A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan anamnesis kasus-kasus neurologi.
2. Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan pasien baik secara verbal maupun non verbal.
a. Mengucapkan salam
b. Memperkenalkan diri
c. Menanyakan identitas pasien
d. Memohon izin untuk melakukan anamnesis
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Sebagaimana bidang ilmu lainnya, pengobatan di bidang neurologi hanya berhasil dengan baik bila sebelumnya dapat
ditegakkan suatu diagnosis yang baik. Suatu diagnosis ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan. Pemeriksaan diawali dengan
menanyakan riwayat penyakit (anamnesis) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan tertentu
berdasarkan kebutuhan yang diperlukan.
Di dalam anamnesis ini perlu dicantumkan dengan jelas data pribadi yang meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pekerjaan serta alamat yang jelas. Untuk memperoleh data yang baik diperlukan metode anamnesis yang sistematik seperti
skema yang tertera dibawah ini:
Riwayat penyakit:
a. Data pribadi meliputi:
- Nama :
- Umur :
- Jenis kelamin :
- Pekerjaan :
- Alamat :
a. Tanggal pemeriksaan
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit lainnya
e. Riwayat sebelum sakit
f. Riwayat sistem tubuh lainnya
g. Riwayat keluarga
h. Latar belakang sosial dan pekerjaan
A. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering timbul pada anamnesis neurologi adalah:
a. Kesemutan atau rasa baal
Keluhan ini timbul akibat terganggunya sistem saraf perifer. Kadang timbul akibat kekurangan vitamin neurotropik
seperti B1, B6, B12.
b. Kelemahan otot
Kelemahan otot dapat bersifat umum misalnya pada penyakit distrofi muskular atau bersifat lokal karena gangguan
neurologis pada otot misalnya pada Morbus Hansen, adanya paralisis peroneal atau pada penyakit poliomielitis.
Yang perlu diperhatikan pada kelainan otot adalah:
- Waktu dan sifatnya, apakah terjadi secara bertahap atau secara tiba-tiba.
- Perlu diketahui batas dari bagian tubuh yang mengalami kelemahan otot, apakah kelainan ini mengenai
badan atau tungkai.
- Bersifat regresi atau spontan.
- Apakah disertai dengan kelainan sensoris misalnya parestesia, hipestesia atau hiperestesia.
- Apakah kontrol sfingter terganggu.
- Apakah kelainan ini menimbulkan kecacatan.
- Riwayat pengobatan sebelumnya.
c. Gangguan sensibilitas
Gangguan sensibilitas terjadi bila ada kerusakan saraf pada upper /lower motor neuron baik yang bersifat lokal
maupun menyeluruh. Gangguan sensibilitas dapat pula terjadi bila ada trauma atau penekanan pada saraf. Perlu
diketahui apakah gangguan ini bertambah berat atau malah makin berkurang.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Setelah kita mengetahui keluhan utama, terutama keluhan yang disebutkan diatas sehingga penderita datang kepada
kita, makan kita harus melakukan anamnesis yang teratur dan terarah tentang kemungkinan penyakit yang diderita
mengenai beberapa hal, seperti lamanya keluhan, apakah keluhan ini terus menerus atau sewaktu mengalami
aktifitas, apakah ada hubungannya dengna organ lain.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 1 Blok IX FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Ruang kerja dokter
3. Langkah Kerja
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan anamnesis dan meminta izin kepada pasien untuk melakukan anamnesis.
4. Menanyakan keluhan utama.
5. Menanyakan riwayat penyakit sekarang.
6. Menanyakan riwayat penyakit lainnya.
7. Menanyakan riwayat sebelum sakit.
8. Menanyakan riwayat sistem tubuh lainnya.
9. Menanyakan riwayat keluarga.
10. Menanyakan latar belakang sosial dan pekerjaan.
PENUNTUN LKK 2 BLOK IX: PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI UMUM
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan pemeriksaan gerak aktif.
2. Melakukan pemeriksaan refleks fisiologis.
a. Refleks biseps
b. Refleks triseps
c. Refleks brachioradialis
d. Refleks patella
e. Refleks achilles.
3. Melakukan pemeriksaan refleks patologis.
a. Refleks Hoffman Tromer
b. Refleks Babinski
c. Refleks Oppenheim
d. Refleks Gordon
e. Refleks Schaefer
f. Refleks Chaddock
g. Refleks Rossolimo
4. Melakukan pemeriksaan rangsang meningeal.
a. Tes kaku kuduk
b. Tes Laseque
c. Tes Kernig
d. Tes Brudzinski I,II, dan III
e. Tes Patrick dan kontra Patrick
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Pemeriksaan sistem motorik sebaiknya Sebagian besar manifestasi objektif kelainan saraf bermanifestasi
dalam gangguan gerak otak.
Pemeriksaan refleks fisiologis merupakan satu kesatuan dengan pemeriksaan neurologi lainnya.
Pemeriksaan ini kurang bergantung pada kooperasi pasien. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada orang yang
menurun kesadarannya, bayi, anak bahkan orang yang gelisah. Pemeriksaan refleks penting karena lebih objektif
daripada pemeriksaan lainnya.
Dalam praktek sehari-hari, kita biasanya memeriksa 2 macam refleks, yaitu refleks dalam dan refleks
superfisial. Namun pada skill lab ini kita hanya akan mememeriksa refleks dalam, yang timbul oleh regangan otot
sebagai jawaban rangsang, sehingga otot akan berkontraksi. Yang akan diperiksa adalah refleks Biseps, Triseps,
Brachioradialis, Patella, dan Achilles.
Refleks patologis ditemukan pada kelainan-kelainan neurologi. Yang akan diperiksa adalah refleks
Hoffman Tromer, Babinski, Oppenheim, Gordon, Schaefer, Chaddock, dan Rossolimo.
Pemeriksaan rangsang meningeal dilakukan bila diduga terdapat radang selaput otak atau terdapat
subarachnoid yang dapat merangsang selaput otak. Rangsang selaput otak dapat memberikan beberapa gejala
antara lain kaku kuduk, Lasegue sign, Kernig sign, Brudzinski I,II,III dan Patrick dan kontra Patrick sign.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 3 Blok IX FK UMP
2. Ruang kerja dokter
3. Tempat tidur
4. Palu refleks
3. Langkah Kerja
Pemeriksaan Gerak Aktif
Dalam praktek sehari-hari, tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan angka 0 sampai 5
a. Pemeriksaan dimulai dari regio biceps dan triceps. Minta pasien untuk mengangkat kedua lengan atas ke
anterior. Berikan tahanan oleh pemeriksa. Bandingkan kekuatan otot m.deltoideus kanan dan kiri pasien.
b. Minta pasien untuk mengekstensikan regio antebrachii dan anterofleksi seperti membawa nampan. Minta
pasien memejamkan mata dan bertahan pada posisi tersebut selama 10 hitungan. Bila ada kelemahan
ekstremitas superior, maka lengan akan pronasi dan jatuh.
c. Periksa tangan pasien dan carilah adanya atrofi otot intrinsik, oto thenar dan hipothenar. Periksa
genggaman pasien dengan memintanya menggenggam jari pemeriksa sekuat-kuatnya dan tidak
melepaskan genggamannya saat pemeriksa mencoba menarik jarinya.
d. Pasien dalam posisi berbaring. Minta pasien mengangkat tungkai dengan fleksi sendi panggul melawan
tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan dengan sisi sebelahnya.
e. Periksa adduksi tungkai dengan meletakkan tangan pemeriksa pada sisi dalam paha dan mintalah pasien
untuk mengadduksi kedua tungkai.
f. Periksa ekstensi lutut dengan meletakkan tangan pemeriksa di bawah lutut dan pergelangan kaki, mintalah
pasien ekstensi lutut melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan sisi sebelahnya.
g. Minta pasien melakukan plantar fleksi kaki sekuat mungkin melawan tahanan pemeriksa.
b. Refleks Triseps
- Lengan pasien diletakkan di atas lengan pemeriksa. Pukul tendo triseps melalui fossa olekrani.
- Respon : ekstensi lengen di bawah siku. (positif jika normal)
c. Refleks Brachioradialis
- Pukul tendo brachioradialis pda radius distal dengan palu refleks.
- Respon : fleksi lengan bawah dan supinasi lengan. (positif jika normal)
d. Refleks Patella
- Pasien duduk dengan posisi tungkai terjuntai. Alihkan perhatian pasien dengan memintanya
meletakkan tangan yang tercekam. Ketuk daerah tendo patella dengan palu refleks
- Respon : pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadriseps, ekstensi tungkai bawah (positif jika
normal)
e. Refleks Achilles
- Pasien berbaring terlentang. Kaki yang akan diperiksa ditumpangkan pada os. Tibia kaki lainnya.
- Satu tangan pemeriksa memegang jari-jari kaki yang akan diperiksa, sedangkan tangan yang lain
mengetuk tendo Achilles.
- Respon : plantarfleksi kaki. (positif jika normal)
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mendeteksi gangguan menghidu, mengetahui apakah gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan
saraf atau penyakit hidung lokal.
2. Memeriksa fungsi otot-otot ekstrinsik dan intrinsik bola mata.
3. Memeriksa fungsi sensoris dan motoris N.V.
4. Memeriksa fungsi motorik dan fungsi pengecapan.
5. Memeriksa fungsi motorik N.IX dan N.X.
6. Memeriksa fungsi otot yang disarafi oleh N.XI.
7. Menilai fungsi otot ekstrinsik dan intrinsik lidah yang dipersarafi N.XII.
B. Pelaksanaan
1. Landasan teori
Terdapat dua belas pasang saraf kranial yang meninggalkan otak dan melintas melalui lubang-lubang pada
tengkorak, dan biasanya dinyatakan dengan angka Romawi, I-XII. Memeriksa saraf kranial dapat membantu kita
menentukan lokasi dan jenis penyakit.
2. Media dan alat pembelajaran
1. Penuntun LKK 4 Blok IX FK UMP
2. Ruang kerja dokter
3. Tempat tidur
4. Teh
5. Kopi
6. Alkohol
7. Kapas
8. Penggaris
9. Senter
10. Garam
11. Gula
12. Bubuk Cabe
13. Asam Jawa
14. Pil Kina
3. Langkah Kerja
Saraf Kranial I (nervus Olfaktorius, N.1)
Cara Pemeriksaan
a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau polip. Zat
pengetes yang digunakan misalnya kopi, teh, alkohol.
b. Tutup kedua mata pasien. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan suruh ia menciumnya. Tiap
lubang hidung diperiksa satu per satu dengan menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan.
Saraf Kranial III (nervus Okulomotorius, N.III), Saraf Kranial IV (nervus Trokhlearis, N.IV), Saraf
Kranial VI (nervus Abduscens, N.VI)
Cara Pemeriksaan
Selagi berwawancara dengan pasien perhatikan celah matanya apakah ada ptosis, eksoftalmus, enoftalmus dan
apakah ada strabismus.
Ptosis
a. Pasien diminta membuka matanya dan melihat ke depan. Normalnya batas kelopak mata atas akan
memotong iris pada titik yang sama secara bilateral
b. Bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah, atau bila pasien mendongakkan kepala
sebagai kompensasi, maka dapat dicurigai sebagai ptosis.
Cara Pemeriksaan
Sensibilitas
a. Beritahukan pada pasien bahwa pemeriksa akan memeriksa sensibilitas di daerah wajah
b. Gunakan kapas untuk memeriksa sensibilitas daerah wajah ini, mulai dari dahi, pipi dan dagu.
Gambar 3. Daerah Sensibilitas N.V cabang I (ramus oftalmik),II (ramus maksilaris) dan III (ramus
mandibularis)
Motorik
a. Pasien diminta merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian pemeriksa meraba m. Masseter dan
m. Temporalis. Perhatikan besar, tonus, serta bentuknya.
b. Minta pasien membuka mulut dan perhatikan adanya deviasi rahang bawah. Bila ada parese, maka
rahang bawah akan berdeviasi ke arah yang lumpuh.
Refleks Kornea
a. Minta pasien melirik ke arah superior lateral, kemudian dari arah lain tepi kornea disentuh dengan
ujung kapas yang agak basah
b. Bila mata spontan menutup, maka refleks kornea dikatakan positif.
d. Minta pasien menyeringai, mencucurkan bibir dan menggembungkan pipi. Apakah hal ini dapat
dilakukan dan apakah ada asimteri.
e. Bangkitkan gejala Chvostek dengan cara mengetok bagian depan telinga. Bila positif, ketokan
menyebabkan kontraksi otot yg disarafi N.VII. Dasar gejala Chvostek adalah bertambah pekanya
N.VII terhadap rangsang mekanik.
Fungsi Pengecapan
a. Minta pasien menjulurkan lidah, kemudian pemeriksa menaruh gula, pil kina, asam jawa, bubuk cabe
dan garam (lakukan secara bergantian, diselingi dengan istirahat).
b. Bila bubuk ditaruh, pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan tersebar
ke bagian mulut lainnya.
c. Pasien diminta menyatakan pengecapan yang dirasakannya.
Saraf Kranial IX (nervus Glosofaringeus, N.IX) dan Saraf Kranial X (nervus Vagus, N.X)
Cara Pemeriksaan
a. Minta pasien mengucapkan kata-kata, misalnya “Riri lari-lari sambil melihat lorong-lorong”.
Perhatikan apakah pasien dapat mengucapkan kata-kata tersebut dengan baik, apakah terdengar
bindeng (sengau). Pada kelumpuhan N.IX dan N.X, palatum molle tidak sanggup menutup jalan ke
hidung sewaktu berbicara, sehingga didapatkan suara hidung bindeng
b. Pasien diminta membuka mulut. Perhatikan palatum molle dan faring. Minta pasien mengucapkan
“aaaaaaa”, bila terdapat parese, maka uvula akan tertarik ke sisi yang sehat.
ANAMNESIS MUSKULOSKELETAL
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
a. Melakukan anamnesis orthopedi :
2. Menanyakan keluhan utama yang sering pada kasus orthopedi :
Trauma
Nyeri
Kekakuan pada sendi
Pembengkakan
Deformitas
Instabilitas sendi
Kelemahan otot
Gangguan sensibilitas
Gangguan atau hilangnya fungsi
Jalan pincang
3. Riwayat penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit lainnya
5. Riwayat sebelum sakit
6. Riwayat sistem tubuh lainnya
7. Riwayat keluarga
8. Latar belakang sosial dan pekerjaan
b. Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan pasien baik secara verbal maupun non verbal
1. Mengucapkan Salam
2. Memperkenalkan diri
3. Menanyakan indentitas pasien
4. Memohon izin untuk melakukan anamnesis
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Sebagaimana bidang ilmu lainnya, pengobatan bedah orthopedi hanya berhasil dengan baik bila
sebelumnya dapat ditegakkan suatu diagnosis yang baik. Suatu diagnosis ditegakkan melalui beberapa
pemeriksaan. Pemeriksaan diawali dengan menanyakan riwayat penyakit (anamnesis) dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan tertentu berdasarkan kebutuhan yang diperlukan.
Di dalam anamnesis ini perlu dicantumkan dengan jelas data pribadi yang meliputi nama, umur, jenis
kelamin, pekerjaan serta alamat yang jelas.
Untuk memperoleh data yang baik diperlukan metode anamnesis yang sistematik seperti skema yang tertera
dibawah ini:
Riwayat penyakit:
i. Data pribadi meliputi:
- Nama :
- Umur :
- Jenis kelamin :
- Pekerjaan :
- Alamat :
j. Tanggal pemeriksaan
k. Keluhan utama
l. Riwayat penyakit sekarang
m. Riwayat penyakit lainnya
n. Riwayat sebelum sakit
o. Riwayat sistem tubuh lainnya
p. Riwayat keluarga
q. Latar belakang sosial dan pekerjaan
B. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering timbul pada anamnesis orthopedi adalah:
1. Trauma
Hal-hal yang perlu diketahui :
- Waktu terjadinya
- Cara terjadinya
- Lokalisasi traauma
2. Nyeri
Nyeri adalah gejala tersering yang ditemukan pada kelainan bedah orthopedi.
Sifat-sifat nyeri yang perlu diketahui :
- Lokasinya (lokal atau difus), harus ditunjuk dengan tepat oleh penderita.
- Karakteristiknya (menusuk, terbakar, seperti disayat, atau tumpul).
- Gradasi nyeri (1-4).
- Intensitas nyeri, apakah berkurang apabila beristirahat.
- Agravation, apakah nyeri akan bertambah bila beraktivitas, pada aktivitas mana nyeri akan
bertambah apakah pada saat berdiri, berjalan, duduk, batuk, bersin, defekasi.
- Pada umumnya nyeri akan bertambah berat apabila ada gerakan setempat dan berkurang
apabila istirahat.
- Variasi sehari-hari, apakah pada waktu pagi/malam lebih nyeri atau lebih baik.
- Tekanan pada saraf atau akar saraf akan memberikan gejala nyeri yang disebut radiating pain
misalnya pada skiatika dimana nyeri menjalar mulai dari bokong sampai anggota gerak bawah
sesuai dengan distribusi saraf.
- Nyeri lain yang disebut nyeri kiriman atau referred pain adalah nyeri pada suatu tempat yang
sebenarnya akibat kelainan dari tempat lain misalnya nyeri lutut akibat kelainan pada sendi
panggull. Kelainan pada saraf akan memberikan gangguan sensibilitas berupa hipestesia,
anestesia, parestesia, hiperestesia.
3. Kekakuan pada sendi
Kelainan ini bersifat umum misalnya pada artritis reumatoid, ankilosing spondilitis atau bersifat lokal pada
sendi-sendi tertentu. Locking merupakan suatu kekakuan sendi yang terjadi tiba-tiba akibat blok secara
mekanis pada sendi oleh tulang rawan atau meniskus.
4. Pembengkakan
Pembengkakan dapat terjadi pada jaringan lunak, sendi atau tulang. Penting untuk diketahui riwayat
pembengkakan yang terjadi apakah setelah suatu trauma atau tidak, apakah terjadi secara perlahan
misalnya pada hematoma/hemartrosis atau progresif dalam beberapa waktu. Pembengkakan dapat
disebabkan oleh infeksi, tumor jinak atau ganas.
5. Deformitas
Deformitas dapat terjadi pada sendi, anggota gerak atau tempat-tempat lain. Deformitas dapat pada satu
sendi atau lebih dari satu sendi (bersifat umum).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang deformitas adalah:
- Onset (kapan terjadi)
- Perubahan, apakah deformitas makin berrtambah setelah selang waktu tertentu.
- Karakter/sifat-sifat deformitas, apakah bertambah dengan adanya inflamasi dan kekakuan
sendi.
- Kecacatan, apakah deformitas menimbulkan kecacatan dan seberapa jauh keadaan ini
menimbulkan gangguan pada aktivitas sehari-hari.
- Herediter, apakah ada riwayat keluarga misalnya ditemukan kelainan yang sama pad anggota
keluarga yang lain.
- Riwayat pengobatan, apakah deformitas terjadi setelah suatu pengobataan.
6. Instabilitas sendi
Perlu diketahui apakah kelainan yang ada menyebabkan ketidakstabilan sendi dan ditelusuri pula
penyebabnya apakah karena kelemahan otot atau kelemahan/robekan pada ligamen dan selaput sendi.
7. Kelemahan otot
Kelemahan otot dapat bersifat umum misalnya pada penyakit distrofi muskular atau bersifat lokal karena
gangguan neurologis pada otot misalnya pada Morbus Hansen, adanya paralisis peroneal atau pada
penyakit poliomielitis.
Yang perlu diperhatikan pada kelainan otot adalah:
- Waktu dan sifatnya, apakah terjadi secara bertahap atau secara tiba-tiba.
- Perlu diketahui batas dari bagian tubuh yang mengalami kelemahan otot, apakah kelainan ini
mengenai badan atau tungkai.
- Bersifat regresi atau spontan.
- Apakah disertai dengan kelainan sensoris misalnya parestesia, hipestesia atau hiperestesia.
- Apakah kontrol sfingter terganggu.
- Apakah kelainan ini menimbulkan kecacatan.
- Riwayat pengobatan sebelumnya.
8. Gangguan sensibilitas
Gangguan sensibilitas terjadi bila ada kerusakan saraf pada upper /lower motor neuron baik yang bersifat
lokal maupun menyeluruh. Gangguan sensibilitas dapat pula terjadi bila ada trauma atau penekanan pada
saraf. Perlu diketahui apakah gangguan ini bertambah berat atau malah makin berkurang.
9. Gangguan atau hilangnya fungsi
Gejala ini merupakan gejala yang sering ditemui pada kelainan bedah orthopedi. Gangguan atau hilangnya
fungsi baik pada sendi maupun anggota gerak dapat disebabkan oleh berbagai sebab seperti gangguan
fungsi karena nyeri yang terjadi setelah trauma, adanya kekakuan sendi atau kelemahan otot.
10. Jalan pincang
Kelainan ini memerlukan anamnesis dan pemeriksaan yang lebih teliti untuk mengetahui adanya kelainan
bawaan, trauma, infeksi atau sebab lain sebelumnya.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 2 Blok IX FK UMP
2. Ruang kerja dokter
3. Pasien simulasi
3. Langkah Kerja
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan anamnesis dan meminta izin kepada pasien untuk melakukan anamnesis.
4. Menanyakan keluhan utama.
5. Menanyakan riwayat penyakit sekarang.
6. Menanyakan riwayat penyakit lainnya.
7. Menanyakan riwayat sebelum sakit.
8. Menanyakan riwayat sistem tubuh lainnya.
9. Menanyakan riwayat keluarga.
10. Menanyakan latar belakang sosial dan pekerjaan.
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Mengidentifikasi titik-titik penanda anatomi pada tubuh manusia.
2. Menyimpulkan kemungkinan gangguan muskuloskeletal yang terjadi dengan bantuan titik-titik penanda
anatomi tersebut.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Anatomi klinik adalah suatu ilmu yang mempelajari struktur makroskopik dan fungsi tubuh yang
berhubungan dengan praktik kedokteran dan ilmu kesehatan lainnya. Kepentingan anatomi klinik dalam
gangguan musculoskeletal sangatlah penting karena membantu seorang dokter untuk memahami adanya
kelainan pada struktur anatomi normal, sehingga seorang dokter dapat menegakkan diagnosis dengan tepat dan
menyarankan pemeriksaan penunjang yang tidak mubazir.
Seluruh deskripsi tubuh manusia didasarkan pada anggapan bahwa orang berdiri tegak, ekstremitas
superior berada di samping tubuh, dengan wajah serta telapak tangan menghadap ke depan. Posisi ini
dinamakan posisi anatomi. Beberapa bagian tulang dapat dijadikan penanda keadaan normal suatu struktur
anatomi, misalnya tuberculum majus dan minus os humeri, olecranon os ulna, processus styloideus os radius
dan os ulna, serta masih banyak lagi.
Kemungkinan gangguan musculoskeletal yang dapat diketahui dengan berubahnya posisi anatomi
misalnya fraktur pada tulang-tulang besar, atau dislokasi pada sendi-sendi besar. Misalnya dislokasi articulatio
coxae yang dapat menimbulkan perubahan posisi tubuh pada saat berdiri.
Gambar 1: Posisi anatomi tubuh manusia
Sumber: www.mananatomy.com
Gambar 2. Os femur
Sumber: www.
11. Melakukan pemeriksaan tulang pelvis.
a. Raba SIAS dan os ilium, periksa kesimetrisannya (bisa ditandai dengan spidol lalu ukur dengan
penggaris).
b. Lalu os coxae sedikit digoyangkan untuk mengecek stabilitas articulatio coxae. Periksa apakah
ada nyeri atau tidak.
c. Raba simfisis pubis untuk memeriksa kesimetrisannya, lalu tekan untuk mengetahui ada nyeri
tekan atau tidak.
12. Meminta pasien untuk duduk.
13. Melakukan pemeriksaan kepala.
a. Memeriksa os zygomaticus
- Tekan kedua os zygomaticus untuk melihat ada tidaknya nyeri tekan.
c. Memeriksa mentum.
- Periksa ada tidaknya nyeri tekan dengan menekan mentum.
Lakukan Identifikasi penanda anatomi untuk pemeriksaan fisik musculoskeletal pada pasien ini!
2 Pemeriksaan Musculoskeletal
Meminta pasien untuk duduk
a. Melakukan pemeriksaan kepala.
- Memeriksa os zygomaticus
Tekan kedua os zygomaticus untuk melihat ada tidaknya nyeri tekan.
- Memeriksa mentum: Periksa ada tidaknya nyeri tekan dengan menekan mentum.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teoriz
Pada bidang ilmu bedah orthopedi, pemeriksaan fisik pada dasarnya dibagi menjadi :
1. Pemeriksaan Fisik Umum
2. Pemeriksaan fisik orthopedi
a. Pemeriksaan fisik orthopedi umum
b. Pemeriksaan fisik orthopedi regional
Pemeriksaan fisik ini dilakukan sebagaimana pemeriksaan fisik bidang kedokteran lainnya dan bertujuan
untuk mengevaluasi keadaan fisik penderita secara umum serta melihat apakah ada indikasi penyakit lainnya
selain kelainan muskuloskeletal.
Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika penderita datang ke dokter dengan mengamati
penampakan umum penderita, raut muka, cara berjalan, cara duduk dan cara tidur, proporsi tinggi badan
terhadap anggota tubuh lainnya, keadaan simetris bagian tubuh kiri dan kanan, cara berjalan dan tingkah laku,
ekspresi wajah, kecemasan serta reaksi emosional lainnya untuk melihat aspek-aspek emosional dam somatis
dari penderita.
1. Status Lokalis
Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dengan urut-urutan sebagai berikut :
Inspeksi (look)
Palpasi (feel)
Kekuatan otot (power)
Penilaian gerakan sendi baik aktif maupun pasif (move)
Auskultasi
Uji-uji fisik khusus
INSPEKSI (LOOK)
Pemeriksaan umum dimulai dengan observasi pasien saat memasuki ruang pemeriksaan, melepas pakaian,
duduk, berbaring dan mengenakan pakaian. Observasi ini meliputi:
a. Penampilan umum pasien, wajah, dan gaya berjalan (gait). Untuk analisis gait, pasien diminta untuk
berjalan, dokter menganalisis fase gerakan natural yang berupa heel strike, stance phase, toe off dan swing
phase. Apakah pasien menggunakan alat bantu orthopedi seperti corset, crutch, protesa , harness, brace dan
cane.
b. Sikap badan pasien (posisi): posisi tulang belakang, deformitas sendi, dsb
c. Kesimetrisan dan kontur tubuh: kelainan kongenital atau kelainan didapat pada kontur tubuh, hipertrofi,
pembengkakan, efusi, atrofi, dan deformitas
d. Kulit : warna dan tekstur
e. Jaringan lunak, yaitu pembuluh darah, saraf, otot, tendo, ligamen, jaringan lemak, fasia, kelenjar limfe
f. Tulang dan sendi
g. Sinus dan jaringan parut
PALPASI/ FEEL
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kondisi jaringan, tulang dan sendi, dan gangguan fungsi selama
gerak. Oleh karena itu pengetahuan anatomi sangat penting untuk memahaminya. Penilaian dalam pemeriksaan
ini meliputi:
a. Suhu kulit; panas/dingin, apakah denyutan arteri dapat diraba atau tidak
b. Jaringan lunak; untuk mengetahui adanya spasme otot, atrofi otot, keadaan membran sinovial, adanya
tumor, dan sifat-sifat lainnya, adanya ciran didalam/diluarsendi atau adanya pembengkakan.
c. Nyeri tekan; lokalisasi nyeri, setempat atau refered pain
d. Tulang; diperhatikan bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan dari tulang atau adanya gangguan didalam
hubungan yang normal antara tulang satu dengan lainnya
e. Pengukuran panjang anggota gerak; terutama anggota gerak bawah, juga untuk mengetahui adanya atrofi
atau hipertrofi otot
f. Penilaian deformitas yang menetap; dilakukan apabila sendi tidakd apat diletakkan pada posisi anatomis
yang normal
PERGERAKAN (MOVE)
Pada pergerakan sendi dikenal dua istilah yaitu pergerakan aktif yang merupakan pergerakan sendi yang
dilakukan oleh penderita sendiri dan pergerakan pasif yaitu pergerakan sendi dengan bantuan pemeriksa.
Pada pergerakan dapat diperoleh informasi mengenai :
a. Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif
Apakah gerakan ini menimbulkan sakit
Apakah gerakan ini disertai krepitasi
b. Stabilitas sendi
Terutama ditentukan integritas kedua permukaan sendi dan keadaan ligamen. Pemeriksaan stabilitas sendi
dapat dilakukan dengan memberikan tekanan pada ligamen dan pengamatan gerakan sendi
c. Pemeriksaan ROM (range of motion)
Pemeriksaan batas gerakan sendi harus dicatat dalam setiap pemeriksaan ortopedi yang meliputi batas
gerakan aktif dan pasif
Setiap sendi memiliki nilai batas gerakan normal yang menjadi patokan untuk gerakan abnormal dari
sendi.
AUSKULTASI
Pemeriksaan auskultasi pada bidang bedah orthopedi jarang dilakukan dan biasanya dilakukan bila ada
krepitasi misalnya pada fraktur atau untuk mendengar bising fistula arteriovenosa.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 5 Blok IX FK UMP
2. Ruang kerja dokter
3. Tempat tidur pemeriksaan
4. Meteran
5. Goniometer/busur
6. Alat tulis
3. Langkah Kerja
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
4. Meminta izin pasien untuk melakukan pemeriksaan.
5. Melakukan inspeksi
a. Memperhatikan penampilan umum pasien, wajah, dan gaya berjalan (gait).
b. Memperhatikan sikap badan pasien (posisi tulang belakang, deformitas sendi, dsb.).
c. Memperhatikan kesimetrisan dan kontur tubuh (kelainan kongenital atau kelainan didapat pada kontur
tubuh, hipertrofi, pembengkakan, efusi, atrofi, dan deformitas).
d. Memperhatikan warna dan tekstur kulit.
6. Melakukan palpasi
a. Memeriksa suhu kulit dengan menyentuh permukaan kulit pasien untuk menentukan panas/dingin.
b. Meraba denyutan arteri apakah dapat diraba atau tidak.
c. Memeriksa jaringan lunak (spasme otot, atrofi otot, keadaan membran sinovial, adanya tumor, dll).
d. Menentukan apakah ada nyeri tekan ( lokalisasi nyeri, setempat atau refered pain).
e. Meraba permukaan tulang (bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan dari tulang atau adanya
gangguan didalam hubungan yang normal antara tulang satu dengan lainnya).
f. Mengukur panjang anggota gerak, terutama anggota gerak bawah (true length dan apperent length).
7. Pemeriksaan kekuatan otot
a. Memeriksa kekuatan anggota gerak atas.
- Menyuruh penderita mengangkat kedua anggota gerak atas secara perlahan dan menahan
sebentar lalu membandingkan kanan dan kiri.
- Memeriksa kekuatan lengan atas dengan cara meminta mengabduksikan kedua artikulasio
humeri dan ditahan oleh tangan pemeriksa lalu membandingkan kanan dan kiri.
- Memeriksa kekuatan lengan bawah dengan cara meminta penderita untuk mem-fleksikan kedua
artikulasio cubiti dan ditahan oleh pemeriksa lalu membandingkan kanan dan kiri.
- Memeriksa kekuatan kedua tangan dan membandingkan kanan dan kiri dengan cara bersalaman.
b. Memeriksa kekuatan anggota gerak bawah.
- Meminta penderita untuk berbaring di tempat tidur.
- Menyuruh penderita mengangkat kedua anggota gerak bawah secara perlahan dan
membandingkan kanan dan kiri.
- Memeriksa kekuatan otot-otot paha dengan cara meminta memfleksikan artikulasio coxae dan
ditahan oleh tangan pemeriksa, lalu membandingkan otot paha kanan dan kiri.
- Memeriksa kekuatan otot-otot regio cruris dengan cara meminta pasien untuk memfleksikan
artikulasio genu. Setelah itu pemeriksa meminta pasien untuk mengekstensikan artikulasio genu
sembari tangan pemeriksa memberikan tahanan, lalu bandingkan kanan kiri.
- Memeriksa kekuatan engkel dengan cara meminta pasien untuk melawan tahanan yang diberikan
pemeriksa pada telapak kakinya.
LKK 6 BLOK IX:PEMERIKSAAN FISIK MUSKULOSKELETAL 3
A. Sasaran Pembelajaran:
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
Melakukan Pemeriksaan pergerakan/move dan menentukan ROM pada kasus orthopedi.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
3. Langkah Kerja
1. Pemeriksaan ROM Articulatio Cubiti:
a. Tentukan titik nol pada tubuh pasien sesuai, lalu letakkan titik tengah goniometer/busur pada
titik nol tersebut. Goniometer/busur diletakkan tegak lurus dengan articulation cubiti.
b. Minta pasien memfleksikan lengan bawahnya lalu diukur ROM nya dengan
goniometer/busur. Catat sudut yang dibentuk oleh gerakan fleksi tersebut (bukan sudut antara
lengan bawah dan lengan atas).
c. Minta pasien untuk mengekstensikan lengan bawahnya kembali. Catat sudut yang dibentuk
oleh pergerakan tersebut.
b. Lakukan interpretasi ROM pasien tersebut.
4. Interpretasi Hasil
Mahasiswa melakukan interpretasi hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan, apakah pasien normal atau tidak
normal. Bila ada yang tidak normal, maka mahasiswa menyimpulkan kemungkinan diagnosis orthopedi pasien
tersebut.