Anda di halaman 1dari 1

Dari sudut pandang internal militer kemungkinannya kecil karena adanya kebijakan

restrukturisasi TNI. Sejak masa kepresidenan Abdurrahman Wahid pengisian jabatan sipil oleh
perwira militer sudah mulai dikurangi. Pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, seorang
jenderal Angkatan Darat yang terkenal akan komitmennya pada demokrasi, restrukturisasi ini selesai
dilaksanakan dengan hasil yang memuaskan. Kebanyakan prajurit Indonesia kini bangga dengan
julukan profesional yang diberikan padanya. Mereka juga menyesali dan merasa malu akan
pengalaman institusi mereka sepanjang Orde Baru. Di lain pihak, lembaga-lembaga pemerintah juga
menunjukkan keprofesionalan mereka. Era Reformasi sejak akhir 1990an telah meningkatkan
pengaruh birokrasi sipil, setelah bertahun-tahun tunduk pada rezim otoriter yang didukung militer.
Proses rekrutmen di lembaga-lembaga pemerintahan telah dirancang untuk berdasar pada
keterampilan dan kompetensi. Jika lembaga-lembaga ini berencana untuk merekrut perwira militer,
mereka harus menempuh proses yang sama dengan calon-calon lainnya. Dengan semakin banyaknya
warganegara Indonesia yang berdinas di ketentaraan memiliki kapasitas dan keterampilan
profesional, masuk akal jika sumberdaya ini dimanfaatkan. Justru tidak masuk akal jika perwira-
perwira generasi baru ini dihalangi untuk memasuki sektor publik karena dosa-dosa institusinya di
masa lampau. Meski demikian, harus diakui bahwa rekrutmen sektor publik berbasis kompetensi ini
belum terbukti dapat menjamin bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan militer di masa
lalu tidak akan terjadi lagi. Mungkin satu-satunya cara agar publik dapat menerima militer dalam
jabatan-jabatan sipil adalah dengan tindakan nyata baik pemerintah maupun militer untuk terus
mendukung demokrasi setulus hati. Penangkapan akademisi aktivis karena menghina militer di
bawah pemerintahan Jokowi (yang didukung oleh jenderal-jenderal dari zaman Orde Baru) belum
mampu menunjukkannya. Jadi, tentu saja, hal ini masih butuh waktu.

Bakal ada kecemburuan yang bisa memicu masalah internal di tubuh kementerian atau
lembaga itu sendiri. Misalnya saja yang bisa jadi contoh adalah ketika seorang Aparatur Sipil Negara
(ASN) yang berkarier di sebuah kementerian, kariernya justru terhalang dan tiba-tiba gagal karena
dimasuki TNI. Tentu alangkah lebih baik penempatan perwira TNI di kementerian itu harus
berdasarkan kebutuhan pemerintah dan bukan karena permintaan dari TNI sendiri. Hal itu jelas
tertuang dalam UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI Pasal 47 ayat 3. Pasal itu menuliskan prajurit
yang menduduki jabatan didasarkan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga
pemerintahan non-departemen. Selain itu, Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2010 juga
menjelaskan prajurit yang memasuki birokrasi merupakan atas permintaan pimpinan kementerian
dan lembaga pemerintah non-kementerian. Dari aturan ini, jelas bahwa jika masuknya perwira TNI
ke lembaga pemerintahan bukan berdasarkan kebutuhan, maka akan merusak sistem promosi karier
di lembaga atau kementerian tersebut. Penempatan perwira TNI pun harus memperhatikan latar
belakang. Tentu tak tak semua pati atau pun pamen memiliki kompetensi yang baik dan cocok di
tubuh birokrat atau pemerintahan.

Anda mungkin juga menyukai