(DRAFT I)
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH (PERDA)
TENTANG
IRIGASI
PROVINSI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
2007
1
KATA PENGANTAR
2
I. PENDAHULUAN
3
. Demikian pula masyarakat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga
berkeinginan untuk dapat menyusun suatu Peraturan Daerah (PERDA) tentang Irigasi
sebagai aturan pelaksanaan kebijakan tentang irigasi di wilayah Provinsi DIY. Sesuai
dengan kewenangan pengelolaan irigasi yang telah ditetapkan dalam UU No. 7/2004
maupun PP 20/2006 maka peraturan daerah (PERDA) Provinsi DIY tentang irigasi yang
akan disusun akan menjadi acuan pengaturan untuk DI yang menjadi kewenangan dan
tanggung jawab pengelolaan pemerintah provinsi. PERDA juga akan dipakai untuk
mengatur pelaksanaan pekerjaan tugas pembantuan dan dekonsentrasi dari pemerintah
maupun pemerintah provinsi pada pengelolaan sistem irigasi yang menjadi
kewenangannya. Oleh karena itu diperlukan suatu Naskah Akademik sebagai pengantar
agar dapat memperoleh/menjaring aspirasi masyarakat secara luas sebagai dasar
penyusunan PERDA tentang Irigasi tersebut sebagai dasar terwujudnya proses
demokratisasi di Provinsi DIY. Naskah Akademik ini kemudian dijadikan acuan untuk
menyusun ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal PERDA tentang Irigasi
yang akan disusun.
4
hidup manusia, pengelolaannya membutuhkan partispasi masyarakat luas termasuk
kaum perempuan dan air merupakan kimah ekonomi (economic good). Dalam
pertemuan di Rio de Janeiro pemahaman air sebagai kimah ekonomi diubah menjadi
kimah ekonomi yang mempunyai fungsi sosial. Oleh sebab itu pinsip Dublin kemudian
menjadi lebih terkenal dengan kesepakatan Dublin-Rio (1992) dan menjadi dasar
pijakan diskusi pada forum-forum dialog lanjutan tentang sumberdaya air di aras global
yang dikenal sebagai konsep Integrated Water Resources Management (IWRM)..
(GWP,2000; Solanes dan Gonzales-Villarreal, 1999). Konsep IWRM bertujuan agar
masyarakat dunia melakukan suatu tindakan yang mengacu pada efective water
governance yang sebetulnya merupakan pelaksanaan good water governance dalam
wawasan global (GWP, 2000). Namun adanya pluralisme budaya menghambat
pelaksanaan IWRM di aras lokal.
Maklumat PKPI yang merupakan awal reformasi kebijakan irigasi di Indonesia
juga dipicu oleh beberapa fenomena global yaitu terutama munculnya kekecewaan
masyarakat terhadap sistem politik Orde Baru yang sentralistik dan menafikan proses
demokratisasi. PKPI memperbarui kebijakan sentralistik yang memakai teori
modernisasi dalam pelaksanaan pembangunan irigasi. Pada saat itu pemeritah bersama
masyarakat menginginkan suatu sistem kebijakan pengelolaan irigasi yang partisiptif,
efisien, efektif, transparan dan akuntabel (ciri pengelolaan irigasi berazaskan good
governance). Proses penerapan asas keterbukaan yang diinginkan oleh masyarakat
dinamis juga ditunjang oleh perkembangnya teknologi informasi yang sangat cepat.
Konsep modernisasi Pemerintah Orde Baru memunculkan paradigma
pembangunan berorientasi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi (hampiran teknis-
ekonomis) secara terus menerus. Pembangunan sektor sumberdaya air lebih
dititikberatkan pada pembangunan irigasi agar dapat memotong garis kemiskinan
melalui peningkatan produksi pertanian melalui tiga strategi: (i) pembangunan
infrastruktur; (ii) pemberian insentif pada petani; (iii) pengembangan institusi, termasuk
penyusunan hukum perundangan dan organisasi pengelolaannya (Afif, 1992). Strategi
pembangunan irigasi ditekankan pada: (i) pembangunan fisik berorientasi pada
pencapaian sasaran; (ii) hampiran kerekayasaan berbasis pertimbangan teknis-
ekonomis; (iii) asas sentralistik; dan (iv) keseragaman metode pelaksanaan dengan
mengabaikan keragaman sosio-kultural dan lingkungan strategis setempat. Kebenaran
pelaksanaan strategi pembangunan tersebut dapat dilihat dari kecepatan pembangunan
lahan beririgasi di Indonesia yang sampai dengan tahun 1990 telah tercetak lebih dari 4
juta ha (Mochtar, 1992) dan hampir separuhnya terletak di Pulau Jawa. Pendekatan
hampiran pembangunan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan sosial-politi-
budaya yang cepat berkembang di masyarakat. Akibat adanya ketidak sepadanan
pelaksanaan pembangunan secara teknis-ekonomis dengan faktor sosial-budaya-
lingkungan memunculkan banyak kritik dari para ahli teori pembangunan. Pada
pertengahan dasawarsa 80’an muncul teori-teori pembangunan yang lebih bersifat
sosio-kultural masyarakat dan lebih menekankan pada partisipatif masyarakat. Cara
antisipasi ketidaksepadanan yang muncul dari pendekatan teknis-ekonomis serta
penggunaan azas sentralistik adalah munculnya model pembangunan partisipatif yang
lebih menekankan pada pembangunan sebagai proses belajar (Soedjadmoko, 1987;
Korten, 1981; Chambers 1987) melalui pengumpulan informasi partisipatif seperti Rapid
Rural Appraisal, RRA dan Participatory Rural Appraisal, PRA. Munculnya
permasalahan-permasalahan tersebut merupakan fenomena empiris bentuk ketidak
serasian antara hampiran teknis-ekonomis dengan kemampuan dan kapasitas
pelaksana pembangunan yang sampai dekade tahun 90’an masih menggunakan dan
memanfaatkan hasil-hasil pembangunan masyarakat (Pusposutardjo, 1994; 1996).
5
Fenomena-fenomena yang sama sebetulnya juga muncul di beberapa negara lain yang
melaksanakan strategi pembangunan serupa (Chambers, 1987; Jamieson. 1987;
Beebe, 1987).
Pada pertengahan dekade 80.an Pemerintah Indonesia telah memulai proses
desentralisasi dan partisipsi dalam pengelolaan irigasi. Pada tahun 1987 telah
dikeluarkan dua kebijakan penting yaitu : (i) PP No 14/1987 tentang penyerahan
sebagian urusan pengelolaan irigasi kepada Pemerintah Provinsi dan pemerintah
kabupaten (Pemerintah DaerahTingkat I dan II pada waktu itu); dan (ii) statement
pemerintah tentang pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan (O &P). Tujuan PP No.
14/1987 adalah pemerintah telah menyerahkan pelaksanaan O&P irigasi kepada
Pemerintah Provinsi sedangkan pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
diserahkan pada Pemerintah Kabupaten. Kebijakan Pemerintah tentang O&P tahun
1987 adalah penyerahan irigasi kecil (PIK) luas DI lebih kecil dari 500 ha kepada P3A,
implementasi Iuran Pengelolaan Irigasi (IPAIR) dan pelaksanaan O&P efisien (Efficient
used O&M) untuk jaringan lebih besar dari 500 ha. Tetapi dua kebijakan tersebut setelah
berjalan beberapa tahun tak dapat memenuhi sasarannya (Rochdiyanto dan Arif, 1996,
Helmi dan Bruns, 1995).
Ketimpangan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya air selama masa
pemerintahan Orde Baru mulai ditata pada triwulan akhir tahun 1998. Langkah pertama
adalah melalui keputusan sidang Kabinet bulan Oktober 1998 yang merekomendasi
penggunaan metode Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan (PPKP) atau
Participatory Rural Appraisal (PRA) dalam perancangan dan pelaksanaan program-
program yang tercakup dalam pengelolaan sumberdaya air termasuk program pelatihan
yang diberikan kepada masyrakat. Langkah kedua adalah membentuk Kelompok Kerja
(POKJA) yang bertugas untuk memikirkan kembali dan menetapkan kebijakan
sumberdaya air nasional. Kelompok kerja ini beranggotakan unsur-unsur birokrasi dari
Departemen terkait, wakil-wakil daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Agar
lebih dapat mencapai tujuan dan sasaran maka Kelompok kerja ini dibagi dalam
beberapa kelompok. Salah satunya adalah Kelompok Kerja Irigasi yang bertugas
menyusun Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi yang dituangkan dalam bentuk
INPRES No. 3/1999 dan dikuatkan melalui PP No. 77/2001.
Kebijakan dalam PKPI (INPRES No. 3/1999) berupa: (i) redefinisi tugas, peran
dan tanggungjawab lembaga pengelola irigasi; (ii) pemberdayaan petani; (iii)
penyerahan pengelolaan irigasi kepada petani; (iv) terhimpunnya dana pengelolaan
irigasi termasuk dari iuran pengelolaan air irigasi; dan (v) terwujudnya keberlanjutan
irigasi. Hasil penelitian Arif (2001) menyatakan bahwa sebetulnya pemerintah melalui
PKPI berkeinginan untuk memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat dalam
pengelolaan irigasi melalui Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) sehingga
keberlanjutan sistem irigasi yang telah dibangun dapat tetap terjaga. Dengan demikian
Kebijakan Pembaharuan Pengelolaan Irigasi ini bermakna pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu proses pengembangan dan
perkuatan kemampuan masyarakat untuk terus dapat memberikan manfaat dalam
proses yang dinamis secara bertanggung jawab (Fetterman, 1996; Rees, 1991;Brown,
1994). Dari sudut teori pembangunan Penyerahan Pengelolaan Irigasi (PPI) secara
serempak seperti yang dilakukan pada PP No. 77/2001 sebetulnya merupakan suatu
pelaksanaan privatisasi kelembagaan pengelolaan pelayanan publik (Pietersie, 2001,
Vermillion, 1997). Dari beberapa wilayah kajian yang dilakukan terhadap pelaksanaan
PPI diperoleh hasil yang saling berbeda, yaitu sebagian P3A/GP3A mampu untuk
mengelola tetapi sebagian lagi menyatakan sebaliknya. Ketidaksamaan dalam
6
pengelolaan pasca PPI disebabkan oleh : (i) pemerintah tidak siap dalam pelaksanaan
PPI mencakup pola tata pikir dan program; (ii) tidak siapnya petani untuk menerima
penyerahan pengelolaan karena adanya kesenjangan teknologi dan pengetahuan
pengelolaan irigasi teknis antara aparat pemerintah dengan petani (Bahaduri et al,
2004).
Terjadinya hambatan dalam pelaksanaan pengelolaan irigasi pasca PPI
menyebabkan Pemerintah bersama DPR-RI sepakat untuk meninjau ulang kebijakan
pelaksanaan PKPI terutama kebijakan ketiga (PPI) dan kebijakan ke IV (kelembagaan
pendanaan pengelolaan irigasi). Kebijakan itu dituangkan dalam Pasal 41 UU No
7/2004. Sebetulnya proses hambatan pelaksanaan PKPI lebih disebabkan oleh
pelaksanaan proses kebijakan pertama yaitu tentang redefinisi tugas, tanggungjawab
dan peran lembaga pengelolaan irigasi tak berjalan secara sepadan. Perubahan pola
tata pikir aparat pemerintah dalam proses pembaharuan yang sebetulnya menjadi jiwa
pembaharuan belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga sangat
mempengaruhi pelaksanaan program-program PKPI (Arif, 2002). Apabila dibanding-
bandingkan, terdapat perbedaan mendasar dan sangat nyata antara PP 77/2001
dengan PP 20/2006 seperti terlihat dalam Tabel 1(Arif, 2006).
Selain perbedaan terdapat pula kesamaan antara PP No. 77/2001 dengan PP No.
20/2006, yaitu: (i) mengacu pada pelaksanaan good governance yang bersendikan pada
azas partisipasi, efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas, dan (ii) terbuka dan
mendukung konsep pengembangan teknologi dan manajerial irigasi.
7
3.2 Takrif tentang irigasi
Israelsen dan Hansen (1980) mentakrifkan (mendefinisikan) irigasi sebagai
proses penambahan air untuk memenuhi lengas tanah yang sangat berguna bagi
pertumbuhan tanaman. Pengertian tentang irigasi tersebut juga mencakup bahwa
dalam suatu daerah irigasi terdapat pula drainasi yaitu suatu proses pengatusan apabila
terjadi kelebihan air. Takrif lain oleh Small dan Svendsen (1992) menyatakan bahwa
irigasi adalah tindakan intervensi manusia untuk mengubah distribusi air dari sumbernya
menurut ruang dan waktu serta mengelola sebagian atau seluruh jumlah tersebut untuk
menaikkan produksi tanaman.
PP no 20/2006 pasal 1 ayat 3 menyatakan irigasi adalah usaha penyediaan,
pengaturan, dan pembuangan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi
irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak.
Dari takrif-takrif tersebut dapat dimengerti bahwa irigasi merupakan suatu proses
manipulasi sumberdaya air yang dilakukan manusia dengan tujuan untuk meningkatkan
manfaat (produksi tanaman) dalam proses budidaya pertanian sesuai dengan
kebutuhan manusia. Takrif yang diberikan oleh PP No. 77/2001 dan PP No. 20/2006,
memberikan pengertian pula bahwa air irigasi dapat berasal dari beberapa sumber
misalnya air permukaan dan air tanah ataupun teknologi yang digunakan untuk
mengalirkan air, seperti halnya irigasi pompa atau irigasi air permukaan yang
menggunakan gravitasi. Takrif yang disebutkan oleh PP No. 20/2006 merupakan upaya
penyempurnaan tentang takrif irigasi yang diberikan PP No. 77/2001, tetapi secara
maknawi takrif yang diberikan tak banyak berbeda. Sebagai upaya
penyediaan/pemberian air untuk pertanian, usaha tambak juga dimasukkan dalam takrif
PP No. 20/2006. Dengan demikian penyediaan air untuk tambak juga menjadi
tanggungjawab pengelola irigasi, namun irigasi kolam air tawar tidak disebutkan.
Tambak merupakan suatu usaha perikanan dengan menggunakan air payau, di dekat
laut, sedang kolam mencirikan usaha ikan air tawar.
Kesimpulan yang dapat ditarik tentang irigasi adalah suatu sistem proses
transformasi sosio-kultural masyarakat karena berkenaan dengan kepentingan dan
kehidupan manusia. Sebagai suatu sistem sosio-kultural masyarakat maka sistem irigasi
mempunyai empat subsistem, yaitu: (i) subsistem budaya sebagai landasan pola pikir;
(ii) subsistem sosial-ekonomi; (iii) subsistem artefak dengan teknologi termasuk di
dalamnya; dan (iv) subsistem bukan manusia (non human subsystem) (Pusposutardjo,
1996). Setiap subsistem yang ada akan saling berinteraksi di dalam sistem tersebut
dan akan saling akan berkesetimbangan dengan lingkungannya. Sistem irigasi sebagai
sistem transformasi sosio-kultural masyarakat ini disajikan dalam Gambar 1. Irigasi juga
dapat dimaknai sebagai suatu sistem. Sistem irigasi merupakan suatu sistem bersifat
teleologis dengan pengertian :
- suatu sistem yang sengaja telah dibuat sebelumnya untuk mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan;
- adanya nasabah (pengguna air) yang dirancang dan direncanakan
sebelumnya serta nasabah riil yang akan memperoleh air tidak seperti yang
direncanakan;
- terdapat proses pengambilan keputusan kebijakan secara berjenjang yang
berarti bukan monopoli perseorangan (Smith, 1998; Pusposutardjo, 2000)
8
- sistem terbuka, secara struktur dan fungsi selalu berubah sesuai kondisi
lingkungan (fisik-institusi-sosial-ekonomi-budaya-kebijakan);
- sistem dengan batas keliling adalah kalang irigasi (Small and Svendsen,
1992);
- sistem penyelesaian masalah secara desentralisasi masing-masing fungsi
subsistemnya;
- sistem pemecahan yang dimulai dari aras subsistem masalah terkecil pada
kegiatan yang paling kritis;
- sistem desentralisasi hak pemanfaatan air dengan sumbernya disertai
tanggung jawabnya.
Sasaran keseluruhan telaah sistem irigasi adalah pencapaian kepuasan, non-monopoli,
dan rasa saling menghormati diantara pengguna, pengguna – pengelola.
Melalui pendekatan sistem transformasi sosio-kultural masyarakat akan di
peroleh suatu pemahaman terhadap adanya keragaman dalam setiap budaya lokal.
Adanya keragaman menyebabkan setiap sistem irigasi akan mempunyai karakteristik
yang khas di masing-masing tempat sehingga tidak ada satu kebijakan pun yang dapat
digeneralisasi untuk diberlakukan pada setiap sistem irigasi.
KEBIJAKAN
Linkungan
strategis
Pola pikir
Artefak
Sosial-
S-
EK
SI
FI
O
S
K
ekonomi
EKOLOGI
9
Irigasi ditujukan untuk kepentingan manusia (Small dan Svendsen, 1992), maka
sistem irigasi juga dapat dipandang sebagai suatu sistem berkalang Sistem berkalang
yaitu sistem yang melihat irigasi sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia di aras
paling bawah (sebagai suatu masukan dalam proses pertanian beririgasi) sampai ke
pada tujuan kebijakan nasional yang biasanya diset sesuai dengan paradigma
pemerintah (Gambar 2). Pada masa lalu irigasi dikelola untuk mencapaian swa
sembada beras dan sekarang telah bergeser, yaitu selain untuk ketahanan pangan juga
diharapkan dapat pula meningkatkan kesejahteraan petani.
1
Biaya sebagai pembatas tingkat akses sumberdaya. Exclusion adalah derajat pembatas akses sumberdaya
10
Pengusahaan dan bisnis tersebut juga memunculkan adanya free rider dari pihak
pengelola maupun pemanfaat air irigasi.
Pengambilan suatu unit sumberdaya akan mengurangi kesediaan bagi pihak lain
untuk memanfaatkannya, atau disebut sebagai karakter substractibility atau rivalry
(Ostrom, 1990). Akibat karakter ini maka sumberdaya (air) milik bersama rentan
terhadap masalah eksploitasi berlebih (over exploitation) atau kerusakan sumberdaya.
Inilah yang dikatakan sebagai tragedy of the commons (Hardin, 1968). Tragedi bisa
terjadi karena tidak adanya niat (dalam bentuk aturan pengelolaan) untuk membatasi
pemanfaatan sumberdaya yang berorientasi pada pelestarian (kuantitas dan kualitas).
Tidak adanya aturan yang membatasi pemanfaatan maka sumberdaya air akan bersifat
sebagai akses terbuka (open access). Contoh kasus substractibility dan rivality sudah
muncul dalam kasus pengelolaan DI Van der Wijck. Akibat adanya beberapa kolam
udang untuk bisnis rumah makan seperti di sebutkan di atas juga menimbulkan dampak
negatif bagi petani di bagian hilirnya. Hal ini berpengaruh bukan hanya pada petani di
bagian hilirnya tetapi juga petani tetangga pengusaha kolam (wawancara langsung
dengan GP3A Minggir, 2007). Penyebab kerugian petani tetangga pengusaha kolam
udang adalah dari cara pengambilan air dari sistem jaringan dan cara pembuangan
kembali setelah dipakai.
Alokasi sumberdaya milik bersama perlu dilakukan dengan mengatur akses
terhadap sumberdaya dan aturan pemanfaatannya (Ostrom, 1990; Feeny et al.1990;
Pomeroy and Berkes, 1997; Dolšak and Ostrom, 2003). Akses dapat dilakukan melalui
mekanisme politis seperti privatisasi (private property rights) atau kepemilikan negara
(state property rights) sebagaimana yang direkomendasikan oleh Hardin (1968). Model
kepemilikan sumberdaya air oleh pemerintah menjadi kebijakan yang diterapkan di
banyak negara. Namun, kebijakan ini tidak selalu berhasil dilakukan, terutama pada
sumberdaya milik negara, karena pengelola tidak dapat mengatasi paling tidak dua hal
penting: a) biaya transaksi yang tinggi dalam penegakan aturan atau penjagaan
sumberdaya (seperti biaya pengawasan, personil, dsb) sehingga penumpang bebas
(free rider) tidak dapat dikontrol; b) tindakan oportunis (opportunistic behavior) berupa
perburuan rente (rent-seeking) oleh aparat pengawas lapangan (Feeny et al.1990).
Karakteristik sumberdaya dan komunitas mempengaruhi keberhasilan
pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan baik secara ekologis maupun sosial-
ekonomis. Upaya kerjasama sukarela (voluntary collective choice) atau aksi bersama
(collective action) ditemukan di perikanan pantai, perikanan darat, sistem pertanian
irigasi teknis (contoh: Subak), pengelolaan hutan padang rumput (Pomeroy and Berkes,
1997; Dolšak and Ostrom, 2003). Pada tipe pengelolaan ini maka sumberdaya dianggap
sebagai kepemilikan komunal (communal rights). Beberapa hal yang mendorong
terjadinya aksi bersama. Salah satunya adalah karena penghidupan komunitas
bergantung pada keberlanjutan sumberdaya tersebut, dan sumberdaya bersifat langka
atau dapat habis, sehingga mereka berusaha menjaganya dan menetapkan aturan
dalam pemanfaatannya. Contoh spesifik adalah aliran manfaat sumberdaya laut bersifat
bervariasi dan tidak dapat diprediksi, misalnya ikan mudah berpindah, atau stok ikan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain iklim, oseanografi dan hidrologi. Sehingga
sulit membatasi kepemilikan dan pemanfaatan suatu sumberdaya bagi tiap individu
melalui kepemilikan tunggal (private rights), sehingga pilihan terbaik pemanfaatan
sumberdaya semacam ini adalah kepemilikan kolektif.
Faktor interdependensi sosial dan kelangkaan sumberdaya membentuk suatu struktur
insentif bagi komunitas atau kelompok pengguna untuk melakukan aksi bersama
(collective action) dalam mengatasi masalah alokasi sumberdaya. Aksi bersama
pengelolaan sumberdaya oleh suatu komunitas akan menurunkan biaya transaksi dalam
11
pengawasan dan penegakan aturan, karena adanya interdependensi antar anggota
komunitas. Pengambilan keputusan seorang individu tidak bisa hanya
mempertimbangkan biaya-manfaat dalam memanfaatkan sumberdaya bagi dirinya tetapi
perlu mempertimbangkan ekspektasi individu lain dalam komunitasnya tentang
bagaimana seseorang seharusnya memanfaatkan sumberdaya (Dolšak and Ostrom,
2003). Hal ini terkait dengan karakter sosial komunitas pedesaan termasuk di pesisir.
Karakter sosial mencakup interdependensi, ekspektasi perilaku individu dan norma
timbal-balik (norms of reciprocity). Dengan keberadaan sanksi (regulasi, sosial atau
sanksi adat yang disepakati) maka insentif untuk melakukan pelanggaran aturan atau
menjadi penumpang bebas bisa ditekan.
12
hujan
manusia
Sikap
dan Pengelolaan DAS
perilaku
manusia
Kebuth.lahan
dan
air sungai
sumberdaya
lain Kebut.
Sektor
lain
Hak Sumber
atas air air
irigasi
Ketersediaa
n lahan Pengelolaan sistem jaringan
utama
SDM
Pola & dan
luas institusi
tanam
Kebij..
Kondisi
Pemerinta
Kesejah h dan fungsi teknologi
petani pendanaa Prasarana
n irigasi
Pengel. Ketersediaan
irig air irigasi di
petak tersier
Kebutuhan
belanja
petani
Fakt.
Pendapat Pengelolaan sistem
Peng
an petani jaringan tersier
aruh lain SDM
dan
Kebij.. institusi
pemerin
ta
harga pasar Kondisi
dan fungsi
Prasarana
teknologi
Produks Saprota irigasi
i n
Ketersediaan
air irigasi di
Pengelolaan sistem petak sawah
pertanian
13
Gambar 3. Skhema sistem irigasi yang kompleks sebagai unsur peningkatan
kesejahteraan petani dan produksi untuk menunjang ketahanan pangan (Arif, 2006)
Ketersediaan air irigasi yang kontinyu sepanjang tahun merupakan modal dasar
sangat esensial bagi upaya pengelolaan irigasi yang baik. Informasi temporal tentang
keberadaan air irigasi merupakan sesuatu yang mutlak harus dipunyai oleh pengelola.
Informasi irigasi setelah diolah dan di analisis akan dipergunakan untuk
kegiatanpengambilan keputusan. Oleh karena itu sistem pengumpulan data dan
informasi harus handal dengan dukungan: (i) prasarana, termasuk alat ukur yang selalu
terkalibrasi; (ii) tatacara pengumpulan informasi yang memadai; (iii) tenaga kerja yang
kompeten untuk mengumpulkan dan menganalisis data; (iv) sistimatisasi penyimpanan
dan cara analisis data yang bersifat handal, akurat, mudah dan murah untuk dilakukan.
Selain itu ketersediaan air irigasi juga dipengaruhi oleh hak guna atas air irigasi.
“ Technology is the technical means people use to improve their surroundings. It is also
a knowledge of using tools and machines to do tasks efficiently. Technology is people
using knowledge, tools and systems to make their lives easier and better”
Dengan takrif tersebut maka teknologi pengelolaan irigasi akan berupa suatu
penggunaan alat dan juga mesin serta pengetahuan untuk melaksanakan pengelolaan
irigasi secara efisien. Dari pengalaman masa lalu telah dikenal beberapa bentuk
teknologi pengelolaan irigasi, sebagian dapat berjalan dengan baik tetapi adapula yang
tidak dapat berjalan secara sepadan. Oleh sebab itu dalam pelaksanaan pengelolaan
irigasi perlu dikembangkan suatu teknologi sepadan yang paling sesuai untuk masing-
masing wilayah sehingga sangat dimungkinkan terjadinya keragaman penggunaan
teknologi pelaksanaan O&P irigasi pada beberapa DI.
Mekanisme proses pengambilan air dari sumber, mengalirkan dan membagikan
ke dalam petak harus ada dalam suatu proses pengelolaan irigasi yang memadai. Pada
sistem irigasi teknis, prasarana irigasi yang dipunyai sebetulnya merupakan suatu wujud
teknologi yang canggih dalam bentuk urutan tindakan perencanaan, perancangan, dan
14
pembangunan yang berurutan serta mempunyai beberapa asumsi yang disesuaikan
dengan keinginan pengguna melalui tindakan O&P irigasi secara sepadan seperti yang
dikehendaki oleh seluruh pemangku kepentingan. Teknologi pengelolaan irigasi yang
dirancang haruslah menghormati pada teknologi dan pengetahuan masyarakat lokal.
Tindakan-tindakan yang dimulai dari penyusunan rancangan sampai pada O&P irigasi
juga merupakan suatu proses alih teknologi. Dari beberapa pengalaman masa lalu
terbukti adanya fakta yang menunjukkan telah terjadi hambatan dalam proses alih
teknologi tersebut. Teknologi selalu dikuasai oleh pemerintah sebagai pengelola dan
penanggungjawab pelaksanaan pengelolaan jaringan utama sedangkan masyarakat
hanya sedikit mempunyai aksesibilitas terhadap teknologi irigasi yang dipakai.
Akibatnya, terjadi kesenjangan teknologi antara pemerintah (pengelola jaringan utama)
dan petani (pengelola jaringan tersier) yang akibatnya akan dapat menimbulkan suatu
chaos dan anarki. Selain itu pada masa lalu juga dijumpai adanya ketaksepadanan
budaya O&P yang memicu timbulnya paradoks O&P irigasi,bahwa tindakan O&P itu
sangat penting dan diperlukan tetapi kurang diperhatikan, sehingga timbul suatu
tindakan build-neglect-rebuild. Tindakan ini telah menyebabkan terjadinya penurunan
kinerja irigasi yang terlalu cepat dari yang direncanakan sebelumnya.
Tidak adanya budaya pemeliharaan merupakan suatu penyebab utama dan ini
merupakan sesuatu hal yang serius sehingga harus diupayakan untuk diubah. Tetapi
dalam beberapa kasus hambatan alih teknologi juga terjadi tidak hanya dari operator ke
petani tetapi justru sudah mulai sejak dari masa perancangan sampai pada masa
pembangunannya. Salah satu cara untuk menghapuskan kesenjangan teknologi
tersebut adalah dengan membuat rancangbangundan konstruksi partisipatif serta dapat
melakukan penelusuran jaringan secara bersama dan dialog antara petugas pemerintah
dan petani. Untuk itu, pelibatan masyarakat petani mulai dari penyusunan
rancangbangun, pembangunan konstruksi jaringan irigasi, pengenalan jaringan irigasi
dan seluruh aset prasarana yang ada di dalam jaringan sampai pada tindakan O&P nya.
Mengingat betapa pentingnya prasarana irigasi ini maka informasi tentang
keberadaan, kondisi dan fungsi prasarana irigasi di dalam jaringan merupakan sesuatu
yang mutlak dipunyai. Dengan mengetahui selluruh informasi tentang aset prasarana
maka juga dapat pula ditetapkan rancangan investasi untuk melakukan O&P irigasi yang
disesuaikan dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama. Penetapan investasi ini
dapat dilakukan melalui kegiatan manajemen aset prasarana irigasi.
Selain prasarana irigasi, modal fisik yang tak kalah pentingnya adalah alat
perlengkapan untuk melaksanakan O&P irigasi seperti misalnya alat transportasi dan
komunikasi, alat penyimpan dan pengolah data, kantor beserta peralatan dan
perlengkapannya.
15
perlengkapan manajemen irigasi termasuk aturan pelaksanaannya juga harus dipenuhi
dan dijalankan. UU No. 7/2004 telah menetapkan kewenangan pengelolaan irigasi yang
disesuaikan dengan luas daerah irigasinya. Pemerintah atau pemerintah daerah akan
mengelola jaringan utama dan petani di jaringan tersier. Dengan demikian paling tidak
dalam penyusunan institusi pengelolaan irigasi akan melibatkan unsur-unsur tersebut.
Dalam PP irigasi juga telah disebutkan untuk membentuk komisi irigasi di aras
kabupaten dan provinsi.
Penyusunan struktur organisasi pengelolaan irigasi perlu juga
mempertimbangkan faktor otonomi daerah serta karakteristik daerah masing-masing
sebagai dasar penyusunannya.Oleh sebab itu pembentukan lembaga pengelolaan
irigasi termasuk Komisi Irigasi ini juga memperhatikan kedua faktor penting tersebut.
Untuk mencapai tujuan pengelolaan irigasi seperti yang telah ditetapkan, maka
dalam pengelolaan irigasi perlu disusun terlebih dahulu suatu aturan pelaksanaan berisi
langkah-langkah pelaksanaan beserta kriteria keberhasilannya berdasar suatu tatacara
manajemen provisi. Aturan dan kriteria yang disusun haruslah merupakan suatu
kesepakatan antar pelaku manajemen irigasi. Karena dasar pelaksanaan manajemen
irigasi berdasarkan pada azas provisi maka aturan pelaksanaan dan kriteria
keberhasilannya haruslah diset bersama dengan petani sebagai pemanfaat utama
manajemen irigasi.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sebuah daerah otonomi yang
beribukota di Yogyakarta. Letak astronomi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 7o15- 8o15
Lintang Selatan dan garis 110o5- 110o4 Bujur Timur, dengan batas wilayah:
Sebelah Barat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah
Sebelah Barat Laut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
Sebelah Timur Laut Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
Sebelah Timur Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah
Sebelah Selatan Samudera Indonesia.
Sebelah Utara G. Merapi.
Provinsi DIY terletak pada posisi antara 7033’ – 8015’ LS dan 11005’ – 110050’
BT. Luas wilayah Provinsi DIY 3.185,81 km 2, dibatasi oleh Provinsi Jawa Tengah
(sebelah utara, timur dan utara) serta Samudera Indonesia di sebelah selatan.
16
Temperatur harian rata-rata berkisar antara 26,6°C sampai 28,8° C dengan kelembaban
udara relatif rata-rata 74 % dan curah hujan rata-rata tahunan 1855 mm.
17
utamanya adalah untuk mengairi DI Kalibawang dan DI Donomulyo, dengan luas
areal total 2.313 ha. Namun demikian saluran tersebut juga berfungsi untuk
memberikan suplesi ke Sungai Serang dan Sungai Papah yang mempunyai luas
areal pelayanan 4.627 ha. Kapasitas saluran Kalibawang adalah sebesar 7,25
m3/det.
Untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di wilayah Kab. Bantul maka air dari S.
Winongo masih mendapat suplesi dari saluran Mataran, khususnya untuk memenuhi
kebutuhan air bagi PG Madukismo
DAS Winongo, Code, Gajah Wong melintasi wilayah Kab. Sleman, Kota Yogyakarta
dan Kab. Bantul. DAS Bedog melintasi wilayah Kab. Sleman dan Bantul. Atas dasar
wilayah lintasnya maka pengelolaan keempat DAS tersebut adalah provinsi DIY.
Air tanah di wilayah provinsi DIY dapat dijumpai di zona aquitard Kulon Progo
(formasi Old Andesit dan formasi Nanggulan), zona aquifer Sentolo (formasi
Sentolo), zona aquifer Wates (sebelah selatan pegunungan Kulon Progo), zona
aqufer Wonosari (formasi Wonosari pegunungan Selatan), zona aquifer Kars dan
sungai bawah tanah Gunung Sewu (Formasi Wonosari dan kars Gunung Sewu),
zona aquitard Batur Agung (formasi Nglanggran, formasi Sambipitu, formasi Oya di
Pegunungan Selatan).
Di Kab. Gunung Kidul, terdapat empat sumber air dari sungai bawah tanah untuk
memasok kebutuhan air bersih warga. Di antaranya, Sumber Air Baron (Kec.
Tanjungsari) berdebit 1.080 l/d, Sumber Air Ngobaran (Kec. Saptosari) (135 l/d),
Sumber Air Seropan (Kec. Semanu) 800 l/d, dan Sumber Air Bribin (Kec. Semanu)
956 l/d. Sungai bawah tanah Bribin dan Seropan selain dipakai untuk memenuhi
kebutuhan air domestik juga dipakai untuk sumber air irigasi. Irigasi di wilayah Kab.
Gunung Kidul selain dipenuhi dari pemanfaatan sumber air sungai bawah tanah
juga berasal dari pengeboran air tanah dalam.
Beberapa sumber mata air yang potensial di wilayah provinsi DIY adalah sumber air
Clereng di Pengasih, Kulon Progo (debit 75 l/d), mata air Tuk Mudal di Jatimulyo,
Kulon Progo (debit 11,5 l/d), mata air Tuk Ngembel di Wonosari, Gunung Kidul (70
l/d), mata air Branjang di Karangmojo, Gunung Kidul (40 l/d) dan mata air Umbul
Wadon di Pakem, Sleman (90 l/d).
Sistem irigasi di wilayah Kabupaten Sleman bagian lereng Gunung Merapi pada
umumnya berupa irigasi sederhana atau atau pedesaan dengan sumber air diambil
langsung dari mata air yang banyak terdapat di wilayah tersebut.
Data daerah irigasi yang berada dalam wilayah provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1.
18
Dari data yang terdapat pada Tabel 1 terlihat bahwa sebagaian besar DI di wilayah
provinsi DIY mempunyai luasan yang kecil-kecil namun bersifat interkoneksi serta
sistem re-use. Oleh karena itu dalam pengelolaannya harus mengacu pada konsep: a)
air irigasi s ebagai common pool resources; b) asas keselarasan dan keadilan dalam
pemanfaatan dari hulu-tengah-hilir; c) efisiensi penggunaan salah satunya melalui
penerapan polatanam; d) melibatkan peranserta atau partisipasi 2 aktif dari para petani
pemanfaat baik melalui P3A serta dibantu oleh GP3A. Selain itu, melihat dari kerumitan
sistem irigasi serta kenyataan faktual yang ada di lapngan maka tujuan yang bisa
dicapai baru pada tahap pemantapan ketahanan pangan3 bagi masyarakat tani yang
mandiri dan bermartabat4.
V. POKOK-POKOK PEMIKIRAN
Pokok-pokok pemikiran ini memuat tentang semua hal yang berkenaan dengan
pengelolaan irigasi yang akan diatur daam PERDA tentang irigasi. Meskipun tetap
mengacu pada dasar hukum perundangan nasional yang berlaku, tetapi pokok-pokok
pikiran ini harus mengacu pada kepentingan masyarakat di Provinsi DIYserta dapat
diimplementasikan secara seksama dan dengan mudah.
2
partisipasi masyarakat bermakna sebagai suatu upaya memandirikan dalam bentuk kemitraan dan kesetaraan diantara
stakeholders lain sehingga berkembang menjadi suatu bentuk pemberdayaan
3
UU No.. 7/1998 tentang Ketahanan Pangan: terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pengertian UU tersebut
lebih menekankan pada aspek harkat hidup yang layak bagi masyarakat, bukan pada komoditinya.
4
Petani yang mandiri dan bermartabat artinya petani yang bersangkutan dapat setara dengan profesi lainnya dari aspek
psikologis, ekonomis maupun sosial serta mampu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Oleh sebab itu kemandirian
dan martabat petani tersebut perlu dilindungi oleh suatu peraturan hukum termasuk peraturan daerah ini.
19
ini sesuai dengan pengertian takrif governance oleh Report of the Commission on
Global Governance dalam Streeten (2002) sebagai berikut :
“Governance is the sum of the many ways individuals and instituions, public and
private, manage their common affairs. It is a continuing process through which
conflicting or diverse interests may be accomodated and co-operative action may be
taken. It includes formal institutions and regimes empowered to enforce compliance, as
well as informal arrangements that people and institutions either have agreed to or
perceive to be in their interest”.
Dengan pengertian tersebut di atas maka makna kata Governance lebih luas dari pada
kata Government. Dalam skala sempit good governance juga merupakan satu cara
pengambilan keputusan yang dilakukan atas dasar kesepakatan banyak pihak yang
terlibat. Ciri-ciri pelaksanaan good governance disajikan dalam Gambar 4.Pelaksanaan
good governance yang akan dilaksanakan dan ditetapkan dalam PERDA nantinya
haruslah disesuaikan dengan sosial- adat budaya masyarakat DIY. Banyak dijumpai
sistem good governance yang telah lama berakar di kalangan masyarakat adat. Seperti
misalnya institusi adat desa atau masyarakat yang mengatur bagaimana azas
pertanggung jawaban progam dan keuangan dalam hal akuntabilitas, transparansi
program, partisipasi sampai pada pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran. Institusi
yang mengatur good governance kadang juga beragam satu dengan yang lain
tergantung pada adat budaya masyarakat setempat dan tidak dapat diseragamkan.
Pelaksanaan prinsip-prinsip good governance selanjutnya dapat dipakai sebagai
sebagai suatu azas dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi tersebut.
consensus accountable
oriented
participatory transparent
GOOD
GOVERNANCE
follows the rule
responsive
of law
20
mempunyai arti yang berkaitan dengan kelestarian sesuatu di masa mendatang (di
Castri, 1995; Simonovic, 1997). Kemudian Shady (1991) memakai makna tersebut untuk
mentakrifkan pengertian keberlanjutan dalam pengembangan sumberdaya air
berkelanjutan (sustainability water resources development) termasuk irigasi sebagai
suatu konsep terintegrasi untuk menyediakan kerangka kerja penyusunan kebijakan,
perencanaan dan implementasi tindakan guna memperoleh kehidupan lebih baik bagi
generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Melalui konsep keberlanjutan tersebut akan dapat ditelusuri empat aspek
keberlanjutan yaitu, (i) keberlanjutan teknik dan fisik, (ii) keberlanjutan finansial dan
ekonomi, (iii) keberlanjutan sosial-budaya, dan (iv) keberlanjutan lingkungan. Keempat
aspek keberlanjutan tersebut akan saling berhubungan, dan apabila satu aspek
terancam keberlanjutannya maka dapat mengancam keberlanjutan sistem secara
keseluruhan (suatu bentuk ancaman berantai). Dari konsep fisik keberlanjutan maka
keberlanjutan suatu sistem irigasi akan dipengaruhi oleh keandalan penyediaan airnya.
Sedangkan untuk mencapai suatu keandalan tertentu maka perlu dicari suatu upaya
penjaminan keandalan melalui : (i) upaya manajerial pengaturan dan penetapan hak
guna air antar pengguna di aras pengelolaan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).
Tindakan manajerial lain juga dimungkinkan misalnya pemakaian kembali air drainase
sebagai sumber air irigasi; (ii) melalui upaya keteknikan misalnya pembangunan suatu
embung, waduk, penyedaan pompa, pelaksanaan drainase dan tindakan teknikal
lainnya.
Suatu sistem irigasi juga harus dijamin keberlanjutannya secara finansial dengan
menyiapkan pendanaan untuk melakukan O&P irigasi serta rehabilitasi sehingga
memberikan prasarana sistem jaringan irigasi yang dapat berfungsi secara optimal.
Pencapaian keberlanjutan ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat dapat diwujudkan
apabila semua pemangku kepentingan memperoleh manfaat dari keberadaan suatu
sistem irigasi. Untuk itu diperlukan beberapa upaya nyata yang sesuai dengan kondisi
sosial-ekonomi dan budaya masyarakat Provinsi DIY.
Untuk menunjang keberlanjutan pengelolaan sistem irigasi di Provinsi DIY maka
pelaksanaannya harus mengacu pada azas keterpaduan pengelolaan sumberdaya air,
yaitu: (i) keterpaduan hulu-hilir; (ii) keterpaduan antara air permukaan dan air bawah
permukaan dengan lebih mengutamakan pemanfaatan air permukaan. Sehingga
pengelolaan sistem irigasinya harus dilakukan secara tersistem dengan azas satu
pengelolaan untuk satu sistem irigasi.
Guna menerapkan azas keterpaduan pengelolaan irigasi dan air tanah maka
dalam PERDA yang disusun perlu dicantumkan tentang keberadaan sistem irigasi air
tanah yang mencakup: (i) pengelolaan irigasi air tanah di wilayah Provinsi DIY yang
sudah dibangun oleh pemerintah/pemerintah provinsi akan tetap dilakukan oleh
pemerintah/pemerintah provinsi. Upaya pemberdayaan kelembagaannya dilakukan
dengan melibatkan pemerintah kabupaten; (ii) pemanfaatan air irigasi air tanah hanya
diprioritaskan untuk usaha pertanian. Untuk pemanfaatan usaha lain harus
mendapatkan ijin dari Pemerintah Kabupaten; (iii) pembangunan jaringan irigasi air
tanah baru yang dilakukan oleh institusi pemerintah/pemerintah provinsi perlu
berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten. Jaringan irigasi air tanah yang
dikembangkan pihak lain (masyarakat dan badan sosial/bagan usaha) hanya dapat
dilakukan setelah mendapat ijin dari Pemerintah Kabupaten; (iv)Pembangunan jaringan
irigasi air tanah dangkal sampai menengah (maksimal 20 m) yang dibangun oleh
masyarakat/badan usaha/badan sosial perlu berkoordinasi dengan instansi yang terkait
21
dengan irigasi. Keberlanjutan sistem irigasi secara fisikal juga perlu dilakukan dengan
meningkatkan konservasi sumberdaya air untuk irigasi5
5
Konservasi sistem irigasi secara fisikal mungkin dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan
reboisasi penanaman kembali jaringan penyangga bendungan dan embung sebagai sumber air sistem irigasi
22
(iii) melaksanakan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada
daerah irigasi dalam provinsi yang luasnya antara 1000 - 3000 ha;
(iv) memberi izin penggunaan dan dan pengusahaan air tanah di wilayah
provinsi untuk keperluan irigasi;
(v) menjaga efisiensi, efektifitas dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi utuh dalam satu
provinsi dan daerah irigasi antara 1000 - 3000 ha;
(vi) memfasilitasi penyelesaian sengketa/konflik antar daerah irigasi yang
berada dalam provinsi yang berkaitan dengan pengembangan dan
pengelolaan sistem irigasi;
(vii) memberikan bantuan kepada masyarakat tani dan pemerintah desa
dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi
tanggung jawabnya masing-masing atas permintaannya berdasarkan
prinsip kemandirian;
(viii) membentuk komisi irigasi kabupaten;
(ix) melaksanakan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air baik di
dalam suatu daerah irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah
kabupaten ataupun pemerintah/pemerintah provinsi yang terletak di
dalam kabupaten, dalam hal pemberdayaan petani di DI yang menjadi
kewenangan pemerintah/pemerintah provinsi maka pelaksanaannya
ditetapkan dengan suatu nota kesepahaman berdasarkan kesetaraan
dan keadilan menurut peraturan perundangan yang berlaku;
(x) memberikan izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan atau
pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi
primer dan sekunder dalam kabupaten; dan
(xi) melakukan kerja sama dalam bentuk tugas pembantuan dan tugas
dekonsentrasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang
menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah/pemerintah
provinsi sesuai dengan prinsip kesetaraan dan keadilan berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam hal pemerintah provinsi tidak dapat melaksanakan wewenang dan
tanggung jawabnya dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang
pengembangan pengelolaan sistem irigasi maka pemerintah provinsi akan menyerahkan
wewenang dan tanggung jawab tersebut kepada pemerintah pusat setelah melalui
konsultasi publik.
Hak dan tanggung jawab masyarakat petani dalam pengembangan dan
pengelolaan sistem irigasi meliputi : (i) melaksanakan pengembangan dan pengelolaan
sistem irigasi tersier; (ii) menjaga efisiensi, efektivitas dan ketertiban pelaksanaan
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier yang menjadi tanggung jawabnya;
dan (iii) memberikan persetujuan pembangunan, pemanfaatan, pengubahan dan/atau
pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi tersier
berdasarkan pendekatan partisipatif.
Pemerintah kabupaten dapat mengadakan kerjasama dengan kabupaten lain
yang berdekatan dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang
pengembangan pengelolaan sistem irigasi. Bentuk kerja sama tersebut misalnya dapat
berbentuk permintaaan tambahan air irigasi dari satu sumber air yang melintas di dua
kabupaten, perluasan suatu daerah irigasi dari dan ke kabupaten lain. Beberapa
23
keuntungan yang dapat diperoleh dari kerja sama ini adalah pengembangan sistem
proses demokratisasi perwakilan melalui suatu proses dialog antar pemerintah
kabupaten untuk kemaslahatan rakyat.
Apabila terdapat potensi penggabungan beberapa Daerah Irigasi yang jumlah
luasannya menjadi lebih dari 1000 ha atau 3000 ha demi efisiensi dan efektifitas maka
pengelolaan akan diatur dengan Nota kesepahaman antara pemerintah kabupaten
dengan pemerintah provinsi atau pemerintah..Pemerintah Kabupaten bersedia untuk
menerima tugas pembantuan maupun dekonsentrasi pelaksanaan pengelolaan irigasi
yang menjadi tanggung jawab dan wewenang pemerintah/pemerintah provinsi
sepanjang tidak memberatkan pemerintah kabupaten6
Untuk daerah irigasi yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
pemerintah/pemerintah provinsi dan belum dilaksanakan Tugas Pembantuan atau di
dekonsentrasikan oleh pemerintah/pemerintah provinsi maka pemerintah kabupaten
dapat membantu dengan suatu nota kesepahaman tentang pelaksanaannya yang tidak
saling memberatkan7
Di Kabupaten Sumbawa terdapat irigasi perdesaan yang tadinya dibangun oleh
masyarakat atau desa dan dikembangkan oleh pemerintah kabupaten dan jumlahnya
lebih dari 459 buah dengan total luas 36.953ha dengan luas masing-masing di bawah
100 ha. Sampai saat ini pemerintah kabupaten selalu membantu pelaksanaan
pengelolaan irigasi perdesaan tersebut. Tetapi semakin lama upaya ini akan semakin
memberatkan pendanaan bagi pemerintah kabupaten. Sehingga diusulkan dalam
PERDA agar dimuat bahwa pemerintah kabupaten akan membantu pengelolaan irigasi
desa yang masih mempunyai potensi untuk mendukung upaya peningkatan pertanian
sepanjang tidak memberatkan anggaran PEMDA dan tetap memperhatikan azas
kemandirian petani. Bantuan yang diberikan hanya terbatas pada bantuan teknis dan
bantuan yang yang bersifat dana stimulan. Untuk pembangunan jaringan irigasi
pedesaan baru tidak akan dilakukan lagi oleh pemerintah kabupaten secara 100 %
tetapi akan diberikan bantuan teknis atau sebagian dana pembangunan berbentuk dana
stimulan. Pembangunan ini akan dilakukan apabila ada usulan dari petani dan adanya
jaminan institusi desa/petani yang dapat menjaga kesanggupan petani untuk dapat
menjaga keberlanjutan fungsi dan kondisi jaringan irigasi pedesaan yang akan dibangun
tersebut. Aturan lebih lanjut tentang pembangunan jaringan irigasi pedesaan akan
ditentukan melalui Peraturan Kepala Daerah.
6
Tugas pembantuan dan pelaksanaan dekonsentrasi ada aturan hukum yang mengatur, oleh sebab itu yang
dimaksudkan dengan yang tidak memberatkan itu adalah penanggungan resiko misalnya tanggap darurat
apabila krisis, atau konflik atau sharing pelaksanaan yang dapat berbentuk pembiayaan maupun penyediaan
SDM.
7
Yang penting adalah adanya koordinasi pelaksanaan dengan pemerintah kabupaten, tentang biaya boleh
dikelola oleh pihak pemerintah/pemerintah provinsi sendiri
24
sebagai kontribusi; (ii) partisipasi sebagai organisasi; dan (iii) partisipasi sebagai bentuk
pemberdayaan. Makna partisipasi sebagai kontribusi merupakan pemahaman makna
yang paling banyak dianut oleh pemerintah dunia ketiga pada awal-awal dikenalkannya
wacana partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada masa tengah dekade 80’an.
Pemahaman ini mengatakan bahwa masyarakat sudah berpartisipasi apabila mereka
sudah memberikan kontribusi dalam bentuk pikiran, tenaga ataupun materi pada
kegiatan program-program pembangunan.
Makna partisipasi sebagai organisasi terjadi apabila dalam setiap kegiatan
pembangunan selalu dibentuk organisasi-organisasi yang menampung massa untuk
berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Organisasi-organisasi ini terbentuk bukan
karena pemahaman kebutuhan masyarakat tetapi lebih pada kebutuhan pelaksana
pembangunan untuk melegalisasi kegiatan pembangunan yang dilakukannya di tengah
masyarakat. Organisasi partisipasi akan terbentuk secara mandiri apabila masyarakat
memahami hakekat keuntungan yang akan mereka peroleh sebagai suatu tatanan
masyarakat apabila terlibat dalam suatu kegiatan pembangunan.
Makna partisipasi sebagai bentuk pemberdayaan muncul apabila masyarakat
yang terlibat dalam kegiatan pembangunan justru akan memperoleh pemberdayaan dari
kemampuan mereka semula. Makna harfiah pemberdayaan dapat dibaca pada banyak
pustaka.
Bentuk partisipasi masyarakat petani dalam pengelolaan irigasi yang diharapkan
tidaklah hanya dalam bentuk mobilisasi sumberdaya saja (misalnya tenaga kerja,
material, finansial) tetapi juga keterlibatan petani dari sejak awal pemikiran, pengambilan
keputusan, pelaksanaan proses pengelolaan irigasi sampai pada pengawasan tindakan
pengelolaan air irigasi.
Partisipasi masyarakat yang akan dikembangkan harus menghormati adat-
sosial-budaya masyarakat setempat serta bentuk-bentuk institusi lokal yang ada
sehingga partisipasi masyarakat dapat disalurkan baik secara perorangan ataupun
melalui suatu institusi masyarakat misalnya organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air
(P3A) sebagai bentuk wujud demokrasi perwakilan. Dengan demikian partisipasi
masyarakat yang dikembangkan akan berbentuk suatu upaya kemandirian dalam
kemitraan dan kesetaraan yang berkembang menjadi suatu upaya pemberdayaan.
Bentuk partisipasi masyarakat tersebut ditentukan oleh kemauan, kemampuan serta
bentuk informasi yang diterima masyarakat tentang manfaat yang akan mereka peroleh
apabila terdapat suatu upaya pembangunan seperti halnya pengembangan dan
pengelolaan irigasi. Terwujudnya partisipasi masyarakat yang berazaskan
pemberdayaan dan kemandirian tersebut diharapkan akan dapat menjamin
terlaksananya keberlanjutan sistem irigasi di Proovinsi DIY.
25
(resource) dan pemberdyaan selalu mengacu pada perubahan. Artinya pemberdayaan
selalu bersifat diamis karena hidup manusia selalu berkaitan dengan waktu, maka
proses hidup dan kehidupan manusia tersebut juga selalu berubah sesuai dengan waktu
dan zamannya beserta berubahan-perubahan lingkungan strategisnya. Pemberdayaan
juga akan selalu berubah sesuai dengan keadaan manusia itu sendiri baik sebagai
pemanfaat suatu resource atau sebagai sesuatu yang akan diberdayakan. Pernyataan
Zimmerman dalam Fetterman (1996), bahwa proses pemberdayaan manusia dan
masyarakat akan beragam sesuai dengan aras (level) pemberdayaannya. Proses
pemberdayaan individu akan berbeda dengan proses pemberdayaan suatu organisasi
atau kelompok masyarakat, demikian pula proses pemberdayaan tentu menghasilkan
hasil pemberdayaan (empowered outcomes) yang akan beragam sesuai dengan aras
pemberdayaannya.
Pemberdayaan dalam UU No. 7/2004 dilakukan melalui pendidikan dan
pelatihan, penelitian dan pengembangan serta pendampingan. Untuk itu Pemerintah
Provinsi sesuai dengan kewenangannya melalui Surat Keputusan Gubernur akan
menentukan strategi dan program pelaksanaan pemberdayaan petani yang akan
dilakukan baik di dalam Daerah Irigasi yang menjadi kewenangannya maupun DI yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten/kota. Penetapan
strategi dan program pemberdayaan tersebut dilakukan dan disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing petani di dalam DI bersangkutan.
Penetapan strategi dan program tersebut merupakan suatu upaya yang sangat
penting mengingat bahwa petani yang akan diberdayakan di seluruh DI tersebut
semuanya adalah warga Provinsi DIY. Program pemberdayaan tersebut dapat berupa
pengenalan teknologi irigasi maupun perkuatan sistem manajerial organisasi petani
yang sesuai dengan situasi, kondisi sumberdaya dan kearifan lokal sebagai hasil
penelitian yang telah dilakukan pemerintah provinsi atau pihak lain. Dengan adanya
upaya pemberdayaan tersebut maka pemerintah provinsi mendorong terlaksananya
penyebar luasan penggunaan teknologi sepadan di bidang irigasi. Dalam melaksanakan
upaya pemberdayaan pemerintah provinsi dapat bekerjasama dengan pemerintah pusat
atau pihak lain8. Pemerintah Provinsi memfasilitasi perlindungan hak atas penemu dan
temuan teknologi bidang irigasi sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Selain
itu Pemerintah Provinsi juga akan memfasilitasi pemberdayaan kepada petani pemakai
air irigasi dalam bentuk bantuan teknis maupun finansial apabila dibutuhkan.
Agar dapat melaksanakan pemberdayaan tersebut secara efisien dan efektif
serta keberlanjutan program pemberdayaan maka diperlukan suatu institusi9 di aras
provinsi untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pemberdayaan petani di aras DI dan
bersifat lintas sektoral. Selain itu institusi ini juga dapat melakukan tindakan-tindakan
penelitian atau studi untuk mengetahui kebutuhan masyarakat terhadap pemberdayaan
yang terus berubah sesuai dengan perubahan waktu, teknologi dan masalah yang
dijumpai. Pembentukan institusi koordinasi pemberdayaan bidang irigasi ini dilakukan
pemerintah kabupaten melalui surat keputusan Gubernur.
8
Dalam hal pelaksanaan pemberdayaan di DI yang menjadi kewenangan pemerintah atau pemerintah provinsi maka
diperlukan suatu nota kesepakatan yang mengatur segala bentuk dan aspek pelaksanaan program pemberdayaan
termasuk juga aspek pendanaan, strategi, program, penetapan indikator keberhasilan, pengawasan serta keberlanjutan
pelaksanaan program.
9
Yang dimaksud dengan institusi di sini belum tentu berbentuk suatu organisasi dengan struktur yang kaku (rigid). Tetapi
dapat berbentuk suatu forum dialog atau forum konsultatif untuk mengkoordinasikan semua bentuk pemberdayaan
bidang irigasi bagi petani yang dilakukan oleh dinas atau instansi terkait baik di aras Kabupaten maupun institusi
pemberdayaan yang berasal dari provinsi atau pemerintah pusat (misalnya Unit Tataguna Air yang selama ini merupakan
institusi pemberdayaan petani yang didanai pemerintah pusat, atau Penyuluh Pertanian Lapangan yang selama ini
didanai oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten)
26
Upaya pemberdayaan dapat dilakukan dengan membentuk organisasi
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) atau Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai
Air (GP3A) atau Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A). Tatacara pembentukan
P3A/GP3A/IP3A dilakukan secara partisipatif dengan memperhatikan kebutuhan petani
dan budaya lokal setempat. Wilayah kerja P3A/GP3A/IP3A mengikuti wilayah hidrologis
dan Camat dan instansi terkait di tingkat kecamatan serta Kepala Desa/kelurahan
menjadi anggota tim pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A yang berada di wilayah kerja
masing-masing. Penetapan sanksi terhadap pelanggaran dan cara penegakannya perlu
dicantumkan dalam AD/ART organisasi P3A/GP3A/IP3A. Selanjutnya tatacara
pembentukan dan pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A ditetapkan lebih lanjut dengan
keputusan Gubernur
27
pengajuan ijin. Tetapi untuk sistem irigasi baru ataupun sistem irigasi yang sudah
ditingkatkan (upgrading) baik luas maupun rancangbangunnya diwajibkan mengajukan
perolehan hak guna pakai.air irigasi dan akan ditetapkan dengan SK Gubernur.
Hak guna usaha air irigasi di DI yang termasuk wilayah kewenangan pemerintah
provinsi akan diberikan melalui SK Gubernur kepada perorangan, badan usaha, atau
badan sosial yang mengajukan permohonan ijin untuk memperoleh hak guna usaha air
irigasi. Hak guna usaha air irigasi ini diberikan pada suatu daerah pelayanan tertentu di
pintu pengambilan pada bangunan utama dan berlaku paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan dapat diperpanjang. Penetapan bidang-bidang usaha pertanian yang akan diberi
hak usaha ini akan dilakukan melalui SK Gubernur setelah melakukan konsultasi publik.
Pemberian ijin terhadap perolehan hak guna pakai ataupun hak guna usaha air
irigasi akan dievaluasi setiap 5 (lima) tahun sebagai dasar penetapan keputusan untuk
melanjutkan, menyesuaikan atau mencabut hak tersebut. Aturan tentang pemberian hak
guna air irigasi ini akan ditetapkan setelah mempelajari aturan-aturan tentang hak guna
air irigasi di aras nasional. Selain itu Pemerintah Provinsi akan menyusun suatu studi
tentang hak guna air irigasi termasuk hak ulayat yang berlaku di wilayah Provinsi DIY.
agar penetapan aturan pemberian hak guna air irigasi di Provinsi DIY dapat berjalan
secara berkeadilan dan memenuhi sasarannya secara sepadan.
28
irigasi di Provinsi DIY wajib mengadakan studi terlebih dahulu untuk menetapkan
ketersediaan air di setiap sumber air irigasi yang ada. Selain informasi tentang
ketersediaan air irigasi, rancangan rencana penyediaan air irigasi tahunan disusun
dengan memperhatikan rencana tata tanam global. Rancangan rencana penyediaan air
irigasi tahunan tersebut harus disusun terlebih dahulu oleh komisi irigasi Provinsi untuk
disampaikan kepada rapat Dewan Sumberdaya Air Provinsi agar diperoleh alokasi air
untuk irigasi. Rancangan rencana tahunan penyediaan air irigasi tahunan ditetapkan
oleh Gubernur.
Apabila ketersediaan air dari sumber tidak mencukupi sehingga menyebabkan
perubahan rencana penyediaan air dan mempengaruhi pemberian alokasi penyediaan
air irigasi maka P3A diwajibkan untuk menyusun kembali usulan rencana tata tanam di
daerah irigasi bersngkutan yang telah dibuat sebelumnya. Dalam hal terjadi
kekurangan air irigasi di dalam suatu DI yang menjadi kewenangan pemerintah Provinsi
maka pemerintah provinsi akan mengajukan ijin penambahan pasok air irigasi dari DI
berdekatan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Selain itu pemerintah provinsi
juga akan melakukan penyesuaian kembali penyediaan dan pengaturan air irigasi
setelah memperoleh pertimbangan dari komisi irigasi sesuai dengan aturan
perundangan yang berlaku.
29
hak-hak ulayat tentang air dan kepemilikan sumber air yang dimiliki anggota dan
masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat.
Dalam pengaturan air perlu pula diketahui informasi tentang kondisi dan fungsi
prasarana irigasi termasuk jaringan drainasi, yaitu jaringan yang berfungsi mengalirkan
kelebihan air agar tidak mengganggu produktivitas lahan. Jaringan drainasi ini
merupakan satu kesatuan dengan sistem irigasi yang bersangkutan. Pada sistem irigasi
yang berfungsi untuk mengairi sistem pertanian aneka tanaman (crop diversification)
maka keberadaan jaringan drainasi ini merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan
sehingga semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan irigasi wajib menjaga
keberfungsian sistem jaringan drainasi dan setiap orang jangan sampai dapat
mengganggu fungsi jaringan drainasi12.
Bagi masyarakat yang akan menggunakan air irigasi langsung dari sumber baik
sumber air permukaan ataupun air bawah permukaan di wilayah kewenangan
pengelolaan pemerintah provinsi maka harus mendapat ijin dari pemerintah provinsi
30
bantuan kepada pemerintah kabupaten atau provinsi. Biasanya pengembangan jaringan
irigasi tersebut dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengembangan lahan pertanian
beririgasi sesuai dengan rencana dan program pengembangan pertanian dengan
mempertimbangkan kesiapan petani setempat14.
Sesuai dengan kewenangannya maka siapapun tak dapat melakukan tindakan
pengubahan dan/atau membongkar jaringan irigasi sehingga merubah bentuk dan
fungsi sistem jaringan tanpa ijin baik oleh pemerintah kabupaten, provinsi dan/atau
perkumpulan petani pemakai air. Ijin pembongkaran/pengubahan bentuk jaringan irigasi
tersier diperoleh dari P3A, sedangkan di aras jaringan irigasi utama ijin diberikan oleh
Gubernur setelah mengadakan konsultasi dengan P3A di wilayah yang berdekatan.
Dalam hal tidak terdapat atau P3A tidak aktif maka ijin tersebut dapat diberikan
Gubernur tanpa mengadakan konsultasi publik terlebih dahulu dengan P3A.
14
Menurut PP no 20/2006 maka ketentuan pelaksanaan pengembangan lahan pertanian beririgasi akan dikeluarkan oleh
Menteri yang membidangi pertanian setelah berkoordinasi dengan menteri yang membidangi irigasi. Dalam hal ketentuan
yang dimaksud tersebut belum terwujud maka pemerintah kabupaten dapat memberikan ketentuan sementara setelah
berkonsultasi dengan masyarakat sekitar yang membutuhkan pengembangan sistem pertanian beririgasi tersebut.
31
semua orang mengatakan bahwa tindakan O&P irigasi tersebut penting tetapi dalam
kenyataannya hanya sedikit sekali orang yang mempedulikan pelaksanaan tindakan
O&P . Ini terbukti dengan kecilnya anggaran yang disediakan dalam penyelenggaraan
tindakan O&P irigasi. Bahkan dibandingkan dengan masa kolonial ini pada masa
kemerdekaan sampai dengan akhir masa pemerintahan orde baru penyediaan biaya
O&P irigasi dalam kesetaraan harga jual beras terus menurun (Amron 1999).
Dengan berkembangnya lingkungan strategis maka pelaksanaan O&P irigasi di
masa depan akan terus berkembang dan akan terus mengikuti perubahan
lingkungannya. Ketersediaan air yang terus menurun dan peningkatan persaingan
pemanfaatan air antar pengguna, kemajuan teknologi terutama teknologi informasi dan
multi media akan sangat mempengaruhi pelaksanaan O&P irigasi di masa depan.
Bentuk teknologi pelaksanaan O&P irigasi di masa depan akan semakin canggih dan
dalam pelaksanaannya O&P bahkan akan menjadi satu kegiatan. Ketaksepadanan
operasi akan mempengaruhi upaya pemeliharaan demikian pula sebaliknya bahwa
upaya pemeliharaan akan mempengaruhi upaya operasi. Selain itu tindakan O&P lebih
berwujud upaya manajerial dari pada yang bersifat teknikal dan akan mengacu pada
manajemen pelayanan (manajemen provisi). Mengingat pentingnya kegiatan O&P irigasi
maka pemerintah provinsi diminta perhatiannya untuk menyelenggarakan semaksimal
mungkin. Perhatian yang diberikan dapat berujud: (i) membentuk atau memperkuat unit
institusi pelaksana O&P yang sudah ada; (ii) menyediakan dengan segala fasilitas yang
dibutuhkan sesuai dengan perkembangan; serta (iii) menyediakan biaya O&P irigasi
yang memadai di seluruh DI yang menjadi kewenangan pemerinah provinsi15.
Sesuai dengan kewenangannya maka pelaksanaan O&P irigasi di aras jaringan
utama dilakukan oleh pemerintah provinsi dengan melibatkan peranserta GP3A secara
utuh, yaitu dimulai dari penetapan AKNOP atau AKNPI sampai pada penetapan dan
penegakan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi. Bahkan apabila GP3A sudah
mempunyai kemampuan yang sepadan maka satu tindakan dalam kerangka
pelaksanaan O&P irigasi dapat dilakukan sendiri oleh GP3A. Pelaksanaan O&P irigasi
yang melibatkan peranserta GP3A ini diatur dengan nota kesepahaman. Demikian pula
pelaksanaan O&P irigasi di aras tersier dilakukan oleh P3A. Bagi kelompok masyarakat,
badan sosial, badan usaha atau perorangan yang melakukan pengelolaan irigasinya
secara mandiri maka tindakan O&P irigasi dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan.
Karena upaya O&P irigasi tersebut merupakan suatu upaya yang kkhas dan
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat lokalitas, maka dimungkinkan untuk
mempunyai pedoman O&P irigasi yang berbeda di setiap DI. Oleh sebab itu
pelaksanaan O&P irigasi di aras jaringan utama yang menjadi kewenangan dan
tanggung jawab pemerintah provinsi harus dilakukan atas dasar rencana tahunan O&P
irigasi yang telah disepakati bersama antara pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten
P3A serta pengguna air irigasi di setiap daerah irigasi yang menjadi kewenangannya.
Dalam rangka pelaksanaan tindakan O&P jaringan irigasi maka dilakukan
pengamanan jaringan irigasi yang bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan irigasi
oleh instansi pemerintah provinsi, kabupaten, P3A, dan pihak lain sesuai dengan
tanggung jawab masing-masing. Untuk itu dalam rangka pengamanan jaringan irigasi
diperlukan penetapan garis sempadan pada jaringan irigasi serta menetapkan larangan
pembuatan galian pada jarak tertentu di luar garis sempadan. Selain itu juga diperlukan
suatu ketentuan untuk mencegah tindakan yang akan mengubah dan/atau membongkar
bangunan irigasi serta bangunan yang ada, mendirikan bangunan lain di dalam, di atas,
15
Di dalam PERDA yang akan disusun, perhatian pemerintah provinsi ini perlu ditekankan dan lebih lanjut dituangkan
dalam pasal-pasal mengingat bahwa dalam PP 20/2006 tidak diketemukan petunjuk tentang langkah-langkah yang perlu
dilakukan.
32
atau yang melintasi saluran irigasi. Lebih lanjut pemerintah provinsi akan mengeluarkan
ketentuan aturan tentang pelaksanaannya.
Pemanfaatan air irigasi sedapat mungkin dimasukkan kembali ke dalam jaringan
irigasi. Pengelola sistem irigasi diwajibkan menjaga mutu air irigasi sampai ke sistem
drainasi. Oleh sebab itu agar mutu air irigasi harus tetap terjaga maka jaringan irigasi
tidak dibenarkan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan lain yang dapat mengganggu
mutu air (pembuangan sampah). Apabila jaringan irigasi dimanfaatkan pula untuk
penggolontoran/drainasi kota maka pengelolaannya dilakukan secara koordinatif dengan
pihak yang berkewajiban untuk mengelola jaringan penggelontoran/drainasi kota
Pedoman mengenai O&P irigasi, penetapan garis sempadan dan pengamanan
jaringan irigasi akan diatur oleh Menteri. Dalam hal pedoman yang ditetapkan Menteri
tersebut belum tersedia maka Gubernur mengeluarkan pedoman sementara dengan
memperhatikan azas lokalitas dan dilakukan melalui konsultasi publik.
33
irigasi, serta pemutakhiran hasil inventarisasi aset irigasi. Inventarisasi aset pengelolaan
irigasi bertujuan untuk mendapatkan data jumlah, dimensi, jenis, kondisi, dan fungsi
seluruh aset irigasi serta data ketersediaan air, nilai aset, dan areal pelayanan pada
setiap daerah irigasi dalam rangka keberlanjutan sistem irigasi.
Pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota melaksanakan
inventarisasi aset irigasi sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sistem
irigasi setiap tahun sekali. Kemudian pemerintah provinsi melakukan kompilasi atas
hasil inventarisasi aset irigasi yang dilakukan oleh baik oleh pemerintah kabupaten
maupun pemerintah desa. Pemerintah provinsi kemudian melaporkan hasil kompilasi
tersebut kepada pemerintah pemerintah pusat. Dengan dimilikinya inventarisasi aset
pengelolaan irigasi ini maka dapat disusun suatu sistem informasi irigasi yang nantinya
akan dapat menjadi bagian dari sistem informasi sumberdaya air16.
Perencanaan pengelolaan aset irigasi meliputi kegiatan analisis data hasil
inventarisasi aset irigasi dan perumusan rencana tindak lanjut untuk mengoptimalkan
pemanfaatan aset irigasi dalam setiap DI. Tindakan perencanaan pengelolaan aset
irigasi ini bertujuan untuk mencapai strategi jangka panjang yang paling efektif (ditinjau
dari segi biayaagar tercapai tingkat pelayanan tertentu. Dengan demikian pelaksanaan
perencanaan pengelolaan aset akan dapat
memberikan gambaran yang jelas kepada organisasi dan pemakai tentang implikasi
finansial dari penyediaan pelayanan pada tingkat tertentu. Pelaksanaan perencanaan
aset irigasi ini dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali. Penyusunan perencanaan
pengelolaan aset irigasi dilakukan secara terpadu, transparan dan akuntabel dengan
melibatkan semua pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi.
Pelaksanaan pengelolaan aset irigasi dilakukan oleh pemerintah provinsi,
kabupaten sesuai dengan kewenangannya secara berkelanjutan. Demikian pula badan
usaha, badan sosial maupun perorangan yang melaksanakan pengelolaan irigasi d
wilayah kewenangannya melaksanakan pengelolaan aset irigasi di sistem irigasi yang
dikelolanya sendiri.
Pemerintah provinsi melakukan pemutakhiran inventarisasi aset irigasi sesuai
dengan kewenangannya. Nantinya Menteri akan menetapkan pedoman pelaksanaan
pengelolaan aset irigasi. Dalam hal pedoman tersebut belum tersedia maka pemerintah
provinsi melakukan persiapan-persiapan yang dimungkinkan. Persiapan tersebut dapat
berupa penyiapan metode pelaksanaan pengelolaan aset irigasi yang sesuai dengan
kondisi dan situasi sosio-kultural masyarakat DIY.
Dalam PP No. 20/2006, SDM dan institusi pengelolaan irigasi termasuk aset
irigasi maka pemerintah provinsi memfasilitasi upaya untuk menjaga keberlanjutan
pengelolaan irigasi dengan melakukan peningkatan dan menjaga kesepadanan
kompetansi, jumlah dan sebaran SDM dan institusi pengelola irigasi di wilayah provinsi.
5.12 Pembiayaan
Pemerintah provinsi menyediakan pembiayaan untuk pelaksanaan
pengembangan, dan pengelolaan jaringan irigasi di aras jaringan utama. Sedangkan
P3A menyediakan pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi di aras tersier. Apabila P3A
16
Apabila hasil inventarisasi ini dikembangkan menjadi perencanaan pengelolaan aset irigasi maka akan dapat dibuat
suatu sistem informasi yang lebih lengkap dan menjadi suatu sistem informasi manajemen yang dapat dipakai untuk
melakukan suatu pendukung pengambilan keputusan sesuai dengan jenjang pengelolaan irigasi yang ada.
34
tidak mampu untuk membiayai pengelolaan irigasi di petak tersier yang menjadi
kewenangan dan tanggung jawabnya maka P3A tersebut dapat mengajukan usulan
bantuan pembiayaan kepada pemerintah kabupaten atau provinsi.
Pembiayaan pengelolaan irigasi di aras jaringan irigasi didasarkan atas
perhitungan angka AKNPI pada setiap DI yang dilakukan secara bersama antara
pemerintah provinsi, kabupaten/kota dengan P3A. Untuk itu dilakukan penelusuran
jaringan irigasi secara bersama. Penentuan prioritas pengelolaan jaringan irigasi
dilakukan dengan dialog antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota dengan P3A.
Dalam hal terdapat kepentingan mendesak oleh pemerintah provinsiuntuk rehabilitasi
jaringan irigasi pada daerah irigasi lintas kabupaten/kota, tetapi belum menjadi prioritas
provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi dapat saling bekerja sama
dalam pembiayaan. Prioritas penggunaan biaya pengelolaan jaringan irigasi pada setiap
daerah irigasi disepakati pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya bersama dengan P3A. Penggunaan
dana pengelolaan irigasi tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pembiayaan pengelolaan irigasi dapat diusahakan dari
beberapa sumber yaitu berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota maupun masyarakat pengguna jaringan irigasi. Komisi irigasi
memadukan perencanaan pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang menjadi
kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi. Pada prinsipnya pembiyaaan
pengelolaan irigasi berasal dari beberapa sumber, dapat berasal dari pemerintah
provinsi, kabupaten serta sumber dari pihak lain yang tidak mengikat, misalnya iuran
pengelollan air dari petani. Penyusunan tata cara pengumpulan dana, penetapan
prioritas penggunaan, penggunaan dana sampai pada tindakan pengawasan
pembiayaan pengelolaan irigasi yang termasuk kewenangan pemerintah provinsi
dilakukan oleh Gubernur setelah menerima masukan dari komisi irigasi dan memenuhi
ketetapan aturan perundangan yang berlaku.
Dalam hal terdapat kepentingan mendesak oleh pemerintah provinsi untuk O&P
dan rehabilitasi jaringan irigasi pada daerah irigasi lintas kabupaten, tetapi belum
menjadi prioritas provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi dapat saling
bekerja sama dalam pembiayaan. Pembiayaan operasional komisi irigasi provinsi dan
forum koordinasi daerah irigasi menjadi tanggung jawab provinsi sesuai dengan
kewenangannya.
35
melakukan tata ulang sistem irigasi apabila telah terjadi alih fungsi sebagian jaringan
atau lahan beririgasi. Ketetapan penataan ulang tersebut dikeluarkan oleh Gubernur.
Badan usaha, badan sosial, atau instansi yang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan alih fungsi lahan beririgasi yang melanggar rencana tata ruang wilayah
wajib mengganti lahan beririgasi beserta jaringannya.
5.14. Pengawasan
Pemerintah provinsi mengadakan pengawasan jalannya pengelolaan irigasi di
daerah irigasi yang menjadi kewenangan dan tanggung jawabnya dan daerah irigasi
yang sudah ditugaskan kepadanya dari pemerintah pusat. Pengawasan tersebut
meliputi kegiatan: (i) pemantauan dan evaluasi agar sesuai dengan norma, standar,
pedoman, dan manual; (ii) pelaporan; (iii) pemberian rekomendasi; dan (iv) penertiban.
Pengawasan yang dilakukan tersebut melibatkan peranserta masyarakat secara luas
dan dapat berbentuk laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.
P3A, badan usaha, badan sosial, dan perseorangan menyampaikan laporan
mengenai informasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi
tanggung jawabnya kepada pemerintah provinsi. Dalam rangka pengawasan tersebut
pemerintah provinsi sesuai dengan kewenangannya menyediakan informasi
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi secara terbuka untuk umum.
Agar pengawasan yang dilaksanakan dapat berjalan secara lebih efektif, efisien,
demokratis maka Gubernur setelah mengadakan konsultasi publik akan mengeluarkan
ketetapan lebih lanjut tentang pelaksanaan pengawasan pengelolaan irigasi yang
melibatkan peran serta masyarakat tersebut.
6. PENUTUP
Saat ini dinamika masyarakat sudah berjalan sangat cepat sehingga tuntutan
terjadinya proses demokratisasi juga berlangsung sangat kuat. Oleh sebab itu
36
masyarakat luas di wilayah Provinsi DIY dapat menuangkan seluruh gagasan, keinginan
dan cita-citanya tentang pengelolaan sistem irigasi dalam Naskah akademik ini.
Sehingga nantinya pasal-pasal yang termuat dalam Peraturan Daerah Irigasi ini sudah
mewakili apa yang telah diusulkan tersebut.
37