LP - Thalasemia Anak
LP - Thalasemia Anak
I I
S T I K E S
A
E
OLEH :
I I
S T I K E S
A
E
OLEH :
( ) ( )
STASE KEPERAWATAN ANAK
LAPORAN PENDAHULUAN THALASEMIA
1. Pengertian
Talasemia merupakan penyakit anemia hemalitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur
eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997 : 377).
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara resesif. (Mansjoer, 2000 : 497).
Talasemia adalah suatu golongan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin. (Suriadi, 2001 : 23).
2. Etiologi
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang
diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen
cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus
memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang
diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak
menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
a. Thalasemia Mayor
Karena sifat sifat gen dominan. Thalasemia mayor merupakan penyakit
yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah.
Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan
anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak
dan umurnya pun sangat pendek, hingga yang bersangkutan
memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya. Penderita
thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18
bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa
muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies
cooley. Faies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang
hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang
yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin.
Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih
khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani
transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang
baik, hidup penderita thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-
8 bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi
tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat
penyakitnya, kian sering pula si penderita harus menjalani transfusi
darah.
b. Thalasemia Minor
Individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun individu
hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau
thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan
thalasemia minor juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak
mereka menerita thalasemia mayor. Pada garis keturunan pasangan ini
akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai ragam
keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering
mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan
akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan
transfusi darah di sepanjang hidupnya.
4. Patofisiologi
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida rantai
alpa dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau
kurangnya rantai beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kekurangan
rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan
kemampuan ertrosit membawa oksigen. Ada suatu kompensator yang
meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta memproduksi secara terus
menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defictive. Ketidak
seimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi.
Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan
menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan
kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia alpa. Kelebihan
rantai polipeptida ini mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai
polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil badan
heint, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Reduksi
dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan pada bone marrow,
produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif. Kompensator produksi RBC
secara terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya
destruksi RBC,menimbulkan tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin.
Kelebihan produksi dan edstruksi RBC menyebabkan bone marrow
menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh. (Suriadi, 2001 : 23-24)
Pada talasemia letak salah satu asam amino rantai polipre tidak
berbeda urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan
susunan asam amino tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper Hb-A,
sedangkan kelainan pada rantai alpha dapat menyebabkan kelainan ketiga
Hb yaitu Hb-A, Hb-A2 dan Hb-F. (Hassan, 1985 : 49)
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak
selincah anak seusianya yang normal. Pertumbuhan fisiknya terlalu
kecil untuk umurnya dan Berat badannya kurang dari normal.
b. Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum / tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk
khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid,
yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar, dan
tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan.
d. Mulut dan bibir terlihat kehitaman.
e. Dada
Pada inspirasi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat
adanya pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut
Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa
dan hati (hepatosplemagali).
g. Pertumbuhan organ sek sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya tidak adanya
pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis.
h. Kulit
Warna kulit pucat kekuning-kuningan, jika anak telah sering
mendapat transfusi darah maka warna kulit menjadi kelabu seperti
besi, akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium.
Pada hapusan darah topi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik,
anisositosis, polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan
banyak sel normoblas). Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan
daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dan dapat
mencapai nol Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya
HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga hemoglobin patologik.
Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga mempunyai HbE
maupun HbS. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan
SGPT dapat meningkat karena kerusakan parankim hati oleh
hemosiderosis. Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit
sirkulasi memperlihatkan peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni
berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai beta.
b. Pemeriksaan radiologis Gambaran radiologis tulang akan
memperlihatkan medula yang labor, korteks tipis dan trabekula
kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang
disebabkan perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Studi hematologi : terdapat perubahan – perubahan pada sel
darah merah, yaitu mikrositosis, hipokromia, anosositosis,
poikilositosis, sel target, eritrosit yang immature, penurunan
hemoglobin dan hematrokrit.
2) Elektroforesis hemoglobin : peningkatan hemoglobin
3) Pada thalasemia beta mayor ditemukan sumsum tulang
hiperaktif terutama seri eritrosit. Hasil foto rontgen meliputi
perubahan pada tulang akibat hiperplasia sumsum yang
berlebihan. Perubahan meliputi pelebaran medulla, penipisan
korteks, dan trabekulasi yang lebih kasar.
4) Analisis DNA, DNA probing, gone blotting dan pemeriksaan
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan jenis
pemeriksaan yang lebih maju.
7. Penatalaksanaan
1) Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di
atas 10 g/dl. Regimen hipertransfusi ini mempunyai keuntungan
klinis yang nyata memungkinkan aktifitas normal dengan nyaman,
mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah konsmetik progresif
yang terkait dengan perubahan tulang-tulang muka, dan
meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis.
2) Transfusi dengan dosis 15-20 mg/kg sel darah merah (PRC) biasanya
diperlukan setiap 4-5 minggu. Uji silang harus dikerjakan untuk
mencegah alloimunisasi dan mencegah reaksi transfusi. Lebih baik
digunakan PRC yang relatif segar (kurang dari 1 minggu dalam
antikoagulan CPD) walaupun dengan kehati-hatian yang tinggi,
reaksi demam akibat transfusi lazim ada. Hal ini dapat meminimalkan
dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari darah beku atau
penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian antipiretik sebelum
transfusi. Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka
panjang, yang tidak dapat dihindari karena setiap 500 ml darah
membawa kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang tidak dapat
dieksresikan secara fisiologi.
3) Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan
dalam kematian awal penderita. Hemosiderosis dapat diturunkan atau
bahkan di cegah dengan pemberian parenteral obat pengkelasi besi
(iron chelating drugs) deferoksamin, yang membentuk kompleks besi
yang dapat dieksresikan dalam urin. Kadar deferoksamin darah yang
dipertahankan tinggi adalah perlu untuk ekresi besi yang memadai.
Obat ini diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan
menggunakan pompa portabel kecil (selama tidur), 5 atau 6
malam/minggu penderita yang menerima regimen ini dapat
mempertahankan kadar feritin serum kurang dari 1000 ng/ml yang
benar-benar dibawah toksik. Komplikasi mematikan siderosis jantung
dan hati dengan demikian dapat dicegah atau secara nyata tertunda.
Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron, telah
dibuktikan efektif serupa dengan deferoksamin. Karena kekhawatiran
terhadap kemungkinan toksisitas (agranulositosis, artitis, artralgia)
obat tersebut kini tidak bersedia di Amerika Serikat.
4) Terapi hipertransfusi mencegah splenomegali masif yang disebabkan
oleh eritripoesis ekstra medular. Namun splenektomi akhirnya
diperlukan karena ukuran organ tersebut atau karena hipersplenisme
sekunder. Splenektomi meningkatkan resiko sepsis yang parah sekali,
oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi yang
jelas dan harus ditunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk
splenektomi adalah meningkatkan kebutuhan transfusi melebihi 240
ml/kg PRC/tahun biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan
merupakan indikasi untuk mempertimbangkan splenektomi.
5) Imuniasi pada penderita ini dengan vaksin hepatitis B, vaksin H.
Influensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus diharapkan
dan terapi profilaksis penisilin juga dianjurkan. Cangkok sumsum
tulang (CST) adalah kuratif pada penderita yang telah menerima
transfusi sangat banyak. Namun, prosedur ini membawa cukup resiko
morbiditas dan mortalitas dan biasanya hanyak digunakan untuk
penderita yang mempunyai saudara kandung yang sehat (yang tidak
terkena) yang histokompatibel. (Nurarif dan Kusuma, 2016)
8.
2. ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Tujuan dan Kriteria Intervensi Aktifitas
Masalah Kolaborasi Hasil
Mansjoer, Arif. dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid II, FKUI : Jakarta.
Suriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp, 2001, Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I. PT Fajar
Interpratama : Jakarta.