Anda di halaman 1dari 6

Arin H.

Rizqiyah

1117112000066

Politik 5A

Kajian Politik Kontemporer

''Ummah''

1.   Pengertian Makna Ummah

             Kata ummah di Indonesiakan menjadi umat, adalah sebuah konsep yang telah akrab
dalam masyarakat namun sering difahami secara keliru. Kata Ummah terambil dari kata amma-
ya'ummu yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari kata dasar yang sama, lahir
antara lain kata ummu yang berarti ''ibu'' dan imam yang maknanya ialah pemimpin; karena
keduanya dianggap menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan anggota masyarakat.
Ibn Manzur mengungkapkan makna ummah berkaitan dengan arti:

(1) suatu golongan manusia atau jama'ah,

(2) setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada Nabi dan,

(3) setiap generasi manusia sebagai satu umat. Sehingga ummah bisa dimaknai sebagai ikatan
persaudaraan universal yang berdasarkan iman, lebih kuat daripada kesetiaan ikatan darah
kesukuan bangsa Arab. Ummah diikat oleh suatu aturan dan tali cinta kasih sebagai sesama
hamba Tuhan dengan pemimpin yang di segani, rakyat yang santun tapi kritis dan pemimpin
yang tidak otoriter karena rakyat laki-laki atau perempuan diberikan kewenangan untuk saling
mengingatkan.

             Dari sisi lain, ketika individu anak manusia itu menjadi anggota ummah maka
sesungguhnya ia harus menerima pemimpin masyarakat dan menaatinya dengan ketaatan
murni, merdeka tanpa paksaan dari belah pihak manapun. Sehingga individu dalam
ummah berkehidupan penuh akidah dan menganut imam masyarakat. Dimana masyarakat nya
pun harus berpikir dalam arti lain memiliki akal sehat dan berakidah. Sehingga pikiran dengan
segala perannya akan terjamin dan menjadi kelaziman untuk sampai ke tujuan munculnya
tokoh yang di teladani.  Menurut Frederick M. Denny (guru besar Departemen Studi Agama
University of Colodaro Boulder), ummah di satu sisi memiliki pengertian kultural, tetapi hal itu
tidak menunjukan suatu kebangsaan, pertalian keluarga atau etnisitas tertentu. Sehingga
pengertian ummah ini sendiri berkembang sepenuhnya yang identik dengan ''komunitas
muslim''. Ummah muslim merupakan bagian dari totalitas kaum muslim yang ada di dunia
dengan mereka yang memiliki perasaan sejarah bersama (sense of shared history) mengenai
petualangan Islam yang diwariskan secara turun-temurun dari masa lalu. Agama ini secara
alami melihat masyarakatnya dengan pandangannya sendiri, dan memilih kata yang dijadikan
istilah bagi masyarakatnya. Kata itu menunjukan gerak dinamis, yaitu kata ummah.

“Kata dasar dari al-ummah adalah amma dari kata amama yang mempunyai empat arti, yaitu
al-ashl, al-marja’, al-jama’ah dan ad-din. Kata amma-ya’ummu secara harfiah berarti ‘menuju’,
‘menumpu’, dan ‘meneladani’. Semua arti kata ummah yang telah disebutkan diturunkan dari
arti dasar kata tersebut, seperti juga kata ummun (ibu) dan kata imamun (imam-pemimpin)
karena semuanya merupakan tempat menuju, menumpu dan meneladani. Kata ummah di
dalam Al-Qur’an digunakan untuk berbagai konteks, namun pada taraf pemahaman
komunikasi biasa yang terlepas dari arti umumnya, yaitu jama’ah. Sebagai contoh adalah kata
ummah yang terdapat pada QS. Hud [11]: 8 dan QS. Yusuf [12]: 45 yang mana kata ummah
digunakan untuk menunjuk masa tertentu, yakni dalam konteks waktu. Kebanyakan mufasir
mengartikan kata tersebut dengan ‘waktu’ atau ‘masa’ itu sendiri. Hal itu barangkali karena ia
diturunkan dari arti asalnya, yaitu titik tumpu.''

             Al-Qur'an menggunakan istilah ummah dengan dua cara. Pertama, istilah ummah
memiliki satu pengertian dengan waktu tertentu yang dikaitkan dengan contoh atau teladan
(ummi) seperti pada surah al-A'raf(7) : 159. Penggunaan kata ummah dalam Al Quran tidak
sekadar bermaksud menggambarkan suatu entittas tertentu. Ummah bukan semata entitas
beku yang tersatukan oleh visi etis, profetik dan transformatif.1 Kedua, istilah ummah dalam arti
persekutuan masyarakat agamawi dan cabang-cabangnya. Ali Syari'ati berpendapat bahwa
ummah dapat membandingkan dengan istilah ini dengan istilah islami:

a)   Nation dari kata naitre, berarti lahir. Dengan demikian, penamaan ini mengungkapkan sendi
dasar, ikatan alami, disucikan dan nyata, yang mengikat antarindividu anggota kelompok,
yaitu; kekerabatan, kesatuan darah dan ras. Kita perhatikan di sini bahwa penggambaran ini
identik dengan pandangan kesukuan, yakni dimana ketika suku itu mengikat antarindividu
dengan perantaraan pertumbuhan mereka melalui kakek yang satu seperti Bani Tamim,
Bani Umayyah, Bani Najjar dan sebagainya.

b)   Qabilah, istilah yang sangat kuno bahkan lebih kuno dari nation. Qabilah adalah
sekumpulan individu manusia yang memiliki tujuan dan kiblat yang satu dalam hidup
mereka. Dan ikatan yang paling kuat antara masyarakat manusia ini adalah kesamaan
individu dalam kiblat yang dituju, artinya bahwa tujuan dan maksud berkenaan dengan
tempat tinggal, yang biasanya berujud gembalaan atau kediaman.

1
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, (Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 1999) h.54
c)   Qaum. Kehidupan kelompok ini dibangun atas dasar menegakkan individu dengan
berserikat, bersatu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Artinya, anggota kaum yang
mendiami suatu kawasan tertentu dan bangkit bersama-sama dalam menunaikan pekerjaan
yang sama.

d)   Sya'ub. Kata Sya'ub, Sya'aba dan Insyi'ab semuanya kembali ke akar yang satu, artinya
bahwa setiap anak manusia di muka bumi ini bercabang-cabang.            

e)   Thabaqah (strata atau kelas) adalah sekelompok manusia yang berkehidupan, kondisi,
pekerjaan dan pendapatan yang mirip, bahkan sama. Mereka yang menempati suatu
kedudukan dalam kelas dilihat dari suatu kesamaan nasib baik dalam pekerjaan, kehidupan,
indikasi sosial dan pendapatan yang hampir setara.

f)    Mujtama' atau jami'ah. Kata ini sekarang merupakan istilah yang merata dikalangan umum,
sebagai istilah ilmiah. Dapat dipahami bahwa ikatan dasar masyarakat ini adalah
berkumpulnya anak manusia di suatu tempat yang sama.

g)   Thaifah (kelompok) adalah perkumpulan manusia yang melingkari suatu poros tertentu atau
mengelilingi zona tertentu. Biasanya kelompok ini berpindah-pindah di kawasan tertentu
sesuai dengan tempat gembalaan ternak mereka.

h)   Race (ras) adalah sekelompok dari individu manusia yang mirip dan memiliki ciri khas baik
secara jasmani, seperti postur, warna kulit dan rambut.

i)    Masse (massa), sekelompok individu anak manusia yang tersebar di area tertentu.

Islam telah memilih kata ummah sebagai gantibagi semua istilah ini untuk menamai kelompok
manusia yang dibentuknya. Pandangan Islam yang khusus dan mengagumkan, yaitu bahwa
Islam bersandar pada gerakan sebagai akarnya. Gerakan disini dimaknai sebagai suatu gerakan
yang berada di arah tertentu dan menetap. Dengan ini Islam memadukan antara ketetapan
abadi dan gerakan yang menerus, dan pemaduan ini berdiri tegak atas dasar pandangan alam
Islami dengan tuntas. Contohnya ketika Tawaf di seputar Ka'bah, gerakannya terus menerus
tanpa berhenti atau berubah membalik, tetapi pada poros yang sama.

             Dalam sosiologis politis kata ummah sendiri bukan berasal dari pada zaman Nabi
Muhammad SAW lahir. Akan tetapi penyebutan kata ini diawali ketika Rasulullah SAW hijrah
dari Mekkah ke Madinah. Disinilah awal mula penyebutan atau muncul istilah Ummah dalam
Islam. Kemudia dalam masa Dinasti Umayyah kata Ummah itu selalu dikaitkan dengan otoritas
politik tertinggi dalam pemerintahan. Maka dari itu para elit-elit pemerintah Umayyah
memanfaatkan hadits atau dalil-dalil yang berkenan dengan masalah kepemimpinan umat,
dimana dalam hadist itu bahwa seseorang pemimpin umat akan selamat haruslah dari bangsa
Arab.
 

2.   Konsep Ummah

a)   Tauhid Sebagai Basis Aktifitas Ummah

             Ummah Islam adalah suatu rancangan yang bergerak dengan tauhid sebagai poros
pusatnya. Tauhid adalah keyakinan bahwa Allah swt adalah satu-satunya Tuhan. Ia tidak
bersekutu, tidak pula beranak pinak. Ia merupakan bentuk hasil manisfestasi iman sebagai
sumber utamanya. Islam melihat ummah sebagai suatu konsepsi guna meruntuhkan syirik
sosial yang berjalan. Karenanya peranan tauhid di sini sangatlah sentral, ia sebagai pemersatu
sekaligus perekat ummah, yang tentunya bagi mereka yang mengamini konsepsi ini. Persatuan
ini direkatkan satu sama lainnya dengan suatu ikatan yang menyamaratakan hak dan tanggung
jawab dalam tataran dasarnya. Tataran itu berupa suatu deklarasi pikiran, hati, dan perbuatan
bahwa tiada Tuhan selain Allah. Karenanya, Agama tiada lain merupakan undang-undang yang
Ia anugerahkan kepada manusia dengan tujuan sebagai jalan menuju kepada-Nya. Hal ini
berarti, bahwa agama sebagai master piece yang diperuntukkan bagi alam semesta ini. Ummah
menempatkan agama pada posisi dan proporsi tertinggi. Perjalanan hidup manusia secara
keseluruhan akan dikembalikan pada ketentuan yang terkandung dalam ajarannya. Oleh karena
itu, segala urusan hidup tidaklah mungkin dijauhkan darinya, ia harus tetap berada dalam
koridor yang merujuk prinsip-prinsip asasi yang terkandung dalam al-Qur’an dan ajaran Rasul-
Nya. 

b)   Ilmu Sebagai Kunci Perkembangan Ummah 

             Ummah dibangun berdasarkan ilmu. Kondisi spiritual akan berkembang sesuai


dengan keberagaman pengetahuan yang didapat. Pengalaman dan pengetahuan spiritual akan
membentuk sikap individu. Terlebih lagi tingkat ketaatan beragama berasaskan tanggung jawab
diri, hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup. Bahkan sikap sadar
agama, akan cenderung mendorong perkembangan kepribadian tiap individu. Akhirnya sikap
tersebut akan menjelma dalam sebuah realitas kehidupan, di mana semua realitas hidup dalam
pandangan agama tentunya akan kembali kepada satu kesatuan sumber, yaitu Allah swt.

             Akumulasi dari hal tersebut akan membawa pada sebuah cara pandang terhadap dunia.
Cara pandang inilah yang akan membantu setiap orang dalam memaknai dunianya,
kegiatannya, bahkan agamanya. Temasuk di sini adalah pandangan dan kegiatan yang bersifat
keilmuan. Pengakuan kebenaran ini dikenal seorang Muslim melalui ilmu yang ia miliki, sebab
kejahilan tidak akan mampu mengetahui kebenaran. Sehingga, Islam selalu mengkaitkan ilmu
dengan akidah. Untuk menegaskan hal itu al-Baghdadi mengatakan; “pilar pertama dari ciri
akidah adalah menetapkan realitas dan ilmu,” karenanya menjadi sangat penting untuk
mengawali akidah dengan pernyataan yang jelas tentang ilmu pengetahuan, sebab Islam adalah
agama yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Penyangkalan terhadap kemungkinan dan
objektifitas ilmu pengetahuan akan mengakibatkan hancurnya dasar agama juga bagi semua
jenis sains.” Orang yang bertambah informasi pengetahuannya, namun tidak bertambah
imannya, maka orang tersebut dijauhkan dari petunjuk Allah swt. Beriman mensyaratkan untuk
berilmu,”Hanya orang-orang berilmu (ulama’) yang betul-betul takut kepada Allah.” Maka dari
itu, Islam dari awal telah memiliki basic belief-nya sendiri yang unik, yang disebut dengan
syahadatain, yang di dalamnya mengandung tauhīd. Karenanya konsep keilmuan yang
menyeluruh, dan komprehensif dalam Islam sangatlah vital. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah
saw, bahwa hancurnya ummah akan dimulai dari hilangnya ilmu, dan penyalahgunaannya.

3.   Hubungan Imamah dan Ummah

             Didalam kajian Islam kata “Imamah” sering diartikan atau dimaknai sebagai Negara.
Menurut Al Mawardi, Imam berarti khalifah, sultan, raja dan kepala Negara. Imamah itu sendiri
adalah sebagai bentuk lembaga Negara yang mengantikan kepemimpinan setelah wafatnyta
Nabi Muhammad SAW, dalam mengatur Agama, pemerintahan bahkan untuk seluruh umat
dunia. Begitupun Taqiyuddin Al Nabhani memberikan arti imamah dan khilafah. Dalam
pengertiannya, khalifah di artikan sebagai pemimpin yang umum bagi umat muslim didunia
untuk menjalankan hukum-hukum yang telah diajarkan oleh agama dan mensyiarkan dakwah-
dakwah islam di seluruh pelosok dunia.

Imamah sendiri lebih berkembang di kalangan kaum syiah di banding di kalangan kaum
sunni. Di syiah mengajarkan dua rukun, rukun itu meliputi kekuasan imam dan kesucian imam.
Syiah menganggap bahwa kepemimpinan yang harus di jalankan setelah Nabi Muhammad
SAW, wafat, ialah pemerintahan imamah yang dipimpin oleh Ali Bin Abi Thalib beserta
keturunannya.

             Pandangan Ali Syariati melihat imamah dan ummah sebagai satu kesatuan yang konkret,
dimana menurut ia tidak ada imamah tanpa ummah. Jadi konsep imamah itu sendiri lebih
mengarah kepada seseorang dalam menentukan pilihan terhadap pemimpin untuk menjaga
dan menguasai stabilitas didalam suatu Negara dari bahaya ancaman, kemiskinan maupun
penyakit dimasyarakat. Akan tetapi menurut Ali Syariati, imamah lebih menjurus kepada
jabatan politik untuk menguasai sistem pemerintahan yang berjalan dinegara dalam hal Agama
maupun urusan budaya, sosial dan ekonomi.
             Masih banyak pandangan-pandangan tokoh Muslim dalam memknai hubungan imamah
dan ummah, dan pastinya berbeda-beda pula antara tokoh satu dengan yang lainnya. Bahkan
hingga sampai bertentangan mengenai hal imamah dan ummah itu sendiri. Kebanyakan dari
kaum sunni mengaggap bahwasannya imamah itu bukanlah hal yang harus di tegakkan di dalam
Negara, melainkan lebih mengarah kepada perbu atan seseorang dalam hal keimanan yang
diemban disetiap individu manusia. Ummah sendiri fungsinya untuk memilih atau mengangkat
seorang imam dengan cara tradisi yang ada, seperti halnya menurut Al-Quran, Hadits dan Ijma.

Menurut pandangan kaum syiah imamah harusalah ditegakkan, karena imamah itu
merupakan berkah dari Allah SWT. kepada hamba-hamba-Nya. Pandangan inilah yang bertolak
belakang dengan kaum mu’tazilah dan kaum sunni. Pandangan mutazilah melihat imamah itu
sendiri dari pola pikir akal manusia yang ia miliki. Dilain sisi kaum syiah menolak itu, karena
mereka mengaggap akal pikiran yang manusia miliki tidak mencukupi, karena akal pikir manusia
terbatas. Dikalangan Ibn Taimiyah lebih sepakat atau sependapat dengan kaum sunni, yang
beranggapan bahwa urusan-urusan umat kewajiban agamalah yang di dahulukan. Lantas,
bukan berarti Agama tidak bisa berbuat apa-apa tanpa adanya suatu Negara. Dalam hal ini
manusia pada dasarnya tidak akan terpenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bergabung dengan
masyarakat lainnya, dengan ini di butuhkanlah seorang pemimpin untuk memenuhi
kepentingan manusia satu sama lain.

“Ibn Taimiyah tidak mendasarkan pada metode ijma’ sebagai  suatau alasan kewajiban
mendirikan Negara. Tetapi ia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan
umat manusia (social welfare) dan melaksanakan syariat Islam (iqamat al-syari’ah al-
islamiyyah). Dengan demikian, sebetulnya Ibn Taimiyah tidak menganggap penting penting
sistem khilafah. Menurutnya, institusi khilafah boleh ditiadakan, yang penting tujuan-tujuan
positif bisa dicapai. Sedemikian yakinnya Ibn Taimiyah terhadap keharusan otoritas Negara
sehingga ia mengatakan bahwa sesungguhnya raja adalah bayangan Allah diatas bumi, dan
ungkapannya yang lain bahwa enam puluh di bawah kekuasaan imam yang tiran itu lebih baik
daripada satu malam tanpa seorang imam (chaos/vacuum of power).''

Anda mungkin juga menyukai