Anda di halaman 1dari 4

Lihat definisi kata "Janji" dalam Studi Kata

Studi Kamus
 

JANJI, PERJANJIAN [ensiklopedia]


Dalam bh Ibrani 'perjanjian' dinyatakan dengan istilah berit dan pembuatan perjanjian dengan karat
berit, dalam bh Yunani diatheke dan kata kerja yg sesuai dengan itu diatithemi (bnd Kis 3:25; Ibr 8:10;
9:16; 10:16).
I. Perjanjian dengan Nuh sebelum air bah
Istilah 'perjanjian' muncul pertama kali dalam Alkitab di Kej 6:18, yg menunjuk kepada perjanjian
dengan Nuh sebelum air bah. Dalam hunjukan yg singkat ini dikemukakan apa perjanjian itu. Gagasannya
jauh sekali dari gagasan tentang persetujuan, kontrak, atau kata sepakat antara Allah dan Nuh. Allah
memberitahukan kepada Nuh bahwa Ia akan menjadikan perjanjian-Nya dengan dia. Perbuatan itu ada
lah penyaluran berdaulat dari kasih karunia dari pihak Allah dan jaminannya timbul dari perbuatan Allah.
Perjanjian ini adalah perjanjian Allah, Dia sendirilah yg meneguhkannya. Penyaluran kasih karunia
kepada Nuh ini mengakibatkan juga kewajiban-kewajiban yg sesuai dengan itu. Nuh dan keluarganya
harus memasuki bahtera, dan harus membawa bersama dengan dia sejumlah tertentu binatang-binatang
dan burung-burung serta segala yg melata (Kej 6:18b-21). Demikianlah tiada pertentangan antara kasih
karunia yg berdasarkan kedaulatan dan kewajiban-kewajiban yg diakibatkannya.
II. Perjanjian dengan Nuh sesudah air bah
Perjanjian ini dilaporkan dalam Kej 9:9-17, dan menunjukkan lebih jelas apa sifat asasi suatu perjanjian
ketimbang penjelasan dari segala teladan lainnya. Sekali lagi diperlihatkan betapa asing terhadap konsep
perjanjian ini segala gagasan mengenai persetujuan, atau kontrak antara dua partai. Gagasan tentang
persetujuan bilateral sama sekali tidak ada. Kuncinya di sini ialah, 'Sesungguhnya Aku mengadakan
perjanjian-Ku dengan kamu' (Kej 9:9). Ciri-cirinya yg mencolok perlu diperhatikan.
a. Perjanjian itu disusun dan ditetapkan oleh Allah sendiri.
b. Jangkauannya umum, meliputi bukan hanya Nuh tapi juga keturunannya sesudah dia dan segala
makhluk hidup. Jangkauan itu menunjukkan bahwa kasih karunia yg diberikan, tidak tergantung atas
pengertian akali atau tanggapan baik dari pihak yg dianugerahi.
c. Perjanjian ini tanpa syarat; tiada perintah atau tuntutan yg dilampirkan, yg dapat ditafsirkan sebagai
syarat yg kepadanya kasih karunia yg diberikan bergantung. Jelas ada kewajiban bagi Nuh dan
keturunannya yg dapat dipandang sebagai alat yg dengannya karunia yg dijanjikan dapat direalisasikan.
Jadi perjanjian ini tak dapat digugurkan.
d. Bahwa hanya Allah yg bekerja jelas sekali nampak dalam perjanjian ini. Tiada sumbangan manusia
sebagai perantara yg dengannya janji-janji ini dipenuhi. Tanda perjanjian itu juga tidak mengambil
bentuk peraturan yg harus dilakukan orang karena perintah Ilahi. Busur di awan dimaksudkan untuk
memperlihatkan kesetiaan Allah dan, dalam gaya bicara antropomorfis, untuk mengingatkan Allah akan
janji dalam perjanjian-Nya. Busur itu bukan tanda yg boleh dikendalikan oleh manusia.
e. Perjanjian itu kekal. Kekekalan itu sejajar dengan sifat unilateral dan dengan gagasan bahwa hanya
Allah yg bekerja. Tiada ketidakpastian atau kegoyahan boleh termasuk pada janji Allah yg tanpa syarat.
Justru perjanjian itu mewujudkan suatu pengelolaan kasih karunia dan panjang sabar yg berdaulat, yg
ilahi dalam asal, pembukaan, peneguhan dan pemenuhannya.
III. Perjanjian dengan Abraham
Perjanjian dengan Nuh menyajikan konsepsi perjanjian yg berdaulat dari pihak Allah. Mempelajari
perjanjian dengan Abraham, akan mendapati dalamnya penyimpangan dan konsepsi yg menguasai ini.
Tapi ada ciri-cirinya yg baru. Yang disajikan berikut ini adalah ciri-cirinya yg umum dan khusus.
a. Ciri-ciri umum
(1) Janji-janji diberikan. Tiga janji yg disebut berhubungan dengan perjanjian ialah: pemilikan tanah
Kanaan, pelipatgandaan keturunan Abraham dan janji bahwa Allah akan menjadi Allah baginya dan bagi
keturunannya setelah dia (Kej 15:8, 18; 17:6-8). Tapi kita tidak dapat mengecualikan janji, bahwa di
dalam dia dan keturunannya segala bangsa akan diberkati (Kej 12:3; bnd Kis 3:25). (2) Dengan cara yg
khas ditekankan bahwa hanya Allah yg bekerja (Kej 15:8; 17:1-8). (3) Keabadian ditekankan dalam bobot
yg sama dengan perjanjian kepada Nuh sesudah air bah (Kej 17:7, 8, 19). (4) Peneguhan diberikan
dengan suatu sangsi yg tak dapat dibatalkan (Kej 15:9-17). Ciri-ciri ini menunjukkan bahwa perjanjian itu
direncanakan, di urus, diteguhkan dan dilaksanakan oleh Allah.
b. Ciri-ciri khusus
(1) Janji-janji itu mempunyai sifat khusus, yaitu penyelamatan dalam maksud dan akibatnya, berpusat
dalam janji bahwa Allah akan menjadi Allah Abraham dan keturunannya (Kej 17:7, 8). (2) Dalam
jangkauannya perjanjian ini mengecualikan Ismael (Kej 17:18-21). Segala bangsa akan diberkati dalam
benih Abraham. Tapi ini bukan perjanjian pada segala daging seperti dalam Kej 9:9-17, juga bukan
perjanjian untuk menghasilkan kemanfaatan bagi semua orang tanpa pembedaan. (3) Sangsi yg
meneguhkannya sangat khidmat (Kej 15:9-17).
Sangsi itu mempunyai sifat sumpah yg menyesali diri dad pihak Allah (bnd Yer 34:18-20; ANET, hlm 353
dst). Tiada sesuatu pun yg dapat lebih menandai atau menjamin keteguhan dan sifatnya yg tak dapat
berubah dar janji yg bertalian dengan pewarisan tanah Kanaan. Dan janji-janji yg lain dari perjanjian
itu, yg begitu erat dikaitkan dengan janji khusus ini, harus dipandang sebagai dijamin oleh sangsi yg
sama. (4) Dalam perjanjian ini keharusan menaati perjanjian dibebankan kepada Abraham dan
keturunannya (Kej 17:10-14). Orang yg gagal memenuhi tuntutan itu mematahkan perjanjian dan
terpisah dari umat. Ciri ini cocok dengan kekayaan yg ditambahkan dari janji-janji dan berkat-berkat
perjanjian ini, dibandingkan dengan janji-janji dan berkat-berkat perjanjian dengan Nuh. Sifat rohaniah
yg mendalam dari hubungan yg dibentuk itu menuntut penyerahan penuh dari pihak mereka yg terhisab
dalam perjanjian. (5) Tanda perjanjian itu ialah sunat, suatu peraturan yg harus dilakukan oleh manusia
(Kej 17:11). Sunat adalah tanda atau meterai perjanjian dalam pencapaian yg tertinggi dari segi
rohaniahnya. Sunat itu bahkan disebut perjanjian (Kej 17:10). Sunat menandai pencucian (bnd Kel 6:12,
30; Im 19:23; 26:41; Ul 10:16; 30:6; Yer 4:4; 6:10; 9:25), yg mutlak perlu bagi persekutuan dengan Allah
yg menjadi pusat berkat perjanjian (Kej 17:7).
Tekanan yg diberikan kepada sifat unilateral dari perjanjian sebagai penyaluran kasih karunia dari pihak
Allah, dan kewajiban yg dibebankan kepada manusia untuk menaati perjanjian itu, mungkin nampak
sebagai saling bertentangan. Tapi penelitian menunjukkan bahwa keduanya saling melengkapi. Dalam
perjanjian dengan Abraham itu diperlihatkan kasih karunia tingkat yg tertinggi, karena perjanjian itu
meliputi hubungan rohani yg tertinggi. Makin besar kasih karunia makin banyak ditekankan kedaulatan
Pemberi kasih karunia itu. Tapi sama halnya, makin besar kasih karunia dan makin erat hubungan yg
dicita-citakan, makin mantap pula tuntutan-tuntutan hubungan itu. Keharusan menaati perjanjian itu
menjadi pengungkapan kerohanian yg dikandungnya. Ketaatan itu menjadi syarat bagi kelangsungan
dalam kasih karunia ini dan dari hasil yg dicita-citakan. Ketaatan mewujudkan tanggapan, dan bila tanpa
itu tak mungkin ada persekutuan dengan Allah.
IV. Perjanjian di Sinai
Perjanjian ini diadakan dengan Israel sebagai umat yg telah dipilih dalam kasih berdasarkan kedaulatan
Allah, untuk menerima keselamatan dan pengangkatan (adopsi). Unsur-unsur dari hal ini dan bukti untuk
mendukungnya harus diperhatikan. Israel dipilih berdasarkan kedaulatan Ilahi (Kel 2:25; Ul 4:37; 7:6-8;
8:17, 18; 9:4-6; 14:2; Hos 13:5; Am 3:2). Perjanjian itu dibuat dengan umat yg ditebus (Kel 6:6-8; 15:13;
20:2; Ul 7:8; 9:26; 13:5; 21:8). Israel telah diangkat untuk berhubungan dengan Allah sebagai anak
dengan Bapak (Kel 4:22, 23; Ul 8:5; 32:6; 1 Taw 29:10; Yes 63:16; 64:8; Yer 3:19; 31:9; Hos 11:1; Mal
1:6; 2:10).
Sama pentingnya bagi penafsiran perjanjian di Sinai ini ialah kenyataan, bahwa perjanjian itu dibuat
dengan Israel menurut perjanjian dengan Abraham dan sebagai pemenuhannya (Kel 2:24; 3:16; 6:4-
8; Mzm 105:8-12, 42-45; 106:45).
Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan, bahwa perjanjian di Sinai itu tidak dibuat dengan cara yg akan
menempatkan perjanjian itu bertentangan sekali dengan perjanjian dengan Abraham. Dan menunjukkan
pula, bahwa konsepsi yg sama pada penyaluran yg berdaulat dari kasih karunia memerintah dalam
perjanjian ini adalah seperti dalam perjanjian-perjanjian terdahulu. Pandangan ini dikuatkan oleh
pertimbangan-pertimbangan lain. Hubungan rohani yg ada di pusat perjanjian dengan Abraham itu juga
berada di pusat perjanjian di Sinai. 'Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi
Allah-mu, supaya kamu mengetahui, bahwa Aku-lah Tuhan, Allah-mu' (Kel 6:6; bnd Ul 29:13). Seperti
dalam perjanjian lainnya, yg diberi penekanan adalah penyaluran ilahi yg berdaulat (Kel 19: 5-8; 24:3-
4; Ul 4:13-14).
Ciri yg mempengaruhi beberapa penafsir untuk mengerti perjanjian Sinai ini secara legalistis ialah
kenyataan, bahwa keharusan untuk menaati perjanjian itu diberikan tempat yg begitu terdepan dalam
penyaluran perjanjian itu, dan bahwa umat itu memasuki ikatan yg serius untuk taat (Kel 19:5, 6; 24:7,
8). Bahwa perintah untuk taat dan tekanan akan pentaatan perjanjian tidak membedakan perjanjian di
Sinai itu dari perjanjian lainnya, dan tidak membuatnya pula menjadi perjanjian perbuatan yg bersyarat,
hal itu ditunjukkan oleh bermacam-macam pertimbangan.
a. Seperti telah dikemukakan, keharusan menaati perjanjian itu di dalam perjanjian dengan Abraham
sama jelasnya dengan di dalam perjanjian di Sinai (bnd Kej 17:9-14; 18: 18, 19). Andaikata syarat ini
mengganggu sifat kasih karunia dari perjanjian di Sinai, syarat itu harus mempunyai akibat yg sama
dalam perjanjian dengan Abraham.
b. Karena dalam perjanjian itu dicita-citakan suatu hubungan dengan Allah yg tidak kurang eratnya
daripada umat yg diangkat menjadi anak, maka dapat diharapkan bahwa perintah-perintah berdasarkan
kekudusan Allah, akan memerintah dan mengatur persekutuan itu dan mensyarati kegirangan yg
bersinambungan dari berkat-berkatnya. Asas ini sering diteguhkan (Ul 6:4-15; Im 11:44, 45; 20:7, 26;
21:8), dan dirangkumkan dalam Im 19:2 'Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allah-mu, kudus' (bnd 1 Ptr
1:15; Ibr 12:14). Kekudusan yg dituntut oleh persekutuan perjanjian itu secara kongkret diungkapkan
dalam ketaatan kepada perintah-perintah Allah.
c. Kekudusan menjadi segi integral dari berkat perjanjian. Israel telah diselamatkan untuk menjadi umat
yg kudus, yakni, umat yg dipisahkan bagi Tuhan.
d. Kekudusan, yg secara kongkret dilukiskan dalam ketaatan, menjadi alat melalui mana persekutuan
perjanjian terus-menerus memberikan berkat-berkatnya dan maju ke tujuannya. Inilah beban dari Im 26,
baik secara negatif maupun positif.
e. Adalah keliru bila Kel 19:5, 6; 24:7, 8 dianggap menyarankan seolah-olah pembuatan perjanjian itu
harus menunggu janji ketaatan dari pihak umat. Dalam menaati perjanjian dan dalam menaati firman
Allah perjanjian itu diwujudkan sebagai disalurkan, sebagai berjalan, dan sebagai menyusun suatu
hubungan tertentu. Apa yg bersyaratkan ketaatan ialah penikmatan berkat, yg dicita-citakan dalam
perjanjian. Dan janji akan ketaatan (Kel 24:7) mewujudkan satu-satunya tanggapan yg sebenarnya dari
pihak umat terhadap kasih karunia yg diungkapkan oleh perjanjian.
Perintah bagi ketaatan dalam perjanjian di Sinai itu dalam asasnya sama dengan perintah yg sama dalam
perjanjian yg baru. Orang-orang percaya tidak bertahan di dalam kasih karunia yg disalurkan perjanjian
itu, jika mereka tidak tekun dan tidak taat. Sungguh inilah berkat-berkat dari perjanjian baru, tapi juga
adalah alat yg dengannya kasih karunia dan persekutuan perjanjian berlangsung untuk mencapai
tujuannya (bnd Rm 11:22; Kol 1:23; Ibr 3:6, 14; 1 Ptr 1:5). Kegagalan untuk menafsirkan perintah bagi
ketaatan dalam perjanjian di Sinai, pada dasarnya sama dengan kegagalan menafsirkan perintah dalam
Injil, sebagai akibat dari pengertian yg salah mengenai hubungan-hubungan antara hukum Taurat dan
kasih karunia di dalam perjanjian baru.
V. Perjanjian dengan Daud
Perjanjian ini diucapkan dalam bagian-bagian Alkitab seperti Mzm 89:3, 4, 26-37; 132:11-18. Sekalipun
istilah 'perjanjian' tidak dipakai dalam 2 Sam 7:12-17, namun adalah jelas dari bagian-bagian lain Alkitab
yg bertalian dengan itu, bahwa inilah asas dari pemberitahuan kepada Daud mengenai perjanjian
tersebut. Hunjukan-hunjukan ini menunjukkan, bahwa tiada tatanan perjanjian yg mengungkapkan lebih
jelas lagi daripada itu tentang penyaluran yg berdaulat dari kasih karunia. Ciri-ciri khasnya yg paling
menonjol ialah keyakinan, ketentuan dan keteguhan janji-janji yg diberikan (bnd Mzm 89:3; 2 Sam 23:5).
Perjanjian dengan Daud bersifat mesianis dalam hunjukan-hunjukannya yg paling akhir (bnd Yes 42:1, 6;
49:8; 60:3,4; Mal 3:1; Luk 1:32,33; Kis 2:30-36). Ciri-ciri yg menyolok dari bagian-bagian Yes ialah,
bahwa Hamba Tuhan itu menjadi perjanjian bagi umat. Mesias itu sendiri menjadi perjanjian, karena
berkat-berkat dan perbekalan-perbekalan perjanjian Allah dengan umat Allah itu, sedemikian rupa
dikaitkan dengan Mesias sehingga Ia sendiri menjadi perwujudan dari berkat-berkat itu dan perwujudan
kehadiran Tuhan dengan umat-Nya, yg dijamin oleh perjanjian. Semua pertimbangan yg meneguhkan
kebesaran konsepsi perjanjian, kekayaan kasih karunianya, keterjaminan logistiknya, dan kepastian
janji-janjinya, tidak ada yg menyamai fakta bahwa Kristus sendiri menjadi malaikat perjanjian dan
diberikan sebagai perjanjian bagi umat-Nya. Apakah yg dapat lagi membuka dengan lebih efektif
kedaulatan kasih karunia, yg diwujudkan dalam segala perjanjian, daripada hal bahwa Ia yg di dalam-Nya
janji-janji Allah menjadi 'ya'dan 'amin', diberikan sebagai perjanjian?
VI. Perjanjian baru
Inilah perjanjian dari zaman 'genap masa', yaitu puncak segala masa (bnd Gal 4:4 -- terjemahan LAI,
'genap waktu', Ibr 9:26) justru disebut perjanjian yg kekal (bnd Ibr 13:20; 12:28). Disebut demikian bukan
untuk menyangkal sifat kekal yg telah diberikan contohnya dalam perjanjian-perjanjian yg lebih tua, tapi
adalah karena perjanjian itu membawa kasih karunia Ilahi kepada pelaksanaan dan pemberiannya yg
sepenuhnya. Dan inilah perjanjian Allah dalam tingkat pencapaian yg tertinggi. Disebut kekal adalah juga
karena tidak dapat diganti oleh perealisasian lain yg lebih sempurna daripada kasih karunia dalam
perjanjian. Kasih karunia sekarang telah mencapai pernyataan akhir. Kebahagiaan tertinggi bagi umat
Allah akan terjadi menurut perjanjian baru ini. Tidak mungkin lain, sebab perjanjian baru ini dikaitkan
dengan kasih karunia yg adalah Kristus sendiri dan yg dibawa oleh-Nya.
Bahan-bahan PB mengandung kesimpulan-kesimpulan ini. Hunjukan-hunjukan tertentu jelas mengakui
kesinambungan dalam sejarah penataan perjanjian. Gal 3:17-22 secara khusus menyinggung hubungan
antara perjanjian di Sinai dan perjanjian dengan Abraham. Dan singgungan itu beberapa hal menjadi
jelas. Perjanjian di Sinai tidak membatalkan perjanjian dengan Abraham. Janji-janji dalam perjanjian
dengan Abraham tidak ditiadakan. Perjanjian di Sinai mewujudkan tambahan, bukan penggantian atau
peniadaan. Tambahan yg melayani kepentingan janji yg mendapat pusatnya dalam benih yg akan datang.
Perjanjian di Sinai itu tidak menentang sifat janji dari perjanjian dengan Abraham. Perjanjian itu tidak
dikuasai oleh atau diarahkan kepada suatu asas yg antitetis. Perjanjian di Sinai tidak mengemukakan
suatu cara pembenaran atas hukum penyataan di Sinai telah tercakup di dalam Alkitab yg menguraikan
pembenaran karena iman. Dengan demikian perjanjian di Sinai harus ditafsirkan sebagai menambah
perjanjian Abraham, dan diatur atas dasar asas-asas janji dan iman yg sama.
Luk 1:72 menunjukkan bahwa Zakharia menganggap kejadian-kejadian yg menyelamatkan, yg menjadi
bahan ucapan syukurnya, sebagai pemenuhan perjanjian dengan Abraham. Paulus juga melihat bahwa
Kristus, yakni benih yg dijanjikan itu, adalah penggenapan dari janji-janji kepada Abraham dan kepada
keturunannya, janji-janji yg sama dengan perjanjian sebelumnya (Gal 3:15, 16).
Ketika Tuhan Yesus berkata bahwa darah-Nya adalah darah perjanjian yg ditumpahkan bagi
pengampunan dosa, dan bahwa cawan Perjamuan Kudus adalah perjanjian baru dalam darah-Nya (Mat
26:28; Mrk 14:24; Luk 22:20; 1 Kor 11:25), maka perjanjian baru itu harus dipandang sebagai menunjuk
kepada kasih karunia yg dijamin dan kepada hubungan yg diteguhkan oleh darah yg ditumpahkan-Nya.
Perjanjian itu adalah jumlah seluruhnya dari kasih karunia, berkat, kebenaran dan hubungan yg tercakup
dalam penebusan yg diperoleh oleh darah Yesus.
Dalam 2 Kor 3:6-18 Paulus merenungkan beberapa dan 'hasil guna' yg dilayankan oleh perjanjian baru itu.
Perjanjian tersebut melayankan Roh sebagai Roh hidup, melayankan kebenaran dan kebebasan, dan
terlebih-lebih pengubahan yg dengannya kita diubah menjadi serupa dengan Tuhan sendiri. Inilah berkat-
berkat tertinggi yg memuncak kepada apa yg menjadi mahkota dan tujuan dari pemenuhan keselamatan.
Dalam Ibr 9:16,17 penulis memakai gagasan wasiat. Inilah suatu pemakaian yg tidak umum tentang
istilah 'perjanjian'. Tapi pengertian itu dimasukkan dengan tujuan untuk menekankan efektifitas
kematian Kristus yg memperoleh serta memberi jaminan akan manfaat-manfaat perjanjian baru itu. Cara
yg terbaik untuk menghindari penerapan efektif dari berkat-berkat perjanjian adalah meniadakan isi
wasiat terakhir setelah pembuat wasiat itu mati. Di sini ada kesaksian yg paling khusus mengenai
kenyataan, bahwa perjanjian baru itu adalah penyaluran yg unilateral dan, oleh karena. nya, sama sekali
tidak mencakup gagasan tentang perjanjian timbal-balik antara dua pihak.
Uraian singkat di atas menunjukkan, bahwa dalam Alkitab perjanjian-perjanjian Allah dengan manusia
senantiasa mewujudkan pengurusan kasih karunia yg dilakukan berdasarkan kedaulatan-Nya. Tapi
konsepsi yg sentral ini diterapkan kepada keadaan yg berbeda-beda. Karena itu sifat khusus dari kasih
karunia dan janji itu ditentukan oleh keadaan historis pada waktunya. Sejak zaman Abraham perjanjian-
perjanjian itu khusus bersifat penyelamatan dalam isi dan tujuannya. Ini tidak berarti bahwa kasih
karunia yg menyelamatkan itu mulai dengan Abraham, atau juga tidak berarti bahwa perjanjian-
perjanjian dengan Nuh itu tidak menunjuk kepada keselamatan. Bahkan perjanjian sesudah air bah
sekalipun, pada dirinya tidaklah bersifat menyelamatkan, namun dapat dimengerti dalam hubungan yg
lebih luas dari maksud-maksud Allah untuk menyelamatkan umat manusia, dan dalam hubungannya
dengan Nuh sebagai seorang manusia Allah. Tapi dengan Abraham-lah kasih karunia dan janji-janji yg
khusus bersifat menyelamatkan itu di urus dalam bentuk perjanjian, dan kasih karunia dalam perjanjian
itu dalam intinya bersifat menyelamatkan.
Dimulai dengan Abraham, perjanjian-perjanjian yg berurutan itu lama tuanya dengan zaman-zaman yg
berurutan dalam pengungkapan yg progresif dari kehendak dan maksud Allah untuk menyelamatkan.
Penyataan dalam perjanjian dan penyelesaian penebusan hampir sama. Karena itu perjanjian-perjanjian
yg berurutan itu makin lama makin diperkaya. Tapi pemerkayaan ini bukanlah penarikan kembali atau
penyimpangan dari ciri-ciri perjanjian yg sentral dan yg menguasainya. Pemerkayaan itu adalah
perkembangan yg makin penuh dari apa yg telah ada sejak semula.
Demikianlah puncak kasih karunia dan hubungan dengan Allah yg dicapai dalam penyelamatan itu tidak
melebihi cita-cita perjanjian. Puncak penyelamatan menjadi puncak pengurusan perjanjian, dan kasih
karunia yg berdaulat itu mencapai puncak penjelmaannya dan perealisasiannya. Di pusat segala
perjanjian dari kasih karunia yg menyelamatkan itu adalah janji, 'Aku akan menjadi Allah-mu, dan kamu
akan menjadi umat-Ku'. Perjanjian baru juga membawa hubungan ini ke tingkat pencapaian yg tertinggi,
dan tak akan ada lagi perluasan dan pemerkayaan yg lebih lanjut dari apa yg telah dicapai oleh
perjanjian baru itu. Darah Kristus menjamin isinya. Kristus menjadi Perantaranya dan Jaminannya. Dia
sendirilah perjanjian itu. Tidak ada sesuatu yg lain yg mungkin mengunggulinya.
KEPUSTAKAAN. G Vos, Biblical Theology: Old and New Testament, 1948; 'Hebrews, the Epistle of the
Diatheke' dalam PTR, 13, hlm 587-632,14, hlm 1-61; G. A Mendenhall, Law and Covenant in Israel and
the Ancient Near East, 1955; J Murray, The Covenant of Grace, 1954; R Campbell, Israel and the New
Covenant, 1954; Meredith G Kline, Treaty of the Great King, 1962. JM/HH

Lihat definisi kata "Janji" dalam Studi Kata

Anda mungkin juga menyukai