Anda di halaman 1dari 819

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. OKTRIAN | DR.

ORYZA
DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. REYNALDO

OFFICE ADDRESS:
Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan Medan :
(belakang pasaraya manggarai) BTBS BIMA
phone number : 021 8317064 Jl. Bantam No 6A, Petisah Hulu, Medan Baru
pin BB 2A8E2925 Medan-Sumatera Utara 20153
WA 081380385694 WA 082122727364
I L MU
P E N YA K I T
DALAM
1. Tuberkulosis
• Penyakit infeksi yang di sebabkan oleh
mycrobacterium tubercolosis dengan gejala
yang sangat bervariasi
• Kuman TB berbentuk batang, memiliki sifat
tahan asam terhadap pewarnaan Ziehl
Neelsen sehingga dinamakan Basil Tahan
Asam (BTA).
Tanda dan Gejala
1. Gejala lokal/ gejala respiratorik
 batuk - batuk > 2 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada
2. Gejala sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,
anoreksia, berat badan menurun
Pemeriksaan fisik
• Pada TB paru  tergantung luas kelainan struktur paru.
Umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex
lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah.
• Pleuritis TB  kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi
ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat
cairan.
• Pada limfadenitis TB  terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah axila
Pemeriksaan Sputum BTA
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak
dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS).
• Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari
berturut-turut atau dengan cara:
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan
dahak pagi)
Alur Diagnosis TBDan TBResistan Obat Di Indonesia

Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)

Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM)

Tidak memiliki akses untuk TCM TB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA Pemeriksaan TCM TB

MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Pemeriksaan
TB RRtambahan pada semuaFoto pasien TB
Toraks
TB Terkonfirmasi pemeriksaan yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis
(Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yangdan
sama
Foto Terapi maupun klinis adalah pemeriksaan HIV
dengan alur
Toraks Antibiotika gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai
pada hasil
Non OAT indikasi misalnya fungsi hati, fungsi pemeriksaan
ginjal, dll)
Pengobatan Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Foto Toraks
TB RR
TB Terkonfirmasi pemeriksaan (Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yang sama
Foto Terapi
dengan alur
Toraks Antibiotika
pada hasil
Non OAT
Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan pemeriksaan
Pengobatan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
TB Lini 1 negatif (- -) )
OAT Lini 1 dan Lini 2
Gambaran Tidak Mendukung TB;
Mendukung Bukan TB; Cari
TB kemungkinan penyebab Ada Tidak Ada
penyakit lain Perbaikan Perbaikan TB RR; TB Pre TB XDR
Klinis Klinis, ada
TB MDR XDR
faktor risiko
TB TB, dan atas
Terkonfirmasi Bukan TB; Cari pertimbangan
Klinis Lanjutkan Pengobatan
kemungkinan dokter Pengobatan TB RO
TB RO
penyebab dengan Paduan Baru
penyakit lain TB
Terkonfirmasi
Klinis

Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB


yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis
maupun klinis adalah pemeriksaan HIV dan
Pengobatan
gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai
TB Lini 1 indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)
Pembagian kasus TB
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi
gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
 Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
 Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5
(satu bulan sebelum akhir pengobatan)
 Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir
bulan ke-2 pengobatan
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2
dengan pengawasan yang baik
1. Tuberkulosis
OAT kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3 
– Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
– Pasien TB paru terdiagnosis klinis
– Pasien TB ekstra paru

Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) 


– Pasien kambuh
– Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
– Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

• Pemberian sisipan tidak diperlukan lagi pada pedoman TB terbaru.

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


1. Tuberkulosis

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


1. Tuberkulosis

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


Efek Samping OAT
MAYOR Kemungkinan Penyebab HENTIKAN OBAT
Gatal & kemerahan Semua jenis OAT Antihistamin & evaluasi
ketat
Tuli Streptomisin Stop streptomisin
Vertigo & nistagmus (n.VIII) Streptomisin Stop streptomisin
Ikterus Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT s.d.
ikterik menghilang,
hepatoprotektor
Muntah & confusion Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT & uji
fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Stop etambutol
Kelainan sistemik, syok & Rifampisin Stop rifampisin
purpura
Minor Kemungkinan Penyebab Tata Laksana
Tidak nafsu makan, mual, Rifampisin OAT diminum malam
sakit perut sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Aspirin/allopurinol
Kesemutan s.d. rasa INH Vit B6 1 x 100 mg/hari
terbakar di kaki
Urine kemerahan Rifampisin Beri penjelasan
2. Endokrin
2. SINDROM CUSHING
Sindrom Cushing
(hiperadrenokortikalism/hiperkortisolism)
– Kondisi klinis yang disebabkan oleh
pajanan kronik glukokortikoid
berlebih karena sebab apapun.

• Penyebab:
– Sekresi ACTH berlebih dari hipofisis
anterior (penyakit Cushing).
– ACTH ektopik (C/: ca paru)
– Tumor adrenokortikal
– Glukokorticod eksogen (obat)

Silbernagl S, et al. Color atlas of pathophysiology. Thieme; 2000.


McPhee SJ, et al. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical medicine. 5th ed.
Diagnosis
Cushing
Syndrome

DST: Dexamethasone Suppression Test

http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/205/diagnosis/step-by-step.html
Diagnosis Banding Cushing Syndrome

http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0004-27302007000800005
3. Sindrom Koroner Akut

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
3. Sindrom Koroner Akut
• Gejala khas
 Rasa tertekan/berat di bawah dada, menjalar ke lengan
kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati.
 Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.

• Gejala tidak khas:


 Nyeri dirasakan di daerah penjalaran (lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati).
 Gejala lain berupa rasa gangguan pencernaan, sesak napas atau rasa lemah
yang sulit dijabarkan.
 Terjadi pada pasien usia 25-40 tahun / >75thn / wanita / diabetes / penyakit
ginjal kronik/demensia.

• Angina stabil:
 Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut),
berlangsung 2-5 menit,
 Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat &
nitrogliserin sublingual.

Penatalaksanaan STEMI, PERKI


3. Sindrom Koroner Akut
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
3. ACS
3. Terapi UAP/NSTEMI
• Anti iskemia
Beta blocker
Nitrat
CCB
• Antiplatelet  dual antiplatelet therapy
• Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
• Antikoagulan
• Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor
Angiotensin
• Statin

Pedoman Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut PERKI. 2015


4. Penyakit katup Jantung
4. Penyakit Katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease.


4. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
4. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
5. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of
– is the most common symptom acute carditis include
– (polyarticular, fleeting, and – the high-pitched, blowing,
involves the large joints) holosystolic, apical murmur of
– frequently the earliest mitral regurgitation;
manifestation of acute – the low-pitched, apical, mid-
rheumatic fever (70-75%). diastolic, flow murmur (Carey-
Coombs murmur);
• Carditis: – and a high-pitched,
decrescendo, diastolic murmur
– (40% of patients) of aortic regurgitation heard at
– and may include cardiomegaly, the aortic area.
new murmur, congestive heart – Murmurs of mitral and aortic
failure, and pericarditis, with or stenosis are observed in
without a rub and valvular chronic valvular heart disease.
disease.
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists,
elbows, and knees.

• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.

• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):


– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Rheumatic Fever - Treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting) 1.2
million units once(IM injection) or oral penicillin V 10 days, if allergic to
penicillin  erythromycin 10 days (antibiotic is given even if throat culture
is negative)
• Anti-inflammatory agents
Aspirin in anti-inflammatory doses effectively reduces all
manifestations of the disease except chorea, and the response
typically is dramatic.
• Aspirin 100 mg/kg per day for arthritis and in the absence of carditis- for 4-6 weeks to
be tapered off
• Corticosteroids If moderate to severe carditis is present as indicated by cardiomegaly,
third-degree heart block, or CHF, add PO prednisone to salicylate therapy -2 mg/kg per day –
for 2-6 weeks to be tapered off
Rheumatic Fever -Pprevention
Secondary prevention – prevention of recurrent attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4
week
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally

AHA Scientific Statement


Rheumatic Fever - Prevention

Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis


• Rheumatic fever + carditis + persistent valve disease - 10
years since last episode or until 40 years of age (whichever
is longer), sometimes life long
• Rheumatic fever + carditis + no valvar disease – 10 years or
well into adulthood whichever is longer
• Rheumatic fever without carditis - 5 years or until 21 years
whichever is longer
(Continous prophylaxis is important since patient may have
asymptomatic GAS infection)

AHA Scientific Statement


6. Osteoartritis
• Kartilago: bantalan antara tulang untuk menyerap tekanan & agar
tulang dapat digerakkan.
• Osteoarthritis: degenerasi sendi  fungsi bantalan menghilang 
tulang bergesekan satu sama lain.

Harrison’s principles of internal medicine.


Klasifikasi OA
• More common than secondary OA

OA • Cause –Unknown
• Common-in elders where there is no previous
pathology.

Primer • Its mainly due to wear and tear changes


• occuring in old ages mainly in weight bearing
joints

• Injury to the joint

OA •


Previous infection
RA
CDH

Sekunder •


Deformity
Obesity
Hyperthyriodism
Pembebanan repetitif, obesitas, usia tua
Heberden’s & Bouchard’s nodes

Penyempitan celah sendi

Penipisan kartilago

Osteofit (spur formation)

Sklerosis

Harrison’s principles of internal medicine.


Ciri OA RA Gout Spondilitis
Ankilosa
Prevalens Arthritis
Female>male, >50
tahun, obesitas
Female>male
40-70 tahun
Male>female, >30
thn, hiperurisemia
Male>female,
dekade 2-3
Awitan gradual gradual akut Variabel

Inflamasi - + + +

Patologi Degenerasi Pannus Mikrotophi Enthesitis

Jumlah Sendi Poli Poli Mono-poli Oligo/poli

Tipe Sendi Kecil/besar Kecil Kecil-besar Besar

Predileksi Pinggul, lutut, MCP, PIP, MTP, kaki, Sacroiliac


punggung, 1st CMC, pergelangan pergelangan kaki & Spine
DIP, PIP tangan/kaki, kaki tangan Perifer besar

Temuan Sendi Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Kristal urat En bloc spine
Heberden’s nodes neck, Boutonniere enthesopathy
Perubahan Osteofit Osteopenia erosi Erosi
tulang erosi ankilosis

Temuan - Nodul subkutan, Tophi, Uveitis, IBD,


Extraartikular pulmonari cardiac olecranon bursitis, konjungtivitis, insuf
splenomegaly batu ginjal aorta, psoriasis

Lab Normal RF +, anti CCP Asam urat


Tatalaksana OA
• Terapi Non farmakologi
 Edukasi pasien. (Level of evidence: II)
 Program penatalaksanaan mandiri (self-management
programs):modifikasi gaya hidup. (Level of evidence: II)
 Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan
berat badan, minimal penurunan 5% dari berat badan,
dengan target BMI 18,5-25. (Level of evidence: I).
 Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness
exercises). Level of Evidence: I)
 Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi,
penguatan otot- otot (quadrisep/pangkal paha) dan alat
bantu gerak sendi (assistive devices for ambulation): pakai
tongkat pada sisi yang sehat. (Level of evidence: II)
 Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi,
menggunakan splint dan alat bantu gerak sendi untuk
aktivitas fisik sehari-hari. (Level of evidence: II)
• Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila
dikombinasi dengan terapi nonfarmakologi)
• Pendekatan terapi awal
Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga
sedang, dapat diberikan salah satu obat berikut
ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian
obat tersebut:
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). (Level of
Evidence: II)
Tatalaksana OA
• Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang
memiliki risiko pada sistim pencernaan dapat diberikan
salah satu obat berikut ini:
 Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
 Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
 Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan
pemberian obat pelindung gaster (gastro- protective agent).
 Cyclooxygenase-2 inhibitor.
• Risiko pada sistim pencernaan:
– usia >60 tahun
– disertai penyakit komorbid dengan polifarmaka
– riwayat ulkus peptikum
– riwayat perdarahan saluran cerna
– mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau antikoagulan
Ciri OA RA Gout Spondilitis
Ankilosa
Prevalens Female>male, >50 Female>male Male>female, >30 Male>female,
tahun, obesitas 40-70 tahun thn, hiperurisemia dekade 2-3
Awitan
Inflamasi
Arthritis
gradual
-
gradual
+
akut
+
Variabel
+
Patologi Degenerasi Pannus Mikrotophi Enthesitis
Jumlah Sendi Poli Poli Mono-poli Oligo/poli
Tipe Sendi Kecil/besar Kecil Kecil-besar Besar

Predileksi Pinggul, lutut, MCP, PIP, MTP, kaki, Sacroiliac


punggung, 1st pergelangan pergelangan kaki Spine
CMC, DIP, PIP tangan/kaki, kaki & tangan Perifer besar
Temuan Sendi Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Kristal urat En bloc spine
Heberden’s nodes neck, Boutonniere enthesopathy
Perubahan Osteofit Osteopenia erosi Erosi
tulang erosi ankilosis

Temuan - Nodul subkutan, Tophi, Uveitis, IBD,


Extraartikular pulmonari cardiac olecranon bursitis, konjungtivitis,
splenomegaly batu ginjal insuf aorta,
psoriasis
Lab Normal RF +, anti CCP Asam urat
7. PPOK
• Definisi PPOK
 Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel
 Bersifat progresif & berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun/berbahaya
 Disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat penyakit

• Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan


antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) & obstruksi
parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu.

• Bronkitis kronik & emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:


 Emfisema merupakan diagnosis patologi (pembesaran jalan napas distal)
 Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis (batuk berdahak selama 3
bulan berturut-turut, dalam 2 tahun)
7. PPOK
A. Gambaran Klinis PPOK
a. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi
 saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisis (PPOK dini umumnya tidak ada kelainan)


• Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
7. PPOK
Pemeriksaan fisis PPOK
• Palpasi: pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

• Perkusi: pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,


letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

• Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
 Ekspirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh, gagal jantung kanan terlihat denyut
vena jugularis di leher dan edema tungkai

PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011


7. PPOK

Spirometri penyakit
obstruktif paru:
• Forced expiratory volume/FEV1 ↓
• Vital capacity ↓
• Hiperinflasi mengakibatkan:
– Residual volume ↑ Normal COPD

– Functional residual
capacity ↑
Nilai FEV1 pascabronkodilator <80% prediksi memastikan ada
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
1. Color Atlas of Patophysiology. 1st ed. Thieme: 2000.
2. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Lange: 2003.
3. Murray & Nadel’s Textbook of respiratory medicine. 4th ed. Elsevier: 2005.
4. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
7. PPOK
• Radiologi PPOK:
– Pada emfisema terlihat:
• Hiperinflasi
• Hiperlusen
• Ruang retrosternal melebar
• Diafragma mendatar
• Jantung menggantung (jantung pendulum)
– Pada bronkitis kronik:
• Normal
• Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.
7. PPOK
Dalam penilaian derajat PPOK diperlukan beberapa penilaian
seperti
• Penilaian gejala dengan menggunakan kuesioner COPD
Assesment Test (CAT) serta The modified British Medical
Research Council (mMRC) untuk menilai sesak nafas;
• Penilaian derajat keterbatasan aliran udara dengan
spirometri
– GOLD 1: Ringan: FEV1 >80% prediksi
– GOLD 2: Sedang: 50% < FEV1 < 80% prediksi
– GOLD 3: Berat: 30% < FEV1 < 50% prediksi
– GOLD 4: Sangat Berat: FEV1 <30% prediksi
• Penilaian risiko eksaserbasi
Klasifikasi PPOK GOLD 2017
7. PPOK Eksaserbasi
• Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kondisi
akut yang ditandai dengan perburukan gejala
respirasi dan variasi gejala normal haran dan
membutuhkan perubahan terapi.
• Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi, polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi
• Gejala eksaserbasi:
– Sesak bertambah
– Produksi sputum meningkat
– Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)

PPOK Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. 2016


7. PPOK Eksaserbasi
• Eksaserbasi akut dibagi menjadi 3 menurut
Anthonisen 1987:
– Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala
eksaserbasi
– Tipe 2 (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala
eksaserbasi
– Tipe 3 (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala
ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari,
demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan >20% dari nilai dasar, atau frekuensi nadi
>20% dari nilai dasar.

PPOK Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. 2016


7. PPOK Eksaserbasi
• Tujuan tatalaksana akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah
terjadinya gagal napas.
• Hal yang harus diperhatikan: derajat sesak,
frekuensi nafas, pernafasan paradoksal,
kesadaran, TTV, analisis gas darah, pneumonia

PPOK Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. 2016


7. Tatalaksana PPOK Eksaserbasi
• Terapi oksigen
pertahankan saturasi 88-92%
Sungkup venturi lebih akurat dan dapat mengontrol
pemberian oksigen dibanding kanula hidung
• Bronkodilator  short acting beta-2 agonist
(SABA)
• Kortikosteroid  oral prednisone 40 mg/hari
selama 5 hari atau metilprednisolon 32 mg/hari
dosis tunggal atau terbagi. Jika IV diberikan
metilprednisolon 3 x30 mg sampai bisa disulih ke
oral.

PPOK Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. 2016


7. Tatalaksana PPOK Eksaserbasi
 Antioksidan  N-asetilsistein 1200 mg/hari IV
selama 5 hari atau erdostein 2 x300 mg/hari
selama 7 hari
 Mukolitik
 Imunomodulator  Echinacea purpurea 500 mg
dan vitamin C 50 mg serta mikronutrien
(selenium 15 ug dan zink 10 mg) selama 2 minggu
terutama yang disebabkan ISPA.
 Nutrisi
 Pemberian antibiotic adekuat

PPOK Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. 2016


7. PPOK Eksaserbasi
• Antibiotik diberikan pada
Pasien PPOK eksaserbasi dengan semua gejala
cardinal (sesak napas yang bertambah, meningkatnya
jumlah sputum, dan bertambahnya purulensi sputum)
Pasien PPOK eksaserbasi dengan dua dari gejala
cardinal, apabila salah satunya adalah bertambahnya
purulensi sputum
Pasien PPOK eksaserbasi berat yang membutuhkan
ventilasi mekanis (invasive atau non-invasive)

PPOK Diagnosis dan Penatalaksanaan. PDPI. 2016


8. Osteoporosis
• Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur
tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
• Compromised bone strength
• Tipe osteoporosis
– Osteoporosis tipe I  pasca menopause (defisiensi esterogen)
– Osteoporosis tipe II  senilis (gangguan absorbsi kalsium di
usus)
• Faktor risiko osteoporosis
– Usia, genetik, lingkungan, hormon, sifat fisik tulang
• Dapat menyebabkan fraktur patologis
Osteoporosis Tipe 1 (POSTMENOPAUSAL)
• affects primarily trabecular bone
• 5 years after menopause
• weight-bearing bones fractures vertebrae, ankle, and distal radiu

optimized by optima
• after age 70 but may begin as early as age
• significant loss of both trabecular and cortical bone.
• hip and multiple wedge vertebral fractures are the most common types
of fractures
8. Klasifikasi Osteoporosis
8. Osteoporosis
Tanda dan Gejala
• Seringnya tanpa
gejala – silent
disease
• Gejala lain yang
dapat muncul
Nyeri punggung
Fraktur patologis
Penurunan tinggi
badan
Imobilisasi
Kifosis bertambah
Fraktur Kompresi pada Osteoporosis
• Wedge fractures –
collapse of the
anterior or posterior
of the vertebral body

• Biconcave
fractures – collapse of
the central portion of
both vertebral body
endplates

• Crush fractures –
collapse of entire
vertebral body
9. Hepatitis Virus
9. Hepatitis A
• Hepatitis A IgM
antibodies are
usually detectable 3
to 4 weeks after an
initial exposure and
return to normal after
about 8 weeks.
• Hepatitis A IgG
antibodies may begin
to develop 2 weeks
after the IgM
antibodies increase to
a high level.
9. Hepatitis
10. Sepsis

http://ajcc.aacnjournals.org/content/16/2/122/T1.expansion
Etiologi Sepsis
10. Patofisiologi Sepsis
10.
Patofisiologi
Sepsis
EGDT

• Early goal
directed
therapy
• Improve sepsis
survival
10. Sepsis Guideline 2016

• SOFA Criteria > 2 define as organ dysfunction


10. Sepsis 2016
10. Sepsis 2016
10. Perbedaan kriteria sepsis lama
dan baru

Terminologi Sepsis Kriteria Lama Sepsis 2016


Sepsis SIRS disertai dengan Disfungsi organ akibat
infeksi fokal infeksi (SOFA > 2)
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi Tidak ada
organ
Syok sepsis Sepsis dengan hipotensi Sepsis yang
walaupun dengan membutuhkan
pemberian cairan adekuat vasopressor untuk
mempertahankan
MAP>65 dan laktat >2
mmol/L
11. Diabetes Mellitus
• Kriteria diagnosis DM:
1. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

2. Glukosa darah-2 jam ≥200 mg/dL pada Tes Toleransi


Glukosa Oral dengan beban glukosa 75 gram, atau

3. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dengan


keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia, unexplained
weight loss), atau

4. Pemeriksaan HbA1C ≥6,5% dengan metode HPLC yang


terstandarisasi NGSP

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


11. Diabetes Mellitus
• Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria
normal atau DM digolongkan ke dalam
prediabetes (TGT & GDPT):
– Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
• GDP 100-125 mg/dL, dan
• TTGO-2 jam <140 mg/dL
– Toleransi glukosa terganggu (TGT):
• Glukosa darah TTGO-2 jam 140-199 mg/dL, dan
• Glukosa puasa <100 mg/dL
– Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
– Diagnosis prediabetes berdasarkan HbA1C: 5,7-6,4%

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


11. Diabetes Mellitus
• Cara pelaksanaan TTGO:
– Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien makan &
beraktivitas seperti biasa,
– Puasa minimal 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, boleh minum air tanpa gula,
– Dilakukan pemeriksaan glukosa puasa,
– Diberikan glukosa 75 gram dalam air 250 ml, diminum
dalam 5 menit,
– Puasa kembali selama 2 jam,
– Dilakukan pemeriksaan glukosa darah 2 jam sesudah
beban glukosa,
– Selama proses pemeriksaan, subjek tetap istirahat & tidak
merokok.

Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2. 2015.


12. Acute Coronary Syndrome

http://acutemed.co.uk/diseases/ACS+%28Acute+Coronary+Syndrome%29
12. Sindrom Koroner Akut
Evolusi EKG pada Acute MI dan Waktu Peningkatan
Biomarker
13. Ginekomastia
• Gynaecomastia:
– benign proliferation of glandular breast tissue in males
• Drugs cause 25% of gynaecomastia cases in adults 1
• Other causes- endocrine disorders, HIV, renal
disease, aging, puberty and hyperthyroidism

[1] Carlos et al. Sao Paulo Med J. 2012; 130(3):189-197. [2] Mira et al. Antiviral Therapy .2004; 9:511-514.
[3]Biglia et al. Clin Infect Dis . 2004; 39:1514-1519
13. Ginekomastia
13. Ginekomastia
13. Ginekomastia
13. Ginekomastia
14. Hyperparathiroidism
• Hyperparathyroidism is a disease characterized
by excessive secretion of parathyroid hormone.
• The main effects of parathyroid hormone are to
increase the concentration of plasma calcium by
– increasing the release of calcium and phosphate from
bone matrix
– increasing calcium reabsorption by the kidney
– increasing renal production of 1,25-dihydroxyvitamin
D-3 (calcitriol), which increases intestinal absorption
of calcium.
Hyperparathyroidism
• Overproduction of parathyroid hormone results in elevated
levels of plasma calcium.
• Parathyroid hormone also causes phosphaturia, thereby
decreasing serum phosphate levels.
• Hyperparathyroidism is usually subdivided into primary,
secondary, and tertiary hyperparathyroidism.
Metabolisme kalsium dan fosfat
Primary Hyperparathyroidism
• Satu atau lebih kelenjar memproduksi kadar PTH yg tinggi
relatif bila dibandingkan dgn kadar serum kalsium.
• Merupakan penyebab tersering dari hyperkalsemia pada
outpatient setting.

Etiologi
• Adenoma (80% of cases)—majority involve only one gland.
• Hyperplasia (15% to 20% of cases)—all four glands usually
affected.
• Carcinoma (<1% of cases).
Manifestasi Klinis
• “Stones” “Psychiatric overtones”—
 Nephrolithiasis depression, fatigue, anorexia,
 Nephrocalcinosis sleep disturbances,anxiety,
lethargy
• “Bones”
 Bone aches and pains
Other symptoms:
 Osteitis fibrosa cystica (“brown
tumors”)—predisposes patient to Polydipsia,
pathologic fractures polyuria
HTN, shortened QT
• “Groans” interval
 Muscle pain and weakness Weight loss
 Pancreatitis
 Peptic ulcer disease
 Gout
 Constipation
Hyperparathyroidism
• Tertiary hyperparathyroidism is a state of
excessive secretion of parathyroid hormone
(PTH) after a long period of secondary
hyperparathyroidism and resulting in a high
blood calcium level.
• It reflects development of autonomous
(unregulated) parathyroid function following a
period of persistent parathyroid stimulation.
15. Hepatologi
• Sirosis hepatis adalah stadium akhir fibrosis
hepatik progresif ditandai dengan distorsi
arsitektur hepar dan pembentukan nodul
regeneratif.
• Terjadi akibat nekrosis hepatoseluler
– Sirosis hati kompensatabelum ada gejala klinis
– Sirosis hati dekompensata gejala klinis yang jelas
• Etiologialkohol, hepatitis, biliaris, kardiak,
metabolik, keturunan, obat
– Di Indonesia, 40-50% disebabkan oleh hepatitis B

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


15. Hepatologi
16. HIPERTENSI
Antihipertensi –
Compelling
Indications
(JNC VII)
Jenis Obat Antihipertensi

http://www.nmhs.net/documents/27JNC8HTNGuidelinesBookBooklet.pdf
17. PANKREATITIS AKUT
• Pankreatitis adalah
inflamasi pankreas
yang berlangsung akut
(onset tiba-tiba, durasi
kurang dari 6 bulan)
atau akut berulang (>1
episode pankreatitis
akut sampai kronik -
durasi lebih dari 6
bulan).

CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016


Diagnosis Pankreatitis Akut
• Rekomendasi ACG (American College of • Pemeriksaan contrast-enhanced
Gastroenterology) tahun 2013: computed tomographic (CECT)
Pankreatitis akut ditegakkan dengan dua
dari tiga kriteria berikut: ( dan/atau MRI pankreas sebaiknya
– nyeri perut yang konsisten dengan dilakukan jika diagnosis belum
penyakit (nyeri epigastrium atau jelas atau klinis tidak membaik
kuadran kiri atas, nyeri umumnya dalam 48-72 jam pertama
dideskripsikan dengan nyeri konstan perawatan di RS
dengan penyebaran ke punggung,
dada, atau pinggang),
– kadar serum amilase dan/atau lipase
lebih dari 3 kali lipat batas atas
normal,
– temuan karakteristik dari
pemeriksaan radiologis/imaging
abdomen.

CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016


Tatalaksana
Pankreatitis
Akut

Hidrasi agresif, yang didefinisikan


sebagai 250-500 mL larutan
kristaloid per jam sebaiknya
diberikan untuk semua pasien,
kecuali apabila terdapat
komorbiditas kardiovaskuler atau
ginjal. Hidrasi agresif intravena
awal, paling bermanfaat pada 12-
24 jam pertama, setelah itu
mungkin hanya mempunyai
sedikit manfaat
http://cme.medicinus.co/file.php/1/MEDICAL_REVIEW_Tata_Laksana_terkini_Pankreatitis_Akut.pdf
Tatalaksana Pankreatitis Akut
• Antibiotik sebaiknya diberikan hanya untuk infeksi di
luar pankreas, seperti kolangitis, infeksi karena
penggunaan kateter, bakteremia, infeksi saluran kemih,
pneumonia.

• Penggunaan antibiotik profilaksis secara rutin pada


pankreatitis akut berat tidak direkomendasikan.

• Pemberian makan secara enteral dapat dimulai


secepatnya apabila tidak terjadi mual muntah, dan
nyeri perut telah hilang

CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016


18. PENYAKIT HEPATOBILIER
PENYAKIT HEPATOBILIER
• Kolelitiasis:
– Nyeri kanan atas/epigastrik mendadak,
hilang dalam 30 menit-3 jam, setelah
makan berlemak.
– Fat (ekskresi kolesterol ), female, fourty,
fertile (estrogen menghambat perubahan
kolesterol  empedu, sehingga kolesterol
menjadi jenuh)

• Kolesistitis:
– Nyeri kanan atas  bahu/punggung,
mual, muntah, demam
– Nyeri tekan kanan atas (murphy sign)

• Koledokolitiasis:
– Nyeri kanan atas, ikterik, pruritis, mual.

• Kolangitis:
– Triad Charcot: nyeri kanan atas, ikterik,
demam/menggigil
– Reynold pentad: charcot + syok &
penurunan kesadaran Pathophysiology of disease. 2nd ed. Lange; 2006.
Penyakit Hepatobilier
• Diagnosis kolesistitis:
– Murphy sign atau nyeri tekan abdomen kanan atas
– Demam, leukositosis, atau peningkatan CRP
– USG: ditemukan batu (90-95% kasus), tanda inflamasi
kandung empedu (penebalan dinding/double rim cairan
perikolesistik, dilatasi duktus biliaris)

• Temuan lab lainnya:


– aminotransferase meningkat sedang (biasanya <5 kali
batas atas)
– Bilirubin meningkat ringan (<5 mg/dL), bila tinggi
kemungkinan koledokolitiasis

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. McGraw-Hill


Pocket medicine. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Diagnostic criteria and severity assessment of acute cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007 Jan; 14(1): 78–82.
Penyakit Hepatobilier
• Temuan USG kolesistitis:
– Sonographic Murphy sign
(nyeri tekan timbul ketika
probe USG ditekan ke arah
kandung empedu)
– Penebalan dinding kandung
empedu (>4 mm)
– Pembesaran kandung
empedu (long axis diameter
>8 cm, short axis diameter
>4 cm)
– Impacted stone,
pericholecystic fluid
collection
Diagnostic criteria and severity assessment of acute cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat
Surg. 2007 Jan; 14(1): 78–82.
Diagnosis Banding Penyakit Hepatobilier
Pemeriksaan Pemeriksaan
Lokasi Nyeri Anamnesis Diagnosis Terapi
Fisis Penunjang
Urea breath test (+):
H. pylori
Membaik dgn makan Endoskopi:
PPI: ome/lansoprazol
(ulkus duodenum), eritema (gastritis
Nyeri epigastrik H. pylori:
Memburuk dgn Tidak spesifik akut) Dispepsia
Kembung klaritromisin+amoksili
makan (ulkus atropi (gastritis
n+PPI
gastrikum) kronik)
luka sd submukosa
(ulkus)

Nyeri tekan & defans,


Gejala: mual &
perdarahan
muntah, Demam Peningkatan enzim Resusitasi cairan
Nyeri epigastrik retroperitoneal
Penyebab: alkohol amylase & lipase di Pankreatitis Nutrisi enteral
menjalar ke punggung (Cullen: periumbilikal,
(30%), batu empedu darah Analgesik
Gray Turner:
(35%)
pinggang), Hipotensi

Prodromal (demam, Transaminase,


Nyeri kanan atas/
malaise, mual)  Ikterus, Hepatomegali Serologi HAV, HBSAg, Hepatitis Akut Suportif
epigastrium
kuning. Anti HBS
Risk: Female, Fat,
Fourty, Hamil Nyeri tekan abdomen
Nyeri kanan atas/ USG: hiperekoik dgn Kolesistektomi
Prepitasi makanan Berlangsung 30-180 Kolelitiasis
epigastrium acoustic window Asam ursodeoksikolat
berlemak, Mual, menit
TIDAK Demam

Resusitasi cairan
Nyeri epigastrik/ USG: penebalan
Mual/muntah, AB: sefalosporin gen.
kanan atas menjalar Murphy Sign dinding kandung Kolesistitis
Demam 3 + metronidazol
ke bahu/ punggung empedu (double rims)
Kolesistektomi
19. POLISITEMIA VERA
• Polisitemia vera adalah kelainan mieloproliferatif dengan
ciri profilerasi sel pendahulu eritroid yang tidak terkendali.
• Penyakit ini merupakan penyakit kronik profresif dan
sebagian penderita penyakitnya berkembang menjadi
leukemia akut dan sisanya menjadi fibrosis sumsumtulang
dan metaplasia mieloid.

• Etiologi polisitemia terletak pada sel induk sedangkan pada


polisitemia sekunder etiologi oleh karena stimulasi
eritropoietin berlebihan dan respon tubuh terhadap
oksigenasi jaringan yang berkurang.

• Sering terjadi leukositosis dan trombositosis.


Diagnosis Polisitemia Vera

http://imaging.ubmmedica.com/all/editorial/cancernetwork/cmhb/30M_Table1_large.png
POLISITEMIA VERA vs POLISITEMIA SEKUNDER

Polisitemia Vera Polisitemia Sekunder


• Etiology: diffuse marrow • Etiology: Reduced arterial
hyperplasia of unknown O2 saturation (emphysema,
etiology pulmonary fibrosis,
congenital heart disease,
• Overproduction of red cells, etc)  increased
white cells, and platelets. erythropoietin production.

• Overproduction of red cells.


Tatalaksana Polisitemia Vera

http://www.bloodjournal.org/content/bloodjournal/109/12/5104/F1.large.jpg?sso-checked=true
20. HIPERTIROIDISME

Kumar and Clark Clinical Medicine


Human Physiology.
Guyton and Hall textbook of medical physiology.
Hipertiroid Primer & Sekunder

Human Physiology.
Diagnosis Banding Hipertiroidisme
Merupakan penyebab
hipertiroid terbanyak
setelah graves disease.
20.
Radioactive Iodine
Methimazole vs PTU

MMI: Methimazole
ATD: Antithyroid drugs
GD: Graves disease
RAI: Radioiodine uptake
2016 American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis
Beta Blocker Untuk Hipertiroidisme

http://online.liebertpub.com/doi/pdf/10.1089/thy.2016.0229
21. Torsio Testis
Gejala dan tanda:
• Nyeri hebat pada skrotum yang mendadak
• Pembengkakan skrotum
• Nyeri abdomen
• Mual dan muntah
• Testis terletak lebih tinggi dari biasanya atau
pada posisi yang tidak biasa
RINGDAHL ERIKA,et al. Testicular Torsion
Am Fam Physician. 2006 Nov 15;74(10):1739-1743. Columbia, Missouri. In
http://www.aafp.org/afp/2006/1115/p1739.html
Ultrasound
• Normal: homogenous symmetric

Late ischemia/infarct: Early ischemia: enlargement, no Δ


hypoechoic echogenicity

• Hemorrhage: hyperechoic areas


in an infarcted testis,
heterogenous, extra testicular
fluids
• Penurunan Vaskularisasi
http://emedicine.medscape.com/article/2036003-treatment#a1156

Tatalaksana Torsio Testis


• Manual detorsion
– Dapat dilakukan saat pasien di IGD dan merupakan terapi
sementara
– Cara manual detorsion
• Seperti Opening of a book bila dokter berdiri di kaki pasien
• Sebagian besar torsio testis , terpelintir kearah dalam dan medial, sehingga
manual detorsion akan memutar testis kearah luar dan lateral
• Bila testis kiri yang terkena, dokter memegang testis dengan ibu jari dan
telunjuk kanan kemudian memutar kearah luar dan lateral 180derajat
• Rotasi testis mungkin memerlukan pengulangan 2-3 kali sampai detorsi
terpenuhi
– Bila berhasil (dikonfirmasi dengan USG color Doppler dan gejala
yang membaik)  terapi definitif masih harus dilakukan sebelum
keluar dari RS
• Surgical detorsion  Terapi definitif
• Untuk memfiksasi testis
• Tetap dilakukan walaupun,manual detorsion berhasil
• CITO bila manual detorsion tidak berhasil dilakukan
• Bila testis yang terkena sudah terlihat, testis dibungkus
kassa hangatuntuk memperbaiki sirkulasi dan menentukan testis
masih hidup atau tidak
• Orchiectomy  Bila testis telah nekrosis
Epididymitis
• Inflamasi dari epididimis
• Bila ada keterlibatan
testisepididymoorchit
is
• Biasanya disebabkan
oleh STD
• Common sexually
transmitted pathogen,
Chlamydia
PRESENTATION TREATMENT
• Nyeri skrotum yang • Oral antibiotic.
menjalar ke lipat paha dan • Scrotal elevation, bed rest,
pinggang.
&use of NSAID.
• Pembengkakan skrotum
karena inflamasi atau • Admission & IV drugs used.
hidrokel • In STD treat partner.
• Gejala dari uretritis, • In chronic pain do
sistitis, prostatitis.
epididymectomy.
• O/E tendered red scrotal
swelling.
• Elevation of scrotum
relieves painphren sign
(+)
22. HEMOROID

Hemoroid interna dan eksterna dibatasi


oleh linea dentata.

Hemoroid eksterna Hemoroid Interna


Diluar anal canal, sekitar sphincter Didalam anal canal
Gejala terjadi karena thrombosis Gejala timbul karena perdarahan atau
iritasi mukosa
Tidak dapat dimasukkan ke dalam anal dapat dimasukkan ke dalam anal canal
canal sampai grade III
• Internal Hemorrhoids
Internal hemorrhoidal plexus
– V. Rectus Inferior
– V. Rectus Media
• External Hemorrhoids
external hemrroidal plexus
– V. Rectus Inferior
Gambaran Histologis
• Hemoroid  structur
vaskular dalam anal
canal
• Gambaran Histologis:
Epitel skuomosa
kolumnar simplex dan
eptel skuomosa
bertingkat dengan
pelebaran vena pada
lapisan lamina proria
dan submukosa
Grading Hemoroid Interna
(Banov, 1985)
• Grade I hemorrhoids project into the anal canal and often bleed but do
not prolapse

• Grade II hemorrhoids may protrude beyond the anal verge with straining
or defecating but reduce spontaneously when straining ceases (ie, return
to their resting point by themselves)

• Grade III hemorrhoids protrude spontaneously or with straining and


require manual reduction (ie, require manual effort for replacement into
the anal canal)

• Grade IV hemorrhoids chronically prolapse and cannot be reduced; these


lesions usually contain both internal and external components and may
present with acute thrombosis or strangulation
ACG (American College of
Gastroenterology Guideline
Treatment for internal hemorrhoids by grade:
• Grade I hemorrhoids
– conservative medical therapy and avoidance of nonsteroidal anti- inflammatory drugs
(NSAIDs) and spicy or fatty foods
– Conservative therapy:
• Increased fiber intake and adequate fluids  reducing both prolapse and bleeding
• Avoid straining and limit their time spent on the commode
• Topical and systemic analgesics; proper anal hygiene
• a short course of topical steroid cream
• Grade II or III hemorrhoids
– initially treated with nonsurgical procedures, rubber band ligation, sclerotherapy, and infrared
coagulation
– Rubber band Ligation is the treatment of choice for second- degree hemorrhoids, and it is a
reasonable first-line treatment for third-degree hemorrhoids
• Very symptomatic grade III and grade IV hemorrhoids
– surgical hemorrhoidectomy, or stapled
– Very symptomatic gr. III  continous bleeding, intractable pain, large hemoroid gr. III
• Treatment of grade IV internal hemorrhoids or any incarcerated or gangrenous
tissue requires prompt surgical consultation

Wald A, Bharucha AE, Cosman BC, et al. ACG clinical guideline: management of benign anorectal
disorders. Am J Gastroenterol. Aug 2014
23. Trauma Buli
• 86% trauma buli berkaitan dg trauma
abdomen (KLL, jatuh dr ketinggian)
• 90% berhubungan dg fraktur pelvis.
• Sebaliknya hanya 9 – 16 % fraktur pelvis yg
disertai ruptur buli.
• 60% mrpk ruptur buli extraperitoneal, 30%
intraperitoneal
MEKANISME CEDERA
• Ruptur intraperitoneal terjadi akibat trauma pada abdomen
bagian bawah atau jg trauma pelvis pada saat buli2 penuh.
• Ruptur extraperitoneal lbh sering berkaitan dg fraktur pelvis
Tanda dan gejala
• Hematuria
– dapat merupakan gejala tunggal
– 95% ruptur buli
• Nyeri perut bawah.
• Kesulitan berkemih
• Pruduksi urin menurun
Pemeriksaan radiologis
• Cystography
– Kontras > 300 cc
– Foto pengosongan (drainase)
• CT scan cystography
Trauma buli
• Kontusio buli
– Cedera mukosa tanpa extravasasi urin
• Ruptur interstisial
– Robekan sebagian dinding buli tanpa extravasasi
• Ruptur intraperitoneal
– Tampak kontras mengisi rongga intraperitoneal
• Ruptur extraperitoneal
– Kontras mengisi ruang perivesika dibawah garis
asetabulum
• Hematoma perivesika : tear drop appearance
Sistogram
Ruptur intraperitoneal Ruptur Ekstraperitoneal
Penatalaksanaan
• Pada luka tembus buli2  explorasi + repair
• Ruptur intraperitoneal  explorasi + repair

• Pada trauma tumpul yg hanya menimbulkan


trauma dinding buli yg tidak disertai
extravasasi urin tidak memerlukan tindakan
pembedahan.
24. Hirschsprung
• Suatu kelainan bawaan
berupa aganglionik usus,
mulai dari spinchter ani
interna kearah proksimal
dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rectum
dengan gejala klinis berupa
gangguan pasase usus.
• Tidak terdapat ganglion
Meisner dan Auerbach
EPIDEMIOLOGI
1 diantara 5000
kelahiran hidup

Laki-laki > wanita

Faktor genetik
ETIOLOGI

Kegagalan
perkembangan Tidak terdapatnya sel Terbentuknya
pleksus submukosa ganglion parasimpatis panjang terminal
Meissner dan pleksus dari pleksus Auerbach aganglionik usus
mienteric Auerbach di colon besar yang bervariasi
di usus besar
PATOFISIOLOGI
Gagal migrasi bakal sel
ganglion dari cranio- caudal
Minggu 5 – 12

Segmen
aganglionik
Peristaltik propulsif Ganglion
tidak ada, sfingter ani parasimpatik
internus gagal intramural tidak ada
mengendur pada
distensi rectum
Colon tidak
Defekasi terganggu
mengembang

obstruksi Distensi abdomen konstipasi


MANIFESTASI KLINIS

KETERLAMBATAN EVAKUASI MEKONIUM

MUNTAH HIJAU

DISTENSI ABDOMEN
DIAGNOSA

GAMBARAN KLINIS

COLOK DUBUR

PEM.PENUNJANG :
BNO POLOS BARIUM
Gambaran ENEMA
hearing bone Gambaran
zona transisi
• Darm kontur: terlihatnya bentuk usus pada
abdomen
• Darm Steifung: terlihatnya gerakan peristaltik
pada abdomen
Rontgen :
• Abdomen polos
– Dilatasi usus
– Air-fluid levels.
– Empty rectum
• Contrast enema
– Transition zone
– Abnormal, irregular contractions of
aganglionic segment
– Delayed evacuation of barium
• Biopsy :
– absence of ganglion cells
– hypertrophy and hyperplasia of nerve
fibers,
PENATALAKSANAAN
• Prinsip terapi
– mengatasi obstruksi,
– mencegah terjadinya enterocolitis
– membuang segmen aganglionik
– mengembalikan kontinuitas usus
TERAPI

SEMENTARA COLOSTOMY

PEMBEDAHAN
RECTOSIGMOIDESTOMY
CARA SWENSON

DEFINITIF

ANASTOMOSE
COLOANAL CARA
DUHAMEL DAN SOAVE
25. Dislokasi Panggul
ANTERIOR POSTERIOR

Paling sering terjadi akibat trauma


Jarang terjadi (10%)
dashboard saat mengerem (90%)

Dislokasi anterior acetabulum Dislokasi posterior acetabulum

Fleksi panggul, internal rotasi,


Ekstensi panggul, abduksi,
adduksi, ekstremitas terlihat
eksternal rotasi
memendek
soundnet.cs.princeton.edu
Posterior Hip Dislocation
Gejala
• Nyeri lutus
• Nyeri pada sendi
panggul bag.
belakang
• Sulit
menggerakkan
ekstremitas
bawah
• Kaki terlihat
memendek dan
dalam posisi
fleksi, endorotasi
dan adduksi
Risk Factor
• Kecelakaan
• Improper seating
adjustment
• sudden break in
the car
netterimages.com
soundnet.cs.princeton.edu

Anterior Hip Dislocation


Gejala
• Nyeri pada sendi
panggul
• Tidak dapat berjalan
atau melakukan
adduksi dari kaki.
• The leg is externally
rotated, abducted,
and extended at the
hip

netterimages.com
Tatalaksana Dislokasi Sendi Panggul:
Reposisi
• Bila pasien tidak memiliki komplikasi lain:
– Berikan Anestetic atau sedative dan manipulasi
tulang sehingga kembali pada posisi yang
seharusnya reduction/reposisi
• Pada beberapa kasus, reduksi harus dilakukan
di OK dan diperlukan pembedahan
• Setelah tindakan, harus dilakukan
pemeriksaan radiologis ulang atau CT-scan
untuk mengetahui posisi dari sendi.
26. Luka Bakar
Tatalaksana Emergency luka Bakar

Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb
2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Rule of nines

Adult Infant
• Bayi berusia sampai satu tahun
– Luas permukaan kepala dan leher berkisar 18%
– Luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%.
• Dalam masa pertumbuhannya, setiap tahun di
atas usia satu tahun, maka ukuran kepala
berkurang sekitar 1% dan ukuran tungkai
bertambah 0. 5%
• Proporsi dewasa tercapai saat seorang anak
mencapai usia sepuluh tahun
• Usia 10 thn penambahan ukuran tungkai dipindahkan ke
genitalia dan perineum 1%
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Contoh
• Anak usia 6 tahun datang dengan luka bakar di
wajah dan seluruh bagian depan kaki kanan
• Luas permukaan yang terbakar adalah?
– Wajah (18-(6-1))/2= 6,5%
– Bagian depan 1 kaki (14+(0,5x(6-1))/2= 8,25%
– Total 13,75%
Indikasi Resusitasi Cairan
• Rumus Baxter adalah
dasar pemberian cairan
pertama kali
• Titrasi sesuai produksi
urine
– Bila kurang dari target
0,5-1 cc/KgBB/Jam
tambahkan volume
cairan resusitasi menjadi
150% pada jam
berikutnya atau bolus
cairan 5-10cc/KgBB
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Contoh
• Seorang perempuan, berat 60 kg dengan luka
bakar di dada dan perut, karena ledakan kompor
1 jam yang lalu. Terdapat eritem di dada dan
perut, bula, bula pecah, suara serak tidak ada.
• Kebutuhan cairan 4x18%x60 kg = 4320 cc/24 jam
– 2160 cc dalam 8 jam pertama 270 cc/jam
– 2160 cc dalam 16 jam berikutnya
• Saat pemberian cairan jam pertama urine 30
cc/jam (sesuai target 0,5-1 cc/KgBB/Jam
• jam ke-2 didapatkan urine 10 cc/jam (kurang dari
target.
A. Jam berikutnya diberikan 270ccx150% = 405
cc/ jam kemudian nilai ulang produksi urine
jam berikutnya
– Masih kurang? Tambah jadi 405ccx150%= 607,5
cc/jam
B. Atau berikan bolus cairan 5-10 cc/kgBB
secepatnya (utk pasien ini 300-500 cc). Nilai
urine jam berikutnya
– Masih kurang? Boleh pilih A atau B lagi
INDIKASI RAWAT INAP
PADA LUKA BAKAR
– LB yang memenuhi indikasi resusitasi cairan (Baxter)
– LB derajat II >30%  ICU
– LB yang mengenai: wajah, leher, mata, telinga, tangan,
kaki, sendi, genitalia
– LB derajat III >5% (semua umur)
– LB elektrik / petir dengan kerusakan di bawah jaringan
kulit
– LB kimia / radiasi
– LB dengan Trauma Inhalasi
– LB dengan penyakit penyerta

emedicine
Luka Bakar Khusus
• Luka bakar listrik
– Target urine lebih banyak (1-2cc/kgBB/jam)
• mencegah sumbatan mioglobin di ginjal
• bila tidak memenuhi target dengan penambahan volume
cairan
• pertimbangkan pemberian manitol 12,5 g setiap 1000 cc
cairan resusitasi
– Fasciotomi segera untuk kompartemen syndrome
• Luka bakar anak <10 thn
– Risiko hipoglikemiaberikan cairan maintenance
tambahan yang mengandung glukosa (dihitung
dengan rumus Darrow/Holliday Segar)
27. Papilloma Intraduktal
• Papilloma intraduktal adalah pertumbuhan
menyerupai kutil dengan disertai tangkai yang
tumbuh dari dalam payudara yang berasal dari
jaringan glandular dan jaringan fibrovaskular.
• Epidemiologi: terjadi pada wanita pada masa
reproduktif akhir, atau post-menopause. Usia
rerata 48 tahun.
Gejala dan Tanda
• Hampir 90% dari Papilloma Intraduktus adalah dari tipe
soliter dengan diameternya kurang dari 1cm dan sering
timbul pada duktus laktiferus dan hampir 70% dari pasien
datang dengan nipple discharge yang serous dan
bercampur darah.
• Ada juga pasien yang datang dengan keluhan massa pada
area subareola walaupun massa ini lebih sering ditemukan
pada pemeriksaan fisis. Massa yang teraba sebenarnya
adalah duktus yang berdilatasi.
• Papilloma Intraduktus multiple biasanya tidak gejala nipple
discharge dan biasanya terjadi pada duktus yang kecil.
Diperkirakan hampir 25% dari Papilloma Intraduktus
multiple adalah bilateral.

http://radiopaedia.org/
Etiologi dan Patogenesis
• Etiologi dan patogenesis dari penyakit ini masih
belum jelas.
• Dari kepustakaan dikatakan bahwa, Papilloma
Intraduktus ini terkait dengan proliferasi dari
epitel fibrokistik yang hiperplasia.
• Ukurannya adalah 2-3 mm dan terlihat seperti
broad-based atau pedunculated polypoid
epithelial lesion yang bisa mengobstruksi dan
melebarkan duktus terkait.
• Kista juga bisa terbentuk hasil dari duktus yang
mengalami obstruksi.
http://radiopaedia.org/
Pemeriksaan Radiologis
• Mammografi
– Biasanya gambaran normal
– Gambaran yang dapat ditemukan dilatasi duktus soliter maupun
multipel, massa jinak sirkumskripta (sering di subareola), atau
kalsifikasi.
• Galactography
– Gambaran abnormalitas ductus: filling defect, ectasia, obstruksi,
atau irregularitas. Tidak spesifik
– Dapat evaluasi jumlah, lokasi, penyebaran, dan jarak dari areola.
• USG
– Gambaran terlihat jelas sebagai nodul padat atau massa
intraduktal dapat pula berupa kista dalam duktus.
– Colour doppleruntuk melihat vaskularisasi.

http://radiopaedia.org/
• Galactogram
USG
• Atas: nodul solid dalam
duktus
• Bawah: nodul
bertangkai dengan
dilatasi duktus
Tatalaksana dan Prognosis
• Papilloma intraduktal solitereksisi
• Menurut komuniti dari College of American
Pathologist, wanita dengan lesi ini mempunyai
risiko 1,5 – 2 kali untuk terjadinya karsinoma
mammae.
THE BREAST LUMP
Tumors Onset Feature
Invasive Ductal Carcinoma , Paget’s disease (Ca Insitu),
Peau d’orange , hard, Painful, not clear border,
Breast cancer 30-menopause
infiltrative, discharge/blood, Retraction of the
nipple,Axillary mass
Fibroadenoma They are solid, round, rubbery lumps that move freely in
< 30 years
mammae the breast when pushed upon and are usually painless.
lumps in both breasts that increase in size and
Fibrocystic
20 to 40 years tenderness just prior to menstrual bleeding.occasionally
mammae
have nipple discharge
Localized breast erythema, warmth, and pain. May be
Mastitis 18-50 years
lactating and may have recently missed feedings.fever.
intralobular stroma . “leaf-like”configuration.Firm,
Philloides smooth-sided, bumpy (not spiky). Breast skin over the
30-55 years
Tumors tumor may become reddish and warm to the touch.
Grow fast.
occurs mainly in large ducts, present with a serous or
Duct Papilloma 45-50 years
bloody nipple discharge
28. Trauma Dada
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Hemotoraks Laserasi • Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok,
pembuluh darah takikardia, Frothy/ bloody sputum.
di kavum toraks • Suara napas menghilang pada tempat yang
terkena, vena leher mendatar, perkusi dada
pekak.

Simple Trauma tumpul • Jejas di jaringan paru sehingga menyebabkan


pneumotoraks spontan udara bocor ke dalam rongga dada.
• Nyeri dada, dispneu, takipneu.
• Suara napas menurun/ menghilang, perkusi
dada hipersonor
Open Luka penetrasi di • Luka penetrasi menyebabkan udara dari luar
pneumotoraks area toraks masuk ke rongga pleura.
• Dispneu, nyeri tajam, empisema subkutis.
• Suara napas menurun/menghilang
• Red bubbles saat exhalasi dari luka penetrasi
• Sucking chest wound
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Tension Udara yg terkumpul • Tampak sakit berat, ansietas/gelisah,
pneumotoraks di rongga pleura tidak • Dispneu, takipneu, takikardia, distensi
dapat keluar lagi vena jugular, hipotensi, deviasi trakea.
(mekanisme pentil) • Penggunaan otot-otot bantu napas,
suara napas menghilang, perkusi
hipersonor.
Flail chest Fraktur segmental • Nyeri saat bernapas
tulang iga, • Pernapasan paradoksal
melibatkan minimal 3
tulang iga.
Efusi pleura CHF, pneumonia, • Sesak, batuk, nyeri dada, yang
keganasan, TB paru, disebabkan oleh iritasi pleura.
emboli paru • Perkusi pekak, fremitus taktil menurun,
pergerakan dinding dada tertinggal
pada area yang terkena.
Pneumonia Infeksi, inflamasi • Demam, dispneu, batuk, ronki
Hemopneumothorax
• Hemopneumotoraks akumulasi darah dan udara di dalam
rongga pleura.
http://emedicine.medscape.com/article/433779
Flail chest:
FLAIL CHEST • Beberapa tulang iga
• Beberapa garis fraktur pada
satu tulang iga

The first rib is often fractured


posteriorly (black arrows). If multiple
Fraktur segmental dari tulang-tulang iga yang rib fractures occur along the midlateral
berdekatan, sehingga ada bagian dari dinding (red arrows) or anterior chest wall
dada yang bergerak secara independen (blue arrows), a flail chest (dotted
black lines) may result.
http://emedicine.medscape.com/

Treatment
ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi
Analgesik kuat
intercostal blocks
Hindari analgesik narkotik
Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah
meningkat
Ventilasi tekanan positif
Hindari barotrauma
Chest tubes bila dibutuhkan
Perbaiki posisi pasien
Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu
mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena
Aggressive pulmonary toilet
Surgical fixation  rarely needed
Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade
Gejala Pemeriksaan Fisik
• Takipnea dan DOE, rest • Takikardi
air hunger • Hypotension shock
• Weakness • Elevated JVP with blunted
• Presyncope y descent
• Dysphagia • Muffled heart sounds
• Batu • Pulsus paradoxus
• Anorexia – Bunyi jantung masih
terdengar namun nadi
• (Chest pain) radialis tidak teraba saat
inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html

“Water bottle configuration"


bayangan pembesaran jantung
yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung:
– Echocardiography
– Pericardiocentesis
• Dilakukan segera untuk
diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis
– Sering kali merupakan pilihan
terbaik saat terdapat kecurigaan
adanya tamponade jantung atau
terdapat penyebab yang
diketahui untuk timbulnya
tamponade jantung

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
29. Hernia
Tipe Hernia Definisi
Reponible Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga
peritoneum secara manual atau spontan
Irreponible Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum

Inkarserata Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong
hernia
Strangulata Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong
hernia  tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah,
demam
Hernia Inkarserata dengan Ileus
Test Keterangan
Finger test Untuk palpasi menggunakan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak dapat
teraba isi dari kantong hernia, misalnya usus atau omentum (seperti karet). Dari
skrotum maka jari telunjuk ke arah lateral dari tuberkulum pubicum, mengikuti
fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus. Dapat dicoba
mendorong isi hernia dengan menonjolkan kulit skrotum melalui anulus
eksternus sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat direposisi atau
tidak. Pada keadaan normal jari tidak bisa masuk. Dalam hal hernia dapat
direposisi, pada waktu jari masih berada dalam anulus eksternus, pasien diminta
mengedan. Bila hernia menyentuh ujung jari berarti hernia inguinalis lateralis,
dan bila hernia menyentuh samping ujung jari berarti hernia inguinalis medialis.

Siemen test Dilakukan dengan meletakkan 3 jari di tengah-tengah SIAS dengan tuberculum
pubicum dan palpasi dilakukan di garis tengah, sedang untuk bagian medialis
dilakukan dengan jari telunjuk melalui skrotum. Kemudian pasien diminta
mengejan dan dilihat benjolan timbal di annulus inguinalis lateralis atau annulus
inguinalis medialis dan annulus inguinalis femoralis.
Thumb test Sama seperti siemen test, hanya saja yang diletakkan di annulus inguinalis
lateralis, annulus inguinalis medialis, dan annulus inguinalis femoralis adalah ibu
jari.
Valsava test Pasien dapat diperiksa dalam posisi berdiri. Pada saat itu benjolan bisa saja
sudah ada, atau dapat dicetuskan dengan meminta pasien batuk atau
melakukan manuver valsava.
30. BPH
BPH

adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel
prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak
diakibatkan sel-sel prostat
memperbanyak diri
melebihi kondisi normal,
biasanya dialami laki-laki
berusia di atas 50 tahun
yang menyumbat saluran
kemih.
NORMAL TIDAK NORMAL
PREVALENSI
 Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah
diteliti.
 Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria
di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria
diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah
(Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH.
 Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49
tahun mencapai hampir 15%, usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60
tahun mencapai angka sekitar 43%.
ETIOLOGI
Umur
Pria berumur lebih dari 50 tahun,
kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%.
Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan
itu meningkat menjadi 90%.

Faktor Hormonal
Testosteron –> hormon pada pria.
Beberapa penelitian menyebutkan karena
adanya peningkatan kadar testosteron pada pria
(namun belum dibuktikan secara ilmiah) .
Hipotesis penyebab timbulnya
hiperplasia prostat

Ketidaksei
Teori mbangan Interaksi Berkurangnya
Teori sel
dihidrotest antara stroma- kematian sel
stem
osteron estrogen- epitel prostat
testosteron
PATOFISIOLOGI

Kelenjar Prostat terdiri Mekanisme BPH secara umum


dari atas 3 jaringan : patofisiologi penyebab hasil dari faktor statik
BPH secara jelas (pelebaran prostat
• Epitel atau secara berangsur-
glandular, stromal belum diketahui
dengan pasti. angsur) dan faktor
atau otot polos, dan dinamik (pemaparan
kapsul. Namun diduga terhadap agen atau
• Jaringan stromal intaprostatik kondisi yang
dan kapsul dihidrosteron (DHT) menyebabkan
ditempeli dengan dan 5α- reduktase tipe konstriksi otot polos
reseptor adrenergik II ikut terlibat. kelenjar.)
α1.
TANDA DAN GEJALA

Tanda klinis terpenting BPH


 Sering kencing adalah ditemukannya
 Sulit kencing pembesaran konsistensi
 Nyeri saat berkemih kenyal, pool atas tidak teraba
 Urin berdarah pada pemeriksaan colok
 Nyeri saat ejakulasi dubur/ digital rectal
 Cairan ejakulasi examination (DRE). Apabila
berdarah teraba indurasi atau terdapat
 Gangguan ereksi bagian yang teraba keras,
 Nyeri pinggul atau perlu dipikirkan kemungkinan
punggung prostat stadium 1 dan 2.
Manifestasi Klinis
Dapat dibagi ke dalam dua kategori :

Obstruktif :
terjadi ketika faktor
dinamik dan atau Iritatif :
faktor statik hasil dari
mengurangi obstruksi yang
pengosongan sudah berjalan
kandung kemih. lama pada leher
kandung kemih.
Diagnosis of BPH
• Symptom assessment
– the International Prostate Symptom Score (IPSS) is recommended as it is used
worldwide
– IPSS is based on a survey and questionnaire developed by the American Urological
Association (AUA). It contains:
• seven questions about the severity of symptoms; total score 0–7 (mild), 8–19 (moderate),
20–35 (severe)
• eighth standalone question on QoL
• Digital rectal examination(DRE)
– inaccurate for size but can detect shape and consistency
• Prostat Volume determination- ultrasonography
• Urodynamic analysis
– Qmax >15mL/second is usual in asymptomatic men from 25 to more than 60 years of
age
• Measurement of prostate-specific antigen (PSA)
– high correlation between PSA and Prostat Volume, specifically Trantitional Zone
Volume
– men with larger prostates have higher PSA levels 1

– PSA is a predictor of disease progression and screening tool for CaP


– as PSA values tend to increase with increasing PV and increasing age, PSA may be
used as a prognostic marker for BPH
Gambaran BNO IVP
Pada BNO IVP dapat ditemukan:
• Indentasi caudal buli-buli
• Elevasi pada intraureter
menghasilkan bentuk J-ureter
(fish-hook appearance)
• Divertikulasi dan trabekulasi
vesika urinaria

“Fish Hook appearance”(di tandai


dengan anak panah)

Indentasi caudal buli-buli


Pada USG (TRUS, Transrectal
Ultrasound)
• Pembesaran kelenjar
pada zona sentral
• Nodul hipoechoid atau
campuran echogenic
• Kalsifikasi antara zona
sentral
• Volume prostat > 30 ml 8

CT Scan:
• Tampak ukuran prostat
membesar di atas ramus superior
simfisis pubis.
Derajat BPH, Dibedakan menjadi 4
Stadium :
 Stadium 1 :
Obstruktif tetapi kandung kemih masih
mengeluarkan urin sampai habis.

 Stadium 2 : masih tersisa urin 60-150 cc.

 Stadium 3 : setiap BAK urin tersisa kira-kira 150 cc.

 Stadium 4 :
retensi urin total, buli-buli penuh pasien tampak
kesakitan urin menetes secara periodik.
Grade Pembesaran Prostat
Rectal Grading
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
• Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
• Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
• Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
• Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
• Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
Kategori Keparahan Penyakit BPH Berdasarkan
Gejala dan Tanda (WHO)
Keparahan Skor gejala AUA Gejala khas dan tanda-tanda
penyakit (Asosiasi Urologis
Amerika)
Ringan ≤7 • Asimtomatik (tanpa gejala)
• Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s
• Volume urine residual setelah
pengosongan 25-50 mL
• Peningkatan BUN dan kreatinin serum

Sedang 8-19 Semua tanda di atas ditambah obstruktif


penghilangan gejala dan iritatif
penghilangan gejala (tanda dari detrusor
yang tidak stabil)
Parah ≥ 20 Semua hal di atas ditambah satu atau
lebih komplikasi BPH
Terapi Farmakologi
 Jika gejala ringan  maka pasien cukup dilakukan
watchful waiting (perubahan gaya hidup).
 Jika gejala sedang  maka pasien diberikan obat
tunggal antagonis α adrenergik atau inhibitor 5α-
reductase.
 Jika keparahan berlanjut  maka obat yang
diberikan bisa dalam bentuk kombinasi keduanya.
 Jika gejala parah dan komplikasi BPH, dilakukan
pembedahan.
Algoritma manajemen terapi BPH
BPH

Menghilangkan gejala Menghilangkan gejala Menghilangkan gejala parah


ringan sedang dan komplikasi BPH

Watchful Operasi
waiting
α-adrenergik α-adrenergik
antagonis atau antagonis dan 5-α
5-α Reductace
Reductace inhibitor inhibitor

Jika respon Jika respon Jika respon Jika respon tidak


berlanjut tidak berlanjut, berlanjut berlanjut, operasi
operasi
antagonis α adrenergik
• Mekanisme kerja : memblok reseptor
adrenergik α 1 sehingga mengurangi faktor
dinamis pada BPH dan akhirnya berefek
relaksasi pada otot polos prostat.
inhibitor 5α- reductase
• Mekanisme kerja dari obat ini adalah
mengurangi volume prostat dengan
menurunkan kadar hormon testosteron.
• 5α-reduktase inhibitor digunakan jika pasien
tidak dapat mentolerir efek samping dari alfa
blocker.
Terapi Non Farmakologi
 Pembatasan Minuman Berkafein
 Tidak mengkonsumsi alkohol
 Pemantauan beberapa obat seperti diuretik,
dekongestan, antihistamin, antidepresan
 Diet rendah lemak
 Meningkatkan asupan buah-buahan dan
sayuran
 Latihan fisik secara teratur
 Tidak merokok
31. Fraktur Klavikula
Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3
tengah klavikula)
• Fraktur pada bagian tengah clavicula
• Lokasi yang paling sering terjadi
fraktur, paling banyak ditemui

Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula


Fraktur klavikula lateral dan ligament
korako-kiavikula, yang dapat dibagi:
– type 1: undisplaced jika ligament intak
– type 2: displaced jika ligamen korako-
kiavikula ruptur.
– type 3: fraktur yang mengenai sendi
akromioklavikularis.

Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal


clavicula. Fraktur yang paling jarang
terjadi
Displaced or comminuted clavicle fractures are associated with complications such
as subclavian vessels injury, hemopneumothorax, brachial plexus paresis,
nonunion, malunion, posttraumatic arthritis, refracture, and other complications
related to osteosynthesis.

Complications associated with clavicular fracture. Orthop Nurs. 2009 Sep-Oct;28(5):217-24.


32. TRAUMA GINJAL
DIAGNOSIS
MEKANISME TRAUMA :
• Langsung • Cedera di daerah
• Tidak langsung ( deselerasi) pinggang,punggung dan
dada bawah dengan nyeri
JENIS TRAUMA:
• Tajam
• Hematuri (gross /
• Tumpul mikroskopik )
• Fraktur costa bg bawah atau
PENCITRAAN proc.Spinosus vertebra.
• BNO – IVP • Kadang syok
• CT SCAN
• MRI • Sering disertai cedera organ
• USG TIDAK DIANJURKAN. lain
KLASIFIKASI TR GINJAL:
• GRADE I : KONTUSIO DAN GRADE II : LASERASI KORTEK DAN
SUBKAPSULAR HEMATOM PERIRENAL HEMATOM
KLASIFIKASI TR GINJAL:
GRADE III : LASERASI DALAM GRADE IV : LASERASI MENEMBUS
HINGGA KORTIKOMEDULARI KOLEKTING SISTEM
JUNCTION
KLASIFIKASI TR GINJAL:
GRADE V : TROMBOSIS ARTERI
RENALIS, AVULSI PEDIKEL DAN
SHATTERED KIDNEY.

GRADE I DAN II : CEDERA


MINOR (85%)
GRADE III , IV DAN V : CEDERA
MAYOR. (15%)
CT Scan non contrast
Trauma ginjal grade I

Tidak ada jejas parenkim ginjal

Hematom Subkapsular

Ginjal Normal
CT Scan non contrast
Trauma ginjal grade II

Laserasi Korteks Ginjal

Hematom Perirenal

CT Scan non contrast


Trauma ginjal grade III

Panah merah menunjukan


Laserasi dalam hingga kortiko-medulari junction
CT Scan non contrast
Trauma ginjal grade IV

Laserasi mencapai collecting duct

Huruf U: menggambarkan
eksravasi urine ke peritoneal

CT Scan non contrast


Trauma ginjal grade V

Perdarahan intraperiotenal masif

Laserasi mengenai arteri


renalis

Gambaran perfusi ginjal


menurun
BNO-IVP Plain X-Ray

Demonstrating
extravasation of contrast
from the right kidney, and a
functioning left kidney.

Blunt right renal trauma. Entire


collecting system, ureter and bladder
filled with a blood clot  radio-opac.
http://www.trauma.org/archive/abdo/renal/case.html (Plain X-Ray)
One shot-Intraoperative Intraveous Pyelography
• Indikasi: pasien yang tidak stabil tidak
dimungkinkan dilakukan CT scan, maka
perlu dilakukan one shot-IVP di ruang
operasi.
• Teknik: injeksi kontras sebanyak 2 ml/KgBB
dan diikuti dgn satu kali pengambilan plain
foto tunggal 10 menit post injeksi.
• Tujuan: memberikan informasi untuk
tindakan laparotomi segera, dan data
mengenai normal atau tidaknya fungsi
ginjal kontralateral.
• Pada trauma ginjal grade 5 (non-
functioning kidney) tidak akan tampak zat
kontras yang diekskresikan. Ekstravasasi zat
kontras di jaringan sekitar ginjal mungkin
terlihat pada grade 1-4.
• One-shot IVP tidak memiliki manfaat yang
signifikan untuk menilai pasien dengan
trauma tembus ginjal yang akan menjalani
operasi laparotomi.
BNO IVP
Pemeriksaan didaerah abdomen atau pelvis untuk mengetahu kelainan –
kelainan pada daerah tersebut khususnya pada system urinaria. Dibagi
beberapa tahap.
1. Foto 5 menit
– Tujuan :Untuk melihat fungsi ginjal dan untuk melihat pengisian media
kontras pada pelvicocalises
2. Foto 15 menit post penyutikan
– Tujuan: Untuk melihat pengisian media kontras pada ureter
3. Foto post 30 menit penyuntikan
– Tujuan :Untuk melihat pengisian ureter bag bawah dan kandung
kencing
– Tampak media kontras pada kandung kencing, tampak kedua ginjal,dan
ureter, daerah sympisis pubis masuk dalam radiograf.
– Apabila pada 30 menit setelah penyuntikan media kontras , kandung
kencing terisi penuh dengan media kontras , maka pasien dimohon
untuk kencing/ buang air kecil
– Apabila pada foto ke 30 menit media kontras belum mengisi penuh
kandung kencing maka pemeriksaan dilanjutkan sampai 60 menit , 90
menit , 120 menit
– Kemudian dilanjutkan dengan foto Post Miksi (PM )
1. Foto 5 menit 2. Foto 15 menit

3. Foto 30 menit 4. Foto Post Miksi (PM)


PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI

KONSERVATIF AWAL
• Trauma minor ( awasi vital • Perdarahan
sign)
• Urinoma
OPERASI • Abses peri renal
Absolut • Urosepsis
• Hematom yg pulsatif • Fistula renokutan
• Laserasi mayor parenkim dan
pembuluh darah
Relatif LATE
• Ekstra vasasi,non viable • Hipertensi
tissue,inkomplet • Hidronefrosis
staging,trombosis arterial
• Urolithiasis
• Pyelonefritis kronik
33. Insufisiensi Vena Kronik
• Penyakit vena kronik atau chronic venous disease
(CVD)
• abnormalitas fungsi sistem vena akibat inkompetensi
katup vena dengan atau tanpa disertai obstruksi aliran
vena, yang mempengaruhi sistem vena superfisial,
sistem vena profunda, atau keduanya.
• Bisa juga diartikan sebagai kondisi medis yang
ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada
tungkai akibat kerusakan pada katup vena dan
gumpalan darah yang menyebabkan darah
terakumulasi di dalam vena
Etiologi Faktor Risiko

• Kerusakan pada katup • Keadaan yang meningkatkan


dalam pembuluh darah resiko terkena insufisiensi
• Pembentukan gumpalan vena kronis:
darah di salah satu • Perempuan > laki-laki
pembuluh darah dalam • Perokok
utama kaki
• Berdiri untuk waktu yang
• Sindrom post-flebitis yang lama
terjadi akibat komplikasi • Bertambah tua
DVT, suatu kondisi yang
ditandai dengan • Berusia lebih dari 50 tahun
terbentuknya gumpalan • Duduk untuk waktu yang
darah pada vena-vena lama
dalam • Pernah melakukan operasi
besar pada kaki atau tungkai
• Sedang hamil
Patofisiologi
• Pada vena terdapat katup-katup yang mencegah aliran balik
dari darah
• Ketika katup-katup tersebut rusak, darah mulai mengalir ke
belakang akibat gravitasi dan terakumulasi di dalam vena,
terutama vena-vena tungkai
• Kelebihan cairan merembes keluar dari pembuluh
venapembengkakan tungkai
– Kapiler-kapiler pada tungkai pecahpewarnaan coklat kemerahan
pada kulit
• Timbul gejala seperti rasa gatal dan perubahan warna pada
kulit tungkai
• Fase lanjut terbentuk ulkus yang sukar disembuhkan
Gejala Klinik
• Kulit bersisik pada tungkai dan kaki
• Kulit berwarna kecoklatan di dekat mata kaki
• Kulit yang terasa gatal
• Pembengkakan pada mata kaki
• Pembengkakan pada tungkai kaki
• Nyeri
Insufisiensi vena kronis
• Atrophie blanche • Submalleolar Venous Flare
• a particular type of scar arising on the • Incompetence in perforating
lower leg vein valve which results in
• It occurs after a skin injury when the venous hypertension
blood supply is poor. • Causes dilation of the venules
• Venule sometimes forms tiny
bleb that will rupture with
+++bleeding
33. DVT

Virchow Triads:
(1) venous stasis
(2) activation of blood coagulation
(3) vein damage

Crurales Vein is a common and


incorrect terminology
Superficial vein systems
• Signs and symptoms of
DVT include :
– Pain in the leg
– Tenderness in the calf (this
is one of the most
improtant signs )
– Leg tenderness
– Swelling of the leg
– Increased warmth of the
leg
– Redness in the leg
– Bluish skin discoloration
– Discomfort when the foot
is pulled upward (Homan’s)
http://www.medical-explorer.com/blood.php?022
American College of Emergency Physicians (ACEP)
Trombosis Vena Dalam
• Skoring Wells
– Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan atau paliatif) (skor 1)
– Paralisis, paresis, imobilisasi (skor 1)
– Terbaring selama > 3 hari (skor 1)
– Nyeri tekan terlokalisir sepanjang vena dalam (skor 1)
– Seluruh kaki bengkak (skor 1)
– Bengkak betis unilateral 3 cm lebih dari sisi asimtomatik (skor 1)
– Pitting edema unilateral (skor 1)
– Vena superfisial kolateral (skor 1)
– Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT (skor -2)
• Interpretasi:
– >3: risiko tinggi (75%)
– 1-2: risiko sedang (17%)
– < 0: risiko rendah (3%)

Sudoyo A dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. 2015
Patient with suspect symptomatic
Acute lower extremity DVT

negative
Venous duplex scan Low clinical probability observe

positive High clinical probability negative

Evaluate coagulogram /thrombophilia/ malignancy


Repeat scan /
Venography
Anticoagulant therapy yes IVC filter
contraindication

No

pregnancy LMWH

OPD LMWH

hospitalisation + warfarin
UFH

Compression treatment
Color duplex scan of DVT

Venogram shows DVT


34. Fraktur Antebrachii
• Fraktur Galeazzi: adalah fraktur radius distal disertai
dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal.
• Fraktur Monteggia: adalah fraktur ulna sepertiga
proksimal disertai dislokasi ke anterior dari kapitulum
radius.
• Fraktur Colles: fraktur melintang pada radius tepat
diatas pergelangan tangan dengan pergeseran dorsal
fragmen distal.
• Fraktur Smith: Fraktur smith merupakan fraktur
dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering
disebut reverse Colles fracture.
Prinsip diagnostik
• Secara umum, pada kasus
fraktur dilakukan foto polos AP
dan lateral
• Khusus untuk fraktur pada
lengan bawah dan
pergelangan, urutan foto
polos: PA
- PA Bila hanya Akan menentukan
pergelangan tangan saja tangan sebelah
yang difoto mana yang patah
- APBila meliputi sendi dan arah PA
siku dan pergelangan pergeserannya
tangan pada foto lateral
- Lateral
- Oblique

Ekayuda I. Radiologi diagnostik. 2nd ed


Fraktur Monteggia
Fraktur Galeazzi

Fraktur Colles
Fraktur Smith
Klasifikasi fraktur galeazzi berdasarkan posisi distal radius:
• Tipe 1: dorsal displacement
• Tipe 2: volar displacement
35. Klasifikasi Syok
Penyebab syok dapat diklasifikasikan • Syok obstruktif (gangguan kontraksi
sebagai berikut: jantung akibat di luar jantung):
• Syok kardiogenik (kegagalan kerja • (a) Tamponade jantung;
jantungnya sendiri)
• (b) Pneumotorak;
• (a) Penyakit jantung iskemik, seperti
infark • (c) Emboli paru.
• (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; • Syok distributif (berkurangnya tahanan
• (c) Gangguan irama jantung. pembuluh darah perifer)
• Syok hipovolemik (berkurangnya • (a) Syok neurogenik;
volume sirkulasi darah):
• (b) Cedera medula spinalis atau batang
• (a) Kehilangan darah, misalnya
perdarahan; otak;
• (b) Kehilangan plasma, misalnya luka • (c) Syok anafilaksis;
bakar; • (d) Obat-obatan;
• (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang • (e) Syok septik;
(misalnya puasa lama), cairan keluar
yang banyak (misalnya diare, muntah- • (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa
muntah, fistula, obstruksi usus dengan gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya
penumpukan cairan di lumen usus). tahanan pembuluh darah perifer.
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Resusitasi Cairan
36. Glaukoma Akut
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

Tatalaksana Glaukoma Akut


• Tujuan : merendahkan tekanan bola mata secepatnya
kemudian bila tekanan normal dan mata tenang → operasi
• Supresi produksi aqueous humor
– Beta bloker topikal: Timolol maleate 0.25% dan 0.5%, betaxolol
0.25% dan 0.5%, levobunolol 0.25% dan 0.5%, metipranolol
0.3%, dan carteolol 1% dua kali sehari dan timolol maleate 0.1%,
0.25%, dan 0.5% gel satu kali sehari (bekerja dalam 20 menit,
reduksi maksimum TIO 1-2 jam stlh diteteskan)
– Pemberian timolol topikal tidak cukup efektif dalam
menurunkan TIO glaukoma akut sudut tertutup.
– Apraclonidine: 0.5% tiga kali sehari
– Brimonidine: 0.2% dua kali sehari
– Inhibitor karbonat anhidrase:
• Topikal: Dorzolamide hydrochloride 2% dan brinzolamide 1% (2-3
x/hari)
• Sistemik: Acetazolamide 500 mg iv dan 4x125-250 mg oral (pada
glaukoma akut sudut tertutup harus segera diberikan, efek mulai
bekerja 1 jam, puncak pada 4 jam)
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.

Tatalaksana Glaukoma Akut


• Fasilitasi aliran keluar aqueous humor
– Analog prostaglandin: bimatoprost 0.003%, latanoprost 0.005%, dan
travoprost 0.004% (1x/hari), dan unoprostone 0.15% 2x/hari
– Agen parasimpatomimetik: Pilocarpine
– Epinefrin 0,25-2% 1-2x/hari
• Pilokarpin 2% setiap menit selama 5 menit,lalu 1 jam selama 24 jam
– Biasanya diberikan satu setengah jam pasca tatalaksana awal
– Mata yang tidak dalam serangan juga diberikan miotik untuk mencegah
serangan
• Pengurangan volume vitreus
– Agen hiperosmotik: Dapat juga diberikan Manitol 1.5-2MK/kgBB dalam larutan
20% atau urea IV; Gliserol 1g/kgBB badan dalam larutan 50%
– isosorbide oral, urea iv
• Extraocular symptoms:
– analgesics
– antiemetics
– Placing the patient in the supine position → lens falls away from the iris
decreasing pupillary block
– Pemakaian simpatomimetik yang melebarkan pupil berbahaya
Pharmacologic therapy
No. Drugs class Mechanism of action
1. Prostaglandin Increase aquos humor outflow  increase in uveoscleral outflow, increase
(latanoprost, travoprost, trabecular outflow, regulate matrix metaloproteinase and remodelling of
bimatoprost) Extracellular matrix, widening connective tissue filled spaces and changes
in the shapes of cells.
Topical prostaglandin are chosen over topical beta blocker and other class
of medication as initial therapy in open angle glaucoma
2. Beta blocker (timolol, Decreasing aquos humor production --> blockade of symphatetic nerve
levobunolol, endings in the cilliary epithelium
metipranolo)
3. Alpha adrenergic Increasing aquos humor outflow and decresasing the production. Simillary
agonist effective to beta blockers but are associated with a number ocular side
effect including allergic conjunctivitis, ocular pruritus, and hyperemia
4. Carbonic anhidrase Decreasing aquos humor production. Systemic CAI have been replaced by
inhibitor newer topical drugs whic have fewer systemic side effects. Topical CAI
(Acetazolamide) don`t appear to be as effective in treating open angle glaucoma compared
to other topical drugs.
5. Cholinergic agonist Increasing aquos humor outflow. Have fewer systemic side effect
compared to beta blocker, but ocular side effect is higher (myopia, small
pupils, visual distrubance related to coexistent cataract)
37. ULKUS KORNEA
• Gejala Subjektif
• Ulkus kornea adalah hilangnya – Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
sebagian permukaan kornea akibat – Sekret mukopurulen
kematian jaringan kornea – Merasa ada benda asing di mata
– Pandangan kabur
• ditandai dengan adanya infiltrat – Mata berair
– Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
supuratif disertai defek kornea
– Silau
bergaung, dan diskontinuitas – Nyeri
jaringan kornea yang dapat terjadi – infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit
dari epitel sampai stroma. nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer kornea
dan tidak disertai dengan robekan lapisan
epitel kornea.
• Etiologi: Infeksi, bahan kimia,
trauma, pajanan, radiasi, sindrom • Gejala Objektif
– Injeksi siliar
sjorgen, defisiensi vit.A, obat-
– Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan
obatan, reaksi hipersensitivitas, adanya infiltrat
neurotropik – Hipopion
Typical clinical Feature
Bacterial Ulcer Fungal Ulcer
• 1. History of trauma to the cornea, contact lens • 1. History of trauma with vegetable matter
wear
• 2. Suspect fungal ulcer if patient reports
• 2. Pain, redness, watering,decrease in vision
agriculture as main occupation.
• 3. Lid oedema (marked in gonococcal ulcer),
purulent discharge in gonococcal ulcer and bluish • 3. Pain and redness are similar to bacterial
green discharge in pseudomonas corneal ulcer ulcer. But lid oedema is minimal even in
• 4. Round or oval in shape involving central or para severe cases unless patients have received
central part of the cornea. Rest of the cornea is native medicines or peri ocular injections.
clear. Hypopyon may or may not be present. • 4. Early fungal ulcer may appear like a
• 5. In pneumococcal ulcer the advancing border will dendritic ulcer of herpes simplex virus. The
have active infiltrate with undermined edges and feathery borders are pathognomonic clinical
the trailing edge may show signs of healing. Most of
the pneumococcal ulcers will show leveled
features. Satellite lesions, immune ring, and
hypopyon associated with Dacryocystitis. unlevelled hypopyon may aid in diagnosis.
• 6. Pseudomonas ulcer will have short duration, • 5. The surface is raised with greyish white
marked stromal oedema adjacent to the ulcer with creamy infiltrates, which may or may not
rapid progression. If untreated, will perforate within appear dry.
2-3 days. Advanced ulcer may involve the sclera
also. • 6. Ulcer due to pigmented fungi will appear
• 7. Ulcers caused by Moraxella and Nocardia are
as brown or dark; raised, dry, rough, leathery
slowly progressive in immunocompromised hosts plaque on the surface of the cornea

WHO. Guidelines for the Management of Corneal Ulcer at Primary, Secondary & Tertiary Care health facilities in the South-East Asia Region. 2004
Ulkus kornea Bakterial
• Ulkus kornea pneumokokal • Ulkus kornea stafilokokus
– Streptokokus pneumonia – Ulkus sering indolen, mungkin disertai
– Muncul 24-48 jam setelah inokulasi sedikit infiltrat dan hipopion
pd kornea yg abrasi – Ulkus seringkali superfisial
– Khas sebagai ulkus yang menjalar – Obat: vankomisin
dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous).
– Ulkus bewarna kuning keabu- • Ulkus kornea pseudomonas
abuan berbentuk cakram dengan – Pseudomonas aeruginosa
tepi ulkus yang menggaung. – Awalnya berupa infiltrat kelabu/ kuning
– Ulkus cepat menjalar ke dalam dan di tempat yang retak
menyebabkan perforasi kornea, – Terasa sangat nyeri
karena eksotoksin yang dihasilkan
oleh streptokok pneumonia. – Menyebar cepat ke segala arah krn
– Efek merambat  ulkus adanya enzim proteolitik dr organisme
serpiginosa akut – Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna
– Obat: mofifloxacin, gatifloxacin, hijau kebiruan
cefazolin – Berhubungan dengan penggunaan soft
lens
– Obat: mofifloxacin, gatifloxacin,
siprofloksasin, tobramisin, gentamisin
Fluorescein test
• Fluorescein staining helps identify a corneal epithelial
defect.
• Step by step :
– A drop of topical anesthetic (proparacaine 0.5%) is applied
directly into the eye or on a fluorescein strip.
– The patient’s lower lid is pulled down, and the fluorescein
strip is lightly touched to the bulbar conjunctiva.
– The dye spreads over the cornea as the patient blinks, and
stains any exposed basement membrane of the
epithelium.
– In normal light, an abrasion may stain yellow
– Illumination with cobalt blue light shows the defect as
green
– Cobalt blue filters are present in many ophthalmoscopes,
as well as in slit lamps and Wood lamps.
• Interpretation
– Traumatic corneal
abrasions typically have
linear or geographic
shapes.
– contact lenses  the
abrasion may have
several punctate lesions
that coalesce into a
round, central defect. In normal light
– A branching (dendritic)
appearance suggests
herpetic keratitis and
warrants immediate
referral
– Multiple vertical lines on
the superior cornea
suggest a foreign body
under the upper eyelid
Viewed with cobalt blue light
Contact Lens Related Eye Infection
• Keratitis is the most • Risk Factor :
serious complication of – Extended wear lenses
contact lens wear – Sleeping in your contact
• Approximately 90% of MK lenses
in CL wearers is – Reduced tear exchange
associated with bacterial under the lens
infection – Enviromental factor poor
hygiene
• Symptomps
– Blurry vision, unusual
redness of the eye, pain in
the eye, tearing or
discharge from eye,
fotofobia, foreign body
sensation
Microbacterial keratitis related contact
lens wear
• Etiology :
– The most common bacterial
pathogens associated with MK :
Staphylococcus and Pseudomonas
species  more frequent in
temperate climate regions.
– Fungal keratitis  is more frequent
in tropical or sub-tropical climates.
Fusaria are the most common
fungal pathogen associated with
CL related fungal keratitis.
– Acanthamoeba keratitis seems to
be a growing clinical problem in CL
wearers,
– viral keratitis is poor understood

Dyavaiah M, et.al Microbial Keratitis in Contact Lens Wearers. JSM Ophthalmol 3(3): 1036 (2015)
Bacterial keratitis Fungal keratitis Acanthamoba
Risk factor - Sleeping with CLs among Possible risk factors of CL storage cases and poor
CL wearers fungal keratitis are ocular hygiene practices such as usage
- Patients with diabetes injury, long-term therapy of homemade saline rinsing
mellitus, dementia or with topical or systemic solutions and rinsing of lenses
chronic alcoholism steroids, with tap water Other risk
appeared to be at higher immunosuppressive agents, factors include CL solution
risk and underlying diseases reuse/topping off, rub to clean
- Trauma was rarely a such as pre-existing corneal lenses, shower wearing lenses,
factor surface abnormality and lens replaced (quarterly), age of
wearing CLs case at replacement (<3
months), extended wear and
lens material type
Clinical The predominant clinical CL associated Fusarium Itching, redness, pain, burning
manifestation features reported in keratitis include central sensation, ring infiltrate in
bacterial keratitis were lesions, paraxial lesions, and corneal, multiple
eye pain and redness the peripheral lesions in the pseudodendritic lesions, loss of
with a decrease in visual eye [31]. Patients with vision. Painless acantamoeba
acuity and stromal Candida infections were keratitis  fotofobia but no
infiltration reported to have a severe ocular pain
visual outcome

Diagnosis Microscopic observation CL associated Fusarium Corneal scraping and CL


of corneal scraping using keratitis include central solution  cyst and
stained smears is useful lesions, paraxial lesions, and trophozoyte
for diagnosis of bacterial the peripheral lesions in the
keratitis. eye [31]. Patients with
Candida infections were
reported to have a severe
visual outcome
Keratitis Acanthamoeba
• Faktor Resiko • Terapi :
– Sering terjadi pada orang – Klorhexidin 0,02%
yang memakai kontak – Polyhexamethylen
lensa dan melakukan hal – biguanide (PHMB 0,02%)
hal sebagai berikut : – Amfoterisin B
• Menyimpan dan
menggunakan lensa tidak
higienis
• Disinfeksi lensa yang tidak
tepat (membersihkan lensa
dengan air biasa)
• Berenang, mandi air panas
atau showering sambil
menggunakan lensa kontak
• Memiliki riwayat trauma
pada kornea
http://sdhawan.com/ophthalmology/lens&cataract.pdf E-mail: sdhawan@sdhawan.com

38. Cataract
• Any opacity of the lens or loss of transparency of the lens that causes
diminution or impairment of vision
• Classification : based on etiological, morphological, stage of maturity
• Etiological classification :
 Senile
 Traumatic (penetrating, concussion, infrared irradiation, electrocution)
 Metabolic (diabetes, hypoglicemia, galactosemia, galactokinase deficiency,
hypocalcemia)
 Toxic (corticosteroids, chlorpromazine, miotics, gold, amiodarone)
 Complicated (anterior uveitis, hereditary retinal and vitreoretinal disorder, high myopia,
intraocular neoplasia
 Maternal infections (rubella, toxoplasmosis, CMV)
 Maternal drug ingestion (thalidomide, corticosteroids)
 Presenile cataract (myotonic dystrophy, atopic dermatitis)
 Syndromes with cataract (down’s syndrome, werner’s syndrome, lowe’s syndrome)
 Hereditary
 Secondary cataract
• Morphological classification : • Sign & symptoms:
 Capsular – Near-sightedness (myopia
 Subcapsular shift) Early in the
 Nuclear development of age-related
cataract, the power of the
 Cortical lens may be increased
 Lamellar – Reduce the perception of
 Sutural blue colorsgradual
• Chronological classification: yellowing and opacification of
 Congenital (since birth) the lens
 Infantile ( first year of life) – Gradual vision loss
 Juvenile (1-13years) – Almost always one eye is
 Presenile (13-35 years) affected earlier than the
other
 Senile
– Shadow test +
Klasifikasi morfologi katarak

Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011


Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Katarak Komplikata
• Pembagian katarak berdasarkan usia:
– Katarak kongenital  usia < 1 thn
– Katarak juvenil  sesudah usia 1 thn
– Katarak senilis  > 50 thn
• Katarak komplikata  akibat penyakit mata lain, mis:
radang, glaukoma, tumor, dll. Dpt jg disebabkan oleh
peny.sistemik endokrin (mis: DM) dan keracunan obat
(mis: steroid lokal lama)
• Katarak traumatik  akibat trauma, plg sering disebabkan
oleh cedera benda asing atau trauma tumpul bola mata
• Katarak sekunder  tjd sesudah operasi katarak atau
sesudah suatu trauma yg memecah lensa

Sumber: - Ilmu Penyakit Mata. Sidarta Ilyas. 2000.


- General opthalmology. Vaughan, et al. 17th edition
KATARAK TRAUMATIK

Typical stellate/rosette/flower-shaped cortical


lens opacity
Katarak traumatik
• Katarak Traumatik  akibat cedera benda asing
di lensa atau trauma tumpul pada bola mata.
• terdapat gambaran bintang pada kapsula
posterior
• tatalaksana
– Benda asing intraokular harus segera dikeluarkan
– Antibiotik sistemik dan topikal
– Kortikosteroid topikal
– Atropin sulfat 1%, 1 tetes 3 kali sehari untuk
mencegah sinekia posterior
39. Keratoconus
• Keratoconus (KC) is a progressive,
noninflammatory, bilateral (but usually
asymmetric) ectatic corneal disease,
characterized by paraxial stromal thinning and
weakening that leads to corneal surface
distortion
• Visual loss occurs primarily from irregular
astigmatism and myopia, and secondarily
from corneal scarring
Etiology
• Keratoconic corneas have been shown to have altered
antioxidant enzymes, accumulations of cytotoxic
reactive oxygen/nitrogen species, activated caspase
pathways, and mitochondrial DNA damage
• Abnormal oxidative stress-related properties have
been found in keratoconic corneal cells.
• Oxidative stress elements can induce activation of
degradative enzymes and degradation of tissue
inhibitors of metal-low proteinases.
• Genomic deletion in the superoxide dismutase 1
(SOD1) gene has also been associated with the disease
Sign and symptoms
• Distortions
• Glare/flare
• Monocular diplopia or ghost images
• Multiple unsatisfactory attempts to obtain
optimum spectacle correction
• Itchy eyes

• Keratoconus is differentiated into mild,


moderate, and advanced cases
Mild keratoconus

• Absent or minimal external and corneal signs


• Oblique astigmatism on refraction; moderate-to-
high myopia
• Irregular astigmatic keratometry values
• Corneal inferior steepening, central corneal
astigmatic steepening, or bilateral temporal
steepening on computer-assisted videokeratography
• Typical nipple pattern with the application of a
diagnostic rigid contact lens
Moderate keratoconus
• Presence of one or more corneal signs of keratoconus (eg, enhanced
appearance of corneal nerves, Vogt striae, Fleischer ring, corneal
scarring)
• Superficial corneal scarring (fibular, nebular, or nodular)
• Deep stromal scarring
• Scarring at the level of the Descemet membrane resembling posterior
polymorphous corneal dystrophy
• Paraxial stromal thinning as seen on corneal optical coherence
tomography (OCT) pachymetry with biomicroscope slit-lamp examination
• Keratometry values of 45-52 diopters (D)
• “Scissoring” or the oil drop sign
• Munson sign
Advanced keratoconus
• Keratometry values greater than 52 D
• Enhancement of all corneal signs, symptoms, and
visual loss/distortion
• Vogt striae; Fleischer ring and/or scarring
• Acute corneal hydrops
40. Konjungtivitis Alergi
• Alergi okular terdiri atas :
1. Seasonal allergic conjunctivitis
2. Perennial allergic conjunctivitis
3. Giant papillary conjunctivitis
•Kronik, bilateral, bentuk
4. Atopic keratoconjunctivitis inflamasi alergi yang berat pada
5. Vernal keratoconjunctivitis permukaan okular
• dapat menyebabkan kerusakan
berat pada permukaan mata,
scar kornea dan hilangnya visus
Konjungtivitis Atopi
• Biasanya ada riwayat atopi • Terapi topikal jangka
• Gejala + Tanda: sensasi panjang: cell mast stabilizer
terbakar, sekret mukoid • Antihistamin oral
mata merah, fotofobia • Steroid topikal jangka
• Terdapat papila-papila halus pendek dapat meredakan
yang terutama ada di tarsus gejala
inferior
• Jarang ditemukan papila
raksasa
• Karena eksaserbasi datang
berulanga kali 
neovaskularisasi kornea,
sikatriks
KONJUNGTIVITIS VERNAL
• Nama lain:
– spring catarrh/seasonal conjunctivitis/warm weather conjunctivitis
– Disebut vernal karena exaserbasi paling sering pada musim semi
(spring)
• Etiologi: reaksi hipersensitivitas bilateral (alergen sulit diidentifikasi)
• Epidemiologi:
– Dimulai pada masa prepubertal, bertahan selama 5-10 tahun sejak
awitan
– Laki-laki > perempuan
– Paling sering pada Afrika Sub-Sahara & Timur Tengah
– Temperate climate > warm climate > cold climate (hampir tidak ada)
– Terkait dengan manifestasi atopi lainnya seperti asma dan rinitis alergi
pada setengah kasus

Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.


Pathogenesis of Vernal Conjunctivitis
• Classic IgE mediated Hypersensitivity
– Evidence supporting an atopic origin :
• Seasonal incidence, eosinofil and mast cells in conjunctiva,
Play a
igE serum and tears, response to major role
mast cells stabilazer
• Th2 cells mediated respone
• Ig G mediated response
• Basofilic hypersensitivity
• Cellular delayed type hypersensitivity
(Hypersensitivity Type IV)
• Gejala & tanda:
– Rasa gatal yang hebat, dapat
disertai fotofobia
– Sekret ropy
– Riwayat alergi pada RPD/RPK
– Tampilan seperti susu pada
konjungtiva
– Gambaran cobblestone
(papila raksasa berpermukaan
rata pada konjungtiva tarsal)
– Tanda Maxwell-Lyons (sekret
menyerupai benang &
pseudomembran fibrinosa
halus pada tarsal atas, pada • Komplikasi:
pajanan thdp panas) • Blefaritis & konjungtivitis
– Bercak Trantas (bercak stafilokokus
keputihan pada limbus saat
fase aktif penyakit)
– Dapat terjadi ulkus kornea
superfisial
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Tatalaksana
• Self-limiting • Jangka panjang & prevensi
• Akut: sekunder:
• Antihistamin topikal
• Steroid topikal (+sistemik • Stabilisator sel mast Sodium
kromolin 4%: sebagai
bila perlu), jangka pendek pengganti steroid bila gejala
 mengurangi gatal sudah dapat dikontrol
(waspada efek samping: • Tidur di ruangan yang sejuk
dengan AC
glaukoma, katarak, dll.) • Siklosporin 2% topikal (kasus
berat & tidak responsif)
• Vasokonstriktor topikal
• Desensitisasi thdp antigen
• Kompres dingin & ice (belum menunjukkan hasil
pack baik)

Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.


Table. Major Differentiating Factors Between VKC and AKC

Characteristics VKC AKC


Age at onset Generally presents at a younger age -
than AKC
Sex Males are affected preferentially. No sex predilection
Seasonal variation Typically occurs during spring months Generally perennial
Discharge Thick mucoid discharge Watery and clear discharge
Conjunctival - Higher incidence of
scarring conjunctival scarring
Horner-Trantas Horner-Trantas dots and shield ulcers Presence of Horner-Trantas
dots are commonly seen. dots is rare.
Corneal Not present Deep corneal
neovascularization neovascularization tends to
develop
Presence of Conjunctival scraping reveals Presence of eosinophils is
eosinophils in eosinophils to a greater degree in less likely
conjunctival VKC than in AKC
scraping
N EU R OLOGI
41. Neuralgia Trigeminal
42. Kejang
• Kejang merupakan perubahan fungsi otak
mendadak dan sementara sebagai dari
aktivitas neuronal yang abnormal dan
pelepasan listrik serebral yang berlebihan.
(Betz & Sowden,2002)
Manifestasi Klinik
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a) Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat
mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
– Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi .
Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
– Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan jtuh dari udara, parestesia.
– Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
– Kejang tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
b) Parsial kompleks
– Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
– Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang –
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
– Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
– Durasi >30 detik,
– frekuensi tidak menentu
– Setelah kejang pasien tampak bingung/ pingsan
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a) Kejang absens
– Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
– Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
– Awitan dan akhiran cepat, setelah kejang, kembali waspada dan konsentrasi penuh
– Dipicu oleh hiperventilasi
b) Kejang mioklonik
– Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
– Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron
dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
– Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
– Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c) Kejang tonik klonik
– Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang
tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
– Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
– Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
– Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d) Kejang atonik
– Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala
menunduk,atau jatuh ke tanah.
– Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
http://doosesyndrome.org/mae-explained/atypical-absence-seizures https://www.epilepsydiagnosis.org/seizure/absence-atypical-
overview.html
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17484751

Atypical Absence Seizure


• Similar to absence seizures but, as the name suggests, they
are unusual or not typical.
• The child will stare, as with an absence seizure, but more
pronounced motor symptoms such as tonic (stiffening) or
clonic (jerking) spells or may have automatisms
(involuntary behaviours) or tone changes of the head (head
drop) and body.
• Variabel impairments of consciusnesswill be somewhat
responsive
• Last longer than typical absences
• Precipitated by drowsiness
• Not provoked by hyperventilation or photic stimulation
• Usually more difficult to treat
• Associated with a severely abnormal cognitive and
neurodevelopmental outcome in children
EEG
• Elektro Enselo Grafi (EEG) adalah suatu alat yang
mempelajari gambar dari rekaman aktifitas listrik
di otak, termasuk teknik perekaman EEG dan
interpretasinya.
• Pembacaan EEG oleh dokter dijadikan acuan
untuk tindakan dan penanganan selanjutnya
kepada pasien.
• Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk
membantu menetapkan jenis dan focus dan
kejang.
Epilepsi
• Definisi: suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang akibat dari
adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.

Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010


Epilepsy - Classification
• Focal seizures – account
for 80% of adult epilepsies
- Simple partial seizures
- Complex partial seizures
- Partial seizures secondarilly
generalised

• Generalised seizures
(include absance
type)

• Unclassified seizures
Pilihan Terapi Sindrom Epilepsi Etosuksimid: tidak tersedia di Indonesia

Level of confidence:
A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin sebagai monoterapi; C: mungkin efektif sebagai
monoterapi; D: berpotensi untuk efektif sebagi monoterapi
Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perdossi. 2014
Farmakoterapi Childhood Absence
Perbandingan Odds Ratio
Asam Valproat vs Ethosuximide 1,26 (95% CI; 0,80 – 1,98)
Ethosuximide vs Lamotrigine 2,66 (95% CI; 1,65 – 4,28)
Asam Valproat vs Lamotrigine 3,34 (95% CI; 2,06 – 5,42)

• Dari table di atas dapat disimpulkan asam valproate dan ethosuximide lebih
efektif dbandingkan lamotrigine dalam tatalaksasa kejang absans.
• Tidak ada perbedaan bermakna antara efektifitas asam valproate dan
ethosuximide.
• Di negara-negara barat ethoximide lebih dipilih dibandingkan asam valproate
karena memiliki efek samping terhadap attentional dysfunction yang lebih
rendah.
• Namun ethosuximide tidak terdapat di Indonesia (secara umum), sehingga
terapi lini pertama untuk kejang absans di Indonesia adalah asam valproate.

Ethosuximide, Valproic Acid, and Lamotrigine in Childhood Absence Epilepsy. Glauser TA, et al. 2010. NEJM, 362(9): 790-799.
Penghentian OAE
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa
kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara
bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa
penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang
penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni,

1. Syarat umum yang meliputi :


– Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana
penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
– Gambaran EEG normal
– Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6bulan.
– Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.

Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010


2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
– Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan
kekambuhannya.
– Epilepsi simtomatik
– Gambaran EEG abnormal
– Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
– Penggunaan OAE lebih dari 1
– Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah
memulai terapi
– Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
– Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila
penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih
dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan
menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
Perdossi. Diagnosis Epilepsi. 2010
43. Afasia
• Kelainan yang terjadi • Afasia menimbulkan
karena kerusakan dari problem dalam bahasa
bagian otak yang lisan (bicara dan
mengurus bahasa. pengertian) dan bahasa
• yaitu kehilangan tulisan (membaca dan
kemampuan untuk menulis). Biasanya
membentuk kata-kata membaca dan menulis
atau kehilangan lebih terganggu dari pada
kemampuan untuk bicara dan pengertian.
menangkap arti kata-kata • Afasia bisa ringan atau
sehingga pembicaraan berat. Beratnya gangguan
tidak dapat berlangsung tergantung besar dan
dengan baik. lokasi kerusakan di otak.
Pembagian Afasia :
1. Afasia Motorik (Broca)
2. Afasia Sensorik (Wernicke)
3. Afasia Global
Afasia Motorik :
- Terjadi karena rusaknya area Broca di
gyrus frontalis inferior.
- Mengerti isi pembicaraan, namun tidak
bisa menjawab atau mengemukakan
pendapat
- Disebut juga Afasia Expressif atau Afasia
Broca
- Bisa mengeluarkan 1 – 2 kata(nonfluent)
Afasia Sensorik
- Terjadi karena rusaknya area Wernicke di
girus temporal superior.
- Tidak mengerti isi pembicaraan, tapi bisa
mengeluarkan kata-kata(fluent)
- Disebut juga Afasia reseptif atau Afasia
Wernicke
• Afasia Global
- Mengenai area Broca dan Wernicke
- Tidak mengerti dan tida bisa
mengeluarkan kata kata
• Afasia transkortikal, disebabkan lesi di sekitar
pinggiran area pengaturan bahasa.

• Terdiri dari: afasia transkortikal motorik, afasia


transkortikal sensorik, dan afasia transkortikal
campuran.

• Ketiga tipe afasia memiliki jenis gangguan


sesuai dengan penamaannya namun
penderita mampu mengulangi kata/ kalimat
lawan biacaranya.
Summary of Aphasias
Type of Spontaneous
Paraphasias Comprehension Repetition Naming
Aphasia speech

Broca’s Nonfluent - Good Poor Poor

Global Nonfluent - Poor Poor Poor

Transcortical
Nonfluent - Good Good Poor
motor

Wernicke’s
Fluent + Poor Poor Poor
Aphasia
Transcortical
Fluent + Poor Good Poor
sensory

Conduction Fluent + Good Poor Poor

Anomic Fluent + Good Good Poor


28/02/2006
44. Stroke
Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila (2012)
• Transient Ischemic Attack (TIA)
• defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otaksepintas dan
menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam waktu tidak lebihdari 24 jam.
• Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND)
• defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak berlangsung
lebih dair 24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam waktu 72 jam.
• Stroke in Evolution (Progressing Stroke)
• deficit neurologik fokal akut karena
gangguan peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan mencapai
maksimal dalam beberapa jam hingga beberapa hari4.
• Stroke in ResolutionStroke in resolution:
• deficit neurologik fokal akut karena
gangguan peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan
dan mencapai maksimal dalam beberapa jam sampai bebrapa hari.
• Completed Stroke (infark serebri):
• defisit neurologi fokal akut karena oklusi atau gangguan peredaran darah otak
yang secara cepat menjadi stabil tanpamemburuk lagi
SUBTIPE STROKE ISKEMIK
Stroke Lakunar
• Terjadi karena penyakit pembuluh halus hipersensitif dan menyebabkan
sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadang-
kadang lebih lama. Infark lakunar merupakan infark yang terjadi setelah
oklusi aterotrombotik atau hialin lipid salah satu dari cabang-cabang
penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau arteri vertebralis dan
basilaris. Trombosis yang terjadi di dalam pembuluh-pembuluh ini
menyebabkan daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan disebut lacuna.
• Gejala-gejala yang mungkin sangat berat, bergantung pada kedalaman
pembuluh yang terkena menembus jaringan sebelum mengalami trombosis.
Terdapat empat sindrom lakunar yang sering dijumpai :
– Hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna posterior
– Hemiparesis motorik murni akibat infark pars anterior kapsula interna
– Stroke sensorik murni akibat infark thalamus
– Hemiparesis ataksik atau disartria serta gerakan tangan atau lengan yang
canggung akibat infark pons basal
SUBTIPE STROKE ISKEMIK
Stroke Trombotik Pembuluh Besar
• Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien relative mengalami
dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan tanda akibat stroke iskemik
ini bergantung pada lokasi sumbatan dan tingkat aliran kolateral di jaringan yang
terkena. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik.
• Hipertensi non simptomatik pada pasien berusia lanjut harus diterapi secara hati-
hati dan cermat, karena penurunan mendadak tekanan darah dapat memicu
stroke atau iskemia arteri koronaria atau keduanya.

Stroke Embolik
• Asal stroke embolik dapat dari suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi
akibat embolus biasanya menimbulkan deficit neurologik mendadak dengan efek
maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat pasien
beraktivitas. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko besar menderita
stroke hemoragik di kemudian hari.

Stroke Kriptogenik
• Biasanya berupa oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab
yang jelas walaupun telah dilakukan pemeriksaan diagnostic dan evaluasi klinis
yang ekstensif.
45. Spondilitis TB
Fraktur Kompresi/ Depresi (Wedge)
• Karena gaya vertikal di depan garis tengah
vertebra yang menekan tepi anterior vertebra
• Sering terjadi pada torakolumbal Tata Laksana
• Pada usila: akibat jatuh terduduk • < 50% tinggi vertebra anterior:
• Usia muda: jatuh mendarat pada kaki konservatif, korset
• > 50%: operasi
• Fraktur patologis: spondilitis TB/ Osteoporosis
ILM U
PSIK IATR I
46. RETARDASI MENTAL
• Retardasi mental merupakan suatu penurunan
fungsi intelektual secara menyeluruh yang
terjadi pada masa perkembangan dan
dihubungkan dengan gangguan adaptasi sosial
(AAMD).

• 3 komponen utama yang terganggu:


penurunan fungsi intelektual, adaptasi sosial,
dan masa perkembangan.
Klasifikasi Retardasi Mental Berdasarkan IQ
American
Association on
Mental
Retardation
(AAMR)

http://pedsinreview.aappublications.org/content/27/6/204.full
PPDGJ-III
• Ketentuan subtipe retardasi mental meliputi:
– F70: Ringan (IQ 50-69)
– F71: Sedang (IQ 35-49)
– F72: Berat (IQ 20-34)
– F73: Sangat Berat (<20)
Klasifikasi Lama Retardasi Mental:
Moron, Imbisil, Idiot

http://www.campbellmgold.com/archive_esoteric/morons_imbeciles_idiots.pdf
• Masih dapat dididik (educable)
• Komunikasi sehari-hari masih baik

Ringan • Masih dapat merawat diri secara independen (makan,


mandi, mencuci)
• Kesulitan utamanya pada pekerjaan akademik di sekolah
(terutama membaca dan menulis)

• Retardasi mental yang dapat dilatih (trainable)


• Keterlambatan pemahaman dan penggunaan bahasa
Sedang • Kemampuan motorik dan kemampuan merawat diri
terbatas, butuh pengawasan
• Kemampuan sekolah terbatas

• Kemampuan serupa dengan RM sedang

Berat • Pada kelompok ini, kemampuan motorik sangat


terbatas
• Umumnya disertai defisit neurologis

Sangat • Sangat terbatas untuk mengerti instruksi


• Sangat terbatas dalam mobilitas
Berat • Hanya mampu komunikasi non verbal yang sederhana

Sari Pediatri, Vol. 2, No. 3, Desember 2000


Mental Retardation

Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.


47. OBAT PSIKOAKTIF
• Secara umum, sering dibagi menjadi 3
golongan utama berdasarkan gejalanya, yaitu:
– Golongan depresan
– Golongan stimulan
– Golongan halusinogen
Depressant
• Zat yang mensupresi, menghambat dan menurunkan aktivitas CNS.
• Yang termasuk dalam golongan ini adalah sedatives/hypnotics,
opioids, and neuroleptics.
• Medical uses sedation, sleep induction, hypnosis, and general
anaesthesia.
• Contoh:
– Alcohol dalam dosis rendah, anaesthetics, sleeping pills, and opioid
drugs such as heroin, morphine, and methadone.
– Hipnotik (obat tidur), sedatif (penenang) benzodiazepin
• Effects:
– Relief of tension, mental stress and anxiety
– Warmth, contentment, relaxed detachment from emotional as well
as physical distress
– Positive feelings of calmness, relaxation and well being in anxious
individual
– Relief from pain
Stimulants
• Zat yang mengaktivkan dan meningkatkan aktivitas CNS
psychostimulants
• Memiliki berbagai efek fisiologis
– Perubahan denyut jantung, dilatasi pupil, peningkatan TD, banyak
berkeringat, mual dan muntah.
– Menginduksi kewaspadaan, agitasi, dan mempengaruhi penilaian
• Penyalahgunaan kronik akan menyebabkan perubahan kepribadian
dan perilaku seperti lebih impulsif, agresif, iritabilitas, dan mudah
curiga
• Contoh:
– Amphetamines, cocaine, caffeine, nicotine, and synthetic appetite
suppressants.
• Effects:
– feelings of physical and mental well being, exhilaration, euphoria,
elevation of mood
– increased alertness, energy and motor activity
– postponement of hunger and fatigue
Hallucinogens (psyche delics)
• Zat yang merubah dan mempengaruhi persepsi, pikiran, perasaan, dan
orientasi waktu dan tempat.
• Menginduksi delusi, halusinasi, dan paranoia.
• Adverse effects sering terjadi
– Halusinasi yang menakutkan dan tidak menyenangkan (“bad trips”)
– Post-hallucinogen perception disorder or flashbacks
– Delusional disorder persepsi bahwa halusinasi yang dialami nyata, setelah
gejala mereda
– mood disorder (anxiety, depression, or mania).
• Effects:
– Perubahan mood, perasaan, dan pikiran“mind expansion”
– Meningkatkan kepekaan sensorismore vivid sense of sight, smell, taste and
hearing
– dissociation of body and mind
• Contoh:
– Mescaline (the hallucinogenic substance of the peyote cactus)
– Ketamine
– LSD
– psilocybin (the hallucinogenic substance of the psilocybe mushroom)
– phencyclidine (PCP)
– marijuana and hashish
Intoksikasi vs Putus Obat
• Intoksikasi adalah gejala yang timbul akibat
mengkonsumsi NAPZA dalam jumlah yang
menimbulkan tanda dan gejala.

• Putus obat adalah gejala yang timbul akibat


mengurangi atau menghentikan konsumsi
NAPZA.

• Toleransi adalah kebutuhan dosis zat NAPZA lebih


besar untuk menimbulkan gejala.
Tatalaksana Intoksikasi Psikoaktif
• Intoksikasi gol. Opioid: Naloxone 0,4-2 mg IV,
dapat pula diulang setiap 2-3 menit, sampai dosis
maksimal 10 mg.
• Intoksikasi ganja/ kanabis: Reassurance, bila perlu
dapat diberikan obat golongan benzodiazepin
(diazepam, clobazam).
• Intoksikasi kokain/ amfetamin: Diazepam 10-30
mg po atau iv, atau clobazam 3x10 mg. Bila
terdapat palpitasi, dapat diberikan propranolol.
• Intoksikasi gol. Hipnotik sedatif: waspadai tanda
depresi pernafasan, oksigen.
Insomnia
48. KLASIFIKASI GANGGUAN
TIDUR (DSM IV) Hipersomnia

Disomnia Narkolepsi

Gangguan tidur
berhubungan
dengan pernapasan

Gangguan tidur Gangguan tidur


primer irama sirkadian

Mimpi buruk/
nightmare
Disomnia:
Gangguan jumlah tidur Teror tidur/ night
Parasomnia
terror
Parasomnia:
Adanya episode abnormal saat
Somnambulisme/
tidur sleep walking
F51.0 Insomnia non organik
• Menurut DSM-IV, insomnia didefinisikan sebagai keluhan
dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan
tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya
satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau
gangguan dalam fungsi individu.

• The International Classification of Diseases mendefinisikan


insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan
tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama
minimal satu bulan.

• Menurut The International Classification of Sleep Disorders,


insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap
malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur
tersebut.
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-
Organik berdasarkan PPDGJ
1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau
mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk
2. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu
selama minimal 1 bulan.
3. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan
kekhawatiran yang berlebihan terhadap akibatnya
pada malam hari dan sepanjang siang hari
4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas
tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat
dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
F51.1 Hipersomnia non organik
• Hipersomnia adalah bertambahnya waktu tidur
sampai 25% dari pola tidur yang biasa.
• Gejala :
a) Rasa kantuk siang hari yang berlebihan atau
adanya serangan tidur dan atau transisi yang
memanjak dari saat mulai bangun hingga sadar
penuh.
b) Terjadi setiap hari, lebih dari 1 bulan atau
berulang dengan kurun waktu lebih pendek.
c) Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang
menunjukan gejala rasa kantuk pada siang hari.
Narkolepsi
• Narkolepsi adalah salah satu bentuk hipersomnia yang paling sering
terjadi.

• Narkolepsi ditandai dengan bertambahnya waktu tidur yang


berhubungan dengan keinginan tidur yang tidak dapat ditahan
sebagai salah satu gejala, atau kombinasi antara gejala seperti
cataplexy, sleep paralysis, atau hypnagogic hallucinations.
– Katapleksi: kehilangan kontrol otot secara tiba-tiba yang dapat
menyebabkan orang tersebut pingsan tanpa kehilangan kesadaran.
– Sleep paralysis: kehilangan tonus otot dan kehilangan kesadaran yang
bersifat sementara.
– Hypnagogic / hypnopompic hallucination merupakan halusinasi yang
sering kali muncul begitu saja saat penderita hendak tidur.
Narkolepsi
vs
Hipersomnia
F51.2 Gangguan jadwal tidur non
organik
• Gangguan ini timbul akibat ketidakcocokan antara
ritme sirkadian normal dan siklus tidur-terjaga
normal yang dituntut oleh lingkungan.
• Ditandai dengan :
– Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama dengan pola
tidur-jaga yang normal bagi masyarakat setempat.
– Insomnia pada waktu orang-orang tidur dan
hipersomnia pada waktu kebanyakan orang jaga, yang
dialami hampir setiap hari untuk sedikitnya 1 bulan
atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek.
– Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti cemas,
depresi.
Gangguan Tidur Irama Sirkadian/
Gangguan Jadwal Tidur Bangun
F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)
• Somnambulisme adalah gangguan tidur sambil berjalan,
yang merupakan gangguan perilaku yang terjadi dalam
tahap mimpi dari tidur.

• Penyebab
a) Kurang tidur (sleep deprivation)
b) Jadwal tidur yang tidak teratur/kacau (chaotic sleep
schedules)
c) Demam (fever)
d) Stres atau tekanan (stress)
e) Kekurangan (deficiency) magnesium
f) Intoksikasi obat atau zat kimia
F51.4 Teror tidur (night terrors)
• Night terror adalah suatu kondisi terbangun dari sepertiga awal tidur malam,
biasanya diikuti dengan teriakan dan tampakan gejala cemas yang berlebihan,
berlangsung selama 1 – 10 menit.
• Gejala
Dalam episode yang khas, penderita akan terduduk di tempat tidur dengan
kecemasan yang sangat dan tampakan agitasi serta gerakan motorik perseverativ
(seperti menarik selimut), ekspresi ketakutan, pupil dilatasi, keringat yang
berlebihan, merinding, nafas dan detak jantung yang cepat.
• Kriteria DSM-IV untuk Night Terror :
– Episode berulang dari bangun secara tiba-tiba dari tidur, biasanya berlangsung pada sepertiga
awal tidur dan dimulai dengan teriakan yang panik.
– Ketakutan yang sangat dan tanda-tanda sistem autonomik yang meningkat seperti takikardi,
bernafas dengan cepat, dan keringat dalam setiap episode.
– Tidak responsif secara relatif terhadap dukungan orang sekitar untuk menenangkan disaat
episode.
– Tidak dijumpainya mimpi yang dapat diingat dan timbulnya amnesia terhadap episode.
– Episode-episode serangan dapat menyebabkan distress tang tampak secara klinis dan ketidak
seimbangan dalam lingkungan, pekerjaan dan dalam aspek lain.
– Gangguan tidak disebabkan oleh efek psikologis suatu zat secara langsung (seperti
penyalahgunaan zat atau untuk medikasi) ataupun dalam suatu kondisi medis umum.
F51.5 Mimpi buruk (nightmare)
• Gangguan ini terdiri dari terjaga dari tidur yang berulang
dengan ingatan terperinci yang hidup akan mimpi
menakutkan.
• Gambaran klinis berikut adalah esensial untuk diagnosis
secara pasti terhadap mimpi buruk, yaitu:
– Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan
mimpi yang menakutkan yang dapat diingat kembali secara
terperinci dan jelas (vivid),
– Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera
sadar dan mampu mengenali lingkungannya.
– Pengalaman mimpi itu dan akibat dari tidur yang terganggu,
menyebabkan penderitaan yang cukup berat bagi individu.
• Psikoterapi dan pengobatan perilaku merupakan metode
pengobatan paling efektif.
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.

49. SEXUAL DISORDER (PARAFILIA)


Diagnosis Karakteristik
Fetishism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the
use of nonliving objects (e.g., female undergarments).
Frotteurism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving
touching and rubbing against a nonconsenting person.
Masochism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the
act (real, not simulated) of being humiliated, beaten, bound, or
otherwise made to suffer.
Sadism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving acts
(real, not simulated) in which the psychological or physical suffering
(including humiliation) of the victim is sexually exciting to the person.
Voyeurism Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving the
act of observing an unsuspecting person who is naked, in the process
of disrobing, or engaging in sexual activity.
Necrophilia Necrophilia is an obsession with obtaining sexual gratification from
cadavers.
Diagnosis Karakteristik
Pedophilia Sexually arousing fantasies, sexual urges, or behaviors involving
sexual attraction to prepubescent children (generally 13 years or
younger) and the pedophilia must at least 16 years or older and at
least 5 years older than the child
Eksibisionis Seseorang yang selalu ingin memperlihatkan kemaluannya/genital
kepada orang lain (biasanya orang asing) untuk mendapatkan
kepuasan seksual
Diagnosis Fetishisme (DSM IV)
50. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF
PEDOMAN DIAGNOSIS PPDGJ-III:
• Untuk menegakkan diagnosis pasti gejala
obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-
duanya harus ada hampir setiap hari selama
sedikitnya 2 minggu berturut-turut.
• Hal tersebut merupakan sumber penderitaan
(distress) atau menganggu aktivitas
penderita.
Gejala obsesif mencakup:
• Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri;
• Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak
berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi
dilawan oleh penderita.
• Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas
bukan untuk merupakan hal yang memberi kepuasan
atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari
ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai
kesenangan seperti dimaksud diatas);
• Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus
merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan
(unpleasantly repetitive).
Tipe Gangguan Obsesif Kompulsif (1)

• OCD tipe Checking  ketakutan irasional yang


membuat pasien terobsesi untuk memeriksa
sesuatu berulang-ulang.
• OCD tipe Contamination  ketakutan terkena
penyakit dan mati pada diri sendiri dan orang
yang dicintai. Contoh:kebiasaan cuci tangan
berkali-kali karena takut kuman.
• OCD tipe Hoarding  penderita mengumpulkan
barang yang tidak berharga karena takut akan
terjadi hal-hal buruk jika barang tersebut
dibuang.
Tipe Gangguan Obsesif Kompulsif (2)

• OCD tipe Rumination  pasien memikirkan


pikiran-pikiran yang tidak produktif tetapi
berulang-ulang. Contohnya preokupasi
tentang kehidupan setelah kematian.
• OCD tipe symmetry dan orderliness  pasien
terfokus untuk mengatur semua obyek sejajar,
urut, dan simetris.
Tatalaksana
Gangguan
Obsesif
Kompulsif

Keterangan:
CBT: Cognitive Behavior Therapy
ERP:Exposure & Response Prevention

PRACTICE GUIDELINE FOR THE Treatment


of Patients With Obsessive-Compulsive
Disorder, APA, 2010
OCD vs OCPD
• OCD:
– pikiran obsesif yang bersifat ego-distonik (membuat
penderitanya tidak nyaman) dan harus segera diwujudkan
dalam perilaku supaya penderitanya merasa nyaman.
– Dasar perilaku kompulsifnya adalah karena ansietas.

• OCPD/ kepribadian anankastik:


– Bersifat ego-sintonik (pikiran obsesif dan perilaku
kompulsif sesuai dengan keinginan penderitanya)
– Biasanya bukan hanya berhubungan dengan 1 kebiasaan
saja tapi mempengaruhi seluruh kehidupannya (kaku,
mudah marah bila hal tidak sesuai yang seharusnya).
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
51. Melasma
• Melasma merupakan kelainan kulit yang sering terjadi, dengan
lesi berupa makula hiperpigmentasi
• Disebut juga kloasma/topeng kehamilan
• Makula umumnya berwarna coklat, dan terdapat terutama di
bagian wajah atau dahi (daerah tinggi pajanan sinar matahari)
• Terdapat 2 predisposisi utama dari melasma, yaitu pajanan sinar
UV dan hormon seks (khususnya estrogen)90% terjadi pada
wanita
• Oleh karena itu, pajanan sinar UV berlebih, penggunaan
kontrasepsi oral, kehamilan, dan terapi penggantian hormon
dapat memicu timbulnya melasma ini

James WD, Berger T, Andrews DE. Disease of the skin clinical dermatology. Elsevier, 2015
Melasma
• Efloresensi
– Makula hiperpigmentosis, umumnya simetris, warna coklat muda-tua,
predileksi di daerah pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu

• Tatalaksana
– Hentikan terapi hormon (bila ada), gunakan sunblock & produk
kecantikan yang lembut
– Hidrokuinon 2-4% (krim atau lotion) selama 2-4 bulan
– Krim/gel/lotion asam azelaik 2x/hari (aman untuk kehamilan)
– Kortikosteroid krim

http://www.dermnetnz.org/colour/melasma.html
MSH: Reseptor Estrogen
• Melanosit mengandung
reseptor estrogen

• Bereaksi terhadap
peningkatan estrogen selama
kehamilan

• Daerah hiperpigmentasi pada


kehamilan: tidak ada
peningkatan jumlah melanosit,
namun melanosit menjadi
lebih besar, lebih dendritik,
dan terjadi peningkatan
melanogenesis (terutama
eumelanin)
Klasifikasi Melasma

Epidermal Dermal Mixed Indetermined


Comments melanin is many melanin is Seen with
increased in the melanophages increased in the people with
epidermis, with throughout the epidermis, Fitzpatrick type
only a few entire dermis many V or VI skin
melanocytes in melanophages
the upper throughout the
dermis dermis

Wood lamp Enhanced does not spotty Not helpful


examination enhance enhancement
Melasma: Diagnosis Banding
MELASMA SUN-DAMAGE PIGMENTATION
• Melanosit merespon perubahan • Lentigo, keratosis seboroik, freckles,
hormonal  kronik dan sulit sun spots, liver spots)
sembuh • Hanya dipermukaan kulit
• Dapat mengenai dermis • Muncul acak di semua area wajah
• Plak coklat muda-tua di dahi, • Tidak simetris
pipi, dagu, atas bibir
• Berhubungan dengan perubahan
• Simetris tekstur kulit (keriput, garis)
• Diskolorisasi pekat dan • Tidak berhubungan dengan hormon
mengenai epidermis-dermis namun paparan matahari
• Berhubungan dengan hormonal • Respon baik terhadap terapi laser
• Paparan matahari, panas, dan • Tidak termasuk kondisi kronik
kelembaban dapat
memperparah

http://www.celibre.com/difference-between-melasma-and-sun-damage.aspx
Diagnosis Banding: Lentigo
• A lentigo is a small, sharply circumscribed, pigmented macule
surrounded by normal-appearing skin.
• Lentigines may evolve slowly over years, or they may be
eruptive and appear rather suddenly.
• Pigmentation may be homogeneous or variegated, with a color
ranging from brown to black.
• There are several types of lentigo, such as lentigo simplex, solar
lentigo, ink spot lentigo, PUVA lentigo, generalised lentigo
• Freckles will increase in number and darkness with sunlight
exposure, whereas lentigo will stay stable in their color
regardless of sunlight exposure
Histology
• Histologic findings may include hyperplasia of the
epidermis and increased pigmentation of the basal layer.
• A variable number of melanocytes are present; these
melanocytes may be increased in number, but they do not
form nests.
• Lentigo simplex is characterized by a slight-to-moderate
elongation of the rete ridges with melanocyte proliferation
in the basal layer, increased melanin in both the
melanocytes and the basal keratinocytes, and the presence
of melanophages in the upper dermis.
• Ephelides (freckles) have an increase in pigment content in
the basal cell layer, with neither elongated rete ridges nor
increased number of melanocytes.
Diagnosis Banding: Ephelides/ Freckles
• Ephelides (freckles) are tanned macules found on the skin.
• Ephelides are associated with fair skin and red or blonde hair.
• In contrast to solar lentigines, ephelides are not strongly associated with age.
• Commonly, ephelides first appear at age 2 years and increase in number into
young adulthood. In older ages, the number usually decreases.
• Simple ephelides are multiple, small, tanned macules, ranging from 1-5 mm in
diameter, with uniform pigmentation.
• They are most commonly found on sun-exposed areas, such as the nose, the
cheeks, the shoulders, and the upper part of the back.
• The macules may be discrete or confluent.
• Histopathologically in ephelides, the epidermis is unchanged. Specifically, the
number of melanocytes is not increased. However, the melanosomes are larger
than those in the surrounding skin. Cellular atypia of melanocytes have been
noticed in some freckles.
• In contrast, solar lentigines have an increased number of melanocytes in the
basal cell layer.
52. Leukoderma
• Bercak putih pada kulit akibat hilangnya sebagian/ seluruh
pigmen kulit
• Etiologi:
– Kongenital
• Tuberous sclerosis, partial albinism, piebaldism dan Waardenburg syndrome
– Imunologis
• Vitiligo, halo mole
– Post inflamasi
• Luka bakar, dermatitis, psoriasis, cuteneous lupus erythematosus, lichen sclerosus
– Infeksi
• Ptiriasis versicolor, lichen planus, sifilis
– Obat
• EGFR inhibitor, injeksi steroid intralesi
– Okupasi/bahan kimia

http://www.dermnetnz.org/colour/leukoderma.html
Pitiriasis versikolor
• Penyakit jamur superfisial yang kronik
disebabkan Malassezia furfur

• Gejala
– Bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, meliputi
badan, ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka, kulit kepala
yang berambut
– Asimtomatik – gatal ringan, berfluoresensi

• Pemeriksaan
• Lampu Wood (kuning keemasan), KOH 20% (hifa pendek, spora bulat:
meatball & spaghetti appearance)

• Obat
• Selenium sulfida (shampoo), azole, sulfur presipitat
• Jika sulit disembuhkan atau generalisata, dapat diberikan
ketokonazol 1x200mg selama 10 hari
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Ptiriasis Alba
• Dermatitis non-spesifik yang belum jelas penyebabnya
• Diduga akibat infeksi streptococcus.
• Banyak dijumpai pada anak usia 3-16 tahun
• Efloresensi:
- Lesi berbentuk bulat, oval, atau plakat yang tidak teratur
- Warna lesi merah muda atau sama dengan kulit sekitar dan
disertai skuamakemudian eritema hilang dan lesi berupa
depigmentasi dengan skuama halus
• Predileksi: muka, mulut, dahi, pipi, dan dagu
• Tatalaksana: belum ada yang terbukti efektif
- Untuk menghilangkan skuamakrim emolien
- Untuk lesinya preparat ter+dijemur di bawah sinar
matahari
Vitiligo
• Definisi: Hipomelanosis idiopatik ditandai dengan makula putih yang dapat
meluasmengenai bagian tubuh yang memiliki melanosit (kulit, rambut,
mata)

• Etiologi
– Belum diketahui, diduga karena autoimun, neurohumoral, autositotoksik, atau
karena bahan kimiawi

• Gejala
– Makula berwarna putih (apigmentasi) berukuran mm-cm, bulat, lonjong, berbatas
tegas
– Bisa juga makula hipomelanotik (tidak putih sekali)
– Tepi lesi bisa meninggi, eritema dan gataldisebut inflamatoar

• Predileksi
– Area ekstensor tulang (jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis
anterior, dan pergelangan tangan bagian fleksor)
– Lesi bilateral bisa simetris atau asimetris
– Area traumatik
Klasifikasi Vitiligo
• Secara umum ada 2 bentuk
1. Lokalisata
- Fokal: satu atau lebih makula pada satu area tetapi tidak segmental
- Segmental: satu atau lebih makula pada satu area, dengan distribusi
menurut dermatom (co. satu tungkai)
- Mukosal: hanya pada mukosa
2. Generalisata (90% penderita yang generalisata
lesinya bersifat simetris)
- Akrofasial: depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas
dan mukastadium awal vitiligo generalisata
- Vulgaris: makula tanpa pola tertentu di banyak tempat
- Campuran: depigmentasi menyeluruh atau hampir di seluruh
tubuhvitiligo total
Vitiligo: Gambaran Klinis

http://www.dermnetnz.org/colour/vitiligo.html
Diagnosis
• Gejala dan temuan klinis: makula
apigmentasi/hipopigmentasi lupa? Baca lagi
slide di atas
• Pemeriksaan histopatologi
- Pemeriksaan Hematoksilin Eosin (HE)  tidak
ditemukan sel melanosit
- Reaksi DOPAmelanosit negatif pada daerah
apigmentasi, tapi positif pada daerah hiperpigmentasi
• Pemeriksaan biokimia
- Histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan dopa
tidak ada tirosinase, namun tirosin plasma dan kulit
Prinsip tatalaksana
• Usia di bawah 18 tahun:
- Topikal saja: losio metoksalen 1% diencerkan dalam spiritus dilutus dengan
perbandingna 1:10dioleskan di semua lesi
- Setelah didiamkan 15 menitdijemur dengan UV A selama 10 menit sampai
eritema
- Durasi jemur makin lama makin panjang tapi jangan sampai ada erosi, vesikel,
atau bula
• Usia di atas 18 tahun dan lokalisata
- Sama dengan pengobatan 18 tahun6 bulan tidak ada perubahan stop
• Usia di atas 18 tahun dan generalisata
- Terapi usia <18 tahun + kapsul metoksalen 2x10 mg (sekali telan, bukan dua kali
sehari)2 jam kemudian dijemur
• Alternatif:
- Kortikosteroid potensi kuat: betamethasone valerate 0,1% atau klobetasone
propionat 0,05%
- MBEH (Monobenzylether of Hydroquinon) 20%untuk vitiligo yang lebih dari
50% total luas kulit atau gagal dengan psoralen
53. Skabies
• Penyakit kulit akibat infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var.
hominis
• Termasuk dalam infeksi menular seksual
• Transmisi: langsung (skin to skin) dan tidak langsung
• Kriteria diagnosis:
 Menemukan 2 dari 4 tanda di bawah ini
1. Pruritus nokturnal (gatal terutama di malam hari)
2. Menyerang sekelompok orang
3. Ditemukan kanalikulus berwarna putih/keabuan, lurus/berkelok,
panjang 1 cm, di ujung terowongan ada papul/vesikel. Predileksi: sela
jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku luar, lipat ketiak
depan, areola mammae, umbilikus, bokong, genitalia eksterna, perut
bawah
4. Ditemukan tungau pada kerokan kulit
• Terdapat 2 tipe, yaitu Classic Scabies dan Crusted (Norwegian) Scabies
CDC Treatment Guideline for Scabies 2017
Temuan klinis

• Kanalikuli

• Sarcoptes scabiei
Crusted (Norwegian) Scabies
• Merupakan salah satu bentuk berat dari scabies
• Banyak terjadi pada penderita
immunocompromised
• Tampilan klinis: ada krusta tebal dan tidak segatal
skabies yang biasa
• Tipe skabies yang ini sangat menular
Modalitas pemeriksaan
• Menemukan terowongan (kedua teknik sama
sensitifnya)
1. Burrow Ink Test
- Cara kerja: tinta dioleskan pada kulit dan tinta ini akan
melakukan penetrasi ke stratum korneumdibersihkan
dengan alkoholtinta mewarnai terowongan.
- Metode ini sangat efektif terutama juga pada anak-anak dan
penderita dengan jumlah terowongan yang kecil dan sedikit
2. Tetracycline:
- Cara kerja:Tetrasiklin topikal dioleskan di kulit kemudian
dibersihkan dengan alkohollampu wood: terowongan akan
berwarna kehijauan
- Metode ini lebih disukai karena colorless dan bisa
mendeteksi area kulit yang luas
Modalitas pemeriksaan
(lebih advanced dan butuh tenaga terlatih)
• Skin scraping
- Cara kerja: kulit yang ada terowongan dikerok dengan
scalpeldiperiksa di mikroskopditemukan 1-2 telur atau
tungau
- Hasil sering false negative
• Adhesive tape test
- Cara kerja: beberapa tape ditaruh di kanalikuli kemudian
dilepaskan tiba-tiba dan diperiksa di bawah mikroskop
- Yang dicari sama seperti skin scraping, namun sensitivitas tes
ini lebih bagus dari skin scraping
• Dermatoscopy
- Lebih akurat dibandingkan pemeriksaan adhesive tape test,
yaitu sensitivitasnya 83%
- Butuh tenaga terlatih
Prinsip Tatalaksana
• Classic Scabies
- DOC: Permethrine cream 5% (anak usia<2 bulan tidak boleh)
- Crotamiton lotion/cream 10% (tidak aman untuk anak)
- Sulfur (5-10%) salep aman untuk anak usia <2 bulan
- Lindan lotion 1% pilihan terakhir karena efek sampingnya yang banyak
- Ivermectin 200 µg/kgBB/pemberian, diberikan 2 kali dengan jarak antar
pemberian 1 minggu Jika gagal dengan topikal
• Crusted scabies
- Ivermectin 200 µg/kgBB/pemberian, pembagian dosis berdasarkan
derajat keparahan dan perlu dikombinasi dengan topikal
- Permethrin cream 5%
- Benzyl benzoate 25%
- Keratolitic cream terapi adjuvan
CDC Treatment Guideline for Scabies 2017
Antiskabies
Drugs Possible adverse Effect Efektif

Irritation, anasthesia & hypoesthesia, ocular


Benzyl benzoat 25% All stadium
irritation, rash, pregnancy category B

Mild &transient burning & stinging, pruritus,


Permethrine 5% pregnancy category B, not recomended for All stadium
children under 2 months

Toksis to SSP for pregnancy and children


Gameksan 1% All stadium
under 6 years old, pregnancy category C

Allergic contact dermatitis/primary irritation,


Krotamiton 10% All stadium
pregnancy category C

Sulfur precipitate Erythema, desquamation, irritation, Not efective for


6% pregnancy category C egg state
54. Filariasis
• Penyakit yang disebabkan cacing Filariidae, dibagi menjadi 3 berdasarkan
habitat cacing dewasa di hospes:
– Kutaneus: Loa loa, Onchocerca volvulus, Mansonella streptocerca
– Limfatik: Wuchereria bancroftii, Brugia malayi, Brugia timori
– Kavitas tubuh: Mansonella perstans, Mansonella ozzardi

• Fase gejala filariasis limfatik:


– Mikrofilaremia asimtomatik
– Adenolimfangitis akut: limfadenopati yang nyeri, limfangitis retrograde,
demam, tropical pulmonary eosinophilia (batuk, mengi, anoreksia, malaise,
sesak)
– Limfedema ireversibel kronik

• Grading limfedema (WHO, 1992):


– Grade 1 - Pitting edema reversible with limb elevation
– Grade 2 - Nonpitting edema irreversible with limb elevation
– Grade 3 - Severe swelling with sclerosis and skin changes

Wayangankar S. Filariasis. http://emedicine.medscape.com/article/217776-overview


WHO. World Health Organization global programme to eliminate lymphatic filariasis. WHO Press; 2010.
• Panjang: lebar kepala
sama
WUCHERERIA • Inti teratur
BANCROFTII • Tidak terdapat inti di
ekor
• Sarung tidak berwarna

• Perbandingan
panjang:lebar kepala
BRUGIA 2:1
• Inti tidak teratur
M A L AY I
• Inti di ekor 2-5 buah
• Warna sarung merah
muda

• Perbandingan
panjang:lebar kepala
BRUGIA 3:1
TIMORI • Inti tidak teratur
• Inti di ekor 5-8 buah
• Sarung tidak berwarna
Distribusi Cacing Filaria di Indonesia

Subdit Fiariasis dan Kecacingan, Direktorat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
Filariasis: Pemeriksaan dan Terapi
• Pemeriksaan penunjang:
– Deteksi mikrofilaria di darah
– Deteksi mikrofilaria di kiluria dan cairan hidrokel
– Antibodi filaria, eosinofilia
– Biopsi KGB

• Pengobatan:
– Tirah baring, elevasi tungkai, kompres
– Antihelmintik (ivermectin, DEC, albendazole)
– DEC: 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari
– Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria: 150 ug/kgBB SD/6 bln, atau /tahun bila
dikombinasi dengan DEC SD
– DEC + Albendazol 400 mg/tahun selama 5 tahun
– Suportif
– Pengobatan massal dengan albendazole + ivermectin (untuk endemik
Onchocerca volvulus) atau albendazole + DEC (untuk nonendemik Onchocerca
volvulus) guna mencegah transmisi
– Bedah (untuk kasus hidrokel/elefantiasis skrotal)
– Diet rendah lemak dalam kasus kiluria
Parasitologi Kedokteran, FKUI
55. Pioderma
• Folikulitis (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut yang
ditandai dengan papul eritema perifolikuler dan rasa gatal atau
perih.

• Furunkel (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut dan


jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau pustul
perifolikuler dengan eritema di sekitarnya dan disertai rasa
nyeri.

• Furunkulosis: beberapa furunkel yang tersebar.

• Karbunkel (Staph. Aureus): kumpulan dari beberapa furunkel,


ditandai dengan beberapa furunkel yang berkonfluensi
membentuk nodus bersupurasi di beberapa puncak.
• Impetigo krustosa/vulgaris/ kontagiosa/ Tillbury
Fox (Strep. Beta hemolyticus) : peradangan 
vesikel yang dengan cepat berubah menjadi
pustul  pecah krusta kering kekuningan
seperti madu. Predileksi spesifik lesi terdapat di
sekitar lubang hidung, mulut, telinga atau anus.

• Impetigo bulosa/ cacar monyet (Staph. Aureus):


peradangan yang memberikan gambaran
vesikobulosa dengan lesi bula hipopion (bula
berisi pus)

• Ektima (Strep. Beta hemolyticus): peradangan


yang menimbulkan kehilangan jaringan dermis
bagian atas (ulkus dangkal).
Histopatologi Impetigo Krustosa dan Bulosa
• Patogen memiliki toksin A dan B yang bisa
mengeksfoliasi  target: desmoglein 1 
pemisahan dan pembentukan bula tepat
dibawah stratum granulosum
Pioderma: Impetigo
• Pemeriksaan Penunjang
– Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari dasar lesi dengan pewarnaan
Gram
– Pemeriksaan darah rutin kadang kadang ditemukan leukositosis

• Komplikasi: Erisipelas, selulitis, ulkus, limfangitis, bakteremia

• Terapi:
• Antibiotika topikal:
• DOC: mupirocin (Bactroban), basitrasin, asam fusidat (Fucidin) dan
retapamulin (Altargo)  2x/hari selama 7 hari
• Alternatif: salep/krim klindamisin, gentamisin
• Antibiotika oral:
• Sefalosforin, amoxiclav, cloxacillin, dicloxaxillin, alternatif: eritromisin,
klindamisin
• DOC anak: Cephalexin http://emedicine.medscape.com/article/965254-overview
Topical Antibiotics for Impetigo
M E D I C AT I O N INSTRUCTIONS
Fusidic acid 2%
Apply to affected skin three times daily for seven to 12 days
ointment†
Apply to affected skin three times daily for seven to 10 days;
Mupirocin 2% cream
reevaluate after three to five days if no clinical response
(Bactroban)‡
Approved for use in persons older than three months

Apply to affected skin three times daily for seven to 14 days


Mupirocin 2%
Dosing in children is same as adults
ointment‡
Approved for use in persons older than two months

Apply to affected skin twice daily for five days


Retapamulin 1% Total treatment area should not exceed 100 cm2 in adults or 2% of
ointment (Altabax) total body surface area in children
Approved for use in persons nine months or older
†—Coverage for Staphylococcus aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus.
‡—Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus. Mupirocin-resistant streptococcus has now been documented.6,14
§—First member of the pleuromutilin class of antibiotics. Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus.19

http://www.aafp.org /afp/2014/0815/p229.html
Ektima
• Merupakan salah satu bentuk pioderma yang disebabkan oleh bakteri
golongan streptokokus beta hemolitikus
• Predileksinya terutama pada area dorsal atau telapak kaki
• Lesi berawal dari vesikel atau vesicopustule multipel yang semakin
meluas hingga membentuk krusta yang tebal. Saat krusta ini diangkat
akan tampak ulkus dangkal dengan tepi meninggi

Practice guidelines for the diagnosis and management of


skin and soft tissue infections: 2014 update
Tatalaksana Skin and Soft Tissue Infection (SSTI)

I&D: Incision & drainage


C&S: Culture & Sensitivity

Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft tissue infections: 2014 update
Tatalaksana spesifik ektima

• Topikal: mupirosin 2 kali sehari selama 5 hari;


dan
• Oral:
 Dikloksasilin atau Sefaleksin selama 7 hari
 Jika terbukti MRSA (doxycycline, clindamycin, atau
TMP-SMX)

Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft tissue infections: 2014 update
Erisipelas
• Penyakit infeksi akut oleh Streptococcus
beta hemolyticus, menyerang epidermis
dan dermis

• Gejala: eritema berwarna merah cerah,


berbatas tegas. Predileksi: tungkai
bawah
• Gejala konstitusi: demam, malaise

• Terdapat keterlibatan limfatik dan juga


limfadenopati, jika sering residif dapat
menjadi elefantiasis

• Pengobatan: elevasi tungkai, antibiotik


sistemik (penicillin, amoxicillin,
cephalexin (alternatif), klindamisin
(alternatif)), diuretik (bila edema)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Gambaran Klinis

Lipworth A.D. et al. Non-necrotozong Infections of The Dermis and Subcutaneous Fat : Cellulitis and Erysipelas. Ftizpatrickk’s Dermatology in General Medicine. Eightth
edition. 2012
Patogenesis

Abrasi, infeksi herpes


simpleks, tinea pedis ,
gigitan serangga, ulkus,
luka tusuk, luka vaksin, tali
pusat neonatus yang Disrupsi Kulit
terkena eksposur

Agen infektif masuk,


inokuasi di kulit

Manifestasi Klinis
Infeksi tersebar cepat
sampai ke sistem
limfatik
Cellulitis and erysipelas manifest as areas of skin erythema, edema, and warmth; they
develop as a result of bacterial entry via breaches in the skin barrier. Cellulitis involves
the deeper dermis and subcutaneous fat; in contrast, erysipelas involves the upper
dermis, and there is clear demarcation between involved and uninvolved tissue. A skin
abscess is a collection of pus within the dermis or subcutaneous space.
ILMU
K E S E H ATAN
ANAK
56-57. Terminologi Diare
• Diare akut: berlangsung < 1 • Disentri: diare mengandung
minggu, umumnya karena infeksi lendir dan darah
– Diare akut cair • Diare primer: infeksi memang
terjadi pada saluran cerna
– Diare akut berdarah
(misal: infeksi Salmonella)
• Diare berlanjut: diare infeksi yang • Diare sekunder: diare sebagai
berlanjut > 1 minggu gejala ikutan dari berbagai
• Diare Persisten: Bila diare penyakit sistemik seperti pada
melanjut tidak sembuh dan bronkopnemonia, ensefalitis
melewati 14 hari atau lebih dan lain-lain
• Diare kronik: diare karena sebab • Diare Berdasarkan
Patofisiologi
apapun yang berlangsung 14 hari – Osmotic diarrhea
atau lebih – Secretoric diarrhea
– Inflammatoy/ exudative
diarrhea
– Altered motility diarrhea
Gejala dan tanda dehidrasi
Klasifikasi diare
pada anak
Tanpa dehidrasi

Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat

Terapi zinc
Syok hipovolemik
pada anak
• Jika diare sangat massif
sehingga volume loss
sangat tinggi, anak dapat
mengalami syok
hipovolemik
• Tatalaksana syok akibat
diare pada anak tidak
menggunakan rencana
terapi C melainkan
algoritma tatalaksana
syok hipovolemik anak
58. Rickets
• Rickets merupakan kelainan yang terjadi akibat gangguan mineralisasi matriks
tulang di lempeng pertumbuhan, dengan pertumbuhan tulang yang terus
berlanjut.
• Mudahnya, tulang terus bertumbuh, namun mineralisasinya kurang sehingga
tulang tidak tebal dan “lembek”.
• Karena “lembek” inilah maka tulang cenderung menjadi membengkok, terutama
pada area weight bearing (ekstremitasi bawah). Bengkok pada tulang ekstremitas
bawah ini dapat menjadi berbentuk O (pediatric genu varum/bow legged) atau X
(pediatric genu valgum/knock knees)
• Selain itu, tulang yang terkena juga tidak hanya pada ekstremitas bawah namun
bisa juga pada area lain
Etiologi
• Etilogi utama
berasal dari
defisiensi
vitamin D dan
kurangnya
paparan
terhadap sinar
matahari
• Hal ini
dikarenakan
regulasi kalsium
pada tubuh
dipengaruhi oleh
kedua kondisi ini
Nelson Pediatrics
Nelson Pediatrics
Gejala klinis

Nelson Pediatrics
Windswept deformity
Toddlers: Bowed Older children: Knock- (combination of valgus
legs (genu varum) knees deformity of 1 leg with varus
(genu valgum) deformity of the other leg)
Harrison groove

Anterior bowing of
the tibia
Frontal bossing

Widening of wrist, knee and ankle due to physeal over growth


Approach Considerations in Rickets
• Serum measurements in the workup for rickets may
include the following:
– Calcium (in vit D def: usually low)
– Phosphorus (in vit D def: invariably low for age)
– Alkaline phosphatase ((in vit D def: elevated)
– Parathyroidhormone (in vit D def: elevated)
– 25-hydroxy vitamin D (in vit D def: low)
– 1,25-dihydroxyvitamin D (in vit D def: low, normal, or high)
– Creatinine
– Electrolytes
• Radiography is indicated in patients with rickets
Radiography in Rickets
• Hypomineralization of bones, decreased
calcification Thickening of growth plate.
• FRAYING: Edge of metaphysis loses its sharp
border.
• CUPPING: Edge of metaphysis changes from
convex or flat to concave surface. Most easily
seen at distal ends of radius, ulna, fibula.
• Widening of distal end of metaphysis  Clinically
causes thickened wrists and ankles, and rachitic
rosary.
Vitamin D Deficiency Treatment
• Either vitamin D2 (ergocalciferol) or vitamin D3
(cholecalciferol) may be used.
– Infants <1 month old – 1000 IU/day for up to three
months, followed by maintenance dosing of 400 IU/day.
– Infants 1 to 12 months old – 1000 to 2000 IU/day for up to
three months, followed by maintenance dosing of 400
IU/day.
– Children 1 to 12 years – 2000 to 6000 IU/day for three
months, followed by maintenance dosing of 600 IU/day.
– Children ≥12 years old – 6000 IU/day for three months,
followed by maintenance dosing of 600 IU/day.
Vitamin D Deficiency Treatment
• Stoss therapy (using Vitamin D3, not Vitamin D2)– Short-term
administration of high dose vitamin D, known as "stoss
therapy", is an effective alternative, and can be a good solution
for patients who do not adhere to oral therapy.
• Stoss therapy should not be used for young infants, and careful
dosing is important to avoid risks of hypercalcemia.
– Infants <3 months of age – stoss therapy not recommended
– Infants 3 to 12 months of age – a single dose of 50,000 international
units
– Children 1 to 12 years – a single dose of 150,000 international units
– Children ≥ 12 years – a single dose of 300,000 international units
Vitamin D Deficiency Treatment
Calcium supplementation during treatment of Vitamin D deficiency
• For patients with elevated levels of parathyroid hormone (PTH) or clinical
evidence of rickets, calcium should be supplemented along with vitamin
D.
• This is because vitamin D replacement and a normalization of PTH levels
can precipitate hypocalcemia by suppressing bone resorption and from
increased bone mineralization, also referred to as the "hungry bone"
syndrome.
• Hence, calcium replacement is necessary along with vitamin D
replacement and should be given at doses of 30 to 75 mg/kg/day of
elemental calcium given in two to three divided doses for two to four
weeks, until vitamin D doses have been reduced to maintenance levels of
600 to 1000 IU daily
Defisiensi Vitamin Lainnya
Defisiensi Vitamin B
Beriberi – Congestive heart failure (wet beriberi), aphonia, peripheral
Vitamin B1 (Thiamine) neuropathy, Wernicke encephalopathy (nystagmus,
ophthalmoplegia, ataxia), confusion, or coma
Nonspecific symptoms including edema of mucous membranes,
Vitamin B2 (Riboflavin) angular stomatitis, glossitis, and seborrheic dermatitis (eg, nose,
scrotum)
Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia, and
Vitamin B3 (Niacin)
finally death (4D)
Vitamin B5 (Pantothenic nonspeparesthesias, dysesthesias ("burning feet"), anemia,
Acid) gastrointestinal symptoms
Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood pressure
Vitamin B6 (Pyridoxine)
(hypertension), water retention, and elevated levels of homocysteine
Nonspesific, causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions
Vitamin B7 (Biotin)
including hallucinations, drowsiness, and depression
Folate (B9) Megaloblastic anemia
Causes gradual deterioration of the spinal cord and very gradual
Vitamin B12 (Cobalamin)
brain deterioration, resulting in sensory or motor deficiencies
59-60. Imunisasi
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014
Umur pemberian vaksin
Jenis vaksin Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatit
i s B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7(Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus
e 1 2 3
Influ nza Ulangan 1 kaliptia tpahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan tia 3 t ahun
Hepatit
i s A 2 kali, interval 6-12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 3 kali

Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i ) sd 2 bul an 29 har i (89 har i ) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices /kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
The difference to 2017
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)

bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12

bulan, respon antibody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan)

optimal catchup booster daerah endemis

1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6 bulan
2017
Polio: lahir, 2,4,6 Hep .B: sama dengan
bulan 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
DPT: 2,4,6 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan

Plus2 : HiB

2,4,6 bulan 2,3,4 bulan 2,3,4 bulan


*Intradermal=Intrakutan
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

• Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari


Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun
sehingga didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas.
• Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi
mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis
TB dan tuberkulosis milier.
• Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan
pada suhu 2-8° C, tidak boleh beku.
• Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu
8 jam.
Vaksin BCG
• Vaksin BCG diberikan pada umur <3 bulan, sebaiknya pada anak
dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif.
• Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan.
• Vaksin BCG diberikan secara intrakutan 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml
untuk bayi baru lahir.
• VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas
pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat
lain (bokong, paha).
• Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif pada umur lebih
dari 3 bulan.
• Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan
asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila
pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.
KIPI BCG
• Penyuntikan BCG secara intradermal • Limfadenitis
akan menimbulkan ulkus lokal yang – Limfadenitis supuratif di aksila atau di
superfisial 3 (2-6) minggu setelah leher kadang-kadang dijumpai setelah
penyuntikan. penyuntikan BCG.
– Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi
• Ulkus tertutup krusta, akan sembuh
tidak perlu diobati.
dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan
– Apabila limfadenitis melekat pada
parut bulat dengan diameter 4-8 kulit atau timbul fistula maka lakukan
mm. drainase dan diberikan OAT
• Apabila dosis terlalu tinggi maka • BCG-itis diseminasi (Disseminated
ulkus yang timbul lebih besar, BCG Disease)
namun apabila penyuntikan terlalu – berhubungan dengan imunodefisiensi
dalam maka parut yang terjadi berat.
tertarik ke dalam (retracted). – diobati dengan kombinasi obat anti
tuberkulosis.
Kontraindikasi BCG
• Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
• Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
• imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,
• Menderita gizi buruk,
• Menderita demam tinggi,
• Menderita infeksi kulit yang luas,
• Pernah sakit tuberkulosis,
• Kehamilan.
61. Giardiasis
Anerior membulat

Trofozoit
Kista

Trofozoit:
- Pear shaped
Flagel Inti - Sepasang
nukleusseperti mata
- Pada bagian ventral
Posterior tajam terdapat alat
isapuntuk menempel
di mukosa usus
Giardiasis
• Etiologi: Giardia interstinalisdikenal sebagai Giardia
lamblia (protozoa)
Akut: berbau, mual, distensi
• Gejala klinis: abdomen, demam, tidak ada darah
dalam tinja
 Dapat asimptomatik
 Diare bisa menjadi akut/kronik
Ekskresi lemak meningkatsteatorrhea Kronik: nyeri dan distensi
• Terapi: abdomen, tinja berlendir, dan BB
turun
DOC: metronidazole 2x500 mg selama 5-7hari (anak
15 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 5 hari)
Alternatif: Tinidazole 2 gr PO SD (anak: 50 mg/kgBB
PO SD)
62. Bronkiolitis
• Infection (inflammation) at
bronchioli
• Bisa disebabkan oleh
beberapa jenis virus, yang
paling sering adalah
respiratory syncytial virus
(RSV)
• Virus lainnya: influenza,
parainfluenza, dan
adenoviruses
• Predominantly < 2 years of age
(2-6 months)
• Difficult to differentiate with
pneumonia and asthma
Bronkhiolitis
Bronchiolitis
Bronchiolitis:
Management

Mild disease
• Symptomatic therapy
Moderate to Severe diseases
• Life Support Treatment : O2,
IVFD
• Etiological Treatment
– Anti viral therapy (rare)
– Antibiotic (if etiology
bacteria)
• Symptomatic Therapy
– Bronchodilator: controversial
– Corticosteroid: controversial
(not effective)
Tatalaksana Bronkiolitis
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.

Sari Pediatri
Pilihan lain: Pertusis
• Stadium:
 Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea, demam
subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi biasa. Penularan terjadi
dalam stadium ini.
 Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang lama, bisa
diikuti dengan whooping atau stadium apnea. Bisa disertai
muntah.
 Stadium konvalesens: batuk kronik hingga beberapa minggu
• Diagnosis :
 Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu,
terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal.
 Tanda diagnostik : Batuk paroksismal diikuti whoop saat
inspirasi disertai muntah, perdarahan subkonjungtiva, riwayat
imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami henti napas
sementara/sianosis
Pilihan lain: Bronchitis
• Merupakan terminologi untuk inflamasi bronkial
nonspesifik
• Kondisi ini merupakan suatu sindroma dengan
berbagai macam etiologi, namun terutama infeksi
virus
• Bronchitis ini terbagi menjadi 2, yaitu akut dan
kronik
• Dikatakan bronchitis akut jika batuk produktif
terjadi <3 bulan, sedangkan kronik jika ≥3 bulan
setiap tahun selama ≥2 tahun
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Bronchitis akut
• Gejala yang terdapat pada bronchitis akut berupa demam dan malaise, yang
terjadi setelah atau tanpa didahului oleh infeksi saluran napas atas (ISPA).
• Jika diawali oleh ISPA, biasanya setelah 3-4 hari anak akan mulai mengalami
batuk kering yang semakin lama semakin sering dan mulai menjadi produktif
(berdahak). Batuk kemudian akan bertahan selama 1-3 minggu.
• Dahak yang dihasilkan awalnya berwarna keputihan dan lama kelamaan bisa
menjadi purulen. Karena anak cenderung menelan dahaknya, maka seringkali
bisa terjadi emesis.
• Batuk yang semakin sering pada anak juga meningkatkan kerja dari otot-otot
dada sehingga anak seringkali juga mengalami nyeri pada area dada selama 5-
10 hari, namun keluhan ini akan perlahan-lahan hilang apabila batuk juga sudah
berkurang.
• Seluruh episode ini biasanya akan hilang setelah 2 minggu, atau bisa bertahan
sampai lebih dari 3 minggu namun <3 bulan.

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Bronchitis akut
• Pemeriksaan fisik pada beberapa hari pertama dapat tidak ditemukan
kelainan, namun saat sudah semakin berkembang (batuk menjadi
lebih sering dan produktif) dapat ditemukan rhonki maupun
wheezing.
• Pada pemeriksaan radiologi thorax juga tidak spesifik, hanya
menunjukkan peningkatan corakan bronkovaskular
• Hal yang perlu digarisbawahi untuk bronchitis adalah menyingkirkan
kemungkinan lain terlebih dahulu (pneumonia, asma, dll)
• Tatalaksana: tidak ada terapi spesifik, hanya konservatif. Dapat
diberikan antibiotik jika memang terbukti ada infeksi bakteri.
Penggunaan antitusif dapat digunakan namun pertimbangkan
kemungkinan pembentukan supurasi oleh karena pengeluaran
sputum ditekan

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Bronchitis kronik
• Kondisi ini bisa berasal dari bronchitis akut yang berkelanjutan, atau
berupa gejala episodik yang terjadi ≥3 bulan setiap tahun selama ≥2
tahun
• Kondisi ini biasanya memiliki predisposisi berupa rokok (pada kasus ini
mungkin orang tua atau orang sekitar anak merokokanak menjadi
perokok pasif) atau bisa disebabkan oleh faktor lain seperti polusi udara,
paparana terhadap kondisi lingkungan tertentu, atau infeksi berulang.
• Karena kondisi-kondisi di atas jarang terjadi pada anak, maka sebenarnya
istilah ini masih kontroversial jika diaplikasikan pada kasus anak.
• Oleh karena itu, untuk menegakkan diagnosis ini perlu dipastikan bahwa
tidak ada asma, bronkiektasis, cystic fibrosis, atau bronchopulmonary
dysplasia pada anak.

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Pilihan lain: pneumonia
• Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat.
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest
indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy,
vomiting and diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales
(ronchi)
Patofisiologi

RESOLUTION
Sumber : Rubin E, Resiner H. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th edition. New
York : Lippincot ; 2014.
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis

Manifestasi Klinis
• Infeksi umum  demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
• Gangguan respiratori  batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merintih, dan sianosis.
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The


Pneumonia opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or
pneumonia reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.

pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most


characteristic)  Associated with thicker Bronchial wall, inflammation
Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with
Asthma
accessory muscle use)
Hyperinflation (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent,
bronkiolitis Peribronchial thickening
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
63. Spina bifida
• Spina bifida merupakan malformasi spinal cord
yang disebabkan oleh defek dari neural tube
• Penutupan neural tube berlangsung
sejak usia gestasi 17 hari dan sudah
menutup sempurna sebelum 30 hari
• Etiologimultifaktorial
 Genetik
 Faktor lingkungan (radiasi, teratogen)
 Nutrisi: defisiensi asam folat
 DM tipe 2 dan DM gestasional
 Obesitasi maternal
 Hipertermia
 Obat antiepilepsi selama kehamilan (as
valproat dan carbamazepine)as. Valproat
lebih teratogen dibandingkan CBZ
Tipe spina bifida

Terdapat 3 bentuk paling umum dari spina bifida, yaitu


1. Myelomeningocele
Merupakan bentuk paling berat dari spina bifida, karena selain meninges, spinal cord dan
cabang-cabang nervus ikut masuk ke dalam kantung dan mengalami cedera sehingga anak
akan mengalami disabilitas sedang hingga berat
2. Meningocele
Hanya meninges yang masuk ke dalam kantung
3. Spina bifida occulta
Bentuk paling ringan, hanya berupa gap pada area tulang belakang tanpa adanya
suatu kantung
Obat antiepilepsi (OAE) - NTD
• Mekanisme OAE menyebabkan NTD bisa secara langsung maupun tidak
langsung
• Secara langsung: OAE menginduksi neuronal apoptosis (kematian sel
saraf), contoh obat ini adalah clonazepam, diazepam, fenobarbital,
fenitoin, vigabatrin, dan asam valproat
• Secara tidak langsung: obat-obatan ini sangat kecil kemungkinannya
menyebabkan apoptosis neuronal saat dipakai sebagai monoterapi,
namun bisa menginduksi atau bahkan meningkatkan efek apoptosis
dari OAE lain. Contoh obat golongan ini: carbamazepine, lamotrigine,
atau topiramate
• Akan tetapi tidak semua ibu hamil yang menggunakan OAE pasti
memiliki anak dengan NTD karena sifat teratogenik ini dose
dependentartinya pada dosis tertentu saja bisa menyebabkan NTD

Gedzelman E, Meador KJ. Antiepileptic drugs in women with epilepsy during pregnancy. Ther Adv Drug Saf (2012) 3(2) 71–87
Hill DS, Wlodarczyk BJ, Palacios AM, Finnell RF. Teratogenic effects of antiepileptic drugs. Expert Rev Neurother. 2010
Recommendation
• Because there are no clear data indicating that any drug is without risk in
pregnancy, we suggest that patients planning pregnancy should be managed
on the most effective antiseizure drug for their seizures (Grade 2C).
• As an exception, valproate should be avoided if an alternate effective
antiseizure drug regimen can be found (Grade 1B).
• Monotherapy and the lowest possible drug dose may limit risk of
teratogenicity.
• The antiseizure drug regimen should be optimized six months prior to planned
conception.
• We suggest NOT making changes to antiseizure drug regimen for the purpose
of reducing teratogenic risk in established pregnancy (Grade 2C).
• Folic acid supplementation (0.4 to 0.8 mg per day) is recommended for all
women of child bearing potential (Grade 1A).
• Folic acid supplementation prior to conception and during the first trimester
decreases risk for congenital neural tube defects
Obat Pregnancy Class Efek samping
Benzodiazepi Pregnancy If benzodiazepines (especially those with a long half-life)
ne category: D are taken in late pregnancy, they can cause neonatal
respiratory depression, poor temperature regulation, poor
feeding and hypotonicity.
There is a risk of neonatal withdrawal symptoms and
craniofacial anomalies.
Mefenamat Pregnancy Higher cases of spontaneous abortions
Category: C; D if Exposure near term can cause premature closure of ductus
used for arteriosus
prolonged periods
or near term
Etosukdimide Pregnancy Ethosuximide crosses the placenta. Birth defects have been
category: C reported in infants. In general, polytherapy may increase
the risk of malformations; monotherapy with the lowest
effective dose is recommended
Trimetoprim Pregnancy Risk Trimethoprim crosses the placenta and can be detected in
Factor C; the fetal serum and amniotic fluid.
Trimetoprim- An increased risk of congenital malformations (neural tube
sulfometoxazole defects, cardiovascular malformations, urinary tract defects,
D oral clefts, club foot) following maternal use of
sulfamethoxazole and trimethoprim during pregnancy has
been observed in some studies.
64. Syok Anafilaktik pada Anak

• ‘‘Anaphylaxis is a serious allergic reaction that is rapid in onset and may


cause death.’’
• Anaphylaxis involves an immunoglobulin E (IgE)–mediated immediate
hypersensitivity reaction resulting in the release of potent chemical
mediators from mast cells and basophils. – Hipersensitivitas tipe 1
• most effects involve the cutaneous, respiratory, cardiovascular, and
gastrointestinal systems.
• Children withatopy, including asthma, eczema, and allergic rhinitis, are at
higher risk of anaphylaxis.
• The severity of a previous reaction does not necessarily predict the
severity of a subsequent reaction.
• Certainly, individuals with a previous anaphy- lactic reaction are at higher
risk for recurrence.

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam
(pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
SY S T E M S I G N S A N D SY M P TO M S
Fussiness, irritability, drowsiness, lethargy, reduced level of
General/CNS
consciousness, somnolence

Skin Urticaria, pruritus, angioedema, flushing

Stridor, hoarseness, oropharyngeal or laryngeal edema, uvular


Upper airway edema, swollen lips/tongue, sneezing, rhinorrhea, upper airway
obstruction

Lower airway Coughing, dyspnea, bronchospasm, tachypnea, respiratory arrest

Tachycardia, hypotension, dizziness, syncope, arrhythmias,


Cardiovascular
diaphoresis, pallor, cyanosis, cardiac arrest

Gastrointestinal Nausea, vomiting, diarrhea, abdominal pain


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
Diutamakan penggunaan
antihistamine terlebih
dahulu setelah resusitasi
cairan
Pharmacological management of anaphylaxis
DRUG AND ROUTE OF FREQUENCY OF PA ED I ATR I C D O S I N G
A D M I N I S T R AT I O N A D M I N I S T R AT I O N (MAXIMUM DOSE)
Immediately, then every 5–15 min as
Epinephrine (1:1000) IM 0.01 mg/kg (0.5 mg)
required
6 months to <2 years: 2.5 mg OD
Cetirizine PO Single daily dose 2–5 years: 2.5–5 mg OD
>5 years: 5–10 mg OD
Every 4–6 h as required for cutaneous
Diphenhydramine IM/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Every 8 h as required for cutaneous
Ranitidine PO/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Corticosteroids: prednisone PO
Every 6 h as required 1 mg/kg PO (75 mg) or 1 mg/kg IV (125 mg)
or methylprednisolone IV
Every 20 min or continuous for
5–10 puffs using MDI or 2.5–5 mg by
Salbutamol respiratory symptoms (wheezing or
nebulization
shortness of breath)
Every 20 min to 1 h for symptoms of
Nebulized epinephrine (1:1000) 2.5–5 mL by nebulization
upper airway obstruction (stridor)
Continuous infusion for hypotension –
Epinephrine IV (infusion) 0.1–1 μg/kg/min (maximum 10 μg/min)
titrate to effect
Bolus followed by continuous infusion – 20–30 μg/kg bolus (maximum 1 mg), then
Glucagon IV
titrate to effect infusion at 5–15 μg/min
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
Summary
• Terapi standar untuk anafilaksis adalah antihistamin dan
kortikosteroid.
• Akan tetapi, terapi utama pada syok anafilaksis adalah epinephrine,
sedangkan antihistamin dan kortikosteroid hanyalah terapi
adjunctive.
• Hal ini dikarenakan antihistami dan kortikosteroid memiliki onset
kerja yang lebih lambat dibandingkan epinefrin
• Setelah epinephirn, antihistamine lebih diutamakan diberikan karena
onset kerjanya jauh lebih cepat daripada kortikosteroid. Selain itu,
direkomendasikan agar pemberian antihistamin tidak hanya
golongan H1 blocker secara monoterapi, akan tetapi dikombinasikan
dengan H2 blocker karena diketahui dapat lebih cepat mengurangi
gejala anafilaksis yang terjadi. Kombinasi difenhidramin dan
ranitidine diketahui merupakan kombinasi yang superior
Summary
• Dalam kondisi syok, pemberian antihistamine disarankan secara
IV, sedangkan pada kondisi anafilaksis yang lebih ringan dapat
diberikan secara oral maupun IM.
• Sedangkan pemberian kortikosteroid lebih disarankan untuk
reaksi fase laten dari anafilaksis, yaitu biphasic
anafilaksisreaksi anafilaksis berulang namun dengan gejala
yang lebih ringan namun tetap butuh penanganan segera
• Kortikosteroid disarankan diberikan pada semua pasien yang
mengalami anafilaksis, terutama yang jatuh ke dalam syok atau
pada pasien-pasien yang menggunakan kortikosteroid secara
rutin (seperti mereka yang menggunakan controller untuk
asma)
65. Asma
• Batuk dan atau mengi berulang dengan karakteristik episodik,
nokturnal (variabilitas), reversibel (dapat sembuh sendiri
dengan atau tanpa pengobatan) ditambah atopi
• Gejala utama pada anak: batuk dan/atau wheezing

Supriyatno B. Diagnosis dan tata laksana asma anak.


PATHOGENESIS OF
ASTHMA
• Definition
o Chronic inflammatory
condition of the
airwayshyperreactivity
o Episodic airflow
obstruction
• Main processes
o Inflammatory reaction Inflammation causes obstruction of airways
by:
o Remodeling • Acute bronchoconstriction
• Swelling of bronchial wall
• Chronic production of mucous
• Remodeling of airways walls
Andrew H. Liu, Joseph D. Spahn, Donald Y. M. Leung.
Childhood Asthma. Nelson Textbook of Pediatrics http://www.clivir.com/pictures/asthma/asthma_symptoms.jpg
Child presents with acute or sub-acute asthma exacerbation
PRIMARY CARE or acute wheezing episode

Consider other diagnoses


ASSESS the CHILD Risk factors for hospitalization
Severity of exacerbation?

MILD or MODERATE SEVERE OR LIFE THREATENING


Breathless, agitated any of:
Pulse rate ≤200 bpm (0-3 yrs) or ≤180 bpm (4-5 yrs) Unable to speak or drink
Oxygen saturation ≥92% Central cyanosis
Confusion or drowsiness
Marked subcostal and/or sub-glottic
retractions
START TREATMENT
Oxygen saturation <92%
Salbutamol 100 mcg two puffs by pMDI + spacer
Silent chest on auscultation
or 2.5mg by nebulizer
Pulse rate > 200 bpm (0-3 yrs)
Repeat every 20 min for the first hour if needed
or >180 bpm (4-5 yrs)
Controlled oxygen (if needed and available):
target saturation 94-98% URGENT

MONITOR CLOSELY for 1-2 hours TRANSFER TO HIGH LEVEL CARE


Transfer to high level care if any of: (e.g. ICU)
Worsening,
• Lack of response to salbutamol over 1-2 hrs or lack of While waiting give:
• Any signs of severe exacerbation im provement Salbutamol 100 mcg 6 puffs by pMDI+spacer
• Increasing respiratory rate (or 2.5mg nebulizer). Repeat every 20 min
• Decreasing oxygen saturation as needed.
Oxygen (if available) to keep saturation 94-
98%
Prednisolone 2mg/kg (max. 20 mg for <2 yrs;
Primary care management of acute max. 30 mg for 2–5 yrs) as a starting dose
Consider 160 mcg ipratropium bromide
asthma or wheezing in pre-schoolers (or 250 mcg by nebulizer). Repeat every
20 min for 1 hour if needed.

GINA 2017, Box 6-8 (2/3) © Global Initiative for Asthma


MONITOR CLOSELY for 1-2 hours
TRANSFER TO HIGH LEVEL CARE
Transfer to high level care if any of: (e.g. ICU)
Worsening,
• Lack of response to salbutamol over 1-2 hrs While waiting give:
or lack of
• Any signs of severe exacerbation im provement Salbutamol 100 mcg 6 puffs by pMDI+spacer
• Increasing respiratory rate (or 2.5mg nebulizer). Repeat every 20 min
• Decreasing oxygen saturation as needed.
Oxygen (if available) to keep saturation 94-
IMPROVING 98%
Prednisolone 2mg/kg (max. 20 mg for <2 yrs;
CONTINUE TREATMENT IF NEEDED max. 30 mg for 2–5 yrs) as a starting dose
Worsening, Consider 160 mcg ipratropium bromide
Monitor closely as above or failure to (or 250 mcg by nebulizer). Repeat every
If symptoms recur within 3-4 hrs respond to
20 min for 1 hour if needed.
10 puffs
• Give extra salbutamol 2-3 puffs per hour
salbutamol
• Give prednisolone 2mg/kg (max. 20mg for over 3-4 hrs
<2 yrs; max. 30mg for 2-5 yrs) orally

IMPROVING

DISCHARGE/FOLLOW-UP PLANNING
Ensure that resources at home are adequate.
Reliever: continue as needed
Controller: consider need for, or adjustment of, regular controller
Check inhaler technique and adherence
Follow up: within 1-7 days
Provide and explain action plan

FOLLOW UP VISIT
Reliever: Reduce to as-needed
Controller: Continue or adjust depending on cause of exacerbation, and duration of need for extra salbutamol
Risk factors: Check and correct modifiable risk factors that may have contributed to exacerbation, including
inhaler technique and adherence
Action plan: Is it understood? Was it used appropriately? Does it need modification?
Schedule next follow up visit

GINA 2017, Box 6-8 (3/3) © Global Initiative for Asthma


Initial assessment of acute asthma exacerbations
in children ≤5 years

Symptoms Mild Severe*


Altered consciousness No Agitated, confused or drowsy

Oximetry on >95% <92%


presentation (SaO2)**
Speech† Sentences Words

Pulse rate <100 beats/min >200 beats/min (0–3 years)


>180 beats/min (4–5 years)
Central cyanosis Absent Likely to be present

Wheeze intensity Variable Chest may be quiet

*Any of these features indicates a severe exacerbation


**Oximetry before treatment with oxygen or bronchodilator
† Take into account the child’s normal developmental capability

GINA 2017, Box 6-9 © Global Initiative for Asthma


Initial management of asthma exacerbations
in children ≤5 years

Therapy Dose and administration


Supplemental 24% delivered by face mask (usually 1L/min) to maintain
oxygen oxygen saturation 94-98%
Inhaled SABA 2–6 puffs of salbutamol by spacer, or 2.5mg by nebulizer, every
20 min for first hour, then reassess severity. If symptoms
persist or recur, give an additional 2-3 puffs per hour. Admit to
hospital if >10 puffs required in 3-4 hours.
Systemic Give initial dose of oral prednisolone (1-2mg/kg up to maximum
corticosteroids of 20mg for children <2 years; 30 mg for 2-5 years)
Additional options in the first hour of treatment
Ipratropium For moderate/severe exacerbations, give 2 puffs of
bromide ipratropium bromide 80mcg (or 250mcg by nebulizer) every
20 minutes for one hour only
Magnesium Consider nebulized isotonic MgSO4 (150mg) 3 doses in first
sulfate hour for children ≥2 years with severe exacerbation

GINA 2017, Box 6-11 (2/2) © Global Initiative for Asthma


GINA assessment of asthma control in
children ≤5 years

© Global Initiative for Asthma


Stepwise approach to control symptoms and
reduce risk (children ≤5 years)
Diagnosis
Symptom control & risk factors
Inhaler technique & adherence
Parent preference

Symptoms
Exacerbations
Side-effects
Asthma medications
Parent satisfaction
Non-pharmacological strategies
Treat modifiable risk factors

STEP 4

STEP 3
PREFERRED STEP 1 STEP 2 Continue
CONTROLLER controller
CHOICE Double & ref er f or
‘ low dose’ specialist
Daily low dose ICS ICS assessment

Other Leukotriene receptor antagonist (LTRA) Low dose ICS + LTRA Add LTRA
controller Intermittent ICS Inc. ICS
frequency
options Add intermitt ICS

RELIEVER As-needed short-acting beta 2-agonist (all children)

CONSIDER Infrequent Symptom pattern consistent with asthma Asthma diagnosis, and Not well-
viral wheezing and asthma symptoms not well-controlled, or not well-controlled on controlled
THIS STEP FOR
and no or few ≥3 exacerbations per year low dose ICS on double
CHILDREN interval ICS
WITH: symptoms Symptom pattern not consistent with asthma but
wheezing episodes occur frequently, e.g. every
First check diagnosis, inhaler skills,
6–8 weeks.
adherence, exposures
Give diagnostic trial for 3 months.

ALL CHILDREN
KEY
ISSUES • Assess symptom control, future risk, comorbidities
• Self-management: education, inhaler skills, written asthma action plan, adherence
• Regular review: assess response, adverse events, establish minimal effective treatment
• (Where relevant): environmental control for smoke, allergens, indoor/outdoor air pollution

GINA 2017, Box 6-5 (2/8) © Global Initiative for Asthma


Managing exacerbations in primary care for adults, adolescents and
children 6 years and older
PRIMARY CARE Patient presents with acute or sub-acute asthma exacerbation

Is it asthma?
ASSESS the PATIENT Risk factors for asthma-related death?
Severity of exacerbation?

MILD or MODERATE SEVERE


Talks in phrases, prefers Talks in words, sits hunched LIFE-THREATENING
sitting to lying, not agitated forwards, agitated Drowsy, confused
Respiratory rate increased Respiratory rate >30/min or silent chest
Accessory muscles not used Accessory muscles in use
Pulse rate 100–120 bpm Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95% O2 saturation (on air) <90%
PEF >50% predicted or best PEF ≤50% predicted or best URGENT

START TREATMENT
TRANSFER TO ACUTE
SABA 4–10 puffs by pMDI + spacer,
repeat every 20 minutes for 1 hour CARE FACILITY
WORSENING While waiting: give inhaled SABA
Prednisolone: adults 1 mg/kg, max.
50 mg, children 1–2 mg/kg, max. 40 mg and ipratropium bromide, O2,
Controlled oxygen (if available): target systemic corticosteroid
saturation 93–95% (children: 94-98%)

GINA 2017, Box 4-3 (4/7) ©


© Global
Global Initiative
Initiative for
for Asthma
Asthma
START TREATMENT
SABA 4–10 puffs by pMDI + spacer, TRANSFER TO ACUTE
repeat every 20 minutes for 1 hour CARE FACILITY
Prednisolone: adults 1 mg/kg, max. WORSENING
While waiting: give inhaled SABA
50 mg, children 1–2 mg/kg, max. 40 mg and ipratropium bromide, O2,
Controlled oxygen (if available): target systemic corticosteroid
saturation 93–95% (children: 94-98%)

CONTINUE TREATMENT with SABA as needed


WORSENING
ASSESS RESPONSE AT 1 HOUR (or earlier)

IMPROVING

ASSESS FOR DISCHARGE ARRANGE at DISCHARGE


Symptoms improved, not needing SABA Reliever: continue as needed
PEF improving, and >60-80% of personal Controller: start, or step up. Check inhaler technique,
best or predicted adherence
Oxygen saturation >94% room air Prednisolone: continue, usually for 5–7 days
(3-5 days for children)
Resources at home adequate
Follow up: within 2–7 days

FOLLOW UP
Reliever: reduce to as-needed
Controller: continue higher dose for short term (1–2 weeks) or long term (3 months), depending
on background to exacerbation
Risk factors: check and correct modifiable risk factors that may have contributed to exacerbation,
including inhaler technique and adherence
Action plan: Is it understood? Was it used appropriately? Does it need modification?

GINA 2017, Box 4-3 (7/7) © Global Initiative for Asthma


Managing exacerbations in Acute Care Settings (e.g. Emergency
Department) for adults, adolescents and children 6 years and older

INITIAL ASSESSMENT Are any of the following present?


A: airway B: breathing C: circulation Drowsiness, Confusion, Silent chest

NO
YES

Further TRIAGE BY CLINICAL STATUS Consult ICU, start SABA and O 2,


according to worst feature and prepare patient for intubation

MILD or MODERATE SEVERE


Talks in phrases Talks in words
Prefers sitting to lying Sits hunched forwards
Not agitated Agitated
Respiratory rate increased Respiratory rate >30/min
Accessory muscles not used Accessory muscles being used
Pulse rate 100–120 bpm Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95% O2 saturation (on air) < 90%
PEF >50% predicted or best PEF ≤50% predicted or best

GINA 2017, Box 4-4 (2/4) © Global Initiative for Asthma


MILD or MODERATE SEVERE
Talks in phrases Talks in words
Prefers sitting to lying Sits hunched forwards
Not agitated Agitated
Respiratory rate increased Respiratory rate >30/min
Accessory muscles not used Accessory muscles being used
Pulse rate 100–120 bpm Pulse rate >120 bpm
O2 saturation (on air) 90–95% O2 saturation (on air) < 90%
PEF >50% predicted or best PEF ≤50% predicted or best

Short-acting beta2-agonists Short-acting beta2-agonists


Consider ipratropium bromide Ipratropium bromide
Controlled O2 to maintain Controlled O2 to maintain
saturation 93–95% (children 94-98%) saturation 93–95% (children 94-98%)
Oral corticosteroids Oral or IV corticosteroids
Consider IV magnesium
Consider high dose ICS

GINA 2017, Box 4-4 (3/4) © Global Initiative for Asthma


Short-acting beta2-agonists Short-acting beta2-agonists
Consider ipratropium bromide Ipratropium bromide
Controlled O2 to maintain Controlled O2 to maintain
saturation 93–95% (children 94-98%) saturation 93–95% (children 94-98%)
Oral corticosteroids Oral or IV corticosteroids
Consider IV magnesium
Consider high dose ICS

If continuing deterioration, treat as


severe and re-assess for ICU

ASSESS CLINICAL PROGRESS FREQUENTLY


MEASURE LUNG FUNCTION
in all patients one hour after initial treatment

FEV1 or PEF <60% of predicted or


FEV1 or PEF 60-80% of predicted or
personal best,or lack of clinical response
personal best and symptoms improved
SEVERE
MODERATE
Continue treatment as above
Consider for discharge planning
and reassess frequently

GINA 2017, Box 4-4 (4/4) © Global Initiative for Asthma


Treating asthma to control symptoms and
minimize risk UPDATED
2017
Stepwise management - pharmacotherapy
Diagnosis
Symptom control & risk factors
(including lung function)
Inhaler technique & adherence
Patient preference

Symptoms
Exacerbations
Side-effects Asthma medications
Patient satisfaction Non-pharmacological strategies
Lung function Treat modifiable risk factors

STEP 5

STEP 4

STEP 3 Refer for *Not for children <12 years


PREFERRED STEP 1 STEP 2 add-on **For children 6-11 years, the
CONTROLLER treatment preferred Step 3 treatment is
CHOICE e.g.
Med/high tiotropium,* medium dose ICS
ICS/LABA anti-IgE,
#
Low dose anti-IL5* For patients prescribed
Low dose ICS BDP/formoterol or BUD/
ICS/LABA**
formoterol maintenance and
reliever therapy
Other Consider low Leukotriene receptor antagonists (LTRA) Med/high dose ICS Add tiotropium* Add low
controller dose ICS Low dose theophylline* Low dose ICS+LTRA High dose ICS dose OCS  Tiotropium by mist inhaler is
options (or + theoph*) + LTRA an add-on treatment for
(or + theoph*)
patients ≥12 years with a
As-needed short-acting beta2-agonist (SABA) As-needed SABA or history of exacerbations
RELIEVER
low dose ICS/formoterol#

GINA 2017, Box 3-5 (2/8) (upper part) © Global Initiative for Asthma
Stepwise management – additional components
UPDATED
2017

• Provide guided self-management education


REMEMBER • Treat modifiable risk factors and comorbidities
TO... • Advise about non-pharmacological therapies and strategies
• Consider stepping up if … uncontrolled symptoms, exacerbations or risks,
but check diagnosis, inhaler technique and adherence first
• Consider adding SLIT in adult HDM-sensitive (House Dust Mite-Sensitive)
patients with allergic rhinitis who have exacerbations despite ICS treatment,
provided FEV1 is 70% predicted
• Consider stepping down if … symptoms controlled for 3 months
+ low risk for exacerbations. Ceasing ICS is not advised.

SLIT: sublingual immunotherapy

GINA 2017, Box 3-5 (3/8) (lower part) © Global Initiative for Asthma
Diagnosis and management of asthma in adults,
adolescents and children 6 years and older. GINA
GINA assessment of asthma control

A. Symptom control Level of asthma symptom control


Well- Partly Uncontrolled
In the past 4 weeks, has the patient had:
controlled controlled
• Daytime asthma symptoms more
than twice a week? Yes  No
• Any night waking due to asthma? Yes  No
None of 1-2 of 3-4 of
• Reliever needed for symptoms* these these these
more than twice a week? Yes  No
• Any activity limitation due to asthma? Yes No

B. Risk factors for poor asthma outcomes


• Assess risk factors at diagnosis and periodically
• Measure FEV1 at start of treatment, after 3 to 6 months of treatment to record the patient’s
personal best, then periodically for ongoing risk assessment
ASSESS PATIENT’S RISKS FOR:
• Exacerbations *Excludes reliever taken before
• Fixed airflow limitation exercise, because many people
take this routinely
• Medication side-effects
GINA 2017 Box 2-2B (1/4) © Global Initiative for Asthma
Komplikasi asma
• Pneumothorax
• Pneumomediastinum
• Pneumopericardium
• Pulmonary interstitial emphysema
• Pneumoperitoneum
• Cardiac arrhytmia
• Myocardial ischemia/infarction
• Mucus plugging
• Atelectasis
• Pneumonia
• Electrolyte disturbance
• Lactic acidosis
66. Tetanus
• Tetanus: gangguan neuromuskular akut berupa trismus,
kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin
spesifik Clostridium tetani.
• Akibat komplikasi luka:

Vulnus laceratum Vulnus punctum Combustion Open Luka Otitis Luka


(luka robek) (luka tusuk) (luka bakar) fracture tali media terkontaminasi
pusat
Tanda dan gejala
• Masa inkubasi: bervariasi antara 2 hari atau beberapa minggu
bahkan beberapa bulan, pada umumnya 8 – 12 hari.
• Suhu tubuh normal hingga subfebris
• Tetanus lokal  otot sekitar luka kaku
• Tetanus generalisata
– Trismus: sulit/tidak bisa membuka mulut
– Rhesus sardonicus
– Kaku otot kuduk, perut, anggota gerak
– Sukar menelan
– Opistotonus
• Kejang dalam keadaan sadar dan nyeri hebat.
• Sekujur tubuh berkeringat.
Diagnosis dan Komplikasi

• Diagnosis
– Klinis
– Pewarnaan gram

• Komplikasi
– Anoksia otak
– fraktur vertebra
– Aspirasi, penumonia
– Low intake, Dehidrasi
– Disfungsi otonom: hiper/hipotensi, hiperhidrosis
– Kematian
Medikamentosa Kehamilan: TT
• Didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis dan status) imunisasi TT
yang telah diperoleh selama hidupnya

• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT

• Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan
dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Medikamentosa Kehamilan: TT
• Dosis booster mungkin diperlukan pada ibu yang sudah
pernah diimunisasi. Pemberian dosis booster 0,5 ml IM
disesuaikan dengan jumlah vaksinasi yang pernah
diterima sebelumnya seperti pada tabel berikut:

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Prinsip Tatalaksana Tetanus

1. Pemberian antitoksin tetanus


2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi
Tatalaksana tetanus neonatorum
• Ruang isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang.
• Diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau bolus IV setiap 3-6 jam
(0,1-0,2 mg/kg per kali), maksimum 40 mg/kg/hari
• Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau Antitoksin Tetanus Serum 5000
U IM
• TT 0.5 ml IM di tempat yang berbeda dengan situs injeksi HTIG/ATS
• Metronidazol 30 mg/kg/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari
atau penisilin prokain 100.000 U/kg dosis tunggal selama 7-10 hari
• Berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat
• Bila terjadi spasme berulang atau gagal napas, rujuk ke RS dengan NICU
• Langkah promotif/preventif :
– Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, lakukan pemotongan tali pusat secara
steril
– Tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada tali pusat
– Bila sudah terjadi infeksi tali pusat, berikan pengobatan yang tepat dengan
antibiotik lokal dan sistemik jika diperlukan
Perawatan penunjang

• Tirah baring,
• Oksigen, bersihkan jalan nafas secara teratur,
• Cairan infus dan diet per sonde
• Monitoring kesadaran, TTV, trismus, asupan /
keluaran, elektrolit
• Konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
Pencegahan komplikasi

• Anoksia otak dengan


– Pemberian antikejang, sekaligus mencegah
laringospasme,
– Jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi
(pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan
rakheotomi berencana, pemberian oksigen.
• Pneumonia
– membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan
posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
• Fraktur vertebra: pemberian antikejang yang
memadai.
67. Kandidosis Oral
JENIS KLINIS GAMBARAN KLINIS
Kandidosis Pseudomembran Akut • Plak putih serupa susu pada
(Thrush) mukosa --> Diangkat --> dasar
eritema

Kandidosis Eritematosa Atrofik • Area eritematosa pada dorsum


Akut dan Kronik lidah, palatum atau mukosa
bukal
Kandidosis Hiperplasia Kronik • Plak putih yang tidak dapat
• Kandidosis Oral Kronik diangkat
(Leukoplakia Kandida)
• Sindrom Kandidosis Endokrin
• Kandidosis Mukokutaneus
Terlokalisasi Kronis
• Kandidosis Kronik Difus
Denture Related Stomatitis • Eritema dan edema kronik
pada mukosa yang berkontak
dengan denture
Kelitis Angular • Lesi pada sudut mulut
• perih, eritema dan fissura

a
Candida albicans
Prinsip tatalaksana
Gejala klinis DOC Alternatif

Ringan Clotrimazole trocehs 5x10 Nistatin drop:


mg/hari selama 7-14 hari - Dewasa: 4x400.000-
600.000 U
Miconazole muccoadhesive - 1-12 bulan: 4x200.000 U
buccal 50 mg dioleskan di - 1-18 tahun: sama dengan
mukosa mulut 1 kali sehari dewasa
selama 7-14 hari
Durasi: sampai 48 jam setelah
gejala klinis hilang

Sedang-berat Fluconazole oral 1x100-


200mg/hari selama 7-14 hari
CONDITION C L I N I C A L P R E S E N TA T I O N CAUSES

Smooth, shiny, erythematous,


MEDIAN sharply circumscribed, rhomboid
Often associated with candidal
RHOMBOID shaped plaque; usually
infection
GLOSSITIS asymptomatic, but burning or itching
possible; dorsal midline location

Caused by underlying disease,


ATROPHIC Smooth, glossy appearance with red medication use, or nutritional
GLOSSITIS or pink background deficiencies (e.g., iron, folic acid,
vitamin B12, riboflavin, niacin)

Epstein-Barr virus super infection;


ORAL HAIRY White, hairy appearing lesions on associated with
LEUKOPLAKIA lateral border of tongue immunocompromise, human
immunodeficiency virus infection

Bare patches on dorsal tongue Associated with fissured tongue,


GEOGRAPHIC
surrounded by serpiginous, raised, inversely associated with tobacco
TONGUE
slightly discolored border use

TONGUE-TIE Shortened frenulum limiting tongue


Congenital, adhesion of frenulum
(ANKYLOGLOSSIA) protrusion, breastfeeding difficulties
Disorders of Tongue

Median rhomboid glossitis Atrophic Glossitis


Disorders of Tongue

Georaphic Tongue Ankyloglossia


Disorders of Tongue

Hairy Tongue Oral hairy leukoplakia


Disorders of Tongue

Leukoplakia Eritroplakia

• Eritroleukoplakia
68. Osmotic Diarrhea
IN THE SMALL INTESTINE
Ingestion of non-absorbable solutes

Fluid entry into the small bowel

Intraluminal solutions become iso-osmotic with the plasma

Intraluminal Na+ concentration drop below 80 ml osmol

Steep lumen to plasma gradient


Osmotic Diarrhea
IN THE COLON

Carbohydrate Non metabolizable substrates


Metabolized by Bacteria
Na+ and H2O
Short Chain fatty acids may be absorbed by colon
(Organic anions)

A linear relation between


Quadrupling the Osmolality ingested osmotic load &
stool water output
Osmotic Diarrhea
Short-Chain Fatty Acids
(Organic Anions)

Promote more fluid in the colon

Obligate retention of inorganic cations

Further increasing the osmotic load

More fluid in the colon


Some Causes of Osmotic Diarrhea
Exogenous Endogenous
• Osmotic Laxatives • Congenital
– Specific Malabsorptive
• Antacids containing MgO or Disorders e.g Disaccharidase
Mg(OH)2 deficiencies
• Dietetic foods, candies and – Generalized Malabsorptive
Diseases e.g
elixirs Abetalipoproteinemia
• Drugs e.g.: – Pancreatic insufficiency e.g
– Colchicine cystic fibrosis
– Cholestyramine • Acquired
– Specific Malabsorptive
Diseases
– Generalized Malabsorptive
Diseases
– Pancreatic insufficiency
– Celiac disease
– Infections
Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar
yang bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen
glukosa dan galaktosa.
• Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena
itu laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-
komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat
di brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase
• Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
• Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
– Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena aktivitas laktase belum optimal.
– Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah tidak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
– Genetical lactase deficiency
Kelainan ini timbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang tidak mengkonsumsi susu
secara rutin dan diturunkan secara autosomal resesif
• Defisiensi laktase sekunder
– Akibat penyakit gastrointestinal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperti infeksi saluran cerna.
– umumnya bersifat sementara dan aktivitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis
• Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
• Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada  laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon  tekanan osmotik meningkat  menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus  diare osmotik
• Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
• Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon 
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat 
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
• Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon  menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida  distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
• Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
• Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
• Intoleransi laktosa dapat bersifat • Gejala klinis yang diperlihatkan
asimtomatis atau dapat berupa rasa mual, muntah,
memperlihatkan berbagai gejala sakit perut, kembung dan sering
klinis flatus.
• Berat atau ringan gejala klinis • Rasa mual dan muntah
yang diperlihatkan tergantung merupakan gejala yang paling
dari aktivitas laktase di dalam sering ditemukan
usus halus, jumlah laktosa, cara • Pada uji toleransi laktosa rasa
mengkonsumsi laktosa, waktu penuh di perut dan mual timbul
pengosongan lambung, waktu dalam waktu 30 menit,
singgah usus, flora kolon, dan sedangkan nyeri perut, flatus dan
sensitifitas kolon terhadap diare timbul dalam waktu 1-2 jam
asidifikasi. setelah mengkonsumsi larutan
laktosa
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis tinja
– Metode klini test
– Kromatografi tinja
– pH tinja  tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas  metode pilihan pada intoleransi
laktosa karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas
dan efektivitas yang tinggi
• Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Clinitest
• Clinitest is a reagent tablet based on • Testing for reducing substances in
the Benedict's copper reduction stool is used in diagnosing the cause
reaction, combining reactive of diarrhea in children.
ingredients with an integral heat • Increased reducing substances in
generating system. stool are consistent with primary or
• The Clinitest® reaction detects all secondary disaccharidase deficiency
reducing substances in stool; of and intestinal monosaccharide
primary interest are glucose, lactose, malabsorption.
fructose, galactose, maltose, and • Similar intestinal absorption
pentose. deficiencies are associated with short
• Reference Range: bowel syndrome and necrotizing
Negative. A result of 0.25% to 0.5% is enterocolitis.
suspicious for a carbohydrate • Stool reducing substances is also
absorption abnormality, >= 0.75% is helpful in diagnosing between
abnormal. osmotic diarrhea caused by
• Test Limitations: abnormal excretion of various sugars
Assay results have relevance for as opposed to diarrhea caused by
liquid stool samples; assay results viruses and parasites.
have little relevance for formed stool
samples.
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy
Intoleransi Laktosa Milk Allergy
Definisi • Ketidakmampuan tubuh • reaksi hipersensitivitas terhadap
untuk mencerna “gula protein susu sapi. Dapat melalui 2
susu/laktosa” akibat defisiensi mekanisme : 1). Diperantarai IgE ;
enzim laktase. 2). Non IgE (rx hipersensitivitas tipe
• reaksi non – imunologis IV)
Manifestasi • mual, keram perut, kembung, Manifestasi tidak hanya pada sal.
klinis nyeri perut, flatus dan diare cerna, tetapi juga pada mukosa, kulit,
• gejala muncul dalam waktu 15 hingga saluran napas
menit hingga beberapa jam
setelah mengkonsumsi laktosa
Pemeriksaan • Analisis tinja : • Double blind placebo controlled
Klinis • Metode klini test food challenge (DBPCFC)  gold
• Kromatografi tinja standar  lebih banyak untuk riset
• pH tinja  tinja bersifat • pemeriksaan lain yang resiko lebih
asam rendah namun memiliki efikasi yg
• Pemeriksaan radiologis sama
lactosa-barium meal • skin prick test, pengukuran
• Ekskresi galaktos pada urin antibodi IgE spesifik terhadap
• Uji hidrogen napas protein susu sapi, patch test
Tatalaksana
• Sebagian besar self limited, cukup menjaga status
hidrasi agar tidak dehidrasi dan menjaga asupan nutrisi
• Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) hipotonik
• Rehidrasi cepat (3-4 jam)
• ASI harus tetap diberikan
• Realimentasi segera dengan makanan sehari-hari
• Susu formula yang diencerkan tidak dianjurkan
• Susu formula khusus diberikan sesuai indikasi
• Antibiotik hanya berdasarkan indikasi kuat.
• Pertimbangan penggantian susu formula selama diare akut
(diare kurang dari 7 hari), sebagai berikut :
• Diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan-sedang : susu
formula normal dilanjutkan
• Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang dengan
gejala klinis intoleransi laktosa yang berat (selain diare)
dapat diberikan susu formula bebas laktosa.
• Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula bebas
laktosa
• Pemberian susu formula untuk alergi pada anak dengan
diare akut tanpa jelas petanda alerginya adalah tidak
rasional.
69. EKSANTEMA AKUT
Morbili/Rubeola/Campak
• Pre-eruptive Stage
– Demam
– Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis
– Respiratory Symptoms – cough
• Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes
– Exanthem sign
• Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
• Demam tinggi yang menetap
• Anoreksia dan iritabilitas
• Diare, pruritis, letargi dan
limfadenopati oksipital
• Stage of Convalescence
– Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
– Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar

• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Measles Virus Taxonomy

• Species : Measles morbillivirus


• Genus : Morbillivirus Electron Micrograph of
Measles virus
• Family : Paramyxoviridae
• Order : Mononegavirales
• Single-stranded, negative-sense,
enveloped (non-segmented)
RNA virus

3D graphical representation of a
https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html spherical-shaped, measles virus
particle
Morbili
• Etiologi: Morbilivirus dari • Prodromal
family Paramyxoviridae – Hari 7-11 setelah eksposure
• Kelompok yang rentan: – Demam, batuk,
– Bayi dan anak usia <5 tahun konjungtivitis,sekret hidung.
– Dewasa >20 tahun
(cough, coryza, conjunctivitis
 3C)
– Wanita hamil
– Imunodefisiensi (HIV, leukemia) • Enanthem  ruam
• Musim: akhir musim dingin/ kemerahan
musim semi • Koplik’s spots muncul 2 hari
• Inkubasi: 8-12 hari sebelum ruam dan bertahan
selama 2 hari.
• Masa infeksius: 1-2 hari sblm
prodromal s.d. 4 hari setelah
muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak) – manifestasi klinis, tanda
• Diare (1 dari 10 penderita campak) patognomonik bercak Koplik
• Bronchopneumonia (komplikasi – isolasi virus dari darah, urin, atau
berat; 1 dari 20 anak penderita sekret nasofaring
campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 antibodi 2 minggu setelah
dari 1000 anak penderita campak) timbulnya penyakit
• Pericarditis
• Subacute sclerosing
panencephalitis – late sequellae
due to persistent infection of the
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat
sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan
vaksin campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Rubella

• Togavirus • Asymptomatik hingga


• Yg rentan: orang dewasa 50%
yang belum divaksinasi • Prodromal
• Musim: akhir musim – Anak-anak: tidak bergejala
dingin/ awal musim semi. s.d. gejala ringan
– Dewasa: demam, malaside,
• Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual,
• Masa infeksius: 5-7 hari anoreksia, limfadenitis
sblm ruam s.d. 3-5 hari oksipital yg nyeri.
setelah ruam muncul • Enanthem
– Forschheimer’s spots
petekie pada hard
palate
Rubella - komplikasi

• Arthralgias/arthritis pada
org dewasa
• Peripheral neuritis
• encephalitis
• thrombocytopenic purpura
(jarang)
• Congenital rubella
syndrome
– Infeksi pada trimester
pertama
– IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum

• Human Herpes Virus 6 • Demam tinggi 3-4 hari


(and 7) • Demam turun mendadak
• Yg rentan: 6-36 bulan dan mulai timbul ruam
(puncak 6-7 bulan) kulit.
• Musim: sporadik • Kejang yang mungkin
• Inkubasi: 9 hari timbul berkaitan dengan
• Masa infeksius: berada infeksi pada meningens
dalam saliva secara oleh virus.
intermiten sepanjang
hidup; infeksi
asimtomatik persisten.
Scarlet Fever
• Sindrom yang memiliki • Rash : Timbul 12-48 jam setelah
karakteristik: faringitis eksudatif, onset demam. Dimulai dari leher
demam, dan rash. kemudian menyebar ke badan
• Disebabkan oleh group Abeta- dan ekstremitas.
hemolyticstreptococci (GABHS) • Pemeriksaan : Throat culture
• Masa inkubasi 1-4 hari. positive for group A strep
• Manifestasi pada kulit diawali • Tatalaksana : Antibiotik
oleh infeksi streptokokus antistreptokokal minimal 10 hari
(umumnya pada tonsillopharynx) (Eritromisin atau Penicillin G)
: nyeri tenggorokan dan demam
tinggi, disertai nyeri kepala, mual,
muntah, nyeri perut, myalgia, dan
malaise.

Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-overview


70. Hipoglikemia pada Neonatus
• Hipoglikemia adalah kondisi bayi • Insulin dalam aliran darah fetus
dengan kadar glukosa darah <45 tidak bergantung dari insulin ibu,
mg/dl (2.6 mmol/L), baik bergejala tetapi dihasilkan sendiri oleh
atau tidak pankreas bayi
• Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat
menyebabkan palsi serebral,
• Pada Ibu DM terjadi hiperglikemia
retardasi mental, dan lain-lain dalam peredaran darah
• Etiologi uteroplasental bayi
– Peningkatan pemakaian glukosa mengatasinya melalui hiperplasia
(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, sel B langerhans yang
Besar masa kehamilan, eritroblastosis
fetalis
menghasilkan insulin  insulin
– Penurunan produksi/simpanan glukosa: tinggi
Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat • Begitu lahir, aliran glukosa yang
– Peningkatan pemakaian glukosa: stres
perinatal (sepsis, syok, asfiksia, menyebabkan hiperglikemia tidak
hipotermia), defek metabolisme ada, sedangkan insulin bayi tetap
karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb tinggi  hipoglikemia

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Hipoglikemia
• Diagnosis
– Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
– PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
– Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah
• Penatalaksanaan
– Bolus 200 mg/kg dengan dextrosa 10% IV selama 5 menit
– Hitung Glucose Infusion Rate (GIR), 6-8 mg/kgBB/menit untuk mencapai GD
maksimal. Dapat dinaikkan sampai maksimal 12mg/kgBB/menit
– Cek GD per 6 jam
– Bila hasil GD 36-47 mg/dl 2 kali berturut-turut + Infus dextrosa 10%
– Bila GD >47 mg/dl setelah 24 jam terapi, infus diturunkan bertahap
2mg/kgBB/menit setiap jam
– Tingkatkan asupan oral
Pemantauan dan Skrining
Hipoglikemia
PPM IDAI jilid 1
OBSTETRI &
GINEKOLOGI
71. Siklus Menstruasi
& Ovulasi

• Siklus menstruasi terdiri atas 2


komponen yaitu siklus ovarian
dan siklus uterine
• Siklus Ovarian :
• Fase folikular
• Ovulasi
• Fase luteal
• Siklus Uterine :
• Fase menstruasi
• Fase proliferatif
• Fase sekresi
Siklus Ovarian
• Rata – rata berkisar sekitar
28 hari.
• Dimulai saat menarche,
dapat diinterupsi secara
normal oleh kehamilan dan
terhenti saat menopause.
• Terdiri atas 3 fase :
– Fase Follicular :
• Didominasi oleh pertumbuhan
dan pematangan folikel.
– Ovulasi
– Luteal phase
• Dicirikan dengan hadirnya
corpus luteum. Durasi selalu
konstan yaitu 14 hari
Ovulasi
• Ruptur dinding folikel Graff, cairan di dalam
folike dan oocyte keluar dari folikel.
• Dipacu oleh LH surge
• Dua atau lebih folikel dominan dapat
mengalami ovulasi.
• Bila keduanya mengalami fertilisasi  kembar
fraternal atau kembar dizigotik
Fase luteal
• Folikel yang telah pecah akan berubah struktur menjadi
corpus luteum (gland)
• Corpus luteum akan berfungsi sempurna dalam waktu
4 hari post ovulasi.
• Bila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi, corpus
luteum akan mengalami degenerasi dalam waktu 14
hari setelah terbentuk
• LH mempengaruhi pembentukan corpus luteum.
• Durasi fase luteal bersifat konstan yaitu 14 hari. Bila
terjadi abnormalitas menstruasi, yang mengalami
pemanjangan atau pemendekan adalah fase folikular
Siklus Uterine
• Menggambarkan perubahan endometrium selama siklus ovarium
• Terdiri atas 3 fase yaitu:
– Fase menstruasi
• Terjadi penurunan hormon estrogen dan progesteron
• Endometrium luruh selama 5-7 hari
– Fase proliferasi
• Endometrium kembali tumbuh (menebal) untuk persiapan
implantasi bila terjadi kehamilan
– Fase sekresi / progestational
• Berbarengan dengan fase luteal.
Siklus uterine
• Fase Menstruasi • Fase Proliferasi
– Terjadi pengeluaran darah serta – Mulai bersamaan dengan hari –
debris endometrium melalui vagina hari terakhir fase folikular ovarium
– Hari pertama menstruasi dihitung – Pada fase ini uterus bersiap untuk
sebagai hari pertama dari siklus menerima ovum yang sudah
baru fertilisasi
– Terjadi bersamaan dengan • Endometrium mulai
berakhirnya fase luteal dari siklus berproliferasi (tumbuh) dengan
ovarium dan awal dari fase folikular dipengaruhi oleh estrogen dari
siklus ovarium folikel yang tumbuh
– Dipicu oleh penurunan hormon – Estrogen mendomniasi fase
esterogen dan progesteron proliferasi dari akhir fase
– Pelepasan prostaglandin uterin  menstruasi hingga ovulasi
vasokontriksi pembuluh darah – Puncak dari kadar esterogen akan
endometrium  kematian dari mencetuskan LH surge  Ovulasi
endometrium  darah menstruasi
Siklus uterine
• Fase sekresi
– Endometrium bersiap untuk mengalami implantasi
– Peningkatan suplay darah endometrium
– Dipicu oleh progesteron
– Bertepatan dengan fase luteal (saat terbentuknya
corpus luteum)
– Progesterone meningkatkan vaskularisasi
endometrium, dan kelenjar endometrium
mensekresikan glycogen secara aktif.
– Jika tidak terjadi fertilisasi dan implantasi, corpus
luteum akan berdegenerasi  akan terjadi lagi fase
folikular dan fase menstrual yang baru
Masa subur
• Menghitung masa subur
– Siklus teratur  Siklus Haid – 14 hari = hari subur
– Siklus tidak teratur: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi
terpanjang - 11)
– Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi

• Mengukur suhu basal


tubuh (pagi hari)
• Saat ovulasi: suhu tubuh
akan meningkat 1-2° C

Pada pasien ini


• 28-18 dan 30-11
• Masa subur pada hari
ke 10-19
Fern Test (Amniotic Fluid
Crystallization Test for Ruptured
Membranes )
• Purpose:
– Detection of fern-type amnoitic fluid crystallization as an aid in the
detection of ruptured amniotic membranes in pregnant women.
• “Ferning” is not specific for amniotic fluid. Other fluids (e.g., blood,
cervical mucus, semen and some urine specimens) when dried can also
yield microscopic crystallization in a “fern” pattern
• Ferning is due to the prescence of sodium chloride in the mucus under
estrogen effect.
• When high levels of estrogen are present just before the ovulation, the
cervical mucus forms fern like pattern due to crystallization of sodium
chloride on mucus fiber  Bisa juga digunakan untuk menentukan
ovulasi (masa subur)
72. Gangguan Menstruasi
Disorder Definition
Amenorrhea Primer Tidak pernah menstruasi setelah berusia 16 tahun, atau berusia 14
tahun tanpa menstruasi sebelumnya dan tidak terdapat tanda-tanda
perkembangan seksual sekunder

Amenorrhea Sekunder Tidak terdapat menstruasi selama 3 bulan pada wanita dengan sklus
haid teratur, atau 9 bulan pada wanita dengan siklus menstruasi tidak
teratur
Oligomenorea Menstruasi yang jarang atau dengan perdarahan yang sangat sedikit

Menorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang pada interval menstruasi


yang teratur (kuantitas darah berkisar antara 60-80 ml; normalnya
sekitar 30-40 cc.)
Metrorrhagia Perdarahan pada interval yang tidak teratur, biasanya diantara siklus

Menometrorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang, lebih sering dibandingkan


dengan siklus normal
Gangguan Menstruasi:
Kelainan dan Diagnosis
Gangguan Menstruasi: Etiologi
Penyebab amenore primer:
1. Tertundanya menarke (menstruasi pertama)
2. Kelainan bawaan pada sistem kelamin (misalnya tidak memiliki
rahim atau vagina, adanya sekat pada vagina, serviks yang sempit,
lubang pada selaput yang menutupi vagina terlalu sempit/himen
imperforata)
3. Penurunan berat badan yang drastis (akibat kemiskinan, diet
berlebihan, anoreksia nervosa, bulimia, dan lain lain)
4. Kelainan bawaan pada sistem kelamin
5. Kelainan kromosom (misalnya sindroma Turner atau sindroma
Swyer) dimana sel hanya mengandung 1 kromosom X)
6. Obesitas yang ekstrim
7. Hipoglikemia
Gangguan Menstruasi: Etiologi

Penyebab amenore sekunder:


1. Kehamilan
2. Kecemasan akan kehamilan
3. Penurunan berat badan yang drastis
4. Olah raga yang berlebihan
5. Lemak tubuh kurang dari 15-17%
6. Mengkonsumsi hormon tambahan
7. Obesitas
8. Stres emosional
Algoritma Amenore Primer
Algoritma Amenore Sekunder
73. Suplementasi dan Nutrisi Kehamilan
• Suplementasi dan Medikamentosa
– Asam Folat
– Zat Besi
– Kalsium
– Aspirin
– Tetanus Toxoid

• Nutrisi
– Penambahan kalori 300 Kal/Hari dan air 400 ml/hari

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Suplementasi Kehamilan: Asam Folat
• Kebutuhan Asam Folat
• 50-100 μg/hari pada wanita normal
• 300-400 μg/hari pada wanita hamil  hamil kembar lebih
besar lagi

• Dosis
– Pencegahan defek pada tube neural: Min. 400 mcg/hari
– Defisiensi asam folat: 250-1000 mcg/hari
– Riwayat kehamilan sebelumnya memiliki komplikasi defek
tube neural atau riwayat anensefali: 4mg/hari pada sebulan
pertama sebelum kehamilan dan diteruskan hingga 3 bulan
setelah konsepsi

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Suplementasi Kehamilan: Zat Besi
• Tablet Tambah Daerah Generik dikemas dalam bungkus warna putih,
berisi 30 tab/bungkus

• Memenuhi spesifikasi
– Setiap tablet mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental
dan 0,25 mg asam folat

• Pemakaian dan Efek Samping


– Minum dengan air putih, jangan minum dengan teh, susu atau kopi 
mengurangi penyerapan zat besi dalam tubuh
– Efek samping dari minum TTD adalah mual dan konstipasi, namun tidak
berbahaya
– Untuk menghindari efek mual dan konstipasi, dianjurkan minum TTD
menjelang tidur malam
– Lebih baik disertai makan buah dan sayur. Misalnya pepaya atau pisang

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Suplementasi Kehamilan: Kalsium
• Sasaran
– Area dengan asupan kalsium rendah

• Tujuan
– Pencegahan preeklampsia bagi semua ibu hamil, terutama
yang memiliki risiko tinggi (riwayat preeklampsia di
kehamilan sebelumnya, diabetes, hipertensi kronik,
penyakit ginjal, penyakit autoimun, atau kehamilan ganda)

• Dosis
– 1,5-2 g/ hari

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Medikamentosa Kehamilan: Aspirin
• Pemberian 75 mg aspirin tiap hari dianjurkan
untuk pencegahan preeklampsia bagi ibu
dengan risiko tinggi, dimulai dari usia
kehamilan 20 minggu

• Aspirin juga digunakan pada ibu dengan hasil


pemeriksaan laboratorium menunjukkan
adanya pengentalan darah selama kehamilan

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Medikamentosa Kehamilan: TT
• Didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis dan status) imunisasi TT
yang telah diperoleh selama hidupnya

• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT

• Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan
dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


Medikamentosa Kehamilan: TT
• Dosis booster mungkin diperlukan pada ibu yang sudah
pernah diimunisasi. Pemberian dosis booster 0,5 ml IM
disesuaikan dengan jumlah vaksinasi yang pernah
diterima sebelumnya seperti pada tabel berikut:

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


74.
Sperma Abnormal

• Azoospermia: tidak terdapat sperma hidup dalam cairan


sperma dalam cairan ejakulat ejakulat
• Oligospermia: jumlah sperma • Astenozoospermia: motilitas <
kurang dari 20 juta per ml normal
cairan ejakulat • Teratozoospermia: morfologi
abnormal
• Necrozoospermia: tidak ada
Sperm Analysis
• The extent of progressive sperm motility is
related to pregnancy rates
• Sperm motility within semen should be
assessed as soon as possible after liquefaction
of the sample, preferably at 30 minutes, but in
any case within 1 hour, following ejaculation,
to limit the deleterious effects of dehydration,
pH or changes in temperature on motility

WHO laboratory manual for the Examination and processing of human semen 5th ed. 2010
• The motility of each spermatozoon is graded as follows:
– Progressive motility (PR): spermatozoa moving actively, either
linearly or in a large circle, regardless of speed.
– Non-progressive motility (NP): all other patterns of motility with
an absence of progression, e.g. swimming in small circles, the
flagellar force hardly displacing the head, or when only a
flagellar beat can be observed.
– Immotility (IM): no movement.

• Lower reference limit


– The lower reference limit for total motility (PR + NP) is 40% (5th
centile, 95% CI 38–42).
– The lower reference limit for progressive motility (PR) is 32%
(5th centile, 95% CI 31–34).
WHO laboratory manual for the Examination and processing of human semen 5th ed. 2010
• Asthenozoospermia is the medical term for
reduced sperm motility: the percentage of
progressively motile sperm is below 32%.
• Causes of asthenozoospermia are insufficient
liquefaction, autoantibodies, inflammation
and disorders of the sperm tails.
• Causes of false-negative asthenozoospermia
are cold sperm, old sperm or sperm collection
with contamination (e.g. soap).
WHO laboratory manual for the Examination and processing of human semen 5th ed. 2010
75. Kehamilan Ektopik Terganggu
• Kehamilan yang terjadi
diluar kavum uteri

• Gejala/Tanda:
– Riwayat terlambat
haid/gejala & tanda hamil
– Akut abdomen
– Perdarahan pervaginam
(bisa tidak ada)
– Keadaan umum: bisa baik
hingga syok
– Kadang disertai febris
KET: Patofisiologi Nyeri

KET
KET
Darah mengiritasi
peritoneum
Mendesak struktur
sekitar
Saraf simpatis bekerja

Nyeri
Nyeri
KET: Kuldosentesis

• Teknik untuk mengidentifikasi hemoperitoneum

• Serviks ditarik kearah simfisis menggunakan


tenakulum  jarum 16-18 G dimasukkan lewat
forniks posterior kearah cul-de-sac

• Cairan yang mengandung gumpalan darah, atau


cairan bercampur darah sesuai dengan diagnosis
hemoperitoneum akibat kehamilan ektopik
KET: Tatalaksana
Tatalaksana Umum
• Restorasi cairan tubuh dengan cairan kristaloid NaCl 0,9% atau RL (500 mL
dalam 15 menit pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama
• Segera rujuk ibu ke RS

Tatalaksana Khusus
• Laparotomi: eksplorasi kedua ovarium dan tuba fallopii
• Jika terjadi kerusakan berat pada tuba, lakukan salpingektomi (eksisi bagian tuba yang
mengandung hasil konsepsi)
• Jika terjadi kerusakan ringan pada tuba, usahakan melakukan salpingostomi untuk
mempertahankan tuba (hasil konsepsi dikeluarkan, tuba dipertahankan)
• Sebelum memulangkan pasien, berikan konseling untuk penggunaan
kontrasepsi. Jadwalkan kunjungan ulang setelah 4 minggu
• Atasi anemia dengan pemberian tablet besi sulfas ferosus 60 mg/hari
selama 6 bulan
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
76. Hipertensi dalam kehamilan
Definisi
- Tekanan darah ≥140/90 mmHg
- Pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4-6 jam
Faktor predisposisi plasenta
- Gemelli - Faktor herediter
- Penyakit trofoblas - Riwayat preeklampsia
- Hidroamnion sebelumnya
- DM - Obesitas sebelum hamil
- Gangguan vaskuler

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi pada Kehamilan: Patofisiologi

• Faktor Risiko:
– Kehamilan pertama
– Kehamilan dengan vili
korionik tinggi (kembar
atau mola)
– Memiliki penyakit KV
sebelumnya
– Terdapat riwayat genetik
hipertensi dalam
kehamilan

Cunningham FG, et al. William’s obstetrics. 22nd ed. McGraw-Hill.


Hipertensi Kronik
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Sebelum hamil pasien sudah memiliki hipertensi, atau
- Pasien sudah memiliki hipertensi saat usia kehamilan masih
<20 minggu

Tatalaksana:
- Jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg 
terapi antihipertensi
- Kontraindikasi: ACE-I, ARB, dan thiazide
- Suplementasi kalsium 1.5-2 gram per hari + aspirin 75 mg/hari
mulai dari usia kehamilan 20 minggu
- Jika HR janin <100 x/menit atau > 180x/menit tatalaksana
sebagai gawat janin
- Jika tidak ada komplikasi tunggu sampai aterm

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Gestasional
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil
- Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan
trombositopenia
- Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal
setelah melahirkan

Tatalaksana
- Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin
setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai
preeklampsia
- Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin
- Jika TD stabil bisa persalinan normal
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Preeklamsia
• Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi
pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya
gangguan organ.
• Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein
urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan
gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia, yaitu:
– Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
– Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
– Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
– Edema Paru

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Diagnosis dan Tatatalaksana Preeklamsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Feto Maternal 2016
– Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala,
gangguan visus
– Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda
gangguan sirkulasi uteroplasenta :
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan adanya absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
Pre Eklampsia Berat & Eklampsia
• Pencegahan dan Tatalaksana Kejang
– Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD
• MgSO4
– Eklampsia  untuk tatalaksana kejang
– PEB  pencegahan kejang

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia
kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin
minimal 0,5 ml/kgBB/jam
• Antihipertensi

• Pertimbangan terminasi kehamilanharus dilahirkan


dalam 12 jam setelah kejang

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
77. KONTRASEPSI
Vasektomi
Permanen
Tubektomi

IUD
Berbantu
Kondom/
Barrier
diafragma

Spermisida
Metode Sementara
Kontrasepsi
Implan
MAL
Hormonal Pil/suntik
Pantang
Alami
berkala
Kondar
Senggama
terputus
KB: Metode Alami
• Menghitung masa subur
– Periode: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi terpanjang -
11)
– Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi

• Mengukur suhu basal


tubuh (pagi hari)
• Saat ovulasi: suhu tubuh
akan meningkat 1-2° C
KB: Metode Alami
• Metode Amenorea Laktasi • Keuntungan khusus bagi
Mekanisme: kesehatan:
– pemberian Air Susu Ibu (ASI) – Mendorong pola menyusui yang
eksklusif untuk menekan ovulasi. benar, sehingga membawa
– Metode ini memiliki tiga syarat – manfaat bagi ibu dan bayi.
yang harus dipenuhi:
• Ibu belum mengalami haid lagi
• Bayi disusui secara eksklusif dan • Risiko bagi kesehatan:
sering, sepanjang siang dan malam – Tidak ada.
• • Bayi berusia kurang dari 6 bulan
• Efek samping:
• Efektivitas: – Tidak ada.
– Risiko kehamilan tinggi bila ibu
tidak menyusui bayinya secara • Mengapa beberapa orang
benar. menyukainya:
– Bila dilakukan secara benar, risiko – Metode alamiah, mendorong
kehamilan kurang dari 1 di antara kebiasaan menyusui, dan tidak
100 ibu dalam 6 bulan setelah perlu biaya.
persalinan.
KB: Metode Barrier

• Menghalangi bertemunya
sperma dan sel telur
• Efektivitas: 98 %
• Mencegah penularan PMS
• Efek samping
– Dapat memicu reaksi alergi
lateks, ISK dan keputihan
(diafragma)
• Harus sedia sebelum
berhubungan
Kontrasepsi Hormonal
No Jenis kontrasepsi Mekanisme Kerja
1 Pil Kombinasi menekan ovulasi, mencegah implantasi,
mengentalkan lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh
sperma, dan menganggu pergerakan tuba sehingga
transportasi telur terganggu
2 Pil progestin Supresi ovulasi, menekan puncak LH dan FSH,
meningkatkan kekentalan lendir servix, menurunkan
jumlah dan ukuran kelenjar endometrium, menurunkan
motilitas cilia di tuba falopi
3 Suntik kombinasi menekan ovulasi, mengentalkan lendir
serviks sehingga penetrasi sperma terganggu, atrofi pada
endometrium sehingga implantasi terganggu, dan
menghambat transportasi gamet oleh tuba. Suntikan ini
diberikan sekali tiap bulan
4. Suntik Progestin Kerja utama mencegah ovulasi dengan menekan FSH dan
LH serta LH surge

5. Implan Kombinasi antara supresi LH surge, supresi ovulasi,


mengentalkan lendir servix, mencegah pertumbuhan dan
perkembangan endometrium
Jenis Progestin pada Kontrasepsi
No. Generasi Jenis

1 Generasi pertama • Norethindrone acetate


• Ethynodiol diacetate
• Lynestrenol
• Norethynodrel
2 Generasi kedua • Norgestrel
• Levonorgestrel

3 Generasi ketiga • Desogesthrel


• Gestodene
• Norgestimate
4 Generasi keempat • Drospirenone
• Cyproterone acetate
Pil kontrasepsi kombinasi (esterogen
dan progesteron)
No. Jenis Esterogen Jenis Progesteron
1 Etinil estradiol 30 mcg Levonorgestrel
2 Etinil estradiol 35 mcg Cyproterone acetate
3 Etinil estradiol 30 mcg Drospirenone
4 Etinil estradiol 20 mcg Drospirenone
Metode Hormonal:
Pil & Suntikan Kombinasi
• Jenis Pil Kombinasi
– Monofasik (21 tab): E/P dalam dosis yang
sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif
(placebo).
– Bifasik (21 tab): E/P dengan dua dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.
– Trifasik (21 tab) : E/P dengan tiga dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif

• Jenis Suntikan Kombinasi


– 25mg Depo Medroksiprogesteron Asetat + 5
mg Estradiol Sipionat, IM sebulan sekali
– 50mg Noretindron Enantat + 5 mg Estradiol
Valerat, IM sebulan sekali
Metode
Pil dan Hormonal:
Suntikan Progestin
Pil & Suntikan Kombinasi
• Pil Progestin
– Isi 35 pil: 300 µg levonorgestrel atau 350 µg
noretindron
– Isi 28 pil: 75 µg norgestrel
– Contoh
• Micrinor, NOR-QD, noriday, norod (0,35 mg
noretindron)
• Microval, noregeston, microlut (0,03 mg
levonogestrol)
• Ourette, noegest (0,5 mg norgestrel)
• Exluton (0,5 mg linestrenol)
• Femulen (0,5 mg etinodial diassetat)

• Suntikan Progestin
– Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo Provera)
 150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan
– Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat) 
200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2 bulan
Metode Hormonal: Implan
• Implan (Saifuddin, 2006) • Cara Kerja
– Norplant: 36 mg levonorgestrel dan lama • menekan ovulasi,
kerjanya 5 tahun. mengentalkan lendir
serviks, menjadikan
selaput rahim tipis dan
atrofi, dan mengurangi
– Implanon: 68 mg ketodesogestrel dan lama transportasi sperma
kerjanya 3 tahun.
• Efek Samping
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
– Jadena dan Indoplant: 75 mg
levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun
• Kontra Indikasi
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
KB: Metode IUD
• Cara Kerja
– Menghambat kemampuan sperma
untuk masuk ke tuba falopii
– Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum
mencapai kavum uteri
– Mencegah implantasi hasil konsepsi
kedalam rahim

• Efek Samping
– Nyeri perut, spotting, infeksi, gangguan
haid

• Kontra Indikasi
• Hamil, kelainan alat kandungan bagian dalam, perdarahan vagina yang tidak diketahui,
sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), tiga bulan terakhir sedang
mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik, penyakit trofoblas yang
ganas, diketahui menderita TBC pelvik, kanker alat genital, ukuran rongga rahim
kurang dari 5 cm
EPO. (2008). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Diambil pada tanggal 20 Mei 2008 dari
http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2
AKDR: Profil
• Sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang (dapat
sampai 10 tahun: CuT 380A)
• Haid menjadi lebih lama dan lebih banyak
• Pemasangan dan pencabutan memerlukan pelatihan
• Dapat dipakai oleh semua perempuan usia reproduksi
• Tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar pada
infeksi menular seksual (IMS)
• Jenis
• Copper-releasing: Copper T 380A, Nova T, Multiload 375
• Progestin-releasing: Progestasert, LevoNova (LNG-20), Mirena
• AKDR CuT-380A
• Kecil kerangka dari plastik yang fleksibel, berbentuk huruf T diselubungi
oleh kawat halus yang terbuat tembaga (Cu)
• Tersedia di Indonesia dan terdapat di mana-mana
• AKDR lain yang beredar di Indonesia ialah NOVA T (Schering)
Mekanisme Kerja
• Ada beberapa mekanisme cara kerja AKDR:
– Timbulnya reaksi radang radang lokal di dalam cavum uteri sehingga implantasi sel telur yang
telah dibuahi terganggu.
– Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan terhambatnya implantasi.
– Immobilisasi spermatozoa saat melewati cavum uteri serta merusak sperma

• Copper IUDs work by disrupting sperm motility and damaging sperm (Copper
acts as a spermicide within the uterus)
• The presence of copper increases the levels of copper ions, prostaglandins, and
white blood cells within the uterine and tubal fluids.
• Ova from copper IUD users were distinctive for being without vitellus
(abnormal) and surrounded by macrophages
• Copper can also alter the endometrial lining, this alteration can prevent
implantation
AKDR: Informasi Umum
• AKDR bekerja langsung efektif segera setelah pemasangan

• AKDR bekerja dengan membuat inflamasi ringan pada rahim

• AKDR dapat keluar dari uterus secara spontan, khususnya selama


beberapa bulan pertama

• Kemungkinan terjadi perdarahan atau spotting beberapa hari setelah


pemasangan perdarahan menstruasi biasanya akan lebih lama dan lebih
banyak

• Tidak ada efek samping hormonal dari CuT-380A

• AKDR mungkin dilepas setiap saat atas kehendak kliennya

• Jelaskan pada klien jenis AKDR apa yang digunakan, kapan akan dilepas
dan berikan kartu tentang informasi semua ini
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.iman/material/akdr.pdf
AKDR
Alat kecil yang dipasang dalam rahim • Rangka plastik yang lentur dengan lengan tembaga dan benang.

• Sangat efektif dan tidak tergantung pada daya ingat.


• Cara kerja utama mencegah sperma bertemu telur.
Sangat efektif dan aman • Sebagian besar ibu bisa memakai AKDR, termasuk ibu yang belum
pernah hamil.
.
Rumor yang umum:
• AKDR tidak dapat keluar dari rahim atau berjalan ke seluruh tubuh
• AKDR tidak mengganggu selama bersenggama, walaupun kadang
pasangan merasakan benangnya.
• AKDR tidak berkarat di dalam tubuh, bahkan setelah bertahun-tahun.

Dapat dicabut kapan saja Anda


inginkan • Klien bisa kembali hamil setelah AKDR dilepas.
Bekerja hingga 10 tahun, tergantung • Copper T 380 A bekerja hingga 10 tahun.
jenisnya • Harus dilepas 1 tahun setelah menstruasi terakhir pada menopause.
Dapat menambah pendarahan Efek Samping:
menstruasi atau menyebabkan kram • Biasanya kembali normal setelah 3 bulan.
Tidak melindungi dari AIDS/IMS • Untuk perlindungan terhadap AIDS/IMS, pakai juga kondom.
Yang tidak bisa memakai AKDR
Sebagian besar ibu tidak bisa memakai AKDR, jika:

• Jika ragu, pakai daftar periksa pada Tambahan 1 atau lakukan tes
Kemungkinan hamil kehamilan.
Baru saja melahirkan • Pemasangan AKDR hanya boleh dilakukan sebelum 48 jam dan
(2 – 28 hari pasca persalinan) setelah 4 minggu pasca persalinan.

Mereka yang berisiko terinfeksi IMS/HIV mencakup mereka:


Memiliki risiko IMS (termasuk HIV) • Yang mempunyai lebih dari 1 pasangan tidak selalu memakai
kondom;
• Yang memiliki pasangan dengan HIV/IMS dan tidak selalu memakai
kondom;
• Memakai jarum suntik bersama, atau pasangan memakai jarum
suntik bersama (hanya untuk HIV tetapi tidak untuk IMS)

Menstruasi yang tak biasa • Menstruasi tak biasa harus diases sebelum memasang AKDR.
Infeksi atau masalah dengan organ
• Setiap infeksi harus diobati sepenuhnya sebelum AKDR dipasang.
kewanitaan:
— IMS atau Penyakit Radang Panggul dalam 3 • Obati penyakit radang panggul ataupun IMS dan tunggu 3 bulan
bulan terakhir? sebelum memasang AKDR. Anjurkan agar pasangan juga diobati.

— HIV atau AIDS? • Jika HIV atau AIDS pakai AKDR hanya jika tidak ada metode lain
yang cocok.
— Infeksi setelah melahirkan atau keguguran
— Kanker pada organ kewanitaan atau TB • Jangan memasang AKDR jika klien memiliki kanker rahim,
panggul endometrium atau kanker indung telur; penyakit tropoblas jinak
atau ganas; tbc panggul.
Setelah pemasangan, AKDR bisa diperiksa oleh
akseptor KB sendiri.

• Kapan memeriksa?
• Satu minggu setelah pemasangan
• Kapan saja setiap selesai masa haid

• Bagaimana cara memeriksa benang?


• Cuci tangan, duduk dalam posisi jongkok, masukkan jari ke dalam vagina
dan rasakan benang AKDR di mulut rahim. Jangan menarik benangnya.
Cuci tangan setelah selesai.

• Jika tidak bisa merasakan benang, atau benang terasa lebih panjang atau
pendek secepatnya kembali ke klinik. AKDR mungkin telah terlepas dan perlu
memakai back up.
Kontrasepsi Darurat
• kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah kehamilan setelah
senggama tanpa pelindung atau tanpa pemakaian kontrasepsi yang
tepat dan konsisten sebelumnya
• Indikasi penggunaan kontrasepsi darurat misalnya:
– Perkosaan
– Sanggama tanpa menggunakan kontrasepsi
– Pemakaian kontrasepsi tidak benar atau tidak konsisten:
• Kondom bocor, lepas atau salah digunakan
• Diafragma pecah, robek, tau diangkat terlalu cepat
• Sanggama terputus gagal dilakukan sehingga ejakulasi terjadi di vagina atau
genitalia eksterna
• Salah hitung masa subur
• AKDR ekspulsi (terlepas)
• Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet
• Terlambat suntik progesti lebih dari 2 minggu atau terlambat suntik kombinasi
lebih dari 7 hari
Kontrasepsi Darurat
• Kontrasepsi darurat dapat bermanfaat bila
digunakan dalam 5 hari pertama, namun lebih
efektif bila dikonsumsi sesegera mungkin.
Kontrasepsi darurat sangat efektif, dengan
tingkat kehamilan <3%.
• Efek samping:
– mual, muntah (bila terjadi dalam 2 jam pertama
sesudah minum pil pertama atau kedua, berikan
dosis ulangan), perdarahan/bercak.
KB: Metode Mantap
Definisi
• Menutup tuba falopii (mengikat dan
memotong atau memasang cincin),
sehingga sperma tidak dapat bertemu
dengan ovum
• oklusi vasa deferens sehingga alur
transportasi sperma terhambat dan
proses fertilisasi tidak terjadi

Efek Samping
• Nyeri pasca operasi

Kerugian
• Infertilitas bersifat permanen
Female Sterilization Overview
Anatomy

Ampulla
Isthmus

Infundibulum

Fimbria
Methods of Female Sterilization

Interval Post Partum/ Labor & Delivery


• Laparoscopic • Pomeroy
– Electrocoagulation (Mono • Parkland
and Bi -Polar)
• Irving
– Falope Ring
• Uchida
– Hulka Clip
• Filshie Tubal Ligation System
– Filshie Tubal Ligation
System
• Hysteroscopy
– Essure
– Adiana
Methods of Female Sterilization1
Procedure Timing Technique
Minilaparotomy • Post Partum • Mechanical Devices (Clips,
Rings)
• Post Abortion
• Tubal Ligation or Excision
• Interval
Laparoscopy • Interval Only • Electrocoagulation
(Unipolar, Bipolar)
• Mechanical Devices (Clips,
Rings)
Laparotomy In conjunction with other • Mechanical Devices (Clips,
surgery (Cesarean Rings)
section, salpingectomy,
• Tubal Ligation or Excision
ovarian cystectomy, etc.)
1 Female Sterilization In: Landry E, ed. Contraceptive Sterilization: Global Issues and Trends. New York: Engender Health; 2002: 139-160

Since 2002, hysteroscopic methods are available and can be performed


interval-only (Essure and Adiana).
Methods of Female Sterilization
Pomeroy Technique
Developed in 1930 by Ralph Hayword
Pomeroy
– Incision – suprapubic and
subumbilical (PP)
– Isthmic portion is ligated twice with
0 or 2-0 plain catgut suture Tied
– Segment is then excised
– Inspect for hemostasis and the
presence of the tubal lumen
Cut
Benefits
– Easy technique
– Highly effective Final result
– Relatively inexpensive (excluding lab
costs for pathology)
Complications
Failure Rate: 7.5/1000
– Infection and bleeding
– Potential ectopic pregnancy

1 Pregnancy After Tubal Sterilization with Bi-Polar Electrocoagulation. Obstetrics and GYN. August 1999 Volume
94. Herbert B Petterson et al for the CREST Working Group
Kontrasepsi Mantap
Keuntungan Kerugian
• Efektif dan permanen • Rasa sakit/ tidak nyaman
• Tidak ada efek samping jangka pendek
jangka panjang • Risiko pembedahan
• Tidak mempengaruhi proses • Tidak dapat dilakukan untuk
menyusui orang yang masih memiliki
• Tidak mengganggu anak
hubungan seksual
• Tindakan aman &
sederhana
High-Risk Factors For Ectopic pregnancy
• Previous ectopic pregnancy — The risk of
repeat ectopic pregnancy in women with a
prior ectopic gestation is approximately 3- to
8-fold higher compared with other pregnant
women.
• Sterilization — The risk of ectopic pregnancy
in women who undergo sterilization and then
experience sterilization failure is 5- to 19-fold
the risk in other pregnant women.

Ectopic pregnancy: Epidemiology, risk factors, and anatomic sites. Uptodate. 2017
Moderate- or low-risk factors For
Ectopic pregnancy
• Pelvic inflammatory disease and other genital infections —
Pelvic infection (eg, nonspecific salpingitis, chlamydia,
gonorrhea), especially recurrent infection, is a major cause
of tubal pathology and, therefore, increases the risk of
ectopic pregnancy.
• Infertility and related factors (including IVF and tubal
reconstructive surgery)
– Infertility — The incidence of ectopic pregnancy is
approximately two- to threefold higher in women with
infertility, although this could reflect the increased incidence of
tubal abnormality in this group of women, which may also be an
etiology of infertility.
Ectopic pregnancy: Epidemiology, risk factors, and anatomic sites. Uptodate. 2017
Moderate- or low-risk factors For
Ectopic pregnancy
• Contraceptive methods — Women using hormonal contraception or an
intrauterine device (IUD) are at very low risk of conceiving any pregnancy,
either intrauterine or ectopic. However, if they conceive, the probability of
an ectopic pregnancy is generally higher than in women not using
contraception.
– Intrauterine devices — Women using an IUD have a lower incidence of ectopic
pregnancy than noncontracepting women because the IUD is a highly effective
method of contraception.
– Oral contraceptives — Similarly, estrogen/progestin oral contraceptives are
highly effective and the overall risk of ectopic pregnancy is low, since
conception is prevented. However, in women who do become pregnant while
on these contraceptives, the risk of ectopic pregnancy appears to be increased
two- to fivefold compared with other pregnant women.

Ectopic pregnancy: Epidemiology, risk factors, and anatomic sites. Uptodate. 2017
Other risk factors For Ectopic
pregnancy
• Smoking — Cigarette smoking in the periconceptional period is
associated with a dose-dependent increase in the risk of ectopic
pregnancy. A history of smoking is associated with a two- to
threefold increase in ectopic pregnancy risk and current use is
associate with a two- to fourfold risk.
• In-utero DES exposure — Women with a history of in-utero
diethylstilbestrol (DES) exposure have a four-fold increased risk of
ectopic pregnancy due to abnormal tubal morphology and, possibly,
impaired fimbrial function.
• Vaginal douching — Regular vaginal douching is associated with an
up to threefold increased risk of ectopic pregnancy.
• Increasing age — There is an increasing proportion of ectopic
pregnancies among women in the older age groups.
78-79. Kala Persalinan
PERSALINAN dipengaruhi 3 • PEMBAGIAN FASE / KALA
FAKTOR “P” UTAMA PERSALINAN
1. Power Kala 1
His (kontraksi ritmis otot polos Pematangan dan pembukaan
uterus), kekuatan mengejan ibu, serviks sampai lengkap (kala
keadaan kardiovaskular respirasi pembukaan)
metabolik ibu. Kala 2
2. Passage Pengeluaran bayi (kala
Keadaan jalan lahir pengeluaran)
Kala 3
3. Passanger Pengeluaran plasenta (kala uri)
Keadaan janin (letak, presentasi, Kala 4
ukuran/berat janin, ada/tidak Masa 1 jam setelah partus,
kelainan anatomik mayor) terutama untuk observasi
(++ faktor2 “P” lainnya :
psychology, physician, position)
Kala Persalinan: Sifat HIS
Kala 1 awal (fase laten)
• Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm
• Frekuensi dan amplitudo terus meningkat

Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir


• Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4
kali / 10 menit, lama 60-90 detik (frekuensi setidaknya 2x/10 menit dan lama minimal
40 “). Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm).

Kala 2
• Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit.
• Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum

Kala 3
• Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun.
Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap
menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I
Fase Laten
• Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam)

Fase Aktif
• Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung
sekitar 6 jam
• Fase aktif terbagi atas :
1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4
cm.
2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm
sampai 9 cm.
3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai
lengkap (+ 10 cm).
Hubungan Penurunan Kepala dan
Dilatasi Serviks

Cunnningham et al. Williams Obstetrics. 24thedition. 2014


Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi

• Gejala dan tanda kala II persalinan


– Dor-Ran  Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan
terjadinya kontraksi
– Tek-Num  Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada
rektum dan/atau vaginanya.
– Per-Jol Perineum menonjol
– Vul-Ka  Vulva-vagina dan sfingter ani membuka
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam


(informasi objektif)
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Amniotomi
• Definisi
– Tindakan untuk membuka selaput amnion dengan
jalan membuat robekan kecil yang akan melebar
spontan akibat adanya tekanan cairan dan rongga
amnion

• Indikasi
– Jika ketuban belum pecah dan pembukaan sudah
lengkap
– Akselerasi persalinan
– Persalinan pervaginam menggunakan
instrumen
– Kasus solusio plasenta
Amniotomy
• If the membranes are intact, there is a great
temptation, even during normal labor, to perform
amniotomy.
• The presumed benefits are more rapid labor, earlier
detection of meconium-stained amnionic fluid, and
the opportunity to apply an electrode to the fetus or
insert a pressure catheter into the uterine cavity for
monitoring.
• Importantly, the fetal head must be well applied to the
cervix and not be dislodged from the pelvis during the
procedure to avert umbilical cord prolapse
Istilah untuk menjelaskan penemuan cairan
ketuban/selaput ketuban
• Utuh (U), membran masih utuh, memberikan sedikit perlindungan
kepada bayi dalam uterus, tetapi tidak memberikan informasi
tentang kondisi janin

• Jernih (J), membran pecah dan tidak ada anoksia

• Mekonium (M), cairan ketuban bercampur mekonium,


menunjukkan adanya anoksia/anoksia kronis pada bayi

• Darah (D), cairan ketuban bercampur dengan darah, bisa


menunjukkan pecahnya pembuluh darah plasenta, trauma pada
serviks atau trauma bayi

• Kering (K), kantung ketuban bisa menunjukkan bahwa selaput


ketuban sudah lama pecah atau postmaturitas janin
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Manajemen Aktif Kala III

Peregangan Tali Massase


Uterotonika Pusat Terkendali Uterus
• 1 menit setelah bayi • Tegangkan tali pusat ke arah • Letakkan telapak
lahir bawah sambil tangan yang tangan di fundus 
• Oksitosin 10 unit IM di lain mendorong uterus ke masase dengan
sepertiga paha atas arah dorso-kranial secara gerakan melingkar
bagian distal lateral hati-hati secara lembut hingga
• Dapat diulangi setelah uterus berkontraksi
15 menit jika plasenta (fundus teraba keras).
belum lahir
Pelepasan Plasenta

• Pelepasan mulai pada pinggir plasenta. Darah mengalir keluar


antara selaput janin dan dinding rahim, jadi perdarahan sudah ada
sejak sebagian dari placenta terlepas dan terus berlangsung sampai
seluruh placenta lepas.

• Terutama terjadi pada placenta letak rendah


Pelepasan Plasenta

• Pelepasan dimulai pada bagian tengah placenta  hematoma retroplacenter


 plasenta terangkat dari dasar  Placenta dengan hematom di atasnya jatuh
ke bawah  menarik lepas selaput janin.

• Bagian placenta yang nampak dalam vulva: permukaan foetal  tidak ada
perdarahan sebelum placenta lahir atau sekurang-kurangnya terlepas
seluruhnya  plasenta terputar balik  darah sekonyong-konyong mengalir.
80. Penyakit Trofoblastik Gestasional

WHO Classification

Malformations of the
Benign entities that
Malignant neoplasms chorionic villi that are
can be confused with
of various types of predisposed to
with these other
trophoblats develop trophoblastic
lesions
malignacies

Choriocarcinoma Hydatidiform moles Exaggerated placental site

Placental site
Complete Partial Placental site nodule
trophoblastic tumor

Epithilioid trophoblastic
tumors Invasive
Mola Hidatidosa

• Definisi
– Latin: Hidatid  tetesan air, Mola  Bintik

– Mola Hidatidosa menunjukkan plasenta dengan


pertumbuhan abnormal dari vili korionik
(membesar, edem, dan vili vesikular dengan
banyak trofoblas proliferatif)
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko

• Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun


• Pernah mengalami kehamilan mola
sebelumnya
• Risiko meningkat sesuai dengan jumlah
abortus spontan
• Wanita dengan golongan darah A lebih
berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi
bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis

TIPE KOMPLIT T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam setelah • Seperti tipe komplit hanya lebih
amenorea
ringan
• Uterus membesar secara abnormal dan
menjadi lunak • Biasanya didiagnosis sebagai
• Hipertiroidism aborsi inkomplit/ missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy induced kehamilan
hypertension
• Peningkatan hCG 100,000 mIU/mL • Tanpa kista lutein

Karakteristik Mola Komplit Mola Parsial

Jaringan Embrionik/ Fetal Tidak ditemukan Ditemukan, tidak sempurna

Pembengkakan hidatidiform vili korionik Difus Fokal


Hiperplasi tropoblas Difus Fokal
Scalloping vili korionik Tidak ditemukan Ditemukan
Inklusi stroma tropoblas Tidak ditemukan Ditemukan
Mola Hidatidosa: Hubungan dengan Hipertiroid

Hydatidiform Mole

Extremely high hCG level  mimic TSH

Hyperthyroidism
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG 
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan (mola komplit)
• Pemeriksaan USG 
• Komplit: ditemukan adanya
gambaran vesikuler atau badai salju
yang merupakan karakteristik
pembengkakan vili korionik yang
difus dan vesikuler  snow storm
• Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta
• Pemeriksaan Doppler  tidak
ditemukan adanya denyut
jantung janin
Mola
Hidatidosa:
Tatalaksana
Tatalaksana Kuret
• Kuretase dengan kuret tumpul
 seluruh jaringan
hasil kerokan di PA
• 7-10 hari sesudahnya 
kerokan ulangan dengan kuret
tajam, agar ada kepastian
bahwa uterus betul-betul
kosong dan untuk memeriksa
tingkat proliferasi sisa-sisa
trofoblas yang dapat
ditemukan
81. Abortus
• Definisi:
– ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan.
– WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan
kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan
terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram
Abortus
• Diagnosis  dengan bantuan USG
– Perdarahan pervaginam (bercak hingga berjumlah banyak)
– Perut nyeri & kaku
– Pengeluaran sebagian produk konsepsi
– Serviks dapat tertutup/ terbuka
– Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya

• Faktor Predisposisi Abortus Spontan


– Faktor dari janin: kelainan genetik (kromosom)
– Faktor dari ibu: infeksi, kelainan hormonal (hipotiroidisme,
DM), malnutrisi, obat-obatan, merokok, konsumsi alkohol,
faktor immunologis & defek anatomis seperti uterus didelfis,
inkompetensia serviks, dan sinekhiae uteri karena sindrom
Asherman
– Faktor dari ayah: Kelainan sperma
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Jenis Abortus
Abortus Imminens Abortus Insipiens Abortus Inkomplit

Abortus Komplit Missed Abortion


Abortus: Tatalaksana Umum
• Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk
tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
• Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik
<90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok
• Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan
tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena
kondisinya dapat memburuk dengan cepat
• Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi,
berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
– Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
– Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
– Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
• Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
• Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional
dan konseling kontrasepsi pasca keguguran.
• Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus
Tatalaksana Abortus Imminens
• Pertahankan kehamilan.
• Tidak perlu pengobatan khusus.
• Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan
seksual.
• Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya
pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar
Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan
penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.
• Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan
USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
Tatalaksana Abortus Insipiens
• Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus (dengaan
AVM) Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
– Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu)
– Rencanakan evakuasi segera.
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
– Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam
uterus (lakukan dengan AVM).
– Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
• Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan
pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit
• Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang
mencuat dari serviks.
• Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi
uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam
sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera
dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu).
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl
0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
– Lebih disarankan untuk memakai kuret tajam jika usia kehamilan >16 minggu
• Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan
patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
Tatalaksana Abortus Komplit
• Tidak diperlukan evakuasi lagi.
• Konseling untuk memberikan dukungan
emosional dan menawarkan KB pasca keguguran.
• Observasi keadaan ibu.
• Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika
anemia berat berikan transfusi darah.
• Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
82. DM pada Kehamilan
• Hiperglikemia yang terdeteksi pada kehamilan
harus ditentukan klasifikasinya sebagai salah
satu di bawah ini: ( WHO 2013, NICE update
2014)
– DM yang sebelumnya dikenal dan kemudian
menjadi hamil (Pregestational Diabetes
Mellitus) dan
– Diabetes yang baru diidentifikasi selama
kehamilan (Gestational Diabetes
Mellitus/GDM/DMG)
DEFINITION-CLASSIFICATION
WHO 2013

• Hyperglycaemia first detected at any time


during pregnancy should be classified as
either:
Diabetes mellitus in pregnancy = Pregestational diabetes (PGD)

Gestational diabetes mellitus (GDM)


After pregnancy
Normal ------------ GDM
Hyperglycemia -- DM or Glucose intolerance
DM Gestasional

William’s Obstetric 24th


edition
Diagnosis
• AnamnesisTanda dan gejala diabetes pada
kehamilan tidak spesifik
• Pregestasional DM wanita hamil yang
sudah terdiagnosis dengan diabetes sebelum
hamil tidak perlu screening tests
• DMGFIGO dan PERKENI skrining DMG
untuk semua ibu hamil tanpa memandang
faktor risiko
GESTATIONAL DIABETES PATHOPHYSIOLOGY

Fetoplacental
Normal Insulin hormones
pregnancy resistance (GH, HCG, HPL, Cortisol,
progesterone, prolactin)

Compensatory mechanism Increased fat deposit


Beta cell function  hyperinsulinemia Increased insulin resistance

Compensated Not compensated


Normal GDM
pregnancy
Faktor Risiko DM Gestasional
• Excessive early
gestasional weight gain
– 1st trimester: 2kg
– 2nd trimester:
• Underweight: 0,6 kg per
week
• Normal: 0,45 kg per week
• Overweight: 0,32 kg per
week
• Obese: 0,27 kg per week
• South Asia and South
east Asia  high risk of
GDM
GESTATIONAL DIABETES RISK CATEGORY

South Asia and South east Asia  high risk of GDM


All healthy pregnant women should be screened
at initial antepartum visit

Yuen & Wong. Word J Diabetes 2015


• DM yang sebelumnya dikenal kemudian menjadi hamil  Pre-
gestasional DM
• DM yang baru diidentifikasi selama kehamilan  DM
gestastional
• DM gestasional sering asimtomatik  screening penting untuk
deteksi
• Pada kehamilan normal, resistensi insulin terjadi pada trimester
II dan terus terjadi hingga kelahiran. Mekanisme pasti resistensi
insulin pada kehamilan belum diketahui. Dikaitkan dengan
produksi hormon, sitokin, adipokin plasenta. Pada keadaan
normal, resistensi insulin dibarengi dengan peningkatan sekresi
insulin  kadar gula darah normal.
• DM gestasional dapat terjadi karena adanya preexisting factor
resistensi insulin sebelumnya dan menurunnya sekresi insulin.
Komplikasi DM gestasional
MATERNAL FETAL
• Hipertensi gestasional • Makrosomia
• Preeklamsia • Hipoglikemia neonatus
• SC
• Hiperbilirubinemia
• Subsequent development
• Birth trauma
of type 2 DM
• Respiratory distress syndrome
• Distosia bahu
• Birth defects
• Subsequent adolescent and
childhood overweight
Maternal hyperglycemia
|
Fetal hyperglycemia
|
Fetal pancreatic beta-cell hyperplasia
|
Fetal hyperinsulinaemia
|
Macrosomia,organomegaly, polycythaemia,
hypoglycemia, RDS
SCREENING &
GESTATIONAL DIABETES DIAGNOSIS

Recommended
Organization Glucose load
technique
WHO 2013/IDF/IADPSG 2010 1 step 75 gr
ADA (O’Sullivan) 1964 2 steps, 4 samples 3 hr 100 gr
ADA (Carpenter, Coustan) 2000 2 steps 3 hr 100 gr
ADA 2003 1 step 75 gr
ADA 2011 1 step 75 gr
ACOG 2013 2 steps 50 gr  100 gr
CDA 2013 2 steps 50 gr  75 gr
EASD 1996 1 step 75 gr
PERKENI (Indonesia) 1 step 75 gr

Agarwal. World J Diabetes. 2015 Jun 25; 6(6): 782–791


Screening dan Kriteria Diagnosis DM Gestasional
GESTATIONAL DIABETES SCREENING
&
DIAGNOSIS
WHO
OGTT

DIABETES MELLITUS IN PREGNANCY GESTATIONAL DIABETES


(PREGESTATIONAL DIABETES)

FBG >= 126 mg/dL or FBG 92-125 mg/dL or


2 hr PG >= 200 mg/dL or 2 hr PG >= 153 mg/dL or
RBG >= 200 mg/dL RBG 153-199 mg/dL

= CRITERIA FOR DIABETES MELLITUS


NOT PREGNANT

American Diabetes Association. Diab Care.2016; 39:S1-106


Waktu Skrining DM Gestasional
• Sebetulnya, waktu dilakukannya skrining DMG bervariasi berdasarkan
regionya.
• Berdasarkan epidemiologi, orang South Asia dan South East Asia memiliki
risiko tinggi DM gestasional.
• Screening DM gestasional dengan kriteria ACOG maupun ADA dilakukan
pada saat trimester II (24-28 mgg) karena resistensi insulin muncul pada
trimester II, mekanisme belum jelas (dikaitkan dengan produksi hormon,
sitokin dari plasenta).
• Dalam buku saku pelayanan kesehatan ibu, skrining DMG dengan TTGO 75
gram juga dilakukan pada 24-28 minggu (jika ada faktor risiko, pemeriksaan
gula darah dilakukan pada ANC I)
• Akan tetapi, menurut Algoritma PERKENI serta departemen Obstetri
Ginekologi RSUPN-CM, sebaiknya skrining DMG sudah dilakukan sejak
trimester pertama (karena risiko tinggi DMG pada orang Asia Tenggara).
Gestasional
Diagnosis dan

Diabetes Melitus
Penatalaksanaan

Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Gestasional


dr. Arietta Pusponegoro, SpOG (K) Dept. Obstetri Ginekologi FKUI/RSUPN-CM
Disampaikan pada: Pelatihan Manajemen DMG di Fasyankes Primer 06-07 Sept. ‘17 di R.
Rapat 1 (R. Mochtar) Gd. IKK FKUI
Skrining DM pada Kehamilan (Buku Saku
Pelayanan kesehatan IBU Depkes)
Prosedur TTGO
• PERKENI menggunakan metode WHO TTGO (Tes Toleransi
Gukosa Oral)
• Prosedur :
1. Pastikan ibu makan makanan yang cukup karbohidrat (> 150 gr
per hari) selama 3 hari terakhirpuasa selama 8 – 12 jam
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien
3. Ambil darah pasiengula darah puasa (GDP)
4. Pastikan gula darah pasien kurang dari 140 mg/dl sebelum
memberikan pasien larutan glukosa 75 gr dlm 250 ml air
5. Instruksikan pasienminum larutan glukosa dalam 5-15
menit
6. Pasien diminta menunggu di sekitar area laboratorium dan
diminta tidak melakukan banyak aktifitas fisik serta tidak
merokok
7. Setelah 1 dan 2 jam, ambil kembali darah pasien untuk
pengukuran gula darah
GESTATIONAL DIABETES TREATMENT

Closed collaboration between internist, obstetrician and pediatrician

Preconception assessment and counseling


for overweight and obese women
with the aim to lose weight before pregnancy
and also to limit weight gain in pregnancy.

Lifestyle Medical
Management Therapy
• Medical nutrition therapy (MNT) Insulin (first line)
• Physical activity Metformin
• Weight management Sulfonylurea

American Diabetes Association. Diab Care.2016; 39:S1-106


Tatalaksana DM Gestasional
Tatalaksana DM Gestasional
Non Medikamentosa Non Medikamentosa
• Physical activity
• Nutritional therapy • Improves insulin
sensitivity
• Reduce fasting and
post prandial glucose
• Rekomendasi ACOG 
moderate excercise
consisting of 30
minutes most days of
the week for women
with GDM dan no
medical or obstetric
contraindication
Tatalaksana DM Gestasional
Medikamentosa Medikamentosa
• Metformin
– (ADA 2016) (acceptable option,
jika kontrol gula darah
– 1st line treatment: diperlukan)  risiko
lebih besar
insulin mengalami
prematuritas, dan
efek jangka panjang
pada neonatus belum
diketahui (metformin
melewati sawar darah
plasenta)
• Gliburid (sulfonil urea)

https://www.accp.com/docs/bookstore/psap/p201
GDM Treatment Scheme
GDM

FPG <130 mg/dL FPG ≥130 mg/dL


ADA
FPG ≥ 105 or
Medical nutrition
therapy (MNT) 1 week PPBG ≥ 120 mg/dL

FPG <105 and FPG>105 or


2 hr pp PG <120 2 hr pp PG >120

MNT MNT + Insulin

Konsensus Perkeni DMG


83. Plasenta previa
• Plasenta yang berimplantasi di atas atau mendekati
ostium serviks interna. Terdapat empat macam
plasenta previa berdasarkan lokasinya, yaitu:
– Plasenta previa totalis – ostium internal ditutupi
seluruhnya oleh plasenta
– Plasenta previa parsialis – ostium interal ditutupi sebagian
oleh plasenta
– Plasenta previa marginalis – tepi plasenta terletak di tepi
ostium internal
– Plasenta previa letak rendah – plasenta berimplantasi di
segmen bawah uterus sehingga tepi plasenta terletak
dekat dengan ostium
• Faktor Predisposisi
– Kehamilan dengan ibu berusia lanjut
– Multiparitas
– Riwayat seksio sesarea sebelumnya

• Diagnosis
– Perdarahan tanpa nyeri, usia kehamilan>22 minggu
– Darah segar yang keluar sesuai dengan beratnya anemia
– Syok
– Tidak ada kontraksi uterus
– Bagian terendah janin tidak masuk pintu atas panggul
– Kondisi janin normal atau terjadi gawat janin
– Penegakkan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan USG
Tatalaksana Plasenta Previa
Tatalaksana Umum
• PERHATIAN! Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan
dalam sebelum tersedia kesiapan untuk seksio sesarea.
Pemerik¬saan inspekulo dilakukan secara hati-hati, untuk
menentukan sumber perdarahan.
• Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan
intravena (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat).
• Lakukan penilaian jumlah perdarahan.
• Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio
sesarea tanpa memperhitungkan usia kehamilan
• Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi
prematur, pertimbangkan terapi ekspektatif
Terapi Konservatif
• Agar janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non-invasif.
• Syarat terapi ekspektatif:
– Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti dengan atau
tanpa pengobatan tokolitik
– Belum ada tanda inpartu
– Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dalam batas normal)
– Janin masih hidup dan kondisi janin baik
• Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis.
• Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak plasenta.
• Berikan tokolitik bila ada kontraksi:
– MgSO4 4 g IV dosis awal dilanjutkan 4 g setiap 6 jam, atau Nifedipin 3 x 20 mg/hari
– Pemberian tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV dosis tunggal untuk
pematangan paru janin
• Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferous fumarat per oral 60 mg selama 1 bulan.
• Pastikan tersedianya sarana transfusi.
• Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, ibu dapat
dirawat jalan dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan.
Terapi aktif
• Rencanakan terminasi kehamilan jika:
– Usia kehamilan cukup bulan
– Janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi kelangsungan
hidupnya (misalnya anensefali)
– Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa memandang
usia kehamilan
– Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan presentasi
kepala pemecahan selaput ketuban dan persalinan pervaginam masih
dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan dengan seksio sesarea
• uJika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi perdarahan dari
tempat plasenta:
– Jahit lokasi perdarahan dengan benang,
– Pasang infus oksitosin 10 unitin 500 ml cairan IV (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat)
dengan kecepatan 60 tetes/menit
– Jika perdarahan terjadi pascasalin, segera lakukan penanganan yang sesuai, seperti
ligasi arteri dan histerektomi
84. Abortus: Tatalaksana Umum
• Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk
tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
• Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik
<90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok
• Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan
tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena
kondisinya dapat memburuk dengan cepat
• Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi,
berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
– Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
– Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
– Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
• Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
• Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional
dan konseling kontrasepsi pasca keguguran.
• Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus
Tatalaksana Abortus Imminens
• Pertahankan kehamilan.
• Tidak perlu pengobatan khusus.
• Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan
seksual.
• Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya
pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar
Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan
penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.
• Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan
USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
Tatalaksana Abortus Insipiens
• Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus (dengaan
AVM) Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
– Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu)
– Rencanakan evakuasi segera.
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
– Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam
uterus (lakukan dengan AVM).
– Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
• Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan
pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit
• Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang
mencuat dari serviks.
• Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi
uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam
sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera
dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu).
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl
0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
– Lebih disarankan untuk memakai kuret tajam jika usia kehamilan >16 minggu
• Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan
patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
Tatalaksana Abortus Komplit
• Tidak diperlukan evakuasi lagi.
• Konseling untuk memberikan dukungan
emosional dan menawarkan KB pasca keguguran.
• Observasi keadaan ibu.
• Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika
anemia berat berikan transfusi darah.
• Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
85. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of pregnancy
/NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and vomiting
have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually commence
between the first and second missed menstrual period and
continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5% prepregnancy
weight loss, dehydration and electrolyte imbalance.

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks

Hyperemesis gravidarum (no universally accepted definition)


• NVP with complications:
– dehydration,
– hyperchloremic alkalosis,
– ketosis

Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) index
• Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) score can be used to classify the
severity of NVP

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
The initial management of NVP and HG
• Women with mild NVP should be managed in the
community with antiemetics.
• Ambulatory daycare management should be used for
suitable patients when community/primary care measures
have failed and where the PUQE score is less than 13.
• Inpatient management should be considered if there is at
least one of the following:
– continued nausea and vomiting and inability to keep down oral
antiemetics
– continued nausea and vomiting associated with ketonuria
and/or weight loss (greater than 5% of body weight), despite
oral antiemetics
– confirmed or suspected comorbidity (such as urinary tract
infection and inability to tolerate oral antibiotics)
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Therapeutic options for NVP and HG
• Antiemetics
– There are safety and efficacy data for first-line antiemetics such as
antihistamines (H1 receptor antagonists) and phenothiazines and they
should be prescribed when required for NVP and HG
– Combinations of different drugs should be used in women who do not
respond to a single antiemetic.
– For women with persistent or severe HG, the parenteral or rectal route
may be necessary and more effective than an oral regimen. Women
should be asked about previous adverse reactions to antiemetic
therapies.
– Metoclopramide is safe and effective, but because of the risk of
extrapyramidal effects it should be used as second-line therapy.
– There is evidence that ondansetron is safe and effective, but because
data are limited it should be used as second-line therapy
– Drug-induced extrapyramidal symptoms and oculogyric crises can
occur with the use of phenothiazines and metoclopramide. If this
occurs, there should be prompt cessation of the medications.

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
86. TEKNIK SAMPLING
Probability Sampling Techique lebih baik
dibanding non-probability

• Simple Random Sampling: pengambilan sampel dari semua


anggota populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata/tingkatan yang ada dalam populasi
itu.

• Stratified Sampling: Penentuan sampling tingkat


berdasarkan karakteristik tertentu (usia, jenis kelamin, dsb).
Misalnya untuk mengambil sampel dipisahkan dulu jenis
kelamin pria dan wanita. Baru kemudian dari kelompok pria
diambil sampel secara acak, demikian juga dari kelompok
wanita.
Probability Sampling Techique lebih baik
dibanding non-probability
• Cluster Sampling: disebut juga sebagai teknik sampling daerah. Pemilihan
sampel berdasarkan daerah yang dipilih secara acak. Contohnya
mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta. Seluruh penduduk dari
20 kecamatan terpilih dijadikan sampel.

• Multistage random sampling: teknik sampling yang menggunakan 2 teknik


sampling atau lebih secara berturut-turut. Contohnya mengambil secara
acak 20 kecamatan di Jakarta (cluster sampling). Kemudian dari masing-
masing kecamatan terpilih, diambil 50 sampel secara acak (simple random
sampling).

• Systematical Sampling anggota sampel dipilh berdasarkan urutan


tertentu. Misalnya setiap kelipatan 10 atau 100 dari daftar pegawai
disuatu kantor, pengambilan sampel hanya nomor genap atau yang ganjil
saja.
Non-probability Sampling
• Purposive/ Judgmental Sampling: sampel yang dipilih
secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya.
• Snowball Sampling: Dari sampel yang prevalensinya sedikit
,peneliti mencari informasi sampel lain dari yang dijadikan
sampel sebelumnya, sehingga makin lama jumlah
sampelnya makin banyak
• Quota Sampling:anggota sampel pada suatu tingkat dipilih
dengan jumlah tertentu (kuota) dengan ciri-ciri tertentu
• Convenience sampling:mengambil sampel sesuka peneliti
(kapanpun dan siapapun yang dijumpai peneliti)
Sampling Frame
• Sampling frame adalah daftar anggota populasi yang akan diambil
sampelnya.

• Sampling frame dibutuhkan untuk penelitian yang menggunakan


pengambilan sampel secara random.
– Misalnya peneliti ingin meneliti kepuasan penduduk DKI terhadap pelayanan
BPJS, dengan pengambilan sampel secara random. Maka peneliti
membutuhkan sampling frame berupa daftar semua penduduk DKI yang
menggunakan BPJS untuk dapat dilakukan randomisasi.

• Pada penelitian yang pengambilan sampelnya non random, sampling


frame tidak diperlukan.
– Misalnya pada penelitian yang menggunakan populasi homoseksual, sulit
untuk bisa mendapatkan sampling framenya (sulit bagi kita untuk bisa
memiliki daftar semua homoseksual di suatu wilayah).
87. WITHDRAWAL FROM STUDY
• Sometimes, a subject wants to withdraw from the primary
interventional component of a study, but is willing to allow the
investigator to continue other research activities described in the
IRB-approved protocol and informed consent document that
involve participation of the subject, such as: (1) obtaining data
about the subject through interaction with the subject (e.g.,
through follow-up interviews, physical exams, blood tests, or
radiographic imaging); or (2) obtaining identifiable private
information from the subject’s medical, educational, or social
services agency records or from the subject’s healthcare providers,
teachers, or social worker.

• When a subject’s withdrawal request is limited to discontinuation of


the primary interventional component of a research study, research
activities involving other types of participation for which the subject
previously gave consent may continue.
https://www.hhs.gov/ohrp/regulations-and-policy/guidance/guidance-on-withdrawal-of-subject/index.html
88. MONITORING & EVALUASI
PROGRAM KESMAS (LOGIC MODEL)
O U TC O M E S / I
INPUTS ACTIVITIES OUTPUTS
M PA C T S

what is produced the changes or


what resources go what activities the
through those benefits that result
into a program program undertakes
activities from the program

e.g. increased skills/


e.g. number of knowledge/
e.g. development of
e.g. money, staff, booklets produced, confidence, leading in
materials, training
equipment workshops held, longer-term to
programs
people trained promotion, new job,
etc.

O U TC O M E V S I M PA C T
Indikator outcome dan impact sering kali disamakan atau dijadikan sebagai satu
kesatuan. Namun pada umumnya indikator outcome lebih menilai luaran jangka
pendek dan untuk wilayah setempat, sedangkan indikator impact lebih menilai
luaran jangka panjang dan dampak untuk wilayah yang lebih luas. Outcome
bersifat dinamis (lebih mudah berubah dibandingkan impact).
89. PEMBAYARAN BPJS DI FASKES PRIMER

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TARIF PELAYANAN
KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
Tarif Kapitasi
• Tarif Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a diberlakukan pada FKTP yang melakukan
pelayanan:
a. administrasi pelayanan;
b. promotif dan preventif;
c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun
non operatif;
e. obat dan bahan medis habis pakai;
f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pratama.
Tarif Non Kapitasi
• Tarif Non Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan kesehatan di
luar lingkup pembayaran kapitasi, yang meliputi:
a. pelayanan ambulans
b. pelayanan obat program rujuk balik;
c. pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik;
d. pelayanan penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk
pelayanan terapi krio untuk kanker leher rahim;
e. rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis;
f. jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh
bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya; dan
g. pelayanan Keluarga Berencana di FKTP
90. SISTEM KESEHATAN NASIONAL
• Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa
Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan
pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.

• Sistem Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan


revitalisasi pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:
1. Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata,
2. Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat,
3. Kebijakan pembangunan kesehatan, dan
4. Kepemimpinan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL
SISTEM KESEHATAN DAERAH
• Sistem Kesehatan Daerah (SKD) adalah merupakan implementasi sistem
Kesehatan Nasional didaerah, yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai
upaya pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta di daerah yang secara terpadu
dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya dan pada hakekatnya merupakan wujud sekaligus metode
penyelenggaraan kesehatan daerah.

• Pentingnya SKD: agar kondisi dan kebutuhan spesifik daerah dan masyarakat
akan dapat lebih terakomodir.

• SKD juga merupakan ruang sekaligus bentuk pengakuan terhadap potensi pelaku
dibidang kesehatan yang dimiliki daerah (pemerintah, masyarakat, swasta) yang
dengan SKD ini diikat dalam komitmen dan tujuan yang sama sebagaimana
prinsip dasar SKN, yakni : Perikemanusiaan; Hak Azasi Manusia; Adil dan merata;
Pemberdayaan dan kemandirian Masyarakat; Kemitraan; Pengutamaan dan
manfaat; Tata kepemerintahan yang baik.
91. TANATOLOGI
Thanatologi adalah topik dalam ilmu kedokteran forensik yang mempelajari
hal mati serta perubahan yang terjadi pada tubuh setelah seseorang mati

Tanda Kematian tidak pasti :


1. Pernafasan berhenti lebih dari 10 menit
2. Sirkulasi berhenti lebih dari 15 menit
3. Kulit pucat
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan menggunakan air

Tanda Kematian Pasti


1. Lebam Mayat (Livor mortis)
2. Kaku Mayat (Rigor mortis)
3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
4. Pembusukan (decomposition)

Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
TANATOLOGI FORENSIK

• Livor mortis atau lebam mayat


– terjadi akibat pengendapan eritrosit sesudah
kematian akibat berentinya sirkulasi dan adanya
gravitasi bumi .
– Eritrosit akan menempati bagian terbawah badan
dan terjadi pada bagian yang bebas dari tekanan.
– Muncul pada menit ke-30 sampai dengan 2 jam.
Intensitas lebam jenazah meningkat dan menetap
8-12 jam.
Rigor mortis atau kaku mayat

• terjadi akibat hilangnya ATP.


• Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin
bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam
postmortem.
• Kemudian dipertahankan selama 12 jam, setelah itu akan
berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya.
• Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku jenazah
adalah suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan.
• Makin tinggi suhu tubuh makin cepat terjadi kaku jenazah.
• Rigor mortis diperiksa dengan cara menggerakkan sendi fleksi
dan antefleksi pada seluruh persendian tubuh.
Rigor mortis atau kaku mayat

• Rigor mortis disebabkan oleh habisnya glikogen pada otot


untuk mengubah ADP menjadi ATP.

• Otot kecil mengalami rigor mortis lebih dahulu


dibandingkan yang besar karena berbanding lurus dengan
persediaan glikogennya.

• Relaksasi sekunder terjadi setelah rigor mortis ini berakhir


akibat dari proses degenerasi dan pembusukan.
Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kaku mayat antara
lain persediaan glikogen, kegiatan otot sebelum kematian,
suhu udara sekitarnya, dan umur.
CADAVERIC SPASM
• Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan dimana
terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-kadang pada seluruh
otot, segera setelah terjadi kematian somatis dan tanpa melalui relaksasi
primer.

• Berhubungan dengan kehabisan cadangan glikogen dan ATO yang bersifat


setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat
sesaat sebelum meninggal

• Dapat terjadi pada semua otot di tubuh akan tetapi biasanya pada grup –
grup otot tertentu, misalnya otot lengan atas.

• Kepentingan medikolegal adalah menunjukan sikap terakhir masa


hidupnya, misalnya tangan menggenggam erat benda yang diraihnya pada
kasus tenggelam ; terjadi sesaat setelah kematian, sebelum onset normal
dari rigor mortis.
Cadaveric Spasme atau Rigor Mortis?

• Bedakan rigor mortis dengan cadaveric


spasme.
– Rigor mortis baru terjadi pada 2-4 jam pertama,
terjadi secara komplit pada 6-12 jam paska
kematian,dan terutama terlihat jelas pada otot –
otot kecil.
– Cadavaric spasme segera setelah terjadi kematian
somatis. Dapat terjadi pada semua otot di tubuh
akan tetapi biasanya pada grup – grup otot
tertentu.
Bedanya dengan stiffening
• Heat stiffening : kekakuan otot akibat koagulasi protein
oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi
rapuh (mudah robek)
– dapat dijumpai pada korban mati terbakar
– pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek
sehingga menimbulkan flexi leher, siku, paha, dan lutut,
membentuk sikap petinju (pugilistic attitude)

• Cold stiffening : kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin,


sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan
sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot,
sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya
es dalam rongga sendi.
Penurunan suhu badan

• Pada saat sesudah mati, terjadi proses pemindahan


panas dari badan ke benda-benda di sekitar yang lebih
dingin secara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.
• dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konstitusi tubuh dan
pakaian.
• Bila suhu lingkugan rendah, badannya kurus dan
pakaiannya tipis maka suhu badan akan menurun lebih
cepat.
• Lama kelamaan suhu tubuh akan sama dengan suhu
lingkungan.
Pembusukan mayat (dekomposisi)

• Terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja


bakteri.
• Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai
dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau
busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lain-lain.
• RUMUS CASPER untuk perbedaan kecepatan pembusukan udara:
air: tanah = 8:2:1
• Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah
terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari
predators seperti binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen
menghambat berkembang biaknya organisme aerobik.
Thanatologi

Livor mortis Livor mortis lengkap


mulai muncul dan menetap

20 30 2 6 8 12 24 36
0 mnt mnt jam jam jam jam jam jam

Rigor mortis Pembus


Rigor mortis Pembusuk ukan
lengkap (8-10
mulai muncul an mulai tampak
jam)
tampak di di
caecum seluruh
tubuh

Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
92. PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS
• Persetujuan tindakan medis secara praktis
dibagi menjadi 2:
Implied consent Pasien tidak menyatakan persetujuan baik secara tertulis maupun
lisan, namun dari tingkah lakunya menyatakan persetujuannya.
Contoh: pasien membuka baju untuk diperiksa, pasien
mengulurkan lengan untuk diambil sampel darah.

Expressed Persetujuan dinyatakan secara lisan atau tertulis. Khusus setiap


consent tindakan yang mengandung risiko tinggi, harus diberikan
persetujuan tertulis oleh pasien atau yang berhak mewakili (sesuai
UU No.29 tahun 2004 pasal 45)

Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyelidikan,


A. Munim Idries, 2013
Jenis Consent Lainnya
JENIS
PENJELASAN
CONSENT
Consent yang diberikan pada pasien secara tertulis,
Informed consent yang ditandatangani langsung oleh pasien yang
berangkutan.

Consent yang diberikan oleh wali pasien (orangtua,


suami/istri, anak, saudara kandungnya dsb) karena
Proxy consent
pasien tidak kompeten untuk memberikan consent
(misalnya pada pasien anak).

Pasien tidak dapat memberikan consent, namun


diasumsikan bahwa bila pasien sadar, ia akan setuju
Presumed
dengan tindakan medis yang diambil. Consent jenis ini
consent
biasanya dilakukan pada kondisi kegawatdaruratan atau
pada donor organ dari cadaver.
Appelbaum PS. Assessment of patient’ s competence to consent to treatment. New England Journal of Medicine. 2007; 357: 1834-
1840.
93. Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka memar: Tampak sebagai bercak,
biasanya berbentuk bulat/lonjong. Luka
memar yang baru terjadi tampak sebagai
bercak biru kemerahan dan agak menimbul.
Proses penyembuhan menyebabkan warna
bercak berubah menjadi kebiruan, kehijauan,
kecoklatan, kekuningan dan akhirnya hilang
saat terjadi penyembuhan sempurna dalam 7-
10 hari.
Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka lecet tekan: Tampak sebagai
bagian kulit yang sedikit
mencekung, berwarna kecoklatan.
Bentuknya memberikan gambaran
bentuk benda penyebab luka.

• Luka lecet geser: Bagian yang


pertama bergeser memberikan
batas yang lebih rata, dan saat
benda tumpul meningalkan kulit
yang tergeser berbatas tidak rata.
Tampak goresan epidermis yang
berjalan sejajar.
Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka robek: Luka terbuka, jembatan jaringan
(+), tepi tidak rata, pada salah satu sisi dapat
ditemukan jejas berupa luka lecet tekan.
Luka Akibat Kekerasan Tajam
• Luka tusuk: Akibat kekerasan tajam yang
mengenai kulit dengan arah kekerasan tegak
terhadap permukaan kulit. Tepi luka rata.
– Lebar luka menggambarkan lebar pisau yang
digunakan.
– Karena elastisitas kulit, dalamnya luka tidak
menggambarkan panjangnya pisau

• Luka sayat: Akibat kekerasan tajam yang bergerak


k.l sejajar dengan permukaan kulit. Panjang luka
jauh melebihi dalamnya luka.
Luka Akibat Kekerasan Tajam
• Luka bacok: Akibat kekerasan tajam dengan
bagian “mata” senjata yang mengenai kulit
dengan arah tegak. Kedua sudut luka lancip
dengan luka yang cukup dalam.
94. ASPEK HUKUM REKAM MEDIS
• Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran: setiap dokter atau dokter
gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam
medis.

• Pasal 47 ayat (1): Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana
pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien.

• Mengenai isi rekam medis diatur lebih khusus dalam Pasal 12 ayat
(2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis: Isi rekam medis
merupakan milik pasien yang dibuat dalam bentuk ringkasan rekam
medis..
ISI REKAM MEDIS
• Menurut PERMENKES No:
269/MENKES/PER/III/2008 yang dimaksud rekam
medis adalah berkas yang berisi catatan dan
dokumen antara lain identitas pasien, hasil
pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan,
serta tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien. Catatan merupakan
tulisan-tulisan yang dibuat oleh dokter atau
dokter gigi mengenai tindakan-tindakan yang
dilakukan kepada pasien dalam rangka palayanan
kesehatan.
Kepemilikan Rekam Medis
• Permenkes No.269 tahun 2008: isi Rekam Medis
adalah milik pasien, sedangkan berkas Rekam
Medis (secara fisik) adalah milik Rumah Sakit atau
institusi kesehatan.

• Pasal 10 Permenkes No. 749a menyatakan bahwa


berkas rekam medis itu merupakan milik sarana
pelayanan kesehatan, yang harus disimpan
sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun
terhitung sejak tanggal terakhir pasien berobat.
Kepemilikan Rekam Medis
• Aplikasi: Karena isi Rekam Medis merupakan milik
pasien, maka pada prinsipnya tidak pada tempatnya jika
dokter atau petugas medis menolak memberitahu
tentang isi Rekam Medis kepada pasiennya, kacuali pada
keadaan-keadaan tertentu yang memaksa dokter untuk
bertindak sebaliknya.

• Sebaliknya, karena berkas Rekam Medis merupakan milik


institusi, maka tidak pada tempatnya pula jika pasien
meminjam Rekam Medis tersebut secara paksa, apalagi
jika institusi pelayanan kesehatan tersebut menolaknya.
Yang Berhak Terhadap Isi Rekam Medis

• PASIEN

Bila pasien tidak kompeten, disampaikan kepada:


1. Keluarga pasien, atau
2. Orang yang diberi kuasa oleh pasien atau keluarga
pasien, atau
3. Orang yang mendapat persetujuan tertulis dari
pasien atau keluarga pasien
95. Intisari KODEKI
KEWAJIBAN UMUM KEWAJIBAN THD PASIEN KEWAJIBAN THD DIRI SENDIRI & TS

menjunjung tinggi, menghayati dan ..wajib merujuk jika tidak setiap dokter harus memelihara
mengamalkan sumpah dokter (pasal mampu, atas persetujuan kesehatannya supaya dapat
1) pasien(pasal 14) bekerja dengan baik (pasal 20)

Seorang dokter wajib selalu setiap dokter wajib merahasiakan setiap dokter harus senantiasa
melakukan pengambilan keputusan segala sesuatu yang diketahuinya mengikuti perkembangan ilmu
profesional secara independen, dan tentang seorang pasien , bahkan pengetahuan dan teknologi
mempertahankan perilaku juga setelah pasien itu meninggal kedokteran/kesehatan (psl 21)
profesional dalam ukuran yang dunia (pasal 16)
tertinggi. (pasal 2) setiap dokter memperlakukan
setiap dokter wajib melakukan teman sejawat nya sebagaimana
dalam melakukan pekerjaannya pertolongan darurat sbg suatu ia sendiri ingin diperlakukan
seorang dokter tidak boleh tugas perikemanusiaan, kecuali (pasal 18)
dipengaruhi oleh sesuatu yang bila ia yakin ada orang lain
mengakibatkan hilangnya bersedia dan mampu
kebebasan & kemandirian profesi memberikannya (pasal 17)
(pasal 3)

seorang dokter hanya memberi


surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya
(pasal7)
Good Samaritan dalam Kasus
Kegawatdaruratan
• Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam
peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh
negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang
secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam
keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien
dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk kecederaan yang dialaminya.

• Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus


dipenuhi adalah:
– Kesukarelaan pihak penolong.
– Itikad baik pihak penolong.
THT-KL
96. Karsinoma Nasofaring
• Definisi
 Karsinoma nasofaring merupakan keganasan pada
nasofaring dengan predileksi pada fossa
Rossenmuller. Prevalensi tumor ganas nasofaring di
Indonesia cukup tinggi, 4,7 per 100.000 penduduk.
• Faktor risiko
 infeksi oleh EBV, makanan berpengawet, dan
genetik
• Gejala:
 Gejala Nasofaring
– Epistaksis ringan, sumbatan hidung
 Gejala mata
– Diplopia
 Gejala telinga
– Tinitus, Otalgia, Hearing loss
 Gejala Neural
– Gejala yang berhubungan dengan nervus cranial
V, IX, X, XI, XII
• Pengobatan diarahkan pada kemoterapi dan radioterapi.
96. Karsinoma Nasofaring
Insepsi, Genetik, Lingkungan, Viral

Silent period

Invasi lokal | Mukus campur darah | Sumbatan


tuba eustachius

Kelenjar limfe retrofaringeal/penyebaran lokoregional


(paranasofaringeal/parafaringeal, erosi dasar tengkorak

Penyebaran sistemik
Manifestasi Klinis
• Gejala dapat dibagi dalam lima kelompok,
yaitu:
Gejala nasofaring
Gejala telinga
Gejala mata
Gejala saraf
Metastasis atau gejala di leher
Manifestasi Klinis
• Gejala telinga:
rasa penuh di telinga,
rasa berdengung,
rasa tidak nyaman di telinga
rasa nyeri di telinga,
otitis media serosa sampai perforasi membran
timpani
gangguan pendengaran tipe konduktif, yang
biasanya unilateral
Manifestasi Klinis
• Gejala hidung:
ingus bercampur darah,
post nasal drip,
epistaksis berulang
Sumbatan hidung unilateral/bilateral

• Gejala telinga, hidung, nyeri kepala >3 minggu


 sugestif KNF
Manifestasi Klinis
• Gejala lanjut  Limfadenopati servikal
• Penyebaran limfogen
• Konsistensi keras, tidak nyeri, tidak mudah
digerakkan
• Soliter
• KGB pada leher bagian atas jugular superior,
bawah angulus mandibula
Manifestasi Klinis
• Gejala lokal lanjut  gejala saraf
• Penjalaran petrosfenoid  dapat mengenai
saraf anterior (N II-VI), sindroma petrosfenoid
Jacob
• Penjalaran petroparotidean  mengenai saraf
posterior (N VII-XII), sindrom horner, sindroma
petroparatoidean Villaret
Diagnosis
• Medical history and physical exam
• Nasopharingeal exam
 Indirect nasopharyngoscopy
 Direct nasopharyngoscopy
• Biopsy
 Endoscopy
 Fine needle aspiration (FNA) biopsy
• CT-Scan
• MRI
• Chest X-Ray
• PET Scan
• Blood test
 Routine blood test
 EBV level
Staging
• Untuk penentuan stadium dipakai sistem
TNM menurut UICC (2002)
T : tumor primer
• T1 : tumor terbatas di nasofaring
• T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau fossa hidung
• T2a – tanpa perluasan ke parafaring
T2b – dengan perluasan ke parafaring
• T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
• T4 : tumor dengan perluasan intracranial dan/atau keterlibatan saraf
cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbit
N : pembesaran kelenjar getah bening regional
• Nx : tidak jelas adanya keterlibatan kelenjar getah benih (KGB)
• N0 : tidak ada keterlibatan KGB
• N1 : metastasis pada KGB ipsilateral tunggal, 6 cm atau kurang di
atas fossa supraklabikula
• N2 : metastasis bilateral KGB, 6 cm atau kurangm di atas fossa
supraklavikula
• N3a : > 6 cm
• N3b : pada fossa supraklavikula
M : metastasis jauh
• M0 : tidak ada metastasis jauh
• M1 : ada metastasis jauh
Differential Diagnosis
History Physical Exam. Diagnosis Treatment
Laki-laki usia 50an yang unilateral obstruction & Ca Surgery
terpapar nikel, krom, rhinorrea. Diplopia, proptosis sinonasal
formalin, dan terpentin . Bulging of palatum, cheek
protrusion, anesthesia if
involving n.V
Orang tua, yang merokok, Posterior rhinoscopy: mass at KNF Radiotherapy,
suka makan yang terlalu fossa Rosenmuller, cranial chemoradiation,
panas, zat pengawet. nerves abnormality, surgery.
Tinnitus, otalgia epistaxis, enlargement of jugular lymph
diplopia, neuralgia nodes.
trigeminal.
Nyeri pada tenggorokan. Painful ulceration with Ca tonsil Surgery
otalgia. Air liur berdarah induration of the tonsil.
Lymph node enlargement.
Laki-laki usia muda Anterior rhinoscopy: red Juvenile Surgery
dengan keluhan sering shiny/bluish mass. No lymph angiofibrom
mimisan nodes enlargement. a
97. OTITIS MEDIA
Otitis media supuratif kronik
• Infeksi kronik dengan sekresi persisten/ hilang
timbul (> 2 bulan) melalui membran timpani
yang tidak intak.

• Mekanisme perforasi kronik mengakibatkan


infeksi persisten:
 Kontaminasi bakteri ke telinga tengah secara
langsung melalui celah
 Tidak adanya membran timpani yang intak
menghilangkan efek "gas cushion" yang
normalnya mencegah refluks sekresi nasofaring.

• Petunjuk diagnostik:
 Otorea rekuren/kronik
 Penurunan pendengaran
 Perforasi membran timpani

1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, & throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media Supuratif Kronik
Klasifikasi OMSK:

• Tipe benign/mucosal:
– Tidak melibatkan tulang.
– Tipe perforasi: sentral.
– Th/: ear wash with H2O2 3% for 3-5 Large central perforation
days, ear drops AB & steroid,
systemic AB

• Tipe malignant/tulang:
– Melibatkan tulang atau
kolesteatoma.
– Tipe perforasi: marginal atau attic.
– Th/: mastoidektomi.
Cholesteatoma at attic
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
type perforation
Otitis Media Supuratif Kronik
• Tanda dini OMSK tipe maligna:
Adanya perforasi marginal atau atik,
Tanda lanjut
• abses atau fistel aurikular,
• polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang
berasal dari dalam telinga tengah,
• terlihat kolesteatoma pada telinga tengah (sering
terlihat di epitimpanum),
• sekret berbentuk nanah & berbau khas,
• terlihat bayangan kolesteatoma pada foto mastoid.
Terapi OMSK
• OMSK tipe benigna:
– Secara umum terapi OMSK jinak adalah konservatif.
Obat yang dapat digunakan berupa obat cuci telinga
H2O2 3% selama 3-5 hari, antibiotik (penggunaan
antara 1-2 minggu) dan antibiotik oral. Miringoplasti
atau timpanoplasti dapat dilakukan setelah dua bulan
ketika keadaan sekret sudah kering.
• OMSK tipe bahaya:
– Secara umum pembedahan, mastoidektomi dengan
atau timpanoplasti.
98. Otitis Media
Otitis Media Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
 Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah, membran
timpani membonjol.
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani kembali
normal. Jika perforasi  sekret berkurang.
1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media
Otitis Media Akut
• Th:
– Oklusi tuba: dekongestan topikal
(ephedrin HCl)
Hyperaemic stage
– Presupurasi: AB minimal 7 hari
(ampicylin/amoxcylin/
erythromicin) & analgesik dan obat
tetes hidung.
– Supurasi: AB, miringotomi.
– Perforasi: ear wash H2O2 3% & AB.
– Resolusi: jika sekret tidak
berhenti AB dilanjutkan hingga 3
minggu.
Suppuration stage
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Temuan Audiometri Pada OMA
Tympanogram:
 Type B, without a large volume (a large volume would indicate a
perforation)
 A tympanogram line would be flat (considered Type B), indicating
decreased TM mobility.

Audiogram:
CHL
 The degree of CHL may vary from 10 to 50 dB and will depend on the
thickness of the middle ear exudate, middle ear fibrosis, and TM
edema.
 The CHL usually predominately affects the low frequencies.
Mixed hearing loss
 May exist if underlying sensorineural hearing loss (SNHL) was present
before the onset of AOM.
99. Epistaksis
Penatalaksanaan
• Perbaiki keadaan umum
– Nadi, napas, tekanan darah

• Hentikan perdarahan
– Bersihkan hidung dari darah & bekuan
– Pasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin
1/5000-1/10000 atau lidokain 2%
– Setelah 15 menit, lihat sumber perdarahan

• Cari faktor penyebab untuk mencegah rekurensi


– Trauma, infeksi, tumor, kelainan kardiovaskular, kelainan darah,
kelainan kongenital
Epistaksis
• Epistaksis anterior:
– Sumber: pleksus kisselbach plexus atau a. ethmoidalis
anterior
– Dapat terjadi karena infeksi & trauma ringan, mudah
dihentikan.
– Penekanan dengan jari selama 10-15 menit akan menekan
pembuluh darah & menghentikan perdarahan.
– Jika sumber perdarahan terlihat  kauter dengan AgNO3, jika
tidak berhenti  tampon anterior 2 x 24 jam.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Epistaksis
• Epistaksis Posterior
– Perdarahan berasal
dari a. ethmoidalis
posterior atau a.
sphenopalatina, sering
sulit dihentikan.
– Terjadi pada pasien
dengan hipertensi
atau arteriosklerosis.
– Terapi: tampon
bellocq/posterior
selama 2-3 hari.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
100. Otosklerosis
• Otosklerosis
– Spongiosis tulang stapes (tersering)  rigid  tidak bisa menghantarkan
suara ke labirin
– Otosklerosis terkait faktor genetik, ¼-2/3 pasien memiliki saudara dengan
kelainan serupa.
– Rasio perempuan: laki-laki 2:1.
– Ketulian mulai timbul pada usia 10-30 tahun dan bersifat progresif.

• Gejala & tanda:


– Tuli bilateral progresif, tetapi asimetrik
– Tinnitus
– Paracusis Willisii: mendengar lebih baik pada ruangan ramai
– Schwarte sign: membran timpani eritema karena vasodilatasi pembuluh darah
promontorium.
– Tuba Eustachius intak, tidak ada riwayat trauma atau penyakit telinga lain

• Terapi: stapedectomy atau stapedomy; diganti dengan prosthesis.


Otosklerosis
• Diagnosis:
– Membran timpani utuh, normal, mungkin
berwarna kemerahan akibat pelebaran pembuluh
darah promontium (Schwarte’s sign)
– Tuba paten tanpa riwayat penyakit telinga/trauma
telinga sebelumnya
– Diperkuat dengan pemeriksaan audiometri nada
murni dan impedance

Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009

Anda mungkin juga menyukai