Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi jamur merupakan penyakit yang sangat umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Terkhususnya infeksi jamur pada kulit pada masyarakat Indonesia masih banyak dijumpai karena
wilayah Indonesia yang termasuk beriklim tropis disertai dengan higiene masyarakat yang
kurang memadai sehingga memudahkan infeksi jamur. Penting bagi seorang dokter untuk dapat
mengenali berbagai infeksi jamur serta menangani dengan tepat.

Melalui referat ini saya akan membahas tentang infeksi jamur pada kulit / mikosis superfisial
terutama yang disebabkan oleh golongan jamur non dermatofitosis. Harapan saya dengan adanya
referat ini maka kasus infeksi jamur non dermatofitosis dapat lebih mudah diidentifikasi dan
diterapi dalam praktek kedokteran nanti.

1
BAB II

MIKOSIS

Secara umum mikosis / infeksi jamur pada tubuh manusia dapat terbagi atas mikosis profunda
dan mikosis superfisialis.

1. MIKOSIS PROFUNDA

Mikosis profunda ialah penyakit jamur yang mengenai organ dibawah kulit. Penyakit ini dapat
terjadi karena jamur langsung masuk ke alat dalam (misalnya paru), melalui luka, atau menyebar
dari permukaan kulit atau alat dalam lain. Jamur yang berhasil masuk bisa tetap berada di tempat
(misetoma) atau menyebabkan penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis).

Mikosis sistemik terdiri atas beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur dengan gejala klinis
tertentu di bawah kulit misalnya traktus intestinalis, traktus respiratorius, traktusurogenital,
susunan kardiovaskular, susunan saraf sentral, otot, tulang, dan kadang kulit.

a) Ditinjau dari penyakit jamur subkutan yang dijumpai di Indonesia

1) Misetoma

Misetoma ialah sindrom klinis yang disebabkan oleh infeksi jamur, terdiri atas pembengkakan
setempat yang indolen dan membentuk sinus, menyerang jaringan kutan, subkutan, fasia dan
tulang. Infeksi misetoma terjadi melalui trauma, misalnya tusukan duri yang terkontaminasi
jamur (biasanya pada tanah) pada kulit atau jaringan subkutan.

2
Gambar 1: Misetoma. Tampak nodul-nodul seperti kembang kol (cauli flower)

Terdapat dua bentuk misetoma :

- Misetoma aktinomikotik (bacterial mycetoma) yang disebabkan oleh jamur golongan


schizomycophyta, yaitu Actinomycetes, Nocardia dan Streptomyces.Jamur penyebab yang
penting adalah Actinomadura pelletieri, Nocardia brasiliensis dan Streptomyces somaliensis.

- Misetoma maduramikotik (fungal mycetoma atau eumycetoma) disebabkan oleh jamur


golongan eumycophyta, diantaranya adalah Madurella mycetomatis, Scedosporium apiospermum
, Madurella grisea, Leptosphaeria sinegalinsis.

2) Sporotrikosis

Sporotrikosis adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh Sporotrichium schenckii dan ditandai
dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit dan jaringan subkutis diatas nodus bening
sering melunak dan pecah membentuk ulkus yang indolen. Infeksi terjadi karena jamur masuk ke
dalam jaringan subkutis melalui luka pada kulit oleh duri atau kayu lapuk. Infeksi dapat juga
melalui inhalasi spora.

3
3) Kromomikosis

Kromomikosis merupakan infeksi lokal yang menahun pada kulit dan jaringan subkutis orang
sehat dan imunokompeten, yang sering terjadi pada kaki atau tungkai bawah, dengan kelainan
khas berbentuk kutil (verrucous) yang secara lambat tumbuh terus. Kelainan ini disebabkan oleh
beberapa spesies jamur berwarna gelap coklat kehitaman (dematiaceae).

Kromomikosis disebabkan oleh beberapa spesies jamur yang tergolong Dematiaceae.


Diantaranya adalah Phialophora verrucosa, Fonseceae pedrosoi, Fonseceae compacta,
Cladosporium carrionii dan Rhinocladiella aquaspersa.Jamur penyebab kromomikosis terdapat
di tanah, kayu dan tumbuh-tumbuhan yang sudah busuk. Jamur ini tergolong Dematiaceae,
berwarna gelap coklat sampai coklat kehitaman dan membentuk koloni filamen. Masing-masing
spesies mempunyai jenis sporulasi yang berbeda.

4) Zigomikosis, Fikomikosis, Mukormikosis

Penyakit jamur ini terdiri atas berbagai infeksi yang disebabkan oleh bermacam-macam jamur
pula yang taksonominya dan peranannya masih didiskusikan. Zygomycetes meliputi banyak
genera yaitu : Mucor, Rhizopus, Absidia, Mortierella, dan Cunning-hamella. Penyakit ini
disebabkan oleh jamur yang pada dasarnya oportunistik, maka pada orang sehat jarang
ditemukan Fikomikosis subkutan. Kelainan timbul di jaringan subkutan antara lain: di
dada, perut, atau lengan ke atas sebagai nodus subkutan yang perlahan-lahan membesar setelah
sekian waktu. Nodus itu konsistennya keras kadang dapat terjadi infeksi sekunder. Penderita
pada umumnya tidak demam dan tidak disertai pembesaran kelenjar getah bening regional.

2. MIKOSIS SUPERFISIALIS
Adapun yang dimaksud dengan mikosis superfisialis ialah infeksi jamur yang menyerang kulit
dan terbagi atas 2 jenis, yaitu dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Pembagian ini didasarkan
pada etiologinya. Infeksi jamur dermatofitosis disebabkan oleh jamur yang berasal dari genus
Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton. Dikenal berbagai bentuk dermatofitosis dan
secara klinis lebih sering dikelompokan berdasarkan lokasi. Bentuk yang ada yaitu:

4
- Tinea Kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
- Tinea Barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot
- Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong dan kadang-
kadang sampai perut bagian bawah.
- Tinea Pedis et Manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
- Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku tangan dan kaki
- Tinea Korporis, dermatofitosis pada bagian yang lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea
diatas.

Selain 6 tinea, masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu:

- Tinea imbrikata, dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan disebabkan
Trichophyton concentricum
- Tinea favosa atau favus, dermatofitosis yang teutama disebabkan Trichophyton
schoenleini: secara klinis antara lain terbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy
odor).
- Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukan daerah kelainan.
- Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis.

Selain itu dikenal juga tinea incognito, yangberarti dermatofitosis dengan bentuk klinis yang
tidak khas karena telah diobati dengan steroid topikal kuat.

5
BAB II

INFEKSI JAMUR NON DERMATOFITOSIS

DEFINISI

Secara umum penyakit kulit akibat jamur / mikosis superfisial berdasarkan penyebabnya dapat
dibagi menjadi infeksi jamur dermatofitosis dan non dermatofitosis.

Infeksi jamur non dermatofitosis mencakup semua jenis infeksi jamur yang menyerang jaringan
yang mengandung zat tanduk dan tidak disebabkan oleh golongan dermatofita. Jamur yang
termasuk ke dalam golongan dermatofita adalah yang berasal dari genus Microsporum,
Epidermophyton dan Trichophyton.

KLASIFIKASI

Adapun yang termasuk ke dalam infeksi jamur non dermatofitosis meliputi:

a. Pitriasis versikolor
b. Piedra
c. Tinea nigra
d. Otomikosis
e. Keratomikosis
f. Kandidiasis kutis

Kandidiasis mencakup infeksi yang luas baik menyerang kulit, mukosa dan organ dalam. Namun yang
akan penulis bahas adalah mengenai kandidiasis yang menyerang kulit.

A. PITRIASIS VERSIKOLOR

DEFINISI
Pitiriasis versikolor yang disebabkan Malassezia furfur Robin (BAILLON 1889) adalah penyakit
jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif, berupa bercak
berskuama halus yang bewarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-

6
kadang menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher muka dan kulit kepala yang
berambut.

SINONIM
Tinea versikolor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, pitiriasais versikolor
flava dan panu.

EPIDEMIOLOGI
Pitiriasis versikolor lebih sering terjadi di daerah tropis dan mempunyai kelembaban tinggi.
Walaupun kelainan kulit lebih terlihat pada orang berkulit gelap, namun angka kejadian pitiriasis
versikolor sama di semua ras. Beberapa penelitian mengemukakan angka kejadian pada pria dan
wanita dalam jumlah yang seimbang. Di Amerika Serikat, penyakit ini banyak ditemukan pada
usia 15-24 tahun, dimana kelenjar sebasea (kelenjar minyak) lebih aktif bekerja. Angka kejadian
sebelum pubertas atau setelah usia 65 tahun jarang ditemukan. Di negara tropis, penyakit ini
lebih sering terjadi pada usia 10-19 tahun.
Pitiriasis versiklor, atau tinea versikolor, atau panu termasuk mikosis superfisialis yang sering
dijumpai. Sekitar 50% penyakit kulit di masyarakat daerah tropis adalah panu, sedang di daerah
subtropis sekitar 15% dan di daerah dingin kurang dari 1%. Panu umumnya tidak menimbulkan
keluhan, paling-paling sedikit gatal, tetapi lebih sering menyebabkan gangguan kosmetik,
terutama pada penderita wanita.

ETIOLOGI
Tinea versikolor merupakan suatu infeksi yang agak sering terjadi (terutama pada dewasa muda),
yang disebabkan oleh jamur Pytirosporum orbiculare. Jamur ini agaknya merupakan bagian dari
flora normal pada kulit manusia dan hanya menimbulkan gangguan pada keadaan-keadaan
tertentu. Bagian tubuh yang sering terkena adalah punggung, lengan atas, lengan bawah, dada
dan leher. Lebih sering ditemukan di daerah beriklim panas dan berhubungan dengan
meningkatnya pengeluaran keringat.

7
Tinea versikolor di sebabkan oleh Malassezia furfur, yang dengan pemeriksaan morfologi dan
imunofloresensi indirek ternyata identik dengan Pityrosporum orbiculare.

MORFOLOGI
Tinea versicolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi yang nampak sebagai akibat
Malassezia furfur yang tumbuh berlebihan, yaitu jamur seperti ragi yang merupakan anggota
flora normal. Pertumbuhannya pada kulit (stratum korneum) berupa kelompok sel-sel bulat,
bertunas, berdinding tebal dan memiliki hifa yang berbatang pendek dan bengkok, biasanya tidak
menyebabkan tanda-tanda patologik selain sisik halus sampai kasar. Bentuk lesi tidak teratur,
berbatas tegas sampai difus dan ukuran lesi dapat milier,lentikuler, numuler sampai plakat.

Ada dua bentuk yang sering dijumpai :

 Bentuk makuler :Berupa bercak-bercak yang agak lebar, dengan skuama halus diatasnya
dan tepi tidak meninggi.

 Bentuk folikuler :Seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut.

PATOGENESIS
Mallasezia furfur, merupakan organisme saprofit pada kulit normal. Bagaimana perubahan dari
saprofit menjadi patogen belum diketahui. Organisme ini merupakan "lipid dependent yeast".
Timbulnya penyakit ini juga dipengaruhi oleh faktor hormonal, ras, matahari,peradangan kulit
dan efek primer pytorosporum terhadap melanosit.
Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya pitiriasis versikolor ialah
pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau pityrosporum ovale yang berbentuk oval.
Keduanya merupakan organisme yang sama, dapat berubah sesuai dengan lingkungannya,
misalnya suhu, media, dan kelembaban.
Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Factor predisposisi menjadi pathogen
dapat endogen atau eksogen. Endogen dapat disebabkan di antaranya oleh defisiensi imun.
Eksogen dapat karena faktor suhu, kelembaban udara, dan keringat.

8
GEJALA KLINIS
Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di badan. Kelainan
ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas
dan difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila di lihat dengan lampu Wood. Bentuk
papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga ada
kalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.

Lesi kulit berupa bercak putih sampai coklat, merah, dan hitam. Di atas lesi terdapat sisik halus.
Bentuk lesi tidak teratur, dapat berbatas tegas atau difus. Sering didapatkan lesi bentuk folikular
atau lebih besar, atau bentuk numular yang meluas membentukplakat, kadang-kadang dijumpai
bentuk campuran, yaitu folikular dengan numular, folikular dengan plakat ataupun folikular, atau
numular dengan plakat.
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat.
Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksik jamur
terhadap pembentukan pigmen, sering di keluhkan penderita. Biasanya penderita datang berobat
karena alasan kosmetik yang disebabkan bercak hipopigmentasi.
Variasi warna lesi pada penyakit ini tergantung pada pigmen normal kulit penderita, paparan
sinar matahari, dan lamanya penyakit. Kadang-kadang warna lesi sulit dilihat, tetapi skuamanya
dapat dilihat dengan pemeriksaan goresan pada permukaan lesi dengan kuret atau kuku jari
tangan (coup d’angle dari Beisner).
Penyakit ini sering di lihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa tua tidak luput
dari infeksi. Menurut BURKE *(1961) ada beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi, yaitu
faktor heriditer, penderita yang sakit kronik atau yang mendapat pengobatan steroid dan
malnutrisi.

9
Gambar 2: Pitriasis versikolor. Lesi hipopigmentasi.

DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan atas gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi, lesi kulit
dengan lampu Wood, dan sedian langsung.
Gambaran klinis yang khas berupa bercak bewarna putih sampai coklat, merah dan hitam,
dengan distribusi tersebar, berbatas tegas dengan skuama halus diatasnya. Pada pemeriksaan
mikroskopis langsung, dengan larutan KOH 10-20%, tampak hifa pendek bersepta, kadang-
kadang bercabang, atau hifa terpotong-potong, dengan spora berkelompok. Pemeriksaan dengan
lampu Wood memberikan floresensi berwarna kuning emas.
Pada pemeriksaan histopatologi kulit dapat ditemukan neutrofil di stratum corneum, ini
merupakan petunjuk diagnostik yang penting. Sedangkan biopsi kulit dengan pewarnaan
hematoxylin dan eosin pada tinea corporis menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan infiltrat
inflamasi superfisial (rembesan sel radang ke permukaan).

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit ini harus di bedakan dengan :
 Dermatitis seboroika : Kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan, batasnya agak kurang tegas. Predileksinya pada daerah yang berambut, karena
banyak kelenjar sebasea, yaitu kulit kepala, retroaurikkula, alis mata, bulu mata, sulkus
nasolabialis, telinga, leher, dada, daerah lipatan, aksila, inguinal, glutea, dibawah buah dada.

10
 Eritrasma : Lesi berupa eritema dan skuama halus terutama pada daerah ketiak dan lipatran
paha. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood lesi terlihat berfluoresensi merah membara
(coral red fluorescence) di sebabkan oleh terdapatnya koproporfirin III pada lesi. Organisme
yang terlihat pada sediaan langsung sebagai batang pendek halus, bercabang, berdiameter 1
µm atau kurang, yang mudah putus sebagai bentuk basil kecil atau difteroid.
 Morbus Hansen : terdapat hipopigmentasi/eritema dengan distribusi yang tidak simetris dan
hilangnya sensasi yang jelas pada daerah lesi (kehilangan sensoris/anastesia karena
menyerang susunan saraf tepi).
 Pitiriasis alba : Sering di jumpai pada anak-anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Lesi
berbentuk bulat, oval atau plakat yang tidak beraturan. Warna merah muda atau sesuai
warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema hilang, lesi yang dijumpai hannya
depigmentasi dengan skuama halus. Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter
antara ½-2 cm. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar
mulut, dagu, pipi, serta dahi. Umunya lesi bersifat asimtomatik, meskipun kadang-kadang
penderita mengeluhkan panas atau gatal.
 Vitiligo : Kelainan ini berupa makula berwarna putih (hipopigmentasi) yang hipomelanotik
di daerah terbuka misalnya muka, punggung, tangan. Makula mempunyai gambaran
konveks dan bertambah secara teratur. Gejala subyektif tidak ada, tetapi dapat timbul rasa
panas pada lesi

PENGOBATAN
1. Obat Topikal
Dapat dipakai misalnya suspensi selenium sulfida 2,5% dalam bentuk losion atau bentuk
sampo dipakai 2-3 kali seminggu. Obat digosokkan pada lesi dan didiamkan 15-30 menit
sebelum mandi.
Obat-obat lain ialah salisil spiritus 10%; derivat-derivat azol, misalnya mikonazol,
krotrimazol, isokonazol, dan ekonazol; sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%;
toksiklat; tolnaftat, dan haloprogin. Larutan tiosulfas natrikus 25% dapat pula digunakan;
dioleskan sehari 2 kali sehabis mandi selama 2 minggu, tetapi obat ini berbau tidak enak.

11
2. Obat Sistemik
Obat ini digunakan jika lesi sulit disembuhkan atau luas. Ketokonazol dapat dipertibangkan
dengan dosis 1 kali 200 mg sehari selama 10 hari.

PENCEGAHAN
Seseorang yang pernah menderita tinea versikolor sebaiknya menghindari cuaca panas atau
keringat yang berlebihan.

PROGNOSIS
Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten. Pengobatan harus
diteruskan 2 minngu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu Woods dan sediaan
langsung negatif. Bercak hipopigmentasi dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan
hingga pigmen yang hilang diganti melalui paparan ultraviolet.

B. PIEDRA

DEFINISI

Kata Piedra berarti “batu”. Piedra adalah infeksi jamur pada rambut, berupa benjolan yang
melekat erat pada rambut, berwarna hitam atau putih kekuningan. Ada dua macam piedra yaitu
piedra hitam dan piedra putih.

1. PIEDRA HITAM

Piedra hitam merupakan infeksi jamur pada rambut di sepanjang corong rambut yang
mengakibatkan benjolan-benjolan di luar permukaan rambut tersebut. Penyebab penyakit ini
adalah jamur Piedra hortai. Jamur Piedra hortai umumnya menyerang rambut kepala, kumis
atau jambang, dan dagu. Penyakit ini ditemukan di daerah tropik, termasuk di Indonesia. Piedra
hitam biasanya diderita oleh hewan, khususnya monyet, dan juga manusia.

12
Morfologi

Gambar 3: Piedra Hitam

Jamur ini tergolong kelas Ascomycetes dan membentuk spora seksual. Dalam sediaan KOH,
rambut dengan benjolan hitam terlihat lebih jernih, berbentuk bulat atau lonjong, yaitu askus
yang berisi 2-8 askospora.

Askospora berbentuk lonjong memanjang agak melengkung dengan ujung yang meruncing,
seperti pisang. Askus-askus dan anyaman hifa yang padat membentuk benjolan hitam yang keras
di luar rambut.

Pada rambut dengan benjolan, tampak hifa endotrik (dalam rambut) sampai ektotrik (diluar
rambut) yang besarnya 1-2 um berwarna tengguli dan ditemukan spora yang besarnya 1-2 um.

Penularan dan Gejala Klinis

Penularan dapat terjadi apabila seseorang mengalami kontak langsung dengan spora. Salah satu
caranya adalah melalui sisir yang digunakan oleh penderita. Spora dapat menempel pada sisir
tersbut sehingga orang yang menggunakan sisir tersebut dapat tertular.

Penyakit ini tidak menimbulkan gejala khusus. Biasanya rambut penderita mudah patah pada
saat disisir. Selain itu akan terdengar bunyi seperti kawat apabila rambut disisir. Bunyi ini
ditimbulkan karena adanya benjolan-benjolan pada rambut.

Pengobatan

13
Pengobatan piedra adalah dengan memotong rambut yang yang terkena infeksi atau mencuci
kepala setiap hari dengan larutan sublimat 1/2000 atau shampoo yang mengandung antimikotik.

2. PIEDRA PUTIH

Piedra putih adalah infeksi jamur pada rambut yang diakibatkan oleh Trichosporon beigelii.
Piedra putih ditemukan pada rambut ketiak dan pubis, jarang mengenai rambut kepala.

Morfologi

Jamur penyebab piedra putih mempunyai hifa yang tidak berwarna, termasuk Moniliaceae.
Berbeda dengan piedra hitam, benjolan pada piedra putih terlihat lebih memanjang pada rambut
dan tidak padat. Benjolan mudah dilepas dari rambut. Tidak terlihat askus dalam massa jamur.
Berbeda dengan Trichomycosis axillaris dalam benjolan hifa berukuran 2-4 mikron dan terlihat
artrokonidia.

Patologi dan Gejala Klinis

Pada piedra putih, kelainan rambut tampak sebagai benjolan yang berwarna putih kekuningan.
Selain pada rambut, dapat juga menyebabkan kelainan pada rambut kumis dan rambut janggut.

Diagnosis

Dengan pemeriksaan benjolan yang ada pada rambut. Pada pemeriksaan langsung dengan larutan
KOH 10%, tampak anyaman hifa yang padat, tidak berwarna atau berwarna putih kekuningan.

14
Gambar 4: Sediaan basah dengan KOH 10%

Pengobatan

Pengobatan penyakit ini yaitu dengan memotong rambut yang terinfeksi atau mencuci daerah
yang terkena dengan laruan sublimat 1/2000 setiap hari. Atau gunakan sampo yang mengandung
ketokonazol.

C. TINEA NIGRA

DEFINISI
Tinea nigra adalah infeksi jamur kulit asimptomatik, superfisial, biasanya menyerang kulit
palmar (telapak tangan) disebabkan karena Hortae werneckii (dulu namanya PhaeoanneIlomyces
werneckii dan Exophiala werneckii). Umumnya disebabkan oleh Hortae werneckii
(PhaeoanneIlomyces werneckii Exophiala werneckii, Cladosporium werneckii) yang merupakan
jamur dematiaceous seperti ragi. Arti dematiaceous adalah jamur kapang (mould/mold) berwarna
coklat. Dapat juga disebabkan oleh jamur dematiaceous yang lainnya yaitu Stenella araguata.

15
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini jarang terjadi. Kasus tinea nigra terjadi secara sporadik dibeberapa bagian belahan
dunia terutama didaerah pantai negara-negara tropis dan subtropik seperti misalnya: Kepulauan
Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Asia, Afrika dan Australia. Penyakit ini paling sering
menyerang anak-anak dan dewasa muda, berumur kurang dari 19 tahun, pada wanita 3 kali lebih
sering dibandingkan pada pria dan hampir sebagian besar infeksi dilaporkan terjadi pada individu
imunokompeten.

SIKLUS HIDUP
Jamur penyebab berada saprofit di tanah, limbah, sampah/tumbuh-tumbuhan busuk dan humus.
Juga tumbuh di kayu dan cat pada lingkungan lembab dan tirai kamar mandi. Lesi diduga terjadi
melalui inokulasi langsung pada kulit yang sebelumnya mengalami trauma minor. Dapat terjadi
autoinokulasi. Dicurigai dapat penularan dari manusia ke manusia, yang biasanya jarang terjadi
tapi ada yang menyanggahnya.

GEJALA KLINIS
Masa inkubasi 10-15 hari hingga 7 minggu, dapat beberapa tahun sampai 20 tahun. Lesi khas
berupa satu makula berbatas jelas, berwarna coklat kehitaman, tidak berskuama dan
asimptomatik (tidak gatal, tidak nyeri). Lesi mula-mula kecil kemudian dapat melebar secara
sentrifugal atau bersatu dengan lesi lainnya membentuk tepi yang tidak beraturan atau polisikllis.
Pigmentasi tidak merata, paling gelap didapatkan pada bagian tepi. Tidak didapatkan eritema
atau tanda-tanda inflamasi lain. Karena asimtomatis menyebabkan tidak terdiagnosis dalam
waktu yang lama. Lesi umumnya terbatas pada satu telapak tangan, namun dapat mengenai jari
tangan, telapak kaki, pergelangan tangan, dada dan leher, wajah tidak pernah terkena.

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Tidak ada pencegahan yang khusus. Pengobatan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan
cara:
 Obat topikal
1. Obat keratolitik : Salep Whitfield(=AAV II, berisi asidum salisilikum 6%, asidum

16
benzoikum 12% dalam vaselin album ) dioleskan pagi dan malam.
2. Salep AAV I (half strengh Whitfield ointment) tidak efektif.
3. Krim asam Undesilenik 2-3 minggu
4. Krim Imidazol : mikonazol, klotrimazol, ketokonazol dioleskan 2 x sehari.
5. Krim Terbinafin
6. Asam Retinoid
7. Ciclopirox
Obat topikal dilanjutkan selama 2-4 minggu sesudah sembuh klinis untuk mencegah
kambuh, minimal 3 minggu pengobatan. Dianjurkan dikerok / dikupas dengan penempelan
cellophane tape (selotip) terlebih dahulu, baru diolesi obat topikal.

 Obat oral
Indikasi obat oral adalah bila setelah pengobatan topikal yang adekuat tidak sembuh. Obat
yang dapat diberikan :
1. Ketokonazol 200 mg/ hari selama 3 minggu.
2. Itrakonazol
Pengobatan dengan oral Griseofulvin tidak efektif.

D. OTOMIKOSIS
DEFINISI

Otomikosis adalah suatu radang superfisial, subakut dan kronis pada liang telinga luar. Penyakit
ini biasanya unilateral dan di karakteristikkan dengan inflmasi, pruritus, gatal dan berkerak.

INSIDENS

Otitis eksterna diperkirakan sebesar 5 – 25% yang berobat dan sekitar 9-25% adalah otitis karena
jamur atau yang dikenal dengan otomikosis. Penelitian yang dilakukan di San Paulo,Brazil
terdapat 736 kasus dari otitis eksterna dan 2,7% nya adalah otomikosis. Penelitian lain yang
dilakukan di Iran 910 pasien yang diperiksa terdapat 52 kaus pasien dengan otomikosis dengan
16 kasus lelaki dan 36 kasus perempuan.

17
Penelitian Zaror et.al (1991) menemukan bahwa wanita lebih banyak menderita otomikosis
dibandingan pria yakni sekitar 60 % tetapi hal ini di bantah oleh beberapa penelitian yang
dilakukan oleh Ho et.al (2006) sebesar 56 % dan Kaur et.al (2007) sebesar 60 % pada pria.
Pasien yang terdiagnosa otomikosis di RSU H.Adam Malik Medan sebanyak 11 kasus pada 2009
dan 3 kasus pada 2010. Adam dkk (1994) mengatakan bahwa dua jenis jamur yang palig sering
di temukan pada liang telinga adalah Pityrosporum dan Aspergillus sementara Cut Elvira (2011)
menyatakan Candida merupakan jamur terbanyak yang ditemui pada otomikosis pada
temperatur biasa sedangkan Aspergillus merupakan jenis jamur yang paling banyak di temukan
pada otomikosis dengan iklim yang panas.

FAKTOR PREDISPOSISI

Beberapa faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya otomikosis ialah:

1. Infeksi jamur di tempat lain spserti vaginitis, canindiasis dll


2. Faktor lingkungan (iklim panas dan lembab)
3. Pasien dengan paska pembedahan operasi mastoid
4. Pasien dengan status immunokompromised (AIDS, DM dll)
5. Penggunaan antibiotika topikal dan steroid
6. Berenang
7. Trauma pada telinga
8. Pemakaian alat bantu dengar
9. Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh di telinga
10. Infeksi bakteri

ETIOLOGI

Penyebab terbanyak dari otomikosis adalah Aspergillus dan Candida. Penelitian yang dilakukan
di Brazil menemukan Aspergillus flavus (28%), Aspergillus spp (10%), Aspergillus fumigates (
6%), sedangkan Candida merupakan jamur terbanyak kedua dan menemukan Candida
parapsilosis (22%), Candida albicans (14%) dan jamur lain yakni Penisilium Spp (4%),

18
Paelomyces spp (2%). Golongan jamur lain yang bisa ditemukan yakni Allerchia boydii,
scapulariopsis, dan mucor.

PATOGENESIS

Otomikosis dipengaruhi oleh lingkungan yang lembab tropis karena lingkungan lembab
diperlukan untuk proliferasi jamur, dan peningkatan terjadinya insiden otomikosis mungkin
disebabkan karena meningkatnya keringat dan kelembaban lingkungan mengubah epitel
permukaan liang telinga luar. Seperti kita ketahui epital pada kanal eksternal dikenal untuk
menyerap air dalam lingkungan ini, mudah membuatnya lebih rentan terhadap infeksi.

Otomikosis sangat erat hubungannya dengan histologi dan fisiologi liang telinga luar. Liang
telinga luar dilapisi oleh epitel stratified squamous keratinizing yang kemudian berlanjut sampai
ke permukaan depan membran timpani. Pada resus timpanikus inferior, daerah medial ke ismus
cenderung tempat akumulasi dari keratin dan serumen dan merupakan area kulit yang sulit
dibersihkan.

Serumen mempunyai sifat antijamur dan antibakteri. Komposisi serumen terdiri dari 60%
keratin, 12-20% asam lemak jenuh dan tak jenuh dengan rantai panjang, alkohol, sgualene, dan
6-9% kolesterol, selain itu serumen juga mengandung lysozime dan immunoglobulin. Asam
lemak menyebabkan kulit liang telinga tidak rusak dan menghambat pertumbuhan bakteri.
Karena komposisinya yang hidropobik, serumen dapat menahan air, membuat permukaan kiang
telinga luar menjadi impermeabel sehingga dapat mencegah maserasi dan kerusakan epitel
sehingga dengan tidak terbentuknya serumen menyebabkan liang telinga luar rentar terhadap
infeksi.

GEJALA KLINIS

Gejala yang paling sering pada otomikosis adalah gatal pada telinga, telinga terasa sakit, sekret
pada telinga, pendengaran yang berkurang serta tinnitus.

19
Karakteristik pemeriksaan fisik tergantung pada jamur penyebab otomikosis. Jamur yang terlihat
dengan hifa halus dan spora biasanya terlihat pada golongan Aspergillus. Pada Aspergillus niger
kelihatan seperti pertumbuhan kepala hitam berfilamen, Pada Aspergillus fumigates tampak
berwarna biru pucat atau hijau dan Candidiasis tampak seperti gumpalan keju dengan debris
yang menutupi kanal. Kulit liang telinga tampak oedema dan memerah.

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan dengan

1. Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan gatal, yang datang terus – menerus pada liang telinga,
perasaan tidak nyaman, ataupun sakit pada telinga, keluarnya cairan dengan bau yang tidak
enak. Faktor predisposisi juga harus ditanyakan apakah ada riwayat diabetes, penggunaan
antibiotik topikal ataupun preparasi steroid. Faktor lain yang mempengaruhi yakni
kehamilan, post operasi mastoid, trauma, ataupun infeksi bakteri sebelumnya

2. Pemeriksaan klinis
Pada otoskopi tampak jamur yang terlihat dengan hifa halus dan spora biasanya terlihat pada
golonga Aspergillus. Pada Aspergillus niger kelihatan seperti pertumbuhan kepala hitam
berfilamen, pada Aspergillus fumigates tampak berwarnabiru pucat atau hijau dan
candidiasis tampak seperti gumpalan keju dengan debris yang menutupi kanal. Kulit liang
telinga tampak oedem dan basah.

20
Gambar 5 : Otomikosis pada pemeriksaan dengan otoskop

3. Pemeriksaan Laboratorium
Spesimen dapat diperoleh dengan mengambil sekret atau pus dari liang telinga luar dengan
bantuan cottom swab steril. Spesimen yang telah diambil diperiksa dengan

a. KOH 10%
b. Pewarnaan PAS
Atau spesimen yang telah diambil di biakkan pada media Sabouraud’s Dextrose Agar
dengan dan tanpa antibiotika dan diinkubasi pada suhu 25 dan 37ºC selama 4 minggu

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan otomikosis terdiri dari eliminasi dari faktor predisposisi, penggunaan dari anti
jamur, dan pembershan liang telinga. Sediaan anti jamur dapat dibagi menjadi:

1. Tipe non spesifik


2. Tipe speifik
Tipe non spesifik termasuk solusio pengasaman dan pengeringan seperti asam borie, aluminium
sulfat, calcium asetat, gentian violet 2%, castellani’s paint (acetone, alkohol, phenol,
fuchsin,resorcinol) dan Cresylate (Merthiolate, M-Cresyl acetat, propylene glycol, asam borak,

21
dan alkohol). Tipe spesifik terdiri atas kream, solusio, dan tepung seperti clotrimazole,
amphotericin B, tolnaftate, mikonazole, dan nystatin.

Pada umumnya ada 4 klasifikasi obat anti jamur yakni:

1. Golongan polyenes
Terdiri atas ampoterisin B, dan nystatin

2. Golongan triazole
Terdiri dari fluconazole, clotrimazole, dan miconazole

3. Analog nukleosid
Terdiri dari flucytosin

4. Analog echinocandins

Jamur penyebab Pengobatan


Aspergillus Clotrimazole
Ketokonazole
Itraconazole
Clotrimazole
Aspergillus flavus Itraconazole
Terbinafide
Aspergillus fumigates Miconazole
Amphotericin B
Acetic acid
Clotrimazole
Aspergillus niger Borneol
Tolnaftate
Ciclopiroxolamine
Itraconazole
Mercurochrome
Boric acid

22
Clotrimazole
5 fluorocytosine
Itraconazole
Terbinafide
Fluconazole
Ampoterisin B
Tabel 1: Anti jamur yang cocok dengan organisme penyebab

E. KERATOMIKOSIS

DEFINISI

Keratitis adalah reaksi inflamasi kornea. Keratomikosis dapat menyebabkan infeksi jamur yang
serius pada kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-
53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis
jamur.

INSIDENSI

Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun 1879 oleh Leber, tetapi baru
mulai periode 1950-an kasus-kasus keratomikosis diperhatikan dan dilaporkan, terutama di
bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporan-laporan dari Eropa dan Asia
termasuk Indonesia. Banyak laporan menyebutkan peningkatan angka kejadian ini sejalan
dengan peningkatan penggunaan kortikosteroid topikal, penggunaan obat immunosupresif dan
lensa kontak, di samping juga bertambah baiknya kemampuan diagnostik klinik dan laboratorik,
seperti dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Singapura melaporkan (selama 2,5 tahun) dari
112 kasus ulkus kornea, 22 beretiologi jamur, sedang di RS Mata Cicendo Bandung (selama 6
bulan) didapat 3 kasus dari 50 ulkus kornea, Taiwan (selama 10 tahun) 94 dari 563 ulkus, bahkan
baru-baru ini Bangladesh melaporkan 46 dari 80 ulkus (karna ungkinan keratitis virus sudah
disingkirkan).

23
ETIOLOGI

Secara ringkas dapat dibedakan :

1. Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.


a) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp,
Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
b) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas : Candida albicans,
Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
3. Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan membentuk
miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
Tampaknya di Asia Selatan dan Asia Tenggara tidak begitu berbeda penyebabnya, yaitu
Aspergillus sp dan Fusarium sp, sedangkan di Asia Timur Aspergillus sp.

PATOLOGI

Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella kornea. Mungkin ada nekrosis
koagulatif stroma kornea yang meluas dengan edema serat kolagen dan keratosit. Reaksi
inflamasi yang menyertai kurang terlihat daripada keratitis bakterialis. Abses cincin steril
mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang multipel dapat mengelilingi lesi utama.
Hifa berpotensi masuk ke membrane Descement yang intak dan menyebar ke kamera okuli
anterior. Di banyak kasus, jamur dapat tidak ditemukan dari permukaan dan stroma superfisial
pada spesimen histopatologi, yang menjelaskan kegagalan pengambilan sampel untuk
menemukan organisme pada ulkus pada tahap yang lanjut.

MANIFESTASI KLINIK

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk
mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat

24
menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut , respon antigenik dengan formasi
cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu
sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi
keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses
stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi
utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai
tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan
kamera okuli anterior dapat cukup parah.

Sebenarnya gambaran yang khas pada ulkus kornea tidak ada. Infeksi awal dapat sama seperti
infiltrasi stafilokokus, khususnya dekat limbus. Ulkus yang besar dapat sama dengan keratitis
bakteri.

Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :

1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.


2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah
endotel utuh.
4. Plak endotel.
5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
7. Lesi kornea yang indolen.

DIAGNOSIS LABORATORIK

Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis
keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan
spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan
pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-
masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea

25
dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang
besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope
untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup
memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.

OBAT-OBAT ANTI JAMUR

Pengamatan klinik dan laboratorium memperlihatkan bahwa jamur berbeda sensibilitasnya


terhadap anti jamur, tergantung spesiesnya; hal ini sering dilupakan, ditambah lagi jenis obat anti
jamur yang terbatas tersedia secara komersial di Indonesia. Secara ideal langkah-langkah yang
ditempuh sama dengan pengobatan terhadap keratitis/ulkus bakterialis :

1. Diagnosis kerja atau diagnosis klinik.


2. Pemeriksaan laboratorik :
a) Kerokan kornea, diwarnai dengan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India.
b) Kultur dengan agar Sabouraud atau ekstrak Maltosa.
3. Pemberian antijamur topikal berspektrum luas.
4. Penggantian obat bila tidak terdapat respon.

Obat yang ideal mempunyai sifat berikut :

1. Berspektrum luas.
2. Tidak menimbulkan resistensi.
3. Larut dalam air atau pelarut organik.
4. Stabil dalam larutan air.
5. Berdaya penetrasi pada kornea setelah pemberian secara topikal, subkonjungtival atau
sistemik.
6. Tidak toksik.
7. Tersedia sebagai obat topikal atau sistemik.

26
Jenis obat anti jamur adalah sebagai berikut :

1. Antibiotik polyene :
a) Tetraene: Nystatin, Natamycin (Pimaricin)
b) Heptaene: Amphotericin B, Trichomycin, Hamyein, Candicidin.
2. Golongan Imidazoles: Clotrimazole, Miconazole, Ketoconazole.
3. Golongan Benzimidazole: Thiabendazoles.
4. Halogens: Yodium.
5. Antibiotik lain: Cyloheximide, Saramycetin, Griseofulvin.
6. Pyrimidine: Flucytosine.
7. Lain-lain: Thimerosal, Tolnaftate, Cu-sulfat, Gentian Violet.
Halogen

Larutan 0,025% dilaporkan berhasil mengobati infeksi Candida albicans, tetapi cepat
dinonaktifkan oleh air mata dan berdaya penetrasi lemah pada kornea. Diberikan secara
kauterisasi, dapat dengan kapas lidi steril.

Thimerosal (Merthiolat)

In vitro dilaporkan baik untuk Candida, Aspergillus dan Fusarium, tapi diduga zat Hg ini cepat
diinhibisi oleh radikal sullihidril di jaringan okule Obat ini ada di Vademikum salah satu pabrik
farmasi tetapi secara komersial tidak ada.

TERAPI

Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia,
tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam terapi
keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi; bisa dibagi:

1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.


2. Jamur berfilamen.
3. Ragi (yeast).
4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.

27
 Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
 Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B, Thiomerosal, Natamycin (obat terpilih),
Imidazole (obat terpilih).
 Untuk golongan III : Amphoterisin B, Natamycin, Imidazole.
 Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.

F. KANDIDOSIS KUTIS

DEFINISI
Kandidosis kutis adalah suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur dari genus
Candida. Kandidosis terbagi menjadi 2 macam yakni kandidosis profunda dan kandidosis
superfisial. Nama lain kandidosis kutis adalah superficial kandidosis atau infeksi kulit-jamur;
infeksi kulit-ragi; kandidosis intertriginosa. Berdasarkan letak gambaran klinisnya terbagi
menjadi kandidosis terlokalisasi dan generalisata.

Predileksi Candida albicans pada daerah lembab, misalnya pada daerah lipatan kulit. Karena
organisme ini menyukai daerah yang hangat dan lembab.

ETIOLOGI

Yang tersering sebagai penyebab adalah Candida albicans. Spesies patogenik yang lainnya
adalah C. tropicalis C. parapsilosis, C. guilliermondii C. krusei, C. pseudotropicalis, C.
lusitaneae.

EPIDEMIOLOGI
Candida albicans adalah saprofit yang berkoloni pada mukosa seperti mulut, traktus
gastrointestinal, dan vagina. Merupakan jamur yang berbentuk oval dengan diameter 2-6 um.
Dan dapat hidup dalam 2 bentuk yakni bentuk hifa dan bentuk yeast. Jumlah koloni sangat

28
menentukan derajat penyakit, akan tetapi dilaporkan bahwa frekuensi terjadinya di mulut 18 %,
vagina 15 %, dan mungkin dalam feses 19 %. Tapi kejadian tersebut dipengaruhi beberapa faktor
seperti rumah sakit dan kemoterapi.
Jamur ragi termasuk spesies kandida yang merupakan flora komensal normal pada manusia dapat
ditemukan pula pada saluran gastrointestinal (mulut sampai anus). Pada vagina sekitar 13 %
kebanyakan Candida albicans dan Candida glabrata. Isolasi spesies kandida komensal oral
berkisar pada 30 – 60 % ditemukan pada orang dewasa sehat.
Di Jerman ditemukan penyebab yang berbeda-beda pada diaper dermatitis pada 46 laki-laki dan
perempuan. Pada 38 pasien menunjukkan penyebab yang spesifik, 63 % dengan kandidiasis, 16
% dengan dermatitis iritan, 11 % dengan ekzema, dan 11 % dengan psoriasis. Dari pasien
tersebut, 37 orang diterapi dan 73 % dirawat setelah 8 minggu setelah terapi.
Di Argentina, dianalisa 2073 sampel kulit, rambut, kuku, dan membran mukosa oral didapatkan
1817 pasien yang datang ke bagian mirkobiologi dari laboratorium sentral Dr. J.M. Cullen
Hospital dari September 1999 sampai dengan September 2003. Sampel tersebut diteliti dan
diidentifikasi berdasarkan lokalisasi dan tipe lesi. Dari total sampel, 55,6 % adalah positif, 63 %
terkena pada wanita dan 37 % terkena pada laki-laki.
Di Jepang, dilaporkan bahwa kutaneus kandidiasis terdapat pada 755 (1 %) dari 72.660 pasien
yang keluar dari rumah sakit. Intertrigo (347 kasus) merupakan manifestasi klinis kandidiasis
paling sering, erosi interdigitalis terjadi pada 103 kasus, diaper kandidiasis tercatat 102 kasus.
Di Bombay, India, diperiksa 150 pasien dengan kandidiasis kutaneus. Kerokan kulit diuji dengan
KOH 10 % dan dikultur di sabaorud’s agar. Insiden tersering adalah intertrigo (75),
vulvovaginitis (19), dan paronikia (17). Sedangkan jamur yang diisolasi didapatkan Candida
albicans (136 kasus), Candida tropicalis (12 kasus), dan Candida guillermondi (2 kasus). Dan
diabetes mellitus menjadi faktor predisposisi pada 22 orang pasien.

PATOGENESIS
Candida albicans bentuk yeast-like fungi dan beberapa spesies kandida yang lain memiliki
kemampuan menginfeksi kulit, membran mukosa, dan organ dalam tubuh. Organisme tersebut
hidup sebagai flora normal di mulut, traktus vagina, dan usus. Mereka berkembang biak melalui
ragi yang berbetuk oval.

29
Kehamilan, kontrasepsi oral, antibiotik, diabetes, kulit yang lembab, pengobatan steroid topikal,
endokrinopati yang menetap, dan faktor yang berkaitan dengan penurunan imunitas seluler
menyediakan kesempatan ragi menjadi patogenik dan memproduksi spora yang banyak
pseudohifa atau hifa yang utuh dengan dinding septa.
Ragi hanya menginfeksi lapisan terluar dari epitel membran mukosa dan kulit (stratum
korneum). Lesi pertama berupa pustul yang isinya memotong secara horizontal di bawah stratum
korneum dan yang lebih dalam lagi. Secara klinis ditemukan lesi merah, halus, permukaan
mengkilap, cigarette paper-like, bersisik, dan bercak yang berbatas tegas. Membran mukosa
mulut dan traktus vagina yang terinfeksi terkumpul sebagai sisik dan sel inflamasi yang dapat
berkembang menjadi curdy material.
Kebanyakan spesies kandida memiliki faktor virulensi termasuk faktor protease. kelemahan
faktor virulensi tersebut adalah kurang patogenik. Kemampuan bentuk yeast untuk melekat pada
dasar epitel merupakan tahapan paling penting untuk memproduksi hifa dan jaringan penetrasi.
Penghilangan bakteri dari kulit, mulut, dan traktus gastrointestinal dengan flora endogen akan
menyebabkan penghambatan mikroflora endogen, kebutuhan lingkungan yang berkurang dan
kompetisi zat makanan menjadi tanda dari pertumbuhan kandida.
Jumlah infeksi kandida meningkat secara dramatis pada beberapa tahun terakhir, mencerminkan
peningkatan jumlah pasien yang immunocompromised. Secara spesifik, tampak makin
bertambahnya umur semakin pula terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian. Meskpin
infeksi kandidiasis superfisial dipercaya termasuk ringan, akan tetapi menyebabkan kematian
pada populasi lanjut usia. Candida albicans juga dapat menyerang kulit dengan folikel rambut
yang aktif atau istirahat.
Infeksi kandida diperburuk oleh pemakaian antibiotik, perawatan diri yang jelek, dan penurunan
aliran saliva, dan segala hal yang berkaitan dengan umur. Dan pengobatan dengan agen
sitotoksik (methotrexate, cyclophosphamide) untuk kondisi rematik dan dermatologik atau
kemoterapi agresif untuk keganasan pada pasien usia lanjut memberikan resiko yang tinggi.
Patologi kutaneus superfisial dicirikan dengan pustul subkorneal. Organisme ini jarang tampak
dalam pustul tetapi dapat dilihat pada pewarnaan stratum korneum dengan PAS (Periodic Acid-
Schiff). Histologi granuloma kandidal menunjukkan tanda papillomatous dan hyperkeratosis dan
kulit yang menebal berisi infiltrat limfosit, granulosit, plasma sel, dan sel giant multinuklear.

30
FAKTOR PREDISPOSISI
1. Bayi, wanita hamil, dan usia lanjut
2. Hambatan pada permukaan epitel; karena gigi palsu, pakaian
3. Gangguan fungsi imun
a. Primer; penyakit kronik granulomatosa
b. Sekunder; leukemia, terapi kortikosteroid
4. Kemoterapi
a. Imunosupresif
b. Antibiotik
5. Penyakit endokrin; diabetes mellitus
6. Karsinoma
7. Miscellaneous; kerusakan pada lipatan kuku.

GEJALA KLINIS

Manifestasi klinis yang muncul dapat berupa gatal yang mungkin sangat hebat. Terdapat lesi
kulit yang kemerahan atau terjadi peradangan, semakin meluas, makula atau papul, mungkin
terdapat lesi satelit (lesi yang lebih kecil yang kemudian menjadi lebih besar). Lesi terlokalisasi
di daerah lipatan kulit, genital, bokong, di bawah payudara, atau di daerah kulit yang lain. Infeksi
folikel rambut (folikulitis) mungkin seperti “pimple like appearance”.

1. Kandidosis Kutis Lokalisata


a. Kandidiasis Intertriginosa
Lesi yang terjadi pada daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara,
antara jari tangan atau kaki, glands penis, dan umbilikus. Berupa bercak yang berbatas tegas,
bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel
dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif, dengan
pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.
Pada orang yang banyak mencuci, jamur ini menyerang daerah interdigital tangan maupun
kaki. Terjadi daerah erosi dan maserasi berwarna keputihan di tengahnya. Disini juga terjadi
lesi-lesi satelit di sekelilingnya. Kondisi ini menimbulkan rasa tidak nyaman dan kadang bisa

31
menimbulkan nyeri. Kandidosis intertriginosa yang terjadi pada sela jari tangan maupun kaki
dapat diikuti dengan paronikia dan onikomikosis pada tangan atau kaki yang sama.

b. Kandidosis Perianal
Kandidosis perianal adalah infeksi Candida pada kulit di sekitar anus yang banyak ditemukan
pada bayi, sering disebut juga sebagai kandidosis popok atau diaper rash. Hal ini terjadi
karena popok yang basah oleh air kencing tidak segera diganti, sehingga menyebabkan iritasi
kulit genital dan sekitar anus. Penyakit ini juga sering diderita oleh neonatus sebagai gejala
sisa dermatitis oral dan perianal.
Popok yang basah akan tampak seperti area intertriginosa buatan, merupakan tempat
predisposisi untuk infeksi ragi. Lesi yang tampak berupa dasar merah dan pustule satelit.
Kadang sering dijumpai pula gejala pruritus ani.
Dermatitis popok sering diobati dengan kombinasi steroid krim dan lotion yang mengandung
antibiotic. Walaupun obat ini mungkin berisi klotrimazol yang merupakan obat anti jamur,
mungkin konsentrasinya tidak cukup untuk mengendalikan infeksi jamur yang terjadi.
Komponen kortison dapat mengubah gambaran klinis dan memperpanjang penyakit. Bentuk
nodular granulomatosis kandidosis di daerah popok, muncul sebagai kusam, eritem, dan
nodul dengan bentuk yang tidak teratur, kadang-kadang dasar yang eritem merupakan reaksi
biasa untuk organisme Candida atau infeksi Candida yang disebabkan oleh steroid. Meskipun
infeksi dermatofit jarang terjadi di daerah popok, tetapi kasus ini sering ditemukan. Setiap
upaya harus dilakukan untuk mengidentifikasi organism dan mengobati infeksi dengan tepat.

2. Kandidosis Kutis Generalisata


Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di lipat payudara, intergluteal, dan umbilikus.
Sering disertai glositis, stomatitis, dan paronikia. Lesi berupa ekzematoid, dengan vesikel-vesikel
dan pustul-pustul. Penyakit ini sering terdapat pada bayi, mungkin karena ibunya menderita
kandidiasis vagina atau mungkin karena gangguan imunologik sehingga daya tahan tubuh bayi
tersebut rendah.
Pada bayi baru lahir yang menderita kandidosis kutis generalisata, dengan vesikulopustul di atas
eritem muncul pada saat bayi baru lahir atau beberapa jam setelah lahir. Lesi pertama kali
muncul di muka, leher dan menyebar ke seluruh tubuh dalam waktu 24 jam.

32
3. Paronikia dan Onikomikosis
Paronikia dan onikomikosis adalah peradangan kuku dan bantalan kuku. Paronikia dapat bersifat
akut dan kronis. Paronikia akut disebabkan oleh bakteri, sedangkan paronikia kronis disebabkan
oleh Candida sebagai pathogen tunggal atau ditemukan bersamaan bersama dengan bakteri lain
seperti Proteus atau Pseudomonas sp.
Ini merupakan proses peradangan kronis pada lipatan kuku proksimal dan matriks kuku. Hal ini
terutama terjadi pada orang- orang yang tangannya sering terendam dalam air seperti pada ibu
rumah tangga, pegawai bar atau rumah makan, penggemar tanaman, dan pegawai ikan.
Pemakaian alat pencuci piring mekanis yang semakin meluas mungkin berhubungan dengan
penurunan insidensi kelainan ini.
Gambaran klinis berupa eritema pada lipatan kuku proksimal (boilstering), pembengkakan tidak
bernanah, kuku menjadi tebal, mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang-kadang berwarna
kecoklatan, tidak rapuh, tetap berkilat, tidak terdapat sisa jaringan di bawah kuku seperti pada
tinea unguium, dan hilangnya kutikula. Hal ini sering berhubungan dengan terjadinya distrofi
kuku. Candida albicans mempunyai peran patogenik, tetapi bakteri mungkin juga ikut
menyertainya. Tidak adanya kutikula memungkinkan masuknya bahan-bahan iritan seperti
detergen ke daerah di bawah kukuku proksimal, dan hal ini turut menyebabkan proses
peradangan.
Kondisi ini cukup berbeda dengan paronikia bacterial akut, yang timbul cepat, rasa sakit yang
hebat, dan banyak nanah hijau. Penekanan pada lipatan kuku yang bengakak pada paronikia
kronis bias mengeluarkan butiran-butiran kecil nanah yang berbentuk seperti krim susu dari
bawah lipatan kuku, tetapi hanya itu saja yang terjadi.

4. Kandidosis Granulomatosa
Kelainan ini jarang dijumpai. HOUSER dan ROTHMAN melaporkan bahwa penyakit ini sering
menyerang anak-anak, lesi berupa papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning
kecoklatan dan melekat erat pada dasarnya. Krusta ini dapat menimbul seperti tanduk sepanjang
2 cm, lokalisasinya sering terdapat di muka, kepala, kuku, badan, tungkai, dan faring.

33
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada penampakan kulit, terutama jika ada faktor resiko yang
menyertai. Kerokan kulit dapat menunjukkan bentuk jamur yang mendukung candida. Bahan-
bahan klinis yang dapat digunakan untuk pemeriksaan adalah kerokan kulit, urin, bersihan
sputum dan bronkus, cairan serebrospinal, cairan pleura dan darah, dan biopsi jaringan dari
organ-organ viseral.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :

1. Pemeriksaan langsung
Merupakan cara paling mudah dan metode yang paling efektif untuk mendiagnosis, tapi tidak
cukup untuk menyingkirkan bukti klinis yang lain. Pemeriksaan dengan kerokan kulit dengan
penambahan KOH 10% akan memperlihatkan elemen candida berupa sel ragi, balastospora,
peudohifa atau hifa bersepta. Pemeriksaan langsung tidak dapat menetukan identifikasi
etiologi secara spesifik dan kurang sensitive dibandingkan dengan biakan. Hasil negatif tidak
selalu bukan disebabkan oleh Candida. Pemeriksaan langsung mempunyai nilai sensitifitas
dan spesifisitas sebesar 89,4% dan 83,90%. Pewarnaan gram juga dapat digunakan dan akan
memberikan hasil yang sama dengan yang diperlihatkan pada pemeriksaan KOH 10%.

2. Pemeriksaan Biakan

Biakan merupakan pemeriksaan paling sensitive untuk mendiagnosis infeksi Candida.


Sabouraud Dextrose Agar (SDA)merupakan media standar yang banyak digunakan untuk
pemeriksaan jamur. Media ini mengandung 10 gr pepton, 40 gr glukosa, dan 10 gr agar, serta
ditambahkan 1000 ml air. Penambahan antibiotika pada SDA digunakan untuk mencegah
pertumbuhan bakteri. Biakan diinkubasi pada suhu kamar yaitu 25-270 C dan diamati secara
berkala untuk melihat pertumbuhan koloni.1 Koloni berwarna putih sampai kecoklatan,
basah, atau mukoid dengan permukaan halus dan dapat berkerut. Hasil biakan dianggap
negative bila tidak ditemukan pertumbuhan koloni dalam waktu empat pecan.

34
3. Identifikasi Spesies

Meskipun gambaran klinis sulit dibedakan penentuan etiologi spesisik Candida sampai ke tingkat
spesies berguna untuk menentukan terapi dan prognosis. Adapun cara mengidentifikasi Candida
sp.dapat dilakukan dengan cara tradisional dan komersil.

a. Germ Tube Test

Germ tube test merupakan cara yang digunakan untuk menentukan indentifikasi spesies
C. albicans. Pemeriksaan ini menggunakan media yang mengandung serum dan
diinkubasi pada suhu 370 C selama 2 jam. Bila terdapat pertumbuhan germ tube atau
sprout mycelium,berarti spesies tersebut adalah C. albicans. Pertumbuhan Germ tube
dikenal sebagai Fenomena Reynols-Braude.

b. Uji Asimilasi dan Fermentasi

Identifikasi Candida sp. dapat juga dilakukan berdasarkan kemampuan ragi untuk
mengasimilasi dan fermentasi karbohidrat yang berbeda utuk setiap spesies. Candida
albicans dapat mengasimilasi dan memfermentasi glukosa, galaktosa, maltose, dan
sukrosa.

c. CHROM agar candida

CHROM agar kandida merupakan cara komersil media biakan selektif untuk
mengidentifikasi Candida sp. Koloni C. albicans, C. tropicalis, C. glabrata, dan C. krusei
dapat dibedakan berdasarkan morfologi koloni dan warna yang ditimbulkan oleh masing-
masing koloni. Media ini mengandung 10 gr pepton, 20 gr glukosa, 0,5 gr kloramfenikol,
15 gr agar dan 2 gr chromogenic mix. Chromogenic mix merupakan bahan yang
menyebabkan perubahan warna koloni pada Candida sp.

4. Serologi. Macam-macam prosedur pemeriksaan serologi direncanakan untuk mendeteksi


adanya antibodi Candida yang berkisar pada tes immunodifusi yang lebih sensitive seperti
counter immunoelectrophoresis (CIE), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), and

35
radioimmunoassay (RIA). Produksi empat atau lebih garis precipitin dengan tes CIE telah
menunjukkan diagnosis kandidiasis pada pasien yang terpredisposisi.

5. Pemeriksaan histologi. Didapatkan bahwa spesimen biopsi kulit dengan pewarna periodic
acid-schiff (PAS) menampakkan hifa tak bersepta. Hifa tak bersepta yang menunjukkan
kandidiasis kutaneus berbeda dengan tinea.10

6. Uji sensitifitas secara cepat dan tepat berdasarkan PCR dari DNA dapat juga digunakan untuk
mengidentifikasi patogenitas candida dalam jaringan.

H. DIAGNOSIS BANDING

1. Kandidosis lokalisata dengan:


a. Dermatitis kontak
Pasien mempunyai riwayat konstipasi kronik dan biasa menggunakan obat rangsang
defekasi. Selama 7 bulan disertai dengan pruritus ani tapi baru-baru ini berkembang
menjadi erupsi yang menyeluruh, tidak berespon terhadap glukokortikoid dan terapi
cahaya. Daerah ekskoriasi yang banyak mengindikasikan gatal yang hebat. Lesi terutama
mengenai daerah sekitar anus, tanpa diketahui penyebabnya, bagian tubuh bawah, bokong,
dan dareah genital. Dermatitisnya berhenti saat obat rangsang dihentikan dan dia
melakukan diet bebas balsem. Pemeriksaan kolonoskopi menunjukkan iritasi minimal pada
kolon sigmoid dan rektum yang sesuai dengan spastic colitis.4
b. Erythrasma
Infeksi bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh Corynebacterium
minutissisum. Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat. Lesi
eritroskuamosa, berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merah kecoklat-coklatan.
Tidak terlihat adanya lesi satelit. Tempat predileksi di daerah ketiak dan lipatan paha.
Kadang-kadang berlokasi di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita yang
gemuk. Pada pemeriksaan lampu Wood lesi terlihat berfluoresensi merah membara (coral
red).1
c.Dermatitis Intertriginosa

36
Lesi kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula, erosi dan eksudasi, sehingga tampak
basah. Tidak ditemukan lesi satelit. Penderita juga mengeluh gatal.1
d.Dermatofitosis (tinea)1

2. Kandidosis kuku dengan tinea unguium


Pada tinea unguium kuku sudah tampak rapuh pada bagian distal pada bentuk subungual distal
dan tampak rapuh pada bagian proksimal pada bentuk subungual proksimal. Biasanya penderita
tinea unguium mempunyai dermatofitosis ditempat lain yang sudah sembuh atau yang belum.
Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan.

I. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan terpenting adalah menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi.

Terapi topical:
 Larutan ungu gentian: - 0,5 % untuk selaput lendir
- 1-2% untuk kulit
dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari.
 Nistatin dapat diberikan berupa krim, salep, emulsi.
 Golongan azol
 krim atau bedak mikonazol 2%
 bedak, larutan dan krim klotrimazol 1%
 krim tiokonazol 1%
 krim bufonazol 1%
 krim isokonazol 1%
 krim siklopiroksolamin 1%
 Antimikotik topikal lain yang berspektrum luas.

Terapi sistemik:
 Nistatin tablet
untuk menghilangkan infeksi lokal dalam saluran cerna, obat ini tidak diserap oleh usus.
 Amfoterisin B

37
Diberikan intravena untuk kandidiasis sistemik.
 Kotrimazol
Pada kandidiasis vaginalis dapat diberikan kotrimazol 500mg per vaginam dosis tunggal,
sistemik dapat diberikan ketokonazol 2x200 mg dosis tunggal atau dengan flukonazol
150 mg dosis tunggal.
 Itrakonazol
diberikan pada kandidiasis vulvovaginalis. Dosis untuk orang dewasa 2x100 mg sehari,
selama 3 hari.1

Penggunaan obat anti jamur yang standar hanya flukonazol, itrakonazol, dan flucytosine. Atau
bahkan dapat menggunakan obat antijamur golongan azol terbaru antara lain voriconazole,
ravuconazole, posaconazole.
Amorolfine biasa digunakan karena efektifitasnya sebagai terapi topikal pada kandidiasis
superficial yang disebabkan oleh jamur dan dermatofitosis dan afinitasnya yang tinggi terhadap
stratum korneum dan kuku.
Obat anti jamur imidazol, clotrimazol, mikonazol, econazol, oxiconazol, dan bifonazol
digunakan secara luas sebagai pengobatan topikal dermatofitosis. Beberapa tahun terakhir,
imidazol (lanakonazol) dan tiga kelas anti jamur gabungan benzylamine (butenafine), alylamine
(terbinafine), dan morfin (amorolfine), telah berhasil dikembangkan dan diperkenalkan dalam
penggunaan di klinik. Obat-obat terbaru ini lebih aktif daripada imidazol sebelumnya untuk
melawan dermatofitosis secara in vitro dan in vivo dermatofitosis pada babi sebagai binatang
percobaan.

J. KOMPLIKASI

Adapun komplikasi kutaneus kandidiasis yang bisa terjadi, antara lain :


1. Rekurens atau infeksi berulang kandida pada kulit
2. Infeksi pada kuku yang mungkin berubah menjadi bentuk yang aneh dan mungkin menginfeksi
daerah di sekitar kuku
3. Disseminated candidiasis yang mungkin terjadi pada tubuh yang immunocompromised.

38
Kandidiasis Diseminata
Papul eritematosa dengan tengah yang pucat terdapat pada lengan laki-laki 13 tahun dengan
neutropenia dan ewing’s sarcoma. Kultur darah tumbuh candida parapsilos dan candida
Lusitania. Lesi tersebut tersebar dan terhitung ratusan. Pasien menunjukkan gejala lesi kulit yang
disertai dengan nyeri otot dan nyeri mata. Pustul adalah tanda kutaneus dari kandidiasis
diseminata pada pasien dengan leukositosis. Adanya neutrofil dalam sirkulasi, pustule tidak
tampak pada kulit, karena jumlah sel darah putih menutupinya, lesi mungkin menjadi pustular
yang menetap.

X. PENCEGAHAN

Keadaan umum dan higienitas yang baik dapat membantu pencegahan infeksi kandida, yakni
dengan menjaga kulit selalu bersih dan kering. Bedak yang kering mungkin membantu
pencegahan infeksi jamur pada orang yang mudah terkena. Penurunan berat badan dan kontrol
gula yang baik pada penderita diabetes mungkin membantu pencegahan infeksi tersebut.

K. PROGNOSIS

Prognosis kutaneus kandidiasis umumnya baik, bergantung pada berat ringanya faktor
predisposisi. Biasanya dapat diobati tetapi sekali-kali sulit dihilangkan. Infeksi berulang
merupakan hal yang umum terjadi.

39
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

- Infeksi jamur / mikosis terbagi atas mikosis superfisial dan mikosis profunda. Mikosis
profunda ialah mikosis yang menyerang organ dibawah kulit termasuk subkutan dan organ
dalam.
- Mikosis superfisial terbagi berdasarkan penyebabnya adalah infeksi jamur dermatofitosis
dan non – dermatofitosis.
- Yang termasuk ke dalam infeksi jamur non dermatofitosis adalah pitriasis versikolor, piedra
hitam dan putih, tinea nigra, keratomikosis, otomikosis dan kandidiasis kutis.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Unandar B, Mikosis. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi IV. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta;
2006.h.89-107.
2. Fitzpatrick color atlas and synopsis of clinical dermatology. Ed 5th. McGraw Hill
Company,New York; 2007.p.692-721.
3. Anaissie, Elias J. Clinical Mycology. Churchill Livingstone, New York; 2008. p.461-2
4. Hall, John C. Sauer's Manual of Skin Diseases 8th edition. Canada. Lippincott Williams &
Wilkins Publishers. 2009.p.243-60
5. Habif, T. P, eds. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th edition.
Pennsylvania. Mosby, inc; 2007. p. 440-50.
6. Weller. R, Hunter. J, Savin. J, Dahl. M. Fungal Infection. Dalam: Clinical Dermatology.
Fourth edition. UK. Blackwell Publishing. 2008.p.252-4.
7. Graham. R, Brown, Burns. T. Infeksi Jamur. Dalam: Lecture Notes Dermatology. Edisi ke-8.
Jakarta, EMS; 2005.p.38-40.
8. Adams GL, Boeis LR. Higler PA. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta, EGC;2006.h.230-
8.
9. Sidarta I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi kedua. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta; 2002.h.230-32.
10. Rook’s textbook of dermatology.8th edition. Lippincott Williams & Wilkins Publishers,
Philadelphia; 2009.p.340-83.

41

Anda mungkin juga menyukai