Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

PEMBIMBING
dr. Tri Endah Suprabawati, Sp.U

PENULIS
Venda Wulandari
030.13.198

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 19 FEBRUARI – 28 APRIL 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN

REFFERAT DENGAN JUDUL


“BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di RSUD BUDHI ASIH
Periode 19 Februari – 28 April 2018

Jakarta, Maret 2018

dr. Tri Endah Suprabawati, Sp.U

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-
Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
ini dengan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih periode 19 Februari – 28 April 2018.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Tri Endah
Suprabawati, Sp.U, selaku pembimbing, seluruh dokter dan staf bagian Ilmu Bedah Rumah
Sakit Umum Daerah Budhi Asih, serta rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik yang telah
memberi dukungan kepada penulis.
Penulis menydarai bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan, kritik, maupun saran yang
bersifat membangun. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi profesi, pendidikan, dan
masyarakat. Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.

Jakarta, Maret 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................2
2.1 Anatomi Kelenjar Prostat.......................................................................................2
2.2 Fisiologi Kelenjar Prostat.......................................................................................3
2.3 Definisi BPH...........................................................................................................4
2.4 Epidemiologi dan Faktor Risiko BPH....................................................................4
2.5 Etiologi BPH...........................................................................................................7
2.6 Patofisiologi BPH...................................................................................................10
2.7 Penegakkan Diagnosis BPH...................................................................................12
2.8 Diagnosis Banding..................................................................................................20
2.9 Tatalaksana BPH....................................................................................................21
2.10 Komplikasi BPH...................................................................................................27
BAB III KESIMPULAN......................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan istilah histopatologis yang ditandai


dengan adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat.1 BPH dianggap sebagai
bagian dari proses penuaan pada pria dan perkembangannya bergantung secara hormonal
terhadap produksi hormon testosteron dan dihidrotestosteron.2
BPH merupakan neoplasma jinak yang sering terjadi, mempengarui kurang lebih 15 juta
pria di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar 50% dari pria menunjukkan gambaran
histopatologis BPH pada usia 50 tahun, dan jumlahnya meningkat hingga 90% pada usia 80
tahun. Prevalensi BPH terbesar terjadi pada pria berusia 70 – 79 tahun. 3 BPH menempati
urutan ke 4 dalam penyakit yang sering terdiagnosis pada pria di atas 50 tahun, setelah
penyakit jantung koroner dan hiperlipidemia, hipertensi, dan diabetes mellitus tipe 2. Di
antara pria berusia 50 tahun ke atas, prevalensi BPH pada suatu komunitas adalah 13.5%.
Angka kejadian BPH di Indonesia belum pernah diteliti secara pasti, namun sebagai gambaran
hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak tahun 1994 – 2013
ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita adalah 66 tahun.1
Selain faktor usia, terdapat beberapa hal yang berhubungan dengan prevalensi BPH
antara lain ras kulit hitam, riwayat keluarga dengan BPH, pola hidup (diet, aktivitas fisik, dan
konsumsi alkohol), sindrom metabolik (obesitas, diabetes dan gangguan homeostasis glukosa,
dan lipid), disfungsi ereksi, dan inflamasi.4
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat menganggu
aktivitas sehari-hari sehingga mempengaruhi kualitas hidup. Keadaan ini terjadi akibat
obstruksi pada kandung kemih dan uretra akibat pembesaran prostat. Pasien dengan BPH
sering mengeluhkan gejala berupa lower urinary tract symptoms (LUTS), antara lain
peningkatan frekuensi berkemih, urgensi, nokturia, pancaran urin yang lemah dan terputus,
merasa tidak puas sehabis berkemih, dan urin yang menetas pasca berkemih.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar Prostat

Gambar 1. Anatomi Prostat

Prostat merupakan organ fibromuskular dan glandular yang terletak inferior dari buli-
buli. Kelenjar prostat dalam ukuran normal memiliki volume ± 20 gram, panjang ± 3 cm,
lebar ± 4 cm, dan kedalaman ± 2 cm. Seiring dengan pertambahan usia, kelenjar prostat
bervariasi ukurannya akibat hiperplasia prostat jinak. Kelenjar ini terletak posterior dari
simfisis pubis, superior dari membran perineal, inferior dari buli-bili, dan anterior dari
rektum. Ditunjang pada bagian anterior oleh ligamen puboprostatik dan pada bagian inferior
oleh diafragma urogenital.2
Kelenjar prostat mengelilingi urethra posterior, yang memiliki panjang ± 2.5 cm dan
duktus ejakulatorius. Kelenjar ini merupakan gabungan dari 30 sampai 50 kelenjar
tubuloacinar yang bermuara pada ± 20 pori-pori pada dinding urethra. Kumpulan kelenjar ini
dilapisi oleh kapsul yang mengandung kolagen, elastin, dan otot polos dalam jumlah yang
besar. Otot polos ini merupakan turunan dari otot longitudinal eksternal buli-buli, yang fungsi
utamanya adalah sebagai sfingter involunter dari uretra posterior pada laki-laki.2,5
Pada awalnya kelenjar prostat dideskripsikan memiliki 5 lobus oleh Lowsley, namun
konsep ini sudah tidak dianggap relevan. Berdasarkan klasifikasi McNeal, prostat terbagi
menjadi 4 zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, dan zona

2
fibromuskular anterior. Zona perifer merupakan bagian subkapsular dari bagian posterior
kelenjar prostat yang mengelilingi urethra bagian distal. Zona sentral mengelilingi duktus
ejakulatorius. Zona transisional mengelilingi urethra bagian proksimal dan merupakan bagian
dimana kelenjar prostat mengalami pertumbuhan selama hidup. Zona fibromuskular anterior
yang biasanya tidak memiliki komponen kelenjar, hanya tersusun dari jaringan otot polos dan
jaringan fibrosa2,5

Gambar 2. Klasifikasi Zona Prostat

2.2 Fisiologi Kelenjar Prostat


Kelenjar prostat memiliki beberapa fungsi antara lain:6
1. Produksi cairan untuk semen
Salah satu bagian semen diproduksi oleh kelenjar prostat. Bersamaan dengan sel
sperma dari testis, cairan yang berasal dari vesikula seminalis, sekret yang diproduksi
oleh kelenjar bulbourethral, dan cairan dari prostat membentuk semen.
Sekresi kelenjar prostat penting untuk berfungsinya sel sperma, dan juga untuk
fertilitas pada pria. Cairan yang tipis, dan seperti susu ini mengandung banyak enzim
seperti prostate-spesific antigen (PSA). Enzim inilah yang membuat konsistensi
semen menjadi lebih tipis. Selain enzim, cairan prostat juga mengandung zat
menyerupai hormon “spermin” yang membantu dalam motilitas sel sperma.

3
2. Menutup urethra hingga buli-buli saat ejakulasi
Saat proses ejakulasi, kelenjar prostat dan otot sfingter buli-buli berkontraksi
untuk menutup urethra sehingga mencegah masuknya semen ke dalam buli-buli. Saat
proses miksi, duktus seminalis menutup dan juga otot pada zona sentralis menutup
duktus prostatikus sehingga urin tidak dapat mengalir bersamaan dengan keluarnya
semen.
3. Metabolisme hormon
Pada kelenjar prostat, hormon seks pria yaitu testosteron ditransformasi menjadi
bentuk aktifnya, yaitu dihidrotestosteron (DHT).

2.3 Definisi BPH


Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu hiperplasia sel stroma
dan sel epitel kelenjar prostat. Proses hiperplasia tersebut dapat disebabkan oleh proliferasi sel
stroma dan sel epitel atau akibat terganggunya kematian sel terprogram (apoptosis) yang
berakibat pada akumulasi sel.1
Sementara itu, istilah benign prostatic enlargement (BPE) merupakan istilah klinis
yang menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya perubahan histopatologis
yang jinak pada prostat.1

2.4 Epidemiologi dan Faktor Risiko BPH


Angka kejadian BPH di Indonesia belum pernah diteliti secara pasti, namun sebagai
gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak tahun 1994 – 2013
ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita adalah 66 tahun.1
Terdapat beberapa faktor risiko dari kejadian BPH antara lain:
1. Usia
Prevalensi BPH meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Diperkirakan
sekitar 50% dari pria menunjukkan gambaran histopatologis BPH pada usia 50 tahun,
dan jumlahnya meningkat hingga 90% pada usia 80 tahun. Prevalensi BPH terbesar
terjadi pada pria berusia 70 – 79 tahun. Penelitian observasional yang dilakukan di
Negara Eropa, Amerika Serkitat, dan Asia menunjukkan usia tua sebagai faktor risiko
terhadap onset dan perjalanan penyakit BPH. Selain itu, volume prostat juga
meningkat sesuai usia, berdasarkan data Krimpen and Baltimore Longitudinal Study of

4
Aging, kecepatan pertumbuhan prostat pada pria usia tua adalah 2.0 – 2.5% per
tahun.3,4
2. Ras
Belum ada pola yang jelas mengenai hubungan ras dengan risiko terjadinya
BPH. Namun penelitian observasional yang membandingkan antara ras kulit hitam,
Asia, dan kulit putih menunjukan hasil yang bervariasi. Di Amerika Serikat, ras kulit
hitam menunjukkan peningkatan volume prostat pada zona transisional dibandingkan
dengan ras kulit putih. Beberapa data juga menunjukkan bahwa terdapat penurunan
risiko kejadian BPH pada ras Asia dibandingkan dengan ras kulit putih.4
3. Genetik
Faktor genetik berperan kuat terhadap terjadinya BPH. Analisis kasus kontrol
pada pria di bawah usia 64 tahun yang menjalani operasi BPH menunjukkan
peningkatan risiko 4 – 6 kali lipat diantara semua saudara laki-laki untuk mengalami
BPH. Penelitian tersebut juga memperkirakan bahwa 50% pria di bawah usia 60 tahun
yang menjalani operasi BPH memiliki bentuk penyakit yang dapat diwariskan.
Temuan tersebut menunjukkan pola pewarisan BPH yang bersifat autosomal
dominan.4
4. Gaya hidup
Semakin banyak diamati bahwa faktor gaya hidup yang dapat dimodifikasi juga
mempengaruhi perjalanan penyakit BPH.4
a. Diet
Terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa makronutrien dan
mikronutrien dapat mempengaruhi risiko BPH, walaupun polanya masih tidak
konsisten. Untuk makronutrien, peningkatan asupan energi total, asupan protein
total, daging merah, lemak, susu dan produk susu, sereal, roti, ungags, dan pati
semuanya berpotensi meningkatkan risiko BPH secara klinis.
Sementara sayur-sayuran, buah-buahan, asam lemak tidak jenuh, asam
linoleat, dan vitamin D berpotensi menurunkan risiko BPH.
Berhubungan dengan mikronutrien, konsentrasi vitamin E, lycopene,
selenium, dan karoten yang tinggi dalam darah juga dapat menurunkan risiko
BPH. Sedangkan seng telah dikaitkan dengan peningkatan ataupun penurunan
risiko BPH.

5
b. Aktivitas fisik
Peningkatan aktivitas fisik dan olahraga berhubungan dengan penurunan
risiko BPH. Meta-analisis dari 11 penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik
sedang – berat dapat mengurangi risiko BPH sebanyak ±25% dibandingkan
dengan gaya hidup sedentary.
c. Konsumsi alkohol
Seperti berolahraga, konsumsi alkohol dalam batas sedang juga memiliki
efek protektif terhadap terjadinya BPH. Berdasarkan meta-analisis dari 19 studi
yang dipublikasikan mengamati penurunan kemungkinan terjadinya BPH
mencapai 35% pada pria yang mengonsumsi alkohol dalam batas sedang.
5. Sindrom metabolik
a. Obesitas
Beberapa studi secara konsisten telah mengamati bahwa peningkatan
jaringan lemak berhubungan positif dengan volume prostat, sehingga semakin
besar jumlah jaringan lemak akan semakin besar volume prostat. Berat badan,
indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar pinggang berkaitan secara positif dengan
volume prostat pada populasi penelitian yang berbeda-beda. Dalam Baltimore
Longitudinal Study of Aging, setiap kenaikan IMT sebesar 1 kg/m2 berhubungan
dengan peningkatan volume prostat sebesar 0.41 mL.4
b. Diabetes dan gangguan homeostasis glukosa
Diabetes, peningkatan serum insulin, dan peningkatan kadar glukosa plasma
saat puasa berhubungan dengan peningkatan ukuran prostat.4
c. Lipid
Terdapat sedikit data mengenai hubungan lipid dan BPH. Beberapa
penelitian menunjukan hubungan yang positif, namun beberapa penelitian lainnya
tidak menemukan hubungan antara lipid dan BPH.4
6. Inflamasi
Mayoritas dari penelitian observasional menunjukkan bahwa inflamasi
berhubungan dengan perkembangan dari BPH. Mekanisme yang mendasari hubungan
tersebut masih belum jelas. Salah satu penjelasan yang memungkinkan adalah sindrom
metabolik, yang menyebabkan inflamasi sistemik dan stres oksidatif. Inflamasi telah
diimplikasikan sebagai stimulis primer dari karsinogenesis protat, hal ini mungkin

6
menjelaskan bahwa BPH menggambarkan jalur proliferatif jinak yang dipromosikan
oleh stres oksidatif dan mediator inflamasi.4

2.5 Etiologi BPH


Secara histopatologis, BPH ditandai dengan peningkatan jumlah sel epitel dan sel
stroma di area periurethra pada prostat. Etiologi molekuler dari proses hiperplasia ini masih
belum diketahui secara pasti. Peningkatan jumlah sel yang diamati mungkin terjadi akibat
proliferasi sel epitel dan sel stroma atau akibat gagalnya kematian sel terprogram (apoptosis)
yang menyebabkan akumulasi selular. Hormon androgen, estrogen, interaksi stroma-epitel,
faktor pertumbuhan, dan neurotransmiter dapat berperan, baik secara tunggal atau
multifaktorial, dalam proses etiologi hiperplasia prostat.7
1. Peran hormon androgen
Walaupun hormon androgen tidak menyebabkan BPH, perkembangan dari BPH
memerlukan keberadaan hormon androgen testikular saat perkembangan prostat,
pubertas, dan penuaan. Diketahui juga bahwa kadar hormon dihidrotestosteron (DHT)
pada prostat dan reseptor androgen tetap tinggi pada masa penuaan, walaupun kadar
hormon testosteron di perifer menurun seiring dengan bertambahnya usia. Selain itu,
androgen withdrawal menyebabkan involusi parsial dari BPH. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara kadar androgen dan ukuran
prostat pada pria usia lanjut dalam uji klinis.7
Di otak, otot skelet, dan epitel tubulus seminiferus, testosteron secara langsung
menstimulasi proses androgen-dependent. Namun di dalam kelenjar prostat, enzim 5α-
reduktase yang mengubah hormon testosteron menjadi DHT, androgen utama dalam
jaringan prostat. Secara keseluruhan, 90% dari total androgen prostat berbentuk DHT,
terutama berasal dari androgen testikular. 10% sisanya berasal dari androgen adrenal. 7
Dalam sel, kedua hormon testosteron dan DHT berikatan dengan reseptor
androgen dengan afinitas tinggi yang sama. DHT merupakan hormon androgen yang
lebih kuat daripada testosteron karena afinitasnya lebih tinggi terhadap reseptor
androgen. Setelah hormon berikatan dengan reseptor akan menghasilkan peningkatan
transkripsi gen androgen-dependent dan pada akhirnya merangsang sintesis protein.
Sebaliknya, androgen withdrawal dari jaringan sensitive androgen menyebabkan
penurunan sintesis protein dan akhirnya mengalami involusi jaringan. Selain inaktivasi
gen androgen-dependent (contohnya: prostate-spesific antigen), androgen withdrawal

7
menyebabkan teraktivasinya beberapa gen spesifik yang terlibat dalam kematian sel
terprogram. Selain efek langsung hormon androgen tersebut, banyak dari faktor
pertumbuhan dan reseptornya yang diregulasi oleh hormon androgen. Dengan
demikian, peran hormon testosteron dan DHT pada kelenjar prostat dimediasi secara
tidak langsung melalui jalur autokrin dan parakrin. Kelenjar prostat, tidak seperti
organ androgen-dependent lainnya, dapat mempertahankan kemampuannya untuk
merespon terhadp androgen sepanjang hidup, dan kadar reseptor androgen serta
hormon DHT juga tetap tinggi selama masa penuaan.7
Dua enzim steroid 5α-reduktase telah ditemukan, masing-masing dikodekan oleh
gen terpisah. Enzim 5α-reduktase tipe I merupakan enzim yang predominan dalam
jaringan ekstraprostatik, sedangkan enzim 5α-reduktase tipe II predominan pada
jaringan prostat.7
Berdasarkan data penelitian, sel stroma prostat memainkan peran sentral dalam
pertumbuhan prostat yang bersifat androgen-dependent dan enzim 5α-reduktase tipe II
di dalam sel stroma merupakan enzim kunci dalam pertumbuhan tersebut. 7

Gambar 3. Efek parakrin hormon androgen pada kelenjar prostat

2. Peran faktor pertumbuhan

8
Faktor pertumbuhan adalah molekul peptida berukuran kecil yang dapat
menstimulasi atau menginhibisi pembelahan sel dan proses diferensiasi. Sel-sel yang
berespon terhadap faktor pertumbuhan pada permukaannya memiliki reseptor yang
spesifik terhadap faktor pertumbuhan tersebut. Interaksi antara faktor pertumbuhan
dan hormon steroid dapat merubah keseimbangan sel-sel proliferasi dan sel-sel
apoptosis untuk menghasilkan BPH.7
Berbagai faktor pertumbuhan telah ditandai pada jaringan prostat normal,
jaringan prostat hiperplastik, dan juga neoplastik. Sebagai tambahan dari bFGF (FGF-
2), acidic FGF (FGF-1), Int-2 (FGF-3), keratinocyte growth factor (FGF-7),
transforming growth factors (TGF-β) dan epidermal growth factor telah terlibat dalam
pertumbuhan prostat. TGF-β merupakan inhibitor kuat terhadap proliferasi pada sel
epitel normal dalam berbagai jaringan. Dalam bentuk kanker prostat, terdapat bukti
bahwa sel-sel malignant telah lolos dari efek inhibisi pertumbuhan dari TGF-β.7

Gambar 4. Peran faktor pertumbuhan pada BPH


3. Interaksi sel stroma dan sel epitel
Terdapat banyak bukti eksperimental yang mendemonstrasikan bahwa sel-sel
stroma dan epitel mempertahankan jenis komunikasi parakrin. Salah satu kelas dari sel
stroma yang mengeksresikan protein (contoh: matriks ekstraselular) meregulasi secara
parsial dari diferensiasi sel epitel. Oleh karena itu BPH dapat disebabkan oleh defek
pada komponen stroma yang pada keadaan normal menghambat proliferasi sel.
Abnormalitas ini dapat bersifat sebagai kontrol autokrin yang juga menyebabkan
proliferasi sel-sel stroma itu sendiri.8

9
Banyak dari interaksi sel stroma dan sel epitel prostat yang diobservasi selama
masa perkembangan normal dan pada kejadian BPH dapat dimediasi oleh faktor
pertumbuhan atau oleh matriks ekstraselular, yang memiliki efek growth factor-like.8
4. Peran inflamasi dan sitokin
Sumber tambahan dari faktor pertumbuhan pada jaringan BPH dapat disebabkan
oleh infiltrasi sel-sel inflamatori. Terdapat infiltrasi ekstensif sel T aktif pada jaringan
BPH. Sel T yang berada pada aliran darah perifer diketahui dapat mengekspresikan
vascular endotheliat growth factor (VEGF), suatu mitogen epitelial yang kuat. Selain
itu, sel T juga diketahui dapat memproduksi dan mensekresi berbagai jenis faktor
pertumbuhan lainnya, termasuk faktor pertumbuhan heparin-binding EGF-like dan
bFGF/FGF-2. Sehingga sel T yang berada pada lingkungan prostat diperkirakan
mampu mensekresikan mitogen epitelial dan stromal yang dapat mempromosikan
hiperplasia stroma dan glandula.8
Sitokin dalam jumlah besar dan reseptornya terlihat pada jaringan BPH. Secara
spesifik, kadar yang signifikan dari beberapa interleukin seperti IL-2, IL-4, IL-7, dan
IL-17, interferon-γ (IFN- γ), dan reseptornya. IL-2, IL-7, dan IFN- γ menstimulasi
proliferasi sel stroma prostat. Macrophage inhibitory cytokine 1 diekspresikan pada
jaringan prostat normal namun regulasinya menurun pada BPH.8
Penelitian terkini dari laboratorium Italia menyarankan bahwa sindrom
metabolik mungkin menjadi determinan klinis terhadap peningkatan risiko terjadinya
inflamasi prostat, dan aktivasi reseptor androgen oleh testosteron dan DHT dapat
bersifat protektif terhadap inflamasi prostat.8

2.6 Patofisiologi BPH


Patofisiologi BPH adalah hal yang kompleks. Hiperplasia prostat dapat meningkatkan
resistensi urethra, mengakibatkan perubahan kompensasi dari fungsi buli-buli. Namun,
peningkatan tekanan detrusor yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran urin dalam
keadaan peningkatan resistensi outflow terjadi dalam keadaan fungsi penyimanan (storage)
buli buli yang normal. Perubahan akibat obstruksi pada fungsi detrusor, ditambah dengan
perubahan terkait usia pada fungsi buli-buli dan sistem saraf, menyebabkan terjadinya lower
urinary tract symptoms (LUTS).8

10
Gambar 5. Patofisiologi BPH

McNeal mendemonstrasikan bahwa BPH pertama kali berkembang pada zona


transisional dari kelenjar prostat. Namun zona transisi juga mengalami pembesaran seiring
dengan usia, tidak berhubungan dengan perkembangan nodul pada BPH. Salah satu bagian
yang unik dari kelenjar prostat manusia adalah keberadaan kapsul prostat. Kapsul ini
mentransmisikan tekanan dari perluasan jaringan ke arah urethra sehingga menyebabkan
peningkatan resistensi urethra.7,8
Kelenjar prostat terdiri dari otot polos dalam volume yang signifikan. Susunan spasial
dari sel otot polos pada kelenjar prostat tidak optimal dalam menghasilkan gaya. Stimulasi
sistem saraf adrenergik menyebabkan peningkatan dinamis pada resistensi urethra prostatik.
Penghambatan stimulasi oleh reseptor α blocker dapat menghilangkan respon tersebut. Tonus
aktif otot polos pada kelenjar prostat diregulasi oleh sistem saraf adrenergik. Pada kelenjar
prostat terdapat banyak adrenoreseptor subtipe α1A.7,8
Perubahan pada buli-buli akibat adanya suatu obstruksi terdiri dari 2 tipe. Pertama,
perubahan yang menyebabkan instabilitas detrusor atau penurunan compliance secara klinis
berhubungan dengan peningkatan fekuensi berkemih dan urgensi. Perubahan kedua
berhubungan dengan penurunan kontratilitas detrusor yang kemudian menyebabkan
perburukan pancaran urin, hesistancy, intermittency, dan peningkatan urin residu, dan (pada

11
kasus minor) kegagalan detrusor. Respon inisial detrusor terhadap obstruksi adalah terjadinya
hipertrofi otot polos yang menyebabkan instabilitas detrusor dan gangguan kontraktilitas.
Obstruksi juga menginduksi perubahan ekspresi protein, gangguan produksi energi (disfungsi
mitokondria), abnormalitas pensinyalan kalsium, dan gangguan komunikasi sel-sel.7,8

2.7 Penegakkan Diagnosis BPH


Gejala (LUTS) yang kompleks tidak spesifik terhadap kejadian BPH, BPE atau bladder
outlet obstruction (BOO). Sehingga tantangan diagnostik awal pada pasien adalah untuk
menentukan apakah gejala tersebut adalah disebabkan oleh BPH. Hal tersebut merupakan
fokus utama dari evaluasi inisial dan pemeriksaan diagnostik. Untungnya, penyebab
nonprostatik dari gejala LUTS dapat dieksklusikan pada mayoritas pasien berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan urinalisis. Pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan
pada pasien apabila diagnosis masih belum tegak setelah dilakukan evaluasi inisial.

2.7.1 Evaluasi Inisial


1. Anamnesis
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa lower uninary
tract symtomps (LUTS), yang terdiri atas gejala iritasi (storage symptoms), gejala
obstruksi (voiding symptoms), dan gejala pasca berkemih. Gejala iritasi meliputi
frekuensi berkemih meningkat, urgensi, dan nokturia. Gejala obstruksi meliputi
kesulitan untuk menginisasi proses berkemih (hesitancy), pancaran kemih lemah dan
terputus (intermitensi), dan keharusan untuk mengejan untuk menginisasi proses
berkemih (straining). Gejala pasca berkemih termasuk urin menetes (dribbling) dan
rasa tidak puas sehabis berkemih.8,9
Hal-hal tambahan yang dapat dicari tahu pada pasien dengan riwayat keluharn
LUTS termasuk riwayat hematuria, infeksi saluran kemih, diabetes, penyakit sistem
saraf (contoh: Parkinson disease atau stroke), striktur urethra, dan retensi urin.8
Riwayat obat yang dikonsumsi rutin oleh pasien juga perlu diketahui, karena
terdapat obat-obatan yang dapat mempengaruhi kontraktilitas buli-buli (antikolinergik)
atau meningkatkan resistensi outflow (simpatomimetik). Riwayat operasi pada saluran
kemih perlu diketahui untuk mengetahui kemungkinan terjadinya striktur urethra atau
leher buli-buli.8

12
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih bagian bawah pada
pasien dengan BPH, terdapat suatu sistem skoring yang digunakan secara luas, yaitu
International Prostate Symptom Score (IPSS). Sistem skoring ini dikembangkan oleh
American Urological Association (AUA) dan telah distandarisasi oleh World Health
Organization (WHO). Selain untuk menilai tingkat keparahan gejala LUTS, sistem
skoring ini berfungsi dalam menilai respon terapi dan mendeteksi progresi gejala pada
pria yang ditatalaksana dengan watchful waiting.

Gambar 6. International Prostate Symptom Score (IPSS)


IPSS terdiri dari 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5
dengan total skor maksimal 35. Berat-ringannya keluhan pasien BPH dapat
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: skor 0 – 7 (ringan), skor 8 – 19

13
(sedang), dan skor 20 – 35 (berat). Selain 7 pertanyaan mengenai gejala LUTS,
terdapat 1 pertanyaan mengenai kualitas hidup yang terdiri dari 7 kemungkinan
jawaban.1,8
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan urologis berupa palpasi dan perkusi regio suprapubik untuk
menentukan apakah terdapat residu urin dalam jumlah yang signifikan. Pemeriksaan
genitalia eksterna untuk mengeksklusikan stenosis meatal atau massa urethra yang
dapat terpalpasi. Pemeriksaan terpenting dalam aspek pemeriksaan fisik adalah colok
dubur atau digital rectal examination (DRE). Pemeriksaan colok dubur untuk
mengevaluasi ukuran, bentuk, kesimetrisan, adanya nodul, dan konsistensi dari
prostat. Apabila terdapat nodul, merupakan hal yang sugestif ke arah kanker prostat
dan memerlukan biopsi protat. Penilaian tonus sfingter dan refleks bulbokavernosus
juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi adanya kelainan pada lengkung refleks di
daerah sakral.1,8,10
3. Urinalisis
AUA merekomendasikan pemeriksaan urinalisis pada semua pria yang
mengeluhkan LUTS untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih dan
hematuria, dimana keduanya menunjukkan proses patologis non-BPH sebagai
penyebab dari LUTS.8
4. Pengukuran serum kreatinin
Pada awalnya pengukuran kadar serum kreatinin direkomendasikan untuk
dilakukan sebagai evaluasi inisial pada semua pasien dengan LUTS untuk
menyingkirkan kemungkinan insufisiensi renal akibat keberadaan uropati obstruktif,
namun pada Fifth International Consultation on BPH, telah disarankan bahwa
pengukuran serum kreatinin bersifat opsional. Guidelines AUA sudah tidak
merekomendasikan pengukuran serum kreatinin rutin pada pasien standar. Namun,
telah terbukti bahwa pasien dengan insufisiensi renal memiliki peningkatan risiko
untuk mengalami komplikasi pasca operasi. Risiko tersebut sebesar 25% jika
dibandingkan dengan 17% pasien tanpa kondisi tersebut. Selain itu, angka mortalitas
juga meningkat hingga 6 kali lipat pada pasien yang diterapi bedah apabila mereka
memiliki insufisiensi renal. Peningkatan kadar serum kreatinin pada pasien dengan

14
LUTS merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan pencitraan (biasanya
ultrasound) untuk mengevaluasi saluran kemih bagian atas.8
5. Serum prostate-spesific antigen (PSA)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific bukan cancer
specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan,
setelah manipulasi pada prostat, retensi urin akut, katetrisasi, keganasan prostat, dan
usia tua.1
Deteksi nodul prostat pada pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan kadar
PSA dapat meningkatkan angka deteksi kanker prostat. Oleh karena itu, pengukuran
kadar PSA harus dilakukan pada pasien untuk mengidentifikasi kanker prostat. Pada
keadaan tanpa kanker prostat, kadar PSA dapat berhubungan dengan volume kelenjar
prostat, dan sebagai indikasi respon terapi dengan 5α-reductase inhibitors, dan sebagai
indikasi progresi LUTS dan BPH. Kadar PSA normal adalah < 4.0 ng/dL.8

2.7.2 Pemeriksaan Diagnostik Tambahan


Pemeriksaan diagnostik tambahan harus dipertimbangkan setelah evaluasi inisial jika
terdapat kemungkinan yang signifikan bahwa keluhan LUTS pasien mungkin bukan
disebabkan oleh BPH atau BOO. Pasien dengan hasil pemeriksaan normal pada evaluasi
inisial dan dengan gejala ringan (skor IPSS 0 – 7), atau pasien dengan gejala sedang namun
hanya sedikit terganggu dengan gejalanya, tidak memerlukan evaluasi diagnostik tambahan
dan dapat dipertimbangkan untuk dipantau dan diobservasi secara sederhana.8
Sedangkan pada pasien yang memerlukan tindakan operatif memerlukan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut, diantaranya:8
1. Uroflowmetry (pancaran urin)
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urin selama proses berkemih.
Pemeriksaan noninvasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih
bagian bawah. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi gejala obstruksi
infravesika, baik sebelum atau setelah terapi.1
Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab pasti terjadinya
kelainan pancaran urin. Pancaran urin yang lemah dapat disebabkan akibat obstruksi
saluran kemih bagian bawah (hiperplasia prostat, striktur urethra, stenosis meatal) atau

15
akibat hipokontraktilitas detrusor.8 Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi
mengenai:
a. Flow rate (Q)
Volume urin yang dikeluarkan melalui urethra per unit waktu (ml/detik).
b. Voided volume (V void)
Total volume urin yang dikeluarkan melalui urethra (ml). Voided volume
berjumlah 125 – 150 ml dibutuhkan untuk menjamin hasil yang akurat.
c. Maximum flow rate (Q max)
Nilai maksimum yang terukur dari flow rate setelah perbaikan dari artefak
(ml/detik).
d. Voiding time
Total durasi waktu berkemih (detik).
e. Flow time
Waktu dimana pancaran yang dapat terhitung terjadi.
f. Average flow rate
Voided volume dibagi dengan flow time.
g. Time to maximum flow
Waktu yang dibutuhkan dari onset hingga pancaran maksimum.

Gambar 7. Kurva pancaran urin

Pancaran urin yang sering ditemukan:11

16
Gambar 8. Pola pancaran urin yang sering ditemukan

a. Pancaran normal
Tidak terdapat nilai normal yang definitif terhadap nilai Qmax, karena
nilainya berkurang seiring dengan pertambahan usia dan voided volume. Pria
berusia <40 tahun biasanya memiliki nilai Qmax > 25 mL/detik. Pancaran normal
dapat terjadi sebagai efek kompensasi terhadap peningkatan tekanan berkemih
yang dihasilkan oleh detrusor pada pasien dengan BOO.
b. Pancaran menurun
Salah satu bentuk pancaran abnormal yang sering ditemukan, ditandai
dengan kurva yang menurun dengan penurunan nilai Qmax dan flow time yang
memanjang. Penurunan yang signifikan dari Qmax (<15 ml/detik) tidak dapat
digunakan untuk membedakan BOO atau gangguan kontraktilitas detrusor,
sehingga diperlukan pemeriksaan urodinaik lebih lanjut.
c. Pancaran plateau
Ditandai dengan flow time memanjang dan pancaran urin yang buruk,
tipikal pada striktur saluran kemih bagian bawah. Selain itu dapat juga ditemukan
pada pasien inkontinensia pasca prostatektomi radikal.
d. Pancaran intermiten

17
Kurva ini dapat dilihat pada pasien yang mengejan saat berkemih akibat
BOO atau akibat kontraksi detrusor yang buruk.
e. Pancaran ‘saw tooth’
Patognomonik dari detrusor-sphincter-dyssynergia.
f. Super-voider
Dapat dilihat pasca operasi BOO (contoh; TURP atau urethroplasty), pasa
pasien dengan penurunan resistensi urethra (pada defisiensi sfingter urethra
intrinsic), atau pada detrusor overactivity.
2. Postvoid residual urine
PVR urin adalah volume urin yang tersisa pada buli-buli setelah proses berkemih
selesai. Penelitian menunjukkan bahwa PVR urin normalnya berkisar antara 0.09 –
2.24 mL, dengan rata-rata yaitu 0.53 mL.8
Jumlah PVR urin yang lebih banyak dapat berakibat pada tingkat kegagalan
yang lebih tinggi dengan strategi tatalaksana watchful waiting. Namun tidak dapat
memprediksi hasil dari terapi operatif. 8
Pemeriksaan residu urin dapat dilakukan secara noninvasif yaitu dengan
ultrasonografi atau secara invasive dengan kateterisasi. Pengukuran dengan kateter
bersifat lebih akurat namun menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pasien serta dapat
menyebabkan cedera urethra, ISK, hingga bakteremia.8
3. Pressure-flow studies
Apabila evaluasi inisial, uroflowmetry, dan PVR urin tidak cukup untuk
mendiagnosis BOO, pemeriksaan urodinamik lebih lanjut dengan pressure-flow
studies perlu dipertimbangkan, terutama jika tatalaksana invasif akan direncanakan
atau jika tatalaksana operatif gagal.8
Pressure-flow studies dapat membedakan pasien dengan Qmax yang rendah
disebabkan oleh sekunder karena obstruksi atau akibat gangguan kontraktilitas
detrusor. Pemeriksaan ini harus dilakukan apabila perbedaan antara kedua penyebab
akan mempengaruhi keputusan tatalaksana.8
4. Urethrocystoscopy
Pemeriksaan urethrocystoscopy direkomendasikan pada pria dengan LUTS yang
memiliki riwayat hematuria mikroskopik atau gross hematuria, penyakit striktur
urethra (atau faktor ririkonya seperti riwayat urethritis atau cedera urethra), kanker

18
buli-buli atau curgiga karsinoma in situ, dan riwayat operasi saluran kemih bagian
bawah (terutama setelah TURP). Pemeriksaan ini juga dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan gejala sedang – berat yang memilih melakukan terapi operatif atau
terapi invasif lainnya.8
5. Pencitraan
Pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan pada evaluasi rutin
pria dengan LUTS kecuali mereka memiliki salah atu atau lebih dari keluhan berikut:
hematuria, ISK, insufisiensi renal, riwayat urolithiasis, atau riwayat operasi saluran
kemih. Ultrasonografi serkarang lebih banyak digunakan dibandingkan dengan
intravenous urography (IVU).8
Ultrasonografi transrektal dari kelenjar prostat direkomendasikan pada beberapa
pasien, untuk menentukan dimensi dan volume dari kelenjar prostat.2

Gambar 9. Pembesaran prostat pada ultrasonografi

19
Gambar 10. Skema pengelolaan pasien dengan BPH

2.8 Diagnosis Banding


Tabel 1. Diagnosis banding BPH12
Penyakit Perbedaan Tanda/Gejala Pemeriksaan
Prostatitis Demam, nyeri suprapubis Leukositosis
atau punggung bawah, Sedimen urin abnormal
pembesaran prostat dengan
nyeri tekan pada pemeriksaan
colok dubur

Kanker prostat Pemeriksaan colok dubur Peningkatan kadar PSA


terdapat nodul atau Kadar PSA bebas rendah
pembesaran asimetris dari Peningkatan PSA > 0.75
kelenjar prostat ng/mL/tahun

ISK Demam, dysuria, nyeri Urinalisis abnormal: piuria


suprapubis atau punggung dan kultur urin positif
bawah

Kanker buli-buli Hematuria, nyeri suprapubis, Urinalisis: hematuria


spasme buli-buli, riwayat mikroskopis
merokok Penemuan abnormal pada
cystoscopy
Pencitraan: efek masa invasif
buli-buli

20
Neurogenic bladder Gejala iritatif Pemeriksaan urodinamik
Biasanya terjadi pada pasien abnormal dengan
dengan Parkinson disease, peningkatan volume residual
multiple sclerosis, diabetes urin
mellitus dengan neuropati

Striktur urethra Riwayat straddle injury atau Hasil urethrogram retrograde


operasi pada saluran kemih yang abnormal
dengan gejala obstruktif Uroflowmetry: plateau flow

2.9 Tatalaksana BPH


Tujuan tatalaksana pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien.
Tatalaksana yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihan tatalaksana pada BPH antara lain
konservatif (watchful waiting), tatalaksana medikamentosa, pembedahan, dan lain-lain.1
1. Konservatif (watchful waiting)
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun, baik medikamentosa ataupun operatif namun
perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan terapi konservatif ini
ditujukan pada pasien BPH dengan gejala ringan (IPSS ≤ 7) dan pasien dengan gejala
sedang – berat (IPSS ≥ 8) yang gejalanya tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.1,8
Watchful waiting bukan berarti absen total dari intervensi terhadap BPH,
melainkan dengan pengaturan diri; manajemen cairan (intake cairan perhari sejumlah
1500 – 2000 mL), mengurangi asupan alkohol dan produk mengandung kafein,
mengatur penggunaan obat-obatan yang berpengaruh terhadap sistem berkemih sesuai
dengan waktu yang tepat, jangan menahan BAK terlalu lama dan mencegah
konstipasi.1,8
Pasien diminta untuk kontrol berkala (3 – 6 bulan) untuk menilai perubahan
keluhan, mengkaji IPSS, pemeriksaan uroflowmetry, ataupun PVR urin. Jika keluhan
bertambah buruk, maka perlu dipirkan untuk memilih terapi yang lain.1,8
2. Medikamentosa
Kandidat yang ideal untuk terapi medikamentosa harus mengalami keluhan yang
mengganggu aktivitas sehari-hari dan berdampak terhadap kualitas hidup sehingga
pasien mampu memberi komitmen jangka panjang terhadap terapi medikamentosa.

21
Terapi medikamentosa termasuk α-adrenergic blockers, 5α-reductase inhibitors,
antimuscarinic, phosphodiesterase inhibitors (PDEIs), dan terapi kombinasi.1,8
a. α-adrenergic blockers
Pengobatan dengan α-adrenergic blockers bertujuan menghambat kontraksi
otot polos kelenjar prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung
kemih dan urethra. Terdiri dari terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin
dengan dosis 1 kali per hari.1,8
Penggunaan obat golongan ini dapat memperbaiki skor IPSS sebanyak 4 – 6
poin, yang dianggap oleh pasien sebagai perubahan yang bermakna.1,8
Efek samping dari penggunaan α-adrenergic blockers antara lain sakit
kepala, pusing, asthenia, hipotensi postural, rhinitis, dan disfungsi seksual.13
b. 5α-reductase inhibitors
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat enzim 5α-reductase
sehingga menyebabkan penurunan kadar DHT. Pada kejadian BPH, DHT
berperan sebagai sel androgen poten dan mempromosikan pertumbuhan prostat.
Sehingga obat ini berfungsi dalam mengurangi volume kelenjar prostat.1,8
Saat ini terdapat 2 jenis obat 5α-reductase inhibitors yang dipakai untuk
mengobati BPH, yaitu finasteride dengan dosis 5mg/hari dan dutasteride dengan
dosis 0.5 mg/hari.1,8
Efek samping dari pemberian obat golongan ini adalah disfungsi ereksi,
penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit.1,8
c. Antimuscarinic
Pengobatan dengan obat golongan antimuscarinic bertujuan untuk
menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga akan
mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Penggunaan obat ini
terutama untuk memperbaiki gejala storage pada LUTS. Beberapa obat
antimuscarinic yang tersedia di Indonesia adalah fesoterodine fumarate,
propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine l-tartrate.1
Penggunaan antimuscarinic pada pasien dengan BOO masih kontroversial,
karena berisiko menyebabkan retensi urin akut. Sehingga penggunaannya
dipertimbangkan jika dengan obat α-adrenergic blockers tidak mengurangi
gejala.1

22
Efek samping obat golongan ini antara lain mulut kering, konstipasi,
kesulitan berkemih, nasofaringitis, dan pusing.1
d. Phosphodiesterase 5 inhibitors (PDEIs)
Phosphodiesterase 5 inhibitor dapat meningkatkan konsentrasi dan
memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan
urethra. Saat ini di Indonesia terdapat 3 jenis obat PDEIs antara lain sildenafil,
verdanafil, dan tadalafil. Namun hanya tadalafil dengan dosis 5 mg/hari yang
direkomendasikan untuk pengobatan LUTS.1
e. Terapi kombinasi
Terapi kombinasi antara α-adrenergic blockers dan 5α-reductase inhibitors
bertujuan untuk mendapatkan efek sinergis dengan menggabungkan manfaat yang
berbeda dari kedua golongan obat tersebut, sehingga meningkatkan efektivitas
dalam memperbaiki gejala dan mencegah perkembangan penyakit.1
Terapi kombinasi ini diindikasikan kepada pasien dengan gejala LUTS
sedang – berat dan mempunyari risiko progresi (volume prostat ≥ 30 ml atau PSA
≥ 1.5 ng/mL).1

3. Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan
komplikasi, seperti:1
 Retensi urin akut
 Gagal Trial Without Cathether (TwoC)
 ISK berulang
 Hematuria makroskopis berulang
 Batu kandung kemih
 Penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH
 Perubahan patologis pada buli-buli dan saluran kemih bagian atas
Sedangkan indikasi relatif untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang
hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan
pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa. 1

23
INVASIF MINIMAL
a. Transurethral resection of the prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan invasif minimal pada
pasien BPH dengan volume prostat 30 – 80 mL. Akan tetapi, tidak ada batas
maksimal volume prostat untuk tindakan ini, hal ini tergantung dari pengalaman
spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan. TURP dilakukan
untuk mengangkat jaringan prostat yang mengalami pembesaran melalui urethra
menggunakan resektoskop, suatu alat yang terdiri dari endoskop yang dilengkapi
dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Secara
umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju
pancaran urine hingga 100%.1
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP dapat berupa perdarahan
yang memerlukan transfusi, sindrom TUR (overload cairan dan hiponatremia
isoosmolar), retensi aurin akut, retensi bekuan darah, dan infeksi saluran kemih.
Selain itu komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi meliputi inkontinensia
urin, stenosis leher buli-buli, striktur urethra, ejakulasi retrograde, disfungsi
ereksi, retensi urin, dan ISK.1

b. Laser postatektomi
Terdapat 5 jenis energy yang digunakan untuk terapi laser prostatektomi,
yaitu Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green light laser, Thulium:YAG dan
diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu 60 – 65oC dan
mengalami vaporasi pada suhu lebih dari 100oC. Tindakan ini dianjurkan
khususnya pada pasien yang menerima pengobatan antikoagulan yang tidak dapat
dihentikan.1
c. Lain-lain
Transurethral incison of the prostate (TUIP atau insisi leher buli-buli
(bladder neck incision) direkomendasikan pada prostat berukuran kecil (< 30 mL)
dan tidak terdapat pembesaran lobus medius prostat. TUIP mampu memperbaiki
keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax walaupun tidak sebaik TURP.1

24
Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan > 45oC sehingga
menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan
dari berbagai cara, antara lain transurethra microwave thermotherapy (TUMT),
transurethral needle ablation (TUNA), dan high intensity focused ultrasound
(HIFU).1
OPERASI TERBUKA
Tatalaksana operatif berupa tindakan prostatektomi yang dapat dilakukan secara
pembedahan terbuka atau pendekatan laparoskopik. Pembedahan terbuka dianjurkan
pada prostat yang volumenya > 80 mL.
Kontraindikasi dilakukannya prostatektomi adalah kelenjar fibrosa kecil,
terdapat keganasan prostat, dan riwayat prostatektomi atau operasi pelvis yang dapat
menyulitkan akses menuju kelenjar prostat.8
4. Lain-lain
a. Trial without Catheterization (TwoC)
TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih secara
spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian
diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin. TwoC baru dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian α-adrenergic blockers selama minimal 3
– 7 hari. TwoC umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urin
akut yang pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.1
b. Clean Intermittent Cathetherization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan buli-buli secara intermiten baik
mandiri atau dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang pada
pasien-pasien yang mengalami retensi urin kronik dan mengalami gangguan fungsi
ginjal atau hidronefrosis. CIC dilakukan ketika kandung kemih pasien sudah terasa
penuh atau secara periodik. 1
c. Sistostomi
Pada keadaan retensi urin dan kateterisasi transuretra tidak dapat dilakukan,
sistostomi dapat menjadi pilihan.1
d. Kateter menetap

25
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering
digunakan untuk menangani retensi urin kronik dengan keadaan medis yang tidak
dapat menjalani tindakan operasi.1

Gambar 11. Algoritma tatalaksana konservatif dan medikamentosa

Gambar 12. Algoritma tatalaksana operatif

2.10 Komplikasi BPH

26
Komplikasi BPH progresif jarang ditemukan dan kebanyakan komplikasi berasal dari
penatalaksanaan BPH dibandingkan dari penyakit itu sendiri. Komplikasi dari BPH antara
lain batu buli-buli, dekompensasi buli-buli, inkontinensia urin, ISK, gangguan saluran kemih
bagian atas dan azotemia, hematuria, dan retensi urin akut.1

27
BAB III
KESIMPULAN

BPH merupakan istilah histopatologis, yaitu hiperplasia sel stroma dan sel epitel
kelenjar prostat. Proses hiperplasia tersebut dapat disebabkan oleh proliferasi sel stroma dan
sel epitel atau akibat terganggunya kematian sel terprogram (apoptosis) yang berakibat pada
akumulasi sel.
Kejadian BPH meningkat seiring dengan bertambahnya usia, diperkirakan sekitar 50%
pria menunjukkan gambaran BPH pada usia 50 tahun, dan meningkat hingga 90% pada usia
80 tahun. BPH juga sering terjadi pada ras kulit hitam dibandingkan dengan ras kulit putih
ataupun asia. Faktor genetik juga berperan kuat terhadap terjadinya BPH, dimana pola
pewarisan BPH bersifat autosomal dominan. Terdapat juga beberapa faktor gaya hidup yang
dapat dimodifikasi yang mempengaruhi perjalanan penyakit BPH antara lain diet dengan
konsumsi sayur, buah, asam lemak tidak jenuh, asam linoleat, dan vitamin D berpotensi
menurunkan risiko BPH. Selain itu, aktivitas fisik yang meningkat serta konsumsi alkohol
dalam batas sedang dapat menurunkan risiko terjadinya BPH. Sindrom metabolik dan proses
inflamasi ditemukan dapat meningkatkan risiko untuk terjadi BPH.
Peningkatan jumlah sel yang diamati pada BPH mungkin disebabkan oleh proliferasi sel
epitel dan sel stroma atau akibat gangguan pada apoptosis sel sehingga terjadi akumulasi
selular. Hormon androgen terutama dihidrotestosteron, faktor pertumbuhan, interaksi sel
stroma dan sel epitel prostat, dan peran inflamasi dan sitokin, baik secara tunggal ataupun
multifaktorial, terlibat dalam proses etiologi hiperplasia prostat.
Diagnosis BPH ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pasien dengan BPH sering mengeluhkan gejala LUTS meliputi frekuensi
berkemih meningkat, urgensi, nokturia, kesulitan untuk menginisasi proses berkemih,
pancaran kemih lemah dan terputus, keharusan untuk mengejan untuk memulai proses
berkemih, urin menetes, dan rasa tidak puas sehabis berkemih. Pada pemeriksaan fisik dapat
dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk mengevaluasi pembesaran kelenjar prostat.
Pemeriksaan penunjang untuk membantu dalam mendiagnosis BPH antara lain urinalisis,
pengukuran serum kreatinin, serum PSA, uroflowmetry, postvoid residual urine, pressure-
flow studies, urethrocystoscopy, dan pencitraan berupa ultrasonografi. Setelah diagnosis BPH
telah ditetapkan, terdapat beberapa pilihan tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain
konservatif, medikamentosa, pembedahan, dan lain-lain.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Mochtar CA, Umbas R, Soebadi DM, Rasyid N, Noegroho BS, Poernomo BB, et al.
Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic
Hyperplasia/BPH), edisi ke-2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2015.
2. Deters LA, Costabile RA, Leveille RJ, Moore CR, Patel VR. Benign Prostatic
Hyperplasia. Medscape. Available at https://emedicine.medscape.com/article/437359-
overview#a1. Accessed on March, 2018.
3. Skinder D, Zacharia I, Studin J, Covino J. Benign prostatic hyperplasia: A clinical
Review. JAAPA 2016;29(8):19-23.
4. Lim KB. Epidemiology of clinical benign prostatic hyperplasia. Asian Journal of Urology
2017;4:148-51.
5. McAninch JW, Lue TF. Smith & Tanagho’s General Urology, 18 th edition. Singapore:
McGraw- Hill. 2013.
6. Informed Health Online. How does the prostate work?. PubMed Health. Available at
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0072475/. Accessed on March, 2018.
7. Roehrborn CG. Pathology of benign prostatic hyperplasia. International Journal of
Impotence Research 2008;20:11-18.
8. Wein AJ, Kavoussi LR, Partin AW, Peters CA. Campbell-Walsh Urology, 11 th edition.
China: Elservier. 2016.
9. Kapoor A. Benign prostatic hyperplasia (BPH) management in the primary care setting.
Can J Urol 2012;19(Suppl 1):10-17.
10. Tanguay S, Awde M, Brock G, Casey R, Kozak J, Lee J, et al. Diagnosis and
management of benign prostatic hyperplasia in primary care. Can Urol Assoc J 2009;3(3
Suppl 2):92-100.
11. Jarvis TR. Practical uroflowmetry. BJUI 2012;110:28-29.
12. British Medical Journal. Benign prostatic hyperplasia. Epocrates. Available at
https://online.epocrates.com/diseases/20835/Benign-prostatic-hyperplasia/Differential-
Diagnosis. Accessed on March, 2018.
13. Kaplan SA. Update on the American Urological Association Guidelines for the
Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia. Rev Urol 2006;8(Suppl 4):10-17.

29

Anda mungkin juga menyukai