Anda di halaman 1dari 25

MASYARAKAT ISLAM

1. Pengertian masyarakat islam

Menurut Muhammad Quthb, bahwa masyarakat islam adalah suatu


masyarakat yang segala sesuatunya bertitik tolak dari islam dan tunduk pada
sistematika islam. Berangkat dari hal tersebut diatas, maka suatu masyarakat
yang tidak diliputi oleh suasana islam, corak islam, bobot islam, prinsip islam,
syariat dan aturan islam serta berakhlak islam, bukan termasuk masyarakat
islam. Masyarakat Islam bukan hanya sekedar masyarakat yang beranggotakan
orang Islam, tetapi sementara syariat islam tidak ditegakkan diatasnya,
meskipun mereka shalat, puasa, zakat dan haji. Lebih jauh lagi bahwa
masyarakat islam bukanlah masyarakat yang melahirkan suatu jenis islam
khusus untuk dirinya sendiri, diluar ketetapan Allah Swt yang telah dijelaskan
oleh Rasulullah Saw.
Atas dasar itulah, masyarakat islam harus menjadikan segalah aspek
hidupnya prinsip-prinsip, amal perbuatannya, nilai hidupnya, jiwa dan raganya,
hidup dan matinya harus terpancar dari sistem islam. Oleh karena itu, kekuasaan
yang mengatur kehidupan manusia haruslah kekuasaan yang mengatur adanya
manusia itu sendiri. Manusia dalam hal ini harus menjadikan syariat Allah
sebagai penguasa tunggal dari seluruh aspek kehidupannya dengan demikian,
tetaplah Allah saja yang mempunyai kekuasaan tertinggi, sehingga masyarakat
islam senantiasa diperintah dan diatur oleh pola syariat-Nya.
Dalam pandangan Mohammad Quthb bahwa masyarakat islam adalah masyarakat
yang berbeda dengan masyarakat lain. Letak perbedaanya yaitu, peraturan-
peraturannya khusus, undang-undangnya yang Qurani, anggota-anggotanya yang
beraqidah satu, aqidah islamiyah dan berkiblat satu. 36 Sedangkan menurut
Mahdi Fadulullah bahwa yang dimaksud dengan masyarakat islam adalah satu-
satunya masyarakat yang tunduk kepada Allah Swt dalam segala masalah dan
memahami bahwa makna ibadah iitu tidak cukup dengan melakukan syiar-syiar
keagamaan seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya karena itu hanya bentuk
ibadah nyata.
Dari pengertian diatas, dapat memberikan kejelasan bahwa yang menjadi
dasar pengikat masyarakat islam adalah rasa iman kepada Allah Swt. Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa yang mengikat masyarakat islam adalah dasar
persamaan aqidah, bukan didasarkan atas ikatan jenis bangsa, tanah air, warna
kulit, maupun bahasa.
Masyarakat islam inilah yang memiliki watak dan adat istiadat yang terpadu
walaupun terdiri dari beberapa suku bangsa, warna kulit, dan bahasa. Ia tetap memiliki
dan menjalin ikatan yang kuat berupa tali persaudaraan yang mengakar dari nilai-nilai
Islamiyah.

2. Terbentuknya masyarakat islam

Ada dua unsur yang dipersiapkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam membentuk
masyarakat Islam, yaitu unsur formil yuridis dan mental spiritual. Adapun unsur-unsur
yang bersifat formil yuridis, antara lain :
a. Adanya peraturan dan undang-undang yang meliputi segala hukum aspek
kehidupan.
b. Adanya pemerintahan yang teratur dengan suatu penjagaan
keamanannya yang ditaati oleh seluruh rakyat dan yang melakukan hubungan
dengan luar negeri.
c. Adanya tentara yang melindungi segala peraturan dan perundanga-undangan.
d. Adanya sumber keuangan negara.
e. Adanya rakyat yang mempunyai cita-cita yang sama.
f. Adanya suatu daerah (tanah air) dan batas-batas yang tetap.

Sedangkan unsur-unsur yang bersifat mental spiritual yang dibangunnya, antara lain:
a. Persaudaraan islam diantara kaum muhajirin dan kaum anshar
b. Penghentian pertumpahan darah secara jahiliah yaitu pratek bunuh membunuh
dan berperang yang disandarkan pada sentimen kesukuan dan lainnya.
c. Penghapusan semangat kesukuan dan kedaerahan yang di cantumkan dalam
kitab suci al-Quran dan hadis Nabi.
d. Pembersihan terhadap dendam kusumat dan fitnah jahiliah yang ditimbulkan
oleh nafsu jahat dan sentimen permusuhan belaka.

Menurut Prof. Dr. Ahmad Shalaby, bahwa masyarakat islam yang dibentuk oleh
Nabi Muhammad Saw di Madinah merupakan masyarakat islam pertama kali. Adapun
unsur-unsur yang dilakukan oleh Nabi dalam membentuk masyarakat Islam adalah :
a. Dari mata pedang kejalan damai.
b. Dari kekuatan keundang-undang.
c. Dari balas dendam kepada hukum pampasan (Qishan).
d. Dari serba halal sampai kepada kesucian.
e. Dari sifat suka merampas kepada kepercayaan.
f. Dari kehidupan kesukuan berganti dengan sifat tanggung jawab pribadi.
g. Dari penyembahan berhala kepada aqidah tauhid.
h. Dari memandang rendah kaum wanita menjadi memuliahkannya.
i. Dari sistem kasta kepada persamaan.

Dari beberapa uraian diatas pada dasarnya terbentuknya masyarakat islam bermula
dari adanya pengakuan Allah satu-satunya dzat yang wajib disembah dan
Muhammad Rassulullah adalah pembawah kebenaran yang merupakan prinsip
teoritis, yang melambangkan islam menjadi dasar islam dan menimbulkan suatu
metode yang lengkap untuk kehidupan, kemudian dilaksanakan dalam sebuah
aspek kehidupannya yang pada gilirannya terciptanya masyarakat islam.

3. Struktur masyarakat islam

Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada


Rasulullah-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia disepanjang
masa dan persada, sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Karena itu, Nabi
Muhammad Saw diutus tidaklah hanya untuk bangsa Arab saja, melainkan bagi
seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Anbiyah
ayat 107:
”Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjdai rahmat bagi semesta
alam”.
Dari firman Allah tersebut dapat memberikan satu pengertian bahwa misi yang
dikehendaki oleh islam adalah misi untuk seluruh umat manusia, tanpa memandang
adanya ikatan jenis bangsa, warna kulit, ras, maupun bahasa. Berdasarkan nilai
universal dari ajaran islam tersebut maka setiap bangsa dapat menerapkan ajaran islam
sebagai penuntun dalam kehidupannya. islam menganggap bahwa semua perbedaan
karena kelahiran kedudukan, jabatan, dan tinggih rendahnya kelas kehidupan sebagai
manifestasi dari kejahilan semata. Islam juga mengumumkan pada semua manusia
didunia bahwa mereka adalah keturunan dari pasangan orang tua yang sama,
karena itu mereka semua bersaudara sama dalam status sebagai makhluk
manusia. sekiranya ada perbedaan dalam islam pada dasarnya bukan terletak pada
suku, ras, negeri dan bahasa. Akan tetapi pada cita-cita, kepercayaan dan prinsip
atas dasar fundamental inilah maka islam bertujuan untuk membina masyarakat yang
se-Iman dan secita-cita.
Prinsip islam yang seperti itu bukan didasarkan pada asal kelahiran, tetapi pada satu
kepercayaan, satu iman dan satu prinsip moral. Salah satu faktor yang menyebabkan
islam dapat diterima dengan luwes oleh bangsa-bangsa didunia, baik bangsa yang
telah memiliki peradaban tinggi maupun yang masih terbelakang karen ajaran islam
tidak membeda-bedakan manusia atas dasar keturunan bangsa dan warna kulit.
islam mengajarkan prinsip persamaan, persaudaraan umat manusia sebagai hamba
Allah.
Karena itu, pada hakikatnya manusia sama dihadapan Allah yaitu sama-sama sebagai
hamba dan kholifah Allah. Tidak ada yang paling unggul diantara mereka, kecuali nilai
ketaqwaan kepada Allah Swt.
Dengan demikian maka islam merupakan sistem universal, sehingga seluruh manusia
dapat hidup dibawah naungan masyarakat Islam dengan aman seraya menikmati
kemerdekaan mereka dalam beragama setara kaum muslim yang berada
dilingkungannya sendiri tanpa adanya suatu perbadaan.
Disamping islam memberikan adanya hak langsung bagi kehidupan
manusia secara keseluruhan. islam juga bernaksud menyatukan mereka atas
dasar peri kemanusiaan maka dari itu semua jenis ras, bangsa, warna kulit dan
bahasa berhak untuk berlindung dalam pangkuan Islam dibawah sistem
sosialnya.
Dari uraian tersebut diatas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa yang dimaksud
dengan struktur masyarakat islam adalah suatu masyarakat yang bersifat universal,
tidak parsial dan tidak pula terbatas dalam lingkaran batas geografis. Ia terbuka untuk
seluruh umat manusia, tanpa memandang ikatan jenis bangsa, warna kulit, dan bahasa
dan tidaklah seorang yang dinilai diantara mereka kecuali nilai taqwa kepada Allah
Swt.
Konsepsi mmasyarakat islam dalam pandangan T.M. Usman El-Muhammad adalah
masyarakat yang beranggotakan orang-orang yang beriman dimana mereka telah
sadar beribadah, terikat oleh pertalian batin dalam segala tindak tanduknya dan sadar
kewajibannya terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat. Mereka memandang
alam sebagai anugerah Allah untuk kesejahteraan manusia.

4. Istilah al-Quran yang menunjuk pada arti masyarakat islam ideal

Sekalipun dalam al-Quran tidak memberikan petunjuk secara lansung


tentang suatu benruk masyarakat yang di cita-citakan di masa mendatang.
Namun al-Quran tetap memberikan petunjuk mengenai cirri-ciri dan kualitas
suatu masyarakat yang lebih baik, walaupun semua itu memerlukan upaya
penafsiran dan pengembangan pemikiran. Di sampaing itu al-Quran juga
memerintahkan kepada umat manusia untuk memikirkan pembentukan
masyarakat dengan kualitas-kualitas tertentu. Dengan demikian menjadi sangat
mungkin bagi umat islam untuk membuat suatu gambaran masyarakat ideal
berdasarkan pejunjuk al-Quran.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk pada arti masyarakat ideal
yaitu :

a. Ummatan Wahidah
Ungkapan ini terdiri dua kata ummah dan wahidah.. Kata ummah secara umum berarti
kelompok manusia atau masyarakat. Sedangkan kata wahidah adalah bentuk muannas
dari kata wahid secara bahasa berarti satu.
Pada mulanya manusia itu adalah satu umat, sebagaimana ditegaskan dalam surat al
Baqarah 213.
“manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah
mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama
mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan
orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang
hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”

Dalam ayat ini secara tegas dikatakan bahwa manusia dari dahulu hingga kini
merupakan satu umat. Allah Swt menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang
saling berkaitan dan saling membutuhkan. Mereka bisa hidup jika saling bantu
membantu sebagai satu umat, yakni yang memiliki persamaan dan keterikatan. Karena

kodrat mereka demikian, tentu saja mereka haruslah berbeda-bada dalam profesi
maupun kecenderungannya dikarenakan kepentingan mereka begitu banyak sehingga
dengan perbadaan itu masing-masing dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Disisi lain manusia memiliki sifat egoisme yang dapat muncul sewaktu-waktu
sehingga bisa menimbulkan persilisihan. Sebab itu Allah Swt mengutus para Nabi
untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan Allah dan menyampaikan petunjuk-Nya dan
menjadi pemberi kabar gembira bagi yang mengikuti petunjuk, hal tersebut diperkuat
sebagaimana dalam surat Yunus ayat 19 berikut:
“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, Kemudian mereka berselisih. kalau
tidaklah Karena suatu ketetapan yang Telah ada dari Tuhanmu dahulu, Pastilah
Telah diberi Keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.”

b. Ummatan Wasathan
Istilah lain yang juga mengandung makna masyarakat yang ideal
adalah ummatan wasathan. Kata wasathan terdiri dari huruf waw,sin dan tha yang
bermakna dasar pertengahan atau moderat yang memang menunjuk pada pegertian adil.
Ummatan wasathan adalah masyarakat yang berada di pertengahan dalam arti
moderat. Posisi pertengahan menjadikan anggota masyarakat tidak memihak ke kiri
dan ke kanan yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Allah menjadikan umat
islam pada posisi pertengahan agar menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni
umat yang lain. Quraish Shihab mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath
berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan obyeknya. Ia mencontohkan bahwa
keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh da takut. Kedermawaan
merupakan pertengahan antara boros dan kikir, Kesucian merupakan pertengahan antara
kedurhakaan karena sorongan hawa nafsu yang menggebu dan ketidakmampuan
melakukan hubungan seksual (disfungsi seksual).
Semantara itu, Muhammad Iqbal menafsirkan istilah wasath sebagai pertengahan
antara etika Yahudi yang terlalu legal-formal sehingga cenderung keras dan etika
Nasrani yang terlalu spiritual dan lemah lembut. Sepeti halnya cendikiawan lain, ia
mengartikan wasath sebagai bagian terbaik yaitu bagian yang berbeda ditengah
tengah. Ia menyatakan bahwa banyak terjadi, suatu golongan unggul dalam
percatuaran politik karena menempatkan diri sebagai golongan moderat dan berdiri
ditengah-tengah.
Dengan demikian ummatan wasathan adalah umat moderat yang posisinya berada
ditengah agar di lihat oleh semua pihak dari segenap penjuru. Keberadaan
masyarakat pada posisi tengah menyebabkan mereka tidak seperti umat yang hanya
hanyut oleh materialisme dan tidak pula mengantarkannya membumbung tinggi ke
dalam alam rohani, sehingga tidak lagi terjebak di bumi. Posisi tengah menjadikan
mereka mampu memadukkan aspek rohani dan jasmani, material dean spiritual dalam
segala aktifitas.

c. Ummatan Muqtashidah

Ungkapan ummah muqtashidah sendiri di jelaskan dalam surat al-Maidah ayat 66


berikut :
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan
(al-Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan
mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. diantara mereka ada
golongan yang pertengahan. dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh
kebanyakan mereka.”
Makna kelompok pertengahan (ummatn muqtashidah) dalam ayat ini adalah
sekelompok golongan yang berlaku pertengahan dalam melakukan ajarannya, tidak
berlebihan dan tidak melalaikan. Pada awalnya ayat diatas menunjuk kepada
sekelompok dari kaum Yahudi dan Nasrani.
Masyarakat yang diideal oleh al-Quaran boleh jadi terdapat juga pada kelompok
umat sebelum al-Quran diturunkan yaitu sebuah masyarakat yang dalam sifatnya
berada pada posisi pertengahan diantara dua kutub. Sifat pertengahan di isyaratkan
dengan istilah qawaman yang berarti adil dan moderat. Ditegaskan bahwa sebagai
anggota masyarakat seseorang muslim harus dapat bersifat benar terhadap harta
yang di anugerahkan Allah. Tidak bersikap boros dan tidak bersikap menahan harta,
sehingga mengorbankan kepentingan pribadi, keluarga atau anggota masyarakat yang
membutuhkannya. Seorang muslim sebagai anggota masyarakat tidak boleh bersikap
bakhil dan kikir sebaliknya seseorang juga tidak boleh bersikap boros terhadap
hartanya.

d. Khairu Ummah

Istilah khairu ummah berarti satu umat terbaik, disebutkan dalam surat ali Imran
ayat 110 sebagai berikut:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Dengan mencermati ayat di atas, maka dapat ditarik defenisi khairu ummah dengan
melihat kriteria yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah pertama menyuruh kepada
ma’ruf. Kedua mencegah dari yang munkar dan ketiga beriman kepada Allah Swt.
Jika memperhatikan ayat ini akan diketahuai bahwa al-Quran sebenarnya hanya
memberikan ciri-ciri yang di gambarkan sebagai tugas dari fungsi-fungsi organik
masyarakat.
Dari gambaran diatas, dapat diperoleh penjelasan apa yang dimaksud khairu ummah
yaitu pertama al-khair yang secara harfiah diterjemahkan dengan kebajikan. Kedua
yang sangat populer dan sering dijadikan slogan politik adalah yang dirumuskan
sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf tidak bisa dipisahkan dengan nahi
munkar karena dalam perbuatan amar ma’ruf terdapat pengertian mencegah yang
munkar. Demikian pula sebaliknya dalam pengertian nahi munkar tercakup pengertian
amar ma’ruf sebab mencegah kejahatan adalah termasuk dalam perbuatan baik.
Penafsiran terhadap istilah amar ma’ruf nahi munkar mangacu pada masyarakat
hukum, karena dalam kaitannya dengan pengertian khairu ummah dan ummat
wasath yang di deskripsikan sebagai umat yang menegakkan keadilan. Al-quran
telah memberi petunjuk tentang khairu ummah yang dimaksud yaitu kumpulan
orang yang memiliki kesamaan budaya. Jadi pengertian khairu ummah dalam maksud
di atas ialah bentuk ideal masyarakat islam yang identitasnya adalah keimanan,
komitmen dan kontribusi positif kepada masyarakat secara universal dan loyalitas
pada kebenaran dengan aksi amar ma’ruf nahi munkar sebagaiman ditegaskan dalam
al-Quran surat Ali- Imran ayat 104 dan ayat 110.

104. “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. merekalah
orang-orang yang beruntung.”

Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah
segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

107. “Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, Maka mereka berada dalam
rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.”
TINJAUAN TENTANG KONSEP MASYARAKAT ISLAM IDEAL
DALAM AL-QURAN

1. Ummat Terbaik
Masyarakat islam ideal dalam persfektif al-Quran adalah sebuah masyarakat yang
ditopang oleh keimanan yang kokoh kepada Allah Swt. Hal tersebut antara lain
disebutkan dalam Quran surat Ali Imran ayat 110 berikut:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka
ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Dalam penjelasan ayat ini, bahwa kalian merupakan umat yang paling terbaik di
alam wujud sekarang, karena kalian adalah orang-orang yang melakukan amar
ma’ruf nahi munkar. Kalian adalah orang yang beriman secara benar yang bekasnya
Nampak pada jiwa kalian, sehingga terhindar dari kejahatan dan kerusakan.
Gambaran sifat ini memang cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan
khitbah ayat ini pada masa permulan. Mereka adalah Nabi Saw dan para sahabat
yang bersama beliau sewaktu al-Quran diturunkan. Pada masa sebelumnya mereka
adalah orang-orang yang saling bermusuhan, kemudian hati mereka dirukunkan.
Mereka berpegang teguh pada tali (agama) Allah, melakukan amar ma’ruf dan nahi
munkar, orang-orang lemah diantara mereka tidak takut terhadap orang-orang kuat
dan kecil juga tidak takut terhadap yang besar. Karena iman telah meresap kedalam
kalbu dan perasaan meraka, sehingga bisa ditundukkan untuk mencapai tujan Nabi Saw
di segala keadaan dan kondisi. Keimanan seperti inilah yang dikatakan oleh Allah
dalam firmannya al-Quarn surat Al-Hujurat ayat 15 berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang


yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.”

Dalam ayat lain Allah berfirman, yaitu dalam al-Quran surat al-Anfal ayat 2 dibawah
ini:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayatayatNya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”

Dari penjelasan sebelumnya maka dapat kita ketahuai bahwa amar ma’ruf dan nahi
munkar adalah penyebab keutamaan. Allah telah memerintahkan hamba-hambanya
yang beriman agar pegang teguh pada tali agama Allah dan menginagatkan mereka
akan nikmat yang telah limpahkan kepada mereka untuk merukunkan hati mereka
pada ukhuwah islamiyah. Allah memperingatkan mereka jangan sampai seperti
orang-orang ahlul kitab yang selalu menentang dan berbuat maksiat. Allah
menuturkan hal tersebut tentang orang-orang yang tampak putih wajahnya dan yang
hitam. Kemudian Allah mengiringi hal-hal tersebut dengan penuturan tentang
keutamaan orang yang melakukan ukhuwah dalam agama dan berpegang teguh
pada tali agama Allah Swt. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan mereka,
agar kamu taat dan menurut. Karena mengingat keadaan mereka yang diciptakan
sebaik-baik umat, maka sudah seharusnya hal-hal yang menguatkan panggilan ini
jangan lepas dari diri mereka. Hal ini tidak akan bisa dicapai melainkan dengan jalan
memilihara atau mengikuti perintah Allah dan meninggalkan larangannya. Gambaran
keadaan tersebut juga dijelaskan dalam penjelasan lebih lanjut yaitu, bahwa pada
mulanya manusia itu adalah satu umat, hal tersebut ditegaskan dalam al-Quran surat
al-Baqarah ayat 213:

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama
mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan
orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri.
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada Nya. dan Allah
selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kebenaran tentang hal yang
mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya kepada jalan yang lurus.”

Dalam ayat ini secara tegas dikatakan manusia dari dahulu hingga kini merupakan satu
umat. Allah Swt menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang saling berkaitan
dan saling membutuhkan. Mereka sejak dahulu hingga kini baru bisa hidup jika saling
membantu sebagai satu umat, yakni sekelompok yang memiliki persamaan dan
keterikatan. Karena kodrat mereka demikian, tentu saja mereka harus berbeda-beda
dalam profesi dan kecenderungan. Hal ini karena kepentingan mereka banyak,
sehingga dengan perbedaan tersebut masing-masing dapat memenuhi kebutuhannya.
Dalam kenyataannya manusia tidak mengetahui sepenuhnya bagaimana cara
memperoleh kemaslahatan mereka, juga tidak tahu bagaimana mengatur hubungan
antar mereka, atau menyelesaikan perselisihan mereka. Disisi lain manusia memiliki
sifat egoisme yang dapat muncul sewaktu-waktu, sehingga dapat menimbulkan
perselisihan. Karena itu Allah Swt mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar
gembira untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan Allah dan menyampaikan petunjuk-
Nya. Hal ini diperkuat oleh surat Yunus ayat 19.
“Manusia adalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah
karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah
mereka telah diberi putusan tentang apa yang mereka persilisihkan itu.”

Sungguhpun demikian, Allah memang tidak menghendaki adanya persatuan


mutlak diantara manusia, sebab ada maksud tertentu dibalik perbedaaan itu,
seperti dijelaskan dalam firman Allah Swt dalam surat alMaidah ayat 48 berikut:

“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,


membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap
tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya,
lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu’’.

Adanya faktor pembeda diantara individu dan kelompok dalam masyarakat


memberi peluang, tetapi peluang itu harus diarahkan pada kompetisi kearah kebajikan.
Dalam surat al-Hujurat ayat 13 secara tegas mengakui adanya faktor pembeda itu.
Ayat ini memberi legitimasi terhadap adanya faktor pembeda itu sebagai sesuatu yang
alami yang memang diciptakan oleh Tuhan. Tetapi ajaran agama mengatakan agar
hal itu diperlukan untuk saling mengenal (ta’aruf) selain alami keberagaman itu juga
mengandung manfaat. Manusia harus ingat bahwa mereka tergolong dalam umat yang
satu. Agama salah satunya berfungsi adalah untuk meningkatkan persamaan diantara
manusia sebagai landasan persahabatan, tolong menolong dan persaudaraan.
Perbedaan tidak akan menjadi persoalan apabila kesemuanya mengacu pada nilai-
nilai kebajikan. Oleh karena itu dalam masyarakat perlu adanya kelompok yang
melembaga dan berorientasi pada nilai-nilai keumatan.
Kelembagaan itu bisa merupakan organisasi yang mewakili kepentingan bersama.
Setiap individu dapat membantu terciptanya kepentingan umum yaitu apabila mereka
bertaqwa. Orang yang bertaqwa adalah orang yang selalu cenderung mendekat
pada yang ma’ruf dan menjauhi dari munkar atas dasar kesadaran dan bukan paksaan
dari luar.
Dengan demikian kedatangan Islam dengan al-Quran sebagai kitab sucinya selain
mengembalikan bangsa yang terpecah kepada kepercayaan yang murni atau hanif
sesuai dengan fitrah kejadian manusia yang paling dasar dan juga mengandung misi
mempersatukan individu-individu dalam satuan masyarakat yang lebih besar
yang disebut dengan ummatan wahidah, yaitu suatu umat yang bersatu berdasarkan
iman kepada Allah dan mengacu pada nilai-nilai kebajikan. Namun umat tersebut
tidak terbatas pada bangsa dimana mereka merupakan bagian. Arti umat mencakup
seluruh manusia yaitu seluruh bangsa adalah bagian dari umat yang satu, dengan
demikian maka kesatuan masyarakat didasarkan pada dokrin kesatuan umat manusia.
2. Karakteristik Masyarakat Islam Ideal

A. Ciri Umum Masyarakat Islam Ideal

a. Beriman

Masyarakat yang ideal menurut al-Quran adalah sebuah masyarakat yang


ditopang oleh keimanan yang kokoh kepada Allah Swt. Hal tersebut antara
lain disebutkan dalam Quran surat Ali Imran ayat 110 berikut:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,


menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.”

Dalam ayat tersebut keimanan kepada Allah diletakkan dalam urutan yang
ketiga dari syarat-syarat masyarakat yang ideal, salah satu penjelasannya
sebagaimana disampaikan al-Maraghi, bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar
merupakan pintu keimanan dan yang memilihara keimanan tersebut
pada umumnya pintu itu posisinya berada di depan.

b. Amar Ma’ruf

Ciri masyarakat yang idealkan oleh al-Quran sebagaimana disebutkan surat ali
imran ayat 110 yang kedua adalah amar ma’ruf. Kata ma’ruf dalam al Quran
teulang sebanyak 32 kali dalam setiap kali penyebutan, maknanya diberi
konteks tertentu. Kata ma’ruf kemudian diartikan sebagai sesuatu yang
diketahui, yang dikenal, atau yang diakui. Untuk mengetahui maknanya
yang lebih kongkret harus dilihat konteksnya. Sebagai contoh ungkapan
qaulun ma’rufun dalam al-Quran terulang sebanyak lima kali,
masing-masing dalam surat al-Baqarah ayat 235 dan 263, an-Nisa ayat 5 dan
8, Muhammad ayat 21. Ungkapan tersebut mengadung arti’’perkataan yang
baik”
Dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 263 disebutkan bahwa:

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”

Dalam ayat tersebut ungkapan qaulun ma’ufun dipertentangkan dengan


kebalikannya yaitu shadaqatun yatba’uha adza sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan si penerimah. Ungkapan tersebut dapat dilacak
dalam ayat sebelum dan sesudahnya. Pada ayat sebelumnya yaitu al-Baqarah
262 berikut.

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka


tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebutnyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Dan ayat sesudahnya, yaitu al-Baqarah 270 dibawah ini:

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan. Maka
Sesungguhnya Allah mengetahuinya. orang-orang yang berbuat zalim tidak
ada seorang penolongpun baginya.”

Dari dua ayat tersebut diatas, terganbar jelas tentang perkataan dan ucapan
yang ma’ruf. Bahwa sedekah itu pada dasarnya adalah baik, namun jika
perbuatan baik tersebut diikuti dengan mengungkit-ungkit dan menyakiti
orang yang menerima maka kebaikan tersebut tidak akan bernilai sama
sekali. Perkataan yang baik menjadi lebih baik dari pada sedekah yang disertai
dengan mengungkit dan menyakiti.
Pengertian ma’ruf dalam konteks yang berbeda dapat lihat dalam surat an-
Nisa ayat 6 tentang pengurusan anak yatim. Ibnu katsir berpendapat bahwa
makna ma’ruf dalam ayat tersebut adalah dengan cara terbaik. Sementara itu
alMaraghi mengartikan ma’ruf dengan ’’sesuai dengan ketentuan syara’
dan tidak diingkari oleh orang-orang yang mempunyai harga diri, juga
bukan termasuk pengkhianatan atau ketamakan.

c. Nahi Munkar

Secara bahasa, munkar diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang


buruk, baik dari norma syariat maupun norma akal yang sehat. Dari defenisi
diatas dapat diketahui bahwa pengertian munkar lebih luas jangkauan
pengertiannya dibanding ungkapan lain yang juga dipakai oleh al-Quran
untuk merujuk perbuatan yang buruk seperti ma’shiyat (perbuatan maksiat).
Untuk lebih jelasnya, perbuatan yang dikategorikan munkar dapat dilihat
dalam al-Quran. Beberapa makna munkar yang dijelaskan al-Quran antara
lain, surat al-Maidah ayat 79

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang
mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka
perbuat itu”

Ayat ini berbicara tentang sifat orang Yahudi dan juga Nasrani yang
dipanggil dengan ahl al-kitab yang melakukan kedurhakaan. Kedurhakaan
yang mereka lakukan ditegaskan dalam ayat tersebut adalah mereka sejak
dahulu senantiasa tidak melarang tindakan munkar yang mereka telah
perbuat.
Jenis kejahatan yang mereka perbuat ini jelaskan dalam ayat
sebelumnya,yaitu ayat 77 dan 78:
Katakanlah: “Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus.”

“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan
Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan
selalu melampaui batas.”

Salah satu bentuk mungkar yang mereka lakukan sebagaimana


diisyratkan dalam ayat 77 dan 78 diatas adalah “Belebih-lebihan dalam
beragama”. Ungkapan ini oleh sementara mufasir seperti Sayyid Qutub, al-
Maraghi, dan Thabathaba’i adalah sikap mereka sejak dahulu ketika
terjadinya kekeliruan akidah mereka, hingga masa kini yaitu pandangan
tentang Tuhan dan manusia.
Yang diperintahkan dilarang atau dicegah oleh al-Qur’an ternyata bukan
hanya perbuatan munkar saja. Melainkan juga bentuk-bentuk perbuatan
buruk lainya. Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur’an An Nahl ayat 90 berikut:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,


member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.”

B. Ciri Khusus Masyarakat Islam Ideal

Istilah cirri khusus masyarakat ideal yang disebutkan al-Quran, pertimbangannya


adalah pertama sifat-sifat ini tidak secara langsung ditunjuk oleh al-Quran sebagai
sifat masyarakat ideal. Kedua, cita-cita yang dijelaskan secara seksama merupakan
penjabaran dari ciri-ciri umum yang telah disebutkan diatas. Dengan demikian
masyarakat ideal harus berusaha menterjemahkan ciri-ciri sebagaimana dituntunkan
al-Quran. Beberapa penjabaran dari ciri-ciri atas adalah sebagai berikut :

a. Musyawarah
Kata musyawarah, berasal dari bahasa arab Musyawarah yang merupakan bentuk
isim mashdar dari kata syawara, yusyawiru. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
kata tersebut pada mulanya bermakna dasar mengeluarkan madu dari sarang
lebah. Kata ini pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan
dengan makna dasar diatas.
Dalam al-Quran kata syawarah terulang sebanyak empat kali;
asyarah, syawir, syura, dan tayawur. Firman Allah dalam surat ali imran ayat 159

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut


terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.”

Dalam ayat ini disebutkan tiga sifat dan sikap secara beruntun dan diperintahkan
kepada Nabi Saw untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah. Ketiga sifat
tersebut adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras.
Meskipun ayat tersebut berbicara dalam konteks perang Uhud. Umat islam
mengalami kekalahan yang serius, namun esensi sifat-sifat tersebut harus dimiliki
dan diterapkan oleh setiap kaum muslim yang hendak bermusyawarah, apa lagi
bagi seorang pemimpin. Kalau dia berlaku kasar dan keras hati niscaya peserta
musyawarah akan meninggalkannya.
Setelah musyawarah dilaksanakan, sikap yang harus diambil oleh orang yang
bermusyawarah adalah memberi maaf. Orang yang sedang bermusyawarah
harus mempersiapkan cucur mentalnya untuk selalu bersedia memberi maaf,
karena boleh jadi ketika melakukan musyawarah terjadi perbedaan pendapat,
bahkan mungkin ada yang menyinggung pihak lain. Petunjuk dari ayat tersebut
diatas dalam konteks musyawarah adalah apabila telah ber’azam (bertekad bulat),
dan bertawakal kepada Allah.
Pandangan yang diberikan oleh Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa
musyawarah bukanlah suatu yang berasal dari tuntunan al-Quran untuk pertama
kali, melainkan suatu tuntunan abadi dan kodrat manusia sebagai mahluk sosial.
Lebih jauh Fazlur Rahman menjelaskan bahwa lembaga ini (musyawarah)
kemudian diperluas oleh al-Quran dengan mengubahnya dari institusi kesukuan
menjadi institusi komunitas karena ia menggantikan hubungan darah dengan
hubungan iman. Pandangan yang berbeda diberikan oleh Zafir al-Qasimi yang
menyatakan bahwa musyawarah bukanlah produk sosial melainkan
merupakan institusi yang dihasilkan oleh wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah Saw. Pembelaan seprti ini nampak berlebihan meskipun mungkin tujuan
untuk mengunggulkan ajaran Islam dengan menyatakan bahwa musyawarah
merupakan sesuatu yang original dari al-Quran.

b. Keadilan

Al-Quran menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk arti keadilan, yaitu al-
adl, al-qisth, al-mizan dan lawan dari kata sulm, meskipun untuk yang terakhir ini
yaitu keadilan tidak selalu menjadi lawan kata kezaliman.
Sayyid Qutub memberikan penekanan makna al-adl sebagai persamaan
yang merupakan azas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Keadilan
bagi Qutub adalah bersifat terbuka, tidak khusus untuk golongan tersebut,
sekalipun umpamanya yang menetapkan keadilan itu seorang muslim bagi orang
non-muslim.
Keadilan yang dibicarakan al-Quran mengandung berbagai ragam makna, tidak
hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih
melainkan menyangkut segala aspek kehidupan beragama beberapa contoh
diantaranya:
Pertama, Adil dalam aspek akidah; untuk menelusuri makna adil dalam aqidah
ini dapat digunakan lawan dari keadilan yaitu kezaliman.
Kedua, dalam aspek syariat khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara
sesama manusia, al-Quran menekankan perlu manusia berlaku adil.
Ketiga, dalam aspek akhlak keadilan dituntut bukan hanya kepada orang lain
namun juga pada diri sendiri. Ayat-ayat dibawah ini memberikan gambaran
tentang hal tersebut dalam al-Quran surat al-An’am ayat 152

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang
melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah
kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah
yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”

Dalam memberikan penafsiran ayat tersebut khususnya dalam kata ”apabila kamu
berkata hendaklah berlaku adil”, Quraish Shihab menyatakan bahwa ucapan
seseorang terdiri dari tiga kemungkinan; pertama, jujur atau benar ini bisa saja
bermakna positif atau negatif. Kedua, ucapan yang salah ada yang disengaja
(bohong) ada juga yang tidak disengaja (keliru). Dan ketiga, omong kosong, ada
yang dimengerti tapi tidak berfaedah sama sekali namun ada juga yang tidak
dimengerti.
Perintah berkata dalam ayat tersebut menyangkut tiga makna diatas,
dalam arti ucapan bohong dan omong kosong tidak dibenarkan sama sekali
untuk diucapkan. Adapun ucapan yang benar tetapi tidak adil yaitu bukan
pada tempatnya maka ucapan seperti ini tidak dibenarkan. Yang dituntut dari
ayat ini adalah bahwa ucapan tersebut jujur atau benar sekaligus adil
dalam arti sesuai pada tempatnya meskipun tertuju kepada kerabat sendiri.

c. Persaudaraan

Ciri khusus masyarakat yang diidealkan al-Quran adalah masyarakat yang


anggota warganya sepenuhnya selalu menjalin persaudaraan. Persaudaraan
tidak akan terwujud apabila tidak ada rasa mencintai dan bekerja sama. Setiap
anggota masyarakat yang tidak diikat oleh ikatan kerja sama dan kasih sayang
serta persatuan yang sesungguhnya, tidak mungkin dapat bersatu untuk mencapai
tujuan bersama.
Bentuk persaudaraan yang dianjurkan al-Quran tidak hanya persaudaraan
satu aqidah namun juga dengan warga masyarakat lain yang berbeda aqidah. Al-
Quran secara tegas menyatakan bahwa sesama orang mukmin adalah bersaudara,
berikut dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 10:

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah bersaudara. sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Curahan rahmat kepada suatu masyarakat khususnya masyarakat


muslim akan diberikan oleh Allah sepanjang sesama warganya memilihara
persaudaraan diantara mereka. Abdullah Yusuf Ali dalam menafsirkan ayat
tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan atau perwujudan persaudaraan
muslim merupakan ide sosial yang paling besar dalam islam. Islam tidak
dapat direalisasikan sama sekali hingga ide besar ini berhasil diwujudkan.
Ayat-ayat yang terdapat dalam surat al-Hujurat secara berisi tentang petunjuk
kepada masyarakat muslim khususnya, dan masyarakat manusia pada umumnya.
Dalam ayat selanjutnya (hujurat 11 dan 12) barisi tentang kode etik warga
masyarakat muslim, di antaranya adalah bahwa mereka tidak boleh saling
melecehkan dan menghina, karena boleh jadi yang dilecehkan itu lebih baik
dari yang melecehkan.

d. Toleransi

Salah satu alasan yang dijelaskan al-Quran adalah bahwa manusia itu satu sama
lain bersaudara karena mereka berasal dari sumber yang satu, Q.s al-Hujurat ayat
13 menegaskan bahwa:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal’’.

Persamaan seluruh umat manusia juga ditegaskan oleh Allah dalam surat an-Nisa 4

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Kedua ayat diatas adalah ayat-ayat yang turun setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah
(Madaniyah), karena manusia berasal dari satu keturunan, tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, beragama dan tidak
beragama. Semuanya dituntut untuk menciptakan kedamaian dan rasa aman dalam
masyarakat, serta saling menghormati hak-hak azasi manusia.
Oleh karenanya, tidak ada kelebihan seorang individu dari individu yang lain, satu
golongan atas golongan yang lain, seorang tuan atas pembantunya, dan pemerintah
atas rakyatnya. Atas dasar asal-usul kejadian manusia seluruhnya adalah sama maka
tidak layak seorangpun atau satu golongan membanggakan diri tehadap yang lain atau
menghinanya.
Dari uraian diatas tampak jelas bahwa misi utama al-Quran dalam kehidupan
bermasyarakat adalah untuk menegakkan prinsip persamaan (Egalitarianisme) dan
mengkikis habis segala bentuk fanatisme golongan maupun kelompok. Dengan
persamaan tersebut sesama anggota masyarakat dapat melakukan kerja sama sekalipun
antara warganya terdapat perbedaan prinsip yaitu perbedaan aqidah. Perbedaan
perbedaan yang ada bukan dimaksudkan untuk menunjukkan superioritas masing
masing terhadap yang lain, melainkan untuk saling mengenal dan menegakkan prinsip
persatuan, persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Al-Quran secara tegas menyatakan
bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama islam; Q.S. al-Baqarah 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agam (Islam); Sesungguhnya Telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang
kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar
lagi Maha Mengetahui.”

Dalam ayat diatas menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam menganut
keyakinan agama. Allah mengkehendaki agara setiap orang merasakan
kedamaian. Dengan alasan seperti diatas, dapat disimpulkan bahwa segala bentuk
pemaksan terhadap manusia untuk memilih suatu agama tidak dibenarkan oleh al
Quran. Karena yang dikehendaki oleh Allah adalah iman yang tulus tanpa pamri dan
paksaan. Seandainya paksaan itu diperbolehkan maka Allah sendiri yang akan
melakukan, dan seperti dijelaskan dalam ayat diatas Allah Swt tidak melakukannya.
Maka tugas para Nabi hanyalah untuk mengajak dan memberikan peringatan tanpa
paksaan. Manusia akan dinilai terkait dengan sikap dan respon terhadap seruan Nabi
tersebut.
Kesimpulan
1. Konsep masyarakat islam ideal dalam al-Quran adalah sebuah tatanan masyarakat
yang sepunuhnya dilandasi oleh keimanan yang kokoh. Keimanan berfungsi
sebagai pendorong sekaligus penyeimbang dalam proses kemajuan yang terjadi
dalan masyarakat. Lebih dari itu al-Quran menegaskan bahwa masyarakat ideal
tersebut akan tercapai kemulian dan ketinggiannya, apabila keimanan kepada
Allah Swt menjadi barometer utamanya.
2. Masyarakat yang diidealkan oleh al-Quran adalah sebuah tatanan yang masing-
masing anggotanya bekerja sama dan saling memerintahkan kepada yang
ma’ruf atau segala bentuk kebaikan yang disepakati anggota masyarakat dan
tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Sebuah tatanan masyarakat yang
setiap anggotanya berikhtiar untuk mencegah setiap kemungkaran yang terjadi.
Kemungkaran yang dimaksud adalah segala bentuk pelanggaran terhadap
ma’ruf. Pencegahan tersebut menjadi mutlak karena setiap individual berdampak
negatif yang timbulkan akan dialami seluruh anggota masyarakat.
3. Masyarakat islam ideal dalam pandangan al-Quran, akan terwujud manakala
setiap anggota masyarakatnya menjadikan musyawarah sebagai salah satu
pilar utamanya. Menegakkan nilai-nilai keadilan sebagai suatu bagian dari yang
ma’ruf, instrumen utamanya adalah adanya hukum yang baik dan berkeadilan.
Dan persaudaraan sesama warga dapat tercipta, persaudaraan yang dimaksud
bukan hanya sebatas antar sesama muslim akan tetapi dengan seluruh masyarakat
yang sangat plural.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, 1985, Sosiologi, Surabaya: Bina Ilmu


Ahmad Abidin Zainal, 1977, Konsepsi Politik Dan Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang
Al-farnawi, Abd al-Hayy, 2005, Metode tafsir maudhu’I, Bandung: PT Rosida Karya
As-Sabuni, Ali Muhammad, tt, At Tibyan Fi Ulum Al-Quran, Jakarta: Dinamika
Berkah Utama
Al-Marghi, Ahmad Mustafa, 1993, Tafsir Al-Marahgi Juz III, Semarang: PT Karya
Toha Putra
Abu Fida, Al-Imam Ibnu Katsir, Katsir Ibnu Katsir Jilid I, Bandung: Sinar Baru Al-
Gesindo
Abu A’la Maududi, 1967, Pokok-Pokok Pandangan Muslim, Jakarta: Bulan Bintang
Depag RI, 1998, Al-Quran Dan Terjemahannya, Semarang: CV Toha Putra
Endang Saifudding, 1979, Ilmu Filsafat Dan Agama, Surabaya: PT Bina Ilmu
Kafie Jamaluddin, 1983, Islam Agama Dan Negara, Surabaya: PT Bina Ilmu
Muntahhari, Murthada, tt, Masyarakat Dan Sejarah, Bandung: Mizan
Quraish M Shihab, 2007, Tafsir Al-Misbah, Vol I dan II, Jakarta: Lentera Hati
Qutub Sayyid, 1995, Petunjuk Jalan, Yogyakarta: Media Dakwah
Quthb Mohammad, 1993, Islam Ditengah Pertarungan Tradisi, Bandung: Mizan
Shalabi Ahmad, 1989, Masyarakat Islam, Terj, Muchtar Yahya, Bandung: Mizan
Sarjono, Soekamto, 1998, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zafir Al-Kasimi, 1974, Nizham Al-Hukm Fi Al-Syariat Wa Al-Tarikh, Beirut: Dal
Al-Nafais
Yaqub Hamzah, 1988, Pemurnian Aqidah Dan Syiar Islam, Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya

Anda mungkin juga menyukai