Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) atau penyakit kencing manis adalah penyakit
yang disebabkan karena kurangnya produksi insulin oleh pankreas didalam
tubuh tidak secara efektif. Penyebab diabetes melitus sangat kompleks, mulai
dari gaya hidup tidak sehat, lingkungan, faktor genetik, dan lainnya.
Komplikasi DM yang sering dijumpai adalah kaki diabetik yang dapat
bermanifestasi menjadi ulkus dan artropati. Ulkus diabetik merupakan
kelainan tungkai bawah pada diabetes karena gangguan pembuluh darah vena
atau arteri, gangguan persarafan/neuropati serta adanya kondisi infeksi.
Sekitar 15% penderita DM dalam perjalanan penyakitnya akan mengalami
komplikasi ulkus (Muliadi, J. Kurnoli, & Nurjanah, 2018).
Terjadi masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang
DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh
darah. Neuropati, baik neuropati sensosik maupun motorik dan autonomik
akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot. Yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang
luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah
rumitnya pengelolaan kaki diabetes [ CITATION Aru07 \l 1033 ].
Ulkus diabetik merupakan penyakit yang terjadi pada kaki penderita
diabetes melitus, dimana gangguan pada kaki ini akibat adanya gangren.
Gangguan kaki ini dapat terjadi perubahan aktivitas, disebabkan adanya
gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi, amputasi, atau
gangguan pada kaki ini dapat mempengaruhi lamanya seseorang melakukan
perawatan luka, biaya yang dikeluarkan lebih besar pada penderita diabetes
melitus dengan ulkus kaki diabetik, bahkan dapat menyebabkan kematian.

1
2

Diperkirakan setiap tahunnya satu juta pasien yang menderita Ulkus Diabetik
menjalani amputasi ekstremitas bawah (85%) dan angka kematian yaitu 15-
40% setiap tahunnya serta 39-80% setiap 5 tahunnya. Untuk itu, perlu
mengetahui faktor yang berhubungan dengan ulkus kaki diabetik agar dapat
waspada dan mencegah terjadi ulkus kaki diabetik pada penderita diabetes
melitus (Nurhanifah & Banjarmasin, 2017).
WHO dan International Working Group on the Diabetic Foot, kaki
diabetes adalah keadaan adanya ulkus, infeksi, dan atau kerusakan dari
jaringan, yang berhubungan dengan kelainan neurologi dan penyakit
pembuluh darah perifer pada ekstremitas bawah. Gangguan pada aliran darah
dan saraf ini dikarenakan hiperglikemia yang tidak terkontrol. Kejadian DM
yang mengalami ulkus menurut American Diabetes Association
memperkirakan bahwa amputasi kaki ulkus akan terus meningkat 15% orang
dengan DM akan mengalami ulkus selama hidup mereka, dan 24% orang
dengan ulkus kaki akan memerlukan amputasi (Yoyoh & Mutaqqijn, 2016).
Prevalensi penderita diabetes mellitus dengan ulkus kaki diabetik di
Indonesia sekitar 15%. Angka amputasi penderita ulkus kaki diabetik 30%,
angka mortalitas penderita ulkus kaki diabetik 32% dan ulkus kaki diabetik
merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk
diabetes melitus. Penderita ulkus kaki diabetik di Indonesia memerlukan
biaya yang tinggi sebesar Rp. 1,3 juta - Rp. 1,6 juta perbulan dan Rp. 43,5
juta pertahun untuk seorang penderita (Nurhanifah & Banjarmasin, 2017).
Prevalensi Diabetes Melitus yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI
Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan
Kalimantan Timur (2,3%). Dari jumlah kenaikan insidensi penyakit Diabetes
mellitus tersebut, Diabetes Mellitus Tipe II merupakan jenis yang paling
banyak ditemukan yaitu lebih dari 90% kasus (Tipe, Di, Kerja, & Juanda,
2018).
Ulkus kaki dan amputasi merupakan konsekuensi dari neuropati
diabetik dan penyakit arteri perifer yang biasa terjadi merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pada penderita diabetes. Pengenalan dini dan
perawatan pasien yang kurang efektif dengan perawatan luka kaki akan
3

berisiko untuk amputasi. Amputasi merupakan cara yang dapat menunda atau
mencegah hasil yang lebih merugikan (Azizah, Intan, Tulak, Kurniawan, &
Iswanti, 2017).
Dampak yang diakibatkan oleh ulkus Diabetik begitu kompleksnya, hal
ini berdasarkan penelitian (Herber, Schnepp, & Rieger, 2007) di Jerman,
dalam penelitian ini dikemukakan bahwa 24% dari payusien ulkus yang
berobat memiliki masalah bau pada ulkus, ulkus Diabetik yang menimbulkan
bau memiliki efek negatif pada kehidupan sosial pasien, salah satunya
menyebabkan kecemasan yang tinggi dan depresi, maupun perubahan body
image, efek dari masalah ulkus Diabetik bisa menyebabkan hubungan dengan
lingkungan menurun, seperti merasa malu karena bau dari ulkus Diabetik.
Tujuan utama dari tatalaksana ulkus kaki diabetik adalah untuk penyembuhan
luka yang lebih baik. Permasalahan yang sering ditemukan pada pasien
pulang dari rumah sakit adalah kondisi ulkus. Diabetik belum sembuh total
karena membutuhkan waktu perawatan yang lama, besarnya biaya perawatan
dan menurunnya produktivitas yang berdampak pada pasien harus pulang
ketika kondisi luka belum sembuh total. Sehingga pasien diharapkan bisa
melanjutkan perawatan ulkus Diabetik secara mandiri di rumah, dengan
harapan terhindar terjadinya komplikasi lanjut dan amputasi (Basri, 2019).
Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan
“pancung” (Bararah dan Jauhar, 2012) dalam (Suwito, 2014) menyatakan
bahwa “amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh
sebagian atau seluruh bagian ekstremitas.Tindakan ini merupakan tindakan
yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang
terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan
menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan
keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain
seperti timbulnya komplikasi infeksi” (Mandiri, Rachmat, & Priangi, 2019).
Sekitar 1,6 juta orang dengan amputasi tinggal di Amerika
Serikat,dengan sekitar 65% mengalami amputasi anggota gerak bawah.
Sekitar 1 juta orang amputasi lower limb dikarenakan oleh vascular disease.
Amputasi yang paling sering dilakukan ialah amputasi pada toe (33,2%),
4

trans tibial (28,2%), transfemoral (26,1%), dan amputasi pada foot (10,6%).
Ankle disarticulation (Syme), knee disarticulation, hip disarticulation, dan
amputasi hemipelvictomy sekitar 1,5% (Mandiri et al., 2019).
Ketika divonis amputasi diterima oleh klien maka respon psikologis
yang akan muncul fase-fase sebelum masuk kepada kondisi kemampuan
dalam menyesuaikan diri saat menghadapi tekanan (resiliensi). Tahapan
tersebut terdiri dari tahap penolakan (denial), marah (anger), tawar-menawar
(bargaining), depresi (depression), dan tahap terakhir yaitu penerimaan
(acceptance). Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Tabita,
Ruri, & Kristiana (2017) pada pasien yang telah menjalani keputusan
amputasi akan melewati pengalaman psikologis yang sulit yaitu harus
menerima kondisi fisik yang tidak sempurna seperti dulu, beradaptasi dengan
lingkungan maupun kondisi fisiknya. Ketika keputusan amputasi dilakukan
akan menimbulkan permasalahan lain pada klien seperti gangguan citra
tubuh, keterbatasan dalam beraktivitas, sampai mempengaruhi kondisi
perekonomian disebabkan klien tidak produktif. Meskipun dukungan sosial
dan lingkungan tersedia untuk klien, kondisi ini tidak akan memberikan nilai
positif pada klien pasca amputasi. (Christanty, 2013).
Studi pendahuluan yang dilakukan difasilitas pelayanan kesehatan
(Fasyankes) Nature Centre Indonesia (NCI) diperoleh data jumlah klien pada
tahun 2019 sebanyak 108 orang, dimana 66 orang dengan diagnosis Diabetik
foot Ulcer. Menurut Data Laporan Tahunan NCI 2019 dari 66 orang pasien
tersebut 17 diantaranya mengaku divonis amputasi di RS. Wawancara
dilakukan pada 1 orang klien untuk mengkonfirmasi secara subjektif, dan
klien mengaku menolak amputasi dengan alasan klien merasa takut
kehilangan organ tubuh dan juga mereka merasa kecewa, stress ketika divonis
amputasi, selain itu klien juga memutuskan ingin melakukan perawatan
karena telah mendengar keberhasilan dengan metode perawatan luka jauh
lebih baik tanpa amputasi.
5

B. Rumusan Masalah
Penyakit Ulkus diabetik akan mengalami gangguan pembuluh darah,
ganggguan persarafan dan infeksi. Apabila perawatan tidak dilakukan secara
baik maka akan divonis amputasi. Vonis amputasi merupakan hal yang tidak
mudah diterima oleh klien karena akan memberikan dampak negatif setelah
dilakukan tindakan amputasi. Dampak negatif inilah yang membuat klien
akan berupaya mencari alternatif perawatan luka tanpa amputasi. Proses
penerimaan keputusan menolak amputasi diperlukan kemampuan beradaptasi
pada tahapan reseliensi. Resiliensi dapat membuat seseorang lebih
memaknakan hidupnya, membuatnya mampu untuk dapat beraktivitas
walaupun dengan kondisi fisik yang sudah tidak sempurna.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipapar diatas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengalaman klien
dengan penyakit ulkus diabetik yang menolak amputasi di fasilitas pelayanan
kesehatan praktik perawatan luka mandiri di Kalimantan Timur”.

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan proposal ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman
klien dengan ulkus diabetik yang menolak amputasi.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam
melaksanakan asuhan keperawatan dengan klien ulkus diabetik yang
menolak amputasi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan ketika menghadapi klien dengan
situasi menolak vonis amputasi.
6

E. Penelitian Terkait
Penelitian terkait yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya yang berkaitan dengan studi fenomenologi, klien dengan ulkus
diabetik yang menolak amputasi :
1. Widianingsih, N., & Diantina, F. P. (2018). Gambaran Resiliensi Pasien
Komplikasi Ulkus Diabetik Pasca Amputasi. 331–338. Terdapat 14
pasien komplikasi ulkus diabetik pasca amputasi di RSUP Hasan
Sadikin. Mereka mampu bangkit dari keterpurukannya dengan
melakukan berbagai hal positif yang disebut dengan resiliensi. Wagnild
(2014) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas yang dimiliki individu
untuk berkembang dan menyesuaikan diri secara positif meskipun
adanya stres yang dirasakan terus-menerus. Resiliensi terdiri dari 5
aspek, meaningfulness, perseverance, equanimity, self reliance dan
existential aloneness. Resiliensi dapat membuat seseorang lebih
memaknakan hidupnya, membuatnya mampu untuk dapat beraktivitas
walaupun dengan kondisi fisik yang sudah tidak sempurna.Penelitian ini
menggunakan metode studi deskriptif dengan subjek berjumlah 14 orang
pasien. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Resilience
scale 25 (RS-25), dengan reliabilitas 0,973. Dari hasil penelitian,
sebanyak 3 pasien (21,43%) memiliki resiliensi sangat tinggi, 5 pasien
(35,71%) memiliki resiliensi tinggi, 2 pasien (14,29%) memiliki
resiliensi rata-rata, 2 pasien (14,29%) memiliki resiliensi dibawah rata-
rata, 1 pasien (7,14%) memiliki resiliensi rendah dan 1 pasien (7,14%)
memiliki resiliensi sangat rendah. Perbedaan dari penelitian tersebut
terletak pada penggunaaan , teknik pendekatan, tempat penelitian, waktu
penelitian, sample penelitian, dan jenis penelitian. Persamaan dari
penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan variabel
penelitian, partisipan yang akan diteliti.
2. Basri, M. H. (2019). Pengalaman Pasien DMTIPE 2 dalam Melakukan
Perawatan Ulkusdiabetik Secara Mandiri. 4(1), 58–69. Tujuan dari
7

penelitian ini untuk mendapatkan pemahamanyang mendalam tentang


arti dan makna pengalaman pasien Diabetes Melitus tipe 2 dalam
melakukan perawatan secara mandiri di rumah. Penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi dengan sampel tiga
partisipan. Hasil analisa data teridentifikasi tiga tema yaitu perawatan
ulkus diabetik, harapan terhadap pelayanandan perubahan aktivitas. Hasil
penelitian partisipan belum patuh dalam pengaturan diet, kontrol
kesehatan, terapi dan olah raga. Kesimpulan kurangnya pendidikan
kesehatan dan minimnya sumber informasi yang ada di pelayanan
kesehatan dapat menjadikan alasan partisipan tidak patuh. Saran
diperlukan peningkatan pelayanan yang lebih baik terutama dalam hal
pendidikan kesehatan dan akses informasi, membuat leaflet yang
diberikan pada pasien dan keluarga saat berobat dan pendidikan
kesehatan yang berkelanjutan sampai ke lingkungan masyarakat.
Perbedaan dari penelitian tempat penelitian, waktu penelitian, sample
penelitian. Persamaan penelitian menggunakan jenis penelitian dan
metode penelitian.
3. Christanty, D. A. (2013). Hubungan Persepsi Dukungan Sosial dengan
Penerimaan Diri Pasien Penderita Diabetes Mellitus Pasca Amputasi.
2(2), 55–61. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada
hubungan antara persepsi dukungan sosial dengan penerimaan diri pasien
penderita diabetes mellitus pasca amputasi. Penelitian ini dilakukan pada
30 orang yang seluruhnya adalah pasien penderita diabetes mellitus pasca
amputasi. Alat pengumpulan data berupa kuisioner, Inventory of Socially
Supportive Behaviors (ISSB) untuk mengukur persepsi dukungan sosial
yang terdiri dari 40 butir dan Berger’s Self-ac- ceptance Scale untuk
mengukur penerimaan diri yang terdiri dari 36 butir. Analisis data dilaku-
kan dengan menggunakan teknik statistik Spearman’s rho untuk data
non-parametrik, dengan bantuan program statistik SPSS versi 16.0 for
windows. Pada hasil penelitian ini diperoleh taraf signifikansi antara
persepsi dukungan sosial dengan penerimaan diri sebesar 0,716.
Sedangkan besarnya koefisien korelasi (r) antara persepsi dukungan
8

sosial dengan penerimaan diri adalah 0,069. Berdasarkan hasil analisis


data yang diperoleh, penelitian ini menunjukkan tidak ad- anya hubungan
yang positif antara persepsi dukungan sosial dengan penerimaan diri
pasien penderita diabetes mellitus pasca amputasi. Perbedaan dari
penelitian ini teknik penggunaan, waktu penelitian, sample penelitian,
dan jenis penelitian. Persamaan dari penelitian ini ketika keputusan
amputasi dilakukan akan menimbulkan permasalahan lain pada klien
seperti gangguan citra tubuh, keterbatasan dalam beraktivitas, sampai
mempengaruhi kondisi perekonomian disebabkan klien tidak produktif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Konsep Teori Ulkus Diabetik
a. Definisi Ulkus Diabetik
Ulkus diabetik adalah salah satu bentuk komplikasi kronik
Diabetes Mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang
dapat disertai adanya kematian jaringan setempat. Ulkus adalah
rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari
dermis. Ulkus kaki diabetik dapat diikuti oleh penyebaran bakteri ke
seluruh tubuh sehingga terjadi infeksi dan pembusukan, dapat terjadi
di setiap bagian tubuh terutama di bagian distal tungkai bawah
(Angkasa, 2017).
Banyak pasien kaki diabetik dimulai dengan neuropati sensorik,
neuropati otonom dan motor neuropati sensorik. Neuropati sensorik
merupakan faktor pemulai utama untuk ulkus kaki dan infeksi dan
dapat menyebabkan Peradangan dan kerusakan jaringan. Lesi sistem
saraf otonom akan menyebabkan pasien kehilangan kemampuan kulit
untuk mengatur keringat, suhu dan aliran darah, sehingga mengurangi
fl eksibilitas jaringan lokal, membentuk kepompong tebal dan retak
dan melanggar. Tanpa pengobatan yang efektif, organ-organ vital
utama pasien akan rusak. Bahkan jika amputasi terjadi Saat ini,
pengobatan kaki diabetes terutama mencakup manajemen luka,
kontrol glukosa darah, terapi suportif, antiinfeksi dan menjaga
stabilitas lingkungan internal (Lin et al., 2019).
Terjadinya ulkus diabetikum tidak terlepas dari tingginya kadar
glukosa darah pasien diabetes melitus. Tingginya kadar gula darah
yang berkelanjutan dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah kemudian
menimbulkan masalah pada kaki pasien diabetes melitus. Ada tiga

9
10

komplikasi diabetes melitus yang dapat meningkatkan risiko


terjadinya infeksi kaki pada pasien diabetes melitus, yaitu neuropati,
penyakit vaskuler perifer dan penurunan daya imunitas. Ketiga
komplikasi tersebut juga bermula dari tingginya konsentrasi glukosa
dalam darah (Angkasa, 2017)
b. Epidiomologi
Prevalensi kaki diabetes di Amerika Serikat diperkirakan sebesar
4%. Diperkirakan sebesar 5% pasien dengan diabetes pernah
menderita kaki diabetes, dengan lifetime risk sebesar 15%. Sebanyak
60-80% ulkus yang timbul dapat disembuhkan, sedangkan sebesar 10-
15% tidak sembuh dan sisanya sebesar 5-24% berakhir pada amputasi
dalam kurun waktu 6 – 18 bulan (Hendra, Nugraha, Wahyuni, Ayu, &
Saraswati, 2019). Prevalensi penderita diabetes mellitus dengan ulkus
kaki diabetik di Indonesia sekitar 15%. Angka amputasi penderita
ulkus kaki diabetik 30%, angka mortalitas penderita ulkus kaki
diabetik 32% dan ulkus kaki diabetik merupakan sebab perawatan
rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk diabetes melitus.
Penderita ulkus kaki diabetik di Indonesia memerlukan biaya yang
tinggi sebesar Rp. 1,3 juta - Rp. 1,6 juta perbulan dan Rp. 43,5 juta
pertahun untuk seorang penderita (Nurhanifah & Banjarmasin, 2017).
c. Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati,
dan infeksi. Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang
menghilangkan atau menurunkan sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus
dapat terjadi tanpa terasa. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot
tungkai sehingga mengubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi
kaki. Angiopati akan mengganggu aliran darah ke kaki; penderita
dapat merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak tertentu.
Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah
atau neuropati. Ulkus diabetik bisa menjadi gangren kaki diabetik (Pb,
Skp, & Kartika, 2017).
11

d. Patofisiologi
Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut
trias, yaitu: iskemi, neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak
terkendali akan menyebabkan komplikasi kronik neuropati perifer
berupa neuropati sensorik, motorik, dan autonom. Neuropati sensorik
biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi proteksi yang
berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal, sehingga
meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu sensasi
posisi kaki juga hilang.
Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa
iskemi. Hal ini disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya
sirkulasi jaringan yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut
nadi arteri dorsalis pedis, arteri tibialis, dan arteri poplitea;
menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal.
Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga timbul ulkus yang
biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat
dengan aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan kondisi arteri
menebal dan menyempit karena penumpukan lemak di dalam
pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot
kaki karena berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman,
dan dalam jangka lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang
akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada
penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian
distal tungkai berkurang.
DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan
(hyperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan
kapiler, sehingga aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan
nekrosis yang mengakibatkan ulkus diabetikum. Peningkatan HbA1C
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen oleh
12

eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi dan


kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya menjadi ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan
bertambahnya reaktivitas trombosit meningkatkan agregasi eritrosit,
sehingga sirkulasi darah melambat dan memudahkan terbentuknya
thrombus (gumpalan darah) pada dinding pembuluh darah yang akan
mengganggu aliran darah ke ujung kaki.
Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan
sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan
termal, sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Neuropati motorik
mempengaruhi semua otot, mengakibatkan penonjolan abnormal
tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti
hammer toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan
terbatasnya mobilitas, sehingga dapat meningkatkan tekanan plantar
kaki dan mudah terjadi ulkus. Neuropati autonom ditandai dengan
kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler
sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan
timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap trauma
minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol dan
fruktosa yang mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi
menurun, parestesia, serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
Patogenesis ulkus diabetik pada diabetes melitus pada bagan 2 berikut.
13

Diabetes Melitus

Makroangeopati Mikroangeopati

Atherosklerosis Neuropati

Penyempitan okupasi
Neuropati Neuropati Neuropati
Autonom Sensosik Motorik

Iskemia
Kulit kering Kehilangan Kelainan
anhidrosis sensasi bentuk
perlindungan

Simpati tona Stress abnormal


(regulasi darah
yang diferensikan)
Tekanan plantar
tinggi

Pembentukan kalus

Ulkus Diabetik

Amputasi

Skema 2.1 Pathogenesis Ulkus Diabetik


Sumber : Kartika ( 2017) dengan modifikasi
14

e. Klasifikasi Kaki Diabetes


Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkanpada tahun 1970-an,
digunakan secara luas untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.
Tabel 2.1 Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan Wagner- Meggit.
Derajat Keterangan
Derajat 0 simptom pada kaki seperti Nyeri
Derajat 1 Ulkus Superfisial
Derajat 2 Ulkus dalam
Derajat 3 Ulkus sampai mengenai tulang
Derajat 4 Gangren telapak tangan
Derajat 5 Gangren seluruh kaki
Sumber : Pb, A., Skp, I. D. I., & Kartika, R. W. (2017). Pengelolaan
Gangren Kaki Diabetik. 44(1), 18–22.

Gambar 2.1 klasifikasi kaki diabetik

Sumber : https://id.pinterest.com/pin/487444359648632322/

f. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Fisik :
1) Pemeriksaan Ulkus Keadaan Umum Ekstremitas.
Ulkus diabetes cenderung terjadi di daerah tumpuan beban
terbesar, seperti tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari
yang menonjol (jari pertama dan kedua). Ulkus di malleolus
terjadi karena sering mendapat trauma. Kelainan lain yang dapat
15

ditemukan seperti callus hipertropik, kuku rapuh/pecah, kulit


kering, hammer toes, dan fissure.
2) Penilaian Risiko Insufisiensi Arteri Perifer
Pemeriksaan fisik akan rnendapatkan hilang atau
menurunnya nadi perifer. Penemuan lain yang berhubungan
dengan aterosklerosis meliputi bising (bruit) arteri iliaka dan
femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut kaki, sianosis jari kaki,
ulserasi dan nekrosis iskemik, serta pengisian arteri tepi
(capillary refill test) lebih dari 2 detik. Pemeriksaan vaskular non-
invasif meliputi pengukuran oksigen transkutan, anklebrachial
index (ABI), dan tekanan sistolik jari kaki. ABI dilakukan dengan
alat Doppler. Cuff dipasang di lengan atas dan dipompa sampai
nadi brachialis tidak dapat dideteksi Doppler. Cuff kemudian
dilepas perlahan sampai Doppler dapat mendeteksi kembali nadi
brachialis. Tindakan yang sama dilakukan pada tungkai, cuff
dipasang di bagian distal dan Doppler dipasang di arteri dorsalis
pedis atau arteri tibialis posterior. ABI didapat dari tekanan
sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachialis. Bila ankle
brachial index <0,3, pasien didiagnosis critical limb ischemia,
yang berarti iskemi berat.
3) Penilaian Risiko Neuropati Perifer
Tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa
getar dan posisi, hilangnya reflex tendon dalam, ulserasi trofik,
foot drop, atrofi otot, dan pembentukan callus hipertropik
khususnya di daerah penekanan misalnya tumit. Status neurologis
dapat diperiksa menggunakan monofilamen Semmes- Weinsten
untuk mendeteksi “sensasi protektif”. Hasil abnormal jika
penderita tidak merasakan sentuhan saat ditekan sampai
monofilament bengkok. Alat pemeriksaan lain adalah garpu tala
128 Hz untuk sensasi getar di pergelangan kaki dan sendi
metatarsofalangeal pertama. Pada neuropati metabolik intensitas
paling parah di daerah distal. Pada umumnya, seseorang tidak
16

merasakan getaran garpu tala di jari tangan lebih dari 10 detik


setelah pasien tidak dapat merasakan getaran di ibu jari kaki.
Beberapa penderita normal menunjukkan perbedaan antara
sensasi jari kaki dan tangan pemeriksa kurang dari 3 detik.
g. Pencegahan dan pengelolaan kaki diabetik.
Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok
besar, yaitu pencegahankaki diabetes dan ulkus (pencegahan primer
sebelum terjadi perlukaan kulit) dan pencegahan kecacatan yang lebih
parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/ gangren
diabetik). Pencegahan Primer, Penyuluhan cara terjadinya kaki
diabetes sangat penting, harus selalu dilakukan setiap saat. Berbagai
usaha pencegahan sesuai dengan tingkat risiko dengan melakukan
pemeriksaan dini setiap ada luka pada kaki secara mandiri ataupun ke
dokter terdekat. Deformitas (stadium 2 dan 5) perlu sepatu/ alas kaki
khusus agar meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Pencegahan
Sekunder, Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik Kerjasama
multidisipliner sangat diperlukan. Berbagai hal harus ditangani dengan
baik dan dikelola bersama, meliputi: Wound control, Microbiological
control-infection control, Mechanical control-pressure control,
Educational con.

2. Konsep Amputasi
a. Definisi
Amputasi merupakan penghilang ektremitas sebagian total.
Amputasi dapat menjadi akibat proses akut, seperti kejasian traumatic,
atau kondisi kronik, seperti penyakit vaskular perifer atau diabetes
melitus. Tanpa mempertimbangkan penyebab, amputasi melemahkan
untuk pasien. Kehilangan semua atau sebagian ekstremitas memiliki
dampak fisik dan psikososial yang signifikan pada pasien dan
keluarga. Adaptasi dapat memerlukan waktu lama dan memerlukan
lebih banyak usaha. Asuahan kesehatan antardisiplin selalu
diperlukan, tetapi diperlukan secara khusus untuk memenuhi
17

kebutuhan fisik, spiritual, kultural, dan emosi setelah amputasi yang


tidak diharapkan atau direncanakan [ CITATION LeM17 \l 1033 ]
b. Penyebab amputasi
Penyakit vaskuler perifer ( peripheral vasculas disease, PVD)
merupakan penyebab utama amputasi pada ekstremitas bawah.faktor
risiko umum untuk terjadinya PVD,antara lain hipertensi, diabetes,
merokok, dan hyperlipidemia. Neuropati perifer juga menempatkan
orang yang mengalami diabetes melitus berisiko amputasi. Pada
neuropati perifer, kehilangan sensasi sering kali menyebabkan cedera
yang tidak diketahui dan infeksi. infeksi yang tidak ditangani dapat
menyebabkan gangrene/ulkus dan perlu amputasi.
Amputasi akibat dari atau diperlukan dengan gangguan aliran
darah, baik akut maupun kronik.pada situasi trauma akut,eksterimitas
mengalami gangguan berat sebagian atau seluruhnya dan kematian
jaringan terjadi. Akan tetapi, replantasi jari tangan, bagian tubuh yang
kecil, dan seluruh ekstremitas telah berhasil. Pada proses penyakit
kronik, sirkulasi mengalami gangguan, mulai terjadi pembengkakan
vena, protein bocor keinterstisium, dan terjadi edema. Edema
meningkatkan risiko cedera dan kemudian menurunkan sirkulasi.
Terjadi ulkus statis dan telah menjadi terinfeksi karena gangguan
penyembuhan dan gangguan proses imun yang memungkinkan bakteri
berproliferasi.adanya infeksi yang progresif lebih lanjut menurunkan
sirkulasi dan pada akhirnya menyebabkan gangrene (kematian
jaringan), yang memerlukan amputasi.
c. Tingkat Amputasi
Tingkat amputasi ditentukan oleh faktor local dan sistemik.
Faktor local, antara lain iskemia dan gangrene; faktor sistemik, antara
lain status kardiovasklar, fungsi ginjal, dan keparahan diabetes
melitus. Tujuannya adalah meredakan gejala, unutk mempertahankan
kesehatan jaringan dan untuk meningkatkan hasil fungsional. Ketika
memungkinkan, sendi dipelihara karena memungkinkan fungsi
ekstremitas yang lebih besar [ CITATION LeM17 \l 1033 ]
18

d. Jenis amputasi
Amputasi dapat terbuka (guillotine) atau tertutup (flap). Amputasi
terbuka dilakukan ketika infeksi terjadi. Luka tidak menutup, tetapi
tetap terbuka untuk drain. Ketika infeksi tidak lagi terjadi,
pembedahan dilakukan untuk menutup luka. Pada amputasi tertutup,
luka di tutup dengan flap (penutup) kulit yang dihjahit diatas puntung.
e. Penyembuhan tempat amputasi
Agar prostesis pas dengan baik,tempat amputasi harus sembuh
dengan tepat. Untuk meningkatkan penyembuhan, balutan yang kaku
atau tekan diberikan untuk mencegah infeksi dan meminimalkan
edema. Balutan yang dikaku dibuat dengan meletakkan gips pada
punting dan membentuk puntung untuk prostesis yang pas. Balutan
kompresi lunak diberikan ketika pemeriksaan luka yang sering
diperlukan. Ketika balutan jenis ini digunakan, belat terkadang
dipasang untuk membantu membentuk ekstremitas agar pas dengan
prostesis. Setelah luka dibalut, pasien dianjurkan untuk mengeraskan
kulit puntung dengan menekannya pertama kali pada permukaan lunak
dan kemudian permukaan keras. Puntung dibungkus dengan Ace
bandage untuk memungkinkan bentuk kerucut untuk membentuk dan
mencegah edema. [ CITATION LeM17 \l 1033 ]
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah amputasi, antara lain
infeksi, penyembuhan terlambat, nyeri puntung kronik dan nyeri
fantom, serta kontraktur. Infeksi, Secara umum, pasien yang
mengalami amputasi traumatik memiliki risiko infeksi lebih besar
dibandingkan orang yang menjalani amputasi terencana. Akan tetapi,
meskipun amputasi terencana membawa risiko infeksi. pasien lansia,
menderita diabetes melitus, atau menderita penurunan neurovascular
perifer terutama berisiko tinggi untuk infeksi. infeksi dapat terjadi
secara lokal ataupun sistemik. Manifestasi local infeksi, antara lain
drainase, bau, kemerahan, dan peningkatan ketidaknyamanan pada
garis jahitan. Manifestasi sistemik, antara lain demam peningkatan
19

kecepatan jantung, penurunan tekanan darah, mengigil, dan luka


positif atau kultur darah.
Penyembuhan terlambat, Jika terdapat infeksi atau jika sirkulasi
tetap menurun, penyembuhan terlambat (terjadi pada kecepatan yang
lebih lama daripada yang diharapkan) akan terjadi. Pada pasien lansia,
kondisi yang ada sebelumnya dapat meningkatkan risiko
penyembuhan terlambat. Pada pasien semua usia. Ketidakseimbangan
elektrolit dapat berkontribusi pada proses penyembuhan terlambat,
seperti diet yang kurang nutrisi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan
metabolic tubuh yang meningkat selama penyembuhan.
Nyeri puntung kronik dan nyeri limba fantom, nyeri puntung
kronik merupakan akibat dari pembentukan neuroma, menyebabkan
nyeri terbakar hebat. Intervensi untuk meredakan nyeri ini, antara lain
sirkulasi, penyumbatan saraf, stumulasi saraf elektrikal transkutaneus
dan rekontriksi pembedahan puntung. Nyeri limba fantom tidak sama
dengan sensasi limba fantom. Mayoritas orang yang menjalani
amputasi mengalami sensasi limba fantom (seperti kesemutan, baal,
kram, atau gatal pada kaki atau tangan fantom).
Kontraktur, Kontraktur adalah fleksi dan fiksasi sendi yang
abnormal yang disebabkan oleh atrofi dan pemendekan otot.
Kontraktur sendi di atas amputasi merupakan komplikasi yang umum.
Pasien perlu diajarkan untuk mengulurkan sendi dan untuk melakukan
latihan penguatan otot. Pasien yang menjalani amputasi lutut bawah
harus meninggikan puntung, mempertahankan lutut tetap ekstensi.
Immobilizer lutut dapat digunakan untuk mempertahankan ekstensi
sendi. Prinsip yang sama diterapkan pada ekstremitas atas. Semua
sendi harus menerima latihan ROM aktif dan pasif setiap 2 hingga 4
jam. Medikasi digunakan untuk mengelola nyeri , mencegah atau
menangani infeksi, dan jika diperlukan untuk mempertahankan curah
jantung dan perpufi jaringan. Pasca operasi, pasien melanjutkan
kembali semua medikasi yang diprogramkan secara rutin dan selain
20

itu dapat menerima antibiotik dan analgesik. Steroid dapat diberikan


untuk mengurangi pembengkakan [ CITATION LeM17 \l 1033 ].
g. Penatalaksanaan Amputasi
Tujuan utama pembedahan adalah mencapai penyembuhan luka
amputasi dan  menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri
tekan dengan kulit yang sehat. pada lansia mungkin mengalami
kelembatan penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan masalah
kesehatan lainnya. Percepatan penyembuhan dapat dilakukan dengan
penanganan yang lembut terhadap sisa tungkai, pengontrolan edema
sisa tungkai dengan balutan kompres lunak (rigid) dan menggunakan
teknik aseptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi.
Balutan rigid tertutup, Balutan rigid adalah balutan yang
menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi.
Pada waktu memasang balutan ini harus direncanakan apakah
penderita harus imobilisasi atau tidak dan pemasangan dilengkapi
tempat memasang ekstensi prosthesis sementara (pylon) dan kaki
buatan. Balutan ini sering digunakan untuk mendapatkan kompresi
yang merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri dan
mencegah kontraktur. Kaoskaki steril dipasang pada sisi steril dan
bantalan dipasang pada daerah peka tekanan. Sisa tungkai (punting)
kemudian dibalut dengan gips elastic yang ketika mengeras akan
memberikan tekanan yang merata. Hati-hati jangan sampai menjerat
pembuluh darah. Gips diganti sekitar 10-14 hari. Bila terjadi
peningkatan suhu tubuh, nyeri berat atau gips mulai longgar harus
segara diganti.
Balutan lunak, Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat
digunakan bila diperlukan inspeksi berkala sisa tungkai (puntung)
sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada balutan.
Hematoma puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk
meminimalkan infeksi.
Amputasi bertahap, Amputasi bertahap dilakukan bila ada
gangren atau infeksi. Pertama-tama dilakukan amputasi guillotine
21

untuk mengangkat semua jaringan nekrosis dan sepsis. Luka


didebridemen dan dibiarkan mengering. Jika dalam beberapa hari
infeksi telah terkontrol dank lien telah stabil, dilakukan amputasi
definitife dengan penutupan kulit.
h. Prostesis
Protesis ini bertujuan untuk mengganti bagian ekstremitas yang
hilang. Artinya defek system musculoskeletal harus diatasi, temasuk
defek faal. Pada ekstremitas bawah, tujuan protesis ini sebagian besar
dapat dicapai. Jenis prostesis yang pilih untuk pasien amputasi
bergantung pada tingkat amputasi dan juga pekerjaan serta gaya hidup
pasien. Setiap prostesis berdasarkan pada program prostesis terperinci
dan dibuat sesuai untuk pasien. Sebagian besar terbuat dari bahan
plastik dan busa. Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan
prostesis pada pasien, termasuk status ekstremitas yang tersisa, status
kognitif, status kardiovaskuler, tinggkat aktivitas praoperasi, dan
motivasi untuk menggunakan prostesis.
Pasien yang mengalami amputasi ekstremitas bawah sering kali
dipas dengan alat bantu berjalan awal, mengurangi pembengkakan
pascaoperasi, dan memperbaiki semangat. Pasien dapat mulai
menyangga beban segera setelah 2 minggu setelah pembedahan.
Pasien yang menjalani amputasi ekstremitas atas dapat pas untuk
prostesis segera setelah pembedahan. Rehabilitasi pasien yang
menjalani amputasi adalah usaha tim, melibatkan pasien, perawat,
dokter, terapis fisik, petugas pembuat prostesis, dan konselor
vokasional.

3. Konsep Resiliensi Klien Dengan Penyakit Ulkus Diabetik Yang


Menolak Amputasi.
Istilah resilensi dikemukakan pertama oleh block dengan nama ego-
resilience yang artinya kemampuan dalam menyesuaikan diri saat
menghadapi tekanan yang di alami baik secara internal maupun eksternal.
Menurut Reivich, K dan Shatte, A yang dituangkan dalam bukunya “The
22

Resiliency Factor” menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan


individu dalam mengatasi serta beradaptasi terhadap kejadian yang berat
atau permasalahan yang sedang terjadi dalam kehidupan. Mampu bertahan
dalam keadaan tertekan dan bahkan mampu menghadapi kesengsaraan
(adversity) maupun trauma (traumatic) yang dihadapi dalam
kehidupannya.
Resiliensi keluarga (family resilience) adalah kemampuan keluarga
untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau tekanan yang
berat. Pendekatan resiliensi keluarga bertujuan untuk mengenali dan
membetengi proses interaksi yang menjadi kunci bagi kemampuan
keluarga untuk bertahan dan bangkit dari tantangan kehidupan yang
menganggu. Resiliensi bukanlah hal yang dibicarakan fokus pada individu
saja melainkan sebuah proses interaksional antara karakteristik individual
dan lingkungannya. Keluarga yang resilien adalah keluarga yang dapat
beradaptasi dengan sukses mencapai keseimbangan dalam keluarga.
Sebelum keluarga bisa berseliensi, ada beberapa tahapan yang
dilalui yaitu: (1) Tahap Denial (penolakan), dimulai dari rasa
ketidakpercayaan akan diagnosa dari dokter yang menyatakan bahwa klien
divonis untuk amputasi akibat dari penyakit dengan ulkus diabetik.
Perasaan selanjutnya yang muncul pada keluarga adalah kebingungan.
Bingung atas hasil dari diagnosa dokter, bingung akan apa yang hendak
dilakukan, sekaligus bingung akan kenapa hal ini dapat menimpa klien dan
keluarganya. Kebingungan ini merupakan reaksi yang manusiawi diawal
fase diagnosa. Tak jarang keluarga akan melakukan penolakan terhadap
kondisi tersebut. Tindakan penolakan ini biasanya dilakukan dengan
maksud menghilangkan kesedihan yang dirasa, akan tetapi hal itu akan
membuat klien semakin tersiksa; (2) Tahap anger (marah). Tahapan yang
ditandai dengan adanya tensi emosi yang tinggi pada keluarga yang
memiliki klien dengan ulkus diabetik. Keluarga akan menjadi pribadi yang
jauh lebih sensitif dari sebelumnya terhadap hal-hal kecil sekalipun yang
akhirnya dapat menimbulkan amarah. Kemarahan keluarga biasanya
ditujukan pada orang-orang disekitarnya tidak terkecuali para dokter.
23

Pernyataan yang sering muncul, dalam hati (sebagai reaksi atas rasa
marah) muncul dalam bentuk “Tidak adil rasanya...”, “Mengapa kami
yang mengalami ini?” atau “Apa salah kami?” (3) Tahap bargaining
(tawar-menawar). Tahapan dimana keluarga mulai berusaha untuk
menghibur diri dengan pernyataan seperti “mungkin kalau kami menunggu
lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya” dan berpikir
tentang upaya apa yang akan dilakukan untuk membantu proses
penyembuhan klien dengan ulkus diabetik; (4) Tahap depression (depresi).
Tahapan yang muncul pada fase ini adalah keputusasaan dan
hilangnya harapan. Putus asa menjadi bagian dari depresi akan muncul
saat keluarga mulai dibayangi akan masa depan yang akan dihadapi klien.
Terutama jika keluarga memikirkan sewaktu-waktu kliennya dapat
terenggut nyawanya dari sisi keluarga. Harapan atas masa depan klien
menjadi buram, dan muncul dalam bentuk pertanyaan “Akankah klien
kami mampu bertahan lebih lama dan dapat kembali hidup sehat seperti
sediakala?”. Pada tahap depresi, keluarga cenderung murung, menghindar
dari lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan
gairah hidup; (5) Tahap acceptance (penerimaan). Tahapan dimana
kelurga telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima
keadaan klien dengan tenang. Keluarga pada tahap ini cenderung
mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan
klien. Pada tahap ini keluarga sudah mampu menyesuaikan diri dan
mengontrol emosi dengan baik. Tahap ini menjelaskan bahwa keluarga
sudah mampu menerima segala kondisi yang ada dengan lapang dada dan
ikhlas serta siap akan semua konsekuensinya yang akan terjadi dalam
hidup (Di, Prof, & Kupang, 2018).
Wagnild (2014) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas yang
dimiliki individu untuk berkembang dan menyesuaikan diri secara positif
meskipun adanyastres yang dirasakan terus-menerus. Wagnild (2010)
berpendapat bahwa individu yang resiliensi merespon tantangan dalam
hidup dengan keberanian dan daya tahan secara emosional walaupun ia
merasa takut. Resiliensi bukan sesuatu yang merupakan bawaan lahir tapi
24

sesuatu yang dapat dipelajari dan membutuhkan waktu. Dalam Jurnal


Discovering Your Resilience Core, Wagnild (2010) menyatakan Orang
yang tangguh (pasien yang resilien) menanggapi tantangan hidup dengan
keberanian dan stamina emotional, bahkan ketika para pasien takut.
Bahkan dalam fase penurunan fungsi hidup para pasien akan menganggap
hal tersebut sebagai tantangan lalu menghadapinya dan mengatasinya.
Terdapat 5 komponen resiliensi, yaitu :

Tabel 2.2 Tahap Resiliensi


Komponen Keterangan
Meaningfulness/purpose kesadaran individu bahwa hidup memiliki
tujuan. Tujuan memberikan kekuatan
pendorong dalam hidup, ketika individu
mengalami kesulitan yang tidak terelakkan,
tujuan dari individu tersebut menariknya ke
maju.
Perseverance tekad untuk terus maju meskipun terdapat
kekecewaan dan kesulitan dalam hidup.
Individu berjuang untuk menyusun kembali
hidupnya, disiplin terhadap diri.
Equinimity Keseimbangan dan harmoni dalam hidup.
Lebih fokus pada aspek positif dari pada
negatif dari setiap kejadian dalam hidup,
berusaha bersikap tenang. Individu yang
resilien dapat menertawakan diri para pasien
dalam keadaan apapun.
Self-reliance Keyakinan pada diri sendiri dengan
pemahaman yang jelas terhadap kemampuan
dan keterbatasan. Mengembangkan banyak
kemampuan untuk mengatasi masalahnya
sendiri. Keterampilan tersebut memunculkan
rasa percaya akan kemampuan dirinya sendiri.
Dapat mengembangkan berbagai kemampuan
pemecahan masalah.
Existential aloneness individu merasa nyaman, puas dan
menghargai keunikan yang dimiliki dirinya.
Individu menghargai dirinya. Individu pun
tidak
Sumber : widianingsih & diantina (2018)
25

4. Konsep Adaptasi Klien Dengan Ulkus Diabetik


Aplikasi teori praktik keperawatan yang menerangkan pengalaman
klien dengan penyakit ulkus diabetik yang menolak amputasi. Teori Model
Roy berfokus pada konsep adaptasi manusia konsep-konsepnya mengenai
keperawatan manusia, kesehatan, dan lingkungan yang saling berhubungan
dengan adaptasi sebagai konsep sentralnya. Manusia mengalami stimulus
lingkungan secara terus menerus pada akhirnya manusia memberikan
respon dan adaptasi pun terjadi. Respon adaptif meningkatkan integritas
dan membantu manusia dalam mencapai tujuan adaptasi. Keperawatan
memiliki tujuan yang unik untuk membantu upaya adaptasi seseorang
dengan mengelola lingkungannya. Hasilnya adalah pencapaian tingkat
kesejahteraan seseorang. Manusia menerima input atau stimulus baik dari
lingkungan atau dalam diri sendiri. Tingkat adaptasi ditentukan oleh
kombinasi efek stimulus fokal dan residual. Respon adaptif ini
meningkatkan integritas seseorang, yang akan membawanya menuju sehat.
Subsistem proses primer, fungsional, atau kontrol terdiri dari regulator dan
kognator. Sedangkan subsistem sekunder dan efektor terdiri dari 4 mode
adaptif berikut : (1) kebutuhan fisiologis, (2) konsep diri, (3) fungsi peran,
dan (4) interdependens [ CITATION Nur16 \l 1033 ].
Roy mengidentifikasi input sebagai stimulus yang berasal dari dalam
diri individu. Ada 3 stimulus yang terjadi pada individu itu sendiri yaitu
stimulus focal yang mengambarkan klien dapat menerima keputusannya
dengan baik, stimulus konseptualyang menggambarkan sikap individu
dalam menanggapi penyakit dengan ulkus diabetik yang diderita, dan
stimulus residual yang menggambarkan sikap individu dalam
menghadapi penyakit dengan ulkus diabetik. Stimulus yang terjadi akan
menyebabkan suatu proses kontrol yaitu pada mekanisme koping dimana
proses penerimaan dan beradaptasi dari individu terhadap penyakit dengan
26

ulkus diabetik yang menolak amputasi, dan kognator dimana proses


kontrol yang terjadi bahwa individu belajar menerima keadaaan yang
dialami dengan baik. Sehingga dari beberapa proses kontrol yang terjadi
akan menimbulkan suatu efek fungsi fisiologi yaitu berpengaruh pada
proses metabolisme tubuh, gangguan tidur serta aktivitas sehari-hari klien.
Efek yang terjadi pada konsep diri yaitu individu mampu merawat luka
yang diderita. Individu mampu menerima dengan baik. Sehingga dari
beberapa efek yang terjadi pada individu maka akan menimbulkan suatu
respon adaptif yaitu individu mampu mengontrol emosi dengan baik,
individu mampu menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya, mampu
beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, dan individu juga mempunyai
harapan yang besar di masa mendatang. Sehingga ketika individu memiliki
respon adaptif pada terhadap konsep dirinya maka akan berdampak
terhadap proses adaptasi yang dijalani. [ CITATION Nur16 \l 1033 ].
a. Input
Sistem adaptasi mempunyai input yang berasal dari internal
individu. Roy mengidentifikasi input sebagai suatu stimulus. Stimulus
merupakan suatu unit informasi, kejadian, atau energy yang berasal
dari lingkungan. Adanya stimulus fokal berisi keinginan keluarga agar
klien dapat cepat sembuh dan dapat beraktivitas dengan baik. Stimulus
konseptul yaitu dimana kondisi keluarga menggangap tidak ada
harapan lagi pada klien untuk sembuh seperti normal, dan stimulus
residual yaitu sikap keluarga dalam menghadapi klien dengan ulkus
diabetik yang menolak amputasi. Sejalan dengan stimulus, tingkat
adaptasi bergantung dari stimulus yang didapat berdasarkan
kemampuan individu. Tingkat respon antara individu sangat unik dan
bervariasi bergantung pada pengalaman yang didapatkan sebelumnya,
status kesehatan individu, dan stressor yang diberikan [ CITATION
Nur16 \l 1033 ].
b. Proses
1) Roy menggunakan istilah mekanisme koping untuk menjelaskan
proses kontrol dari individu sebagai suatu sistem adaptasi.
27

2) Subsistem regulator mempunyai komponen input, proses internal,


dan output. Stimulus input berasal dari dalaam dan luar individu.
Perantara sistem regulator berupa saraf atau endokrin yang
berhubungan dengan kemampuan keluarga dalam mengatasi
emosi terdapat kondisi klien.
3) Proses kontrol kognator berhubungan dengan fungsi otak yang
tinggi terhadap persepsi aatu proses informasi, pengambilan
keputusan, dan emosi yang dihubungkan dengan keluarga belajar
untuk menerima kondisi klien dan keluarga dapat mengontrol
emosi dalam merawat klien dengan ulkus diabetik [ CITATION
Nur16 \l 1033 ].
c. Efektor
Sistem adaptasi proses internal yang terjadi pada individu
didefinisikan sebagai sistem efektor. Empat efektor atau model
adaptasi tersebut meliputi ; 1) fisiologis, 2) Konsep diri, 3) fungsi
peran, 4) ketergantungan (interdependen) mekanisme regulator dan
kognator bekerja pada model adaptasi [ CITATION Nur16 \l 1033 ].
d. Output
Perilaku seseorang berhubungan dengan metode adatasi. Dampak
dari respon sakit (maladatif) sebagai akibat dari koping yang tidak
efektif. Ketika individu memiliki koping yang tidak efektif maka akan
berdampak pada masalah keperawatan (adaptasi) [ CITATION Nur16 \l
1033 ].

Kerangka Teori Keperawatan Model Calista Roy

Proses Efektor Output


Input
kontrol

Mekanisme Fungsi fisiologis Respon


Tingkat
koping Konsep diri adaptif
Adaptasi
Regulator Fungsi peran Dan
Stimulus
kognator interdependensi inefektif
28

Umpan Balik

Skema 2.2 Konsep Teori Penelitian


B. Kerangka Teori (Sumber: Alligood, 2017)
Berdasarkan terjadinya ulkus diabetik yang menolak amputasi
berdasarkan model calista Roy, Yaitu:
Skema 2.3 kerangka teori modifikasi dari model adaptasi callista Roy

(Tingkat Adaptasi)

1. Stimulus Focal
Input Keinginan keluarga agar klien dapat sembuh & Ulkus
beraktifitas setiap hari dengan baik Diabetik
2. Stimulus Konseptual
Kondisi dimana keluarga menggangap tidak ada
harapan bagi klien untuk sembuh seperti normal Infeksi luka
3. Stimulus Residual
Sikap keluarga dalam menghadapi klien yang
mengalami ulkus diabetik yang menolak amputasi
Vonis
amputasi

Mekanisme Koping Resiliensi Tahap kehilangan, tahap


Proses Kontrol Regulator Kognator denial, anger, bargaining, depression,
acceptance ( Teori Kulber Ross)

Fungsi fisiologis
Konsep Diri
Efektor
Fungsi peran Proses adaptasi
Interdependensi

1. Tidak menerima amputasi


Adaptif
sehingga melakukan perawatan
Output
2. Keluarga dapat mengontrol
emosi dengan baik
Terjadi proses tidak 3. Keluarga yakin dapat merawat
Maladaptif
penerimaan (resiliensi) klien yang ulkus diabetik dengan
baik
4. Keluarga mampu beradaptasi
dengan lingkungan sekitarnya
Menghentikan dan 5. Keluarga mempunyai harapan
tidak melakukan agar klien mempunyai harapan
perawatan dengan masa depan yang baik
29

Sumber : dari Roy.C. [1984] Introduction to nursing An adaptation model [edisi ke2 hal.30].
Englewood Cliffs, NJ Prentice Hall. (Widianingsih & Diantina, 2018).(Di et al., 2018).
Keterangan :
Yang ingin diteliti :
Yang tidak diteliti :
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif.
Dengan beberapa pertimbangan yang akan diteliti adalah gambaran fenomena
dimasyarakat dengan menggunakan sebuah nalar induktif dalam menganalisis
sebuah pengalaman klien dengan penyakit ulkus diabetik yang menolak amputasi.
Berbagai bentuk perilaku dan pengalaman dari setiap manusia (individu) yang
akan dijelaskan dan diberikan suatu pemahaman dalam berbagai bentuk
merupakan definisi penelitian kualitatif[ CITATION Yat14 \l 1033 ]. Kualitatif pada
penelitian ini akan mengeksploasi pengalaman klien dengan penyakit ulkus
diabetik yang menolak amputasi.
Rancangan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan fenomenologi. Pendekatan Hussrl dalam [ CITATION Yat14 \l 1033 ].
Fenomenologi merupakan penelitian dengan pendekatan yang dilakukan
memberikan suatu deskripsi, refleksi, interpretasi, modus riset sehingga
mendapatkan intisari dari pengalaman kehidupan individu yang diteliti.
Pengalaman yang dimaksud yaitu pengalaman yang bersifat universal dengan
fenomena yang dialami dalam sehari-hari. Tujuan penelitian fenomenalogi adalah
memahami secara dalam dari pengalaman hidup partisipan yang dituangkan dalam
bentuk cerita,narasi, serta bahasa sehingga memperoleh intisari (essence)
[ CITATION Yat14 \l 1033 ]
Dalam hal ini adalah respon-respon yang unik da spesifik yang dialami
tiap individu termaksud interaksinya dengan orang lain. Ada empat tahapan
dalam melaksanakan penelitian dengan pendekatan fenomenologi, menurut (polit,
2017) yaitu sebagai berikut :
1. Bracketing, yaitu proses mensupresi, mengurung, atau menyimpan berbagai
asumsi, pengetahuan, dan keyakinan yang dimiliki peneliti tentang fenomena
yang diteliti.

30
31

2. Intuiting, pada kegiatan ini peneliti secara utuh mengenali dan memahami
fenomena yang diteliti. Ketika melakukan intuiting, peneliti tidak
diperbolehkan memberi kecaman, evaluasi, opini, atau segala hal yang
membuat peneliti kehilangan konsentrasi terhadap data atau informasi yang
sedang diceritakan para partisipannya.
3. Analyzing, peneliti megidentifikasi dan menganalisis data atau informasi yang
ditemukan. Kegiatan analisis ini dibagi menjadi beberapa tahap yaitu proses
koding, proses kategorisasi, proses tematik, dan menuliskan pola hubungan
antar tema tersebut kedalam narasi untuk divalidasi dan dikenali kepada
partisipan, kemudian menuliskannya kedalam narasi akhir (hasil penelitian).
4. Describing, merupakan kegiatan akhir dari pengumpulan dan analisis data.
Peneliti menuliskan deskripsi atau interpretasinya dalam bentuk hasil-hasil
temuan dan pembahasannya dari fenomena yang diteliti untuk
mengkomunikasikan hasil akhir penelitiannya kepada pembaca dengan
memberikan gambaran tertulis secara utuh dari fenomena yang diteliti.

B. Partisipan
Subjek dalam penelitian ini adalah orang yang mengalami penyakit ulkus diabetik
yang menolak amputasi dan menggunakan teknik purpose sampling dengan
berdasarkan kriteria yang memiliki partisipan sesuai dengan tujuan penelitian
yang akan dilakukan berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh peneliti. Ukuran
sample dalam penelitian ini sangat dipelukan dengan tujuan diperolehnya suatu
saturasi data morse, 2000 dalam [ CITATION Yat14 \l 1033 ]. Oleh karena itu
menurut (Duken, 1984) dalam [ CITATION Yat14 \l 1033 ] . Adapun kriteria
partisipan dalam penelitian ini adalah klien yang memiliki pengalaman dan
bersedia menceritakan pengalamannya tentang penolak amputasi yang dirawat
diklinik Nature Centre Indonesia (NCI) Kalimantan Timur.

C. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat dan waktu penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil yang
diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus disesuaikan dengan
tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Sehingga tempat yang benar-benar
32

mengambarkan kondisi informan sesungguhnya. Pelaksanaan penelitian dilakukan


sesuai dengan kesepakatan bersama antara peneliti dan partisipan, yang bertujuan
agar tidak memberikan unsur paksaan pada partisipan serta sehingga membuat
partisipan lebih terbuka dalam memngeksplorasi pengalamannya kepada peneliti.
1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian di fasilitas layanan kesehatan Nature Centre Indonesia (NCI)
Kalimantan Timur
2. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Mei

D. Instrument Penelitian
Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument penelitian atau alat
penelitian adalah penelitian itu sendiri, oleh karena itu peneliti harus divalidasi
seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya akan
langsung dilakukan dilapangan. penelitian kualitatif sebagai human instrument,
yang berfungsi menetapkan focus pada penelitian, memilih partisipan sebagai
sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisa data,
menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas semuanya [ CITATION sug10 \l 1033
].
1. Peneliti menggunakan sistem wawancara semi struktur dengan topik
pertanyaan yang utama, (1) Bagaimana perasaan Bapak/ibu ketika pertama kali
divonis amputasi ? (2) Apakah alasan bapak/ibu memutuskan menolak untuk
diamputasi ? (3) Bagaimana respon keluarga mendengar ketika mengetahui
vonis amputasi ? (4) Apa yang bapak/ibu lakukan ketika disuruh amputasi oleh
pihak RS dan apa tanggapan keluarga ? (5) Kenapa bapak/ibu lebih memilih
untuk menolak, setelah menolak rencana bapak/ibu pada saat itu apa ? (6)
Bagaimana tindakan bapak Kepada ketika mengetahui bapak/ibu divonis
amputasi, apakah ada dokter menyarankan untuk dirawatBagaimana cara
bapak/ibu dan keluarga dalam menghadapi masalah ? (7) Ketika ada orang
yang yang divonis amputasi apa yang ingin bapak sampaikan kepada
mereka ? (8) Apa yang bapak/ibu lakukan setelah divonis untuk amputasi ?
melaksanakan atau tidak ! (9) Bagaimana cara keluarga mengatasi klien ketika
dia merasa kurang dibutuhkan dalam keluarga ? (10) Apakah alasan bapak/ibu
33

memutuskan menerima untuk diamputasi ? (11) Sekarang bapak tidak


diamputasi, terus sekarang jadinya bagaimana dengan keadaan bapak ? apakah
keputusan bapak ini tepat atau tidak ! Peneliti juga tidak lupa melengkapi diri
dengan :
1. Recorder yang berfungsi untuk merekam hasil wawancara antara peneliti dan
informan. ( tape recorder tipr IC Recorder Qiuck Start Guide ICD-PX240 ).
2. Alat tulis untuk mencatat.
3. Daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara dilapangan.

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif menggunakan teknik
pengumpulan data secara observasi partisipan, wawancara mendalam,
dokumentasi, dan gabungan ketiganya. Bersama dengan proses analisis data. Data
yang dihasilkan dapat berbentuk kutipan langsung maupun tidak langsung secara
wawancara, atau dari dokumentasi tertulis dan berbagai hasil observasi selama
penelitian dilaksanakan [ CITATION Yat14 \l 1033 ]. Sehingga peneliti harus cermat
dalam menetukan teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Wawancara
Wawancara pada penelitian kualitatif pembicarakan antara peneliti dan
partispan memiliki sebuah tujuan yang didahului beberapa pertanyaan informal
[ CITATION Yat14 \l 1033 ]. menurut Rachmawati, 2007 dalam [ CITATION Yat14 \l
1033 ]. Wawancara pada penelitian kualitatif tidak seperti percakapan biasa,
wawancara yang dilakukan peneliti berupa mengeksplorasi perasaan, persepsi,
dan pemikiran partisipan. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang
dikenal dengan istilah wawancara mendalam (indeep interview) yaitu
pewawancara diberi kebebasan untuk mengembangkan pertanyaan dengan
megunakan pedoman wawancara. Menurut [ CITATION Yat14 \l 1033 ] waktu
yang baik dalam melakukan wawancara tidak lebih dari satu jam antara 30-45
menit dengan menggunakan alat recording. Wawancara dalam penelitian ini
untuk mengetahui bagaimana pengalaman klien dengan penyakit ulkus diabetik
yang menolak amputasi diNCI Center samarinda.
34

2. Observasi
Observasi adalah suatu kegiatan berupa pengalaman secara langsung
mengenai aktivitas partisipan dalam kegiatan penumpulan data [ CITATION Yat14
\l 1033 ]. Dengan melakukan observasi, peneliti bisa mengobservasi usaha yang
telah dilakukan oleh bapak/ibu dalam mencapai reseliensi amputasi.
3. Field note
Catatan lapangan (field note) adalah catatan yang berisi deskripsi tentang
hal-hal yang diamati oleh peneliti serta sesuatu yang terjadi pada saat proses
penelitian yang dianggap dapat menunjang data. Pada catatan lapangan peneliti
menyertakan keterangan tanggal dan waktu secara lengkap. Pada saat
wawancara mencatat ekpresi wajah, bahasa tubuh, reaksi partisipan saaat
berbicara, dan kontak mata sangat penting dilakukan sepanjang wawancara
pada catatan lapangan. Oleh sebab itu, sangat penting memberikan ruang
kosong diantara pertanyaan pada pedoman wawancara agar hal-hal yang
dicatat tidak lepas dari konteks percakapan [ CITATION Yat14 \l 1033 ].
4. Dokumentasi
Penelitian ini menggunakan pengumpulan data dengan metode studi
dokumentasi yang termasuk dalam sebuah dokumen yaitu seperti buku harian
pribadi, surat, otobiografi dan biografi serta dokumen dan berbagai laporan
dinas [ CITATION Yat14 \l 1033 ]. Pengumpulan data dengan dokumentasi
dilakukan dengan cara mencari data sekunder dengan mengumpulkan
informasi dan dokumen dari klinik NCI Center samarinda. Dalam memperoleh
data menggunakan pedoman wawancara dan catatan observasi yang telah
dipersiapkan dan menggunakan alat tulis, alat perekam suara, maupun kamera
agar semua yang pertisipan sampaikan dapat terdokumentasi dengan baik.

F. Proses pengumpulan data


1. Tahap persiapan
35

Setelah penelitian mendapatkan izin penelitian dari lahan penelitian. Penelitian


yang akan dilakukan dan diharapkan dengan cara seperti ini partisipan dapat
memberikan informasi dengan terbuka dan tidak ada unsur keterpaksaan
sebagai partisipan dalam kegiatan penelitian.
2. Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini peneliti mulai melakukan proses wawancara mendalam dengan
tiga fase, yaitu; fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Fase orientasi,
peneltian mulai dengan menanyakan kesiapan partisipan dan setelah itu
partisipan mengisi lembar informed consent atau surat persetujuan menjadi
partisipan, menciptakan suasana yang nyaman dan peneliti menyimpan tape
recoder. Fase kerja merupakan kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dengan
pertanyaan semi struktur dan dalam bentuk pertanyaan terbuka. Wawancara
dengan pertanyaan terbuka memberikan kebebasan dan keleluasaan yang besar
dalam menjawab dibandingkan jenis wawancara lain. Peneliti menggunakan
pedoman wawancara untuk memandu peneliti dalam mengajukan pertanyaan.
Dilakukan pada setiap partisipan rata-rata 45 menit. Setiap selesai wawancara
mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang baik dalam penelitian yang
telah dilakukan. Fase terminasi dilakukan dengan mengawali klarifikasi
pernyataan yang kurang jelas kepada partisipan, kemudian melakukan validasi
pada seluruh item pertanyaan wawancara yang telah dijawab, memberikan
kesempatan pada partisipan untuk menyampaikan hal yang ingin disampaikan
sebelum wawancara ditutup dan diakhiri. Mengucapkan terima kasih atas
kerjasama dan partisipasinya telah menjadi partisipan dalam penelitian ini.

G. Analisa Data
Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat
menghasilkan daftar tema, model, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang
biasanya terkait dengan tema, atau hal-hal diantara atau gabungan dari yang telah
disebutkan. Tema-tema tersebut memungkinkan interpretasi fenomena. Suatu
tema dapat diidentifikasi pada tingkat termanifestasi, yakni secara langsung dapat
terlihat. Suatu tema juga dapat ditemukan pada tingkat laten, tidak secara eksplisit
terlihat tetapi mendasari atau membayangi. Tema-tema dapat memperoleh secara
36

induktif dari informasi mentah atau diperoleh secara deduktif dari teori atau
penelitian-penelitian sebelumnya [ CITATION Yat14 \l 1033 ].
Tahapan proses analis data kualitatif terhadap beberapa model analisis. Salah
satunya mengggunakan model colaizzi. Alasan pemelihan metode analisa ini
didasarkan pada kesesuaian dengan filosofi Hussert, yaitu suatu penampakan
fenomena partisipan realitas itu sendiri tampak. Fenomena ini tentang pengalaman
klien dengan penyakit ulkus diabetik yang menolak amputasi di Fasyankes NCI .
Langkah-langkah analisis data kualitatif dari colaizzi, (1978) adalah sebagai
berikut :
1. Mendeskripsikan fenomena yang diteliti, peneliti mencoba memahami
fenomena gambaran konsep penelitiannya dengan cara memperkaya informasi
melalui studi literature.
2. Mengumpulkan deskripsi fenomena melalui pendapat atau pernyataan dan
partisipan. Dalam hal ini peneliti melkukan wawancara dan menuliskannya
dalam bentuk naskah transkip untuk dapat mendeskripsikan gambaran konsep
penelitian.
3. Membaca seluruh deskripsi fenomena yang telah disampaikan oleh semua
partisipan.
4. Membaca kembali transkip hasil wawancara dan mengutip pernyataan-
pernyataan yang bermakna dari semua partisipan. Setelah mampu memahami
pengalaman partisipan, peneliti membaca kembali transkip hasil wawancara,
memilih pernyataan-pernyataan dalam naskah transkip yang signifikan dan
sesuai dengan tujuan penelitian untuk menemukan unit analisis yang
mengandung pernyataan-pernyataan signifikan.
5. Menguraikan arti yang ada dalam pernyataan-pernyataan signifikan. Peneliti
membaca kembali unit analisis yang telah diidentifikasi dan mencoba
menemukan esensi atau makna dari koding untuk membentuk kategori.
6. Mengorganisir kumpulan-kumpulan makna yang terumuskan kedalam
kelompok tema. Peneliti membaca seluruh kategori yang ada
membandingkandan mencari persamaan diantara kategori tersebut, dan pad a
akhirnya mengelompokkan kategori-kategori yang serupa kedalam sub tema
dan tema.
37

7. Menuliskan deskripsi yang lengkap. Peneliti merangkai tema yang ditemukan


selama proses analisis data dan menuliskannya menjadi sebuah deskripsi dalam
bentuk penelitian.
8. Menemui partisipan untuk melakukan validasi deskripsi hasil analisis. Peneliti
kembali kepada partisipan dan membacakan kisi-kisi hasil analisis tema. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui apakah gambaran tema yang diperoleh sebagai
hasil penelitian sesuai dengan keadaan yang dialami partisipan
9. Mengabungkan data hasil validasi ke deskripsi hasil analisis. Peneliti
menganalisis kembali data yang diperoleh selama melakukan validasi kepada
partisipan, untuk ditambahkan ke dalam deskripsi akhir yang mendalam pada
laporan penelitian sehingga pembaca mampu memahami pengalaman
partisipan.

H. Keabsahan Data
Penelitian metode kualitatif verifikasi/konfirmasi data dilakukan kepada
partisipan merupakan salah satu cara untuk menvalidasi dan memperoleh
keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi Credibility, transferability,
dependability, confirmability.
1. Credibility merupakan berbagai aktifitas yang dapat meningkatkan
kepercayaan terhadap penemuan yang dicapai, credibility hasil penelitian ini
dapat dicapai melalui upaya penelitian dalam mengklarifikasi hasil-hasil
temuan dari partisipan. Peneliti dalam penelitian ini melakukan dengan cara
merekam hasil wawancara dan mendengar secara berulang kali hasil
wawancara tersebut. Hasil rekaman menjadi bukti keabsahan data yang diteliti
dan bukan merupakan hasil rekayasa peneliti. Peneliti juga melakukan
pendalaman kemampuan wawancara menggunakan 1-2 partisipan sebagai uji
coba wawancara dengan pembimbing.
2. Transferability merupakan cara membangun keteralihan untuk menilai
keabsahan data peneliti kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti menguraikan
secara rinci hasil temuan yang didapatkan dan kemudian dibuat penjelasan
tentang hasil wawancara dalam bentuk naratif yang menceritakan rekaman
wawancara.
38

3. Dependability merupaka suatu kestabilan data atau proses penelitian dari waktu
ke waktu, untuk menjalin keabsahan hasil penelitian. Dalam hal ini peneliti
melakukan auditing (pemeriksaan) dengan melibatkan seseorang yang
kompeten dibidangnya. Pada penelitian ini peneliti melakukan kegiatan
auditing (pemeriksaan) dengan pembimbing penelitian.
4. Confirmability merupakan uji objektivitas dari hasil suatu penelitian. Ojektif
atau tidak tergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan,
pendapat dan penemuan seseorang. Dapat dikatakan bahwa pengalaman
seseorang itu subjektif sedangkan jika disepakati oleh beberapa orang dapat
dikatakan objektif. Jadi objektifitas-subjektifitasnya suatu hal tergantung pada
seseorang.

I. Etika Penelitian
Etika dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan
sebuah penelitian mengingat penelitian keperawatan akan berhubungan langsung
dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan karena manusia
mempunyai hak asaasi dalam kegiatan penelitian.
1. Benefience
Prinsip etik beneficence merupakan standar etik yang mengutamakan
kesejahteraan bagi partisipan. Penelitian bertujuan untuk memberikan manfaat
bagi partisipan penelitian, dimana penjelasan lengkap tentang manfaat dan
tujuan penelitian untuk menggali pengalaman klien dengan ulkus diabetik yang
menolak amputasi yang, harus merasa nyaman dan bebas dari kerugian fisik,
psikologis, social dan financial (haem and discomfort), misalnya tidak
memaksakan kehendak peneliti terkait dengan tempat dan waktu wawancara
akan dlakukan. Peneliti harus meminimalkan dampak yang dapat merugikan
subjek dalam penelitian (nonmaleficence).
Dalam penelitian ini, ketika peneliti melakukan bina hubungan saling
percaya (BHSP) peneliti menjelaskan kembali mengenai penelitian yang akan
dilakukan, bahwa peneliti ini ingin meggali pengalaman klien dengan penyakit
ulkus diabetik yang menolak amputasi. Ketika partisipan melakukan kontrak
waktu peneliti memberikan kesempatan pada partisipan untuk menentukan
39

tempat dan waktu dilakukannya wawancara, sekali lagi hai ini dilakukan untuk
memberikan rasa nyaman dan bebas dari kerugian fisik, psikologis, social,
maupun finansial.

2. Respect of human dignity


Prinsip etik respect for human dignity meliputi hak otonomi (autonomy)
seorang pastisipan untuk menentukan sikap dan pilihan dalam menyampaikan
pendapat dan partisipasinya dalam penelitian. Peneliti meminta kesediaan
partisipan untuk ikut serta dalam penelitian dan mau mengungkapkan seluruh
fenomena yang dialaminya tanpa ada unsur keterpaksaan. Persetujuan
partisipan dalam penelitian ini dinyatakan secara tertulis berupa informed
consent, yaitu lembar yang menerangkan dengan singkat proses pelaksanaan
penelitian, lamanya keterlibatan partisipan, dan hak partisipan dalam penelitian
yang telah lebih dulu diberikan pada partisipan sebelum penelitian dilakukan.
3. Justice
Dalam prinsip ini partisipan diperlakukan sama, tanpa membedakan satu
dengan yang lainnya, baik strata social, etnis, budaya, suku dan
agama.partisipan harus diperlakukan adil baik sebelum, selama, dan sesudah
keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanaya diskriminasi apabila mereka
tidak bersedia atau dikeluarkan dari proses penelitian
4. Confidentiality
Dalam prinsip ini, peneliti harus menjamin kerahasiaan data dari pertisipan
yang telah disampaikan dalam proses penelitian. Dalam penelitian ini, data
akan dimusnahkan sesuai kesepakatan dengan partisipan. Kemudian bukti
dokumentasi tidak akan menjadi konsumsi publish (P.D, 2014).
40

J. Alur Penelitian

Pengalaman Klien dengan Penyakit Ulkus Diabetik


Yang Menolak Amputasi

Kualitatif

Metode Pendekatan
fenomenologi

Pengumpulan Data

Wawancara

Mengelola Data dan


Mengumpulkan Data

Membuat Koding Membuat kategorik Membuat tema

Hasil Penelitian

Kesimpulan

(Skema 2.4 Alur Penelitian)


DAFTAR PUSTAKA

Azizah, N., Intan, I., Tulak, D., Kurniawan, M. A., & Iswanti, T. (2017). Diabetic
Foot Ulcer Treatment Post Autoamputation Digiti Pedis Sinistra : Case
Study. 4(1), 27–37. Tersedia : https://bit.ly/2VEZhbR.
Aini, N., A. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Sistem Endokrin dengan
Pendekatan Nanda Nic Noc. Jakarta: Salemba Medika.
Alligood, M. R. (2017). Pakar Teori Keperawatan dan Karya Mereka. Singapore:
elservier.
Aru W. Sudoyo, B. d. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Iv. Jilid Iii.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia.
Basri, M. H. (2019). Pengalaman Pasien Dmtipe 2 dalam Melakukan Perawatan
Ulkusdiabetik Secara Mandiri. 4(1), 58–69. Tersedia : https://bit.ly/38bZ6aV
Christanty, D. A. (2013). Hubungan Persepsi Dukungan Sosial dengan
Penerimaan Diri Pasien Penderita Diabetes Mellitus Pasca Amputasi. 2(2),
55–61. Tersedia : https://bit.ly/2TdmArR.
Di, K., Prof, R., & Kupang, J. (2018). Psikologis Kubler Ross Pada Pasien. 2(2).

Empati, J., Rachmawati, S. N., & Masykur, A. M. (2016). Pengalaman ibu yang
memiliki anak down syndrome. 5(4), 822–830. Tersedia :
https://bit.ly/2PF9MZ7.
Hendra, M., Nugraha, S., Wahyuni, N., Ayu, P., & Saraswati, S. (2019).
Neuromuscular Facilitation Pada Ulkus Diabetikum The Effectiveness Of
Low Power Laser Therapy And Proprioceptive Neuromuscular Facilitation
On Grade 2 Diabetik Foot Ulcers. 43–50. Tersedia : https://bit.ly/2PDgZss.
Lemone, P., & dkk. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Lin, C., Ye, S., Ji, L., Xiaoping, S., Sebuah, Y., Yin, G., … Sebuah, L. (2019).
Saudi Journal of Biological Sciences Amputasi dan kelangsungan hidup
pasien dengan kaki diabetik berdasarkan pembentukan model prediksi.
(xxxx). https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2019.12.020.
Mandiri, J. S., Rachmat, N., & Priangi, H. (2019). Studi Kasus : Gambaran Diri
Pasien Amputasi Copart Prosthesis Akibat Trauma Kecelakan Untuk Pasien
Amputasi Ankle. 14(1), 18–28. Tersedia : https://bit.ly/2PGojUh.
Nurhanifah, D., & Banjarmasin, U. M. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Ulkus Kaki Diabetik ( factors related to diabetik Ulcers legs In
policlinic of diabetik leg ). 1(1), 32–41. Tersedia : https://bit.ly/2TucLER.
Muliadi, A., J. Kurnoli, F., & Nurjanah. (2018). Tingkat Penyembuhan Luka
Diabetik Dengan Teknik Modern Dressing Di Klinik Risky Wound Care
Center Palu. 252–267. Tersedia : https://bit.ly/2Tic56K.
Nurhanifah, D., & Banjarmasin, U. M. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Ulkus Kaki Diabetik ( factors related to diabetic Ulcers legs In
policlinic of diabetic leg ). 1(1), 32–41. Tersedia : https://bit.ly/39bOyd3.
Pb, A., Skp, I. D. I., & Kartika, R. W. (2017). Pengelolaan Gangren Kaki
Diabetik. 44(1), 18–22. Tersedia : https://bit.ly/2x3qFpX.
P.D, S. (2014). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif.pdf. In
Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D.
Sugiyono. (2010). Metode Peneliti Kuantitatif,Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Tipe, M., Di, I. I., Kerja, W., & Juanda, P. (2018). Hubungan Kepatuhan Diet
Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Mellitus Tipe Ii Di Wilayah Kerja
Puskesmas Juanda Samarinda. 6(1), 76–83. Tersedia : https://bit.ly/38h8Dxp.
Yati Afiyanti, I. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Riset
Keperawatan. Edisi 1. jakarta: Rajawali Pers.
Yoyoh, I., & Mutaqqijn, I. (2016). Kaki Diabetes Di Ruang Rawat Inap RSU
Kabupaten Organ tubuh merupakan suatu sistem yang terintegrasi , apabila
salah satu sistem terganggu akan menyebabkan gangguan terhadap organ
lainnya , salah satunya sistem organ yang kompleks dalam tubuh manusia
adal. 8–15. Tersedia : https://bit.ly/2IarTBQ.

Anda mungkin juga menyukai