Pembahasan CBT TO 1 Feb 2018 PDF
Pembahasan CBT TO 1 Feb 2018 PDF
ORYZA
DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. REYNALDO
OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan Medan :
(belakang pasaraya manggarai) BTBS BIMA
phone number : 021 8317064 Jl. Bantam No 6A, Petisah Hulu, Medan Baru
pin BB 2A8E2925 Medan-Sumatera Utara 20153
WA 081380385694 WA 082122727364
I L MU
P E N YA K I T
DALAM
1. Tuberkulosis
• Penyakit infeksi yang di sebabkan oleh
mycrobacterium tubercolosis dengan gejala
yang sangat bervariasi
• Kuman TB berbentuk batang, memiliki sifat
tahan asam terhadap pewarnaan Ziehl
Neelsen sehingga dinamakan Basil Tahan
Asam (BTA).
Tanda dan Gejala
1. Gejala lokal/ gejala respiratorik
batuk - batuk > 2 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
2. Gejala sistemik
Demam
Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,
anoreksia, berat badan menurun
Pemeriksaan fisik
• Pada TB paru tergantung luas kelainan struktur paru.
Umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex
lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah.
• Pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi
ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat
cairan.
• Pada limfadenitis TB terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah axila
Pemeriksaan Sputum BTA
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak
dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS).
• Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari
berturut-turut atau dengan cara:
Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan
dahak pagi)
Alur Diagnosis TBDan TBResistan Obat Di Indonesia
Terduga TB
Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)
Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM)
MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Pemeriksaan
TB RRtambahan pada semuaFoto pasien TB
Toraks
TB Terkonfirmasi pemeriksaan yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis
(Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yangdan
sama
Foto Terapi maupun klinis adalah pemeriksaan HIV
dengan alur
Toraks Antibiotika gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai
pada hasil
Non OAT indikasi misalnya fungsi hati, fungsi pemeriksaan
ginjal, dll)
Pengobatan Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Foto Toraks
TB RR
TB Terkonfirmasi pemeriksaan (Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yang sama
Foto Terapi
dengan alur
Toraks Antibiotika
pada hasil
Non OAT
Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan pemeriksaan
Pengobatan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
TB Lini 1 negatif (- -) )
OAT Lini 1 dan Lini 2
Gambaran Tidak Mendukung TB;
Mendukung Bukan TB; Cari
TB kemungkinan penyebab Ada Tidak Ada
penyakit lain Perbaikan Perbaikan TB RR; TB Pre TB XDR
Klinis Klinis, ada
TB MDR XDR
faktor risiko
TB TB, dan atas
Terkonfirmasi Bukan TB; Cari pertimbangan
Klinis Lanjutkan Pengobatan
kemungkinan dokter Pengobatan TB RO
TB RO
penyebab dengan Paduan Baru
penyakit lain TB
Terkonfirmasi
Klinis
• Penyebab:
– Sekresi ACTH berlebih dari hipofisis
anterior (penyakit Cushing).
– ACTH ektopik (C/: ca paru)
– Tumor adrenokortikal
– Glukokorticod eksogen (obat)
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/205/diagnosis/step-by-step.html
Diagnosis Banding Cushing Syndrome
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0004-27302007000800005
3. Sindrom Koroner Akut
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
3. Sindrom Koroner Akut
• Gejala khas
Rasa tertekan/berat di bawah dada, menjalar ke lengan
kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati.
Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.
• Angina stabil:
Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut),
berlangsung 2-5 menit,
Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat &
nitrogliserin sublingual.
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
4. Penyakit katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
5. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of
– is the most common symptom acute carditis include
– (polyarticular, fleeting, and – the high-pitched, blowing,
involves the large joints) holosystolic, apical murmur of
– frequently the earliest mitral regurgitation;
manifestation of acute – the low-pitched, apical, mid-
rheumatic fever (70-75%). diastolic, flow murmur (Carey-
Coombs murmur);
• Carditis: – and a high-pitched,
decrescendo, diastolic murmur
– (40% of patients) of aortic regurgitation heard at
– and may include cardiomegaly, the aortic area.
new murmur, congestive heart – Murmurs of mitral and aortic
failure, and pericarditis, with or stenosis are observed in
without a rub and valvular chronic valvular heart disease.
disease.
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists,
elbows, and knees.
• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.
OA • Cause –Unknown
• Common-in elders where there is no previous
pathology.
OA •
•
•
Previous infection
RA
CDH
Sekunder •
•
•
Deformity
Obesity
Hyperthyriodism
Pembebanan repetitif, obesitas, usia tua
Heberden’s & Bouchard’s nodes
Penipisan kartilago
Sklerosis
Inflamasi - + + +
Temuan Sendi Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Kristal urat En bloc spine
Heberden’s nodes neck, Boutonniere enthesopathy
Perubahan Osteofit Osteopenia erosi Erosi
tulang erosi ankilosis
• Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh, gagal jantung kanan terlihat denyut
vena jugularis di leher dan edema tungkai
Spirometri penyakit
obstruktif paru:
• Forced expiratory volume/FEV1 ↓
• Vital capacity ↓
• Hiperinflasi mengakibatkan:
– Residual volume ↑ Normal COPD
– Functional residual
capacity ↑
Nilai FEV1 pascabronkodilator <80% prediksi memastikan ada
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
1. Color Atlas of Patophysiology. 1st ed. Thieme: 2000.
2. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Lange: 2003.
3. Murray & Nadel’s Textbook of respiratory medicine. 4th ed. Elsevier: 2005.
4. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
7. PPOK
• Radiologi PPOK:
– Pada emfisema terlihat:
• Hiperinflasi
• Hiperlusen
• Ruang retrosternal melebar
• Diafragma mendatar
• Jantung menggantung (jantung pendulum)
– Pada bronkitis kronik:
• Normal
• Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.
7. PPOK
Dalam penilaian derajat PPOK diperlukan beberapa penilaian
seperti
• Penilaian gejala dengan menggunakan kuesioner COPD
Assesment Test (CAT) serta The modified British Medical
Research Council (mMRC) untuk menilai sesak nafas;
• Penilaian derajat keterbatasan aliran udara dengan
spirometri
– GOLD 1: Ringan: FEV1 >80% prediksi
– GOLD 2: Sedang: 50% < FEV1 < 80% prediksi
– GOLD 3: Berat: 30% < FEV1 < 50% prediksi
– GOLD 4: Sangat Berat: FEV1 <30% prediksi
• Penilaian risiko eksaserbasi
Klasifikasi PPOK GOLD 2017
7. PPOK Eksaserbasi
• Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kondisi
akut yang ditandai dengan perburukan gejala
respirasi dan variasi gejala normal haran dan
membutuhkan perubahan terapi.
• Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi, polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi
• Gejala eksaserbasi:
– Sesak bertambah
– Produksi sputum meningkat
– Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)
optimized by optima
• after age 70 but may begin as early as age
• significant loss of both trabecular and cortical bone.
• hip and multiple wedge vertebral fractures are the most common types
of fractures
8. Klasifikasi Osteoporosis
8. Osteoporosis
Tanda dan Gejala
• Seringnya tanpa
gejala – silent
disease
• Gejala lain yang
dapat muncul
Nyeri punggung
Fraktur patologis
Penurunan tinggi
badan
Imobilisasi
Kifosis bertambah
Fraktur Kompresi pada Osteoporosis
• Wedge fractures –
collapse of the
anterior or posterior
of the vertebral body
• Biconcave
fractures – collapse of
the central portion of
both vertebral body
endplates
• Crush fractures –
collapse of entire
vertebral body
9. Hepatitis Virus
9. Hepatitis A
• Hepatitis A IgM
antibodies are
usually detectable 3
to 4 weeks after an
initial exposure and
return to normal after
about 8 weeks.
• Hepatitis A IgG
antibodies may begin
to develop 2 weeks
after the IgM
antibodies increase to
a high level.
9. Hepatitis
10. Sepsis
http://ajcc.aacnjournals.org/content/16/2/122/T1.expansion
Etiologi Sepsis
10. Patofisiologi Sepsis
10.
Patofisiologi
Sepsis
EGDT
• Early goal
directed
therapy
• Improve sepsis
survival
10. Sepsis Guideline 2016
http://acutemed.co.uk/diseases/ACS+%28Acute+Coronary+Syndrome%29
12. Sindrom Koroner Akut
Evolusi EKG pada Acute MI dan Waktu Peningkatan
Biomarker
13. Ginekomastia
• Gynaecomastia:
– benign proliferation of glandular breast tissue in males
• Drugs cause 25% of gynaecomastia cases in adults 1
• Other causes- endocrine disorders, HIV, renal
disease, aging, puberty and hyperthyroidism
[1] Carlos et al. Sao Paulo Med J. 2012; 130(3):189-197. [2] Mira et al. Antiviral Therapy .2004; 9:511-514.
[3]Biglia et al. Clin Infect Dis . 2004; 39:1514-1519
13. Ginekomastia
13. Ginekomastia
13. Ginekomastia
13. Ginekomastia
14. Hyperparathiroidism
• Hyperparathyroidism is a disease characterized
by excessive secretion of parathyroid hormone.
• The main effects of parathyroid hormone are to
increase the concentration of plasma calcium by
– increasing the release of calcium and phosphate from
bone matrix
– increasing calcium reabsorption by the kidney
– increasing renal production of 1,25-dihydroxyvitamin
D-3 (calcitriol), which increases intestinal absorption
of calcium.
Hyperparathyroidism
• Overproduction of parathyroid hormone results in elevated
levels of plasma calcium.
• Parathyroid hormone also causes phosphaturia, thereby
decreasing serum phosphate levels.
• Hyperparathyroidism is usually subdivided into primary,
secondary, and tertiary hyperparathyroidism.
Metabolisme kalsium dan fosfat
Primary Hyperparathyroidism
• Satu atau lebih kelenjar memproduksi kadar PTH yg tinggi
relatif bila dibandingkan dgn kadar serum kalsium.
• Merupakan penyebab tersering dari hyperkalsemia pada
outpatient setting.
Etiologi
• Adenoma (80% of cases)—majority involve only one gland.
• Hyperplasia (15% to 20% of cases)—all four glands usually
affected.
• Carcinoma (<1% of cases).
Manifestasi Klinis
• “Stones” “Psychiatric overtones”—
Nephrolithiasis depression, fatigue, anorexia,
Nephrocalcinosis sleep disturbances,anxiety,
lethargy
• “Bones”
Bone aches and pains
Other symptoms:
Osteitis fibrosa cystica (“brown
tumors”)—predisposes patient to Polydipsia,
pathologic fractures polyuria
HTN, shortened QT
• “Groans” interval
Muscle pain and weakness Weight loss
Pancreatitis
Peptic ulcer disease
Gout
Constipation
Hyperparathyroidism
• Tertiary hyperparathyroidism is a state of
excessive secretion of parathyroid hormone
(PTH) after a long period of secondary
hyperparathyroidism and resulting in a high
blood calcium level.
• It reflects development of autonomous
(unregulated) parathyroid function following a
period of persistent parathyroid stimulation.
15. Hepatologi
• Sirosis hepatis adalah stadium akhir fibrosis
hepatik progresif ditandai dengan distorsi
arsitektur hepar dan pembentukan nodul
regeneratif.
• Terjadi akibat nekrosis hepatoseluler
– Sirosis hati kompensatabelum ada gejala klinis
– Sirosis hati dekompensata gejala klinis yang jelas
• Etiologialkohol, hepatitis, biliaris, kardiak,
metabolik, keturunan, obat
– Di Indonesia, 40-50% disebabkan oleh hepatitis B
http://www.nmhs.net/documents/27JNC8HTNGuidelinesBookBooklet.pdf
17. PANKREATITIS AKUT
• Pankreatitis adalah
inflamasi pankreas
yang berlangsung akut
(onset tiba-tiba, durasi
kurang dari 6 bulan)
atau akut berulang (>1
episode pankreatitis
akut sampai kronik -
durasi lebih dari 6
bulan).
• Kolesistitis:
– Nyeri kanan atas bahu/punggung,
mual, muntah, demam
– Nyeri tekan kanan atas (murphy sign)
• Koledokolitiasis:
– Nyeri kanan atas, ikterik, pruritis, mual.
• Kolangitis:
– Triad Charcot: nyeri kanan atas, ikterik,
demam/menggigil
– Reynold pentad: charcot + syok &
penurunan kesadaran Pathophysiology of disease. 2nd ed. Lange; 2006.
Penyakit Hepatobilier
• Diagnosis kolesistitis:
– Murphy sign atau nyeri tekan abdomen kanan atas
– Demam, leukositosis, atau peningkatan CRP
– USG: ditemukan batu (90-95% kasus), tanda inflamasi
kandung empedu (penebalan dinding/double rim cairan
perikolesistik, dilatasi duktus biliaris)
Resusitasi cairan
Nyeri epigastrik/ USG: penebalan
Mual/muntah, AB: sefalosporin gen.
kanan atas menjalar Murphy Sign dinding kandung Kolesistitis
Demam 3 + metronidazol
ke bahu/ punggung empedu (double rims)
Kolesistektomi
19. POLISITEMIA VERA
• Polisitemia vera adalah kelainan mieloproliferatif dengan
ciri profilerasi sel pendahulu eritroid yang tidak terkendali.
• Penyakit ini merupakan penyakit kronik profresif dan
sebagian penderita penyakitnya berkembang menjadi
leukemia akut dan sisanya menjadi fibrosis sumsumtulang
dan metaplasia mieloid.
http://imaging.ubmmedica.com/all/editorial/cancernetwork/cmhb/30M_Table1_large.png
POLISITEMIA VERA vs POLISITEMIA SEKUNDER
http://www.bloodjournal.org/content/bloodjournal/109/12/5104/F1.large.jpg?sso-checked=true
20. HIPERTIROIDISME
Human Physiology.
Diagnosis Banding Hipertiroidisme
Merupakan penyebab
hipertiroid terbanyak
setelah graves disease.
20.
Radioactive Iodine
Methimazole vs PTU
MMI: Methimazole
ATD: Antithyroid drugs
GD: Graves disease
RAI: Radioiodine uptake
2016 American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis
Beta Blocker Untuk Hipertiroidisme
http://online.liebertpub.com/doi/pdf/10.1089/thy.2016.0229
21. Torsio Testis
Gejala dan tanda:
• Nyeri hebat pada skrotum yang mendadak
• Pembengkakan skrotum
• Nyeri abdomen
• Mual dan muntah
• Testis terletak lebih tinggi dari biasanya atau
pada posisi yang tidak biasa
RINGDAHL ERIKA,et al. Testicular Torsion
Am Fam Physician. 2006 Nov 15;74(10):1739-1743. Columbia, Missouri. In
http://www.aafp.org/afp/2006/1115/p1739.html
Ultrasound
• Normal: homogenous symmetric
• Grade II hemorrhoids may protrude beyond the anal verge with straining
or defecating but reduce spontaneously when straining ceases (ie, return
to their resting point by themselves)
Wald A, Bharucha AE, Cosman BC, et al. ACG clinical guideline: management of benign anorectal
disorders. Am J Gastroenterol. Aug 2014
23. Trauma Buli
• 86% trauma buli berkaitan dg trauma
abdomen (KLL, jatuh dr ketinggian)
• 90% berhubungan dg fraktur pelvis.
• Sebaliknya hanya 9 – 16 % fraktur pelvis yg
disertai ruptur buli.
• 60% mrpk ruptur buli extraperitoneal, 30%
intraperitoneal
MEKANISME CEDERA
• Ruptur intraperitoneal terjadi akibat trauma pada abdomen
bagian bawah atau jg trauma pelvis pada saat buli2 penuh.
• Ruptur extraperitoneal lbh sering berkaitan dg fraktur pelvis
Tanda dan gejala
• Hematuria
– dapat merupakan gejala tunggal
– 95% ruptur buli
• Nyeri perut bawah.
• Kesulitan berkemih
• Pruduksi urin menurun
Pemeriksaan radiologis
• Cystography
– Kontras > 300 cc
– Foto pengosongan (drainase)
• CT scan cystography
Trauma buli
• Kontusio buli
– Cedera mukosa tanpa extravasasi urin
• Ruptur interstisial
– Robekan sebagian dinding buli tanpa extravasasi
• Ruptur intraperitoneal
– Tampak kontras mengisi rongga intraperitoneal
• Ruptur extraperitoneal
– Kontras mengisi ruang perivesika dibawah garis
asetabulum
• Hematoma perivesika : tear drop appearance
Sistogram
Ruptur intraperitoneal Ruptur Ekstraperitoneal
Penatalaksanaan
• Pada luka tembus buli2 explorasi + repair
• Ruptur intraperitoneal explorasi + repair
Faktor genetik
ETIOLOGI
Kegagalan
perkembangan Tidak terdapatnya sel Terbentuknya
pleksus submukosa ganglion parasimpatis panjang terminal
Meissner dan pleksus dari pleksus Auerbach aganglionik usus
mienteric Auerbach di colon besar yang bervariasi
di usus besar
PATOFISIOLOGI
Gagal migrasi bakal sel
ganglion dari cranio- caudal
Minggu 5 – 12
Segmen
aganglionik
Peristaltik propulsif Ganglion
tidak ada, sfingter ani parasimpatik
internus gagal intramural tidak ada
mengendur pada
distensi rectum
Colon tidak
Defekasi terganggu
mengembang
MUNTAH HIJAU
DISTENSI ABDOMEN
DIAGNOSA
GAMBARAN KLINIS
COLOK DUBUR
PEM.PENUNJANG :
BNO POLOS BARIUM
Gambaran ENEMA
hearing bone Gambaran
zona transisi
• Darm kontur: terlihatnya bentuk usus pada
abdomen
• Darm Steifung: terlihatnya gerakan peristaltik
pada abdomen
Rontgen :
• Abdomen polos
– Dilatasi usus
– Air-fluid levels.
– Empty rectum
• Contrast enema
– Transition zone
– Abnormal, irregular contractions of
aganglionic segment
– Delayed evacuation of barium
• Biopsy :
– absence of ganglion cells
– hypertrophy and hyperplasia of nerve
fibers,
PENATALAKSANAAN
• Prinsip terapi
– mengatasi obstruksi,
– mencegah terjadinya enterocolitis
– membuang segmen aganglionik
– mengembalikan kontinuitas usus
TERAPI
SEMENTARA COLOSTOMY
PEMBEDAHAN
RECTOSIGMOIDESTOMY
CARA SWENSON
DEFINITIF
ANASTOMOSE
COLOANAL CARA
DUHAMEL DAN SOAVE
25. Dislokasi Panggul
ANTERIOR POSTERIOR
netterimages.com
Tatalaksana Dislokasi Sendi Panggul:
Reposisi
• Bila pasien tidak memiliki komplikasi lain:
– Berikan Anestetic atau sedative dan manipulasi
tulang sehingga kembali pada posisi yang
seharusnya reduction/reposisi
• Pada beberapa kasus, reduksi harus dilakukan
di OK dan diperlukan pembedahan
• Setelah tindakan, harus dilakukan
pemeriksaan radiologis ulang atau CT-scan
untuk mengetahui posisi dari sendi.
26. Luka Bakar
Tatalaksana Emergency luka Bakar
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb
2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Rule of nines
Adult Infant
• Bayi berusia sampai satu tahun
– Luas permukaan kepala dan leher berkisar 18%
– Luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%.
• Dalam masa pertumbuhannya, setiap tahun di
atas usia satu tahun, maka ukuran kepala
berkurang sekitar 1% dan ukuran tungkai
bertambah 0. 5%
• Proporsi dewasa tercapai saat seorang anak
mencapai usia sepuluh tahun
• Usia 10 thn penambahan ukuran tungkai dipindahkan ke
genitalia dan perineum 1%
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Contoh
• Anak usia 6 tahun datang dengan luka bakar di
wajah dan seluruh bagian depan kaki kanan
• Luas permukaan yang terbakar adalah?
– Wajah (18-(6-1))/2= 6,5%
– Bagian depan 1 kaki (14+(0,5x(6-1))/2= 8,25%
– Total 13,75%
Indikasi Resusitasi Cairan
• Rumus Baxter adalah
dasar pemberian cairan
pertama kali
• Titrasi sesuai produksi
urine
– Bila kurang dari target
0,5-1 cc/KgBB/Jam
tambahkan volume
cairan resusitasi menjadi
150% pada jam
berikutnya atau bolus
cairan 5-10cc/KgBB
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Contoh
• Seorang perempuan, berat 60 kg dengan luka
bakar di dada dan perut, karena ledakan kompor
1 jam yang lalu. Terdapat eritem di dada dan
perut, bula, bula pecah, suara serak tidak ada.
• Kebutuhan cairan 4x18%x60 kg = 4320 cc/24 jam
– 2160 cc dalam 8 jam pertama 270 cc/jam
– 2160 cc dalam 16 jam berikutnya
• Saat pemberian cairan jam pertama urine 30
cc/jam (sesuai target 0,5-1 cc/KgBB/Jam
• jam ke-2 didapatkan urine 10 cc/jam (kurang dari
target.
A. Jam berikutnya diberikan 270ccx150% = 405
cc/ jam kemudian nilai ulang produksi urine
jam berikutnya
– Masih kurang? Tambah jadi 405ccx150%= 607,5
cc/jam
B. Atau berikan bolus cairan 5-10 cc/kgBB
secepatnya (utk pasien ini 300-500 cc). Nilai
urine jam berikutnya
– Masih kurang? Boleh pilih A atau B lagi
INDIKASI RAWAT INAP
PADA LUKA BAKAR
– LB yang memenuhi indikasi resusitasi cairan (Baxter)
– LB derajat II >30% ICU
– LB yang mengenai: wajah, leher, mata, telinga, tangan,
kaki, sendi, genitalia
– LB derajat III >5% (semua umur)
– LB elektrik / petir dengan kerusakan di bawah jaringan
kulit
– LB kimia / radiasi
– LB dengan Trauma Inhalasi
– LB dengan penyakit penyerta
emedicine
Luka Bakar Khusus
• Luka bakar listrik
– Target urine lebih banyak (1-2cc/kgBB/jam)
• mencegah sumbatan mioglobin di ginjal
• bila tidak memenuhi target dengan penambahan volume
cairan
• pertimbangkan pemberian manitol 12,5 g setiap 1000 cc
cairan resusitasi
– Fasciotomi segera untuk kompartemen syndrome
• Luka bakar anak <10 thn
– Risiko hipoglikemiaberikan cairan maintenance
tambahan yang mengandung glukosa (dihitung
dengan rumus Darrow/Holliday Segar)
27. Papilloma Intraduktal
• Papilloma intraduktal adalah pertumbuhan
menyerupai kutil dengan disertai tangkai yang
tumbuh dari dalam payudara yang berasal dari
jaringan glandular dan jaringan fibrovaskular.
• Epidemiologi: terjadi pada wanita pada masa
reproduktif akhir, atau post-menopause. Usia
rerata 48 tahun.
Gejala dan Tanda
• Hampir 90% dari Papilloma Intraduktus adalah dari tipe
soliter dengan diameternya kurang dari 1cm dan sering
timbul pada duktus laktiferus dan hampir 70% dari pasien
datang dengan nipple discharge yang serous dan
bercampur darah.
• Ada juga pasien yang datang dengan keluhan massa pada
area subareola walaupun massa ini lebih sering ditemukan
pada pemeriksaan fisis. Massa yang teraba sebenarnya
adalah duktus yang berdilatasi.
• Papilloma Intraduktus multiple biasanya tidak gejala nipple
discharge dan biasanya terjadi pada duktus yang kecil.
Diperkirakan hampir 25% dari Papilloma Intraduktus
multiple adalah bilateral.
http://radiopaedia.org/
Etiologi dan Patogenesis
• Etiologi dan patogenesis dari penyakit ini masih
belum jelas.
• Dari kepustakaan dikatakan bahwa, Papilloma
Intraduktus ini terkait dengan proliferasi dari
epitel fibrokistik yang hiperplasia.
• Ukurannya adalah 2-3 mm dan terlihat seperti
broad-based atau pedunculated polypoid
epithelial lesion yang bisa mengobstruksi dan
melebarkan duktus terkait.
• Kista juga bisa terbentuk hasil dari duktus yang
mengalami obstruksi.
http://radiopaedia.org/
Pemeriksaan Radiologis
• Mammografi
– Biasanya gambaran normal
– Gambaran yang dapat ditemukan dilatasi duktus soliter maupun
multipel, massa jinak sirkumskripta (sering di subareola), atau
kalsifikasi.
• Galactography
– Gambaran abnormalitas ductus: filling defect, ectasia, obstruksi,
atau irregularitas. Tidak spesifik
– Dapat evaluasi jumlah, lokasi, penyebaran, dan jarak dari areola.
• USG
– Gambaran terlihat jelas sebagai nodul padat atau massa
intraduktal dapat pula berupa kista dalam duktus.
– Colour doppleruntuk melihat vaskularisasi.
http://radiopaedia.org/
• Galactogram
USG
• Atas: nodul solid dalam
duktus
• Bawah: nodul
bertangkai dengan
dilatasi duktus
Tatalaksana dan Prognosis
• Papilloma intraduktal solitereksisi
• Menurut komuniti dari College of American
Pathologist, wanita dengan lesi ini mempunyai
risiko 1,5 – 2 kali untuk terjadinya karsinoma
mammae.
THE BREAST LUMP
Tumors Onset Feature
Invasive Ductal Carcinoma , Paget’s disease (Ca Insitu),
Peau d’orange , hard, Painful, not clear border,
Breast cancer 30-menopause
infiltrative, discharge/blood, Retraction of the
nipple,Axillary mass
Fibroadenoma They are solid, round, rubbery lumps that move freely in
< 30 years
mammae the breast when pushed upon and are usually painless.
lumps in both breasts that increase in size and
Fibrocystic
20 to 40 years tenderness just prior to menstrual bleeding.occasionally
mammae
have nipple discharge
Localized breast erythema, warmth, and pain. May be
Mastitis 18-50 years
lactating and may have recently missed feedings.fever.
intralobular stroma . “leaf-like”configuration.Firm,
Philloides smooth-sided, bumpy (not spiky). Breast skin over the
30-55 years
Tumors tumor may become reddish and warm to the touch.
Grow fast.
occurs mainly in large ducts, present with a serous or
Duct Papilloma 45-50 years
bloody nipple discharge
28. Trauma Dada
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Hemotoraks Laserasi • Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok,
pembuluh darah takikardia, Frothy/ bloody sputum.
di kavum toraks • Suara napas menghilang pada tempat yang
terkena, vena leher mendatar, perkusi dada
pekak.
Treatment
ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi
Analgesik kuat
intercostal blocks
Hindari analgesik narkotik
Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah
meningkat
Ventilasi tekanan positif
Hindari barotrauma
Chest tubes bila dibutuhkan
Perbaiki posisi pasien
Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu
mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena
Aggressive pulmonary toilet
Surgical fixation rarely needed
Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade
Gejala Pemeriksaan Fisik
• Takipnea dan DOE, rest • Takikardi
air hunger • Hypotension shock
• Weakness • Elevated JVP with blunted
• Presyncope y descent
• Dysphagia • Muffled heart sounds
• Batu • Pulsus paradoxus
• Anorexia – Bunyi jantung masih
terdengar namun nadi
• (Chest pain) radialis tidak teraba saat
inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
29. Hernia
Tipe Hernia Definisi
Reponible Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga
peritoneum secara manual atau spontan
Irreponible Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum
Inkarserata Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong
hernia
Strangulata Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong
hernia tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah,
demam
Hernia Inkarserata dengan Ileus
Test Keterangan
Finger test Untuk palpasi menggunakan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak dapat
teraba isi dari kantong hernia, misalnya usus atau omentum (seperti karet). Dari
skrotum maka jari telunjuk ke arah lateral dari tuberkulum pubicum, mengikuti
fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus. Dapat dicoba
mendorong isi hernia dengan menonjolkan kulit skrotum melalui anulus
eksternus sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat direposisi atau
tidak. Pada keadaan normal jari tidak bisa masuk. Dalam hal hernia dapat
direposisi, pada waktu jari masih berada dalam anulus eksternus, pasien diminta
mengedan. Bila hernia menyentuh ujung jari berarti hernia inguinalis lateralis,
dan bila hernia menyentuh samping ujung jari berarti hernia inguinalis medialis.
Siemen test Dilakukan dengan meletakkan 3 jari di tengah-tengah SIAS dengan tuberculum
pubicum dan palpasi dilakukan di garis tengah, sedang untuk bagian medialis
dilakukan dengan jari telunjuk melalui skrotum. Kemudian pasien diminta
mengejan dan dilihat benjolan timbal di annulus inguinalis lateralis atau annulus
inguinalis medialis dan annulus inguinalis femoralis.
Thumb test Sama seperti siemen test, hanya saja yang diletakkan di annulus inguinalis
lateralis, annulus inguinalis medialis, dan annulus inguinalis femoralis adalah ibu
jari.
Valsava test Pasien dapat diperiksa dalam posisi berdiri. Pada saat itu benjolan bisa saja
sudah ada, atau dapat dicetuskan dengan meminta pasien batuk atau
melakukan manuver valsava.
30. BPH
BPH
adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel
prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak
diakibatkan sel-sel prostat
memperbanyak diri
melebihi kondisi normal,
biasanya dialami laki-laki
berusia di atas 50 tahun
yang menyumbat saluran
kemih.
NORMAL TIDAK NORMAL
PREVALENSI
Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah
diteliti.
Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria
di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria
diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah
(Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.
Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49
tahun mencapai hampir 15%, usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60
tahun mencapai angka sekitar 43%.
ETIOLOGI
Umur
Pria berumur lebih dari 50 tahun,
kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%.
Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan
itu meningkat menjadi 90%.
Faktor Hormonal
Testosteron –> hormon pada pria.
Beberapa penelitian menyebutkan karena
adanya peningkatan kadar testosteron pada pria
(namun belum dibuktikan secara ilmiah) .
Hipotesis penyebab timbulnya
hiperplasia prostat
Ketidaksei
Teori mbangan Interaksi Berkurangnya
Teori sel
dihidrotest antara stroma- kematian sel
stem
osteron estrogen- epitel prostat
testosteron
PATOFISIOLOGI
Obstruktif :
terjadi ketika faktor
dinamik dan atau Iritatif :
faktor statik hasil dari
mengurangi obstruksi yang
pengosongan sudah berjalan
kandung kemih. lama pada leher
kandung kemih.
Diagnosis of BPH
• Symptom assessment
– the International Prostate Symptom Score (IPSS) is recommended as it is used
worldwide
– IPSS is based on a survey and questionnaire developed by the American Urological
Association (AUA). It contains:
• seven questions about the severity of symptoms; total score 0–7 (mild), 8–19 (moderate),
20–35 (severe)
• eighth standalone question on QoL
• Digital rectal examination(DRE)
– inaccurate for size but can detect shape and consistency
• Prostat Volume determination- ultrasonography
• Urodynamic analysis
– Qmax >15mL/second is usual in asymptomatic men from 25 to more than 60 years of
age
• Measurement of prostate-specific antigen (PSA)
– high correlation between PSA and Prostat Volume, specifically Trantitional Zone
Volume
– men with larger prostates have higher PSA levels 1
CT Scan:
• Tampak ukuran prostat
membesar di atas ramus superior
simfisis pubis.
Derajat BPH, Dibedakan menjadi 4
Stadium :
Stadium 1 :
Obstruktif tetapi kandung kemih masih
mengeluarkan urin sampai habis.
Stadium 4 :
retensi urin total, buli-buli penuh pasien tampak
kesakitan urin menetes secara periodik.
Grade Pembesaran Prostat
Rectal Grading
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
• Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
• Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
• Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
• Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
• Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
Kategori Keparahan Penyakit BPH Berdasarkan
Gejala dan Tanda (WHO)
Keparahan Skor gejala AUA Gejala khas dan tanda-tanda
penyakit (Asosiasi Urologis
Amerika)
Ringan ≤7 • Asimtomatik (tanpa gejala)
• Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s
• Volume urine residual setelah
pengosongan 25-50 mL
• Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Watchful Operasi
waiting
α-adrenergik α-adrenergik
antagonis atau antagonis dan 5-α
5-α Reductace
Reductace inhibitor inhibitor
Hematom Subkapsular
Ginjal Normal
CT Scan non contrast
Trauma ginjal grade II
Hematom Perirenal
Huruf U: menggambarkan
eksravasi urine ke peritoneal
Demonstrating
extravasation of contrast
from the right kidney, and a
functioning left kidney.
KONSERVATIF AWAL
• Trauma minor ( awasi vital • Perdarahan
sign)
• Urinoma
OPERASI • Abses peri renal
Absolut • Urosepsis
• Hematom yg pulsatif • Fistula renokutan
• Laserasi mayor parenkim dan
pembuluh darah
Relatif LATE
• Ekstra vasasi,non viable • Hipertensi
tissue,inkomplet • Hidronefrosis
staging,trombosis arterial
• Urolithiasis
• Pyelonefritis kronik
33. Insufisiensi Vena Kronik
• Penyakit vena kronik atau chronic venous disease
(CVD)
• abnormalitas fungsi sistem vena akibat inkompetensi
katup vena dengan atau tanpa disertai obstruksi aliran
vena, yang mempengaruhi sistem vena superfisial,
sistem vena profunda, atau keduanya.
• Bisa juga diartikan sebagai kondisi medis yang
ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada
tungkai akibat kerusakan pada katup vena dan
gumpalan darah yang menyebabkan darah
terakumulasi di dalam vena
Etiologi Faktor Risiko
Virchow Triads:
(1) venous stasis
(2) activation of blood coagulation
(3) vein damage
Sudoyo A dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. 2015
Patient with suspect symptomatic
Acute lower extremity DVT
negative
Venous duplex scan Low clinical probability observe
No
pregnancy LMWH
OPD LMWH
hospitalisation + warfarin
UFH
Compression treatment
Color duplex scan of DVT
Fraktur Colles
Fraktur Smith
Klasifikasi fraktur galeazzi berdasarkan posisi distal radius:
• Tipe 1: dorsal displacement
• Tipe 2: volar displacement
35. Klasifikasi Syok
Penyebab syok dapat diklasifikasikan • Syok obstruktif (gangguan kontraksi
sebagai berikut: jantung akibat di luar jantung):
• Syok kardiogenik (kegagalan kerja • (a) Tamponade jantung;
jantungnya sendiri)
• (b) Pneumotorak;
• (a) Penyakit jantung iskemik, seperti
infark • (c) Emboli paru.
• (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; • Syok distributif (berkurangnya tahanan
• (c) Gangguan irama jantung. pembuluh darah perifer)
• Syok hipovolemik (berkurangnya • (a) Syok neurogenik;
volume sirkulasi darah):
• (b) Cedera medula spinalis atau batang
• (a) Kehilangan darah, misalnya
perdarahan; otak;
• (b) Kehilangan plasma, misalnya luka • (c) Syok anafilaksis;
bakar; • (d) Obat-obatan;
• (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang • (e) Syok septik;
(misalnya puasa lama), cairan keluar
yang banyak (misalnya diare, muntah- • (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa
muntah, fistula, obstruksi usus dengan gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya
penumpukan cairan di lumen usus). tahanan pembuluh darah perifer.
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Resusitasi Cairan
36. Glaukoma Akut
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
WHO. Guidelines for the Management of Corneal Ulcer at Primary, Secondary & Tertiary Care health facilities in the South-East Asia Region. 2004
Ulkus kornea Bakterial
• Ulkus kornea pneumokokal • Ulkus kornea stafilokokus
– Streptokokus pneumonia – Ulkus sering indolen, mungkin disertai
– Muncul 24-48 jam setelah inokulasi sedikit infiltrat dan hipopion
pd kornea yg abrasi – Ulkus seringkali superfisial
– Khas sebagai ulkus yang menjalar – Obat: vankomisin
dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous).
– Ulkus bewarna kuning keabu- • Ulkus kornea pseudomonas
abuan berbentuk cakram dengan – Pseudomonas aeruginosa
tepi ulkus yang menggaung. – Awalnya berupa infiltrat kelabu/ kuning
– Ulkus cepat menjalar ke dalam dan di tempat yang retak
menyebabkan perforasi kornea, – Terasa sangat nyeri
karena eksotoksin yang dihasilkan
oleh streptokok pneumonia. – Menyebar cepat ke segala arah krn
– Efek merambat ulkus adanya enzim proteolitik dr organisme
serpiginosa akut – Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna
– Obat: mofifloxacin, gatifloxacin, hijau kebiruan
cefazolin – Berhubungan dengan penggunaan soft
lens
– Obat: mofifloxacin, gatifloxacin,
siprofloksasin, tobramisin, gentamisin
Fluorescein test
• Fluorescein staining helps identify a corneal epithelial
defect.
• Step by step :
– A drop of topical anesthetic (proparacaine 0.5%) is applied
directly into the eye or on a fluorescein strip.
– The patient’s lower lid is pulled down, and the fluorescein
strip is lightly touched to the bulbar conjunctiva.
– The dye spreads over the cornea as the patient blinks, and
stains any exposed basement membrane of the
epithelium.
– In normal light, an abrasion may stain yellow
– Illumination with cobalt blue light shows the defect as
green
– Cobalt blue filters are present in many ophthalmoscopes,
as well as in slit lamps and Wood lamps.
• Interpretation
– Traumatic corneal
abrasions typically have
linear or geographic
shapes.
– contact lenses the
abrasion may have
several punctate lesions
that coalesce into a
round, central defect. In normal light
– A branching (dendritic)
appearance suggests
herpetic keratitis and
warrants immediate
referral
– Multiple vertical lines on
the superior cornea
suggest a foreign body
under the upper eyelid
Viewed with cobalt blue light
Contact Lens Related Eye Infection
• Keratitis is the most • Risk Factor :
serious complication of – Extended wear lenses
contact lens wear – Sleeping in your contact
• Approximately 90% of MK lenses
in CL wearers is – Reduced tear exchange
associated with bacterial under the lens
infection – Enviromental factor poor
hygiene
• Symptomps
– Blurry vision, unusual
redness of the eye, pain in
the eye, tearing or
discharge from eye,
fotofobia, foreign body
sensation
Microbacterial keratitis related contact
lens wear
• Etiology :
– The most common bacterial
pathogens associated with MK :
Staphylococcus and Pseudomonas
species more frequent in
temperate climate regions.
– Fungal keratitis is more frequent
in tropical or sub-tropical climates.
Fusaria are the most common
fungal pathogen associated with
CL related fungal keratitis.
– Acanthamoeba keratitis seems to
be a growing clinical problem in CL
wearers,
– viral keratitis is poor understood
Dyavaiah M, et.al Microbial Keratitis in Contact Lens Wearers. JSM Ophthalmol 3(3): 1036 (2015)
Bacterial keratitis Fungal keratitis Acanthamoba
Risk factor - Sleeping with CLs among Possible risk factors of CL storage cases and poor
CL wearers fungal keratitis are ocular hygiene practices such as usage
- Patients with diabetes injury, long-term therapy of homemade saline rinsing
mellitus, dementia or with topical or systemic solutions and rinsing of lenses
chronic alcoholism steroids, with tap water Other risk
appeared to be at higher immunosuppressive agents, factors include CL solution
risk and underlying diseases reuse/topping off, rub to clean
- Trauma was rarely a such as pre-existing corneal lenses, shower wearing lenses,
factor surface abnormality and lens replaced (quarterly), age of
wearing CLs case at replacement (<3
months), extended wear and
lens material type
Clinical The predominant clinical CL associated Fusarium Itching, redness, pain, burning
manifestation features reported in keratitis include central sensation, ring infiltrate in
bacterial keratitis were lesions, paraxial lesions, and corneal, multiple
eye pain and redness the peripheral lesions in the pseudodendritic lesions, loss of
with a decrease in visual eye [31]. Patients with vision. Painless acantamoeba
acuity and stromal Candida infections were keratitis fotofobia but no
infiltration reported to have a severe ocular pain
visual outcome
38. Cataract
• Any opacity of the lens or loss of transparency of the lens that causes
diminution or impairment of vision
• Classification : based on etiological, morphological, stage of maturity
• Etiological classification :
Senile
Traumatic (penetrating, concussion, infrared irradiation, electrocution)
Metabolic (diabetes, hypoglicemia, galactosemia, galactokinase deficiency,
hypocalcemia)
Toxic (corticosteroids, chlorpromazine, miotics, gold, amiodarone)
Complicated (anterior uveitis, hereditary retinal and vitreoretinal disorder, high myopia,
intraocular neoplasia
Maternal infections (rubella, toxoplasmosis, CMV)
Maternal drug ingestion (thalidomide, corticosteroids)
Presenile cataract (myotonic dystrophy, atopic dermatitis)
Syndromes with cataract (down’s syndrome, werner’s syndrome, lowe’s syndrome)
Hereditary
Secondary cataract
• Morphological classification : • Sign & symptoms:
Capsular – Near-sightedness (myopia
Subcapsular shift) Early in the
Nuclear development of age-related
cataract, the power of the
Cortical lens may be increased
Lamellar – Reduce the perception of
Sutural blue colorsgradual
• Chronological classification: yellowing and opacification of
Congenital (since birth) the lens
Infantile ( first year of life) – Gradual vision loss
Juvenile (1-13years) – Almost always one eye is
Presenile (13-35 years) affected earlier than the
other
Senile
– Shadow test +
Klasifikasi morfologi katarak
• Generalised seizures
(include absance
type)
• Unclassified seizures
Pilihan Terapi Sindrom Epilepsi Etosuksimid: tidak tersedia di Indonesia
Level of confidence:
A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin sebagai monoterapi; C: mungkin efektif sebagai
monoterapi; D: berpotensi untuk efektif sebagi monoterapi
Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perdossi. 2014
Farmakoterapi Childhood Absence
Perbandingan Odds Ratio
Asam Valproat vs Ethosuximide 1,26 (95% CI; 0,80 – 1,98)
Ethosuximide vs Lamotrigine 2,66 (95% CI; 1,65 – 4,28)
Asam Valproat vs Lamotrigine 3,34 (95% CI; 2,06 – 5,42)
• Dari table di atas dapat disimpulkan asam valproate dan ethosuximide lebih
efektif dbandingkan lamotrigine dalam tatalaksasa kejang absans.
• Tidak ada perbedaan bermakna antara efektifitas asam valproate dan
ethosuximide.
• Di negara-negara barat ethoximide lebih dipilih dibandingkan asam valproate
karena memiliki efek samping terhadap attentional dysfunction yang lebih
rendah.
• Namun ethosuximide tidak terdapat di Indonesia (secara umum), sehingga
terapi lini pertama untuk kejang absans di Indonesia adalah asam valproate.
Ethosuximide, Valproic Acid, and Lamotrigine in Childhood Absence Epilepsy. Glauser TA, et al. 2010. NEJM, 362(9): 790-799.
Penghentian OAE
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa
kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara
bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa
penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang
penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni,
Transcortical
Nonfluent - Good Good Poor
motor
Wernicke’s
Fluent + Poor Poor Poor
Aphasia
Transcortical
Fluent + Poor Good Poor
sensory
Stroke Embolik
• Asal stroke embolik dapat dari suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi
akibat embolus biasanya menimbulkan deficit neurologik mendadak dengan efek
maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat pasien
beraktivitas. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko besar menderita
stroke hemoragik di kemudian hari.
Stroke Kriptogenik
• Biasanya berupa oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab
yang jelas walaupun telah dilakukan pemeriksaan diagnostic dan evaluasi klinis
yang ekstensif.
45. Spondilitis TB
Fraktur Kompresi/ Depresi (Wedge)
• Karena gaya vertikal di depan garis tengah
vertebra yang menekan tepi anterior vertebra
• Sering terjadi pada torakolumbal Tata Laksana
• Pada usila: akibat jatuh terduduk • < 50% tinggi vertebra anterior:
• Usia muda: jatuh mendarat pada kaki konservatif, korset
• > 50%: operasi
• Fraktur patologis: spondilitis TB/ Osteoporosis
ILM U
PSIK IATR I
46. RETARDASI MENTAL
• Retardasi mental merupakan suatu penurunan
fungsi intelektual secara menyeluruh yang
terjadi pada masa perkembangan dan
dihubungkan dengan gangguan adaptasi sosial
(AAMD).
http://pedsinreview.aappublications.org/content/27/6/204.full
PPDGJ-III
• Ketentuan subtipe retardasi mental meliputi:
– F70: Ringan (IQ 50-69)
– F71: Sedang (IQ 35-49)
– F72: Berat (IQ 20-34)
– F73: Sangat Berat (<20)
Klasifikasi Lama Retardasi Mental:
Moron, Imbisil, Idiot
http://www.campbellmgold.com/archive_esoteric/morons_imbeciles_idiots.pdf
• Masih dapat dididik (educable)
• Komunikasi sehari-hari masih baik
Disomnia Narkolepsi
Gangguan tidur
berhubungan
dengan pernapasan
Mimpi buruk/
nightmare
Disomnia:
Gangguan jumlah tidur Teror tidur/ night
Parasomnia
terror
Parasomnia:
Adanya episode abnormal saat
Somnambulisme/
tidur sleep walking
F51.0 Insomnia non organik
• Menurut DSM-IV, insomnia didefinisikan sebagai keluhan
dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan
tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya
satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau
gangguan dalam fungsi individu.
• Penyebab
a) Kurang tidur (sleep deprivation)
b) Jadwal tidur yang tidak teratur/kacau (chaotic sleep
schedules)
c) Demam (fever)
d) Stres atau tekanan (stress)
e) Kekurangan (deficiency) magnesium
f) Intoksikasi obat atau zat kimia
F51.4 Teror tidur (night terrors)
• Night terror adalah suatu kondisi terbangun dari sepertiga awal tidur malam,
biasanya diikuti dengan teriakan dan tampakan gejala cemas yang berlebihan,
berlangsung selama 1 – 10 menit.
• Gejala
Dalam episode yang khas, penderita akan terduduk di tempat tidur dengan
kecemasan yang sangat dan tampakan agitasi serta gerakan motorik perseverativ
(seperti menarik selimut), ekspresi ketakutan, pupil dilatasi, keringat yang
berlebihan, merinding, nafas dan detak jantung yang cepat.
• Kriteria DSM-IV untuk Night Terror :
– Episode berulang dari bangun secara tiba-tiba dari tidur, biasanya berlangsung pada sepertiga
awal tidur dan dimulai dengan teriakan yang panik.
– Ketakutan yang sangat dan tanda-tanda sistem autonomik yang meningkat seperti takikardi,
bernafas dengan cepat, dan keringat dalam setiap episode.
– Tidak responsif secara relatif terhadap dukungan orang sekitar untuk menenangkan disaat
episode.
– Tidak dijumpainya mimpi yang dapat diingat dan timbulnya amnesia terhadap episode.
– Episode-episode serangan dapat menyebabkan distress tang tampak secara klinis dan ketidak
seimbangan dalam lingkungan, pekerjaan dan dalam aspek lain.
– Gangguan tidak disebabkan oleh efek psikologis suatu zat secara langsung (seperti
penyalahgunaan zat atau untuk medikasi) ataupun dalam suatu kondisi medis umum.
F51.5 Mimpi buruk (nightmare)
• Gangguan ini terdiri dari terjaga dari tidur yang berulang
dengan ingatan terperinci yang hidup akan mimpi
menakutkan.
• Gambaran klinis berikut adalah esensial untuk diagnosis
secara pasti terhadap mimpi buruk, yaitu:
– Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan
mimpi yang menakutkan yang dapat diingat kembali secara
terperinci dan jelas (vivid),
– Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera
sadar dan mampu mengenali lingkungannya.
– Pengalaman mimpi itu dan akibat dari tidur yang terganggu,
menyebabkan penderitaan yang cukup berat bagi individu.
• Psikoterapi dan pengobatan perilaku merupakan metode
pengobatan paling efektif.
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
Keterangan:
CBT: Cognitive Behavior Therapy
ERP:Exposure & Response Prevention
James WD, Berger T, Andrews DE. Disease of the skin clinical dermatology. Elsevier, 2015
Melasma
• Efloresensi
– Makula hiperpigmentosis, umumnya simetris, warna coklat muda-tua,
predileksi di daerah pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu
• Tatalaksana
– Hentikan terapi hormon (bila ada), gunakan sunblock & produk
kecantikan yang lembut
– Hidrokuinon 2-4% (krim atau lotion) selama 2-4 bulan
– Krim/gel/lotion asam azelaik 2x/hari (aman untuk kehamilan)
– Kortikosteroid krim
http://www.dermnetnz.org/colour/melasma.html
MSH: Reseptor Estrogen
• Melanosit mengandung
reseptor estrogen
• Bereaksi terhadap
peningkatan estrogen selama
kehamilan
http://www.celibre.com/difference-between-melasma-and-sun-damage.aspx
Diagnosis Banding: Lentigo
• A lentigo is a small, sharply circumscribed, pigmented macule
surrounded by normal-appearing skin.
• Lentigines may evolve slowly over years, or they may be
eruptive and appear rather suddenly.
• Pigmentation may be homogeneous or variegated, with a color
ranging from brown to black.
• There are several types of lentigo, such as lentigo simplex, solar
lentigo, ink spot lentigo, PUVA lentigo, generalised lentigo
• Freckles will increase in number and darkness with sunlight
exposure, whereas lentigo will stay stable in their color
regardless of sunlight exposure
Histology
• Histologic findings may include hyperplasia of the
epidermis and increased pigmentation of the basal layer.
• A variable number of melanocytes are present; these
melanocytes may be increased in number, but they do not
form nests.
• Lentigo simplex is characterized by a slight-to-moderate
elongation of the rete ridges with melanocyte proliferation
in the basal layer, increased melanin in both the
melanocytes and the basal keratinocytes, and the presence
of melanophages in the upper dermis.
• Ephelides (freckles) have an increase in pigment content in
the basal cell layer, with neither elongated rete ridges nor
increased number of melanocytes.
Diagnosis Banding: Ephelides/ Freckles
• Ephelides (freckles) are tanned macules found on the skin.
• Ephelides are associated with fair skin and red or blonde hair.
• In contrast to solar lentigines, ephelides are not strongly associated with age.
• Commonly, ephelides first appear at age 2 years and increase in number into
young adulthood. In older ages, the number usually decreases.
• Simple ephelides are multiple, small, tanned macules, ranging from 1-5 mm in
diameter, with uniform pigmentation.
• They are most commonly found on sun-exposed areas, such as the nose, the
cheeks, the shoulders, and the upper part of the back.
• The macules may be discrete or confluent.
• Histopathologically in ephelides, the epidermis is unchanged. Specifically, the
number of melanocytes is not increased. However, the melanosomes are larger
than those in the surrounding skin. Cellular atypia of melanocytes have been
noticed in some freckles.
• In contrast, solar lentigines have an increased number of melanocytes in the
basal cell layer.
52. Leukoderma
• Bercak putih pada kulit akibat hilangnya sebagian/ seluruh
pigmen kulit
• Etiologi:
– Kongenital
• Tuberous sclerosis, partial albinism, piebaldism dan Waardenburg syndrome
– Imunologis
• Vitiligo, halo mole
– Post inflamasi
• Luka bakar, dermatitis, psoriasis, cuteneous lupus erythematosus, lichen sclerosus
– Infeksi
• Ptiriasis versicolor, lichen planus, sifilis
– Obat
• EGFR inhibitor, injeksi steroid intralesi
– Okupasi/bahan kimia
http://www.dermnetnz.org/colour/leukoderma.html
Pitiriasis versikolor
• Penyakit jamur superfisial yang kronik
disebabkan Malassezia furfur
• Gejala
– Bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, meliputi
badan, ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka, kulit kepala
yang berambut
– Asimtomatik – gatal ringan, berfluoresensi
• Pemeriksaan
• Lampu Wood (kuning keemasan), KOH 20% (hifa pendek, spora bulat:
meatball & spaghetti appearance)
• Obat
• Selenium sulfida (shampoo), azole, sulfur presipitat
• Jika sulit disembuhkan atau generalisata, dapat diberikan
ketokonazol 1x200mg selama 10 hari
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Ptiriasis Alba
• Dermatitis non-spesifik yang belum jelas penyebabnya
• Diduga akibat infeksi streptococcus.
• Banyak dijumpai pada anak usia 3-16 tahun
• Efloresensi:
- Lesi berbentuk bulat, oval, atau plakat yang tidak teratur
- Warna lesi merah muda atau sama dengan kulit sekitar dan
disertai skuamakemudian eritema hilang dan lesi berupa
depigmentasi dengan skuama halus
• Predileksi: muka, mulut, dahi, pipi, dan dagu
• Tatalaksana: belum ada yang terbukti efektif
- Untuk menghilangkan skuamakrim emolien
- Untuk lesinya preparat ter+dijemur di bawah sinar
matahari
Vitiligo
• Definisi: Hipomelanosis idiopatik ditandai dengan makula putih yang dapat
meluasmengenai bagian tubuh yang memiliki melanosit (kulit, rambut,
mata)
• Etiologi
– Belum diketahui, diduga karena autoimun, neurohumoral, autositotoksik, atau
karena bahan kimiawi
• Gejala
– Makula berwarna putih (apigmentasi) berukuran mm-cm, bulat, lonjong, berbatas
tegas
– Bisa juga makula hipomelanotik (tidak putih sekali)
– Tepi lesi bisa meninggi, eritema dan gataldisebut inflamatoar
• Predileksi
– Area ekstensor tulang (jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis
anterior, dan pergelangan tangan bagian fleksor)
– Lesi bilateral bisa simetris atau asimetris
– Area traumatik
Klasifikasi Vitiligo
• Secara umum ada 2 bentuk
1. Lokalisata
- Fokal: satu atau lebih makula pada satu area tetapi tidak segmental
- Segmental: satu atau lebih makula pada satu area, dengan distribusi
menurut dermatom (co. satu tungkai)
- Mukosal: hanya pada mukosa
2. Generalisata (90% penderita yang generalisata
lesinya bersifat simetris)
- Akrofasial: depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas
dan mukastadium awal vitiligo generalisata
- Vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat
- Campuran: depigmentasi menyeluruh atau hampir di seluruh
tubuhvitiligo total
Vitiligo: Gambaran Klinis
http://www.dermnetnz.org/colour/vitiligo.html
Diagnosis
• Gejala dan temuan klinis: makula
apigmentasi/hipopigmentasi lupa? Baca lagi
slide di atas
• Pemeriksaan histopatologi
- Pemeriksaan Hematoksilin Eosin (HE) tidak
ditemukan sel melanosit
- Reaksi DOPAmelanosit negatif pada daerah
apigmentasi, tapi positif pada daerah hiperpigmentasi
• Pemeriksaan biokimia
- Histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan dopa
tidak ada tirosinase, namun tirosin plasma dan kulit
Prinsip tatalaksana
• Usia di bawah 18 tahun:
- Topikal saja: losio metoksalen 1% diencerkan dalam spiritus dilutus dengan
perbandingna 1:10dioleskan di semua lesi
- Setelah didiamkan 15 menitdijemur dengan UV A selama 10 menit sampai
eritema
- Durasi jemur makin lama makin panjang tapi jangan sampai ada erosi, vesikel,
atau bula
• Usia di atas 18 tahun dan lokalisata
- Sama dengan pengobatan 18 tahun6 bulan tidak ada perubahan stop
• Usia di atas 18 tahun dan generalisata
- Terapi usia <18 tahun + kapsul metoksalen 2x10 mg (sekali telan, bukan dua kali
sehari)2 jam kemudian dijemur
• Alternatif:
- Kortikosteroid potensi kuat: betamethasone valerate 0,1% atau klobetasone
propionat 0,05%
- MBEH (Monobenzylether of Hydroquinon) 20%untuk vitiligo yang lebih dari
50% total luas kulit atau gagal dengan psoralen
53. Skabies
• Penyakit kulit akibat infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var.
hominis
• Termasuk dalam infeksi menular seksual
• Transmisi: langsung (skin to skin) dan tidak langsung
• Kriteria diagnosis:
Menemukan 2 dari 4 tanda di bawah ini
1. Pruritus nokturnal (gatal terutama di malam hari)
2. Menyerang sekelompok orang
3. Ditemukan kanalikulus berwarna putih/keabuan, lurus/berkelok,
panjang 1 cm, di ujung terowongan ada papul/vesikel. Predileksi: sela
jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku luar, lipat ketiak
depan, areola mammae, umbilikus, bokong, genitalia eksterna, perut
bawah
4. Ditemukan tungau pada kerokan kulit
• Terdapat 2 tipe, yaitu Classic Scabies dan Crusted (Norwegian) Scabies
CDC Treatment Guideline for Scabies 2017
Temuan klinis
• Kanalikuli
• Sarcoptes scabiei
Crusted (Norwegian) Scabies
• Merupakan salah satu bentuk berat dari scabies
• Banyak terjadi pada penderita
immunocompromised
• Tampilan klinis: ada krusta tebal dan tidak segatal
skabies yang biasa
• Tipe skabies yang ini sangat menular
Modalitas pemeriksaan
• Menemukan terowongan (kedua teknik sama
sensitifnya)
1. Burrow Ink Test
- Cara kerja: tinta dioleskan pada kulit dan tinta ini akan
melakukan penetrasi ke stratum korneumdibersihkan
dengan alkoholtinta mewarnai terowongan.
- Metode ini sangat efektif terutama juga pada anak-anak dan
penderita dengan jumlah terowongan yang kecil dan sedikit
2. Tetracycline:
- Cara kerja:Tetrasiklin topikal dioleskan di kulit kemudian
dibersihkan dengan alkohollampu wood: terowongan akan
berwarna kehijauan
- Metode ini lebih disukai karena colorless dan bisa
mendeteksi area kulit yang luas
Modalitas pemeriksaan
(lebih advanced dan butuh tenaga terlatih)
• Skin scraping
- Cara kerja: kulit yang ada terowongan dikerok dengan
scalpeldiperiksa di mikroskopditemukan 1-2 telur atau
tungau
- Hasil sering false negative
• Adhesive tape test
- Cara kerja: beberapa tape ditaruh di kanalikuli kemudian
dilepaskan tiba-tiba dan diperiksa di bawah mikroskop
- Yang dicari sama seperti skin scraping, namun sensitivitas tes
ini lebih bagus dari skin scraping
• Dermatoscopy
- Lebih akurat dibandingkan pemeriksaan adhesive tape test,
yaitu sensitivitasnya 83%
- Butuh tenaga terlatih
Prinsip Tatalaksana
• Classic Scabies
- DOC: Permethrine cream 5% (anak usia<2 bulan tidak boleh)
- Crotamiton lotion/cream 10% (tidak aman untuk anak)
- Sulfur (5-10%) salep aman untuk anak usia <2 bulan
- Lindan lotion 1% pilihan terakhir karena efek sampingnya yang banyak
- Ivermectin 200 µg/kgBB/pemberian, diberikan 2 kali dengan jarak antar
pemberian 1 minggu Jika gagal dengan topikal
• Crusted scabies
- Ivermectin 200 µg/kgBB/pemberian, pembagian dosis berdasarkan
derajat keparahan dan perlu dikombinasi dengan topikal
- Permethrin cream 5%
- Benzyl benzoate 25%
- Keratolitic cream terapi adjuvan
CDC Treatment Guideline for Scabies 2017
Antiskabies
Drugs Possible adverse Effect Efektif
• Perbandingan
panjang:lebar kepala
BRUGIA 2:1
• Inti tidak teratur
M A L AY I
• Inti di ekor 2-5 buah
• Warna sarung merah
muda
• Perbandingan
panjang:lebar kepala
BRUGIA 3:1
TIMORI • Inti tidak teratur
• Inti di ekor 5-8 buah
• Sarung tidak berwarna
Distribusi Cacing Filaria di Indonesia
Subdit Fiariasis dan Kecacingan, Direktorat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
Filariasis: Pemeriksaan dan Terapi
• Pemeriksaan penunjang:
– Deteksi mikrofilaria di darah
– Deteksi mikrofilaria di kiluria dan cairan hidrokel
– Antibodi filaria, eosinofilia
– Biopsi KGB
• Pengobatan:
– Tirah baring, elevasi tungkai, kompres
– Antihelmintik (ivermectin, DEC, albendazole)
– DEC: 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari
– Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria: 150 ug/kgBB SD/6 bln, atau /tahun bila
dikombinasi dengan DEC SD
– DEC + Albendazol 400 mg/tahun selama 5 tahun
– Suportif
– Pengobatan massal dengan albendazole + ivermectin (untuk endemik
Onchocerca volvulus) atau albendazole + DEC (untuk nonendemik Onchocerca
volvulus) guna mencegah transmisi
– Bedah (untuk kasus hidrokel/elefantiasis skrotal)
– Diet rendah lemak dalam kasus kiluria
Parasitologi Kedokteran, FKUI
55. Pioderma
• Folikulitis (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut yang
ditandai dengan papul eritema perifolikuler dan rasa gatal atau
perih.
• Terapi:
• Antibiotika topikal:
• DOC: mupirocin (Bactroban), basitrasin, asam fusidat (Fucidin) dan
retapamulin (Altargo) 2x/hari selama 7 hari
• Alternatif: salep/krim klindamisin, gentamisin
• Antibiotika oral:
• Sefalosforin, amoxiclav, cloxacillin, dicloxaxillin, alternatif: eritromisin,
klindamisin
• DOC anak: Cephalexin http://emedicine.medscape.com/article/965254-overview
Topical Antibiotics for Impetigo
M E D I C AT I O N INSTRUCTIONS
Fusidic acid 2%
Apply to affected skin three times daily for seven to 12 days
ointment†
Apply to affected skin three times daily for seven to 10 days;
Mupirocin 2% cream
reevaluate after three to five days if no clinical response
(Bactroban)‡
Approved for use in persons older than three months
http://www.aafp.org /afp/2014/0815/p229.html
Ektima
• Merupakan salah satu bentuk pioderma yang disebabkan oleh bakteri
golongan streptokokus beta hemolitikus
• Predileksinya terutama pada area dorsal atau telapak kaki
• Lesi berawal dari vesikel atau vesicopustule multipel yang semakin
meluas hingga membentuk krusta yang tebal. Saat krusta ini diangkat
akan tampak ulkus dangkal dengan tepi meninggi
Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft tissue infections: 2014 update
Tatalaksana spesifik ektima
Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft tissue infections: 2014 update
Erisipelas
• Penyakit infeksi akut oleh Streptococcus
beta hemolyticus, menyerang epidermis
dan dermis
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Gambaran Klinis
Lipworth A.D. et al. Non-necrotozong Infections of The Dermis and Subcutaneous Fat : Cellulitis and Erysipelas. Ftizpatrickk’s Dermatology in General Medicine. Eightth
edition. 2012
Patogenesis
Manifestasi Klinis
Infeksi tersebar cepat
sampai ke sistem
limfatik
Cellulitis and erysipelas manifest as areas of skin erythema, edema, and warmth; they
develop as a result of bacterial entry via breaches in the skin barrier. Cellulitis involves
the deeper dermis and subcutaneous fat; in contrast, erysipelas involves the upper
dermis, and there is clear demarcation between involved and uninvolved tissue. A skin
abscess is a collection of pus within the dermis or subcutaneous space.
ILMU
K E S E H ATAN
ANAK
56-57. Terminologi Diare
• Diare akut: berlangsung < 1 • Disentri: diare mengandung
minggu, umumnya karena infeksi lendir dan darah
– Diare akut cair • Diare primer: infeksi memang
terjadi pada saluran cerna
– Diare akut berdarah
(misal: infeksi Salmonella)
• Diare berlanjut: diare infeksi yang • Diare sekunder: diare sebagai
berlanjut > 1 minggu gejala ikutan dari berbagai
• Diare Persisten: Bila diare penyakit sistemik seperti pada
melanjut tidak sembuh dan bronkopnemonia, ensefalitis
melewati 14 hari atau lebih dan lain-lain
• Diare kronik: diare karena sebab • Diare Berdasarkan
Patofisiologi
apapun yang berlangsung 14 hari – Osmotic diarrhea
atau lebih – Secretoric diarrhea
– Inflammatoy/ exudative
diarrhea
– Altered motility diarrhea
Gejala dan tanda dehidrasi
Klasifikasi diare
pada anak
Tanpa dehidrasi
Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat
Terapi zinc
Syok hipovolemik
pada anak
• Jika diare sangat massif
sehingga volume loss
sangat tinggi, anak dapat
mengalami syok
hipovolemik
• Tatalaksana syok akibat
diare pada anak tidak
menggunakan rencana
terapi C melainkan
algoritma tatalaksana
syok hipovolemik anak
58. Rickets
• Rickets merupakan kelainan yang terjadi akibat gangguan mineralisasi matriks
tulang di lempeng pertumbuhan, dengan pertumbuhan tulang yang terus
berlanjut.
• Mudahnya, tulang terus bertumbuh, namun mineralisasinya kurang sehingga
tulang tidak tebal dan “lembek”.
• Karena “lembek” inilah maka tulang cenderung menjadi membengkok, terutama
pada area weight bearing (ekstremitasi bawah). Bengkok pada tulang ekstremitas
bawah ini dapat menjadi berbentuk O (pediatric genu varum/bow legged) atau X
(pediatric genu valgum/knock knees)
• Selain itu, tulang yang terkena juga tidak hanya pada ekstremitas bawah namun
bisa juga pada area lain
Etiologi
• Etilogi utama
berasal dari
defisiensi
vitamin D dan
kurangnya
paparan
terhadap sinar
matahari
• Hal ini
dikarenakan
regulasi kalsium
pada tubuh
dipengaruhi oleh
kedua kondisi ini
Nelson Pediatrics
Nelson Pediatrics
Gejala klinis
Nelson Pediatrics
Windswept deformity
Toddlers: Bowed Older children: Knock- (combination of valgus
legs (genu varum) knees deformity of 1 leg with varus
(genu valgum) deformity of the other leg)
Harrison groove
Anterior bowing of
the tibia
Frontal bossing
Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i ) sd 2 bul an 29 har i (89 har i ) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices /kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
The difference to 2017
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan
Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)
bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12
1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6 bulan
2017
Polio: lahir, 2,4,6 Hep .B: sama dengan
bulan 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
DPT: 2,4,6 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan
Plus2 : HiB
Trofozoit
Kista
Trofozoit:
- Pear shaped
Flagel Inti - Sepasang
nukleusseperti mata
- Pada bagian ventral
Posterior tajam terdapat alat
isapuntuk menempel
di mukosa usus
Giardiasis
• Etiologi: Giardia interstinalisdikenal sebagai Giardia
lamblia (protozoa)
Akut: berbau, mual, distensi
• Gejala klinis: abdomen, demam, tidak ada darah
dalam tinja
Dapat asimptomatik
Diare bisa menjadi akut/kronik
Ekskresi lemak meningkatsteatorrhea Kronik: nyeri dan distensi
• Terapi: abdomen, tinja berlendir, dan BB
turun
DOC: metronidazole 2x500 mg selama 5-7hari (anak
15 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 5 hari)
Alternatif: Tinidazole 2 gr PO SD (anak: 50 mg/kgBB
PO SD)
62. Bronkiolitis
• Infection (inflammation) at
bronchioli
• Bisa disebabkan oleh
beberapa jenis virus, yang
paling sering adalah
respiratory syncytial virus
(RSV)
• Virus lainnya: influenza,
parainfluenza, dan
adenoviruses
• Predominantly < 2 years of age
(2-6 months)
• Difficult to differentiate with
pneumonia and asthma
Bronkhiolitis
Bronchiolitis
Bronchiolitis:
Management
Mild disease
• Symptomatic therapy
Moderate to Severe diseases
• Life Support Treatment : O2,
IVFD
• Etiological Treatment
– Anti viral therapy (rare)
– Antibiotic (if etiology
bacteria)
• Symptomatic Therapy
– Bronchodilator: controversial
– Corticosteroid: controversial
(not effective)
Tatalaksana Bronkiolitis
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.
Sari Pediatri
Pilihan lain: Pertusis
• Stadium:
Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea, demam
subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi biasa. Penularan terjadi
dalam stadium ini.
Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang lama, bisa
diikuti dengan whooping atau stadium apnea. Bisa disertai
muntah.
Stadium konvalesens: batuk kronik hingga beberapa minggu
• Diagnosis :
Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu,
terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal.
Tanda diagnostik : Batuk paroksismal diikuti whoop saat
inspirasi disertai muntah, perdarahan subkonjungtiva, riwayat
imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami henti napas
sementara/sianosis
Pilihan lain: Bronchitis
• Merupakan terminologi untuk inflamasi bronkial
nonspesifik
• Kondisi ini merupakan suatu sindroma dengan
berbagai macam etiologi, namun terutama infeksi
virus
• Bronchitis ini terbagi menjadi 2, yaitu akut dan
kronik
• Dikatakan bronchitis akut jika batuk produktif
terjadi <3 bulan, sedangkan kronik jika ≥3 bulan
setiap tahun selama ≥2 tahun
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Bronchitis akut
• Gejala yang terdapat pada bronchitis akut berupa demam dan malaise, yang
terjadi setelah atau tanpa didahului oleh infeksi saluran napas atas (ISPA).
• Jika diawali oleh ISPA, biasanya setelah 3-4 hari anak akan mulai mengalami
batuk kering yang semakin lama semakin sering dan mulai menjadi produktif
(berdahak). Batuk kemudian akan bertahan selama 1-3 minggu.
• Dahak yang dihasilkan awalnya berwarna keputihan dan lama kelamaan bisa
menjadi purulen. Karena anak cenderung menelan dahaknya, maka seringkali
bisa terjadi emesis.
• Batuk yang semakin sering pada anak juga meningkatkan kerja dari otot-otot
dada sehingga anak seringkali juga mengalami nyeri pada area dada selama 5-
10 hari, namun keluhan ini akan perlahan-lahan hilang apabila batuk juga sudah
berkurang.
• Seluruh episode ini biasanya akan hilang setelah 2 minggu, atau bisa bertahan
sampai lebih dari 3 minggu namun <3 bulan.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Bronchitis akut
• Pemeriksaan fisik pada beberapa hari pertama dapat tidak ditemukan
kelainan, namun saat sudah semakin berkembang (batuk menjadi
lebih sering dan produktif) dapat ditemukan rhonki maupun
wheezing.
• Pada pemeriksaan radiologi thorax juga tidak spesifik, hanya
menunjukkan peningkatan corakan bronkovaskular
• Hal yang perlu digarisbawahi untuk bronchitis adalah menyingkirkan
kemungkinan lain terlebih dahulu (pneumonia, asma, dll)
• Tatalaksana: tidak ada terapi spesifik, hanya konservatif. Dapat
diberikan antibiotik jika memang terbukti ada infeksi bakteri.
Penggunaan antitusif dapat digunakan namun pertimbangkan
kemungkinan pembentukan supurasi oleh karena pengeluaran
sputum ditekan
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Bronchitis kronik
• Kondisi ini bisa berasal dari bronchitis akut yang berkelanjutan, atau
berupa gejala episodik yang terjadi ≥3 bulan setiap tahun selama ≥2
tahun
• Kondisi ini biasanya memiliki predisposisi berupa rokok (pada kasus ini
mungkin orang tua atau orang sekitar anak merokokanak menjadi
perokok pasif) atau bisa disebabkan oleh faktor lain seperti polusi udara,
paparana terhadap kondisi lingkungan tertentu, atau infeksi berulang.
• Karena kondisi-kondisi di atas jarang terjadi pada anak, maka sebenarnya
istilah ini masih kontroversial jika diaplikasikan pada kasus anak.
• Oleh karena itu, untuk menegakkan diagnosis ini perlu dipastikan bahwa
tidak ada asma, bronkiektasis, cystic fibrosis, atau bronchopulmonary
dysplasia pada anak.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Pilihan lain: pneumonia
• Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat.
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest
indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy,
vomiting and diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales
(ronchi)
Patofisiologi
RESOLUTION
Sumber : Rubin E, Resiner H. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th edition. New
York : Lippincot ; 2014.
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis
Manifestasi Klinis
• Infeksi umum demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
• Gangguan respiratori batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merintih, dan sianosis.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY
Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
63. Spina bifida
• Spina bifida merupakan malformasi spinal cord
yang disebabkan oleh defek dari neural tube
• Penutupan neural tube berlangsung
sejak usia gestasi 17 hari dan sudah
menutup sempurna sebelum 30 hari
• Etiologimultifaktorial
Genetik
Faktor lingkungan (radiasi, teratogen)
Nutrisi: defisiensi asam folat
DM tipe 2 dan DM gestasional
Obesitasi maternal
Hipertermia
Obat antiepilepsi selama kehamilan (as
valproat dan carbamazepine)as. Valproat
lebih teratogen dibandingkan CBZ
Tipe spina bifida
Gedzelman E, Meador KJ. Antiepileptic drugs in women with epilepsy during pregnancy. Ther Adv Drug Saf (2012) 3(2) 71–87
Hill DS, Wlodarczyk BJ, Palacios AM, Finnell RF. Teratogenic effects of antiepileptic drugs. Expert Rev Neurother. 2010
Recommendation
• Because there are no clear data indicating that any drug is without risk in
pregnancy, we suggest that patients planning pregnancy should be managed
on the most effective antiseizure drug for their seizures (Grade 2C).
• As an exception, valproate should be avoided if an alternate effective
antiseizure drug regimen can be found (Grade 1B).
• Monotherapy and the lowest possible drug dose may limit risk of
teratogenicity.
• The antiseizure drug regimen should be optimized six months prior to planned
conception.
• We suggest NOT making changes to antiseizure drug regimen for the purpose
of reducing teratogenic risk in established pregnancy (Grade 2C).
• Folic acid supplementation (0.4 to 0.8 mg per day) is recommended for all
women of child bearing potential (Grade 1A).
• Folic acid supplementation prior to conception and during the first trimester
decreases risk for congenital neural tube defects
Obat Pregnancy Class Efek samping
Benzodiazepi Pregnancy If benzodiazepines (especially those with a long half-life)
ne category: D are taken in late pregnancy, they can cause neonatal
respiratory depression, poor temperature regulation, poor
feeding and hypotonicity.
There is a risk of neonatal withdrawal symptoms and
craniofacial anomalies.
Mefenamat Pregnancy Higher cases of spontaneous abortions
Category: C; D if Exposure near term can cause premature closure of ductus
used for arteriosus
prolonged periods
or near term
Etosukdimide Pregnancy Ethosuximide crosses the placenta. Birth defects have been
category: C reported in infants. In general, polytherapy may increase
the risk of malformations; monotherapy with the lowest
effective dose is recommended
Trimetoprim Pregnancy Risk Trimethoprim crosses the placenta and can be detected in
Factor C; the fetal serum and amniotic fluid.
Trimetoprim- An increased risk of congenital malformations (neural tube
sulfometoxazole defects, cardiovascular malformations, urinary tract defects,
D oral clefts, club foot) following maternal use of
sulfamethoxazole and trimethoprim during pregnancy has
been observed in some studies.
64. Syok Anafilaktik pada Anak
Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam
(pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.
Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
SY S T E M S I G N S A N D SY M P TO M S
Fussiness, irritability, drowsiness, lethargy, reduced level of
General/CNS
consciousness, somnolence
IMPROVING
DISCHARGE/FOLLOW-UP PLANNING
Ensure that resources at home are adequate.
Reliever: continue as needed
Controller: consider need for, or adjustment of, regular controller
Check inhaler technique and adherence
Follow up: within 1-7 days
Provide and explain action plan
FOLLOW UP VISIT
Reliever: Reduce to as-needed
Controller: Continue or adjust depending on cause of exacerbation, and duration of need for extra salbutamol
Risk factors: Check and correct modifiable risk factors that may have contributed to exacerbation, including
inhaler technique and adherence
Action plan: Is it understood? Was it used appropriately? Does it need modification?
Schedule next follow up visit
Symptoms
Exacerbations
Side-effects
Asthma medications
Parent satisfaction
Non-pharmacological strategies
Treat modifiable risk factors
STEP 4
STEP 3
PREFERRED STEP 1 STEP 2 Continue
CONTROLLER controller
CHOICE Double & ref er f or
‘ low dose’ specialist
Daily low dose ICS ICS assessment
Other Leukotriene receptor antagonist (LTRA) Low dose ICS + LTRA Add LTRA
controller Intermittent ICS Inc. ICS
frequency
options Add intermitt ICS
CONSIDER Infrequent Symptom pattern consistent with asthma Asthma diagnosis, and Not well-
viral wheezing and asthma symptoms not well-controlled, or not well-controlled on controlled
THIS STEP FOR
and no or few ≥3 exacerbations per year low dose ICS on double
CHILDREN interval ICS
WITH: symptoms Symptom pattern not consistent with asthma but
wheezing episodes occur frequently, e.g. every
First check diagnosis, inhaler skills,
6–8 weeks.
adherence, exposures
Give diagnostic trial for 3 months.
ALL CHILDREN
KEY
ISSUES • Assess symptom control, future risk, comorbidities
• Self-management: education, inhaler skills, written asthma action plan, adherence
• Regular review: assess response, adverse events, establish minimal effective treatment
• (Where relevant): environmental control for smoke, allergens, indoor/outdoor air pollution
Is it asthma?
ASSESS the PATIENT Risk factors for asthma-related death?
Severity of exacerbation?
START TREATMENT
TRANSFER TO ACUTE
SABA 4–10 puffs by pMDI + spacer,
repeat every 20 minutes for 1 hour CARE FACILITY
WORSENING While waiting: give inhaled SABA
Prednisolone: adults 1 mg/kg, max.
50 mg, children 1–2 mg/kg, max. 40 mg and ipratropium bromide, O2,
Controlled oxygen (if available): target systemic corticosteroid
saturation 93–95% (children: 94-98%)
IMPROVING
FOLLOW UP
Reliever: reduce to as-needed
Controller: continue higher dose for short term (1–2 weeks) or long term (3 months), depending
on background to exacerbation
Risk factors: check and correct modifiable risk factors that may have contributed to exacerbation,
including inhaler technique and adherence
Action plan: Is it understood? Was it used appropriately? Does it need modification?
NO
YES
Symptoms
Exacerbations
Side-effects Asthma medications
Patient satisfaction Non-pharmacological strategies
Lung function Treat modifiable risk factors
STEP 5
STEP 4
GINA 2017, Box 3-5 (2/8) (upper part) © Global Initiative for Asthma
Stepwise management – additional components
UPDATED
2017
GINA 2017, Box 3-5 (3/8) (lower part) © Global Initiative for Asthma
Diagnosis and management of asthma in adults,
adolescents and children 6 years and older. GINA
GINA assessment of asthma control
• Diagnosis
– Klinis
– Pewarnaan gram
• Komplikasi
– Anoksia otak
– fraktur vertebra
– Aspirasi, penumonia
– Low intake, Dehidrasi
– Disfungsi otonom: hiper/hipotensi, hiperhidrosis
– Kematian
Medikamentosa Kehamilan: TT
• Didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis dan status) imunisasi TT
yang telah diperoleh selama hidupnya
• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT
• Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan
dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut
• Tirah baring,
• Oksigen, bersihkan jalan nafas secara teratur,
• Cairan infus dan diet per sonde
• Monitoring kesadaran, TTV, trismus, asupan /
keluaran, elektrolit
• Konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
Pencegahan komplikasi
a
Candida albicans
Prinsip tatalaksana
Gejala klinis DOC Alternatif
Leukoplakia Eritroplakia
• Eritroleukoplakia
68. Osmotic Diarrhea
IN THE SMALL INTESTINE
Ingestion of non-absorbable solutes
• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Measles Virus Taxonomy
3D graphical representation of a
https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html spherical-shaped, measles virus
particle
Morbili
• Etiologi: Morbilivirus dari • Prodromal
family Paramyxoviridae – Hari 7-11 setelah eksposure
• Kelompok yang rentan: – Demam, batuk,
– Bayi dan anak usia <5 tahun konjungtivitis,sekret hidung.
– Dewasa >20 tahun
(cough, coryza, conjunctivitis
3C)
– Wanita hamil
– Imunodefisiensi (HIV, leukemia) • Enanthem ruam
• Musim: akhir musim dingin/ kemerahan
musim semi • Koplik’s spots muncul 2 hari
• Inkubasi: 8-12 hari sebelum ruam dan bertahan
selama 2 hari.
• Masa infeksius: 1-2 hari sblm
prodromal s.d. 4 hari setelah
muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak) – manifestasi klinis, tanda
• Diare (1 dari 10 penderita campak) patognomonik bercak Koplik
• Bronchopneumonia (komplikasi – isolasi virus dari darah, urin, atau
berat; 1 dari 20 anak penderita sekret nasofaring
campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 antibodi 2 minggu setelah
dari 1000 anak penderita campak) timbulnya penyakit
• Pericarditis
• Subacute sclerosing
panencephalitis – late sequellae
due to persistent infection of the
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat
sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan
vaksin campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Rubella
• Arthralgias/arthritis pada
org dewasa
• Peripheral neuritis
• encephalitis
• thrombocytopenic purpura
(jarang)
• Congenital rubella
syndrome
– Infeksi pada trimester
pertama
– IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
Amenorrhea Sekunder Tidak terdapat menstruasi selama 3 bulan pada wanita dengan sklus
haid teratur, atau 9 bulan pada wanita dengan siklus menstruasi tidak
teratur
Oligomenorea Menstruasi yang jarang atau dengan perdarahan yang sangat sedikit
• Nutrisi
– Penambahan kalori 300 Kal/Hari dan air 400 ml/hari
• Dosis
– Pencegahan defek pada tube neural: Min. 400 mcg/hari
– Defisiensi asam folat: 250-1000 mcg/hari
– Riwayat kehamilan sebelumnya memiliki komplikasi defek
tube neural atau riwayat anensefali: 4mg/hari pada sebulan
pertama sebelum kehamilan dan diteruskan hingga 3 bulan
setelah konsepsi
• Memenuhi spesifikasi
– Setiap tablet mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental
dan 0,25 mg asam folat
• Tujuan
– Pencegahan preeklampsia bagi semua ibu hamil, terutama
yang memiliki risiko tinggi (riwayat preeklampsia di
kehamilan sebelumnya, diabetes, hipertensi kronik,
penyakit ginjal, penyakit autoimun, atau kehamilan ganda)
• Dosis
– 1,5-2 g/ hari
• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT
• Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan
dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut
WHO laboratory manual for the Examination and processing of human semen 5th ed. 2010
• The motility of each spermatozoon is graded as follows:
– Progressive motility (PR): spermatozoa moving actively, either
linearly or in a large circle, regardless of speed.
– Non-progressive motility (NP): all other patterns of motility with
an absence of progression, e.g. swimming in small circles, the
flagellar force hardly displacing the head, or when only a
flagellar beat can be observed.
– Immotility (IM): no movement.
• Gejala/Tanda:
– Riwayat terlambat
haid/gejala & tanda hamil
– Akut abdomen
– Perdarahan pervaginam
(bisa tidak ada)
– Keadaan umum: bisa baik
hingga syok
– Kadang disertai febris
KET: Patofisiologi Nyeri
KET
KET
Darah mengiritasi
peritoneum
Mendesak struktur
sekitar
Saraf simpatis bekerja
Nyeri
Nyeri
KET: Kuldosentesis
Tatalaksana Khusus
• Laparotomi: eksplorasi kedua ovarium dan tuba fallopii
• Jika terjadi kerusakan berat pada tuba, lakukan salpingektomi (eksisi bagian tuba yang
mengandung hasil konsepsi)
• Jika terjadi kerusakan ringan pada tuba, usahakan melakukan salpingostomi untuk
mempertahankan tuba (hasil konsepsi dikeluarkan, tuba dipertahankan)
• Sebelum memulangkan pasien, berikan konseling untuk penggunaan
kontrasepsi. Jadwalkan kunjungan ulang setelah 4 minggu
• Atasi anemia dengan pemberian tablet besi sulfas ferosus 60 mg/hari
selama 6 bulan
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
76. Hipertensi dalam kehamilan
Definisi
- Tekanan darah ≥140/90 mmHg
- Pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4-6 jam
Faktor predisposisi plasenta
- Gemelli - Faktor herediter
- Penyakit trofoblas - Riwayat preeklampsia
- Hidroamnion sebelumnya
- DM - Obesitas sebelum hamil
- Gangguan vaskuler
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi pada Kehamilan: Patofisiologi
• Faktor Risiko:
– Kehamilan pertama
– Kehamilan dengan vili
korionik tinggi (kembar
atau mola)
– Memiliki penyakit KV
sebelumnya
– Terdapat riwayat genetik
hipertensi dalam
kehamilan
Tatalaksana:
- Jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg
terapi antihipertensi
- Kontraindikasi: ACE-I, ARB, dan thiazide
- Suplementasi kalsium 1.5-2 gram per hari + aspirin 75 mg/hari
mulai dari usia kehamilan 20 minggu
- Jika HR janin <100 x/menit atau > 180x/menit tatalaksana
sebagai gawat janin
- Jika tidak ada komplikasi tunggu sampai aterm
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Gestasional
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil
- Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan
trombositopenia
- Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal
setelah melahirkan
Tatalaksana
- Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin
setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai
preeklampsia
- Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin
- Jika TD stabil bisa persalinan normal
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Preeklamsia
• Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi
pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya
gangguan organ.
• Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein
urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan
gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia, yaitu:
– Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
– Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
– Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
– Edema Paru
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Diagnosis dan Tatatalaksana Preeklamsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Feto Maternal 2016
– Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala,
gangguan visus
– Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda
gangguan sirkulasi uteroplasenta :
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan adanya absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
Pre Eklampsia Berat & Eklampsia
• Pencegahan dan Tatalaksana Kejang
– Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD
• MgSO4
– Eklampsia untuk tatalaksana kejang
– PEB pencegahan kejang
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia
kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin
minimal 0,5 ml/kgBB/jam
• Antihipertensi
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
77. KONTRASEPSI
Vasektomi
Permanen
Tubektomi
IUD
Berbantu
Kondom/
Barrier
diafragma
Spermisida
Metode Sementara
Kontrasepsi
Implan
MAL
Hormonal Pil/suntik
Pantang
Alami
berkala
Kondar
Senggama
terputus
KB: Metode Alami
• Menghitung masa subur
– Periode: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi terpanjang -
11)
– Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi
• Menghalangi bertemunya
sperma dan sel telur
• Efektivitas: 98 %
• Mencegah penularan PMS
• Efek samping
– Dapat memicu reaksi alergi
lateks, ISK dan keputihan
(diafragma)
• Harus sedia sebelum
berhubungan
Kontrasepsi Hormonal
No Jenis kontrasepsi Mekanisme Kerja
1 Pil Kombinasi menekan ovulasi, mencegah implantasi,
mengentalkan lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh
sperma, dan menganggu pergerakan tuba sehingga
transportasi telur terganggu
2 Pil progestin Supresi ovulasi, menekan puncak LH dan FSH,
meningkatkan kekentalan lendir servix, menurunkan
jumlah dan ukuran kelenjar endometrium, menurunkan
motilitas cilia di tuba falopi
3 Suntik kombinasi menekan ovulasi, mengentalkan lendir
serviks sehingga penetrasi sperma terganggu, atrofi pada
endometrium sehingga implantasi terganggu, dan
menghambat transportasi gamet oleh tuba. Suntikan ini
diberikan sekali tiap bulan
4. Suntik Progestin Kerja utama mencegah ovulasi dengan menekan FSH dan
LH serta LH surge
• Suntikan Progestin
– Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo Provera)
150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan
– Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat)
200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2 bulan
Metode Hormonal: Implan
• Implan (Saifuddin, 2006) • Cara Kerja
– Norplant: 36 mg levonorgestrel dan lama • menekan ovulasi,
kerjanya 5 tahun. mengentalkan lendir
serviks, menjadikan
selaput rahim tipis dan
atrofi, dan mengurangi
– Implanon: 68 mg ketodesogestrel dan lama transportasi sperma
kerjanya 3 tahun.
• Efek Samping
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
– Jadena dan Indoplant: 75 mg
levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun
• Kontra Indikasi
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
KB: Metode IUD
• Cara Kerja
– Menghambat kemampuan sperma
untuk masuk ke tuba falopii
– Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum
mencapai kavum uteri
– Mencegah implantasi hasil konsepsi
kedalam rahim
• Efek Samping
– Nyeri perut, spotting, infeksi, gangguan
haid
• Kontra Indikasi
• Hamil, kelainan alat kandungan bagian dalam, perdarahan vagina yang tidak diketahui,
sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), tiga bulan terakhir sedang
mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik, penyakit trofoblas yang
ganas, diketahui menderita TBC pelvik, kanker alat genital, ukuran rongga rahim
kurang dari 5 cm
EPO. (2008). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Diambil pada tanggal 20 Mei 2008 dari
http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2
AKDR: Profil
• Sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang (dapat
sampai 10 tahun: CuT 380A)
• Haid menjadi lebih lama dan lebih banyak
• Pemasangan dan pencabutan memerlukan pelatihan
• Dapat dipakai oleh semua perempuan usia reproduksi
• Tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar pada
infeksi menular seksual (IMS)
• Jenis
• Copper-releasing: Copper T 380A, Nova T, Multiload 375
• Progestin-releasing: Progestasert, LevoNova (LNG-20), Mirena
• AKDR CuT-380A
• Kecil kerangka dari plastik yang fleksibel, berbentuk huruf T diselubungi
oleh kawat halus yang terbuat tembaga (Cu)
• Tersedia di Indonesia dan terdapat di mana-mana
• AKDR lain yang beredar di Indonesia ialah NOVA T (Schering)
Mekanisme Kerja
• Ada beberapa mekanisme cara kerja AKDR:
– Timbulnya reaksi radang radang lokal di dalam cavum uteri sehingga implantasi sel telur yang
telah dibuahi terganggu.
– Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan terhambatnya implantasi.
– Immobilisasi spermatozoa saat melewati cavum uteri serta merusak sperma
• Copper IUDs work by disrupting sperm motility and damaging sperm (Copper
acts as a spermicide within the uterus)
• The presence of copper increases the levels of copper ions, prostaglandins, and
white blood cells within the uterine and tubal fluids.
• Ova from copper IUD users were distinctive for being without vitellus
(abnormal) and surrounded by macrophages
• Copper can also alter the endometrial lining, this alteration can prevent
implantation
AKDR: Informasi Umum
• AKDR bekerja langsung efektif segera setelah pemasangan
• Jelaskan pada klien jenis AKDR apa yang digunakan, kapan akan dilepas
dan berikan kartu tentang informasi semua ini
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.iman/material/akdr.pdf
AKDR
Alat kecil yang dipasang dalam rahim • Rangka plastik yang lentur dengan lengan tembaga dan benang.
• Jika ragu, pakai daftar periksa pada Tambahan 1 atau lakukan tes
Kemungkinan hamil kehamilan.
Baru saja melahirkan • Pemasangan AKDR hanya boleh dilakukan sebelum 48 jam dan
(2 – 28 hari pasca persalinan) setelah 4 minggu pasca persalinan.
Menstruasi yang tak biasa • Menstruasi tak biasa harus diases sebelum memasang AKDR.
Infeksi atau masalah dengan organ
• Setiap infeksi harus diobati sepenuhnya sebelum AKDR dipasang.
kewanitaan:
— IMS atau Penyakit Radang Panggul dalam 3 • Obati penyakit radang panggul ataupun IMS dan tunggu 3 bulan
bulan terakhir? sebelum memasang AKDR. Anjurkan agar pasangan juga diobati.
— HIV atau AIDS? • Jika HIV atau AIDS pakai AKDR hanya jika tidak ada metode lain
yang cocok.
— Infeksi setelah melahirkan atau keguguran
— Kanker pada organ kewanitaan atau TB • Jangan memasang AKDR jika klien memiliki kanker rahim,
panggul endometrium atau kanker indung telur; penyakit tropoblas jinak
atau ganas; tbc panggul.
Setelah pemasangan, AKDR bisa diperiksa oleh
akseptor KB sendiri.
• Kapan memeriksa?
• Satu minggu setelah pemasangan
• Kapan saja setiap selesai masa haid
• Jika tidak bisa merasakan benang, atau benang terasa lebih panjang atau
pendek secepatnya kembali ke klinik. AKDR mungkin telah terlepas dan perlu
memakai back up.
Kontrasepsi Darurat
• kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah kehamilan setelah
senggama tanpa pelindung atau tanpa pemakaian kontrasepsi yang
tepat dan konsisten sebelumnya
• Indikasi penggunaan kontrasepsi darurat misalnya:
– Perkosaan
– Sanggama tanpa menggunakan kontrasepsi
– Pemakaian kontrasepsi tidak benar atau tidak konsisten:
• Kondom bocor, lepas atau salah digunakan
• Diafragma pecah, robek, tau diangkat terlalu cepat
• Sanggama terputus gagal dilakukan sehingga ejakulasi terjadi di vagina atau
genitalia eksterna
• Salah hitung masa subur
• AKDR ekspulsi (terlepas)
• Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet
• Terlambat suntik progesti lebih dari 2 minggu atau terlambat suntik kombinasi
lebih dari 7 hari
Kontrasepsi Darurat
• Kontrasepsi darurat dapat bermanfaat bila
digunakan dalam 5 hari pertama, namun lebih
efektif bila dikonsumsi sesegera mungkin.
Kontrasepsi darurat sangat efektif, dengan
tingkat kehamilan <3%.
• Efek samping:
– mual, muntah (bila terjadi dalam 2 jam pertama
sesudah minum pil pertama atau kedua, berikan
dosis ulangan), perdarahan/bercak.
KB: Metode Mantap
Definisi
• Menutup tuba falopii (mengikat dan
memotong atau memasang cincin),
sehingga sperma tidak dapat bertemu
dengan ovum
• oklusi vasa deferens sehingga alur
transportasi sperma terhambat dan
proses fertilisasi tidak terjadi
Efek Samping
• Nyeri pasca operasi
Kerugian
• Infertilitas bersifat permanen
Female Sterilization Overview
Anatomy
Ampulla
Isthmus
Infundibulum
Fimbria
Methods of Female Sterilization
1 Pregnancy After Tubal Sterilization with Bi-Polar Electrocoagulation. Obstetrics and GYN. August 1999 Volume
94. Herbert B Petterson et al for the CREST Working Group
Kontrasepsi Mantap
Keuntungan Kerugian
• Efektif dan permanen • Rasa sakit/ tidak nyaman
• Tidak ada efek samping jangka pendek
jangka panjang • Risiko pembedahan
• Tidak mempengaruhi proses • Tidak dapat dilakukan untuk
menyusui orang yang masih memiliki
• Tidak mengganggu anak
hubungan seksual
• Tindakan aman &
sederhana
High-Risk Factors For Ectopic pregnancy
• Previous ectopic pregnancy — The risk of
repeat ectopic pregnancy in women with a
prior ectopic gestation is approximately 3- to
8-fold higher compared with other pregnant
women.
• Sterilization — The risk of ectopic pregnancy
in women who undergo sterilization and then
experience sterilization failure is 5- to 19-fold
the risk in other pregnant women.
Ectopic pregnancy: Epidemiology, risk factors, and anatomic sites. Uptodate. 2017
Moderate- or low-risk factors For
Ectopic pregnancy
• Pelvic inflammatory disease and other genital infections —
Pelvic infection (eg, nonspecific salpingitis, chlamydia,
gonorrhea), especially recurrent infection, is a major cause
of tubal pathology and, therefore, increases the risk of
ectopic pregnancy.
• Infertility and related factors (including IVF and tubal
reconstructive surgery)
– Infertility — The incidence of ectopic pregnancy is
approximately two- to threefold higher in women with
infertility, although this could reflect the increased incidence of
tubal abnormality in this group of women, which may also be an
etiology of infertility.
Ectopic pregnancy: Epidemiology, risk factors, and anatomic sites. Uptodate. 2017
Moderate- or low-risk factors For
Ectopic pregnancy
• Contraceptive methods — Women using hormonal contraception or an
intrauterine device (IUD) are at very low risk of conceiving any pregnancy,
either intrauterine or ectopic. However, if they conceive, the probability of
an ectopic pregnancy is generally higher than in women not using
contraception.
– Intrauterine devices — Women using an IUD have a lower incidence of ectopic
pregnancy than noncontracepting women because the IUD is a highly effective
method of contraception.
– Oral contraceptives — Similarly, estrogen/progestin oral contraceptives are
highly effective and the overall risk of ectopic pregnancy is low, since
conception is prevented. However, in women who do become pregnant while
on these contraceptives, the risk of ectopic pregnancy appears to be increased
two- to fivefold compared with other pregnant women.
Ectopic pregnancy: Epidemiology, risk factors, and anatomic sites. Uptodate. 2017
Other risk factors For Ectopic
pregnancy
• Smoking — Cigarette smoking in the periconceptional period is
associated with a dose-dependent increase in the risk of ectopic
pregnancy. A history of smoking is associated with a two- to
threefold increase in ectopic pregnancy risk and current use is
associate with a two- to fourfold risk.
• In-utero DES exposure — Women with a history of in-utero
diethylstilbestrol (DES) exposure have a four-fold increased risk of
ectopic pregnancy due to abnormal tubal morphology and, possibly,
impaired fimbrial function.
• Vaginal douching — Regular vaginal douching is associated with an
up to threefold increased risk of ectopic pregnancy.
• Increasing age — There is an increasing proportion of ectopic
pregnancies among women in the older age groups.
78-79. Kala Persalinan
PERSALINAN dipengaruhi 3 • PEMBAGIAN FASE / KALA
FAKTOR “P” UTAMA PERSALINAN
1. Power Kala 1
His (kontraksi ritmis otot polos Pematangan dan pembukaan
uterus), kekuatan mengejan ibu, serviks sampai lengkap (kala
keadaan kardiovaskular respirasi pembukaan)
metabolik ibu. Kala 2
2. Passage Pengeluaran bayi (kala
Keadaan jalan lahir pengeluaran)
Kala 3
3. Passanger Pengeluaran plasenta (kala uri)
Keadaan janin (letak, presentasi, Kala 4
ukuran/berat janin, ada/tidak Masa 1 jam setelah partus,
kelainan anatomik mayor) terutama untuk observasi
(++ faktor2 “P” lainnya :
psychology, physician, position)
Kala Persalinan: Sifat HIS
Kala 1 awal (fase laten)
• Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm
• Frekuensi dan amplitudo terus meningkat
Kala 2
• Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit.
• Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum
Kala 3
• Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun.
Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap
menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I
Fase Laten
• Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam)
Fase Aktif
• Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung
sekitar 6 jam
• Fase aktif terbagi atas :
1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4
cm.
2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm
sampai 9 cm.
3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai
lengkap (+ 10 cm).
Hubungan Penurunan Kepala dan
Dilatasi Serviks
• Indikasi
– Jika ketuban belum pecah dan pembukaan sudah
lengkap
– Akselerasi persalinan
– Persalinan pervaginam menggunakan
instrumen
– Kasus solusio plasenta
Amniotomy
• If the membranes are intact, there is a great
temptation, even during normal labor, to perform
amniotomy.
• The presumed benefits are more rapid labor, earlier
detection of meconium-stained amnionic fluid, and
the opportunity to apply an electrode to the fetus or
insert a pressure catheter into the uterine cavity for
monitoring.
• Importantly, the fetal head must be well applied to the
cervix and not be dislodged from the pelvis during the
procedure to avert umbilical cord prolapse
Istilah untuk menjelaskan penemuan cairan
ketuban/selaput ketuban
• Utuh (U), membran masih utuh, memberikan sedikit perlindungan
kepada bayi dalam uterus, tetapi tidak memberikan informasi
tentang kondisi janin
• Bagian placenta yang nampak dalam vulva: permukaan foetal tidak ada
perdarahan sebelum placenta lahir atau sekurang-kurangnya terlepas
seluruhnya plasenta terputar balik darah sekonyong-konyong mengalir.
80. Penyakit Trofoblastik Gestasional
WHO Classification
Malformations of the
Benign entities that
Malignant neoplasms chorionic villi that are
can be confused with
of various types of predisposed to
with these other
trophoblats develop trophoblastic
lesions
malignacies
Placental site
Complete Partial Placental site nodule
trophoblastic tumor
Epithilioid trophoblastic
tumors Invasive
Mola Hidatidosa
• Definisi
– Latin: Hidatid tetesan air, Mola Bintik
TIPE KOMPLIT T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam setelah • Seperti tipe komplit hanya lebih
amenorea
ringan
• Uterus membesar secara abnormal dan
menjadi lunak • Biasanya didiagnosis sebagai
• Hipertiroidism aborsi inkomplit/ missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy induced kehamilan
hypertension
• Peningkatan hCG 100,000 mIU/mL • Tanpa kista lutein
Hydatidiform Mole
Hyperthyroidism
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan (mola komplit)
• Pemeriksaan USG
• Komplit: ditemukan adanya
gambaran vesikuler atau badai salju
yang merupakan karakteristik
pembengkakan vili korionik yang
difus dan vesikuler snow storm
• Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta
• Pemeriksaan Doppler tidak
ditemukan adanya denyut
jantung janin
Mola
Hidatidosa:
Tatalaksana
Tatalaksana Kuret
• Kuretase dengan kuret tumpul
seluruh jaringan
hasil kerokan di PA
• 7-10 hari sesudahnya
kerokan ulangan dengan kuret
tajam, agar ada kepastian
bahwa uterus betul-betul
kosong dan untuk memeriksa
tingkat proliferasi sisa-sisa
trofoblas yang dapat
ditemukan
81. Abortus
• Definisi:
– ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan.
– WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan
kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan
terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram
Abortus
• Diagnosis dengan bantuan USG
– Perdarahan pervaginam (bercak hingga berjumlah banyak)
– Perut nyeri & kaku
– Pengeluaran sebagian produk konsepsi
– Serviks dapat tertutup/ terbuka
– Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya
Fetoplacental
Normal Insulin hormones
pregnancy resistance (GH, HCG, HPL, Cortisol,
progesterone, prolactin)
Recommended
Organization Glucose load
technique
WHO 2013/IDF/IADPSG 2010 1 step 75 gr
ADA (O’Sullivan) 1964 2 steps, 4 samples 3 hr 100 gr
ADA (Carpenter, Coustan) 2000 2 steps 3 hr 100 gr
ADA 2003 1 step 75 gr
ADA 2011 1 step 75 gr
ACOG 2013 2 steps 50 gr 100 gr
CDA 2013 2 steps 50 gr 75 gr
EASD 1996 1 step 75 gr
PERKENI (Indonesia) 1 step 75 gr
Diabetes Melitus
Penatalaksanaan
Lifestyle Medical
Management Therapy
• Medical nutrition therapy (MNT) Insulin (first line)
• Physical activity Metformin
• Weight management Sulfonylurea
https://www.accp.com/docs/bookstore/psap/p201
GDM Treatment Scheme
GDM
• Diagnosis
– Perdarahan tanpa nyeri, usia kehamilan>22 minggu
– Darah segar yang keluar sesuai dengan beratnya anemia
– Syok
– Tidak ada kontraksi uterus
– Bagian terendah janin tidak masuk pintu atas panggul
– Kondisi janin normal atau terjadi gawat janin
– Penegakkan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan USG
Tatalaksana Plasenta Previa
Tatalaksana Umum
• PERHATIAN! Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan
dalam sebelum tersedia kesiapan untuk seksio sesarea.
Pemerik¬saan inspekulo dilakukan secara hati-hati, untuk
menentukan sumber perdarahan.
• Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan
intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat).
• Lakukan penilaian jumlah perdarahan.
• Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio
sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan
• Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi
prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif
Terapi Konservatif
• Agar janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non-invasif.
• Syarat terapi ekspektatif:
– Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti dengan atau
tanpa pengobatan tokolitik
– Belum ada tanda inpartu
– Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dalam batas normal)
– Janin masih hidup dan kondisi janin baik
• Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis.
• Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta.
• Berikan tokolitik bila ada kontraksi:
– MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjutkan 4 g setiap 6 jam, atau Nifedipin 3 x 20 mg/hari
– Pemberian tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV dosis tunggal untuk
pematangan paru janin
• Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferous fumarat per oral 60 mg selama 1 bulan.
• Pastikan tersedianya sarana transfusi.
• Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, ibu dapat
dirawat jalan dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan.
Terapi aktif
• Rencanakan terminasi kehamilan jika:
– Usia kehamilan cukup bulan
– Janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi kelangsungan
hidupnya (misalnya anensefali)
– Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa memandang
usia kehamilan
– Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan presentasi
kepala pemecahan selaput ketuban dan persalinan pervaginam masih
dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan dengan seksio sesarea
• uJika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi perdarahan dari
tempat plasenta:
– Jahit lokasi perdarahan dengan benang,
– Pasang infus oksitosin 10 unitin 500 ml cairan IV (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat)
dengan kecepatan 60 tetes/menit
– Jika perdarahan terjadi pascasalin, segera lakukan penanganan yang sesuai, seperti
ligasi arteri dan histerektomi
84. Abortus: Tatalaksana Umum
• Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk
tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
• Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik
<90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok
• Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan
tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena
kondisinya dapat memburuk dengan cepat
• Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi,
berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
– Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
– Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
– Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
• Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
• Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional
dan konseling kontrasepsi pasca keguguran.
• Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus
Tatalaksana Abortus Imminens
• Pertahankan kehamilan.
• Tidak perlu pengobatan khusus.
• Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan
seksual.
• Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya
pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar
Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan
penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.
• Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan
USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
Tatalaksana Abortus Insipiens
• Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus (dengaan
AVM) Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
– Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu)
– Rencanakan evakuasi segera.
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
– Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam
uterus (lakukan dengan AVM).
– Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
• Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan
pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit
• Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang
mencuat dari serviks.
• Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi
uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam
sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera
dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu).
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl
0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
– Lebih disarankan untuk memakai kuret tajam jika usia kehamilan >16 minggu
• Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan
patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
Tatalaksana Abortus Komplit
• Tidak diperlukan evakuasi lagi.
• Konseling untuk memberikan dukungan
emosional dan menawarkan KB pasca keguguran.
• Observasi keadaan ibu.
• Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika
anemia berat berikan transfusi darah.
• Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
85. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of pregnancy
/NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and vomiting
have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually commence
between the first and second missed menstrual period and
continue until 14 to 16 weeks’ gestation
• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5% prepregnancy
weight loss, dehydration and electrolyte imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks
Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) index
• Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) score can be used to classify the
severity of NVP
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
The initial management of NVP and HG
• Women with mild NVP should be managed in the
community with antiemetics.
• Ambulatory daycare management should be used for
suitable patients when community/primary care measures
have failed and where the PUQE score is less than 13.
• Inpatient management should be considered if there is at
least one of the following:
– continued nausea and vomiting and inability to keep down oral
antiemetics
– continued nausea and vomiting associated with ketonuria
and/or weight loss (greater than 5% of body weight), despite
oral antiemetics
– confirmed or suspected comorbidity (such as urinary tract
infection and inability to tolerate oral antibiotics)
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Therapeutic options for NVP and HG
• Antiemetics
– There are safety and efficacy data for first-line antiemetics such as
antihistamines (H1 receptor antagonists) and phenothiazines and they
should be prescribed when required for NVP and HG
– Combinations of different drugs should be used in women who do not
respond to a single antiemetic.
– For women with persistent or severe HG, the parenteral or rectal route
may be necessary and more effective than an oral regimen. Women
should be asked about previous adverse reactions to antiemetic
therapies.
– Metoclopramide is safe and effective, but because of the risk of
extrapyramidal effects it should be used as second-line therapy.
– There is evidence that ondansetron is safe and effective, but because
data are limited it should be used as second-line therapy
– Drug-induced extrapyramidal symptoms and oculogyric crises can
occur with the use of phenothiazines and metoclopramide. If this
occurs, there should be prompt cessation of the medications.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
86. TEKNIK SAMPLING
Probability Sampling Techique lebih baik
dibanding non-probability
O U TC O M E V S I M PA C T
Indikator outcome dan impact sering kali disamakan atau dijadikan sebagai satu
kesatuan. Namun pada umumnya indikator outcome lebih menilai luaran jangka
pendek dan untuk wilayah setempat, sedangkan indikator impact lebih menilai
luaran jangka panjang dan dampak untuk wilayah yang lebih luas. Outcome
bersifat dinamis (lebih mudah berubah dibandingkan impact).
89. PEMBAYARAN BPJS DI FASKES PRIMER
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TARIF PELAYANAN
KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
Tarif Kapitasi
• Tarif Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a diberlakukan pada FKTP yang melakukan
pelayanan:
a. administrasi pelayanan;
b. promotif dan preventif;
c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun
non operatif;
e. obat dan bahan medis habis pakai;
f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pratama.
Tarif Non Kapitasi
• Tarif Non Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan kesehatan di
luar lingkup pembayaran kapitasi, yang meliputi:
a. pelayanan ambulans
b. pelayanan obat program rujuk balik;
c. pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik;
d. pelayanan penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk
pelayanan terapi krio untuk kanker leher rahim;
e. rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis;
f. jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh
bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya; dan
g. pelayanan Keluarga Berencana di FKTP
90. SISTEM KESEHATAN NASIONAL
• Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa
Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan
pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL
SISTEM KESEHATAN DAERAH
• Sistem Kesehatan Daerah (SKD) adalah merupakan implementasi sistem
Kesehatan Nasional didaerah, yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai
upaya pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta di daerah yang secara terpadu
dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya dan pada hakekatnya merupakan wujud sekaligus metode
penyelenggaraan kesehatan daerah.
• Pentingnya SKD: agar kondisi dan kebutuhan spesifik daerah dan masyarakat
akan dapat lebih terakomodir.
• SKD juga merupakan ruang sekaligus bentuk pengakuan terhadap potensi pelaku
dibidang kesehatan yang dimiliki daerah (pemerintah, masyarakat, swasta) yang
dengan SKD ini diikat dalam komitmen dan tujuan yang sama sebagaimana
prinsip dasar SKN, yakni : Perikemanusiaan; Hak Azasi Manusia; Adil dan merata;
Pemberdayaan dan kemandirian Masyarakat; Kemitraan; Pengutamaan dan
manfaat; Tata kepemerintahan yang baik.
91. TANATOLOGI
Thanatologi adalah topik dalam ilmu kedokteran forensik yang mempelajari
hal mati serta perubahan yang terjadi pada tubuh setelah seseorang mati
Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
TANATOLOGI FORENSIK
• Dapat terjadi pada semua otot di tubuh akan tetapi biasanya pada grup –
grup otot tertentu, misalnya otot lengan atas.
20 30 2 6 8 12 24 36
0 mnt mnt jam jam jam jam jam jam
Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
92. PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS
• Persetujuan tindakan medis secara praktis
dibagi menjadi 2:
Implied consent Pasien tidak menyatakan persetujuan baik secara tertulis maupun
lisan, namun dari tingkah lakunya menyatakan persetujuannya.
Contoh: pasien membuka baju untuk diperiksa, pasien
mengulurkan lengan untuk diambil sampel darah.
• Mengenai isi rekam medis diatur lebih khusus dalam Pasal 12 ayat
(2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis: Isi rekam medis
merupakan milik pasien yang dibuat dalam bentuk ringkasan rekam
medis..
ISI REKAM MEDIS
• Menurut PERMENKES No:
269/MENKES/PER/III/2008 yang dimaksud rekam
medis adalah berkas yang berisi catatan dan
dokumen antara lain identitas pasien, hasil
pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan,
serta tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien. Catatan merupakan
tulisan-tulisan yang dibuat oleh dokter atau
dokter gigi mengenai tindakan-tindakan yang
dilakukan kepada pasien dalam rangka palayanan
kesehatan.
Kepemilikan Rekam Medis
• Permenkes No.269 tahun 2008: isi Rekam Medis
adalah milik pasien, sedangkan berkas Rekam
Medis (secara fisik) adalah milik Rumah Sakit atau
institusi kesehatan.
• PASIEN
menjunjung tinggi, menghayati dan ..wajib merujuk jika tidak setiap dokter harus memelihara
mengamalkan sumpah dokter (pasal mampu, atas persetujuan kesehatannya supaya dapat
1) pasien(pasal 14) bekerja dengan baik (pasal 20)
Seorang dokter wajib selalu setiap dokter wajib merahasiakan setiap dokter harus senantiasa
melakukan pengambilan keputusan segala sesuatu yang diketahuinya mengikuti perkembangan ilmu
profesional secara independen, dan tentang seorang pasien , bahkan pengetahuan dan teknologi
mempertahankan perilaku juga setelah pasien itu meninggal kedokteran/kesehatan (psl 21)
profesional dalam ukuran yang dunia (pasal 16)
tertinggi. (pasal 2) setiap dokter memperlakukan
setiap dokter wajib melakukan teman sejawat nya sebagaimana
dalam melakukan pekerjaannya pertolongan darurat sbg suatu ia sendiri ingin diperlakukan
seorang dokter tidak boleh tugas perikemanusiaan, kecuali (pasal 18)
dipengaruhi oleh sesuatu yang bila ia yakin ada orang lain
mengakibatkan hilangnya bersedia dan mampu
kebebasan & kemandirian profesi memberikannya (pasal 17)
(pasal 3)
Silent period
Penyebaran sistemik
Manifestasi Klinis
• Gejala dapat dibagi dalam lima kelompok,
yaitu:
Gejala nasofaring
Gejala telinga
Gejala mata
Gejala saraf
Metastasis atau gejala di leher
Manifestasi Klinis
• Gejala telinga:
rasa penuh di telinga,
rasa berdengung,
rasa tidak nyaman di telinga
rasa nyeri di telinga,
otitis media serosa sampai perforasi membran
timpani
gangguan pendengaran tipe konduktif, yang
biasanya unilateral
Manifestasi Klinis
• Gejala hidung:
ingus bercampur darah,
post nasal drip,
epistaksis berulang
Sumbatan hidung unilateral/bilateral
• Petunjuk diagnostik:
Otorea rekuren/kronik
Penurunan pendengaran
Perforasi membran timpani
1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, & throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media Supuratif Kronik
Klasifikasi OMSK:
• Tipe benign/mucosal:
– Tidak melibatkan tulang.
– Tipe perforasi: sentral.
– Th/: ear wash with H2O2 3% for 3-5 Large central perforation
days, ear drops AB & steroid,
systemic AB
• Tipe malignant/tulang:
– Melibatkan tulang atau
kolesteatoma.
– Tipe perforasi: marginal atau attic.
– Th/: mastoidektomi.
Cholesteatoma at attic
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
type perforation
Otitis Media Supuratif Kronik
• Tanda dini OMSK tipe maligna:
Adanya perforasi marginal atau atik,
Tanda lanjut
• abses atau fistel aurikular,
• polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang
berasal dari dalam telinga tengah,
• terlihat kolesteatoma pada telinga tengah (sering
terlihat di epitimpanum),
• sekret berbentuk nanah & berbau khas,
• terlihat bayangan kolesteatoma pada foto mastoid.
Terapi OMSK
• OMSK tipe benigna:
– Secara umum terapi OMSK jinak adalah konservatif.
Obat yang dapat digunakan berupa obat cuci telinga
H2O2 3% selama 3-5 hari, antibiotik (penggunaan
antara 1-2 minggu) dan antibiotik oral. Miringoplasti
atau timpanoplasti dapat dilakukan setelah dua bulan
ketika keadaan sekret sudah kering.
• OMSK tipe bahaya:
– Secara umum pembedahan, mastoidektomi dengan
atau timpanoplasti.
98. Otitis Media
Otitis Media Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah, membran
timpani membonjol.
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani kembali
normal. Jika perforasi sekret berkurang.
1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media
Otitis Media Akut
• Th:
– Oklusi tuba: dekongestan topikal
(ephedrin HCl)
Hyperaemic stage
– Presupurasi: AB minimal 7 hari
(ampicylin/amoxcylin/
erythromicin) & analgesik dan obat
tetes hidung.
– Supurasi: AB, miringotomi.
– Perforasi: ear wash H2O2 3% & AB.
– Resolusi: jika sekret tidak
berhenti AB dilanjutkan hingga 3
minggu.
Suppuration stage
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Temuan Audiometri Pada OMA
Tympanogram:
Type B, without a large volume (a large volume would indicate a
perforation)
A tympanogram line would be flat (considered Type B), indicating
decreased TM mobility.
Audiogram:
CHL
The degree of CHL may vary from 10 to 50 dB and will depend on the
thickness of the middle ear exudate, middle ear fibrosis, and TM
edema.
The CHL usually predominately affects the low frequencies.
Mixed hearing loss
May exist if underlying sensorineural hearing loss (SNHL) was present
before the onset of AOM.
99. Epistaksis
Penatalaksanaan
• Perbaiki keadaan umum
– Nadi, napas, tekanan darah
• Hentikan perdarahan
– Bersihkan hidung dari darah & bekuan
– Pasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin
1/5000-1/10000 atau lidokain 2%
– Setelah 15 menit, lihat sumber perdarahan
Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009