu akad musyarakah mutanaqishah (MMQ). Hasil dari penelitian ini
adalah ada beberapa permasalahan terhadap kepemilikan aset dalam penerapan
akad musyarakah mutanaqishah di Bank CIMB akad musyarakah mutanaqishah
di Bank CIMB Niaga Syariah Cabang Pandanaran. Kepemilikan lansgsung
diatasnamakan nasabah saja. Bank CIMB Niaga Syariah Cabang Pandanaran
memilih untuk mencantumkan langsung di awal perjanjian, padahal nasabah
belum benar-benar dikatakan sebagai pemilik atas nama tersebut. Dengan
demikian menurut penulis praktik tersebut terdapat ketidaksesuaian dengan Fatwa
DSN-MUI tentang musyarakah mutanaqishah karena tidaj melakukan pengalihan
objek pembiayaan setelah selesainya nasabah melunasi seluruh porsi kepemilikan
dari Bank CIMB Niaga Syariah Panandaran.

F. Metodelogi Penelitian
Adapun metedologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini untuk
mendapatkan sumber data-data dan informasi adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian untuk menjawab permasalahan yang
memerlukan secara mendalam dalam konteks waktu dan situasi yang
bersangkutan, dilakukan secara wajar dan alami sesuai dengan kondisi objektif
di lapangan tanpa adanya manipulasi, serta jenis data yang dikumpulkan
terutama data kualitatif.17
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara
empris, yaitu berusaha untuk mendekati masalah yang akan diteliti sesuai
dengan hukum yang nyata, maka peneliti mengambil ata dengan objek
observasi langsung ke Bank Syariah Mandiri Kc Bintaro serta melakukan
teknik wawancara dengan pihak yang terkait.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pendekatan secara
mendeskripsikan dengan menganalisis kesesuaninya dengan Sharia Enterprise
Theory pada PT. Bank Syariah Mandiri Bintaro pada tahun 2018-2019.

G. Subjek data dan Objek Penelitian


a. Peneliti lebih mengkhususkan dan membatasi subjek penelitian ini yaitu
17
Zaenal Arifin, Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) Cet ke-1,
h. 29

8
kepada para pegawai dan staf-staf manager di Bank Syariah Mandiri Kantor
Cabang Bintaro
b. Adapun objek penelitiannya yaitu tentang implementasi Fatwa DSN MUI
akad musyarakah mutanaqishah (MMQ) pada pembiayaan KPR Griya di Bank
Syariah Mandiri Kantor Cabang.
H. Sumber Data
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang secara lansgung dikumpulkan oleh peneliti
(pelaksanaan dari sumber primer dalam hal tersebut adalah dilakukan dengan
wawancara langsung dengan para pegawai dan staf-staf manager di Bank
Syariah Mandiri Kantor Cabang Bintaro).
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber dari buku
kepustakaan, jurnal, serta dapat diperoleh dari mater-materi perkualihan yang
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti kemudian, sampling penelelitian
terhadap penerapan Akad Musyarakah Muatanqishah (MMQ) adalah pada
pembiayaan KPR Griya dari tahun 2019.

I. Teknik pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data peneltian dilakukan dengan beberapa metode
yaitu:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) adalah penelitian yang dilakukan
perpustakaan ini mengambil setting perpustakaan sebagai tempat penelitian
objek penelitiannya dengan menngunakan bahan-bahan perpustakaan.18
Penelitian ini juga dapat diperoleh dari buku-buku perpustakaan dan literatur-
literatur lainnya seperti jurnal, majalah, kitab-kitab, surat kabar dan sumber-
sumber internet maupun ayat-ayat al-Qur’an yang lebih relevan sesuai dengan
topik yang dikaji.
b. Penelitian Lapangan (Field Research) adalah teknik pengumpulan data dimana
peneliti melakukan kegiatan observasi atau objek tempat pennelitian secara
lansgsung, kemudian dengan cara meminta data-data serta dokumen yang
bersangkutan dengan objek yang diteliti dan meminta pendapat dari salah satu
manager banking di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Bintaro. Adapun
18
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualaitatif, (Depok: Kencana, 2005), h.55

9
teknik yang dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:
1) Wawancara (interview)
Wawancara adalah salah satu kaedah mengumpulkan data yang
paling biasa diterapkan dalam penelitian sosial. Kaedah ini digunakan
ketika subjek kajian (responden) dan peneliti berada langsung bertatap
muka dalam proses mendapatkan informasi bagi keperluan data
primer.19Interview yang diterapkan oleh peneliti disini adalah dengan
memperoleh data dari narasumber langsung di Bank Mandiri Syariah Kc
Bintaro melalui wawancara atau tanya jawab secara langsung.
2) Observasi
Peneliti melakukan pengamatan langsung dilokasi Bank Mandiri
Syariah Kantor Cabang Bintaro.
3) Dokumentasi
Pengumpulan data ini berupa dokumen tentang akad musyarakah
mutanaqishah (MMQ) pada pembiayaan perumahan Griya , yang diambil
dari dokumen-dokumen yang berupa makalah, buku-buku, jurnal, data-
data dan dokumen lapangan (gambar).
J. Teknik dan Sistematika Penulisan
Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka teknik penulis dalam
menganalisis data untuk mememudahkan pembahasan dalam skripsi ini adalah
dengan merujuk kepada “Pedoman Penyusunan Skripsi, Tesis, dan Disertai
dengan pedoman yang diberlakukan di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta tahun
2017. Adapun beberapa bagian sistematika penulisan terbagi dalam lima bab
yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
masalah, rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II AKAN MUSYARAKAH MUTANAQISHAH (MMQ) DALAM
TINJAUAN HUKUM ISLAM
Dalam bab ini, terdapat pembasahan tentang Pengertian akad, Dasar hukum
akad, rukun dan syarat akad, jenis-jenis akad, pengertian musyarakah, dasar

19
Mita Rosaliza, Wawancara Sebuah Interaksi Komunikasi dalam Penelitian Kualitatif, Jurnal
Ilmu Budaya, Vol 11 No. 2. 2015. h.71

10
hukum musyarakah, rukun dan syarat musyarakah, jenis-jenis musyarakah,
pengertian musyarakah mutanaqishah, dasar hukum musyarakah
mutanaqishah rukun dan syarat musyarakah mutanaqishah,, jenis-jenis
musyarakah mutanaqishah, pengertian pembiayaan, jenis-jenis pembiayaan.
BAB III GAMBARAN UMUM BANK SYARIAH MANDIRI
KANTOR CABANG BINTARO
Pada bab ini meliputi pengertian, profil, sejarah, struktur
organisasi, visi dan misi, produk-produk Bank Syariah Mandiri
Kc Bintaro.
BAB IV IMPLEMENTASI FATWA DSN-MUI TENTANG
AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISHAH (MMQ) PADA
PEMBIAYAAN KPR GRIYA
Pada bab ini akan membahas tentang Impelementasi Fatwa
DSN-MUI Tentang akad Musyarakah Mutanqishah (MMQ)
pada pembiayaan perumahan Griya ,pengaplikasian Akad
Musyarakah Mutanqishah (MMQ) pada pembiayaan
pembiayaan KPR Griya, serta Praktek kesesuaian akad
Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) pada pembiayaan
pembiayaan perumahan Griya dengan fatwa DSN-MUI.
BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini terdapat kesimpulan dan saran kemudian
juga tercantum daftar riwayat hidup, lampiran-lampiran dan
daftra pustaka.

11
BAB II
AKAD MUSYARAKAH MUTANAQISHAH DALAM
TINJAUAN HUKUM ISLAM

A. Akad
1. Defenisi Akad
Menurut bahasa akad memiliki beberapa pengertian,
yaitu diantaranya :
‫ )رالَرربب ط‬,yaitu:
a) Mengikat (‫ط‬
‫رجيمرع ر‬
‫طرفريي رحبلين ويشصصد أحصدهما بلخخصصرر حصتي يتصصل فيصصصبحا‬
‫كقطعةة واحدةة‬
“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah
satunya dengan yang lain sehingga bersambung,
kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong
benda”.
b) Sambungan (‫)رعقدةة‬, yaitu:
‫الموصل ا لذي يمسكهما ويوثكهما‬
“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan

12
mengikatnya.”
c) Janji (‫ )الَعهههد‬sebagaimana telah dijelaskan dalam
Q.S Al-maidah:1.20
      
“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu”.
Sedangkan pengertian akad secara istilah, akad
berarti pertalian antara ijab (suatu penyataan akad) dan
kabul (suatu jawaban/penerima akad) akad yang telah
dibenarakan sesuai prinsip syara’ yang menimbulkan
akibat pada suatu objek perikatan.21
Adapun beberapa pendapat dari pakar ekonomi
Islam mengenai pengertian akad itu sendiri diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Menurut pendapat Mardani, akad adalah segala
sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan
kehendaknya sendiri, seperti wakaf, talak, atau
sesuatu yang pembentukanya membutuhkan
kehnedak atas dua subjek (orang) dalam berakad
seperti dalam kegiatan sehari-hari, misalnya jual
beli, perwakilan, an gadai.22
2) Menurut pendapat Ascarya, akad adalah suatu
ikatan, keputusan atau penguatan atau perjajian
dalam melakukan kesepakatan atau transaksi dapat
diartikan sebagai komitmen yang diterapkan sesuai
dalam hukum syara’.23

2. Rukun-rukun Akad
Menurut mayoritas ulama, rukun akad terbagi atas
tiga unsur:

20
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), h.44-45
21
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, ( Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) Cet Ke-1, h.45
22
Mardani, Hukum Perikatan Syariah, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.52-53
23
Ascraya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015) Cet Ke-5,h.35

13
a. Shighat (Pernyataan ijab dan qabul)
b. ‘Aqidain (dua belah pihak yang melakukan akad).
c. Ma’aqud ‘alaih (Objek akad).
Para ulama berpendapat bahwa dalam unsur
shighat ini menjadi pokok sangat penting ketika
seseorang dalam menunjukan kehendak maupun
ridha dari pelaku akad tersebut. Maka disini
dijelaskan lebih rinci mengenai sighat adalah ijab
qabul serah terima, baik ungkapan dengan kata ijab
dan qabul atau cukum, dengan ijab saja yang
menunjukan qabul dari pihak lain.24
Penjelasan mengenai ‘aqidain (dua orang pihak
yang berakad) ini adalah pihak-pihak yang
melaksanakan suatu perikatan atau persekutan yang
masin-g-masing mereka memilik hak dak kewajiban.
Bentuk dari al-‘Aqidain ini ada sdua yakni manuisia
dan badan hukum. Kemudian dalam ma’qud ‘alaih
(objek akad) disebut sebagai suatu benda-benda yang
diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam
jual beli, misalnya seperi hibah (pemberian), dalam
akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad
kafalah.25
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Islam rukun
akad terbagi menjadi empat bagian:
a. Pihak-pihak yang berakad
b. Objek akad
c. Tujuan pokok akad
d. Kesepakatan.26
Pihak-pihak yang berakad adalah orang,
persekutuan, kelompok orang yang sudah memiliki
kecakapan hukum 27sudah berakal, dan tamyiz.28
24
Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih Muamalah Dinamika Teori Akad dan Implementasinya
dalam Ekonomi Syariah, (Depok: Rajawali Pers,2017), h.27
25
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), h.47
26
Penjelasan pada Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

14
3. Syarat-syarat Akad
Para ulama fikih memberikan bererapa pendapat
syarat yang harus dipenuhi dalam suatu akad, yaitu syarat
umum dan syarat khusus akad.
a. Syarat-syarat yang sifatnya umum adalah syarat yang
memanag konsepnya wajib berupa dalam wujudnya
diberbagai akad.
1. Pihak-pihak yang terkait dalam akad ialah dipandang
sebagai orang yang sudah mampu bertindak menurut
hukum (mukallaf). Apabila belum mampu, harus
dilaksanakan melalui walinya.29
2. Objek akad itu harus didasarkan atas ketentuan syara’
artinya benda-benda yang menjadi objek akad
tersebut haruslah mempunyai nilai yang ekonomis
serta manfaat bukan malah muddarat bagi manusia.
Syarat dari benda-benda tersbut sifatnya harus suci,
artinya tidak mengandung bangkai, minuman keras,
babi atau darah yang dianggap tidak memiliki nilai
dan tidak memberikan manfaat bagi manusia.30
3. Akad itu tidak dilarang oleh hukum syara’,
seperti jual beli mulamasah.
4. Ijab dan qabul harus saling terikat sehingga jika
pelaku aka berijab lalu berpisah sebelum adanya
qabul, maka ijab tersebut menjadi bathil atau
tidak sah.31
b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang
wujudnya wajib ada sebagian akad. Syarat khusus ini
juga disebut sebagai syarat tambahan yang harus ada
27
Kecakapan hukum adalah kemampuan subjek hukum untuk melakukan perbuatan yang dipandang
sah sacara hukum. Lihat penjelasan pasal 1 ayat (3)
28
Penjelasan pasal 23 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
29
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Galia Indonesia, 2011), h.45
30
Gemala Dewi, Wirdaningsih dan Yeni Salma Balinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ( Jakarta:
Kencana, 2007) Cet Ke-3, h.60
31
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), h.50

15
diantara syarat-syarat umum, seperti adanya syarat saksi
dalam pernikahan. Berikut dalah syaray-syarat umum
yang harus ada dalam akad, sebagai berikut:
1. Kedua belah pihak yang melaksanakan akad harus
cakap bertindak. Tidak sah jika orang yang belum
cakap hukum, seperi orang gila, anak kecil atau anak
masih dibawah pengampuan walinya karena
ditakutkan akan terjadinya pemborosan atau hal
lainnya.32
2. Objek akad telah dibenasrakan oleh syara’ artinya
barang atau jasa yang diperbolehkan menurut syara’
untuk jadikan transaksi.33
3. Ijab itu terus berjalan, tidak diputuskan ketika akad
sebelum adanya qabul, maka bila pelakuakad tersebut
berijab lalu menarik kembali ucapan sebelum qabul,
maka ijabnya tidak sah.
4. Ijab dan qabul mestinya harus bersambung, sehingga
jika seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum
adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi bathil atau
tidak sah.
5. Objek akad dapat menerima hukumnya.34

4. Jenis- jenis Akad


Akad dapat dikategorikan bererapa bagian yaitu:
a. Akad berdasarkan sah dan batalnya akad terbagi
menjadi dua bagian yaitu:
1. Akad shahihah, yaitu akad yang menjadi sebab
yang legal untuk melakukan pengaruhnya
dengan cara dilafazdkan yang memiliki
wewenang, sah terhadap hukumnya, tidak
terdapat cacat dalam rukun dan sifatnya.35
32
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Galia Indonesia, 2011), h.46-47
33
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, ( Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN yarif Hidayatullah Jakarta, 2011) Cet Ke-1, h.53
34
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Galia Indonesia, 2011), h.47

16
2. Akad fasihah, yaitu akad terdapat didalamnya
cacat atau cedera karena salah satu dari
syaratnya akad tidak lengkap, baik itu syarat
secara umum maupun khusus.
b. Akad berdasarkan berlakunya tidaknya akad yaitu:
1. Akad nafizah, yaitu akad yang terlepas dari suatu
pengahalang sahnya akad.
2. Akad mauqufah, yaitu akad-akad yang berpautan
denga adanya unsur perizinan, seperti akad
fudhuly (akad yan berlaku setelah adanya
persetujuan dari pemilik harta), karena
berlakunya akad ini adaah adanya persetujuan
oleh orang yang terkait dalam akad.36

c. Akad berdasarkan penanamannya


1. Akad musamma, akad yang telah ditetapkan oleh
hukum syara’ dan telah ada hukum-hukumnya,
seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
2. Akad ghairu musamma, akad yang belum
ditetapkan oleh syara’ dan belum ditentukan
hukum-hukumnya.37

B. Defenisi Musyarakah
Musyarakah secara bahasa sering disebut juga
dengan syirkah yang merupakan ikhtilaf (percampuran)
yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta
yang lainnya tanpa dapat dibedakan diantara
keduanya.38Musyarakah dalam bahasa arab disebut juga
‫شرك – اشترك‬, yang artinya bersama-sama berpartisipasi.39
35
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.58
36
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Galia Indonesia, 2011),h.49
37
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2013) , h.60
38
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung:b PT Remaja Rosdakarya, 2015), Cet
Ke-1 h.74
39
Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, ( Yogyakarta: Multi Karya
Grafika,)h.1129

17
Adapun menurut istilah ada beberapa defenisi yang
dikemukakan oleh ulama:
a. Menurut Ulama Hanafiah dalam buku fiqh muamalat
yang ditulis oleh Abdul Rahman Ghazaly,
menyebutkan:
‫عقد بين المتشا ر كين في را س المال والر بح‬
Artinya: “Akad antara dua orang yang berserikat
pada pokok harta (modal) dan keuntungan”.
b. Menurut Sayyid Sabiq syirkah adalah “akad antara
orang yang berserikat terhadap modal dan keuntungan
yang sama”.40
Pengertian secara terminologi berarti akad diantara
dua orang atau lebih untuk berserikat dalam suatu modal
dan keuntungan. Istilah lain yang digunakan untuk
musyarakah adalah sharikah atau syirkah. Musyarakah
diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan partnership
(kemitraan). Istilah tersebut tidak spesifik karena
mudharabah juga suatu partnership (kemitraan). Lembaga
keuangan Islam menerjemahkannya dengan istilah
‘partnership financing’ agar dapat lebih meggarisbawahi
salah satu aspek dari musyarakah.41
Para fuqaha membuat defenisi tentang musyarakah
ini sangat beragam, sekalipun sebenarnya secara substantif
tidak terdapat perbedaan secara signifikan. Kemudian
menurut fatwa dsn-mui, musyarakah adalah akad kerja
sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, di
mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.42
Menurut Undang-undang No.21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, musyarakah yaitu akad kerja
40
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, ( Dar Rul Fath: Mesir, 1990) h.202
41
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek- aspek hukumnya,
(Jakarta:Prenadamedia Group, 2015), Cet Ke-2, h.329
42
Fatwa DSN-MUI Tentang Pembiayaan Musyarakah

18
sama di antara dua pihak memberikan porsi dana dengan
ketentuan yang masing-masing pihak memberikan dana
dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan porsi dana masing-masing.43
Dari beberapa defenisi di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan musyarakah
adalah suatu akad akad kerja sama atau orang yang
berserikat, yang mana dilakukan oleh antara dua pihak atau
lebih untuk melakukan perkongsian dalam hal modal,
dengan membagi keuntungan dan kerugian sesuai dengan
proposial yang diperoleh masing-masing pihak
diperjanjiakan sesuai dengan kesepakatan. Oleh karena itu,
dalam akad musyarakah terdapat ‘aqidayn, (dua orang
yang berakad) ‘aqd (ijab dan qobul), ma’qud ‘alah, dan
ribh (keuntungan).44

5. Rukun dan Syarat Musyarakah


a. Rukun Musyarakah
Rukun musyarakah merupakan sebuah hal yang
paling penting yang harus dilakukan oleh setiap
orang dalam melaksanakan perjanjian. Ada
beberapa ulama berbeda pendapat mengenai
pembahasan dalam rukun musyarakah. Menurut
ulama Hanafiyah rukun musyarakah hanya terdapat
dua bagian saja yaitu, ijab (pernyataan orang yang
akan melaksanakan perjanjian) dan qabul
(pernyataan atas orang yang menerima perjanjian).
Ketika rukun ditambahkan selain ijab dan qobul
maka hal tersebut sama dengan dua orang yang
melaksanakan perjanjian dan objek perjanjian

43
Penjelasan Pasal 1 huruf c UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
44
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), Cet Ke-1
h.75

19
menurut pendapat Hanafiyah itu bukan termasuk
bagian rukun, melainkan termasuk bagian syarat
musyarakah. Sedangkan menurut mayoritas ulama
menyebutkan bahwa rukun musyarakah itu hanya
meliputi dua orang yang berserikat yakni, sighat
(ijab dan qabul) dan objek akad.45
Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah
hukumnya hanya terdapat satu jenis saja, yaitu syirkah
‘inan. Adapun syirkah yang disebutkan oleh Mazhab
lain adalah hukumnya bathil yaitu syirkah abdan,
mufawadhah, dan wujuh.46
Adapun menurut Ascarya berpendapat tentang
rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam
transaksi adalah sebagai berikut:`
a) Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
b) Objek akad, yaitu modal mal, kerja (dharabah), dan
keuntungan (ribh) dan
c) Shigah, yaitu ijab dan qobul.47

b. Syarat Musyarakah
Syarat musyarakah terbagi menjadi lima
syarat, yaitu:
1. Ada barang berharga yang berupa dirham dan
dinar.
2. Modal dari kedua belah pihak yang terlibat
syarikah harus sama jenis dan macamnya
3. Menggabungkam kedua harta yang dijadikan
modal.
4. Masing-masing pihak membeikan izin terhadap
rekannya untuk menggunakan harta tersebut.
5. Untung dan rugi menjadi tanggungan bersama.48
45
Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, ( Depok: Rajawali Pers, 2017), Cet Ke-1,h.3
46
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz 3, h.72
47
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), Cet Ke-3, h.52
48
Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-hukum

20
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah juga menyebutkan, bahwa
kententuan syarat dalam syirkah ialah salah satu
bentuk akad syirkah disyaratkan agar pihak-pihak
yang bekerja sama harus cakap melakukan perbuatan
hukum.49
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional
mengenai rukun dan syarat dalam akad musyarakah
adalalah pihak-pihak yang terkait didalam melakukan
akad, objek akad serta serah terima akad ada
ketentuan-kententuannya harus cakap hukum serta
memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Pernyataan dalam ijab qabul
a) Penawaran dan penerimaan harus secara
ekksplisit menunjukan tujuan kontrak (akad).
b) Penerimaan dari penawaran harus dilakukan
pada saat kontrak.
c) Akad dituangkan secraa tertulis, melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
2. Pihak-pihak yang terkait harus cakap hukum
dengan memeprhatikan hal-hal berikut ini:
a) Kompenten dalam memberikan atau
diberikan kekuasaan dan perwailan.
b) Setiap mitra harus menyediakan dan
pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan
keja sebagai wakil.
c) Setiap mitra memiliki hak untuk mrngatur
aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d) Setiap mitra harus memberika delegasi
wewenanag tehadap mitra yang lainnya untuk
mengelola aset dan masing-masin dianggap

Islam Mazhab Syafi’i, (Surakarta: Perustakaan Nasional, 2009),h.285


49
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 142. h.52

21
telah diberi wewenang untuk melakukan
kegiatan musyarakah dengan memperhatikan
kepentingan lainnya, tanpa melakukan
kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e) Seorang mitra tidak diizinkan dalam
menggunakan dana atau menginvestasikan
dana untuk kepentingan sendiri.50

D. Jenis-Jenis Musyarakah
Syirkah dibagi menjadi dua, yaitu syirkah
amlak (kongsi harta) dan syirkah ‘uqud (kongsi
tranksaksi). Dalam hukum positif, syirkah amlak
dianggap sebagai syirkah paksa (ijbariyah),
sedangkan syirkah ‘uqud dianggap sebagai
syirkah sukarela (ikhtiyariyah).
a. Syirkah Amlak
Syirkah amlak adalah persekutuan kepemilikan
dua orang atau lebih terhadap suatu barang tanpa
transaksi syirkah. Syirkah hak milik ini terbagi
menajdi dua bagian:
1) Syirkah ikhtiyar (sukarela), yaitu syirkah yang lahir
atas kehendak dua pihak yang bersekutu.51 Dengan
kata lainnya adalah pilihan sendiri misalnya hibah
atau wasiat yang diberikan terhadap dua orang
terhadap barang yang sama atau dua orang membeli
satu barang yang sama. Maka, keduanya menjadi
berserikat terhadap satu barang dalam kepemilikan.
2) Syirkah Jabar (paksaan), yaitu perserikatan yang
terjadi bukan pilihan melainkan ketetapan hukum.
Seperti perserikatan terhadap harta warisan yang
ditentukan syara’ maka menjadi hukum syarikah

50
Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Musyarakah
51
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani, 2011),
h.442

22
kepemilikan. Hukum syarikah kepemilikan ini tidak
boleh bagi seseorang melakukan transaksi apapun
terhadap bagian orang lain tanpa seizinnya. Karena
haknya terhadap adalah untuk bagiannya. Sedangkan
orang lain tidak ada hak didalamnya.52
b. Syirkah al-u’qud
Syirkah dalam bentuk ini yang dimaksud adalah
akad yang disepakati oleh dua orang atau lebih untuk
mengikatkan diri dalam perserikatan dan
keuntungannya.53 Di dalam syirkah al-‘uqud,
keuntungan dibagi secara proporsional di antara para
pihak seperti halnya mudharabah. Berbeda dengan
mudharabah, kerugian juga ditanggung secara
proporsional sesuai dengan modal masing-masing
yang telah ditanggung secara proporsional sesuai
degan modal yang diperoleh masing-masing yag
telah diinvestasikan oleh para pihak.54
Buku-buku fikih membagi syirkah al-‘uqud ke
dalam empat jenis yaitu:
1)Syirkah al-mufawwadhah
Mufawadhah dalam arti bahasa adalah al-
musawah, yang artinya “ persamaan” syirkah yang
kedua ini dinamakan syirkah Syirkah al-mufawwadah
karena unsur didalamnya mengandung makna
persamaan dalam modal, keunutngan, melakukan
tasarruf (tindakan hukum), dan lain-lainnya. Menurut
satu pendapat, mufawadhah diambil dari kata at-
tadwidh (penyerahan), karena masing-masing peserta
menyerahkan hak untuk melakukan tasarruf kepada
pihak yang berserikat lainnya.55

52
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-sunnah, Juz 3 ( Daru al-fath : Mesir, 1990), h.202-203
53
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet Ke-
1,h.168
54
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek- aspek
hukumnya, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2015), Cet Ke-2, h.331

23
Syirkah mufawadhah menurut Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah menjelaskan tentang
Syirkah al-mufawwadah adalah sebagai berikut:
“Kerja sama untuk melakukan usaha boleh dilakukan
dengan jumlah modal yang sama dan keuntungan
dan/atau kerugian dibagi sama”. Berdasarkan
ketetentuan pasal diatas, dapat simpulkan bahwa
dalam syirkah ini, semua pihak yang terlibat alam
berkongsi harus berkongsi secara proposional dan
harus relatif sama. Pihak dan/atau para pihak yang
melakukan akad kerja sama ini, terikat dengan
perbuatan hukum anggota syirkah lainnya.56
Risiko dan keuntungan harus ditanggung secara
bersamaan dengan proporsi yang sama. Hanya saja
bila pihak lain terjadinya kerugian akibat dari
kelalaian salah satu pihak maka pihak tersebut yang
akan menanggung kerugiannya.57
Syirkah mufawadhah menurut Imam Syafi’i
mengatakan bahwa syirkah mufawadhah batil (tidak
sah), dan tidak ada sesuatu pun didunia ini yang batil.
Kecuali kedua belah pihak menghitung pekerjaan dan
keuntungan berdasarkan persentase modal. Menurut
Syafi’i kegiatan seperti ini hukumnya boleh. Namun,
sebagian otoritas ulama menyebutkannya dengan
syirkah ‘inan. Jika terjadi suatu kesepakatan dalam
kerja sama dalam bentuk seperti ini maka kerja
samanya sah, maka jika satu pihak mendapatkan harta
dari suatu bisnis, hasil sewa, barang temuan, hibah
dan sebagainya yang bukan dari harta syarikah, maka
dia memiliki harta tersebut sendiri tanpa campur

55
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet Ke-2,h.348
56
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Edisi Revisi, (Jakarta:Kencana, 2017),
cet ke-2, Pasal 165 dan 166, h. 57
57
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali pers,
2016) Cet Ke-1,h.135

24
tangan partner kerjasamanya.58
Selain mengenai ketentuan diatas, dalam syirkah
mufawadhah juga berlaku dalam syirkah ‘inan.
Persyaratan tersebut adalah modal syirkah hendaknya
nyata dan modal harus berupa barang dan berharga,
yaitu umumnya seperti uang.
Adapun syarat-syarat akad mufawwadah terhadap
suatu bisnis sebagai berikut adalah:
a. Kesamaan pada modal. Jika berbeda maka akan
batal.
b. Kesamaan dalam pengelolaan. Maka tidak sah
akad antara orang dewasa dan anak-anak.
c. Kesamaan agama. Tidak sah akad jika muslim
bersama non muslim.
d. Tiap-tiap orang adalah wakil dari anggota lain
dalam pengelolaan. Maka setiap orang hanya
diperbolehkan melakukan kegiatan pengelolaannya
sesuai dengan terhadap yang telah disepakati.59
e. Dalam pembagian keuntungan bisa dilakukan
menurut besarnya pangsa modal dan bisa
berdasarkan persetujuan. Kerugian ditanggung
sesuai dengan besarnya pangsa modal yang
dikeluarkan masing-masing.60
Selain dari penjelasan syarat diatas adapun
syarat dalam buku Wahbah Az-Zuhaili
menjelaskan syarat-syarat khusus syirkah
mufawadhah diantaranya adalah:
a. Masing-masing sekutu hendaknya cakap untuk
mengadakan transaksi wakalah dan kafalah.
Yaitu, keduanya harus merdeka, baligh, berakal
dan bijaksana (rasyid). Karena diantaranya
58
Imam Syafi’i, Kitab Mausu’ah Al-Um, Juz 3, (Al-maktabah At-Taufiqiyyah) h.386
59
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-sunnah , Juz 3 ( Dar al-fath : .Mesir, 1990), h.203
60
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait,
( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet Ke-4, h.36

25
hukum mufawadhah adalah bahwa hak serta
kewajiban yang mengikat satu pihak dalam
tranksaksi perdagangan, maka pihak lain juga
terikat. Dengan demikian,masing-masing sekutu
menjadi wakil bagi mitranya untuk mengambil
haknya.
b. Persamaan dalam modal, baik dari segi kadar
maupun jumlah, dan baik sejak awal akad
maupun ketika akad berakhir. Adapun jikalau
modal tidak samabdari segi nilai, seperti adanya
perbeedaan dalam nilai tukar dalam mata uang,
maka syirkah ini tidak sah (batal). Karena,
kelebihan dalam nilai sama halnya dengan
kelebihan timbangan, sehingga persamaan yang
harus terpenuhi dalam akad belum terwujud.
c. Semua barang yang dimiliki salah satu dari
kedua belah pihak yang berakad syirkah
mufawadhah dan dapat dijadikan sebagai modal
syirkah harus dimasukan dalam syirkah. Oleh
karena itu, syirkah mufawadhah batal dengan
sendirinya apabila porsi masing-masing mitra
tidak sama, maka dimasukan sebagai syirkah
mufawadhah, kaena hal itu bertentangan dengan
prinsip persamaan. Adapun halhal yang tidak
bisa dijadikan sebagai syirkah mufawadhah,
seperti barang dagangan, barang tak bergerak,
utang dan harta yang tidak ada ditangan, maka
61
hal tersebut tidak harus diikutsertakan dalam
mufawadhah. Seperti halnya perbedaan dalam
jumlah istri dan anak-anak.62

61
62
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani,
2011) h.456

26
3) Syirkah ‘Inan adalah perserikatan antara dua orang
terhadap modal dan bagi hasil sesuai dengan
keuntungan. Tanpa disyaratkan dengan kesamaan
sejumlah modal, tugas dan keuntungan masing-
masing pihak yang berserikat. Modal yang
dikeluarkan dari satu pihak boleh lebih besar dari
pihak lain, dan boleh salah satu pihak menjadi
pengelola dana, serta boleh sama ataupun berbeda
dalam pembagian keuntungan sesuai dengan
kesepakatan masing-masing. Apabila terjadinya
kerugian maka akan ditanggung masing-masing
pihak berdasarkan persentase jumlah modal yang
dikeluarkan masing-masing63.
Para ulama fikih sepakat dan menyatakan bahwa
bentuk dari perserikatan ini hukumnya boleh. Dalam
syirkah ini, modal yang digabungkan oleh masing-
masing pihak tidak harus sama jumlahnya, tetapi
boleh dari satu pihak tersebut harus memiliki modal
yang lebih besar dari pihak yang lainnya. Demikian
juga halnya dalam soal pertanggungjawaban dalam
hal kerja. Hukumnya boleh saja dari salah satu pihak
yang bertanggung jawab penuh terhadap
perserikatannya, sedangkan pihak lainnya tidak ikut
dalam bertanggungjawab.64 Dalam syirkah ‘inan sah
apabila dilakukan oleh para pihak yang sudah cakap
hukum, modal bukan harta tangungan atau harta dari
ghasab. Masing-masing pihak yang terkait dalm
syirkah ini juga harus bisa mengetahui kadar dan
jumlah modal yang disertakan didalam perkongsian.
Para pihak yang terkait dalam syirkah tidak harus
satu agama, boleh dilakukan antara muslim dengan
non muslim.65
63
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz 3 ( Dar al-fath : Mesir, 1990), h.203
64
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Gaya Media Pratama:Jakarta, 2007) Cet Ke-2,h.169

27
4) Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘Abdan adalah suatu kerja sama di dalam
usaha (tanpa modal bersama) dengan modal
keterampilan atau keahlan di antara para syarik untuk
melakukan pekerjaan tertentui berdasarkan
permintaan tanah atau pesanan. Syirkah ‘abdan
disamping banyak dilakukan oleh oleh para pelaku
usaha tradisional seperti pengusaha sepatu, dan
penjahit, tetapi juga banyak dilakukan oleh
pengusaha lainnya seperti kontraktor pembangunan
gedung atau jalan raya yang melakukan subkontrak
terhadap perusahaan lainya.66

5) Syirkah Wujuh
Wujuh adalah jama’ dari wajh, yang berarti
wajah/muka, dan hal ini berkaitan dengan kekuatan
atau reputasi seseorang.67 Sebagaimana telah
disingung bahwa modal dalam usaha syirkah dapat
berupa: 1) uang dan/ barang; syirkah yang
dilakukannya ialah syirkah amwal; 2) keahlian atau
keterampilan ushaha; syirkah yang dilakukannya
disebut syirkah ‘abdan; dan 3) nama baik atau
reputasi; syirkah yang dilakukannya disebut syirkah
wujuh. Dengan demikian, syirkah wujuh adalah suatu
modal usaha yang berupa reputasi atau nama baik
mitra-mitra yang ber-syirkah.68
Sedangkan, syirkah wujuh adalah persekutuan

65
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2016), Cet Ke-
1, h.133
66
Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah,
( Jakarta:Kencana, 2012) Cet Ke -1, h.46
67
Ari Kristin Prasetyoningrum, Risiko Bank Syariah, (Yogyakartya: Pustaka Pelajar,
2015) Cet Ke-1,h.88
68
Jaih Mubarok, Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah Akad Syirkah dan
Mudharabah ( Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2017) Cet Ke-1, h.88

28
dua orang tanpa harus memliki modal. Keduanya
kemudian membeli barang dengan cara berhutang
kemudian menjualnya kembali secara kontan dengan
memanfaatkan kedudukan (nama baik) yang mereka
miliki dalam masyarakat. Misalnya, dua orang
mengadakan kesepakatan, “Kita bersekutu untuk
membeli barang dengan cara berutang, lalu
menjualnya secara kontan, dan keuntungan dibagi
dua sesuai dengan syarat demikian’. Syirkah ini
dinamakan sebagai syirkah wujuh karena barang
dagangan hanya dijual jika dengan cara dihutangkan
kepada orang yang terhormat dan memiliki nama
baik. Syirkah ini biasanya dikenal dengan syirkah
atas tanggungan dan tidak bisa mengandalkan
keterampilan atau modal.Syirkah ini boleh dilakukan
menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah,
karena ia merupakan syirkah ‘uqud yang
mengandung pemberian hak kuasa (wakalah)
masing-masing hak kepada mitranya untuk membeli
barang dengan syarat orang tersebut hendak membeli
barang sah untuk melakukan hal itu, maka begitu
juga syirkah yang tercangkup didalamnya. Ditambah
lagi, masyarakat zaman dahulu telah banyak
melaksanakan syirkah tanpa adanya penolakan dari
siapa pun.69

1. Manfaat Musyarakah
Beberapa manfaat musyarakah dari pembiayaaan
secara musyarakah dibagi menjadi lima kategori,
diantaranya adalah:
a. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah
tertentu pada saat keuntungan usahan nasabah

69
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
h.448

29
meningkat.
b. Bank tidak berkewajiban membayar sejumlah
dana tertentu kepada nasabah pendanaan secara
permanen, tetapi disesuaikan dengan
pendapatan/hasil usaha bank, sehingga banlk
tidak pernah mengalami negative spread.
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan
dengan cash flow/arus kas usaha nasabah,
sehingga tidak memberatkan nasabah.
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent)
mencari usaha yang benar halal, aman, dan
menguntungkan. Hal ini, karena keuntungan yang
riil dan fakta tanpa adanya unsur riba itulah yang
akan dibagikan.
e. Prinsip bagi hasil dalam
mudharabah/musyarakah ini sangat jauh berbeda
dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan
menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu
jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang
didapatkan oleh nasabah, bakan sekalipun adanya
kerugian dan terjadinya krisis ekonomi.70

B. Musyarakah Mutanaqishah
1. Defenisi Musyarakah Mutanaqishah
Musyarakah mutanaqishah dalam kata bahasa
arab adalah bermakna ‫ رورشصصصخرركةة‬-‫ك –رشصصصخركاا‬
‫رشصصصخر ر‬, yaitu
menjadi sekutunya atau makna lainnya temannya
(partner).71 Sedangkan, munaqishah disebut dengan
‫ ممنُا رقر ر‬-‫ ممنُرققصرا‬-‫ص‬
kata ‫صا‬ ‫ نرا ر قخ ر‬artinya yang dikurangi.72
Musyarakah mutanaqishah secara istilah diebut
pengaplikasian suatu produk pembiayaan dalam
70
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, ( Jakarta: Gema Insani, 2018) Cet
ke-29, h.93-94
71
Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,1997), Cet Ke-14,h.715
72
Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, ( Yogyakarta: Multi Karya
Grafika, h.1883

30
perbankan syariah berdasarkan prinsip syirkah ‘inan,
diana salasah satu syarik memberikan porsi modal
(hishbah) yaitu Bank sehingga biaya berkurang
disebabkan oleh adanya pembelian atau pengalihan
komersial secara bertahap (naqlul hisbhah bil ‘iwadh
mutanaqishah) kepada pihak yang lainnya yaitu
nasabah.73
Adapun beberapa perbedaan pendapat dari para
fuqaha mengenai pengertian musyarakah
mutanaqishah.
a. Menurut pendapat ulama Wahbah Zuhaili, musyarakah
mutanaqishah adalah:
‫هه هةذهِ المششه هاَجْرركةةَ ملششه هروعةَة ة‬
‫ف الششه هةرلي رعههةَ ةللعتةماَجْةدىهرهاَجْ كاَجْللهر هاَجْرة‬
‫ر‬ ‫ر‬ ‫ر ر ر رر ر‬
َ‫ك رعرلىَ رولعدد ةمرن البنك نلةكلةششةريلةكوِ بةرأن‬
‫الملنترةهيةةَ بةاَجْلترملةي ة‬
‫ر ر لل‬

‫صتهوِ ة‬ ‫ة‬ ‫رعرلىَ ولعدد ةمن ال ة ة ة ة ة ة‬


‫ف‬ ‫ب نلك لششريلكةوِ بأرلنَ يربليرع لرروِ ح شر ر‬
‫ر ر‬ ‫ر‬
. ِ‫الششلرركةةَ إةرذا رسردرد لررو‬
“Musyarakah dibenarkan dalam syariah karena
sebagaimana ijarah muntahiyah bi tamlik bersandar pada
janji dari bank kepada mitra (nasabahnya) bahwa bank
akan menjual porsi kepemilikannya kepada mitra dalam
syirkah apabila mitra telah membayar kepada bank harga
porsi tersebut. Saat berlangsung, musyarakah
mutanaqishah tersebut dipandang sebagai syirkah ‘inan
karena kedua belah pihak menyerahkan kontribusi ra’sul
mal, dan bank mendelegasikan kepada nasabah mitranya

73
Standard Produk musyarakah dan musyarakah mutanaqishah

31
‫‪tersebut untuk mengelola kegiatan usahan. Setelah semua‬‬
‫‪selesai, syirkah bank menjual seluruh atau sebagian‬‬
‫‪porisya kepada mitra dengan ketentuan akad penjualan‬‬
‫‪ini dilakukan secara berpisah yang tidak berkaitan‬‬
‫‪dengan akad syirkah.”74‬‬

‫‪b. Menurut pendapat ulama Nuruddin Abdul Karim al-‬‬


‫‪kawamilah,‬‬

‫صرلتَ الةدررارسةَر إةرللرقلوِلْ بةأرشنَ لرمششاَجْررركةَ الرمترناَجْر قة ش‬


‫صةَر يهرلعرتبرهرر أررحرد‬ ‫ترهروِ ر‬
‫ة‬
‫أرنلوِاةع الترلمةوِيلةل بةاَجْلرمششاَجْررركةةَ بةششلكلرهاَجْ الرعاَجْم‪ ,‬رحلي ر‬
‫ث إةرنَ الترلمةوِيرل‬

‫‪،‬بةاَجْلرمششراَجْ ررركةةَ بةرسلكلةرهاَجْ الرعاَجْم يرركلوِنَ بةأرشنَر رواع رمتَر رعةدردةد رورملترلةرفدةَ‬

‫وبةاَجْلعتةباَجْةر ستةمراةريةةَ الترمةوِيل فرههوِترلقسم إةرلْ ثرلرثر ة‬


‫تَ أرلنوِاردع‪ ٍ:‬ترلمةوِليلة‬ ‫ر ر ل لر ر ل ل رر ر ر‬

‫‪74‬‬
‫‪Wahbah Zuhaili, Kitab Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muasirah,( Dar Al-Kutub‬‬
‫‪Al-‘Ilmiyah)h.436-437‬‬

‫‪32‬‬
َ‫ روترلمةوِليل رمششاَجْررركدة‬،‫ ترلمةوِليلة رواةحردةد رمششاَجْررركةَ ثراَجْبةرتةَد‬،َ‫صلفرقدة‬ ‫د‬
‫صلفرقةَ ر‬
‫ر‬

َ‫صدة‬ ‫ة‬
‫رمترهنراَجْق ر‬.
“Studi ini sampai pada kesimpulan bahwa Musyarakah
Mutanaqishah dipandang sebagai salah satu macam pembiayaan
Musyarakah dengan bentuknya yang umum; hal itu mengingat
bahwa pembiayaan musyarakah dengan bentuknya yang umum
terdiri atas beberapa ragam dan macam yang berbeda-beda.
Dilihat dari sudut "kesinambungan pembiayaan" (istimrariyah
al-tamwil), musyarakah terbagi menjadi tiga macam:
pembiayaan untuk satu kali transaksi, pembiayaan musyarakah
permanen, dan pembiayaan musyarakah mutanaqishah."75

c. Menurut Fatwa DSN MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008


Tentang Musyarakah Mutanaqishah dalam fatwa ini yang
dimaksud musyarakah mutanaqishah adalah musyarakah
atau syirkah yang kepemilikan asestnya (barang) atau modal
salah satu pihak berkurang disebabkan adanya pembelian
secara bertahap oleh pihak lainnya.76
d. Adapun menurut Ascarya, Musyarakah Mutanaqishah

75
Nuruddin Abdul Karim al-Kawamilah, Kitab al-Musyarakah al-mutanaqishah wa Tathbiqatuha al-
Mu’ashirah, (Yordan:Dar al-Nafa’is, 2008), h.133
76
Fatwa DSN MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah Mutanaqishah

33
dikategorikan sebagai “Akad yang disertai dengan modal
dalam konsep bagi hasil secara terbatas dari suatu mitra
usaha kepada mitra usaha lainnya sesuai dengan jangka
waktu tempo tertentu.77
Dari bererapa pendapat diatas penulis menyimpulkan bahwa
pengertian musyarakah mutaqaqishah itu adalah suatu
konsep kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
mitra secara bersama-sama (pihak bank dan nasabah) dalam
menyertakan modal (pihak bank) yang dilakukan
pembayaran dari pihak lain (pihak nasabah) dengan cara
berangsur-angsur,sehingga biaya yang dikeluarkan akan
mengalami penyusutan atau berkurang.

2. Dasar Hukum Musyarakah Mutanaqishah


Landasan hukum Islam pada akad musyarakah
mutanaqishah pada saat ini, dapat dilandaskan pada akad
musyarakah (kemitraan) dan ijarah (sewa-menyewa). Kaena
dalam akad ini terdapat beberapa unsur syirkah dan ijarah.
Dasar hukum tersebut adalah sebagai berikut:
a. Al-Quran
Hukum musyarakah terdapat dalam Q.S.
Shad/38:24.78

77
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Konsep dan Praktik di Beberapa Negara,(Jakarta:Bank
Indonesia, 2006) h.251-252
78
Al-Quran Hafalan dan terjemahan (Jakarta: Almahira, 2015) Cet Ke-1, h.454

34
        
       
      
       
    
Daud berkata: “Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim
kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan
kepada kambingnya. Dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat
zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat
sedikitlah mereka ini”. Dan Daud mengetahui bahwa kami
mengujinya; Maka ia meminta kepada Tuhan-Nya lalu
”menyungkur sujud dan bertaubat

Ayat diatas menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Dawud


akad musyarakah telah dilaksanakan. Salah satunya adalah
perkongsian dalam bidang peternakan kambing. Akan tetapi,
dalam musyarakah tersebut dari salah satunya menghianai yang
lain. Perkongsian dalan jenis ini pada masa dahulu tidak
membuahkan hasil disebabkan dari yang melakukan perkongsian
tersebut melakukan kezhaliman kepada yang lainnya. Sacara
substansial, ayat tersebut dapat dijadikan sebagai dalil dan dasar
hukum bahwa musyarakah itu hukumnya adalah boleh dan
merupakan perbuatan nabi, sebagaimana Nabi Dawud a.s.
.menjelaskan diatas
Kemudian ditegaskan lagi dalam ayat yang lain yaitu Q.S.

79
Al-Quran dan Terjemahan (Jakarta: Almahira, 2015) Cet Ke-1, h.106

35
     
      
     
     
       
 
Artinya: “ Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka
bolehlah kamu berburu. Dan janganlah sampai kebencian(mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka).
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sunggunya, Allah sangat berat siksa-

”.Nya

Ayat tersebut menjelaskan prinsip tolong-menolong dalam


konteks sosial dan ekonomi, sebagaimana melakukan ber
musyarakah yang disebut juga syirkah ta’awuniyah. Hal itu
pada prinsipnya setiap usaha dan pekerjaan yang
menguntungkan seseirang dan masyarakat yang dikategorikan
sebagai halal dan mengandung kebaikan ditekankan asanya
bentuik kerja sama yang saing bahu-membahu, sebagaimana
seseirang yang tidak memiliki kesanggupan dalam mengangkat
barang yang berat dengan tenaganya sendiri, tetapi menjadi
ringan.begitupun juga halnya dengan perkongsian atau
perdagangan.80
Adapun ayat lain yang membahas tentang syirkah, yang
berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian
warisan.81 Allah swt berfirman:
... ...     
...maka mereka berserikat dalam
80
Muhamad Asro, Muhammad Kholid ,Fiqih Perbankan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), Cet Ke-1,
h.91-92
81
Al-Quran Hafalan dan terjemahan (Jakarta: Almahira, 2015) Cet Ke-1, h.79

36
sepertiga harta....
b. Hadist
Adapun dalil dari hadist tentang musyarakah:82
‫صاخحبرهم‬ ‫ث الششخرييركييخن رماليم يمخين اررحمدمهما ر‬‫ ارشنا رثالخ م‬:‫اخرن ار تررعال يرقميومل‬،
‫فرإ خرذا رخارن أررحمدمهما ر ر‬.
‫صاخحبرهم رخرريج م‬
‫ت خمين بريينُرهمرما‬
Dari Abi Hurairah, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah saw. : Allah Ta’ala telah berfirman: “ Aku
yang menigai dua orang yang bersekutu selama salah
seorang dari mereka tidak mengkhianati yang
lainnya. Maka apabila ia berkhianat, aku keluar dari
antara mereka”.
Kemudian dijelaskan lagi dalil lain dari Abi Musa :

‫ٍ انَ ال شعربي إذا أر ملوِا ف‬:‫ٍ قاَجْ لْ رررسلوِ صلله عليه وسلم‬:ْ‫عن اابً موِس قاَجْل‬

‫الغزوأو قل طعاَجْ مهم عليهم باَجْلد ينهةَ جعهوِا مهاَجْ كهاَجْ نَ عندهم ف الثهوِبً الوِاحهد‬

ِ‫ فرهرهلم من رواناَجْ منهم أخر جراَجْه‬،َ‫ث اقتسموِا بينهم ف إناَجْ واحد باَجْلسوِية‬.

Dari abi musa , nabi swa bersabda: sesungguhnya dua


golongan yang apabila melakukan perjalanan atau berperang
atau kekurangan makanan di madinah mereka mengumpulkan
makan mereka disuatu pakaian kemudian mereka berbagi
makanan tersebut secara merata, maka aku bagian dari
mereka dan mereka bagian dari aku.
Maka keseimpulan dari beberapa penjelasan hadist diatas,
bahwa hukum diambilnya syarikah itu adalah boleh yang bukan
dari bentuk uang, da ini telah disampaikan oleh pengarah kitab
ini.83

82
Ibnu Hajar al- Asqalani, Tarjamah Bulughul Maram, ( Bandung: Diponegoro, 2006),h.391
83
Ibnu Katsir, Irshad al-Faqih ila ma’rifat adillah al-Tanbih,( Beirut: Lebanon, 2011), h. Cet Ke-1,371

37
3. Syarat dan Rukun Musyarakah Mutanaqishah
Secara bahasa, rukun adalah hal yang harus dipenuhi
dalam melakukan setiap suatu pekerjaan, sedangkan syarat
merupakan ketentuan yang harus diikuti dan dilaksanakan.
Dalam ketentuan syariah rukun dan syarat sama-
sama dalam menentukan syarat dan sahnya suatu akad.84
Karena musyarakah mutanqishah termasuk rukun dan syarat
akad yang didalamnya terdapat kaitannya dengan rukun dan
syarat suatu perikatan. Terdapat empat komponen yang
harus dipenuhi dalam terbentuknya suatu akad.
a. Al-‘Aqidain (subjek perikatan)
Al-‘Aqidain adalah orang atau pihak yang
melaksanakan akad. Orang pertama dan kedua sebagai
pihak-oihak yang akan melaksanakan suatu perikatan,
persekutuan atau perjanjian.85Dalam melaksanakan akad
tersebut syarat ketentuannya adalah harus ahli atau memiliki
kecakapan hukum dalam berakad. Oleh karena itu, tidak sah
jika orang yang belum cakap hukum, seperti orang gila,
anak kecil atau anak masih dibawah pengampuan walinya,
karena ditakutkan akan terjadinya pemborosan atau hal
lainnya.86

b. Mahallul ’Aqd (objek perikatan)


Mahallul ’Aqd adalah sesuatu yang dijadikan
sebagai sandaran objek akad dan diemban oleh pihak
sebagai akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk wujud dari
objek akad ini terdiri dai rumah, mobil maupun benda yang
tidak ada wujudnya, seperti, memberikan manfaat.87

84
Gemala Dewi, Wirdaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Isalam di Indonesia,
( Jakarta: Kencana, 2007), h.50
85
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan dilengkapi Hukum Perikatan Hukum Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2011), h.246
86
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Galia Indonesia, 2011), h.46-47

38
c. Sihgat al-‘Aqd (Ijab dan Qabul)
Para ulama berpendapat bahwa sigaht sangat penting
dalam berakad karena atas dasar keinginan suatu pihak yang
terkait.88 Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak
yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah
suatau pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama
untuk melakukan atau tidak melakukan akad. Sedangkan
qabul adalah suatu pernyataan dalam menerima dari pihak
kedua atas penawaran yang dijanjikan oleh pihak pertama.89
d. Maudhu’ al-‘Aqd (tujuan akad)
Maudhu’ al-‘Aqd yaitu tujuan atau maksud sebagai
pokok dalam melaksanakan akad. Berbeda jenis akad maka
hal sama pun berbeda dengan tujuan akad. Jika
dikategorikan misalnya dalam akad jual beli, tujuan
dasarnya adalah memindahkan barang dari penjual kepada si
pembeli dengan diberi ganti. Tujuan pokok hibah yaitu
memindahkan barang dari pembei kepada yang diberi untuk
dimilkinya tanpa harus menganti (‘iwadh).90

4. Mekanisme Pelaksanaan Musyarakah Mutanaqishah


Pelaksanaan musyarakah muatanqisah telah diatur sesuai dalam ketentuan Fatwa
DSN MUI No. 73 DSN-MUI/XI/2008 berikut ada beberapa lingkup ketentuannya, baik
ketentuan akad maupun ketentuan khusus dalam musyaarakah mutanaqishah adalah
sebagai berikut:
A. Ketentuan Akad
1. Akad Musyarakah Mutanaqishah terdiri dari akad musyarakah/syirkah dan Ba’i
(jual beli).

87
Gemala Dewi, Wirdaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Isalam di Indonesia,
( Jakarta: Kencana, 2007), h.60
88
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Galia Indonesia, 2011), h.27
89
Gemala Dewi, Wirdaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Isalam di Indonesia,
( Jakarta: Kencana, 2007)h.63
90
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, ( Jakarta : Kencana),
h.52

39
2. Dalam Musyarakah Mutanaqishah berlaku hukum sebagimana yang diatur dalam
Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang pembiayaan musyarakah, yang
para mitranya memiliki hak dan kewajiban , di antaranya:
a. Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad.
b. Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad.
c. Menanggung kerugian seuai proporsi modal.
3. Dalam akad Musyarakah Mutanaqishah, pihak pertama (salah satu syarik, LKS)
wajib berjanji untuk menjual seluruh nishbah-nya secara bertahap dan pihak kedua
(syarik yang lain, nasabah) wajib membelinya.
4. Jual beli sebagaimana yang dimaksud dalam angka 3 dilaksanakan sesuai
kesepakatan.
5. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishbah LKS sebagai syarik beralih
kepada syarik lainnya (nasabah).
B. Ketentuan Khusus
1. Aset musyarakah mutanaqishah dapat di ijarahkan kepada syarik atau pihak lain.
2. Apabila aset musyarakah mutanaqishah menjadi objek Ijarah, maka syarik
(nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
3. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nishbah yang
telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian Nishbah keuntungan dapat
mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik.
4. Kadar/ukuran bagian /porsi kepemilikan aset musyarakah syarik (LKS) yang
berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan disepakati
dalam akad;
5. Biaya perolehan aset musyarakah mutanaqishah menjadi beban bersama
sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.
Selain dari mekanisme diatas penjelasan lebih secara spesifik mengenai skema
pelaksanaan akad musyarakah mutanaqishah. Adapun skema men pelaksanaan akad
Musyarakah mutanaqishah memiliki beberapa gambaran berikut ini:91
1. Terdapatnya keharusan bahwa modal barang dalam akad musyarakah
mutanaqishah harus dpat dinyatakan dalam bentuk saham. Kententuan ini
menjelaskan bagaimana akad ini hampir sama dengan konsep suarat berharga
(saham), di mana modal usaha yang dikeluarkan dinyatakan dakam saham
91
Jaih Mubarok, Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyah, akad syirkah dan mudharabah, (

40
tersebut (misalnya harga saham perlembar 100 rupiah.
2. Secara teoritik, porsi yang dimiliki oleh pihak pertama dalam melakukan
penjualan kepada pihak yang lain harus sesuai dengan konsep jual-beli barang
yang batas-batas kepemilikan barang tersebut tidak memiliki unsur kejelasan (ba’i
al-musya’).
3. Hukum dalam pembelian saham boleh saja dilakukan secara berangsur, baik itu
dalam pembayarannya atau pun jual-beli secara tunai.

C. Pembiayaan
a. Pengertian pembiayaan
Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dana
kepada pihak lain selain dari pada bank yang berdasarkan prinsip syariah. Penyaluran
dana dalam bentuk pembiayaan tersebut, didasarkan pada kepercayaan yang telah
diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana. Pemilik dana percaya kepada
penerima dana, bahwa dana dalam bentuk pembiayaan yang diberikan pasti akan
terbayar. Menurut sifat penggunaannya, dalam pembiayaan terbagi menjadi dua
bagian yaitu,
1. Pembiayaan secara produktif, yaitu pembiayaan yang diberikan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk meningkatkan dalam bidang
usaha produksi, perdaganagan, maupun bidang investasi.
2. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang diterapkan guna untuk memenuhi

41
kebutuhan konsumsi, yang akan habis dipakai dalam memenuhi kebutuhan.92
a. Unsur-unsur pembiayaan
a) Bank Syariah
Bank Syariah merupakan pihak yang mendapatkan pembiayaan dari bank
syariah, atau pengguna dana yang telah disalurkan oleh bank syariah.
b) Mitra Usaha/Partner
Mitra Usaha/Partner merupakan pihak yang memperoleh pembiayaan dari
bank syariah atau pengguna dana yang disalurkan dari pihak bank syariah.
c) Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan yang diberikan oelh bank syariah kepada pihak yang
memperoleh pembiayaan bahwa mitra akan memenuhi kewajiban untuk
mengembalikan dana bank syariah sesuai dengan jangka waktu yang telah
disepakati. Bank syariah memberikan pembiayaan kepada mitra usaha sama
artinya dengan pihak bank memberikan kepercayaan kepada pihak penerima
pembiayaan, bahwa pihak penerima pembiayaan akan dapat memenuhui
kewajibannya.93
d) Akad
Dalam istilah fikih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad
seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti
wakaf, talak, dan sumpah, maupn munculnya dari kedua belah pihak, seperti
jual beli, sewa, wakalah , dan gadai.94
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Musyarakah telah ditentukan syarat-syarat dari para pihak
yang mengadakan akad pembiayaan musyarakah. Persyaratan yang harus
dipenuhi adalah cakap hukum.95
e) Resiko
Setiap dana yang disalurkan atau di investasikan oleh bank syariah pasti
terdapat resiko misalnya tidak dikembalikannya dana. Resiko pembiayaan
merupakan kemungkinan kerugian yang timbul karena dana yang disalurkan

92
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, ( Jakarta: Gema Insani,
2001) Cet Ke-1, h.160
93
Ismail, Perbankan Syariah, ( Jakarta: Kencana, 2011) Cet Ke- 1, h.107
94
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011)
Cet Ke-3),h.35
95
Fatwa DSN-MUI No. 08/ DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah

42
tidak dapat kembali.96

b. Produk Pembiayaan
Pembiayaan dalam perbankan syariah menurut Al-Harran dalam bukunya
Ascarya mengatakan terbagi menjadi tiga bagian:
1. Return bearing financing, yaitu bentuk pembiayaan yang secara komersial
menguntungkan, ketika pemilik modal mau menanggung resiko kerugian dan
nasabah juga memberikan keuntungan.
2. Return Free Financing, yaitu bentuk pembiayaan yang tidak untuk mencari
keuntungan yang lebih ditunjukan kepada orang yang membutuhkan (poor),
sehingga tidak ada keuntungan yang dapat disalurkan.
3. Charity financing, yaitu bentuk pembiayaan yang memang diberikan untuk orang
yang kurang mampu dan membutuhkan, sehingga tidak ada klaim terhadap pokok
dan keuntungan.
Produk-produk pembiayaan bank syariah, khususnya pada bentuk pertama,
ditunjukan untuk menyalurkan dan investasi dan simpanan, masyarakat dalam sektor
riil dengan tujuan produktif dalam bentuk investasi bersama (investment financing)
yang dilakukan secara bersama dengan mitra usaha (kreditor) yang menggunakan pola
bagi hasil (mudharabah/musyarakah) dan dalam bentuk investasi sendiri (trade
financing) kepada yang membutuhkan pembiayaan menerapkan pola bagi jual beli
(murabahah, salam, dan istishna’) dan pola sewa (ijarah dan ijarah muntahiya
bittamlik).

96
Ari Kristin Prasetyoningrum, Risiko Bank Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),
Cet Ke-1,h.101

43
DAFTAR PUSTAKA

Dona Balgis, Putri Akad Musyarakah Mutanaqishah Inovasi Baru Produk


Pembiayaan Bank Syariah, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia,2017,

Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia, Jakarta: Kencana,


2015
Usman, Rahcmadi. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012
Dwi Arifiani, Nurul. Mekanisme Akad Musyarakah Mutanaqishah Studi Kasus Pada
Nasabah Pembiayaan Sindikasi Syariah Di Bank Jateng Syariah, Skripsi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam, 2016
Lestari, Dwi. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Impelemntasi Akad Musyarakah
Mutanaqishah pada Pembiayaan Hunian Syariah, Fakultas Syariah, Skripsi, 2014
Ghofur Anshori, Abdul. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada

44
Syafi’i Antonio, Muhammad. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001
Wawancara dengan Novi Leidi salah satu Staf Marketing Bank Syariah Mandiri Kc
Bintaro
Rokhim, Abdul. Kontruk dan Model Pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Syariah Islam,2014
E. Mulya. Standar Produk Perbankan Syariah Musyarakah dan Musyarakah
Mutanaqishah
Fatwa dsn-mui

45

Anda mungkin juga menyukai