Anda di halaman 1dari 3

Boby Farsony / 19811053 / G

LO (Learning Outcome)
1. Mampu memahami dan menjelaskan terkait hal-hal apa saja yang ada di skrining resep meliputi
(administratif, klinis, dan farmasetis).
2. Mampu memahami dan menjelaskan terkait dispensing ( cara penulisan etiket, copy resep dan jumlah obat
yang diambil).
3. Mampu memahami dan menjelaskan terkait konseling informasi dan edukasi, meliputi terapi farmakologi
dan non farmakologi.
4. Mampu memahami dan menjelaskan terkait permasalahan yang ada di kasus.
Gastritis merupakan proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub mukosa lambung yang terjadi apabila
mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Ada dua jenis gastritis yang
sering terjadi yaitu gastritis akut dan kronis. Gastrtitis kronis merupakan gangguan klinis berupa peradangan
pada mukosa lambung dengan durasi panjang (hingga menahun) yang dapat diakibatkan oleh berbagai faktor
disertai proses klinis yang beragam. Etiologi utama dari gastritis kronis belum dapat dipastikan, namun
terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan terkait resiko terjadinya gastritis kronis, yakni faktor infeksi
yang disebabkan mikroba infeksius diantaranya Helicobacter pylori dan faktor non infeksi yang disebabkan
kontak dengan bahan kimia yang dapat menyebabkan iritasi lambung (NSAID atau aspirin), gagal ginjal
kronik, beberapa penyakit yang berhubungan dengan gastritis granuloma (Muttaqin and Sari, 2011) (Burmana,
2015).
Menurut PERMENKES No 35 Tahun 2014 standar pelayanan resep di apotek meliputi skrining resep yang
dibagi menjadi 3 aspek yaitu Persyaratan administrasi, Kesesuaian farmasetis dan Keseusaian klinis. Dalam
aspek administrasi beberapa hal yang perlu dikaji adalah identitas pasien (kesesuaian nama, jenis kelamin,
umur, BB), identitas dokter (nama dokter, SIP, alamat, No. telp dokter, paraf); tanggal penulisan resep.
Kemudian dalam aspek farmasetis yang perlu diperhatikan adalah bentuk sediaan, kekuatan sediaan,
stabilitas dan ada atau tidaknya inkompatibilitas. Sedangkan untuk aspek klinis beberapa hal yang perlu
disesuaikan adalah ketepatan indikasi, dosis, cara penggunaan, lama penggunaan, frekuensi penggunaan,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) berupa efek samping obat, alergi, manifestasi klinis lain yang
merugikan, kemudian interaksi obat dan kontraindikasi. Pada kasus, pasien mendapatkan terapi ranitidin
namun sediaan ranitidin sudah ditarik karena terdapat kandungan NDMA sehingga menyarankan kedokter
untuk melakukan pergantian obat yaitu dipilih golongan PPI, yang mana dipilih omeprazol dan pemberian obat
dalam bentuk tablet kepada pasien yang tidak bisa menggunakan sedian tablet/kapsul sehingga obat
omeprazol dibuat menjadi sediaan puyer atau suspensi serta penghentian sukralfat, dikarenakan pemakaian
sukralfat yang harus 4x sehari dan tidak dapat di ubah frekuansi penggunaannya (Permenkes,. 2014)
(Permenkes, 2016).
Dispensing merupakan proses sejak diterimanya resep sampai obat diberikan kepada pasien diikuti
dengan pemberian informasi yang memadai. Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi Obat. Tahapan dispensing yaitu tahap pertama adalah Menyiapkan Obat sesuai dengan
permintaan Resep (menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep; mengambil Obat yang
dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan
fisik Obat); melakukan peracikan Obat; memberikan etiket (sekurang-kurangnya meliputi warna putih untuk
Obat dalam/oral;. warna biru untuk Obat luar dan suntik; menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan
bentuk suspensi atau emulsi); memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang
berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan yang salah; dan tahap terakhir adalah
penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai
penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis
dan jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
Resep). Copy resep untuk yang sudah di tebus satu kali di
resepnya dituliskan Det orig, untuk 2 kalinya det iter 1 kali, untuk 3
kalinya det iter 1 kali. Resepnya sesuai dengan resep asli, diresep
harus ada cop apotik, namamAPA, serta ada ttd tanda tangan
apoterkernya, cap apotek, ada tulisan pcc yang mendandakan
sesuai dengan resep aslinya (Permenkes, 2016).
KIE (konsling, Informasi, Edukasi) merupakan penyampaian
tentang informasi obat yang diberikan kepada pasie seperti
kegunaan obat, indikasi, efek samping yang mungkin terjadi
beserta cara penanganannya, cara penyimpanannya, serta
menyampaikan juga terapi non farmakologi dan farmakologi yang
bisa dilakukan. Untuk terapi Non Farmakologi pasien diberiakn
edukasi untuk istirahat yang cukup, makan dengan porsi yang kecil dan jangan terlalu cepat untuk
menghindari setres yang bisa menyebabkan mukosa lambung jadi sakit, hindari makanan yang pedas,
berlemak, berserat tinggi karna menyebabkan feses kental dan disarankan makan-makanan yang rendah
serat, dan hindari minuman yang mengandung alkohol dan cafein seperti kopi atau teh. Untuk pasien yang
ingin berpuasa minum obat bisa dilakukan saat sesudah sahur/berbuka dengan durasi pakai obat dan waktu
paruh obat yang disesuaikan, kemudian hindari tidur setelah sahur yang dapat menyebabkan mual atau
muntah. Untuk terapi Farmakologi diberikan omeprazol yang memiliki profil farmakokinetik berupa bentuk
penyerapan nya cepat tapi bervariasi diserap (oral), bioavaibilitas nya sekitar 40%, digunakan satu kali sehari
15 menit sebelum sahur dengan dosis 20 mg untuk BB lebih dari 20 kg selama 4-8 minggu atau
menggunakan dosis alternatif usia 1 – 16 tahun: 1 mg/kg/dosis, satu kali sekali per hari. Penggunaan dari
omeprazole memiliki efek samping 1- 10% yaitu sakit kepala, diare, sembelit, mual dan sakit perut sehingga
sangat penting untung memonitoring efek samping dari penggunaan obat-obatan tersebut. Sedangkan untuk
penyimpanan obat dapat disimpan di kotak obat/atau kotak P3K jika mempunyainya, disimpan pada suhu
ruang yang tidak terkena cahaya matahari dan jauhkan dari jangkauan anak-anak (Aberg dkk, 2009).
Pada kasus dalam scenario terdapat resep yang berisi Ranitidin, dimana ranitidine telah ditarik oleh BPOM
karena penemuan cemaran NDMA diatas nilai ambang batas aman yaitu 96 ng/hari (BPOM, 2019). NDMA
(NNirosodimehylamine) merupakan suatu zat yang diperoleh dalam proses degradasi. Dalam hal ini terjadi
pada proses pembuatan sediaan Ranitidine, NDMA merupakan suatu zat yang berpotensi mengakibatkan
karsinogenik (WHO, 2008). Sebenarnya setiap pembuatan sediaan obat akan ada hasil NDMA, akan tetapi
dalam kasus pada Ranitidine mengandung lebih dari yang ditetapkan sebagai batas aman. sehingga jika
cemaran dalam sediaan melebihi ambang batas tersebut dapat mengakibatkan karsinogenik. Ranitidine yang
sudah dilakukan penarikan karena tercemar NDMA yaitu Ranitidine Injeksi, beberapa merk dagang dan
Ranitidine tablet salut (BPOM, 2019). Oleh karena itu dilakukan penggantian ranitidine dengan obat
golongan PPI yaitu omeprazole dengan dosis 1 kali sehari 20 mg. Penggunaan Omeprazole ketika puasa
dapat diberikan 5-10 menit setelah makan sahur, dengan terapi selama 4-8 minggu. Omeprazole dapat
diberikan dengan kapsul yang dibuka dan dicampurkan dengan sari buah atau yogurt. Sedangkan
penggunaan omeprazole dapat dibuat dalam sediaan suspensi dengan menggunakan pelarut Na2CO3 dan
ditambahkan dengan WFI sampai dosis yang dikehendaki (Pionas, 2019). Penggunaan obat setelah dibuka
(Beyond Use Date) diberikan dalam 25% dari waktu dispensing sampai dengan waktu kadaluarsa obat aslinya
(USP 32). Selain Omeprazol pasien juga diresepkan Sukralfat. Pada pasien puasa sukralfat boleh diberikan
untuk melindungi mukosa lambung (meningkatkan agen protektif lambung). Sukralfat bekerja melalui
pelepasan kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul protein membentuk
lapisan fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi tukak dari pengaruh asam dan pepsin (Basuki, Klinik,
Patologi, & Hewan, 2008). Sukralfat (4 x 1 g sehari pada perut kosong) efektif untuk mengurangi kerusakan
mukosa lambung (ulcus peptikum) dan gejala-gejala saluran cerna akibat penggunaan OAINS. Sukralfat
diberikan 2 x sehari dengan dosis 4 gram/hari karena pasien ingin puasa yang diminum 30 menit sebelum
makan sahur, dan pada jam 9 malam (Lacy, C.F., 2009).
Kesimpulannya adalah Obat yang direkomendasikan untuk diberikan pada pasien Ana dengan diagnosis
gastritis kronis yaitu omeprazole 1 kali sehari 20 mg diminum 5-10 menit setelah makan sahur, selama 4-8
minggu dan sukralfat diberikan 2 x sehari dengan dosis 4 gram/hari karena pasien ingin puasa yang diminum
30 menit sebelum makan sahur, dan pada jam 9 malam.

Daftar Pustaka:

Burmana, F., 2015. Ketepatan Teknik Dan Saat Pemberian Obat Gastritis Pada Pasien Dewasa Di
Puskesmas Rawat Inap Kemiling Bandar Lampung Periode 2013. Univeristas Lampung, Lampung.
Muttaqin, A., Sari, K., 2011. Gangguan Gastrointestinal. Salemba Medika, Jakarta.
Permenkes RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.73 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. Jakarta.
Permenkes RI,. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Jakarta
Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L., 2009, Drug Information Handbook, 17th
edition, Lexi-Comp for the American Pharmacists Association
http://pionas.pom.go.id/monografi/sukralfat.
Lacy, C.F., et al. (2009). Drug Information Handbook, edisi 17
USP XXXII . 2009. USP 32: United States Pharmacopeia. Rocville: United States Pharmacopeial Convention

Anda mungkin juga menyukai