Anda di halaman 1dari 10

Efek Behavioral

     Efek konatif bersangkutan dengan niat, tekad, upaya usaha, yang
cenderung menjadi suatu kegiatan atau kegiatan. Karena berbentuk perilaku
maka sering disebut sebagai efek behavioral juga. Efek konatif tidak langsung
timbul sebagai akibat terpaan media massa, melainkan didahului oleh efek
kognitif dan atau afektif. Dengan kata lain, timbulnya efek konatif setelah
muncul kognitif dan afektif (Effendy, 2000: 219).

     Pada waktu kita membicarakan efek kehadiran media massa, secara
sepintas kita juga telah menyebutkan efek behavioral seperti pengalihan
kegiatan dan penjadwalan pekerjaan sehari-hari. Di situ, kita melihat pada
media massa semata-mata sebagai benda fisik. Di sini, kita meneliti juga efek
pesan media massa ada perilaku khalayak. Perilaku meliputi bidang yang luas;
yang kita pilih dan yang paling sering dibicarakan ialah efek komunikasi
massa pada perilaku sosial yang diterima dan pada perilaku agresif (Rakhmat,
2012: 236 – 237).

a) Efek Prososial Behavioral


     Salah satu perilaku prososial ialah memiliki keterampilan yang bermanfaat
bagi dirinya dan orang lain. Keterampilan seperti ini biasanya diperoleh dari
saluran-saluran interpersonal (orang tua, atasan, pelatih, atau guru). Pada
dunia modern, sebagian dari tugas mendidik telah juga dilakukan media
massa. Buku, majalah, dan surat kabar sudah kita ketahui mengajarkan
kepada pembacanya berbagai keterampilan. Hal yang sering diragukan orang
adalah pengaruh prososial behavioral media elektronik seperti radio, televisi,
dan film (Rakhmat, 2012: 237).

b) Agresi sebagai Efek Komunikasi Massa


     Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru
perilaku yang diamatinya; stimulus menjadi teladan untuk perilakunya. Orang
belajar bahasa Indonesia yang baik setelah mengamatinya dalam televisi.
Wanita meniru potongan wambut Lady Di yang disiarkan dalam media massa.
Selanjutnya, kita juga dapat menduga bahwa penyajian cerita atau adegan
kekerasan dalam media massa akan menyebabkan orang melakukan
kekerasan pula; dengan kata lain mendorong orang menjadi agresif (Rakhmat,
2012: 240).

     Baron dan Byrne (1979), Agresi didefinisikan sebagai setiap bentuk
perilaku yang diarahkan untuk merusak atau melukai orang lain yang
menghindari perlakuan seperti itu. Agresi banyak ditemukan sebagai efek
komunikasi massa pada televisi atau film (Rakhmat, 2012: 240).

 
C. JENIS-JENIS EFEK KOMUNIKASI MASSA
Nurudin (2014: 206), Secara sederhana Keith R. Stamm dan John E. Bowes
(1990) membagi kedia bagian dasar. Pertama, efek primer meliputi terpaan,
perhatian, dan pemahaman. Kedua, efek sekunder meliputi perubahan tingkat
kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku
(menerima dan memilih).

1. Efek Primer
     Jika dalam hidup kita sehari-hari tidak bisa lepas dari media massa, berarti
efek yang ditimbulkan nyata terjadi. Bisa dikatakan secara sederhana bahwa
efek primer terjadi jika ada orang mengatakan telah terjadi proses komunikasi
terhadap objek yang dilihatnya (Nurudin, 2014: 206 – 207).

     Ketika sebuah pesan diterima oleh audience dan menyita perhatian, kadang


masih sulit untuk dimengerti. Sebagaimana komunikator dalam komunikasi
antarpersona, biasanya ia langsung mengetahui bahwa pesannya tidak bisa
dimengerti. Akan tetapi, di dalam komunikasi massa sering kali komunikator
tidak mengetahui apakah pesannya bisa dimengerti atau tidak. Hal ini
disebabkan umpan balik dalam komunikasi massa itu sangat terbatas dan
tidak ada cara praktis untuk mengecek apakah pesan yang disiarkan bisa
dipahami, apalagi audience-nya menyebar atau tidak mengumpul atau
heterogen. Sebenarnya, komunikator dalam komunikasi massa sudah
berusaha semaksimal mungkin agar pesan-pesan yang disampaikannya bisa
dipahami (Nurudin, 2014: 208).
     Jadi, terpaan media massa yang mengenai audience menjadi salah satu
bentuk efek primer. Akan lebih bagus lagi jika audience tersebut
memerhatikan pesan-pesan media massa. Sama seperti kita yang
memerhatikan orang yang sedang berbicara, ketika kita memerhatikan,
berarti ada efek primer yang terjadi pada diri kita. Ketika di radio diberitakan
tentang kecelakaan beruntun di jalan tol dan kita tertarik untuk
mendengarkannya, efek primer juga melekat pada diri kita. Bahkan jika kita
memahami apa yang disiarkan media massa itu sama saja semakin kuat efek
primer terjadi (Nurudin, 2014: 210).
2. Efek Sekunder
    Nurudin (2014: 210), Secara tradisional, ada beberapa jenis efek yang
disebabkan media massa. Salah satunya adalah efek uses and
gratifications (kegunaan dan kepuasan). Sebenarnya, ada banyak efek yang
ditimbulkan oleh saluran komunikasi massa, tetapi dalam efek sekunder kita
akan mencoba membahas efek kegunaan dan kepuasan tersebut. Di samping
itu, efek ini diyakini lebih menggambarkan realitas konkret yang terjadi di
masyarakat. Jadi, uses and gratifications merupakan salah satu bentuk efek
sekunder.
     Menurut John R. Bittner (1996), fokus utama efek ini adalah tidak hanya
bagaimana media memengaruhi audience, tetapi juga bagaimana audience
mereaksi pesan-pesan media yang sampai pada dirinya. Faktor interaksi yang
terjadi antarindividu akan ikut memengaruhi pesan yang diterima. Ini jelas
betolak belakang dengan asumsi efek peluru atau jarum hipodermik
(Nurudin, 2014: 11).

     Studi yang paling awal tentang efek ini dilakukan oleh Herta Herzog
hampir 40 tahun yang lalu. Setelah Herzog melakukan studi pengaruh
pendengar dan penonton opera sabun, banyak bermunculan studi-studi
dengan memakai pendekatan kegunaan dan kepuasaan yang mulai marak di
kampus-kampus (Nurudin, 2014: 211).

D. TEORI-TEORI EFEK KOMUNIKASI MASSA


Keith R. Stamm dan John E. Bowes menyatakan penelitian empirik efek
komunikasi massa mempunyai sejarah yang relatif cukup singkat. Sejarahnya
dimulai pada tahun 1930-an dengan munculnya motion picture (gambar
bergerak). Sampai saat ini, taksiran rentang waktu efek komunikasi massa
beragam versi. Namun yang jelas, paling tidak dikenal tiga efek dalam
komunikasi massa sejak tahun 1930-an, yakni efek tak terbatas (unlimited
effect), diikuti efek terbatas (limited effect), kemudian efek moderat (gabungan
keduanya/not so limited effect) (Nurudin, 2014: 214). Jika dirinci rentang
waktunya sebagai berikut:
1930 – 1950              efek tak terbatas (unlimited effect)
1950 – 1970              efek terbatas (limited effect)
1970 – 1980-an         efek moderat (not so limited effect)
Berikut beberapa alasan yang melatarbelakangi efek komunikasi massa yang
beragam, yaitu: a) Jenis efek yang dipelajari telah berubah, b) Metode
pelajaran yang telah berubah, dan c) Kondisi yang telah diubah.

1. Efek Tidak Terbatas (1930 – 1950)


     Nurudin (2014: 215), Efek tidak terbatas ini sebelumnya hanya digunakan
untuk membagi rentang waktu efek komunikasi massa yang populer pada
tahun 30-an sampai 50-an. Efek yang dijadikan bahan perbincangan
mengenai komunikasi massa mengatakan bahwa media massa mempunyai
efek yang besar ketika menerpa audience. Efek tidak terbatas ini didasarkan
pada teori atau model peluru (bullet) atau jarum hipodermik (hypodermic
needle). Jadi, media massa diibaratkan peluru. Jika peluru itu ditembakkan
ke sasaran, sasaran tidak mempunyai kekuatan yang luar biasa di dalam
usaha “memengaruhi” sasaran. Menurut asumsi efek ini, media massa
mempunyai kekuatan luar biasa (all powerfull). Hal inilah yang mendasari
bahwa media massa mempunyai efek tidak terbatas. Efek ini didasarkan pada
asumsi-asumsi sebagai berikut.

 Ada hubungan yang langsung antara isi pesan dengan efek yang ditimbulkan,
dan
 Penerima pesan tidak mempunyai sumber sosial dan psikologis untuk menolak
upaya persuasif yang dilakukan media massa.
     Asumsi mengapa efek tidak terbatas ini muncul bisa dikaji dari perspektif
psikologis dan sosiologis. Ilmu Psikologi memandang bahwa individu
merupakan makhluk yang tidak rasional dan dalam perilakunya secara luas
dikontrol oleh instingnya. Sementara itu, menurut Ilmu Sosiologi, masyarakat
pascaindustri atau yang sering disebut “masyarakat massa” (mass society)
dianggap tidak melakukan hubungan antarpersona. Dalam masyarakat itu,
satu sama lain saling meninggalkan atau saling mengisolasi diri. Akibatnya,
individu tersebut mudah terpengaruh oleh efek media massa (Nurudin, 2014:
216).
     Bukti munculnya efek tidak terbatas sangat kelihatan dengan penggunaan
radio sebagai alat kampanye. Kampanye ini sifatnya sangat persuasif untuk
mengubah sikap, opini, dan perilaku masyarakat agar sesuai dengan pesan
yang disiarkan. Hal ini pernah dilakukan oleh Mussolini, Hitler, bahkan W.
Churchil dan Roosevelt. Mengapa ini semua bisa terjadi?
Sebab, audience menurut asumsi efek ini seperti seorang tawanan perang dan
sangat mudah tertipu. Hal paling tidak jika didasarkan pada pendapat Institute
for Propaganda Analysis pada tahun 1939 (Nurudin, 2014: 216).
     Bahkan menjelang PD I, media Amerika dan Inggris berusaha
menyebarkan berita berita bohong tentang Jerman agar mempunyai
legitimasi untuk menyerangnya. Ternyata cara ini cukup ampuh. Meskipun
banyak yang mengkritik, efek tidak terbatas ini masih diyakini memiliki
pengaruh yang kuat dalam membentuk benak khalayak. Paling tidak ada
beberapa hal berikut yang bisa dijadikan sebagai alasan, yaitu sebagai berikut:

a. Pengulangan (Redundancy)
     Agar pesan yang disiarkan bisa mengubah perilaku komunikan, perlu
diadakan pengulangan (redudancy). Pengulangan ini sering dilakukan oleh
iklan-iklan di televisi khususnya. Pengulangan dilakukan agar terjadi efek
nyata pada diri komunikan. Hal itu pulalah mengapa media massa
mempunyai efek kuat pada diri komunikannya, sebab media massa
melakukan pengulangan-pengulangan pada program acara atau iklan yang
disiarkan. Jadi, jika dipertanyakan mengapa efek tidak terbatas bis terjadi,
jawabannya karena ada pengulangan dalam pesan-pesan yang disebarkan
(Nurudin, 2014: 218 – 219).

b. Mengidentifikasi dan Memfokuskan pada Audience Tertentu yang


Ditargetkan
     Cara lain yang bisa dijadikan alasan munculnya efek tidak terbatas adalah
jika suatu media ditujukan pada sasaran tertentu. Pihak yang dijadikan
sasaran akan merasa bahwa program yang disiarkan itu mewakili dirinya
sehingga perlu ditiru. Dalam iklan, ada produk parfum yang dikhususkan
untuk remaja. Hal itu dibuktikan dengan pemilihan bahasa “gaul” yang
dilakukan atau pemeran yang dilakukan oleh remaja pula. Jadi, program atau
pesan yang ditujukan pada sasaran tertentu akan mempunyai efek yang lebih
besar jika dibandingkan dengan yang  tidak ditujukan pada sasaran tertentu
atau bersifat umum. Target khusus tersebut akan mempunyai pengaruh yang
sangat kuat (Nurudin, 2014: 219).

2. Efek Terbatas (1956 – 1970)


     Nurudin (2014: 220), Efek terbatas awalnya diperkenalkan oleh Joseph
Klaper. Ia pernah menulis disertasi tentang efek terbatas media massa yang
dipublikasikannya dengan judul “Pengaruh Media Massa” pada tahun 1960.
Klaper menyimpulkan bahwa media massa mempunyai efek terbatas
berdasarkan penelitiannya pada kasus kampanye publik, kampanye politik,
dan percobaan pada desain pesan yang bersifat persuasif. Dalam pandangan
Klaper, hasil semua penelitian ini bisa dikemukakan  dalam satu kesimpulan
sebagai berikut: “Ketika media menawarkan isi yang beritakan ternyata hanya
sedikit yang bisa mengubah pandangan dan perilaku audience.”
     Studi yang dilakukan pada kampanye pemilihan sepanjang tahun 1940-an
dan 1950-an menghasilkan bukti yang sama pula. Salah satu studi yang paling
terkenal adalah “the people’s choice” (pilihan rakyat) yang mendeskripsikan
pengaruh kampanye Presiden Roosevelt-Wilkie pada tahun 1940 di Eri
Country, Ohio (Lazarfeld, Berelson, dan Gaudet, 1948). Studi tersebut secara
hati-hati didesain untuk mewawancarai sampel para pemilih yang mewakili
beberapa masalah sepanjang kampanye (mulai bulan Mei dan berakhir
sebelum pemilihan yang dilakukan bulan Desember). Studi di Elmira, Rovere
dan Decatur menjadi bukti bahwa media massa mempunyai efek terbatas
(Nurudin, 2014: 221).
     Joseph Klaper dalam buku The Effect of Mass Communication (1960)
menunjukkan temuan yang menarik, bahwa faktor psikologis dan sosial ikut
berpengaruh dalam proses penerimaan pesan dari media massa. Faktor-faktor
tersebut antara lain proses seleksi, proses kelompok, norma kelompok, dan
keberadaan pemimpin opini (Nurudin, 2014: 222).

Berikut beberapa alasan mengapa efek terbatas bisa terjadi, yakni:

1) Rendahnya Terpaan Media Massa


Banyak pemirsa televisi lebih menyukai acara hiburan seperti komedi
daripada pembicaraan politik. Maka, dalam urusan publik atau politik,
persentase yang diraih oleh banyak peran itu hanya sedikit. Bahkan mereka
relatif kurang memerhatikan. Ini berarti, perubahan secara besar-besaran
jelas tidak mungkin terjadi (Nurudin, 2014: 223).

2) Perlawanan
Perlawanan berasal dari individu sebagai audience komunikasi massa.
Perlawanan menjadi salah satu “alat penyaring” yang akan ikut memengaruhi
penolakan pesan-pesan media massa. Ini artinya, perlawanan lebih kuat
pengaruhnya dibandingkan dengan terpaan edia massa itu sendiri (Nurudin,
2014: 223).

    Meskipun terkesan subjektif bentuk-bentuk perlawanan ini, tetapi kegiatan


ini akan ikut membentuk sikap dan perilaku masyarakat. Masyarakat yang
akan terpengaruh media massa dan mendukung apa yang disiarkannya, bisa
jadi akan berubah sikap untuk menentang ketika ada perlawanan baru
(Nurudin, 2014: 225).

3. Efek Moderat (1970 – 1980-an)


     Model efek moderat ini sebenarnya mempunyai implikasi positif bagi
pengembangan studi media massa. Bagi para praktisi komunikasi, akan
menggugah kesadaran baru bahwa sebelum sebuah pesan disiarkan perlu
direncanakan dan diformat secara matang dan lebih baik. Sebab bagaimana
pun, pesan tetap mempunyai dampak. Akan tetapi, pesan juga tidak serta-
merta diterima audience secara membabi buta. Artinya, ada banyak variabel
yang ikut memengaruhi proses tetapi penerimaan efek itu dipengaruhi faktor
lain (tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kebutuhan, dan sistem nilai yang
dianutnya). Jadi, semakin tinggi tingkat pendidikan individu, semakin selektif
untuk menerima pesan-pesan yang berasal dari media massa (Nurudin, 2014:
226 – 227).
Halik (2013: 123), Berikut beberapa teori komunikasi massa yang dapat
dikategorikan sebagai efek media bagi masyarakat, yakni:

1)Teori Agenda Setting


     Teoritisi utama agenda setting adalah Maxwell McCombs dan Donald L.
Shaw. Teori agenda setting menjelaskan bahwa media menyusun prioritas
topik akan memengaruhi perhatian khalayak terhadap topik mana yang
dianggap lebih penting dari topik lainnya. Dengan menyusun agenda
pemberitaannya, media akan memengaruhi agenda khalayaknya. Meski pun
hanya sampai pada tataran kognitif. Media dianggap mampu memengaruhi
khalayak bukan pada apa yang dipikirkannya. Agenda setting terjadi jika
agenda media bersesuaian dengan agenda khalayak. Artinya, prioritas
pentingnya suatu isu bagi media sama dengan prioritas pentingnya isu
tersebut bagi khlayak.

2) Teori Dependensi
     Teori dependensi dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L.
De Fleur (1976). Teori ini menjelaskan bahwa efek dai suatu proses
komunikasi massa merupakan hasil interaksi berbagai sub sistem dalam suatu
sistem sosial tertentu. Efek komunikasi massa dinilai memiliki tiga tataran
yakni efek kognitif, afektif, dan behavioral. Efek ini merupakan hasil dari
hubungan antara sistem sosial, sistem media, dan khalayak.

3) Spiral of Silence Theory


     Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Elizabeth Noelle-Neuman,
sosiolog Jerman pada tahun 1974. Teori ini berkaitan dengan proses
terbentuknya pendapat yang dominan (pendapat umum) dalam masyarakat.
Orang cenderung tidak mengungkapkan pendapat yang berbeda dari
mayoritas. Melalui pengaruh media massa dan komunikasi antarpribadi,
pendapat yang dominan akan semakin meluas dan pendapat lainnya
berangsur-angsur melemah.

4) Information Gaps atau Knowledge Gaps


     Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Phillip Tichenor (1970). Teori ini
menjelaskan bahwa potensi komunikasi yang dimiliki oleh berbagai orang
atau kelompok dalam masyarakat adalah tidak dalam menyerap informasi
lingkungannya. Faktor yang menentukan perbedaan potensi komunikasi
sehingga menimbulkan knowledge gaps adalah status sosial ekonomi
seseorang.
E. PENGARUH MEDIA BARU (NEW MEDIA)
     Vivian menyatakan New media atau media baru merupakan istilah yang
dipakai untuk semua bentuk media komunikasi massa yang berbasis teknologi
komunikasi dan informasi. Media baru yang memiliki ciri tersebut adalah
internet. Internet adalah jaringan kabel dan telepon satelit yang
menghubungkan komputer. Sedangkan, menurut Khoirunnisa,  New
media atau media baru mengaplikasikan teknologi web 2.0 yang sangat
mendukung perkembangan media sehingga banyak media lama yang
melakukan transformasi menuju media baru (Gifary dan Kurnia, 2015).
     Pada penelitian yang dilakukan oleh Gifary dan Kurnia mengenai Pengaruh
Intensitas Penggunaan Smartphone Terhadap Perilaku Komunikasi menyatakan
bahwa data membuktikan bahwa intensitas
penggunaan smartphone berpengaruh terhadap perilaku komunikasi.
Tanggapan responden menunjukkan bahwa mereka rata-rata 
menggunakan smartphone dengan frekuensi dan durasi tinggi. Selain itu,
konten yang digunakan pun beragam, mulai dari jejaring sosial, game, video,
foto, musik, e-mail, SMS, telepon, dan Chatting online.
     Responden pun mengakui bahwa hal ini berpengaruh terhadap periaku
komunikasi mereka. Mereka mengakui bahwa mereka
menggunakan smartphone karena ingin memperoleh pengalaman baru, ingin
mendapatkan respon, dan ingin diakui oleh lingkungan sekitar. Selain itu,
responden juga mengakui bahwa smartphone bisa membentuk mereka menjadi
pribadi gemar bersosialisasi sehingga smartphone kini menjadi bagian dari
gaya hidup mereka (Gifary dan Kurnia, 2015).
     Penelitian selanjutnya mengenai efek komunikasi massa pada media baru
dikaji dalam suatu jurnal yang berjudul Dampak Ketergantungan Media Sosial
pada Kalangan Dystopian dan Utopian karya Een Irianti.
     Akibat kecenderungan penggunaan media sosial yang begitu intens
kalangan utopia sering kali merasa resah, gelisah bahkan kehilangan fantasi
jika harus terpisah dari gadgetnya, begitupun sebaliknya dalam proses
interaksi sosial kalangan utopian sering mengabaikan orang-orang
disekitarnya karena terlalu senang memainkan gadget. Peneliti menyebut
fenomena ini sebagai “autisme gadget” dan penggunanya sering kali
dikategorikan sebagai “makhluk anti sosial” (Irianti, 2017).

     Berbeda halnya dengan mereka yang disebut dystopian yang merupakan


kalangan yang lebih senang melakukan interaksi sosial secara tatap muka.
Tidak hanya ketakutan yang begitu besar bahwa lahirnya teknologi baru akan
menciptakan perubahan baik pada tatanan sosial maupun politik, lebih lagi
kalangan ini menganggap bahwa media sosial hanya sebagai alat bantu
apabila komunikasi mengalami hambatan secara teknis. Maka antara
kalangan dystopian dan gadget tidaklah dekat (Irianti, 2017).
     Namun, demikian sisi lain dari meluasnya media komunikasi massa juga
mempunyai dampak positif yang berguna bagi kemaslahatan umum. Misalnya
saja dengan kecanggihan teknologi komunikasi saat ini, kita dapat
berkomunikasi dengan internet melalui jaringan komputer
maupun access melalui mobile phone, sehingga kita dapat mengetahui
informasi aktual dengan cepat dan mudah dari komunikator yang berbeda di
dalam dan di luar negeri (Setiawati, 2008).
F. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI EFEK
     Nurudin (2014: 228), Wujud efek bisa berwujud tiga hal: efek kognitif
(pengetahuan), afektif (emosional dan perasaan), dan behavioral (perubahan
pada perilaku). Dalam perkembangan komunikasi kontemporer saat ini,
sebenarnya proses pengaruh tidak bisa berdiri sendiri. Dengan kata lain, ada
beberapa faktor yang ikut memengaruhi proses penerimaan pesan. Jadi,
pesan itu tidak langsung mengenai individu, tetapi disaring, dipikirkan, dan
dipertimbangkan, apakah seorang mau menerima pesan-pesan media massa
itu atau tidak. Faktor-faktor inilah yang ikut menjadi penentu besar tidaknya
faktor efek yang dilakukan media massa. Berikut beberapa faktor utama yang
patut didiskusikan.

1. Faktor Individu
      Faktor individu yang ikut berpengaruh pada proses penerimaan pesan
lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran psikologi. Seorang psikolog akan
melihat bahwa faktor pribadi seseorang ikut menentukan proses efek yang
terjadi. Ada beberapa faktor pribadi yang ikut memengaruhi proses
komunikasi, antara lain, (1) selective attention, selective perception, dan selective
retention, (2) motivasi dan pengetahuan, (3) kepercayaan, pendapat, nilai, dan
kebutuhan, (4) pembujukan, (5) kepribadian dan penyesuaian diri (Nurudin,
2014: 228 – 229).
2. Faktor Sosial
     Seorang psikolog melihat faktor pribadi yang ikut memengaruhi efek media
massa yang terjadi pada diri audience berbeda dengan seorang sosiolog.
Sosiolog lebih melihat individu sebagai gejala sosial. Artinya, bagaimana
individu tersebut berhubungan dengan orang lain. Itu semua akan
memengaruhi proses efek yang terjadi. Memang membedakan antara faktor
individu dengan faktor sosial sangat sulit sebab batasannya sangat tipis sekali,
tetapi bukan berarti tidak bisa dibedakan. Ada beberapa hal yang ikut
memengaruhi proses penerimaan pesan, antara lain, (1) umur dan jenis
kelamin, (2) pendidikan dan latihan, (3) pekerjaan dan pendapatan, (4)
agama, dan (5) tempat tinggal (Nurudin, 2014: 234 – 235).

 
    Berdasarkan pemaparan mengenai efek media massa di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa efek komunikasi massa meliputi efek kognitif yang
mencakup pemahaman dan pengetahuan kita, efek afektif membahas
mengenai dampak perasaan yang ditimbulkan dari terpaan media massa, dan
terakhir efek konatif atau behavioral yaitu pengaruh yang berupa tindakan,
sikap, perilaku kita setelah sebelumnya terkena efek kognitif dan afektif.

     Efek komunikasi massa sangatlah beragam tergantung apa media yang
digunakan, elektronik, cetak, atau online kah, dan siapa pengguna media
massa tersebut. Efek yang ditimbulkan oleh media cetak cenderung
memengaruhi khalayak media sebatas pengetahuan atau kognitif saja,
berbeda dengan efek yang ditimbulkan dari media elektronik seperti televisi
dan film. Efek yang ditimbulkan dapat berupa perasaan senang, sedih, takut,
atau tindakan yang agresif (afektif dan konatif).

     Berdasarkan pemaparan  pada sub-bab sebelumnya juga, sebagai penulis


sekaligus peserta komunikasi massa menyarankan, agar pembaca dapat
cermat dan melakukan cek dan ricek pesan yang diterima melalui media
massa. Khalayak yang baik adalah mereka yang tidak menerima pesan begitu
saja tanpa melihat asumsi dari media lain atau melakukan verifikasi tertentu.
Karena sejatinya, realitas media adalah realitas yang telah melalui tahap
seleksi yang sangat panjang di dapur redaksi.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai