Anda di halaman 1dari 119

Kiki Alhadiida

KOMA
Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Administrasi
[Prinsip Dasar Berorganisasi]

PENGANTAR
1. Berorganisasi juga perlu “Ilmu” {3-6}
2. Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Adminstrasi [KOMA] {7}

KEPEMIMPINAN

1. Kepemimpinan Rasulullah SAW {8-10}


2. Kepemimpinan, Pemimpin, dan Pimpinan {11-12}
3. Memanajemen Pikiran {13-15}
4. Pemimpin dan Pemikir {16-17}
5. Pemimpin KIR = PemiKIR ?! {18-21}
6. Pemimpin ⇌ Pengikut {22-25}
7. Sikap Pimpinan ditinjau dari filosofi: 2 tangan, 1 mulut, dan 2 telinga {26-27}
8. Otoritas dan Otoriter {28}
9. Lokomotif dan Gerbong {29-31}
10. BOS = “Bukan Orang Sembarangan ?” {32}
11. Sistem Kepemimpinan Dalang-Wayang {33-34}
12. Berbagai Tipe Pengurus Organisasi {35-36}
13. 4 Tipe Pengikut (Anggota Organisasi) {37-38}
14. Kepepet Makes Power {39}
15. Pemimpin, menyelami kenikmatan atau menikmati penderitaan? {40-41}
16. Berbuat ”lebih” dari yang Seharusnya {42-44}

1
ORGANISASI

1. Organisasi dalam Eksistensi dan Strukturisasi {45-46}


2. Tiga Fungsi Dasar (Utama) Organisasi {47-48}
3. Heterogenisasi yang Tak Dapat Dihindari {49-50}
4. Kaderisasi dan Regenerasi dalam Organisasi {51-53}
5. SDM: Sumber Daya Manusia atau Selamatkan Diri Masing-masing? {54-55}
6. Tua Berpengalaman dan Muda Berilmu {56-59}
7. Antara keMAUan dan keMAMPUan {60-62}
8. Karyawan vs Pegawai {63-65}
9. Serikat Buruh dan Serikat Pekerja dalam konteks Strukturisasi Manajerial {66-69}
10. Buruh - Majikan atau Pekerja – Pengusaha {70-73}

MANAJEMEN

1. Tim {74-76}
2. Project Officer, Consultant, dan Master Plan {77-78}
3. TEKNIK dan MANAJEMEN, dua kata yang sering jadi ”kambing hitam” {79-81}
4. Ketika Manusia Pekerja dituntut menjadi Manusia Pembelajar {82-83}
5. Lingkar dan Lingkaran dalam Organisasi {84-85}
6. Prosedur vs Kebijakan {86-87}
7. Program dan Target {88}
8. Terencana dan Spontan {89}
9. Manajemen “dagelan” & Manajemen “kadal” {90-91}
10. 3X1 = 1X3 ? {92}
11. Peran ”Manajer” ala Juragan Angkot {93-95}
12. Memanajemen Organisasi versi Mengelola Klub Sepak Bola {96-99}
13. Manajemen ala “bandar judi” {100-103}

ADMINISTRASI

1. Sedikit tentang ADMINISTRASI dan MANAJEMEN {104-106}


2. Sistem Pelaporan dari Bottom Management ke Middle Management,
Sebenarnya untuk Siapa dan untuk Apa? {107-109}
3. Yang Benar atau Yang Bagus? {110-111}

PENUTUP

1. Antara pemimpin, sistem, dan budaya (kultur) organisasi {112}


2. Figur dan atau Sistem? {113-114}
3. Kepemimpinan vs Budaya Organisasi {115-116}
4. Menyikapi Organisasi Tanpa Visi {117-119}

2
Berorganisasi juga perlu “Ilmu”

Setelah kepengurusan terbentuk melalui proses suksesi yang (kadang) cukup panjang dan
melelahkan, maka secara definitif kepemimpinan organisasi sudah terlegitimasi dengan
sendirinya. Meskipun, ada organisasi yang memiliki “organisasi atasnya” (garis strukturisasi
vertikalnya) yang ikut mensyahkan kepengurusan dan melantiknya. Bahkan terkadang
organisasi pembina, pengawas, atau legislator (misal dari pemerintahan) yang memberi
legitimasi dan setiap suksesi kehadirannya dinantikan sebagai prasyarat.
Ketua, sekretaris, dan bendahara serta anggota pengurus lainnya (departemen, bidang, biro,
seksi) ditunggu kesiapannya bekerja mengemban amanah anggota. Setelah beberapa waktu
kemudian belum juga kelihatan geliat dan sepak terjang aktivitas yang akan dikerjakan.
Ternyata, ketua mengalami kesulitan membuat program kerja. Sekretaris tidak mampu
membuat surat. Bendahara tidak bisa menyusun anggaran. Anggota pengurus lainnya
menyerah tidak sanggup berbuat apa-apa, hanya terpaku dan bengong mau mengerjakan apa
dan bagaimana. Paling banter jawabannya ketika ditanya sedang nungguin instruksi dari
pimpinan. Bekerja hanya menunggu apa yang disuruh dan dikomando oleh atasan. Atas
petuah dan petunjuk “bapak pimpinan” menjadi alasan yang ditunggu untuk bergerak.
Persitiwa ini bukan lagi pernah ditemui dalam sebuah organisasi yang masih balita (baru),
tetapi sering dijumpai dalam suatu organisasi yang berusia kolot (sudah lama).
Nyatanya, pengalaman tidak selalu menambah ilmu dan keterampilan seseorang, tetapi hanya
memperpanjang umur dan merasakan suka duka perjalanan hidup melalui proses kegiatan
rutin dan berulang-ulang tanpa ada peningkatan kapasitas dan kapabilitas, apalagi wawasan.
Pengalaman adalah guru yang baik, sebuah pernyataan yang perlu penjelasan karena ada
korelasi yang tidak selalu linear.

Bila kejadian di atas terus dialami oleh setiap “kabinet kepengurusan” , maka sungguh ironis
bahkan sangat memalukan. Bukan hal yang mustahil kalau peristiwa seperti itu terjadi seperti
sejarah yang berulang dalam setiap periodisasi kepengurusan. Oleh karena itu, bagi setiap
insan yang terlanjur menceburkan diri dalam organisasi, sekalipun sebagai anggota bahkan
simpatisanpun wajib mencari tahu jeroannya organisasi bersangkutan. Mulai membaca buku
tentang dasar-dasar KOMA (kepemimpinan, organisasi, manajemen, dan administrasi),
mengikuti pelatihan kaderisasi, dan yang terpenting terlibat langsung dalam setiap kegiatan

3
organisasi itu. Kesempatan menjadi panitia kegiatan jangan disia-siakan untuk memperoleh
ilmu terapan KOMA melalui praktik langsung berorganisasi yang sesungguhnya walaupun
dalam skala minor dan sesaat. Interaksi dengan para senior baik melalui forum formal
ataupun situasi santai dapat digunakan untuk memetik “ilmu berorganisasi”, sehingga
minimal dapat mengetahui fungsi, tugas, tanggung jawab dan wewenang setiap jabatan yang
ada. [26/8/2012]

Dalam berorganisasi yang harus diketahui oleh para aktivisnya sangat banyak. Karena
pengetahuan dan ilmu dalam berorganisasi, merupakan kumpulan dari berbagai disiplin ilmu
dan senantiasa berkembang. Namun, seiring dengan masa aktif mengikuti kegiatan akan
terus bertambah pengetahuan, ilmu, keterampilan, dan wawasan sedikit demi sedikit. Tentang
dasar-dasar KOMA saja dapat dilihat dari pengertian umum dan khusus. Pengertian khusus
disesuaikan dengan jenis, sifat, dan karakteristik organisasi itu sendiri. Demikian juga dengan
program kerja. Yang jelas, ketika dipercayakan untuk memegang jabatan tertentu sudah harus
mengetahui fungsi, tugas, tanggung jawab dan kewenangannya. Begitu naik peringkat,
tentunya harus memiliki nilai lebih dari sebelumnya terutama dalam sikap dan wawasan.
Semakin ke atas, keterampilan teknis semakin berkurang, sedangkan keterampilan manajerial
kian bertambah.

Nah, sebagai bahan untuk mengantisipasi agar dalam satu periode kepengurusan tidak diisi
oleh orang-orang yang tak memiliki “ilmu berorganisasi”, sehingga organisasi laksana perahu
yang sedang oleng oleh hempasan ombak laut, maka perlu dilakukan terapi berikut. Semoga
langkah ini menjadi panasea (obat mujarab) dalam melakukan tindakan preventif bagi
kelangsungan hidup organisasi.

Terapi tersebut adalah:


1. Proses regenerasi melalui kaderisasi harus selalu ada dalam setiap periode kepengurusan,
melalui pelatihan KOMA dan program “jenjang karir”.
2. Menyusun kurikulum materi DIKLAT (pendidikan & pelatihan) KOMA yang tepat sesuai
kebutuhan.
Misalnya, seperti berikut:

4
TINGKAT DASAR:
a. Sejarah Organisasi Pelajar/Kemahasiswaan
b. Pengantar Leadership
c. Kemandirian & Kepeloporan
d. Motivator & Dinamisator
e. Kreativitas
f. Pengetahuan Organisasi
g. Dasar Dasar Manajemen
h. Kesekretariatan
i. Teknik Pembuatan Proposal & Pertanggungjawaban
j. Schedulling
k. Komunikasi
l. Public Speaking
m. Memimpin Diskusi & Rapat
n. Problem Solving
o. Mengerti Kedudukan & Peranserta Pelajar/Kemahasiswaan dalam Pembangunan

TINGKAT MENENGAH:
a. Sejarah Organisasi Pelajar/Kemahasiswaan
b. Dinamisator & Motivator
c. Kemandirian & Kepeloporan
d. Kreativitas
e. Manajemen Sumber Daya
f. Planning
g. Controlling
h. Manajemen Personalia
i. Sistem Pengembangan Organisasi
j. Kesekretariatan
k. Budgeting & Dasar Manajemen Akuntansi
l. Problem Solving
m. Pembuatan Konsep
n. Network Planning Analysis
o. Penguasaan Massa
p. Negosiasi
q. Memimpin & Mengarahkan Sidang
r. Mengerti Peranserta Pelajar/Kemahasiswaan dalam Pembangunan

3. Antara satu pengurus ke pengurus berikutnya tidak terjadi “tebang habis”. Artinya,
beberapa orang yang pernah menjabat pengurus di periode sebelumnya dapat duduk
kembali di periode berikutnya dengan jabatan yang lebih tinggi. Tentu saja, orang yang
memiliki kualifikasi dan kompetensi. Sangat berisiko sebuah kepengurusan baru hanya
diisi muka-muka baru saja bagi organisasi yang belum memiliki sistem kaderisasi yang
tertata baik.
4. Menumbuhkembangkan sense of belonging terhadap organisasi bagi anggota apalagi
pengurus termasuk mantan anggota juga mantan pengurus (terutama). Hal ini dilakukan
untuk menepis kepentingan individu atau kelompok (geng) di atas kepentingan bersama

5
(organisasi), sekaligus menyingkirkan ego demi pencapaian tujuan organisasi. Gunakan
moto: “jangan tanya apa yang dapat organisasi berikan kepada saya, tanyakan apa yang
dapat saya berikan buat organisasi”
5. Tetap menjalin komunikasi antar komponen organisasi (anggota-anggota, anggota-
pengurus, pengurus-pengurus). Juga antara pengurus yang sedang menjabat dengan
pengurus yang baru meletakan jabatan. Lebih luasnya antara dan antar aktivis (anggota,
pengurus), mantan pengurus, dan alumni (mantan aktivis).

Semoga terapi di atas dapat menjadi jalan terang dalam berorganisasi. Bahwa aktif
berorganisasi itu bukan hal yang membebankan tetapi menyenangkan. Ingat dengan ilmu,
hidup ini akan lebih mudah. Dengan seni hidup ini akan lebih indah. Dengan cinta hidup ini
akan bergairah. Dan, dengan iman hidup ini akan terarah. Bagaimana kalau ilmu, seni, cinta,
dan iman kita gunakan dalam berorganisasi? Bukankah akan nikmat rasanya menjalankan
aktivitas? Kalau kagak percaya, tunggu nanti setelah “pensiun” dari pengurus, pasti ketagihan
ingin menjabat lagi dan merasa tidak kapok. [2/9/2012]

6
Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Adminstrasi [KOMA]

Sebuah organisasi akan maju kalau semua komponen sumber daya yang ada di dalamnya
berpikir dan berbuat hanya untuk kepentingan bersama menuju visi organisasi tersebut. Hal
ini berlaku dari sebuah institusi yang bernama keluarga, masyarakat, organisasi formal,
sampai sebuah negara bahkan organisasi globalpun membutuhkan komitmen kebersamaan
komponennya. Sang pemimpin laksana seorang pilot sebuah pesawat, dimana pesawat
tersebut adalah organisasinya. Sedangkan sebagai penggerak organisasi, maka mesin pesawat
itu adalah sistem manajemennya. Keteraturan komponen antar perangkat dan sistem kerjanya
adalah sistem administrasinya. Pesawat akan diarahkan ketujuan manapun akan sangat
tergantung sang pemimpin. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan kalau sebuah organisasi
membutuhkan Visi yang tegas dan Misi yang jelas.

Visi dan Misi adalah konsep yang selanjutnya diuraikan dalam tujuan organisasi dan
diimplementasikan dalam program kerja. Namun, unsur kepemimpinan sang pemimpin
menjadi hal strategis, yang didukung oleh sistem yang solid dan kultur yang kuat. Sehingga
dasar-dasar kepemimpinan, organisasi, manajemen, dan administrasi menjadi hal pokok yang
harus dimiliki oleh calon organisatoris agar benar-benar menjadi fungsionaris organisasi.
Bukan sekedar numpang nama dan cari popularitas, tetapi tidak berbuat apa-apa buat
kemajuan organisasi. [22/1/2012]

7
Kepemimpinan Rasulullah SAW

Selain sebagai seorang Rasul, Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa. Bahkan sosok
beliau sangat manusiawi banget ketika berada dalam kehidupan kesehariannya. Diantara sifat
manusia biasanya, adalah nilai-nilai kepemimpinan beliau yang meliputi : SHIDDIQ (rule
comply), TABLIGH (openness, transparant), AMANAH (trustable), dan FATHANAH
(learning & growth).

Inti dari kepemimpinan diukur dari pengaruh pemimpin terhadap siapa, kapan dan dimana
imbasnya terasa dan “membekas” sepanjang sejarah. Untuk hal ini Nabi Muhammad tidak
memiliki tandingan dengan satupun manusia di muka bumi ini. Michael H. Hart dalam
bukunya The 100, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi 100 Tokoh Paling
Berpengaruh Sepanjang Masa, menempatkan Nabi Muhammad pada posisi pertama.
Menurut teori kepemimpinan Stephen Covey, empat fungsi kepemimpinan (the 4 roles of
leadership) adalah perintis (pathfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (empowering),
dan panutan (modeling). Keempat fungsi di atas dapat ditemukan pada diri Muhammad SAW
yang diungkap dalam sejarah kenabian (sirah nabawiyah) yang menceritakan kecakapan
beliau dalam hal kepemimpinan.

Muhammad Syafii Antonio, dalam bukunya Muhammad SAW the Super Leader Super
Manager, menempatkan Muhammad SAW sebagai pemilik traits of leadership dan models of
management dengan membagi sifat kepemimpinan beliau dalam 8 bidang utama, yaitu
1. Self development atau personal leadership
2. Bisnis dan kewirausahaan
3. Kepemimpinan keluarga
4. Dakwah
5. Sosial dan politik
6. Pendidikan
7. Sistem hukum
8. Strategi militer

8
Nabi Muhammad diberi Allah usia 63 tahun yang diisi dengan aktvitas hidup yang padat
dengan dakwah dan sarat dengan kiprah kegiatan hidup manusia biasa lainnya. Prestasi
gemilang yang beliau ukir selama kurun waktu tersebut telah menginspirasi banyak manusia
baik muslim dan non muslim untuk menggali inti pelajaran dari beliau. Namun, sayangnya
sebagian umat memandang sosok beliau masih secara parsial dan dengan mata yang “rabun”.

Sekelumit dari perjalanan hidup beliau sebagai seorang nabi, dengan masa kenabian selama
23 tahun, yakni 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Beliau harus menerima,
menghafal, menyampaikan dan menjelaskan tak kurang dari 6.666 ayat Alquran. Beliau juga
menyampaikan arahan, kebijakan aksi dan bimbingan lisan dalam bentuk hadits yang
jumlahnya lebih dari satu juta buah (menurut Imam Ahmad Ibn Hambal).

Dalam rentang usia 12 hingga 37 tahun, selama 25 tahun itu beliau menjalankan profesi
sebagai pebisnis yang akrab dengan pasar, sehingga tak asing dengan peran sebagai manager,
entrepreneur, dan investor. Kebijkan dengan luar negeri, sebagai ajakan dakwah, upaya
menjalin kerja sama dan persahabatan telah belasan surat yang beliau kirimkan. Apapun
jawaban surat sudah beliau antisipasi dengan langkah-langkah yang harus diambil.
Sebagai pemimpin masyarakat dan bangsa, Rasulullah menciptakan rule of low yang
mengintegrasikan Muslim, Nasrani, dan Yahudi dalam hal perbedaan agama, budaya, klan,
dan bahasa. Beliau juga adalah hakim yang memutuskan segala pernik perselisihan dan
perseteruan diantara umatnya, dengan menegakan hukum Allah. Muhammad SAW juga
berperang untuk menegakan kebenaran dan menahan serangan musuh terutama Kafir Quraish
lebih dari 28 kali dengan semua hiruk pikuk persenjataan, makanan, kesehatan, transportasi,
dan segenap sarana logistik lainnya. Beliau sendiri pernah memimpin langsung lebih dari 9
perang besar dan mengorganisir lebih dari 53 ekspedisi militer.

Sebagai kepala keluarga Rasulullah memiliki keluarga besar dengan 11 orang istri dengan 7
anak. Namun, dalam kesibukannya Rasulullah tetap menunjukan seorang Bapak yang penuh
perhatian terhadap anak-anaknya. Kakek yang masih sempat bercengkrama dengan cucu-
cucunya. Suami yang penuh cinta kasih dan mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Beliau senantiasa berbagi pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian, memerah susu
kambing, dan memperbaiki perabotan rumah. Beliau masih sempat menjahit pakaian sendiri,
menyapu di rumah dan memotong sayur mayor untuk membantu istrinya.

9
Bagaimana beliau mengatur waktunya? Bagaimana beliau mencapainya dengan hasil yang
maksimal? Lebih penting bagaimana kita bisa mencontohnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan
strategis yang harus kita ajukan dalam meneladani Rasulullah.

Sebagai seorang pemimpin beliau berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah di hadapan
hukum, memperoleh kemenangan dan kekuasaan, serta merasakan kekalahan dan kesedihan.
Tubuhnya tidak terdiri dari besi tetapi daging dan tulang biasa. Beliau tidak memiliki ilmu
kebal atau jimat tertentu. Kulitnya pernah robek, pelipisnya pernah terluka parah dan 2
giginya tanggal terkena pukulan di Perang Uhud. Perbedaan satu-satunya adalah bahwa
beliau diamanati wahyu (plus mukjizat sebagai alat pembuktiannya) dan senantiasa
dibimbing Allah jika melakukan satu tindakan atau pilihan yang tidak tepat. Selebihnya
Muhammad SAW adalah manusia biasa di samping sebagai seorang Rasul pilihan dan
kekasih Allah. [12/8/2012]

10
Kepemimpinan, Pemimpin, dan Pimpinan

Membicarakan dan membicangkan ketiga hal di atas (sebagai judul artikel ini) tidak akan
pernah habis dan selesai, karena perkembangan yang dialami organisasi terikat dan terkait
persoalan masalah leader dan leadership disamping sistem manajemen dan administrasi.
Kepemimpijan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi orang agar berkeinginan dan
berantusias bersama mencapai tujuan. Kepemimpinan juga dapat dimanai sebagai peran dari
seseorang dengan seperangkat kemampuan untuk memimpin dan mengelola suatu unit.
Dalam kepemimpinan ada nilai-nilai, seperti: ambisi (kerja keras, cita-cita tinggi), periang
(penggembira), bersih (rapi, apik), berpandangan luas (luas, terbuka), berani
(mempertahankan pendapat, berprinsip), mudah memaafkan (mau memaafkan orang lain,
suka menolong (bekerja untuk kebaikan orang lain), berkemampuan (kompeten, efektif), dan
jujur (tulus hati). Dalam tataran praktis dan praksisnya, kepemimpinan ditinjau dalam hal
perilaku kepemimpinan (leadership behavior) dan gaya kepemimpinan (leadership style).
Perilaku kepemimpinan lebih pada tindakan tertentu dan spesifik yang diambil pemimpin saat
memimpin, sedangkan gaya kepemimpinan dikaitkan dengan struktur kebutuhan dan pola
yang ditampilkan saat berinteraksi dengan berpegang pada nilai dan asumsi yang dijadikan
dasar. Ada 4 gaya kepemimpinan, diantaranya adalah: otoriter, demokratis, santai, dan
kondisional.

Pemimpin, juga berhubungan dengan mempengaruhi orang dan mengemban atau membawa
grup. Pemimpin ditentukan oleh bakat dan usaha. Ada 3 hal yang menyangkut pemimpin,
yaitu: reputasi, moral (kredibilitas), dan karismatik. Reputasi dapat berupa ilmu, prestasi, dan
keahlian. Moral terdiri dari jujur, adil, mudah ditemui, dan tepat janji. Sementara karismatik
diartikan sebagai sumber inspirasi, sumber harapan, dan komunikator. Pemimpin membentuk
dirinya dan lingkungan yang menumbuhkan kepercayaan. Pemimpin harus memiliki power,
yang terdiri dari pengaruh (influence), kewenangan (authority), dan alat paksa (force).
Power akan membuat orang lain (follower) merasa lebih kecil dari leader. Jenis power
berdasarkan kualitasnya dibedakan atas:
a). power expert, power karena keahlian yang ada pada leader.
b). legitimate power (power formal), power yang timbul karena status (atasan),
ada surat pengangkatan.

11
c). power hubungan, power yang timbul karena ada hubungan dengan orang
yang disegani.
d). reward power, power yang timbul sebagai imbalan orang lain terhadap
sang leader.
e). coarship power, power yang bersumber pada ketakutan yang dapat
ditimbulkan oleh leader.

Pimpinan dimaknai sebagai orang menempati posisi, status, jabatan (formal) dalam sebuah
organisasi, sedangkan pemimpin dapat saja berkonotasi sebagai mindset, sikap, karakter dan
kepribadian. Pemimpin bisa saja tidak menjadi pimpinan, tetapi dapat menciptakan
pemimpin-pemimpin lain dan juga pimpinan baru. Pimpinan merupakan hasil kombinasi
antara leader (pemimpin) dan manager (manajer) dalam organisasi. Pimpinan dapat saja
menjadi leader yang baik dan manager yang buruk atau sebaliknya. Terkadang dalam sebuah
organisasi dalam situasi dan kondisi tertentu, yang dibutuhkan bukan pimpinan yang baik,
tetapi pimpinan yang dapat menyelamatkan lingkungan (organisasi)nya. [23/6/2012]

12
Memanajemen Pikiran

Sekarang ini banyak orang yang berprofesi sebagai motivator. Sebut saja, motivator
internasional berkelas dunia, Anthony Robbins. Dari dalam negeri dapat dijumpai seperti
Mario Teguh, Tung Desem Waringin, Ary Ginanjar Agustian, Reza Syarief, dan lainnya.
Selain dari luncuran kata-kata motivasi yang dikeluarkan sang motivator, buku-buku
pengembangan diri juga menjadi alternatif dalam memberi motivasi dan inspirasi dalam
kehidupan. Buku yang masih layak dijadikan referensi adalah “Cashflow Quadrant” dan
“Rich Dad Poor Dad” karya Robert Kiyosaki, serta “The 7 Habits of Highly Effective
People” dan “Living the 7 Habits” karya Stephen R. Covey.

Di kala penulis masih duduk di kelas akhir SMA bersama dengan rekan dalam organisasi
kesiswaan selalu membahas masalah motivasi dalam kehidupan ketika bertemu. Sang rekan
sangat doyan melahap beberapa buku dan mengkoleksinya, seperti “The Power of Positive
Thinking” karangan Norman Vincent Peale, “The Magic of Thinking Big” karya David J.
Schwartz (diterjemahkan menjadi: “Berfikir dan Berjiwa Besar”), “How to Win Friends and
Influence People”, ditulis Dale Carnegie, serta “Keberanian Hiasan Pribadi” karya Sumantri
Mertodipuro.

Penulis sempat dipinjamkan keempat buku tersebut secara bergantian. Seolah seperti kejar
tayang (mengingat sedang duduk di kelas akhir yang membutuhkan persiapan menghadapi
ujian akhir sekolah), maka penulis membacanya dengan cepat dan dipindai (scanning) saja.
Sesungguhnya, saat itu juga waktu yang tepat membaca buku tersebut, karena penulis dengan
rekan sedang mengalami persoalan organisasi dari pemberi kebijakan yang tidak bijak. Dari
membaca buku-buku tersebut hidup menjadi lebih bersemangat. Apalagi sang rekan selalu
mengajak diskusi setelah membaca satu buku. Jelang ujian akhir sampai pengumuman
kelulusan membaca buku-buku itu ditunda sementara, dan dilanjutkan sampai satu tahun
sejak kelulusan. Setelah itu tidak lagi. Ada kalimat yang sampai hari ini masih penulis ingat
dan selalu menjadi rujukan ketika ada masalah yang penulis hadapi. Kalimat tersebut adalah:
“janganlah berputar-putar di dalam masalah yang sedang dihadapi, tetapi angkatlah jiwamu
di atas masalah itu.”

13
Kalimat yang entah dari buku yang mana dari keempat buku tersebut juga menjadi kalimat
yang kerap kali diucapkan rekan penulis tersebut. Kini, sang rekan sudah tidak ada. Namun,
mendiang rekan penulis itu sangat berarti bagi penulis dan banyak warisan ‘bahan
diskusi’nya yang membekas dan memberi kontribusi dalam menambah warna pengetahuan.
Kalimat di atas itu, juga membuka pikiran penulis untuk memahaminya bahwa ketika kita
ditimpa persoalan dan ditempa masalah harus menyikapinya secara proporsional. Sekedarnya
atau sewajarnya. Tidak berlebihan apalagi sampai over estimate. Persoalan masalah adalah
sebagian kecil dari persoalan kehidupan yang sesungguhnya. Membuat generalisasi sebuah
masalah menjadi masalah kehidupan adalah sebuah kekeliruan yang sangat besar dan akan
membutuhkan energi yang besar dan waktu yang panjang untuk menyelesaikannya.
Pertanyaan harus dijawab. Masalah harus diselesaikan. Bukan dipecahkan. Kalau dipecahkan
menjadi kecil-kecil masalah baru yang membutuhkan penyelesaian yang sendiri-sendiri.
Ketika menyelesaikan masalah tentunya dibutuhkan pikiran. Nah, persoalannya pikiran kita
adalah di dalam masalah atau di atas masalah itu sendiri. Logikanya, sekalipun masalah
menghantam dari 8 penjuru mata angin masih dapat dideteksi jika posisi pikiran ada di
atasnya layaknya sebuah helikopter [helicopter view]. Pikiran kita sedang ada di bagian dari
masalah atau berada di bagian dari solusi. Jika hanya tetap ada di masalah, maka masalah
tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu tariklah pikiran kita berada di dalam bagian dari
solusi. Orang sering merasa pusing, mengalami stres atau sakit dengan
mengkambinghitamkan pikiran. Lebih tepatnya, banyak pikiran. Bila kita menyadari, selama
kita hidup dengan normal/waras/sehat selama itu pula kita selalu dan akan berpikir. Pikiran
adalah proses, aktivitas, dan produk berpikir. Seorang dokter jantung pernah ditanya,
mengapa orang mudah stres. Jawaban yang diluar dugaan dari seorang dokter. Yang mungkin
seharusnya menjawab dengan tepat adalah rohaniawan, ustaz atau kyai. Karena jawaban sang
dokter jantung, adalah: orang kurang iman.

Jika demikian, ketika persoalan hidup dan kehidupan menghadapi masalah dibutuhkan kedua
alat canggih yakni iman dan ilmu. Keduanya dapat diraih dengan belajar. Akan tetapi untuk
iman juga membutuhkan spiritualitas tidak sekedar religiusitas. Di sini tidak penulis bahas.
Ilmu, tentunya adalah ilmu manajemen. Memanajemen kehidupan, yang menitikberatkan
pada prioritas adalah manajemen waktu dan manajemen pikiran. Memanajemen pikiran
adalah mengatur, mengelola, dan mengendalikan pikiran kita sendiri. Ingat, ‘otak’ kita yang
sesungguhnya adalah bukan di otak dalam rongga kepala, tetapi di ‘qolb’ dalam rongga dada.

14
Hal ini masih dapat diperdebatkan. Silakan saja. Fisik ‘qolb’ sendiri saja, orang juga belum
tahu sampai hari ini jantung (cardio vascular) atau hati (hepar, lever).
Bukankah lebih baik kita yang memanajemen pikiran kita sendiri daripada pikiran kita
dimanajemen orang lain. Lebih luasnya, sebelum orang lain mengatur kehidupan kita akan
lebih baik kita yang mengatur kehidupan kita sendiri.
Semoga bermanfaat. [24/3/2013]

15
Pemimpin dan Pemikir

Sehebat apapun seorang pemimpin tidak akan berhasil membawa kemajuan bagi
organisasinya tanpa orang-orang di sekitarnya. Sudah saatnya pemimpin yang ”otoriter”
mengubah perilakunya dari seorang yang merasa ”superman” menjadi pemimpin yang
memimpin dan memanajemen ”supertim” nya. Pemimpin yang memiliki tim manajemen
yang baik dalam bekerja dan loyal terhadap organisasi serta berdedikasi dengan kemajuan.
Setiap orang pasti memilki kelebihan dan kekurangan. Melalui organisasi inilah kelebihan
seseorang menambal kekurangan orang lain. Saling melengkapi, bersinergi, giving and
sharing sumber daya, dan mengisi satu sama lain, sehingga idealnya sebuah organisasi
laksana perwujudan dari sejumlah kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia yang
potensial. Integrasi ini tidak hanya terjadi antara sesama anggota tim manajemen, juga antara
pimpinan dengan setiap dan semua anggota tim.

Dalam mengorganisasi tim, tentu saja berbeda cara bekerjanya pimpinan dengan anggota tim.
Masalahnya, apakah seorang pemimpin wajib, harus, mesti, kudu menjadi pemikir juga? Atau
pemimpin seharusnya tetap bertengger di atas awan saja, tidak harus turun gunung.
Sebaliknya, semua persoalan dari yang berskala gajah sampai semut seorang pemimpin mesti
mengetahuinya. Dari masalah yang serius dan strategis sampai persoalan yang sepele dan
remeh.

Istilah ”pemikir” di sini yang penulis maksudkan adalah, seorang visioner, penggagas,
konseptor, perencana, dan bertindak seperti pemain catur yang sudah menyiapkan segala
keputusan kini dengan 2, 3, dan 4 langkah ke depan. Seorang pemikir tidak hanya bergerak
sigap secara spontan. Apalagi bertindak cepat secara gegabah. Juga bukan berbuat untuk
kebutuhan dan kepentingan sesaat. Tidak juga sekedar untuk pemenuhan hasrat biologis
pribadinya, melainkan demi membangun chemistry dengan anggota tim dan menjalin nilai
manfaat sosial. Intinya, sang pemikir memiliki program jangka panjang dan program jangka
pendek bekerja dalam organisasi. Baik pemimpin maupun anggota tim harus menjadi pemikir
dengan kapasitasnya masing-masing.

16
Negara kita sudah memilki visi yang bagus dan jelas, yakni Pancasila. Sebuah contoh, tanpa
bermaksud apa-apa, hanya berbaik sangka saja (khusnudzon) dan positive thinking tentang
pemerintahan Soeharto di masa Orde Baru selama 32 tahun (1966-1998). Selain memilki
banyak kekurangan dan meninggalkan ”warisan” hingga kini, terdapat beberapa kelebihan,
terutama yang berikaitan dengan masalah: tim manajemen, pemikir, konsep, dan program.
Kita mengetahui orang-orang di sekitar Presiden RI kedua itu adalah orang-orang pintar.
Tentunya, bukan ”orang pintar” yang dicari oleh pasien (penyakit medis, gangguan
psikologis, atau kekosongan spiritual) sebagai pengobatan alternatif. Kalau yang ini mah,
lawannya ”orang pintar” yakni ”orang bodoh” dung,..eh dong! Bukan begitu?
Kembali mengenai Orde baru, kita juga mengenal: GBHN (garis-garis besar haluan negara);
Bapenas (badan perencanaan pembangunan nasional); Program Pembangunan Jangka
Panjang (25 tahun); Program Pembangunan Jangka Pendek, dikenal sebagi Pelita
(pembangunan lima tahun) yang disusun dalam bentuk Repelita setelah Kabinet terbentuk,
serta Delapan Jalur Pemerataan.

Oleh karena itu, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya antara Soekarno dan Soeharto,
keduanya sudah berjasa bagi bangsa, negara, dan tanah air ini. Jika fungsi PIMPINAN terbagi
secara ekstrim dan rigid antara LEADER dan MANAGER, maka Presiden pertama kita lebih
sebagai Leader sementara Presiden kedua kita, lebih sebagai Manager. Pendapat ini akan
membuka perdebatan dan memancing persepsi tentunya. Yang jelas, kedua mantan pemimpin
kita itu adalah pemikir pada zamannya yang pemikirannya jauh ke depan melewati masanya
berkuasa. Biarlah masa lalu lewat dengan putaran waktu, yang penting sekarang menyikapi
persoalan hari ini sambil menyongsong masa depan. Kata seorang teman, sejarah adalah
persoalan masa lalu, sedangkan politik adalah masalah hari ini. Entahlah, apakah ekonomi
dan bidang yang lain bukan persoalan hari ini? Sampai hari ini pun saya belum pernah minta
penjelasan darinya.

Pemimpin selayaknya built-in sebagai pemikir. Sejatinya, pemimpin itu visioner dan
konseptor. Bukan lebih banyak bertindak dalam tataran implementasi, teknis, taktis, dan
aplikatif. Proporsionalitas diperlukan dan disesuaikan dengan kapasitasnya.
Sekali lagi, keberhasilan sebuah organisasi mencapai tujuan adalah hasil kerja bareng dan
kompak pemimpin dan timnya.
So, jika Anda jadi Pemimpin sekarang? siap jadi Pemikir! [2/12/2012]

17
Pemimpin KIR = PemiKIR ?!

Referensi tentang pemimpin, pimpinan dan kepemimpinan ada dalam Alquran dan Hadits.
Dalam Alquran terdapat pada surat Al Baqarah (2) ayat 30 dan surat An Nisa (4) ayat 59.
Sedangkan dalam Hadits yang diriwayatkan Mutafaqun’Alaih dari Ibnu Umar yang berbunyi
kullukum rhaain wakullukum mas uulun an rhaiyyatihi........[”setiap kalian adalah pemimpin
dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya....”].

Dari nash tersebut jelas bahwa setiap kita adalah pemimpin apapun status, profesi, predikat
yang disandang, jabatan yang diemban, posisi yang ditempati, atau kedudukan yang
dikuasainya. Demikian pula halnya pada pelajar dan mahasiswa. Kedua peserta didik ini
adalah pemimpin yang harus mempertanggung jawabkan hasil yang diperoleh dari proses
belajar mengajar dalam bentuk jati diri kaum terdidik dan kaum terpelajar, mengaplikasikan
keilmuan yang didapatkan minimal dalam kehidupan sehari-hari, juga menerapkan bekal
pendidikan dalam bersilkap terhadap masalah hidup yang dijumpainya dengan berlandaskan
kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

Adapun pemimpin KIR adalah seluruh komponen personal KIR atau elemen SDM KIR itu
sendiri. Mulai dari anggota sampai ketua KIR. Jadi semua aktivis KIR, baik anggota maupun
pengurus adalah pemimpin KIR secara umum, yang memilki otoritas, tugas, fungsi, dan
tanggung jawab masing-masing sesuai kapasitasnya.

Sementara pemikir yang penulis maksudkan, adalah orang yang segala tindakannya selalu
diawali dengan pemikiran lebih dahulu sebelum mengambil keputusan atau tindakan
perbuatan. Awalnya, penulis menilai pemikir itu adalah orang pintar, yang kalau sekolah
selalu mendapat ranking 1-5, atau kalau kuliah selalu mendapat indeks prestasi (IP)=3,5-4,0.
Pemikir pasti berwajah culun, berkaca mata minus sekian, berkepribadian introvert, pasif
dalam persoalan sosial, kagak gaul, cenderung selfish dan egoist, suka bertingkah aneh,
senang caper (cari perhatian), dan sedikit jutek (judes).

Mengenai hubungan antara pemimpin dan pemikir untuk skala KIR, penulis menerawang
sesaat ketika masih menjadi pelajar dan pengurus KIR pada tahun 1985. Ketika itu penulis

18
masih manjadi Ketua KIR dan sebagai siswa kelas III IPA 3. Kelas ini merupakan kelas
percobaan (info yang penulis dapatkan menurut isu yang beredar dan gosip yang berkembang
saat itu, tetapi tujuan percobaan untuk apa tidak jelas sampai penulis lulus), karena kelas 3
paspal 3 itu memilki siswa yang berasal dari pilihan siswa-siswa ranking 1-10 di kelas II-nya.
Penulis menyadari sebagai mantan siswa dari sebuah SMP pinggiran yang berstatus ”sekolah
buangan”, karena SMP filial (kelas jauh) yang halaman sekolahnya bekas kubangan kerbau
dengan prestasi biasa-biasa saja (menurut penulis, karena masih jago kandang belum teruji di
kancah luar) berhadapan dengan teman-teman yang berasal dari SMP favorit di Kebayoran
Lama dan SMP top di Kebayoran Baru, tentu akan bermasalah dalam pergaulan dan proses
belajar 1 tahun ke depan. Waktu 2 tahun (saat di kelas I dan II) penulis belum sepenuhnya
mengenal semua teman-teman yang kini duduk di kelas III itu, meskipun sebagian sudah
kenal saat satu kelas (kelas I dan atau kelas II) juga dalam kegiatan OSIS dan KIR. Makanya,
ketika hari pertama masuk ada perasaan sedikit kaku juga walaupun penulis berusaha tak
acuh (cuek) menyikapinya. Duduk sebangku dengan siswi yang juga pengurus KIR adalah
langkah awalnya. Ada seorang teman merasa minder minta ganti kelas saja, dengan alasan
kelas ini diisi orang pinter semua. Namun, permintaan itu ditolak Wakil Kepala Sekolah
bidang Kurikulum. Penulis sendiri dengan pengalaman di organisasi menjadi modal untuk
gaul dan mencairkan suasana, bahkan proses pemilihan pengurus kelas penulis yang
memimpinnya. Ketika dicalonkan menjadi ketua kelaspun, penulis berasalan bahwa pengurus
OSIS tidak boleh menjadi ketua kelas, karena ketua kelas adalah anggota MPK. Kelihatan
teman-teman ada yang kecewa, meskipun menerima alasan tersebut. Sikap gaul dan cuek
walau tetap sopan dan santun tetap penulis jaga. Selama duduk di kelas itu hanya penulis saja
yang duduk dengan cewek (siswi) dan penulis berganti-ganti pasangan duduk dengan siswi
yang berbeda. Ingat, sekedar pasangan duduk! Bukan macam-macam ya? Kadang penulis
duduk sendirian, karena jumlah siswa kelas itu tidak berimbang antara siswa dan siswi.
Jumlah siswa 24 orang (pertengahan tahun ada siswa pindahan masuk) dan siswi 23 orang.
Posisi duduk penulis lebih banyak di barisan depan, dekat pintu keluar atau depan meja guru.
Hanya sesekali di belakang ketika bangku belakang ada yang kosong dan tetap aktif
menjawab pertanyaan guru bukan menghindar dan bersembunyi. Saat itu memang yang lagi
mengajar termasuk guru killer, dimana suasana kelas seperti kuburan, sunyi dan senyap.

Paradigma kelas 3 exacta 3 itu kelas anak-anak pintar yang serius dan kaku terbantahkan dan
penilaian tentang anak pintar berputar 180o. Suasana keceriaan tetap ada di kelas itu. Kalau
ada yang ulang tahun dirayakan. Rujak party sudah jadi kebiasaan. Pernah kena marah wali

19
kelas, habis rujakan ketika jam pelajaran beliau meja masih berserakan sisa-sisa buah dan
bumbu rujak. Beberapa siswa saat istirahat, bukan hanya ke kantin tetapi mampir dulu ke
mushola (shalat dhuha dan baca Hadits). Kebiasaan ini juga dilakukan saat pergantian jam
pelajaran atau guru tidak masuk (tak ada pengganti atau tugas). Di kelas itu terdapat pengurus
OSIS, pentolan Pramuka, dedengkot KIR dengan 10 orang aktivis dan simpatisan KIR-nya,
sebagian siswa doyan camping, kerja sama dan gotong royong dalam memajukan kelas
sangat kental dan saling mengingatkan. Kerja bakti membersihkan kelas dan
merapikan/memperindah taman kelas sangat antusias dan kompak. Penulis pernah di tegur,
saat kelas menjadi giliran bertugas upacara bendera. Saat itu penulis menolak menjadi
petugas. Teguran seorang teman yang manis dan imut itu, ”Ki, kamu kalo untuk OSIS sama
KIR dibela-belain, masa untuk 3 IPA 3 aja kamu gak mau !” Penulis beralasan sebelum tiap
kelas mendapat jatah giliran, pengurus OSIS sudah lebih dulu bertugas dan penulis menjadi
komandan upacaranya saat itu. Akhirnya, penulis mengalah untuk tetap berpartsipasi untuk
kelas tercinta. Bercanda di kelas itu juga agak kelewatan, saling main tembak pintol air dari
sudut depan dan belakang tempat duduk, sehingga yang jadi korban adalah siswi-siswi yang
duduk di bagian tengah mendapat berkah hujan lokal.

Di kelas tak ada pengelompokan (gang). Pergaulan baik antar siswa, antar siswi, maupun
antara siswa dengan siswi sangat baik dan sehat. Tidak ada yang menonjolkan status sosial
ekonomi. Membicarakan hal tabu sekalipun saat itu dengan terbuka, rasional, serta dasar
ilmiah dan etika. Sigap menjalankan tugas observasi dari guru mata pelajaran di kehidupan
sehari-hari (penerapan mata pelajaran di lapangan). Dalam masalah pelajaran sangat peduli
satu sama lain, saling membantu dan berbagi ilmu. Tidak ada kesan bersaing. Lucunya, tidak
pernah saling bertanya tentang ranking. Sampai penulis luluspun, tidak memperhatikan
ranking berapa di kelas itu. Seolah semua masa bodo dengan ranking. Yang penting belajar
menguasai ilmu untuk masa depan. Kerja sama untuk menguasai pelajaran dengan cara
berdiskusi atau yang lebih tahu maju ke depan papan tulis menjelaskan setelah jam sekolah
berakhir. Kejujuran dalam ulangan (tes) sangat dipegang. Menjadi siswa bimbel (bimbingan
belajar) saat itu masih langka. Namun, ketika membahas soal-soal dibuka saja, tidak menutup
diri dengan teman yang tidak ikut bimbel. Soal-soal dari modul bimbel dibahas bersama-
sama.

20
Sebagian siswa yang aktif di ekskul pulang sekolah langsung main-main ke Bogor sambil
survey untuk lokasi camping atau sekedar refreshing. Pulang hari dan sore harinya sudah di
Jakarta. Kadang dalam perjalanan masih suka nyetop truk untuk menikmati tumpangan gratis.

Di akhir masa sekolah juga demikian. Berfoto ria setelah pengumuman ujian tiba tak
terkendalikan apalagi dengan aksi corat-coret baju. Muncul provokasi untuk
memandikan/mengguyur ibu wali kelas, tetapi rencana aksi gila tersebut dibatalkan. Entah
kenapa, yang jadi sasaran tembak ke arah penulis. Yah sudah, penulis menjadi korban
pelampiasan kepuasan dan pengungkapan keceriaan hari itu. Para eksekutorpun berantusias
menyiram tubuh penulis dengan ember-ember yang berisi air sampai puas, tinggalah penulis
basah kuyup dan kedinginan. Setelah acara kelulusan itu, teman sekelas masih memiliki 2
acara, sehingga sampai sore hari baru pulang ke rumah dengan baju dan celana yang
mengering di badan. Apalagi dalam perjalanan menuju acara pertama sempat naik tumpangan
truk gratis yang berangin-angin ria. Hasilnya, sakit seminggu. Alhamdulillah, berniat
memboikot untuk tidak hadir acara perpisahan di sekolah kesampaian juga (karena sakit tidak
hadir). Sebagai bentuk protes. Ketika menjadi Pengurus OSIS memperjuangkan
penyelenggaraan perpisahan kakak kelas (alumni 1984) di Granada. Seolah air susu dibalas
air tuba, ketika menjadi kakak kelas justru acara perpisahan dilakukan di sekolah dengan
model tenda seperti acara pernikahan ala kampung(an). Apakah itu sebagai bentuk ganjaran
atau model hukuman bagi personal atau mantan pengurus organisasi? Tetapi, mengapa harus
mengorbankan satu angkatan, 1985 (angkatan ke-4 SMA 32). Entahlah, apa yang tersirat di
benak para ”penguasa” saat itu? Penulis tidak tahu.

Nah, dari narasi tentang kelas III IPA 3 di atas dimana di dalamnya terdapat calon ” kaum
pemikir” baik sebagai siswa yang berprestasi, aktif di OSIS dan ekskul lain, maupun aktivis
dan simpatisan KIR. Dari siswa ini kemudian beberapa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) baik melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) ataupun Sipenmaru
(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Semoga dengan menyorot kelas 3 itu bisa
merepresentasikan perihal hubungan antara pemimpin dan pemikir (terutama untuk skala
KIR) dalam organisasi. Bahwa pemikir itu adalah orang biasa, bukan luar biasa. Pemikir
adalah makhluk normal, bukan abnormal apalagi paranormal. Kira-kira juga, bukan
supernormal kan? [9/12/2012]

21
Pemimpin ⇌ Pengikut

Sebuah mesin organisasi memerlukan kontrol kepemimpinan atas pengikut dan sebaliknya
juga demikian. Seorang dikatakan memimpin suatu organisasi karena ada yang dipimpin,
yakni pengikut. Bahkan dalam suatu level struktur organisasi, jabatan tertentu memegang dua
peran sekaligus yaitu sebagai pemimpin juga sebagai pengikut. Seorang manajer adalah
pemimpin bagi supervisor, sekaligus pengikut direktur. Atasan dan bawahan bisa jadi terletak
pada orang yang sama.

Pemimpin yang berhasil dalam suatu organisasi adalah pemimpin berkarakter kuat dengan
pengikut yang efektif. Peran pemimpin dan pengikut adalah masalah SDM organisasi.
Masalah SDM ialah persoalan dengan segudang disiplin ilmu. Ilmu yang berkaitan dengan
SDM bisa bermula dari antropologi, budaya, sosiologi, psikologi, manajemen, hukum,
organisasi dan administrasi. Namun, hubungan antara keduanya, pemimpin-pengikut lebih
banyak ditinjau dari sudut pandang psikologi. Pemimpin tidak ada tanpa pengikut. Bersama-
sama mereka membentuk hubungan timbal balik dalam suatu kelompok dan keberhasilan
kelompok tergantung pada tindakan kedua orang yang memimpin dan mereka yang
mengikuti.

Robert E. Kelley, dari Carnegie Mellon University, dalam artikelnya di Harvard Bussiness
Review (1988) yang berjudul “In Praise of Follower” menyebutkan:
Bosses are not necessarily good leaders; subordinates are not necessarily effective followers.
Many bosses couldn’t lead a horse to water. Many subordinates couldn’t follow a parade.
Some people avoid either role. Others accept the role thrust upon them and perform it badly.
Four steps that can develop good followers are: 1) redefining followership and leadership
roles as equal but different activities, 2) teaching the skills that make effective followers, 3)
carrying out performance evaluation on the basis of followership capacities, and 4) building
organizational structures (like leaderless groups and rotating leadership assignments) that
encourage followership.

Dari Muhammad Zainul Majdi (2013) dan sumber lain, Kelley mengklasifikasi pengikut
menjadi lima tipe dasar pengikut, diantaranya:

22
1. Pasif (Passive) atau tipe domba (sheep)
Pengikut yang masuk kategori ini memiliki sejumlah ciri: pasif, tidak kritis, sangat
tergantung, kurang memiliki inisiatif, tidak berkomitmen, tidak antusias, tak mempunyai
rasa tanggung jawab. Hanya melakukan apa yang diberitahu dan tidak lebih. Menjalankan
peran apa adanya. Sudah merasa puas dengan hanya mengikuti jejak orang lain.
2. Konformis (Conformist) atau tipe serba setuju (yes people)
Tipe pengikut ini lebih bebas, lincah, dan aktif dibanding tipe pertama. Namun, masih
kurang suka berusaha dan sangat bergantung pada pemimpin, suka menghormat
berlebihan dan bersikap merendah di hadapan pemimpinnya. Pengabdiannya kepada
pemimpin tidak disangsikan dan teguh dalam memberi dukungan kepada pemimpinnya.
Banyak pemimpin lemah dan kurang percaya diri suka dengan tipe pengikut semacam ini.
3. Terasing (Alienated) atau tipe pengikut penyendiri (alienated followers)
Pengikut terasing adalah tipe yang independen, pasif, tidak memilki komitmen terhadap
pemimpin, tujuan kelompok, dan anggota kelompok. Namun, pengikut bertipe ini sangat
kritis yang enggan tampil untuk memperjuangkan sikap dan pikirannya. Selalu bersikap
sinis dengan menyetujui opini publik dan terjerumus dalam ketidakpuasan, tetapi diam
atau tak bersuara. Mereka tidak mau tampil sebagai ”oposan” bagi langkah dan kebijakan
pimpinannya.
4. Pencari Selamat (Pragmatic) atau tipe pragmatis (survivors)
Pengikut semacam ini terletak di tengah dari semua tipe dan tidak memiliki karakteristik
yang jelas, bebas atau bergantung dan aktif atau pasif. Mereka tidak bersifat negatif
konformis, pasif atau terasing dan bukan teladan yang baik. Mereka memiliki latar
belakang yang berkontribusi dari apa yang didapat dan kapan mendapatkannya. Kategori
ini adalah tipe orang (anggota) kebanyakan (rakyat jelata) dari sebuah kelompok.
Tipe pengikut jenis ini mengikuti ke mana arah mata angin berhembus. Mereka menganut
prinsip mencari selamat daripada menyesal. Agar tetap eksis, mereka bisa`menjadi
kelompok yang pasif jika kondisi tidak kondusif untuk kritis dan di saat lain bisa secara
agresif menyerang.
5. Teladan (Exemplary) atau tipe Pengikut Efektif (effective followers)
Tipe terbaik dan paling ideal dari pengikut yang dimiliki pemimpin dan tugas pemimpin
adalah mengubah semua tipe di atas menjadi tipe terakhir ini. Pengikut teladan ini
memiliki inisiatif, berani mengambil risiko, dan mempunyai kemampuan menyelesaikan
masalahnya sendiri. Mereka mampu menjalankan tugas dan kewajiban yang didelegasikan
secara tegas dan bersemangat serta memperjuangkan kemajuan diri. Sikap independen dan

23
aktif serta dapat konstruktif ketika berbeda pendapat dengan pimpinan atau kelompok lain.
Mereka adalah bintangnya pengikut.

Dengan demikian nampak bahwa pengikut juga penting untuk diperhitungkan dalam
implementasi kepemimpinan sebuah organisasi. Pemimpin akan mengalami kesulitan
menjalankan roda organisasi bahkan bisa frustasi, jika mendapatkan pengikut pasif.
Pemimpin juga bisa terlena, mabuk, dan terjebak ilusi dari realitas jika di belakangnya
terdapat pengikut konformis. Pemimpin tidak boleh buta dan tuli dengan ketidakpuasan
pengikut apalagi jika yang terjadi ’keheningan’ yang suatu saat bisa meledak layaknya bom
waktu. Oleh karena itu pengikut terasing harus difasilitasi buah pikiran, gagasan, dan sikap
kritisnya untuk disuarakan. Menghadapi pengikut pencari selamat yang selalu berorientasi
pada strategi politis dan kalkulasi ekonomis, akan membuat pemimpin mencurahkan energi
yang besar. Energi akan habis hanya untuk mendeteksi dan mengenali siapa kawan dan siapa
lawan.

Asma Nadia dalam Pemimpin Terbaik dengan Pasukan Terbaik (2013), menuturkan
Muhammad al-Fatih semasa kecil diajak memandangi benteng Konstantinopel oleh Gurunya
sambil berkata, ”Lihatlah di seberang sana, Rasulullah pernah bersabda bahwa benteng itu
akan ditaklukan seorang pemimpin yang merupakan sebaik-baiknya pemimpin dan
tentaranya adalah sebaik-baiknya tentara. Saya percaya, pemimpin itu adalah kamu.” Usia 19
tahun Fatih menjadi Sultan dan usia 21 tahun membebaskan Konstantinopel dengan hasil
gemilang.

Ada kisah menarik ketika pasukan akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel. Saat itu hari
Jumat. Untuk menentukan siapa yang pantas mengisi khutbah dan menjadi imam shalat, sang
Sultan bertanya, ”Siapakah yang sejak akhir baligh hingga hari ini pernah meninggalkan
shalat wajib lima waktu, silakan duduk!” Tak seorangpun duduk. Lalu Muhammad al-Fatih
kembali bertanya, ”Siapa yang sejak baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah
rawatib? Silakan duduk!” Sebagian pasukan ada yang mulai duduk. Muhammad al-Fatih
kembali bertanya, ”Siapa yang sejak baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat
Tahajud di kesunyian malam? Silakan duduk!” Satu persatu tentara duduk, hingga akhirnya
hanya tinggal seorang yang tetap tegak berdiri. Dialah Sultan Muhammad al-Fatih. Wajar jika
Rasulullah menggambarkannya sebagai pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik.

24
Keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi tidak saja merupakan buah dari efektivitas
pemimpin, tetapi juga gambaran sejauh mana kualitas pengikutnya. Para pemimpin
hendaknya membuka mata, sukses kepemimpinannya sangat tergantung pada komunitas yang
dipimpinnya.[17/2/2013]

25
Sikap Pimpinan ditinjau dari filosofi: 2 tangan, 1 mulut, dan 2 telinga

Setiap yang dianugerahi Allah kepada manusia pasti memiliki kegunaan sesuai fungsinya
serta makna jika ditinjau dari sudut filosofis. Misal adanya dua buah tangan pada tubuh serta
adanya satu mulut dan dua telinga. Tangan atau lengan yang ada sepasang ini memiliki posisi
yang simetris dan saling melengkapi satu dengan lainnya (antara tangan kanan dengan lengan
kiri). Selain berfungsi memegang, tangan juga dipergunakan untuk mengangkat, mendorong,
menekan, melambaikan, dan banyak sekali untuk disebutkan satu persatu. Inilah salah satu
bentuk “nikmat” kehidupan yang patut untuk disyukuri oleh seorang manusia.

Selain memiliki arti yang tersurat (harfiah, konotatif), tangan juga memiliki arti yang tersirat
(denotatif). Tangan bisa berarti “power”, “otoritas”, bagi orang yang berkuasa. Sang
pimpinan menggunakan tangan kanannya (sebagai manager) dan tangan kirinya (sebagai
leader). Sikap yang selalu tunduk pada aturan organisasi, selalu berpoisisi di depan atau di
atas, kerap mengandalkan rasionalitas, terus memikirkan tujuan, sebagai alasan untuk
bergerak, dan cenderung melihat ke atas, adalah cermin dari sikap “tangan kanan”.
Sedangkan “tangan kiri” tidak selalu tunduk pada aturan organisasi, posisi bisa di depan,
tengah, atau di belakang, pendekatan dengan sentuhan emosional, menerobos ke dalam hati
sebagai pencerminan diri, serta cenderung melihat ke bawah. Kedua tangan ini harus ada,
saling bantu dan bersinergi. Jikalau berjalan (menggerakan organisasi) harus saling
bergantian posisinya dan berirama melantunkan lagu aktivitas organisasi. Kadang tangan
kanan harus memberi punishment, sementara tangan kiri yang memberi reward. Kalau tangan
kanan terpaksa harus memukul, maka tangan kirinya yang harus merangkul.

Nikmat yang lainnya, adalah satu mulut dan dua telinga. Kiranya tidak perlu membahas
fungsi kedua organ ini. Yang terpenting, kedua organ ini pada seorang pimpinan sangat
berarti. Allah memberikan satu mulut, supaya seorang manusia tidak perlu banyak bicara.
Kalaupun berbicara hanya sesuai keperluan dan yang baik-baik saja yang diucapkan. Lebih
baik diam daripada berbicara yang ngawur, kagak karuan, atau tidak bermanfaat. Adanya dua
buah telinga, mengajarkan manusia untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Seorang pimpinan harus lebih banyak menerima “curhat” anggotanya dengan tekun
mendengarkannya tanpa merasa bosan dan jenuh. Bukan sebaliknya, si pimpinan yang

26
“curhat’ kepada rakyatnya. Pusinglah memimpin, merasa tidak disukai, banyak dimusuhi,
program tidak didukung, mendapat warisan kesalahan pemimpin sebelumnya, dan segudang
keluh kesah, yang semuanya ini akan meneguhkan “pimpinan bermental cengeng”.

Nah, dengan demikian jika merasa menjadi pimpinan, ingat saja dengan kedua tangan yang
dimiliki. Juga bagaimana menggunakan mulut dan telinga secara proporsional. [15/7/2012]

27
Otoritas dan Otoriter

Pengurus organisasi sering disebut sebagai fungsionaris, orang yang seharusnya berfungsi
dan menjalankan fungsi-fungsi manajemen organisasi. Berorganisasi juga belajar istiqomah
(komitmen, konsisten, kontinuitas) terhadap aturan dan peraturan yang telah dibuat dan
disepakati bersama. Namun, tidak semua aktivitas berorganisasi dapat dijalankan sesuai
aturan dan peraturan tertulis yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan otoritas sang pemimpin
mengambil kebijakan (policy). Penerapan otoritas ini bukan meniadakan azas demokratisasi,
tetapi sebagai jalan keluar dari kebuntuan sementara keputusan harus dikeluarkan. Memang
tampak beda tipis antara otoritas dan otoriter, antara kewenangan dan sewenang-wenang. Di
sini perlunya leadership dan kearifan sang ketua, memadukan unsur leader dan manager
pada dirinya. [4/3/2012]

28
Lokomotif dan Gerbong

Pemimpin dan pengikut dapat dianalogikan sebagai lokomotif dan gerbong, sedangkan
anggota organisasi sebagai penumpangnya. Pimpinan organisasi dapat ditetapkan melalui
proses pemilihan (suara terbanyak/voting) atau penunjukan (pengangkatan). Pimpinan juga
dipilih secara tunggal (misal ketua saja) atau bersama-sama dengan wakilnya. Jika proses
pemilihan hanya menetapkan ketua saja, maka sang ketua dapat menunjuk wakil atau
pembantunya.

Ketika pimpinan sudah ada, maka pekerjaan berikutnya adalah mencari gerbong yang sesuai
dengan kualifikasi yang diminta dan dipersyaratkan pimpinan itu sendiri. Pimpinan tidak mau
memimpin orang-orang berkualifikasi rendah, yang kelak akan menghambat kinerja dalam
menjalankan organisasi. Dia tidak mau “kabinet” yang dipimpinnya tidak berjalan dan tidak
produktif. Di sinilah penting sistem adminitrasi organisasi. Bio data atau curriculum vitae
(CV) seluruh anggota harus tersimpan dengan baik, agar dapat dengan mudah ketika mencari
bakal calon pengurus jika diperlukan.

Kriteria calon anggota pengurus, tidak saja dapat diukur dari CV-nya saja, juga dapat diamati
dari kesehariannya aktif dalam organisasi. Kontribusinya dalam kepanitiaan, keikutsertaan
dalam pelatihan kader, intensitas dalam penyampaian gagasan segar dan ide cemerlang dalam
diskusi, dan komitmennya dalam tugas, kepercayaan dan hubungan baik dengan sesama
anggota dapat menjadi referensi tambahan.

Lokomotif harus tepat memilih orang dan tepat pula menempatkannya pada jabatan teknis
yang sesuai keterampilan yang dimiliki. Salah menempatkan orang pada posisi yang tidak
tepat akan memperburuk kerja tim. Lokomotif juga harus berjalan sesuai irama gerbong.
Jangan terlalu cepat atau terlalu lambat. Lokomotif yang terlalu cepat akan meninggalkan
gerbong jauh di belakang, sehingga yang terjadi adalah show off atau single fighter. Bukan
lagi supertim tapi superman. Kan superman hanya ada pada dunia fiksi.
Lokomotif yang berjalan terlalu lambat juga akan menurunkan motivasi gerbong dalam
menjalankan aktivitas. Lambannya pengambilan keputusan, sikap ragu-ragu, dan terlambat

29
menerima informasi serta rendahnya sensitivitas isu hangat dan kabar aktual kehidupan
organisasi akan menjadi gregetan siapapun apalagi anggota tim.

Memang terkadang ada lokomotif yang lebih besar nama dan kapasitasnya dibandingkan
dengan organisasi yang dipimpinnya sendiri. Namun, tetap harus dapat memposisikan diri
kapan harus berada dalam organisasi dan kapan berada di luar organisasi. Kapan menjadi
bagian dari organisasi dan kapan organisasi itu bagian dari dirinya. Yang jelas, lokomotif
seperti ini juga harus tetap amanah memimpin organisasi dan ingat kapan harus meletakan
jabatan. Godaan untuk terus memimpin dan memanfaatkan organisasi sebagai kepentingan
pribadi yang lebih besar kerap terjadi di organisasi manapun dan apapun. Sang lokomotif,
merasa lebih punya kekuatan kepemimpinannya dibanding sistem yang ada. Ada rumus yang
berlaku, semakin panjang masa berkuasa, kepemimpinan akan cenderung korupsi. Oleh
karena itu, penting mensinergikan kepemimpinan yang kuat dengan kesolidasian sistem.

Menciptakan kepemimpian yang kuat, di samping faktor internal individu juga ditunjang oleh
sistem pengkaderan organisasi. Sedangkan sistem yang solid ditentukan oleh pewarisan dan
pendelegasian satu angkatan dengan angkatan berikutnya dengan mengawal supaya sistem itu
tetap berjalan sesuai visi misi. Bukan tiap periode pengurus seenaknya saja merubah semua
hal mendasar dan prinsip. Bahkan celakanya tidak bisa membedakan antara pedoman dan
program, antara konsep dan teknis, dan antara mendesak dan penting.

Oh ya, lokomotif dan gerbong harus tetap berjalan sesuai rel organisasi dan koridor aturan
dan peraturan organisasi. Artinya taat dan patuh pada visi misi, tujuan dan AD/ART
organisasi serta GBPK organisasi. Hanya kewenangan atau otoritas pengurus di tiap periode
adalah membuat program kerja yang sesuai dengan GBPK. Program kerja dapat terbagi
menjadi 3 bagian: 1) program kerja melanjutkan program kerja pengurus sebelumnya, 2)
program kerja baru yang terjadwal dan berkala, dan 3) program kerja baru yang sifat
insidental dan temporer.

Hubungan antara pengurus baru dengan pengurus lama seharusnya tetap terjalin baik. Bukan
lagi melihat setuju atau tidak sejutu siapa yang sudah terpilih, tetapi demi kemajuan
organisasi dan kepentingan anggota yang lebih besar. Kadangkala yang terjadi, setelah
pengurus baru terbentuk seolah pengurus lama merasa “habis manis sepah dibuang”.
Pengurus lama juga tidak sekalipun memberi perhatian dan mengkontribusikan “warisan”

30
kepada pengurus baru. Sementar pengurus baru merasa “lebih pintar” enggan berkomunikasi
dengan seniornya, sehingga terjadilah gap. Yang ada, anggota curhat ke pengurus lama.
Kalau pengurus lama (mantan pengurus) kurang bijak, maka akan memperuncing masalah.
Oleh karena itu, pertemuan antara pengurus dengan mantan pengurus perlu dilakukan secara
berkala, untuk membahas kelanjutan program kerja dan kemajuan serta kelangsungan hidup
organisasi.
Kok, sama-sama lokomotif dan gerbong ribut?[17/8/2012]

31
BOS = “Bukan Orang Sembarangan ?”

Perbedaan antara pimpinan dan bos, ialah pimpinan adalah bos, tetapi bos belum tentu
pimpinan. Salah satu karakter dan tabiat orang bermental ngebos adalah “sok kuasa dan ingin
selalu dianggap”. Oleh karena itu, ada adagium yang telah berkembang bahwa: bos tidak
pernah salah. Sehingga bukan rahasia umum lagi (kalau sudah diketahui umum kenapa ya
pakai “rahasia” segala?), ada anekdot tentang UU tentang Bos. Yaitu: Pasal 1 (pertama)
berbunyi Bos selalu benar. Pasal 2 (kedua) berbunyi jika bos salah, peraturan kembali ke
pasal 1 (pertama).

Oleh karena bos bukan orang sembarangan, maka anggota (pengikut) nya selalu “menikmati
penderitaan”. Beda antara tampilan dengan isi hati, tidak sama antara aktivitas di depan bos
dengan di belakang bos, dan berlainan antara idealisme dengan aktivitas keseharian.
Akhirnya muncul “mental blankon” di kalangan pengikut.

Dalam organisasi seperti ini terdapat lagu ratapan anggota (bawahan) terhadap bos (atasan)
yang selalu diputar ulang. Jika bawahan lambat bekerja, maka dikatakan lelet/lemot.
Sedangkan jika bos lambat bekerja, maka bos selalu berhati-hati. Bila bawahan salah
mengerjakan sesuatu, maka bawahan itu ceroboh. Sementara bila bos salah mengerjakan
sesuatu, maka hal itu adalah manusiawi. Jika bawahan mempertahankan pendapatnya, maka
dikatakan sebagai keras kepala. Sedangkan jika bos mempertahankan pendapatnya itu dalah
sikap tegas.

Jadi, mana yang dipilih pimpinan bermental bos atau bos bermental pimpinan? [21/7/2012]

32
Sistem Kepemimpinan Dalang-Wayang

Dalam kepemimpinan ada pemimpin dan ada pengikut, ada atasan dan ada bawahan. Namun,
pada strata yang lebih dari satu level posisi tertentu dapat menjadi bawahan dari level di
atasnya, tetapi juga merupakan atasan bagi level di bawahnya. Misalnya, level manajer
merupakan bawahan dari level direktur, dan menjadi atasan dari level supervisor. Sesuai
tugas pokok seseorang yang berada dalam level manajerial adalah mengambil keputusan,
maka kewenangan ini seharusnya diberikan keleluasaan. Keputusan yang diambil oleh setiap
pimpinan di masing-masing level memiliki keterbatasan dan masih dalam kendali pimpinan
atasnya dengan tingkat risiko yang sudah diukur seminim mungkin dengan segala
antisipasinya.

Begitu pun pada organisasi massa atau partai politik, yang terdiri dari dewan pimpinan pusat,
pimpinan daerah, pimpinan wilayah, pimpinan cabang, sampai pimpinan ranting. Atau pada
organisasi kecil yang hanya terdiri dari badan pengurus harian, departemen, bidang, bagian,
biro, sampai seksi. Semua yang berada di level-level menengah akan mempunyai posisi
ganda. Sebagai pimpinan sekaligus bawahan juga.

Jika organisasi sudah memiliki kepemimpinan yang visioner dan menyiapkan adanya
regenerasi yang ditunjang oleh sistem manajemen yang dapat menjawab kebutuhan akan
perubahan di setiap masa, maka setiap levelisasi diberi kewenangan dalam mengambil
keputusan. Akan tetapi, masih banyak organisasi yang sangat membatasi kewenangan ini.
Kalau organisasi itu baru berdiri, mungkin harap dimaklumi karena pengurusnya masih hijau
dalam berorganisasi dan belum memiliki jam terbang yang banyak. Bila organisasi tersebut
hanya sekelas kumpulan beberapa orang teman ngopi di warung yang tidak memiliki aset
untuk dikelola, masih dikatakan wajar dikelola dengan cara demikian.

Kenyataan yang ditemui adalah, pada organisasi yang sudah lama, yang mengelola sejumlah
aset yang sangat besar, yang terdiri dari banyak orang anggota dan pendukungnya, masih
menerapkan sistem kepemimpinan yang sangat terpusat dan amat teratas. Semua pejabat di
level menengah sampai bawahnya tidak memiliki otoritas dalam bertindak strategis dan tidak
memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan. Layaknya, semua pejabat di level ini

33
bekerja sesuai perintah remote control dari pimpinan tertinggi. Susunan kepengurusan
organisasi memang dibuat stratifikasi, tetapi otoritas dan informasi tidak berjalan sesuai strata
yang teratur. Setiap ada pertanyaan yang memerlukan jawaban, harus menunggu suara dari
atas. Setiap ada masalah yang memerlukan solusi, harus menantikan kicauan dari pusat.

Semua pejabat hanya berada pada posisinya tanpa makna. Kendali sepenuhnya dipegang oleh
orang yang tidak tampak, yang selalu dikatakan berada di atas atau di pusat.
Orang-orang yang berada di level-level tersebut dapat diibaratkan berada pada kondisi seperti
kepala dilepas ekor selalu dipegang. Nah, yang timbul adalah sikap mencari selamat atau
untung, walaupun temannya yang bernama Slamet dan Untung setiap hari sudah ketemu.
Seolah-olah dalam level-level itu antara ada dan tidak adanya sistem. Mengambang dan tidak
jelas. Selain itu, dampaknya adalah inisiatif tunggu nanti, kreativitas mati, dan inovasi hanya
mimpi.

Jika organisasi terus mempertahankan sistem kepemimpinan seperti ini tak ada prosfek yang
diharapkan ke depannya, hanya tinggal menghitung waktu saja sambil menyiapkan keranda
kematian. Ketergantungan berlebihan pada seseorang, kekurangpercayaan pada bawahan,
tidak menyiapkan sistem manajemen yang mengacu pada perubahan, serta tidak memperbaiki
kultur organisasi, adalah cara-cara mengelola organisasi bukan saja tradisional, tetapi lebih
tepatnya primitif. Semoga saja bukan sekelas zaman barbar yang menihilkan sifat dan sikap
manusiawi dalam berorganisasi. Kini, sudah zamannya modern, bahkan ada yang bilang post
modern. Selayaknya, organisasi apapun dan dimanapun, beradaptasilah sesuai zamannya.
[14/10/2012]

34
Berbagai Tipe Pengurus Organisasi

Menjadi pengurus organisasi semestinya sadar akan menambah kesibukan dan pengorbanan.
Waktu, tenaga, dan pikiran harus dialokasikan atau disempatkan. Disisihkan dan bukan
disisakan. Kadangkala juga, perlu pengorbanan uang pada organisasi sosial. Seharusnya,
setelah memegang tampuk kepengurusan konsekuensi di atas harus diterima. Beberapa
pengurus menyikapinya dengan berbagai cara, sehingga nampak bermacam tipe yang dimiliki
pengurus. Diantaranya, adalah:
a. Pengurus yang hanya namanya saja dicantumkan dalam daftar susunan
kepengurusan organisasi, tidak melakukan apa-apa. Rapat pengurus tidak pernah hadir
apalagi acara kegiatan organisasi.
b. Pengurus yang hanya hadir dalam rapat pengurus dan biasanya banyak ide dan usul,
tetapi ketika diminta untuk menjadi penanggung jawab kegiatan akan menolak dengan
berbagai alasan. Pada saat acara kegiatan tidak hadir.
c. Pengurus yang tidak pernah mau ikut rapat pengurus, tetapi setiap ada acara kegiatan
selalu hadir. Acaranya adalah kegiatan yang dilakukan oleh seksi (bidang) lain.
d. Pengurus yang tidak mau menjalankan tugas dan fungsinya sesuai seksi (bidang) yang
menjadi tanggung jawabnya, tetapi suka mengerjakan tugas seksi (bidang) orang lain.
e. Pengurus yang hanya mau menjadi pengurus, tidak mau tahu dengan tugas dan
fungsinya, tetapi rapat selalu hadir, dan ketika acara kegiatan juga hadir sebagai objek
pelengkap.
f. Pengurus yang tidak pernah mau hadir dalam rapat pengurus, tetapi ketika diingatkan
tugas dan fungsinya mau mengerjakannya sampai tuntas selesai (dari konsep sampai
operasionalnya).
g. Pengurus yang hanya mau bertanggung jawab dan terlibat dalam acara kegiatan yang
menjadi tanggung jawab seksi (bidang)nya. Kalau ada acara kegiatan seksi (bidang) lain,
tidak mau membantu sekalipun sebagai anggota dan bahkan tidak pernah hadir (datang)
sebagai peserta.
h. Pengurus yang mau mengerjakan tugasnya (dalam konsep), tetapi pada saat acara
kegiatan dilangsungkan tidak pernah datang.
i. Pengurus yang tidak mau datang saat membahas konsep kegiatan seksi (bidang) nya,
tetapi saat acara kegiatan berlangsung selalu hadir mengerjakan tugasnya.

35
j. Pengurus yang rajin hadir dalam rapat pengurus, mengerti tugas dan fungsinya, serta
menyediakan waktu buat hadir dalam acara kegiatan organisasi.

Munculnya, berbagai tipe pengurus di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain: niat
menjadi pengurus (keterpaksaan atau berminat), karakter pribadi, sistem rekruitmen
pengurus, sistem kaderisasi organisasi, hubungan antar pengurus, sifat kepemimpinan sang
ketua, dan budaya organisasi yang menaunginya. Nah, jika anda seorang pengurus organisasi,
jujur saja anda termasuk tipe pengurus yang mana……..? [26/5/2012]

36
4 Tipe Pengikut (Anggota Organisasi)

Dalam pelajaran dasar administrasi, disebutkan syarat berdirinya organisasi adalah: adanya
anggota, adanya pengurus, dan ada AD/ART. Kalau pengurus disebut leader (pemimpin),
maka anggota disebut follower (pengikut). Menjadi pemimpin harus mengerti siapa yang
dipimpinnya, disamping tentu saja dapat memimpin dirinya sendiri.

Berdasarkan kemauan dan kemampuan yang dimiiliki dalam berperan serta dan melibatkan
diri aktivitas organisasi, pengikut (anggota) dibedakan menjadi 4 tipe, sebagai berikut:
1. Anggota yang RAJIN dan PINTAR
2. Anggota yang RAJIN dan BODOH
3. Anggota yang MALAS dan PINTAR
4. Anggota yang MALAS dan BODOH

Semua pimpinan pasti akan mau memiliki anggota tipe 1, tetapi kenyataannya tidak akan ada.
Seandainya semua anggota organisasi bertipe 1 ditambah dengan loyalitas dan dedikasinya
tinggi pada organisasi, maka pengurus (sang ketua) tidak punya amal. Justru adanya amal
karena jumlah tipe ini sangat sedikit, sehingga harus berkerja keras dengan belajar cerdas
membina tipe lainnya.

Anggota bertipe 2, harus dilakukan pembinaan dengan pengetahuan dasar berorganisasi dan
spesialisasi aktivitas organisasi serta manfaat yang akan diperolehnya kelak. Melibatkannya
dengan kegiatan dan mengajarinya dengan penuh kesabaran. Dengan modal rajinnya,
melakukan hal yang berulang melebihi orang lain akan menjadi pintar. Terapkan ilmu 3 X 1,
bukan 1 X 3.

Anggota tipe 3 hanya memerlukan motivasi, dengan menyampaikannya manfaat


berorganisasi secara rasional, menghubungkan dengan hobinya, serta berikan pemahaman
bahwa organisasi dapat menjadi sarana dan fasilitas pengembangan diri. Orang yang pintar
membutuhkan tantangan dan mau melukakan sesuatu yang baru, menarik, sesuai
kesenangannya, dan pemacunya. Pemicunya sudah ada pada dirinya sendiri. Jangan lupa test
case dengan memberi kepercayaan menjadi project officer sebuah kepanitiaan.

37
Sedangkan untuk anggota tipe k-4, pengurus harus berusaha dan bekerja ekstra keras
menghadapinya dengan memberi motivasi sekaligus mengajarinya. Dimulai dengan mencari
tahu alasan bergabung dalam organisasi, memberi perhatian keterlibatannya dalam kegiatan,
membimbingnya dalam keterampilan teknis, serta memberi apresiasi walaupun sekedar
ucapan atas prestasinya (meskipun menurut ukuran orang lain itu biasa).

Dengan berbagai tipe anggota yang dimiliki, maka pendekatan dalam melakukan
implementasi kepemimpinan, pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan motivasi terhadap
anggota, dilakukan secara umum dan khusus. Yang umum menyangkut dasar-dasar
berorganisasi dan spesfikasi aktivitas, sementara yang khusus berkaitan keterampilan teknis,
bimbingan peran, pengelompokan peminatan yang disesuaikan dengan minat dan
kemampuan masing-masing. [3/6/2012]

38
Kepepet Makes Power

Dalam keadaan biasa, wajar, atau lazim maka hal-hal yang menyangkut kekuatan dan
ketangguhan tidak nampak dipermukaan. Walaupun faktor eksternal memberikan segudang
antusias dan setumpuk motivasi, sementara faktor internal tetap dalam status quo dan
kejumudan, maka tidak akan ada perubahan yang berarti. Niat akan tetap tinggal niat. Mimpi
hanya sebatas bunga tidur yang tetap berada dalam angan dan khayalan, tanpa follow up-nya.

Seolah situasi dan kondisi begitu tegar dan terlalu kuat untuk ditembus. Usaha dan ikhtiar
yang dilakukan serasa tak mampu melewati batas itu. Seakan terjadi deadlock dan kuldesak
setiap upaya. Namun, keadaan akan berubah ketika situasi dan kondisi dalam keadaan
terdesak, tersudut, terkekang dan kepepet bagai telur di ujung tanduk. Segenap kekuatan
keluar seolah dibangunkan dari tidurnya dalam alam bawah sadar. Kekuatan dari situasi
kepepet ini tidak dapat terduga besarnya bahkan tak terukur bila dibandingkan ketika dalam
situasi biasa dan wajar.

Banyak orang yang berhasil menggapai keinginannya dan sukses menggapai cita-citanya
setelah mengalami situasi kepepet. Mereka melakukan quantum leap dalam situasi demikian
hingga mencapai harapannya. Mereka pantas ber-victory laps layaknya seorang atlit yang
telah memenangkan pertandingan. Ah, ternyata kepepet dapat membuat kekuatan besar yang
tak terduga sebelumnya. Kalau begitu, bagaimana kalau membuat setiap waktu seolah dalam
keadaan kepepet? [24/3/2012]

39
Pemimpin, menyelami kenikmatan atau menikmati penderitaan?

Mungkin kalau kita merujuk pemimpin pada pribadi Rasulullah sangat normatif dan kurang
terukur. Alasan yang selalu dikemukakan terang saja beliau Nabi apalagi Rasul. Walaupun
dipakai argumentasi bahwa beliau sangat manusiawi banget dalam kesehariannya, tetap saja
sebagian orang tidak mau menerima alasan tersebut. Kalau begitu, jika dipakai
kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, selalu saja ada alasan. Mereka dididik oleh Rasulullah
langsung dan ditempa dalam tarbiyah selama 23 tahun dalam teori dan praktik dari seorang
guru terhebat sepanjang sejarah umat manusia. Atau diambil dari salah satu Dinasti
Umayyah, yakni Umar bin Abdul Azis (cicit dari Umar bin Khatab) yang sukses memimpin
selama 2 tahun dengan mensejahterakan rakyatnya sampai sulitnya amil zakat menemui
orang miskin di negeri itu.

Namun, yang tampak dewasa ini di negeri yang makmur dengan kekayaan alamnya ini
sebaliknya. Sulit menemukan pemimpin sejati, yang ada penguasa. Sukar menjumpai tokoh
sekaliber negarawan, yang ada hanya berhenti pada profesi politikus. Pekerjaannya hanya
memperebutkan kekuasaan dan memupuk kekayaan. Jika dalam pendirian bangsa dan negara
ini perseteruan antar tokoh seputar konsep negara atau sekitar ideologi negara, tetapi dalam
elit politik sekarang ini hanya berkutat masalah kursi dan duit.

Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan Syafrudin Prawiranegara berkonflik pada masalah
konsep dasar negara. Sukarno dan Mohammad Natsir berseteru dalam masalah ideologi
negara. Semua pemimpin negara dan bangsa ini yang menjadi founding fathers, adalah orang
yang tidak selalu sejalan sepemikiran. Akan tetapi pemikiran mereka bukan untuk tujuan
jangka pendek hanya mengurus tahta dan harta, tetapi tentang organisasi negara ini ke depan,
jangka panjang.

Agus Salim mempunyai kredo, “leiden is`lijden (memimpin adalah menderita). Kita
terbayang bagaimana penderitaan Jenderal Sudirman, yang memimpin perang gerilya di atas
tandu. Dengan tabahnya, beliau berpesan, “jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita
(prajurit, pemimpin) yang menderita.”

40
Dari Irfan Junaidi, dalam buku Mengenang Bung Hatta yang ditulis Iding Wangsa Widjaya
(mantan sekretaris Bung Hatta), dikisahkan pada tahun 1952 Bung Hatta akan berangkat
menunaikan ibada haji ke Arab Saudi bersama istri dan dua orang saudara. Waktu itu, Bung
Karno sebagai presiden menawarkan untuk memberikan fasilitas penerbangan kepada Bung
Hatta. Dengan tegas, beliau menolak tawaran tersebut. Bung Hatta ingin berangkat haji
sebagai rakyat biasa. Bung Hatta berangkat haji dengan biaya yang seluruhnya berasal dari
kantong pribadi. “Saya masih ingat benar bahwa kami semua diberangkatkan Bung Hatta ke
Mekkah dengan uang hasil honorarium buku beliau yang terbit di Belanda dan Berbahasa
Belanda, judulnya Verspreide Geschriften, “tulis Iding. Bung Hatta adalah penulis ulung
yang melahirkan sederet karya literatur.

Kelihatannya sulit menemukan hal yang telah dicontohkan Bung Hatta pada perikehidupan
pemimpin pusat dan pemimpin daerah di Indonesia saat ini. Bahkan mereka lebih sadis
menggunakan dana pemerintah dan uang negara ibarat perlombaan. Anggaran negara dipakai
untuk keperluan pribadi atau keluarga termasuk haji, yang mengikutsertakan kerabatnya
sekaligus. Memimpin laksana mencapai kenikmatan dengan hidup bersenang-senang dan
bermewah-mewah ria, yang memanfaatkan anggaran publik.

Pemimpin yang tidak mau menderita demi organisasi, adalah pemimpin yang tidak hanya
mencari makan dari organisasi, bahkan sedang menjadi predator bagi organisasinya.
Sedangkan pemimpin yang mau menderita demi organisasinya, adalah pemimpin yang
memberi makan dan menghidupkan organisasi. [17/3/2013]

41
Berbuat ”lebih” dari yang Seharusnya

Tersebutlah kisah (sebenarnya) dua orang siswa yang berada dalam satu kelas di sebuah
SLTP di pinggiran Jakarta. Ketika itu mereka duduk dalam kelas III. Salah seorang dari
mereka tidak memiliki buku ’cetak’ (atau buku pegangan/panduan, saat itu buku terbitan
Departemen P & K), sehingga untuk mengerjakan soal atau ’PR’ harus menyalin cepat dari
buku temannya. Jika harus meminjam tidak mungkin, karena temannya juga butuh buku
tersebut pada saat yang sama. Kejadian itu berulang terus sampai gurunya mengetahui bahwa
si murid tidak mempunyai buku itu. Sang guru yang bijak menyuruh si murid datang ke
rumah dan meminjamkan buku ’cetak’ tersebut selama satu semester.

Kedua siswa yang berlainan etnis dan berbeda agama tersebut bergaul akrab, bersinergi
dalam memahami pelajaran sekolah terutama Matematika, kadang saling menantang untuk
berkompetisi, tetapi tetap dalam pertemanan yang erat dan persahabatan yang kental.
Diantara mereka tidak pernah berseteru apalagi berkonflik. Berdiskusi dan berdebat selalu
diakhiri kedamaian, karena lebih menghargai argumentasi logis ketimbang egoisme emosi.
Saling menghargai pendapat dan mau menerima kebenaran walaupun datang lewat orang
lain.

Saat pelajaran Matematika seperti biasa guru menjelaskan teori, aksioma, dan memberi
contoh soal, kemudian menyelesaikannya. Pelajaran akan diakhiri dengan latihan sejumlah
soal yang terdapat dalam buku. Siswa yang dapat menyelesaikan lebih dulu diminta tidak
menunggu siswa lain tetapi terus melanjutkan nomor berikutnya yang tertera dalam latihan
bab tersebut. Jika tidak ada siswa yang bertanya karena menemui kesulitan, guru hanya
mengawasi satu-persatu siswa dalam mengotak-ngatik angka tersebut. Guru akan menyuruh
siswa lain maju ke depan untuk menyelesaikan soal yang ditanyakan siswa. Guru hanya
menambahkan dasar teori dan aksioma yang dipakai jika diperlukan.

Kedua ’tokoh’ siswa dalam cerita ini melaju dengan cepat dalam menyelesaikan soal, bahkan
tanpa disuruh guru semua bab berikutnya dipelajari sendiri dan soal-soalnya dilalap habis.
Maksudnya, jika guru baru menerangkan pelajaran Bab 5 dan memberikan soal latihan di
Latihan 5A, kedua siswa itu sedang menyelesaikan Latihan 7B dan saling berkejaran dan

42
berlomba sejauh mungkin mencapai akhir buku. Perlu diketahui setiap bab memiliki teori dan
soal latihan. Untuk soal latihan ada yang terdiri A dan B. Artinya Bab 5 memiliki teori dan
ada Latihan 5A (biasanya guru hanya menyuruh mengerjakan soal-soal ini saja), sedangkan
Latihan 5B (ada keterangan ”Untuk Penggemar Matematika”, bila disimak soal-soalnya
memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi).

Belajar dengan didikan guru yang baik, metode yang tepat, sarana yang cukup, membuat
semangat menuntut ilmu bergelora, apalagi ditambah suasana ’akademis’ sekolah itu yang
mendukung. Ulangan dan ujian di dua semester dilalui dengan mudahnya oleh kedua siswa
tersebut dalam pelajaran Matematika. Hasil yang diperoleh dari setiap tes selalu tidak pernah
ada nomor yang salah dalam penyelesaiannya. Kedua siswa itu dalam pelajaran Matematika
memilki nilai yang homogen, selalu 100 (seratus). Makanya, sang guru tidak ragu
mengapresiasinya dengan nilai 10 pada semester V dan VI dalam buku Rapor mereka.

Kisah yang terjadi di tahun 1981-1982 tersebut memberi pelajaran betapa berbuat yang
”lebih” dari seharusnya akan mendatangkan hasil yang berbeda dari orang kebanyakan.
Kebanyakan kita terjebak dalam perilaku manusia ekonomis, manusia politis, atau manusia
industrialis. Manusia ekonomis, yang lebih dari hemat (pelit atau kikir) dan semua serba
dihitung-hitung serta dikalkulasi untung ruginya. Seolah semua aktivitas dapat diukur dengan
metode kuantitatif. Berpegangan pada standarisasi menjadi alasan, walaupun sebenarnya
karena ’tidak mau rugi’ dalam pikirnya. Menjadi karyawan, dengan jam kerja yang sesuai
setoran saja. Hanya terkonsentrasi pada bidangnya saja tanpa berkeinginan mengetahui
bidang lainnya, apalagi mempelajarinya. Menjadi spesialis buta yang picik pandangan dan
naif wawasan. Sehingga bukan tidak mungkin pengalaman kerja selama 30 tahun hanya
memiliki satu ’kebisaan’ (bukan keahlian lagi) yang dipegang.

Manusia politis, laksana orang yang salah masuk sarang. Seharusnya menjadi politisi (dalam
partai politik), tetapi masuk ke lingkungan kerja (profesional). Akibatnya, tabiat politiknya
dibawa dalam pekerjaan. Dalam pekerjaan bukannya serius untuk menjalankan sistem,
melainkan mengutak-ngatik, mengakal-ngakalin, memain-mainkan, dan mensiasati sistem
yang ada demi kepentingan pribadinya. Sebagai ’politisi gagal’, maka akan gagal juga segala
usahanya meskipun sistem organisasi (perusahaan) belum solid dan masih lemah dalam
pengontrolan. Namun, masih ada sedikit peluang jika kultur organisasi masih

43
mengedepankan ukuran ’untung-rugi’, like-dislike, dikenal-tidak dikenal, atau dekat-tidak
dekat.

Manusia industrialis, sangat kaku memegang SOP (standar operating prosedure) abai pada
kreativitas. Menganggap semua manusia terutama yang dipimpinnya adalah mesin (robot)
yang tidak memiliki naluri, nurani, hati, perasaan, emosi, dan keinginan. Senyum yang
dipaksakan, tanpa keikhlasan. Keramahan yang diatur bukan apa adanya. Penampilan yang
kamuflase, bukan aslinya.Yang ada, imitasi bukan sejati. Artifisial bukan original.

Masalahnya, ketika menyadari dan memahami tentang ’kita’. Kita terjebak dalam profesi,
status, atribut, pangkat, atau jabatan. Bukan manusia seutuhnya. Akibatnya, pola pikirpun
mengikuti kemana kesadaran dan pemahaman tentang ’kita’ yang seharusnya menyeluruh
menjadi parsial. Pola pikir akan menggiring sikap dan perilaku dalam beraktivitas dan
berbuat.

Betapa banyak dalam sejarah orang hebat atau orang berpengaruh yang mengukir peradaban,
karena mereka berbuat ’lebih’ dari orang kebanyakan. Mereka melakukan yang ’berbeda’
dari apa yang orang banyak biasa melakukan.

Mari kita berbuat ’lebih’ dari yang seharusnya! Mau? [24/3/2013]

44
Organisasi dalam Eksistensi dan Strukturisasi

Kala pertama kali mengenal organisasi sebagai siswa SMP adalah OSIS (Organisasi Siswa
Intra Sekolah). Dalam kata “OSIS” jelas termaktub kata “intra”, bahwa OSIS adalah
organisasi intra (berada di dalam) sekolah, bukan organisasi ekstra sekolah (di luar sekolah).
Untuk organisasi ekstra sekolah setingkat SLTP dan SLTA nampaknya tidak begitu dikenal,
kecuali yang berada di bawah ormas (organisasi massa) terutama ormas islam. Sedangkan
organisasi di level mahasiswa (di perguruan tinggi), jelas terbagi menjadi 2 bagian, yakni
organisasi intra universiter dan organisasi ekstra universiter.

Eksistensi organisasi yang berada di dalam sekolah/universitas berada dalam ruang lingkup
terbatas, yakni sepanjang masa studi pelajar/mahasiswa di institusi pendidikan tersebut.
Setelah merampungkan studinya, otomatis si pelajar/mahasiswa tidak lagi menjadi
anggotanya. Pelajar atau mahasiswa memiliki peran ganda, sebagai anggota (peserta didik)
dari lembaga pendidikan yang bersangkutan juga sebagai anggota dari keluarga organisasi
kesiswaan (OSIS) atau organisasi kemahasiswaan intra universiter (baik tingkat program
studi/jurusan, fakultas, atau universitas). Hal yang mirip juga terjadi pada
karyawan/pekerja/buruh dalam organisasi (perusahaan) tempat kerja. Setiap pekerja (non
level manajerial) memiliki dualisme peran sebagai anggota (pekerja) dari perusahaan dan
juga sebagai anggota serikat karyawan/pekerja/buruh. Organisasi serikat
karyawan/pekerja/buruh memiliki garis struktural menembus batas lingkup perusahaan
tempat kerja (yang hanya setingkat unit), sedangkan ke atasnya terdapat dewan pimpinan
(cabang, daerah, dan pusat), bahkan ditambah lagi terdapat pengelompokan dalam sektor-
sektor industri.

Organisasi bisnis (perusahaan) lebih variatif dalam membuat strukturnya apalagi setelah
membentuk grup atau holding company, dimana perusahaan sudah beranak pinak bahkan
beranak cucu sampai cicit. Kompleksitasnya akan lebih lagi ketika membuat pilihan dalam
beroperasi di tingkat global (perusahaan internasional dan multinasional). Diantara
pilihannya, adalah strategi internasional, strategi multidomestik, strategi global, atau strategi
transnasional.

45
Organisasi profesi, organisasi sosial, organisasi massa (ormas), dan organisasi politik (partai
politik) eksistensinya disesuaikan dengan tujuan dan manfaat yang ingin dicapai serta
kepentingan yang akan diperoleh para pendirinya. Strukturisasinya hanya berbeda tipis satu
sama lain. Di tingkat terkecil ada unit/satuan, kemudian ranting/anak cabang, cabang, daerah,
wilayah sampai pusat.

Nah, bagaimana dengan organisasi alumni sebuah sekolah/perguruan tinggi? Jelas, secara
struktur tidak ada kaitannya dengan organisasi almamaternya terdahulu.
Dengan demikian, para aktivis organisasi baik ekskul di sekolah, aktivis kemahasiswaan,
aktivis ketenagakerjaan (sebagai pekerja), dan aktivis organisasi apapun dan manapun harus,
mesti, kudu, dan wajib mengetahui eksistensi dan garis strukturisasi (vertikal & horisontal)
organisasi yang menaunginya. Sehingga sebagai aktivis tidak salah memilih, tak salah
bergerak, dan tidak salah melangkah. Sadar atau tidak ketika ikut berorganisasi orang sudah
berada dalam komunitas dan ini akan menambah peran sebagai individu. Semakin banyak
ikut organisasi akan semakin banyak peran yang harus dimainkan dalam “panggung
sandiwara sejati” ini. [8/7/2012]

46
Tiga Fungsi Dasar (Utama) Organisasi

Setiap organisasi, baik organisasi kecil ataupun organisasi besar, baik organisasi sosial
maupun organisasi bisnis, akan melakukan fungsi-fungsi manajemen, seperti perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Diantara manajemen fungsional, ada 3
fungsi yang menjadi dasar dalam berorganisasi atau menjadi fungsi utama berjalannya
organisasi. Ketiga fungsi dasar (utama) tersebut adalah pemasaran, operasi/produksi, dan
keuangan/akuntansi.

Semua organisasi seperti organisasi yang berada di sekolah seperti kegiatan ektrakurikuler,
organisasi masjid (DKM), sekolah, universitas, rumah sakit, yayasan, sosial, massa, LSM,
organisasi relawan, dan bisnis, memerlukan ketiga fungsi di atas.

1. Fungsi Pemasaran
Setiap organisasi prinsipnya adalah mengumpulkan kekuatan. Oleh karena itu, sebelum orang
memasuki suatu organisasi, bergabung atau bekerja sama tentunya akan mencari tahu tentang
jati diri organisasi tersebut. Tanpa organisasi itu memasarkan jati dirinya akan sulit dikenal
oleh orang luar. Dengan 4p-nya marketing mix (bauran pemasaran), yakni product, price,
place, dan promotion, setiap organisasi perlu untuk memasarkan apa yang menjadi aktivitas
atau “core business”-nya.

Dalam konteks organisasi ekskul KIR, yang menjadi produk adalah anggota KIR yang
mampu berkarya dan berprestasi dan alumni KIR yang dapat berkiprah di masyarakat sesuai
profesinya. Iuran keanggotaan sebagai harga yang harus dibayarkan oleh anggota yang ingin
terbina, terlatih, terdidik dan terbimbing dalam kegiatan ilmiah. Sekretariat, perpustakaan,
laboratorium, organisasi antar KIR, museum, universitas, lembaga peneltian, dan industri,
adalah tempat aktivitasnya atau jalur distribusi kegiatannya. Promosi yang dilakukan sebelum
perekrutan anggota baru ketika penerimaan siswa baru setiap tahun ajaran baru. Promosi juga
bisa dlakukan dengan semaraknya aktvitas ilmiah dan bertaburnya prestasi anggota yang
disosialisasikan terus menerus. Mengadakan kegiatan terbuka yang dihadiri semua siswa,
seperti seminar studi lanjut dan pilihan profesi setelah lulus.

47
2. Fungsi Operasi/Produksi
Organisasi laksana sebuah mesin, yang memproses input menjadi output. Dalam operasinya,
organisasi mendapatkan masukan berupa raw material, sumber daya, dana, SDM, metode,
mesin, infrastruktur, yang masuk dalam proses organisasi sehingga menjadi produk jadi, yang
berupa barang (komoditas) atau jasa (layanan). Dalam memproses, tentu saja ada
perencanaan produk, mutu, rancangan proses, lokasi, tata letak, SDM, pasokan, persediaan,
penjadwalan, dan pemeliharaan.

Dalam konteks KIR, sebagai inputnya adalah seluruh anggota. Proses operasi atau
produksinya, adalah diklat, kegiatan percobaan/penelitian (riset), presentasi, penulisan karya
ilmiah, dan semua aktvitas ilmiah (seperti yang pernah penulis paparkan tempo hari).
Infrastruktur operasi: Visi Misi KIR, AD/ART, GBPK, Susunan Pengurus, Struktur
Organisasi, Program Kerja, Surat Keputusan (SK), dan Kurikulum Pembinaan Anggota.
Termasuk urusan administrasi yang dikerjakan konsepnya oleh Sekretaris. Aktivitas operasi
KIR terbagi 2 bagian internal dan eksternal. Internal berupa ruang kelas, aula, perpustakaan
laboratorium, dan halaman sekolah. Eksternal, digunakan bila bekerja sama dengan
organisasi/institusi/lembaga lain.

3. Fungsi Keuangan/Akuntansi
Sebagai organisasi yang masih kecil dan sederhana, KIR cukup membuat RAPB, yakni
rancangan anggaran pendapatan dan belanja. Bendahara membuat konsep prediksi anggaran
yang masuk sebagai pendapatan selama 1 tahun. Mengkonsep sumber-sumber dana
organisasi, baik yang tetap (dana taktis) atau temporer. Dengan prediksi tersebut, kemudian
dapat dibuat estimasi alokasi (jatah) tiap bidang atau perwaktu tertentu yang harus
dikeluarkan. Intinya tetap harus ada “cadangan devisa” sekitar 60-70%, sehingga yang keluar
antara 30-40% saja tiap kegiatan. Yang selebihnya dicari melalui usaha panitia.
Sesungguhnya mengurus keuangan tidak sulit, asal catatan dengan uang yang ada selalu sama
(tak berbeda nilainya). Dan jumlah uang selalu “pas” saja. Mau belanja ini, mau ngadain
kegiatan itu, uangnya pas ada. Ya, kan?

Demikian fungsi manajemen yang mendasar bagi setiap organisasi, sedangkan fungsi lainnya
adalah manajemen SDM, manajemen investasi, dan manajemen strategik. Dalam praktiknya,
ketiga jenis manajemen yang disebut belakangan tersebut juga sudah diterapkan walaupun
dalam skala yang kecil dan tak terprioritas. [5/8/2012]

48
Heterogenisasi yang Tak Dapat Dihindari

Kecenderungan setiap orang memiliki persamaan dan kesamaan dalam segala hal dengan
orang lain, terutama dengan pasangan hidupnya. Perasaan yang sama, berpola pikir yang tak
berbeda, cara mangambil sikap yang tak berlainan, dan semuanya serba sama, sejalan, se-
kepribadian sehingga tercipta keharmonisan, keselarasan, keserasian yang terus menerus. Tak
pernah ada ritme gelombang perbedaan, tak pernah ada gejolak emosional, semua berjalan
datar, horisontal, selalu steady state, dan tak pernah ada turbulence condition. Memiliki
kesenangan yang sama, mempunyai ketidaksukaan yang sama, senantiasa sependapat dalam
segala hal, serta tak ada yang diselisihkan. Laksana dua buah bangun dalam logika
matematika, yang disebut kongruen. Sama dan sebangun.

Kecenderungan ini semakin meluas ketika orang memiliki komunitas, berorganisasi, atau
bermasyarakat. Adanya persamaan hobi, kebutuhan, dan kepentingan terbentuklah
komunitas. Demikian pula halnya, dalam berorganisasi. Bahkan organisasi lebih mengikat
lagi kesamaan yang harus dipenuhi dengan pencanangan visi dan doktrin ideologi, misalnya.
Semua anggota harus sevisi dan seideologi. Anggota yang tak seivisi dan seideologi minggir
dari mainstream dan tak ada tempat, apalagi bagi kritikus, si mbalelo, si penyeleneh, dan
pengganggu kestabilan status quo. Organisasi harus berjalan aman dan nyaman, tanpa riak
gelombang apalagi “guncangan gempa bumi”.

Dalam masyarakat yang tidak semua hubungan antar anggota diatur dalam aturan formal,
maka keharmonisan hubungan terjadi justru pada ketidakformal, karena lebih luwes,
fleksibel, cair, tidak rigid, dan tak kaku. Adanya persamaan dan perbedaan adalah sebuah
sunatullah. Sikap yang hanya mau menerima persamaan, dan tak mau menyadari adanya
perbedaan adalah sikap yang menerima sunatullah tak seutuhnya. Menyadari bahwa dua
orang anak kembar sekalipun yang dilahirkan seorang ibu, pasti memiliki sejumlah
perbedaan. Apalagi dengan yang bukan kembarannya. Sepasang suami istri yang masing-
masing berasal dari orang tua yang berbeda jelas akan memiliki perbedaan. Sesama antar
anggota organisasi (hubungan kerja, bisnis, atau sosial) semakin tampak perbedaan yang ada.
Perbedaan semakin banyak lagi ketika telah memasuki kancah yang semakin luas. Perbedaan

49
yang semula hanya faktor genetika, bertambah dengan faktor lain seperti pergaulan,
pendidikan, dan lingkungan.

Dalam konteks negara ini, keindahan yang terbentuk berasal dari sejumlah perbedaan yang
dimiliki. Berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa daerah, adat istiadat, tradisi, dan
sebagainya memberi konfigurasi warna sehingga membentuk mozaik yang namanya
Indonesia. Oleh karena itu, patutlah bersyukur menjadi orang Indonesia. Mulai bersikap
menjadi “penduduk yang dewasa” yakni mau menerima perbedaan yang ada dan mengakui
adanya perbedaan orang lain. Kebhinekaan atau keragaman adalah sebuah kenyataan.
Pluralitas atau kemajemukan adalah sebuah keadaan. Sehingga menginginkan homogenitas
dalam masyarakat hanya sebuah utopia. Yang jelas kini hidup dalam heterogenitas yang tak
dapat dihindari. Sekali lagi, ini sebuah sunatullah. [23/6/2012]

50
Kaderisasi dan Regenerasi dalam Organisasi

Seorang pemimpin yang berhasil, bukanlah pemimpin yang hanya dapat mengukir prestasi
gemilang di masa periode kepemimpinannya dengan berbagai macam karya monumental,
tetapi pemimpin yang dapat mewariskan nilai kepemimpinannya kepada generasi berikut
dengan lebih baik dalam mengelola organisasi. Jelasnya, seorang pemimpin harus dapat
menciptakan pemimpin-pemimpin baru. Hal inilah yang menjadi persoalan pentingnya
kaderisasi dan regenerasi dalam organisasi.

Harus diakui masalah terbesar setiap organisasi justru kedua hal ini, kalau organisasi ini mau
tetap eksis sepanjang sejarah dan menciptakan produk bermanfaat yang dapat dinikmati oleh
seluruh umat di dunia. Masalah kaderisasi dan regenerasi terkait banyak faktor terutama
karakterisitik organisasi itu sendiri. Visi dan misi, tujuan, eksistensi dan strukturisasi, para
pendiri, kepemilikan, AD/ART, sistem suksesi, dan kepentingan-kepentingan (ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan) serta strategi organisasi yang
bersangkutan.

Oleh karena itu begitu kompleksnya faktor terkait di atas, maka dibatasi dan disederhakan
dengan satu faktor saja, yakni sistem suksesi. Sistem suksesi dapat diprogramkan dalam satu
periode, yang tentunya tidak bertentangan dengan peraturan lebih atasnya, seperti Surat
Keputusan (SK), Garis Garis Besar Program Kerja (GBPK), dan AD/ART organisasi.
Sistem suksesi dalam organisasi kecil dan sedehana (yang mana para pengurus & anggotanya
baru mulai belajar berorganisasi), dapat dilakukan dengan 2 jalur pembinaan pengkaderan,
yakni:
1. Pembinaan teori lewat DIKLAT (pendidikan & pelatihan)
Diklat dilakukan setiap tahun, dan dibagi menjadi 2 tingkat: tingkat dasar dan tingkat
menengah. Tingkat dasar diikuti oleh anggota baru, sedang tingkat menengah diikuti
oleh pengurus setingkat kepala bidang, anggota yang pernah menjadi panitia sebuah
kepanitiaan dan atau anggota yang pernah ikut diklat tingkat dasar.
Materi diklat adalah Kepemimpinan, Organisasi, Manajemen, dan Administrasi. Ada
materi umum (20%) dan materi khusus (80%), dengan pembekalan 40% teori dan 60%
praktik. Untuk materi umum dapat diikuti oleh kedua tingkat. Namun, materi khusus

51
hanya diikuti oleh masing-masing tingkat, karena antara materi tingkat dasar dengan
materi tingkat menengah berbeda substansi yang disesuaikan dengan tujuan dari output
yang diharapkan.
2. Pembinaan praktik lewat Kepanitiaan
Apabila ada kegiatan yang akan diselenggrakan, pimpinan harian (BPH) yang terdiri dari
ketua, sekretaris, bendahara, beserta wakilnya mengadakan rapat. Hasil rapat memutuskan:
a. untuk mengadakan acara kegiatan dengan membentuk kepanitiaan,
b. menunjuk panitia pengarah atau steering committee (SC) yang terdiri dari 3-5 orang
berasal dari orang yang pernah jadi panitia sebelumnya dan atau kepada bidang yang
terkait,
c. menunjuk ketua panitia atau project officer (PO) yang berasal dari wakil kepala bidang,
anggota (staf) bidang terkait, orang yang telah lulus diklat tingkat dasar, dan atau orang
yang pernah menjadi anggota kepanitiaan sebelumnya.
d. mengeluarkan SK tentang SC dan PO,
e. memerintahkan PO melengkapi susunan personalia panitia,
f. mengeluarkan SK tentang Panitia Pelaksana atau Organizing Committee (OC).

Setelah pimpinan organisasi mengeluarkan SK kepada ketiga mandataris itu, yakni SC, PO,
OC, maka kegiatan kepantiaan dapat dilangsungkan sampai pelaksanaan hari “H” nya.
Pimpinan organisasi terus melakukan pembinaan dengan melakukan monitoring dan
pengawasan terhadap jalannya kepanitiaan sesuai program kerja panitia.
Dengan memberi tugas seperti ini, akan kelihatan karakter kepemimpinan seseorang,
kemampuan mengorganisasi personal dan sumber daya, kelihaian memanajemen waktu,
aktivitas, sumber daya, serta keteraturan dan kerapihan dalam administrasi kepanitiaan.
Kepanitian adalah bentuk miniatur organisasi, sehingga keberhasilan memimpin kepanitiaan
diharapkan menjadi referensi sebagai calon pemimpin organisasi periode selanjutnya.

Melalui 2 jalur pembinaan di atas, proses kaderisasi masih harus dibuat ketentuan levelisasi
dan metode pemilihan. Ketentuan levelisasi, misalnya untuk duduk menjadi ketua, sekretaris,
dan bendaha harus telah lulus diklat tingkat menengah; atau pernah menjadi wakil ketua,
wakil sekretaris, atau wakil bendahara; dan atau pernah menjabat kepala bidang. Sedangkan
untuk meduduki jabatan kepala bidang, harus sudah lulus diklat tingkat menengah; pernah
menjadi PO kepanitiaan; dan atau pernah menjadi wakil (staf) kepala bidang.
Sedangkan metode pemilihan yang digunakan, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu

52
pendaftaran, seleksi, kampanye, dan pemilihan dengan suara terbanyak secara terbuka. Atau
dilakukan di ruang, dengan sistem aklamasi, formatur, atau voting.

Semoga, dengan “wacana” ini bagi pegiat organisasi atau aktivis perkumpulan tidak galau
lagi bagaimana melakukan kaderisasi dan mempersiapkan regenerasi. Sebagus sistem apapun
kembali tergantung orang yang menjalankannya. Minimal kita yang membuat kitapula yang
lebih dulu memulainya, demikian halnya komitmen seorang pemimpin. Dengan sistem yang
memadukan teori dan praktik, jenjang atau levelisasi yang jelas, dan monitoring yang ketat
menjadi rujukan yang lengkap sebagai latihan “berkarir” untuk tahap pemula.

Insya Allah, (masih mimpi) ketika berada dalam organisasi yang besar kelak untuk
menempuh jalur karir tidak gelap sama sekali. Pengalaman berorganisasi akan sangat
disayangkan kalau hilang begitu saja, tidak membekas dalam pribadi. Semoga banyak
pengalaman tidak sekedar hanya memperpanjang umur saja, tetapi juga menambah ilmu,
keterampilan, keahlian, dan wawasan dalam hidup ini. [29/7/2012]

53
SDM: Sumber Daya Manusia atau Selamatkan Diri Masing-masing?

Peranan sumber daya manusia (SDM) sangat vital, strategis, dan menentukan dalam aktivitas
organisasi. SDM merupakan faktor yang sangat penting dari seluruh aktvitas usaha dalam
perusahaan. Hal tersebut karena bagaimanapun besarnya sumber daya non SDM tak akan ada
artinya jika SDM tidak terkelola dengan baik. Usaha meningkatkan kualitas SDM harus
paralel dengan peningkatan sumber daya lain yang dimiliki organisasi, seperti modal dan
teknologi. Teknologi yang tinggi, sistem yang canggih, jumlah kapital yang berlimpah akan
sia-sia dan terbuang percuma, serta akan menjadi pemborosan dan kemubaziran terhadap
pemanfaatan berbagai sumber daya tersebut bila tidak didukung oleh SDM yang handal dan
mumpuni. Oleh karena itu pengembangan SDM bagi suatu organisasi menjnadi suatu
kebutuhan dan keharusan yang mutlak.

Begitu pentingnya nilai sebuah SDM, maka penyiapannya harus serius dan sarananya adalah
pendidikan dan pelatihan. Salah satu pilar pendidikan adalah sekolah. Sekolah tempat
menyemai bibit-bibit SDM di negara ini untuk kebutuhan pembangunan bangsa dan negara.
Dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab
III Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab."

Kalimat yang penulis perhatikan adalah.... mengembangkan kemampuan dan membentuk


watak.....dan ......... manusia yang beriman dan bertakwa........, yang merupakan pendidikan
karakter. Menurut Adian Husaini (2012) dalam “Pendidikan Islam Membentuk Manusia
Berkarakter dan Beradab”, nilai kejujuran, kebersihan, keberanian, dan kerja keras adalah
nilai mulia yang sifatnya universal dan inklusif. Semua sifat ini Islam sangat menghargai.
Sifat-sifat tersebut harus diletakan dalam bingkai dan dasar keimanan. Bukan sekedar “rasa
kemanusiaan” yang lepas dari nilai Islam. Itulah adab. Pendidikan karakter membentuk
manusia yang cerdas, jujur, bersemangat kerja keras, tidak malas, berani, kreatif, cinta

54
kebersihan, dan toleran. Perspektif Islam menggabungkan pendidikan karakter dengan
pendidikan adab. Sehingga diharapkan dapat mencetak SDM yang memiliki pribadi mulia,
yakni pribadi yang takwa dan hidup dalam kebahagiaan.

Namun, dalam realisasinya penyelenggara pendidikan mengabaikan tujuan pendidikan di


atas. Pengelola pendidikan hanya mementingkan reputasi agar sekolahnya dinilai berprestasi
dengan selalu dapat meluluskan siswanya 100% setiap tahunnya. Celakanya, ada pendidik
yang ikut menciderai nilai luhur pendidikan itu sendiri. Mulai dari etika moral sang pendidik
yang tidak dapat dicontoh sampai perilakunya melakukan sistematisasi ketidakjujuran atau
kecurangan dalam proses pendidikan, utamanya dalam ujian. Sebuah perilaku insan pendidik
yang tidak mendidik dan bahkan telah menghancurkan benih-benih karakter siswanya sendiri
yang telah dirintis selama KBM berlangsung.

Penulis mambayangkan, apakah ada sebuah sekolah yang siswanya ujian tidak perlu diawasi?
Menyontek menjadi tindakan yang tidak terpuji sekaligus memalukan, sehingga semua siswa
merasa berdosa dan terhina jika menyontek. Bahkan jika ketahuan oleh teman-temannya yang
lain akan mendapat cemoohan dan celaan. Para siswa memahami adanya “waskat”. Bukan
‘pengawasan melekat’ dari pengawas ujian, tetapi ‘pengawasan malaikat’. Walaupun
menurut informasi dari seorang pendidik, sudah ada sekolah seperti yang penulis bayangkan.
Seorang pendidik yang lain berujar, tindakan menyontek adalah embrio menjadi koruptor.
Penulis percaya bahwa perilaku semasa sekolah akan menjadi cermin perilaku setelah
menjadi bekerja.

Sedangkan ketika sudah menjadi profesional dalam lapangan pekerjaan, output sekolah
memasuki dunia profesi menjadi SDM bagi perusahaan. Jika berada dalam perusahaan yang
menghargai SDM sebagai aset bukan sebagai komoditas industri atau komponen mesin, maka
perusahaan tersebut dapat menjadi pilihan dalam meniti karir. Sebaliknya, jika tidak
demikian bersiap untuk angkat kaki mencari tempat kerja idaman. Karena, istilah “SDM”
telah berubah menjadi upaya untuk melakukan “Selamatkan Diri Masing-masing”.
[12/5/2013]

55
Tua Berpengalaman dan Muda Berilmu

Seringkali antara kaum tua dengan anak muda terjadi kesenjangan dalam menyikapi masalah
yang dihadapi bersama. Orang tua lebih berdasarkan pengalamannya ketimbang dasar
pengetahuan yang ada sekarang. Sebaliknya orang muda lebih mengedepankan ilmunya
sekarang dibanding dengan menerima hasil pengalaman masa lalu. Maka, terjadilah jurang
pemisah dalam menentukan kebenaran dan tembok penyekat dalam merumuskan sebuah
konsep, yang pada ujungnya suatu masalah bersama yang sejatinya cepat harus diselesaikan
menjadi tertunda, bahkan bergantung selama masing-masing masih mempertahankan
’kebenaran’nya sendiri-sendiri. Ketidakakuran antara kedua generasi biasa terjadi di dalam
keluarga, organisasi, masyarakat, ataupun dalam lapangan pekerjaaan. Penyebab dasarnya,
adalah bukan pada ketiadaan ilmu, pengetahuan, keahlian, atau keterampilan yang dimiliki.
Melainkan pada sifat keakuan yang lebih ditonjolkan dan merasa paling tahu yang
sebenarnya kurang tahu atau memang tidak tahu, yang akhirnya menjadi sok tahu. Masalah
yang dihadapi bersama dapat saja sama atau serupa dengan yang pernah dialami sebelumnya,
tetapi parameter yang mempengaruhi masalah itu sendiri semestinya juga ditelaah apakah
memang sama persis dengan waktu yang lalu. Parameter setiap masalah dapat berubah
seiring waktu dan senatiasa bertambah baik secara kualitatif ataupun kuantitatif. Demikian
juga dalam menentukan masalah praktikal tidak selalu dapat diselesaikan dengan sebuah
rumusan teoritikal. Terkadang problem lapangan juga masih membutuhkan teori lama yang
dipadukan dengan teori baru.

Bagi kaum tua pengalaman adalah segalanya, sedangkan pengetahuan [’ilmu’] baru tak ada
artinya dalam menyelesaikan masalah. Makanya, orang tua selalu senang dengan cerita masa
lalunya dan ketika memulai cerita diawali dengan kata: ”Dulu !!!,.......”. ”Kamu baru anak
kemarin dalam bidang ini, saya sudah 25 tahun menekuninya, jangan coba ngajarin saya”
ujar sang senior terhadap yuniornya. Kadang ditambah-tambah dengan ucapan yang tidak
berhubungan dengan masalah yang dihadapi. ”Kamu belum disunat (maksudnya: khitan)
saja, saya sudah ahli di bidang ini” tegasnya. Sikap orang tua lebih status quo,
mempertahankan kemampanan, enggan dengan perubahan, dan apa yang dikatakan ’ijo’ ya
tetap ’ijo’. Sekalipun itu salah tetap akan dipertahankan sebagai kebenaran. Usaha untuk
memberi pengertian akan sia-sia jika sudah memiliki sikap demikian, apalagi jika ditambah

56
dengan sikap ’jaim’ dan upaya mempertahankan reputasi. Kata yang pas adalah: wangkeng
(Betawi), belegug (Sunda), atau ndableg (Jawa). Tepatnya, sifat, karakter, dan sikapnya
seperti yang digambarkan pada tokoh fiktif ’Haji Muhidin’ dalam sinetron ’Tukang Bubur
Naik Haji’ di salah satu televisi swasta. Orang yang sudah demikian akan sulit bekerja dalam
sistem. Susah mengikuti aturan. Mudah mementahkan keputusan pimpinan yang disepakati
bersama dengan mencari jalan lain. Lain di atas meja lain pula di lapangan.

Sebaliknya bagi kaum muda masalah hari ini hanya bisa diselesaikan dengan ilmu dan
pengetahuan sekarang. Gelora darah muda membakar semangat dengan ungkapan yang
dimuali dengan kata: ”Nanti !!!,.......”. ”Susah berhadapan dengan aki-aki”. ”Hari gini masih
memakai teori zaman batu di era digital sekarang?” begitu gerutu sang yunior terhadap
seniornya yang tentu saja bukan di depan orangnya. Orang muda sering terbawa dalam
kepongahan sebagai orang ’berilmu’ yang bisa menuntaskan semua masalah. Merasa sebagai
pendekar yang baru turun gunung membawa sejumlah ilmu untuk diamalkan di lapangan
kehidupan. Apalagi sebagai freshgraduate, antusias untuk mencoba semua teori yang didapat
selama sekolah dan hendak dikeluarkan untuk dipraktikan tanpa memahami lebih dahulu
substansi masalah yang dihadapinya. Anak muda kadang lupa bahwa, lulusan sebuah sekolah
belum bisa mencetak tenaga siap pakai. Memasuki lapangan pekerjaan atau kehidupan
masyarakat perlu belajar menyesuaikan, menyelaraskan, dan merelasikan antara teori yang
memenuhi isi kepala dengan keadaan di lapangan praktik. Calon tenaga kerja hanya siap
latih.

Menyederhanakan masalah adalah membuat perumusan masalah yang dalam bidang eksak
digunakan persamaam, rumus atau formula. Untuk menjembatani antara teori dengan praktik
sederhananya digunakan rumus. Namun, faktor yang ada di luar rumus lebih banyak dan
kadang lebih berpengaruh. Rumus yang sederhana akan membuat suatu masalah semakin
ideal dan semakin jauh dari kondisi praktik dan fakta nyatanya. Sebaliknya, memasukan
semua faktor dalam praktik ke dalam kerangka teori akan membuat rumus yang semakin
kompleks (menjlimet) dan bahkan tidak mungkin. Itulah sebabnya dalam teknik dijumpai ada
rentang toleransi, faktor keselamatan, nilai korelasi, faktor konversi, dan lain-lain.

Jika melihat kedua sikap antara orang tua dan orang muda dalam melihat kebenaran,
sebenarnya tidak salah-salah amat. Dari Jujun (1998), menurut teori kebenaran (dalam filsafat
ilmu) dikenal ada dua paham, yakni empirisme dan rasionalisme. Paham empirisme

57
berpendapat bahwa fakta yang tertangkap lewat pengamalan manusia merupakan sumber
kebenaran. Sedangkan paham rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah sumber
kebenaran. Dalam usaha mendapatkan pengetahuan paham empirisme menggunakan
penalaran induktif, sementara paham rasionalisme menggunakan penalaran deduktif.
Empirisme dan rasionalisme adalah cara-cara untuk mendapatkan pengetahuan. Nah,
masalahnya ketika untuk mendapatkan pengetahun ilmiah seharusnya digunakan kedua
penalaran tersebut, yakni menggabungkan antara induktif dan deduktif. Jelasnya, memadukan
antara pengalaman yang kongkret dengan penalaran rasional yang abstrak.

Selain mengetahui sumber kebenaran yang lebih penting adalah memiliki sikap dalam
memahami kebenaran itu sendiri. Sikap dewasa memandang kebenaran yang merupakan
gambaran dari kualitas kepribadian. Kaum tua yang banyak pengalaman semestinya lebih
bijak bersikap, terbuka dalam perubahan, dan mau menerima kebenaran baru. Menyadari
bahwa kebenaran masa lalu belum tentu sama dengan kebenaran hari ini, karena kebenaran
pengetahuan dan ilmu bersifat relatif yang senantiasa berubah seiring perkembangan
kemajuan zaman. Orang tua juga seharusnya terus belajar (membaca) untuk menambah
wawasan terutama yang berkaitan dengan bidangnya sendiri. Kaum muda yang mencoba
meyakinkan kebenaran lewat logika intelektualnya seharusnya dengan cara-cara yang lembut,
sopan, dan santun. Bukan dengan cara-cara yang menolak habis apa yang tidak sependapat
dengannya tanpa mengkaji lebih dahulu serta mengedepankan sikap apriori dan apologi.
Sekumpulan fakta dan sejumlah data dari pengalaman adalah sumber pengetahuan yang tidak
dapat dilepaskan begitu saja dalam menambah pengetahuan baru. Dan perlu diingat, tidak
semua informasi dan pengetahuan tentang sesuatu masalah terdata dalam dokumen, tertulis
dalam karya ilmiah, tercetak dalam buku, atau tersimpan dalam komputer. Masih ada sumber
informasi dan pengetahuan sebagai ’buku berjalan’, yaitu ada pada orang-orang yang
berpengalaman di bidangnya. Bukankah hal ini kesempatan untuk ’menguras habis’ semua
informasi dan pengetahuan itu darinya, jika masih bekerja sama dengannya. Tentunya, kalau
sang senior tidak pelit berbagi.

Tidak hanya tua dalam pengalaman, tetapi juga berilmu dan berwawasan. Bukan hanya muda
berilmu, tetapi juga bersikap santun dan mau belajar dari pengalaman orang lain. Saling mau
mendengar tidak hanya mau didengar. Sinergi antar generasi yang demikian yang diharapkan
semua fungsionaris organisasi. Kebersamaan dan kerukunan antara orang tua dengan anak
muda yang menyadari eksistensi, sikap, dan kontribusinya dalam organisasi merupakan

58
jalinan harmonisasi yang indah. Organisasi yang sudah menyiapkan regenerasi melalui
kaderisasi dengan kesadaran hubungan antar generasi ini akan siap menjadi organisasi
modern. Apapun bentuk dan sifat organisasi itu.
Semoga berhikmah dan bermanfaat. [7/4/2013]

59
Antara keMAUan dan keMAMPUan

Perpaduan antara kemauan dan kemampuan menghasilkan kinerja dan prestasi kerja serta
kepuasan kerja. Kemauan menyangkut etos, motivasi, dorongan, keinginan, hasrat, dan tekad.
Sedangkan kemampuan diperoleh dari pendidikan, pelatihan, atau pengalaman, sehingga
berkembang menjadi kapabilitas dan kompetensi.

Berkaitan dengan potensi sumber daya manusia kedua hal di atas saling mendukung dalam
melakukan kerja. Tanpa kemauan dan hanya mengandalkan kemampuan, maka kinerja akan
tercapai tanpa kepuasan kerja. Bekerja hanya menurut tuntutan prosedur dan instruksi atasan
tanpa didasari etos kerja. Orang yang bekerja dengan dilandasi etos kerja, adalah orang yang
mencintai apa yang dikerjakannya. Sebaliknya, orang yang bekerja tanpa etos kerja, adalah
orang yang mengerjakan apa yang dicintainya.

Sementara tanpa kemampuan dan hanya mengandalkan kemauan, tidak akan mencapai hasil
kerja yang optimal. Karena pekerjaan tidak ditangani ahlinya, maka kualitas pekerjaan dan
hasil kerja tidak sesuai standar yang dicanangkan. Namun, dalam jangka panjang hal ini bisa
diperbaiki sedikit demi sedikit jika kemauan masih dapat mendorong untuk belajar
meningkatkan kemampuan.

Ketika mendapat tawaran menempati posisi tertentu atau jabatan di sebuah organisasi setiap
orang mempunyai banyak pertimbangan untuk menerimanya. Terlepas ada nuansa politis
atau target bisnis jangka panjang yang ditawarkan oleh pemilik kepentingan, maka aspek
sosiologis dan efek psikologis paling nyata dirasakan. Oleh karena itu bagi si calon minimal
cukup untuk mengukur diri dalam kemampuan yang didukung kemauan. Tentunya, sang
kandidat harus ”ngaca” dengan potensi dirinya. Jika potensi sudah cukup perkuat dan
doronglah dengan kemauan untuk memutuskan menerima tawaran tersebut. Yang perlu
diingat adalah apakah yang bisa diperbuat ketika sudah duduk di kursi empuk itu untuk
pengembangan dan kemajuan organisasi. Bukan sekedar bisa duduk manis tetapi ada hasil
karya dan prestasi yang dicetak. Bukan menggerogoti sumber daya organisasi dari dalam
secara sembunyi-sembunyi melainkan bertekad kuat untuk mengembangkannya. Bukan
hanya memanfaatkan aji mumpung menjabat sehingga ada kesempatan memperkaya diri dan

60
keluarga, tetapi berusaha seoptimal mungkin memberi rasa keadilan, kemakmuran, dan
kesejahteraan buat pengikut (anggota). Amanat ditunaikan dan tanggung jawab dinantikan
dari hasil kepemimpinan itu sendiri.

Dalam mengelola keuangan, antara kemauan dan kemampuan juga harus saling sejalan dan
bersinergi. Jika kemauan lebih dikedepankan dibanding dengan kemampuan, maka hasilnya
akan defisit. Akibatnya untuk memenuhi kebutuhan akan berhutang. Sebaliknya, bila
kemampuan di atas kemauan dalam pengeluaran yang terjadi justru surplus anggaran.
Kelebihan ini dapat ditabung atau untuk investasi. Namun, jika memang penerimaan dan
pengeluaran tidak seimbang bahkan jomplang ke arah pengeluaran, maka harus dicari jalan
keluarnya. Ada tiga opsi yang harus dilakukan. Pertama, menambah income dengan
memperbesar input (pemasukan). Kedua, menekan pemanfaatan outcome dengan
memperkecil output (pengeluaran). Ketiga, menggabungkan kedua opsi (opsi pertama dan
opsi kedua).

Tanpa salah satu atau ketiganya dari opsi di atas akan selalu bermasalah dengan ’ekonomi
domestik’, yang ujung-ujungnya akan berhutang. Sekarang ini hutang menjadi tren kehidupan
orang masa kini sebagai bagian status kemodernannya. Bahkan hutang menjadi bahan kelakar
dan canda. Seorang teman yang sedang melamun, pernah penulis tanya: ”Sedang apa Bung?”
Jawabnya: ”Pusing dengan Hutang!”. Kembali penulis timpali, ”Hutang jangan dipikirin!
Dibayar! Kagak pusing dah!”. Jawabannya justru mengagetkan penulis. ”Pusing bukan untuk
membayar hutang, tetapi pusing cari hutangan baru!” tukasnya tanpa ekspresi. Penulis hanya
tersenyum.

Lain kisah, beberapa teman sedang kongkow sambil menyeruput kopi hitam dan diselingi
hisapan batangan rokok. Suasana ruang agak remang dengan di sana-sini kepulan kabut asap
rokok menghiasi berputar-putar di atas kepala mereka. Salah satu teman, mengatakan
kumpul-kumpul ini sedang ”rapat PKI” (mungkin dia teringat salah satu adegan dalam film
’Penghianatan G30S/PKI’ yang selalu diputar setiap tanggal 1 Oktober selama rezim Orde
Baru berkuasa). Penulis menggumam itu adalah otoguyonan. Setelah ’rapat’nya selesai,
penulis nimbrung dengan duduk agak berjauhan sambil menutup hidung dengan sapu tangan
untuk menghindar menjadi ’korban’ sebagai perokok pasif. Entah dari pangkal pembicaraan
apa sampai pada masalah hutang. Penulis berceloteh, bahwa: ”Orang yang paling miskin di
dunia adalah orang yang untuk urusan mulut dan perut saja berhutang”. Sontak sebagian

61
teman mukanya merah padam, menahan gemes atau marah. Ternyata, kopi dan rokok yang
sedang mereka nikmati itupun hasil berhutang dari warung sebelah. Sebagian tidak terima.
”Walaupun ngopi dan ngerokok ngutang tapi bisa beli motor secara cicilan”, kata salah
seorang yang tidak terima dikategorikan termasuk golongan orang yang hidup di bawah garis
kemiskinan. ”Bukan ngutang tapi ngangsur”, ujar yang lain. Yang lain lagi menegaskan, ”kita
bukan berhutang, tapi pinjam uang. Beda kan hutang sama pinjam?!” Kalau hutang harus
dibayar lunas, dan pinjam boleh nyicil”. ”Oh, ya?”, hanya itu ucapan yang keluar dari penulis
sambil tersenyum sipu menahan tawa.

Daripada ribut dan jadi debat kusir memberi pengertian, lebih baik bersikap moderat dan
menetralisasi keadaan. Menjaga ukhuwah lebih utama daripada berargumentasi bukan dalam
majelis ilmu. Apalagi kondisi agak beku dan perlu dicairkan. Suasana tidak tepat untuk
memberi pencerahan dan pencerdasan. Dan kami pun berbincang hal lain yang ringan seperti
halnya ’obrolan warung kopi’ pada umumnya. Ada canda, kelakar, gurauan, dan guyonan.
Santai tak butuh serius. Mencari kesamaan bukan kebenaran, sepertinya. Layaknya pada
pengambilan kebijakan dalam strukturisasi masyarakat terkadang kekuasaan mendominasi,
sementara kebenaran dipinggirkan.

Mengelola potensi dan keuangan dengan menyeimbangan kemauan dan kemampuan adalah
bagian dari pola dan gaya hidup setiap orang yang menjalaninya. Gaya hidup itu mahal,
karena itu membutuhkan harga yang tinggi untuk membelinya. Untuk memperolehnya
dibutuhkan daya beli kita. Mengatur keuangan dengan sendirinya juga mengatur kehidupan
kita juga. [17/2/2013]

62
Karyawan vs Pegawai

Karyawan lebih dinisbatkan pada pekerja perusahaan swasta, sedangkan pegawai sebagai
pekerja pada pemerintah (PNS, pegawai negeri sipil). Pegawai di pemerintahan dapat bekerja
di BUMN (badan usaha milik negara), BUMD (badan usaha milik daerah), Pemerintah pusat,
Pemda (pemerintah daerah), atau di Kementeriaan (dahulu Departemen).

Penulis mencoba membandingkan orang yang asalnya bekerja di perusahaan swasta pindah
ke Kementeriaan karena diterima menjadi PNS, dengan orang yang telah pensiun dari BUMN
(strategis) melakukan purna bakti atau berkarya (bekerja lagi) di perusahaan swasta. Orang
pertama masih muda, energik, mau belajar, gaul, berani, jujur, dan taat beragama. Dia bekerja
di perusahaan swasta dengan tidak memiliki job description yang jelas, apalagi posisinya
dalam struktur organisasi. Bidang pekerjaannya tidak sesuai dengan latar belakang dan
spesialisasi pendidikannya, tetapi dia menikmati dan antusias mempelajari hal-ikhwal
kekomputeran. Dia merasa sebagai pekerja yang malas. Akan tetapi orang lain melihat dia
bekerja biasa saja. Tidak terlalu rajin juga tidak masuk kategori malas. Memang pekerjaannya
kadang santai, tetapi jika ada konsultan perusahaan pekerjaannya menjadi menumpuk.
Setelah ada informasi penerimaan calon PNS di sebuah Kementerian, kesempatan itu tidak
disia-siakan. Lowongan itu dimanfaatkan serius dengan menyiapkan diri untuk menghadapi
tes ujian masuk. Alhamdulillah, diterima di sebuah cabang dan mulailah dia bekerja.
Ternyata, dia heran bekerja dalam lingkungan barunya. Dia yang hanya bekerja biasa saja,
dikatakan termasuk rajin, bahkan terlalu rajin di kantor barunya. Akhirnya, dia bergumam
kalau begini saja rajin bagaimana malasnya. Dia merasa, sebagai orang yang paling malas
(waktu di swasta) menjadi orang paling rajin (kini di instansi pemerintah). Dia juga berpikir,
kalau semua personil pegawai pemerintah bekerja dengan kinerja yang dia lihat sehari-hari
demikian, mau dibawa kemana ini negara dan bagaimana mau mengurus rakyat. Namun, dia
tetap tidak terpengaruh keadaan dan bahkan konsisten dalam menjalankan agama dan profesi
barunya. Agama menjadi pedoman dalam bersikap ketika dia berseteru dengan pimpinannya
perihal ’sesuatu’ yang menurutnya tidak layak dan tidak halal untuk dilakukan. Dia memilih
dipindahtugaskan ke bagian lain ketimbang bekerja dalam suasana yang tidak nyaman dan
tidak sesuai hati kecil. Perjalanan karirnya insya Allah cemerlang dengan berbagai indikator
yang menjadi sekian alternatif untuk dijalani.

63
Pihak kedua terdiri dari orang yang telah pensiun dari sebuah BUMN masuk kerja kembali di
perusahaan swasta. Mereka diminta oleh owner perusahaaan untuk membantu memperlancar
persiapan produksi pabrik baru. Mereka berasal dari bidang yang berlainan dan diterima
bekerja sesuai bidang kerja asalnya. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan karyawan
sangat membatasi diri, hanya pada level manajerial tertentu dan yang langsung berkaitan
dengan masalah pekerjaannya saja. Dengan ukuran usia dan pengalaman yang dimiliki
menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli dan memilki posisi strategis di
tempat lamanya. Menjaga imej masih dipegang sebagai orang yang pernah duduk di
perusahaan besar dengan standar nasional. Kelihatannya sewaktu bekerja di tempat lamanya,
mereka lebih banyak bergelut dalam manajemen dan berkutat dengan administrasi. Ketika di
tempat barunya, kelihatan gagap untuk ’turun gunung’ lebih dulu untuk beradaptasi. Mereka
heran melihat orang yang berposisi dalam manajerial turun mengatasi masalah teknis di
lapangan. Lain di perusahaan pemerintah lain pula di perusahaan swasta, mungkin pikirnya.
Namun, hari demi hari dapat dilalui dengan mulai berinteraksi dengan berbagai jenjang
karyawan, terutama dalam hubungan nonformal (misal waktu ishoma). Melibatkan diri secara
proaktif di lapangan sudah kelihatan lebih intens. Demikian pula dengan berinteraksi dengan
bagian lain sudah mulai berjalan baik dan ramah.

Dari dua peristiwa di atas, tidak saja dapat dilihat dari posisi pekerja, tetapi juga dari sisi
perusahaan yang menerima. Jika dilihat dari pekerja, maka orang muda di atas sedang
semangatnya berjuang meniti karir dalam mencari ’makan’ (nafkah buat keluarga), sementara
orang yang telah pensiun hanya menjalankan ’hobi’nya (jika profesi sudah menjadi hobi),
sekedar mengisi waktu dan buat menambah kekayaan. Dalam beradaptasi dengan lingkungan
baru, si orang muda lebih berpotensi dibanding dengan orang tua, sehingga lebih kecil
mengalami ’cultural shock’ di tempat barunya. Orang muda lebih bisa cuek dah! menembus
sekat-sekat birokratis.

Sistem rekruitmen perusahaan yang menerima pekerja menjadi faktor yang tidak dapat
diabaikan dalam kasus ini. Orang pertama masuk melalui tes masal yang diadakan
pemerintah dan setelah diterima langsung ditempatkan. Sedangkan pada orang-orang di pihak
kedua tidak mendapatkan sistem rekruitmen yang baik. Apalagi diminta untuk membantu
(walaupun tetap digaji dong! masa sih orang kerja engga digaji?). Bahwa mereka telah
memilki posisi tertentu di tempat lamanya seharusnya disiapkan segala sarana, fasilitas,
sumber daya pendukung, dan job description dalam struktur organisasi yang jelas. Kultur dan

64
atmosfer yang sangat kontras dan bertolak belakang juga menjadi penghambat untuk
berkarya dan bekerja sama dengan orang lain terutama dalam tim kerja.

Simpulannya, kedua kasus di atas tidak dapat menjadi refresentasi bagi berpindahnya
karyawan menjadi pegawai atau pensiunan pegawai menjadi karyawan. Kedua kasus tersebut
tidak dapat digeneralisasi untuk semua karyawan di swasta dan pegawai di pemerintah seperti
di atas. Apalagi kalau sudah menyangkut sistem manajemen dan kepemimpinan, kultur dan
atmosfer setiap perusahaan akan lebih kompleks masalahnya. Jangankan membandingkan
sebuah perusahaan swasta dengan perusahaan pemerintah, sesama perusahaan swasta dengan
bidang usaha yang sama atau sesama perusahaan pemerintah, tentunya akan banyak
perbedaan yang dijumpai.

Setiap pribadi dapat berkembang disebabkan 2 hal baik faktor internal atau eksternal. Faktor
internal diperoleh dari dalam individu itu sendiri, sementara faktor eksternal didapatkan dari
lingkungan (organisasi). Mana yang lebih dominan pada setiap orang tidak sama. Ada orang
yang biasa saja, tetapi setelah masuk dalam suatu organisasi menjadi pribadi luar biasa.
Organisasi telah membentuknya. Sebaliknya, ada orang yang sebelum masuk organisasi
sudah memiliki pribadi yang prima dan unggul. Tanpa peran organisasi, orang ini tetap
dengan dirinya.

Penulis membuat guyonan buat orang lain yang masuk ruang kerja dan berbincang segala hal.
Bahwa hati-hati setelah ke luar dari ruangan ini, kamu akan menjadi pintar atau mental rusak.
Just kidding!

Mengenai keterkaitan antara orang dengan tempat dia bekerja, berkarya, dan berkreasi
terdapat moto yang sudah diketahui khalayak umum dan sering diulang-ulang, yakni the right
man on the right place. Akan tetapi dalam praktik dan kenyataannya, terjadi ada orang bagus
di tempat yang bagus, ada orang bagus di tempat yang jelek, ada orang jelek di tempat yang
bagus, atau ada orang jelek di tempat yang jelek.

Nah, baiknya sebelum menilai apakah faktor orang lain atau sistemnya yang jelek, kan lebih
baik introspeksi ke diri kita dulu. Bahasa agamanya, muhasabah! Satu jari (telunjuk)
mengarah ke depan, keempat jarinya menunjuk batang hidung sendiri. Peran kita yang jelek,
kok cermin yang dibelah! Cermin tidak pernah bohong, kan?! [6/1/2013]

65
Serikat Buruh dan Serikat Pekerja
dalam konteks Strukturisasi Manajerial

Struktur manajerial terdiri dari atas beberapa tingkatan, yakni manajemen puncak (top
management), manajemen tengah (middle management), dan manajemen bawah (bottom
management). Manajemen puncak (atas) terdiri diri dewan direksi, manajemen tengah terdiri
atas para manajer, dan manajeman bawah terdiri dari supervisor (penyelia, pengawas).
Pekerja di bawah level manajemen bawah ini masuk dalam kelompok buruh. Jika dibuat
pembagian, maka pekerja yang masuk dalam level manajemen disebut karyawan (secara
umum: staf), sedangkan buruh tidak termasuk dalam level manajemen.

Asal mulanya pekerja yang berada dalam level manajemen (direksi, manajer, supervisor)
sering disebut profesional. Status profesional berbeda dengan buruh yang berstatus pekerja
tetap. Profesional bukan pekerja tetap dan tidak masuk dalam keanggotaan serikat buruh.
Profesional bekerja dengan perusahaan berdasarkan kontrak, masa kerja tertentu, atau seperti
pekerja tetap, tetapi memiliki gaji dan fasilitas yang perhitungannya berbeda dengan buruh.
Jika upah buruh diperhitungkan berdasarkan upah minimum regional (sekarang plus upah
minimum sektoral), maka gaji profesional berdasarkan kesepakatan dan perjanjian kedua
pihak (si profesional dengan perusahaan). Bahkan untuk tingkat direksi, tentu saja memiliki
gaji yang besar, tunjangan yang tinggi dan fasilitas yang serba wah. Pekerja yang masuk
kategori profesional asalnya juga dilatarbelakangi dengan banyaknya perusahaan sejenis,
sehingga mereka bisa memilih perusahaan yang sesuai. Masuk dan keluar dari satu
perusahaan ke perusahaan lain sudah biasa terjadi. Seorang profesional tidak pernah merasa
takut menjadi pengangguran. Mereka mahir menjalankan profesinya dan lihai dalam
perencanaan keuangan serta memiliki relasi yang luas sesama profesional dan terus menerus
meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya. Bila terjadi perselisihan dengan perusahaan
tempat bekerja, mereka tidak memerlukan bantuan pihak ketiga atau organisasi serikat.
Mereka menyelesaikannya sendiri dengan perusahaan bersangkutan. Kalau sudah tidak ada
kesesuaian dan kecocokan lagi, mereka lebih memilih untuk “cerai” daripada menahan derita
tiada akhir dan penyesalan tak kunjung henti mengapa dahulu melayangkan surat lamaran ke
perusahaan tersebut. Mengingat ada hubungan yang berbeda antara profesional-perusahaan
dengan buruh-perusahaan, maka para profesional ini dikatakan sebagai bagian dari
“orangnya” manajemen perusahaan. Lebih jelasnya, ketika ada perselisihan antara buruh

66
dengan perusahaan, posisi profesional berada di pihak perusahaan. Mereka membela
perusahaan.

Seiring putaran waktu yang diikuti oleh perubahan sosial, ekonomi, dan politik, kesempatan
kerja dan lapangan pekerjaan mengalami perubahan yang tidak sesuai harapan. Jumlah
pencari kerja yang terus bertambah tidak tertampung dengan minimnya lapangan pekerjaan.
Sehingga, perusahaan menerima pekerja, bukan sebagai hubungan yang saling membutuhkan,
tetapi memposisikan sebagai “tempat mencari makan pekerja”. Jika pakai majas sarkasme,
pekerja yang butuh perusahaan untuk menghidupi keluarganya. Pekerja tidak dianggap
sebagai aset tetapi keset. Otaknya dikuras laksana komponen mesin, sementara ototnya
diperas seperti komoditas industri. Sebagai pihak yang membutuhkan pekerja tidak memiliki
posisi tawar dan menerima segala ketentuan. Diantaranya, mau mengerjakan apa saja, mau
diperintah siapa saja, mau bekerja kapan saja, mau ditempatkan dimana saja, dan mau dibayar
berapa saja.

Pekerja yang berada pada struktur manajerial di atas mengalami perubahan dengan
banyaknya pekerja yang menempati posisi staf sebagai pembantu “bos”nya yang berada di
struktural. Dengan bertambahnya jumlah pekerja di level manajerial ini statusnya disamakan
dengan status buruh sebagai pekerja tetap. Perbedaannya terletak pada sebutannya menjadi
karyawan (staf) kantor dan buruh sebagai karyawan lapangan. Sementara mengenai teknis
pemberian gaji (upah) sama juga setiap bulan (sebagai pekerja bulanan), walaupun masih ada
juga perusahaan yang memberi upah pada buruh setiap minggu atau per 2 minggu (sebagai
pekerja harian). Dengan demikian sebutan profesional pada pekerja tetap di sebuah
perusahaan sudah tidak ada lagi. Mereka bukan sebagai seorang yang berprofesi tetapi
sebagai pekerja (karyawan, pegawai, atau buruh). Mereka tidak lagi berjuang sendiri apabila
terjadi perselisihan dengan manajemen perusahaan, mereka akan didampingi, dibela, dan
dibantu oleh organisasi serikatnya karena terdaftar sebagai anggota. Pada akhirnya batasan
levelisasi manajerial dan bukan manajerial sudah tidak ada. Semua pekerja masuk sebagai
anggota serikat pekerja.

Dengan kondisi demikian, ada posisi tertentu yang memiliki dua muka. Satu muka sebagai
anggota serikat pekerja dan muka yang lain sebagai orangnya manajemen. Sebagai anggota
serikat pekerja tentu saja memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan karyawan lainnya
yang posisinya jauh di bawahnya, bahkan anak buahnya sendiri yang menjadi pengurus

67
serikat pekerja. Ironisnya, jabatan tertinggi pimpinan serikat pekerja (ketua umum) tidak
selevel dengan jabatan tertinggi beberapa anggotanya di pekerjaan. Paling tinggi, seorang
ketua serikat pekerja memiliki jabatan kepala seksi di pekerjaannya, sedangkan beberapa
anggota serikat pekerja memiliki jabatan sampai kepala bagian, kepada divisi, atau sampai
manajer.

Jika dalam perusahaan terdapat hal yang seperti ini, maka kondisi ini sepadan dengan kondisi
negara zaman orde baru. Antara presiden yang memiliki posisi sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan dengan MPR sebagai institusi “mainan” saja. Sebagai kepala
pemerintah (mandataris), presiden bertanggung jawab kepada MPR, tetapi sebagai kepala
negara presiden melantik MPR.

Nah, kembali pada perusahaan yang menerapkan sistem manajemen orde baru, posisi kepala
bagian, kepala divisi, atau manajer laksana presiden pada saat itu. Bedanya, hanya bukan
sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan, tetapi dalam bagian, divisi, atau departemennya
sebagai penguasa adi daya. Seluruh instruksi dari atasnya di copy paste, semua komando
ditelan dengan harga mati, dan kebijakan apapun yang turun dipaksakan ke seluruh prajurit
bawah sampai ke garis depannya. Tidak peduli melanggar Peraturan Ketenagakerjaan atau
tidak. Tidak bergeming kondisi prajurit sedang resah. Juga tidak mau tahu, misalnya sedang
ada aksi solidaritas buruh. Yang ada, di isi kepala pimpinan level-level ini adalah kerja sesuai
perintah atasan. Titik.

Ketika para pimpinan level ini menghadapi masalah dengan manajemen perusahaan berkaitan
dengan hak-haknya, maka beliau-beliau ini akan berganti muka, dari muka sebagai orangnya
manajemen menjadi muka sebagai anggota serikat pekerja. Jelas, sasaran pengaduan adalah
pengurus serikat pekerja. Merengek dibantu dalam urusan kesejahteraan sosial. Mengemis
untuk memperoleh perhitungan yang tepat tentang tunjangan hari tua (pensiun). Ulahnya
seperti kuli yang banyak utang menghiba kepala kuli untuk mendapatkan uang lembur tanpa
kerja tambahan. Sebagai pimpinan (lapangan) galaknya minta ampun, sementara sebagai
anggota serikat pekerja seperti makhluk tak berdaya.

Oleh karena itu, tak ada bedanya antara serikat buruh dengan serikat pekerja. Demikian pula
antara serikat karyawan dengan serikat pegawai? Buruh atau pekerja, adalah orang yang
bekerja menerima upah, dan batasan levelnya ditentukan oleh kebijakan manajemen

68
perusahaan yang terkadang tanpa ada aturan dan peraturan yang jelas. Dengan demikian
kompensasi, fasilitas, dan apresiasi atas prestasi pekerja dapat dimainkan dengan politik
ekonominya manajemen.

Memang lain perusahaan lain pula sistem manajemen dan kultur organisasinya. Semoga saja,
sistem manajemen “dagelan” hanya ada di dunia lain dan berada di planet yang tak dikenal
dalam sistem tata surya kita. [7/10/2012]

69
Buruh - Majikan atau Pekerja – Pengusaha

Apa arti sebuah nama? kata Aristoteles. Ternyata nama tidak sekedar kulit, tetapi
menyangkut isi. Tidak berhenti sampai casing, juga menjangkau content. Tidak hanya sebatas
label, tetapi menerobos substansi. Nama dapat memberikan identitas, imej, nilai, merek,
bahkan dapat menjadi alat doktrin atau ideologi berjuang meskipun kesan yang ada
cenderung bernada minor dan tersisihkan dalam persepsi mayoritas masyarakat.

Abdul Khakim dalam Dasar Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, menjelaskan beberapa
istilah berikut:
Buruh adalah kelompok tenaga kerja yang sedang memperjuangkan program organisasinya,
istilah populer yang masih dipakai sejak dahulu, identik dengan pekerjaan kasar, pendidikan
rendah, dan penghasilan rendah pula.
Pekerja dalam praktik untuk menunjukan hubungan kerja (pekerja tetap, pekerja harian,
pekerja kontrak, pekerja borongan, pekerja honorer), juga memberikan pengertian yang luas,
yakni setiap orang yang melakukan pekerjaan (buruh, karyawan, pegawai).
Majikan, istilah yang ditemukan pada UU No.22 Tahun 1957 (sudah tidak berlaku) sebagai
orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh.
Pengusaha dalam UU No.3 Tahun 1992 dan UU No.13 Tahun 2003 adalah (1) orang,
persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri, (2) orang,
persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan
miliknya, (3) orang, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana yang dimaksud (1) dan (2) yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
Dalam hubungan kerja, sederhananya terdapat 2 pihak, yaitu pemberi kerja dan penerima
kerja (orang yang melakukan pekerjaan yang diberikan pemberi kerja). Pihak pemberi kerja
dengan istilah Majikan atau Pengusaha, sementara pihak yang melakukan pekerjaan disebut
buruh atau pekerja.

Jika dibatasi bahwa hubungan Buruh-Majikan, adalah hubungan kerja yang didasarkan kedua
pihak saja tanpa aturan yang jelas apalagi tertulis, maka hubungan keduanya laksana
hubungan kerja antara Kuli-Juragan dalam zaman perbudakan atau penjajahan. Majikan

70
sebagai penguasa otoritas hubungan kerja sekaligus pengusaha yang mendominasi tidak
hanya pekerjaan tetapi juga penghidupan buruh. Buruh sebagai kaum yang tertindas dan
terzalimi. Buruh berada di dalam cengkeraman yang terikat. Tercerabut sisi kemanusiaannya,
terutama kehidupan sosialnya bermasyarakat karena terbatasnya waktu yang melulu hanya
untuk kerja, kerja, dan kerja. Buruh akan identik sebagai ’robot’ yang dikendalikan remote
control kebijakan perusahaan. Tidak ada kamus jaminan sosial. Tidak dikenal perjanjian
kerja. Bargaining position, adalah kosa kata asing dan langka pada hubungan seperti ini.
Besarnya upah tergantung semaunya majikan dan buruh harus menerima apa adanya dan ala
kadarnya. Jika tidak mau, silakan keluar dari tempat kerja ini. Masih banyak di luar orang
yang antri ingin masuk kerja. Ketika masuk tidak memiliki apa-apa, maka ketika akan keluar
juga tidak perlu membawa apa-apa. Bahkan ketika masuk masih bodoh, perusahaanlah yang
membuat pinter dengan adanya pekerjaan. Jadi, perusahaan sudah banyak memberi. Masa
kerja dan jasa buruh yang sudah berkontribusi bagi kemajuan perusahaan sudah terbayarkan
setiap bulannya, sehingga tidak perlu ada apresiasi dalam bentuk imbalan jasa. Inilah, logika
sang majikan.

Lain halnya, bila hubungan Pekerja-Pengusaha adalah hubungan yang didasarkan pada aturan
dan peraturan, terutama UU Ketenagakerjaan yang ’dibumikan’ dalam Peraturan Kerja
Bersama atau Kesepakatan Kerja Bersama (PKB//KKB). Pekerja memiliki posisi tawar
dalam menghadapi kebijakan perusahaan, terutama masalah status pekerja, jam kerja, upah
pekerja, dan jaminan sosial. Pekerja merasa aman dalam pekerjaan sebagai sarana mencari
nafkah keluarga, karena status pekerja yang jelas. Merasa mapan (walaupun ukurannya
relatif, karena tergantung visi, pola dan gaya hidup masing-masing) membiayai keluarga
menuju penghidupan yang lebih baik. Serta merasa nyaman bekerja, dengan suasana kerja
yang ’manusiawi’, human relation yang terjalin hangat, spesialisasi pekerjaan yang sesuai
kompetensi, menitikberatkan pada aspek profesionalisme, budaya dan atmosfer perusahaan
yang kondusif, kejelasan pengembangan karir, jaminan sosial yang layak, dan penentuan hari
tua/pensiun yang terencana. Pekerja akan merasa tempat kerja (perusahaan) sebagai rumah
keduanya. Pengusaha memandang pekerja sebagai aset produktif yang ikut mementukan
keberlangsungan usaha. Pengembangan SDM adalah investasi bagi masa depan perusahaan
disamping investasi ril, finansial, atau teknologi. Bukan mustahil, jika pengusaha
menciptakan sistem manajemen dan kultur yang kondusif bagi pekerja sifat rasa memiliki dan
kebanggaan bekerja di perusahaan akan muncul dengan sendirinya. Pekerja juga akan
menyadari maju mundurnya perusahaan tergantung dari diri dan aktivitasnya sehari-hari di

71
tempat kerja. Walaupun demikian tidak menghilangkan pengertian hak dan kewajiban
masing-masing. Bahwa hak pekerja adalah kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha,
sedangkan kewajiban pekerja adalah haknya pengusaha untuk mendapatkannya. Ketika kedua
pihak sudah mengerti, memahami, dan beritikad baik serta tidak saling ’mengakalin’ pada
gilirannya sistem hubungan yang sehat akan terus berlangsung. Tidak perlu lagi pekerja
gelisah menunggu kenaikan UMK/P (upah minimum kota/kabupaten atau provinsi) apalagi
Upah Minimum Sektoral setiap tahunnya. Karena pengusaha sudah menjalani bisnis dengan
etika dan peraturan.

Faktanya, di lapangan pekerjaan kondisi di atas tidak secara tegas dapat dipisahkan dengan 2
versi tersebut. Penggunaan kata ’buruh’ masih tetap digunakan secara bersama dengan kata
’pekerja’ hanya dipisahkan dengan tanda ’garis miring’ ( / ) sebagaimana tercantum dalam
UU No.13 Tahun 2003 disamping juga banyak organisasi pekerja tetap melabelkan dengan
istilah ’buruh’ sebagai terjemahan labor dan ada organisasi internasionalnya, ILO. Peng-
identifikasi-an pekerja dengan istilah buruh, lebih bermakna dengan pekerja masal
(industri/pabrik), soliditas gerakan, solidaritas juang, militansi, proaktif, dan progresif.
Serikat Buruh dikonotasikan lebih berani bereaksi dibandingkan dengan Serikat Pekerja, jika
ada ketimpangan kebijakan yang membuat ketidakadilan sehingga buruh menjadi korbannya.
Munculnya dualisme organisasi buruh/pekerja, yakni Serikat Buruh dan Serikat Pekerja, tidak
lagi memiliki karakteristik berdasarkan sifat buruh atau pekerja seperti dipahami di atas.
Organisasi dengan massanya akhirnya tergantung sistem yang dibuat oleh para pengelolanya.
Hal ini dapat dilihat, jika dalam sebuah perusahaan ada lebih dari satu serikat buruh/serikat
pekerja. Ketika terjadi kasus yang menyangkut nasib buruh/pekerja, akan tampak mana
serikat buruh/serikat pekerja yang mau mengurus, peduli, membela, dan memperjuangannya
dengan serikat buruh/serikat pekerja yang diam, tidak mau tahu, bingung mau berbuat apa,
atau bahkan pengurusnya mencari si ’selamet’, walaupun di perusahaan itu ada banyak
buruh/pekerja yang bernama Slamet.

Buruh atau pekerja tetap saja sama walaupun mempunyai istilah berbeda dan tidak ada
bedanya dalam nasib dengan menggunakan salah satu dari dua istilah tersebut. Karena
bagaimanapun kebijakan perusahaan lebih kuat dibanding dengan penerapan peraturan yang
ada, apalagi peraturan yang dibuat lebih memihak pengusaha. Seolah para pemegang
kebijakan (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) menunggu didemo dulu, baru membuat
kebijakan yang sedikit memihak buruh/pekerja. Atau ada kepentingan politis saat si pembuat

72
kebijakan memerlukan dukungan suara dalam memperebutkan singgasana. Pendulangan
suara dari kaum buruh/pekerja dapat menjadi modal tawar meraih tujuan sebenarnya
memihak. Buruh/pekerja selalu saja tidak berhadapan sejajar dengan pengusaha, meskipun
dalam serikatnya. Sebabnya, dalam implementasi PKB atau KKB, ketika buruh/pekerja
melanggar akan terkena sanksi, akan tetapi ketika pengusaha yang melanggar tidak akan kena
sanksi. Siapa yang akan memberi sanksi terhadap pengusaha? Belum lagi bahwa tidak semua
persoalan di lapangan bisa diadukan buruh/pekerja ke serikatnya. Seperti penghinaan,
tekanan, intimidasi dan pelecehan yang sukar dicari bukti dan saksinya. Hal yang lain adalah
tentang batasan tugas dan tanggung jawan serta area kerja. Banyak dijumpai buruh/pekerja
yang tidak jelas tugas dan tanggung jawab serta area kerjanya. Jika perusahaan memiliki
sejumlah bidang usaha dan setiap buruh/pekerja melamar pada bagian tertentu di salah satu
bidang usaha. Bukan tidak mungkin suatu ketika ada buruh/pekerja yang dipekerjakan
dimana saja sekehendak para pimpinannya. Seorang buruh/pekerja bisa memiliki lebih dari
satu pimpinan langsung di atasnya. Sehingga buruh/pekerja dapat bekerja di satu wilayah
yang semakin luas. Mulai dari satu bagian dalam satu bidang usaha, lalu ke beberapa bagian
dalam satu bidang usaha, kemudian ke dalam beberapa bidang usaha, berkembang dari
beberapa bidang usaha dan di kantor pusat, dan sampai ke rumah para pimpinannya
mengerjakan keperluan urusan domestik. Ironisnya, posisi dan jabatan sang buruh/pekerja
tetap hanya tugasnya yang mengalami ekspansi dan diversifikasi. Celakanya fenomena
seperti ini diikuti oleh pimpinan level menengah. Seolah menjadi raja-raja kecil. Sehingga
yang terjadi pabrik laksana kerajaan, kantor seperti kekaisaran, dan perusahaan ibarat
imperium. Dan buruh/pekerja tetap sebagai wong cilik, rakyat jelata, dan kaum yang insya
Allah tidak tertindas, terjajah, atau terzalimi. Semoga.

10 hari lagi buruh/pekerja akan mendapatkan Upah Minimum Kota/Kabupaten yang baru.
Sekaligus Upah Minimum Sektoralnya?
Selamat menikmati ! [20/1/2013]

73
Tim

Bekerja dalam organisasi berbeda dengan bekerja secara perseorangan. Dalam organisasi ada
sejumlah orang yang memilki tugas, fungsi, otoritas, dan tanggung jawab yang berbeda dan
sesuai dengan jabatannya. Masing-masing orang sudah mengerti tentang hal itu semua.
Pimpinan bertugas menjalankan sistem yang berlaku dalam organisasi dengan melibatkan
semua orang yang berada dalam kepemimpinannya. Pimpinan yang membuat perencanaan
kerja, mengatur pekerjaan setiap bawahan, mendelegasikan tugas kepada bawahan, serta
melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap hasil pekerjaan anggota timnya.

Dengan perkataan lain, dalam sebuah kelompok, unit organisasi, atau organisasi itu sendiri
terdapat pimpinan dan pengikut. Pengikut inilah yang disebut sebagai Tim Manajemen.
Pengikut bukan berarti pasif dengan bekerja tinggal menunggu perintah, tetapi mengikuti apa
yang sudah semestinya dilakukan sesuai standar dan prosedur kerja organisasi. Pimpinan
tidak akan dapat menjalankan sistem organisasi tanpa bantuan timnya. Sebaliknya, tanpa
pimpinan anggota tim tidak akan bekerja sesuai SOP organisasi, bahkan akan mengakibatkan
rusaknya sistem itu sendiri. Pimpinan menjadi pengawal jalannya sebuah sistem. Bila terjadi
penyimpangan akan dikembalikan ke jalan yang lurus ke tempat semula sesuai sistem
awalnya. Berat tugas pimpinan justru pada bagian ini. Bila pimpinan tidak mampu berbuat
demikian, berarti sang pemimpin turut memberi saham kebangkrutan organisasi, yang
dimulai dari kerusakan satu demi satu komponen hingga seluruh komponen dalam sistem.

Parahnya, bukan saja sistem kerja yang rusak melainkan mental anggota tim juga ikut rusak.
Kalau sudah demikian, maka pengobatannya akan memerlukan waktu yang lama dengan
terapi yang kontinu penuh kesabaran untuk mengembalikan kesehatan tim pada keadaan
sediakala. Atau melakukan perubahan yang radikal dalam struktur organisasi dan perubahan
fundamental dalam susunan personalia. Menggunakan hukum tangan besi bisa saja
diperlukan. Tentunya, sudah dikalkulasi risikonya dan dihitung efek yang ditimbulkan serta
dapat diukur dampaknya bagi organisasi secara keseluruhan. Wacana, seperti memotong satu
generasi atau melakukan revolusi adalah sangat emosional, utopia dan jauh dari rasionalitas.

74
Dalam membangun Tim Manajemen yang baik, pimpinan harus mulai lebih dulu.
Sederhananya, pimpinan mulai dari tiga sikap saja, yakni jujur, cerdas, dan berani, sudah
menjadi modal untuk melakukan perubahan sistem (yang menyimpang) ke jalur semula
(lurus) atau meningkatkan kinerja sistem menjadi lebih baik. Pimpinan harus seimbang dalam
menggunakan otoritasnya mana tugasnya dan mana tugas anggota timnya. Bukan
menunjukkan show off, single fighter, atau layaknya seorang superman. Sibuk sendiri yang
akhirnya cape sendiri dan stres sendiri. Berikan bagian tugas pada anggota tim untuk hal-hal
yang sifatnya lebih teknis dan aplikatif. Penanganan secara manajerial dan kebijakan dalam
mengambil keputusan tetap dipegang pimpinan.

Tim yang solid akan memberikan peningkatan kinerja organisasi. Tim yang berada pada
organisasi profit tentunya akan lebih mudah dalam pengendalian dan pengawasannya.
Reward and punishment, adalah dua alat yang dapat dipakai dalam mengendalikan tim.
Walaupun demikian, menjaga hubungan baik antara pimpinan dengan anggota tim dan antar
anggota tim sendiri lebih dikedepankan. Disamping memberi pengertian dan pemahaman
pentingnya sama-sama bekerja dan bekerja sama dalam membangun institusi yang kelak
berimbas pada kesejahteraan hidup masing-masing.

Lain organisasi lain pula kehidupannya. Pada organisasi nonprofit, seorang pimpinan harus
pintar-pintar mengelola timnya. Karena yang dibutuhkan adalah pengorbanan setiap anggota
tim, maka pimpinan memerlukan ”para pejuang” dalam mengelola dan mengembangkan
organisasi. Hanya tim yang berjiwa pejuang saja (rela berkorban waktu, tenaga, pikiran,
dana) yang memiliki komitmen memajukan organisasi. Dan perlu diingat, hanya ada sedikit
orang saja yang mau dan mampu berbuat demikian. Hanya orang-orang yang masih punya
idealisme. Mungkin bisa dikatakan ”gokil” di mata orang ”waras”.

Pimpinan yang baik dan bijak menjadi teladan sekaligus dambaan anggota tim yang setia dan
solid. Pimpinan yang baik adalah pimpinan seperti yang dideskripsikan oleh Amirul
mukminin khalifah Umar ibn Khatab: jika rakyatku makan enak dan kenyang, maka akulah
orang terakhir yang menikmatinya. Sebaliknya, jika rakyatku kelaparan, maka akulah orang
pertama yang merasakannya.

Demikian halnya dalam tim. Ketika prestasi atas kinerja organisasi diapreasiasi, maka
pimpinan yang baik akan mengatakan semua itu atas hasil kerja keras anggota tim

75
manajemen. Sebaliknya, jika terjadi kegagalan program atau degradasi peringkat kinerja
organisasi, maka pimpinan yang baik akan mengatakan sayalah yang paling bertanggung
jawab.
Dalam organisasi yang Anda lakoni, bagaimana kondisi tim? [25/11/2012]

76
Project Officer, Consultant, dan Master Plan

Mengorganisir, tepatnya mengorganisasi (bahasa Indonesia baku) adalah pekerjaan


pengorganisasian sebagai satu bagian tahapan dari fungsi manajemen, disamping
perencanaan, pelaksanaan, dan diakhiri pengawasan. Mengorganisasi adalah tindak lanjut
dari membuat rencana dan “konsep” awal sebelum pelaksanaan. Dalam sebuah organisasi,
penetapan dan penentuan seperti apa ”sistem” yang akan dibuat untuk menggerakan
organisasi, ada pada tahap manajemen ini. Organisasi yang dimaksud di sini dapat bersifat
nonformal, informal, atau formal. Rombongan perjalanan, pekerjaan sementara waktu,
menjalankan aktivitas profesi sehari-hari, kepanitiaan, kelompok diskusi, proyek kegiatan,
apalagi sebuah komunitas atau organisasi formal tidak lepas harus diorganisasi
(dimanajemenkan). Selain diri selaku individu, sebuah keluarga atau keberadaan dalam
lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan dapat dikatakan sudah berorganisasi.
Adanya pimpinan menjadi konsekuensi adanya pengikut, aturan main yang ditetapkan,
pelaksanaan, dan pengawasan (pengukuran, evaluasi, dan peninjauan).

Project Officer adalah pimpinan kelompok, pekerjaan, proyek, komunitas, atau organisasi.
Pimpinan memiliki tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan yang jelas atas organisasi
yang dipimpinnya dengan batas wilayah dan periode waktu yang ditentukan. Dalam sebuah
organisasi sesaat dan sementara (seperti kepanitiaan), Project Officer memimpin Organizing
Committee (panitia pelaksana). Sedangkan pelaksanaan seluruh aktivitas organisasi apalagi
yang bergerak luas dengan berbagai bidang dan aspek, maka pimpinan memerlukan
Consultant yang bisa saja terdiri dari senior organisasi, orang berpengalaman, para ahli, atau
analis teknis. Consultant inilah yang dalam organisasi kepanitiaan sering disebut sebagai
Steering Committee (panitia pengarah). Consultant dalam organisasi dapat berbentuk
perseorangan atau kelompok orang yang biasanya disebut sebagai dewan/majelis. Maka,
dikenal ada Dewan Penasehat, Dewan Pembimbing, Dewan Pembina, Dewan Pakar, Dewan
Syuro, Majelis Pertimbangan, Majelis Penasehat, dan lain-lain.

Organisasi proyek, selain ada Project Officer (pimpinan proyek) yang disingkat PimPro, juga
dibutuhkan Consultant yang bidang spesialisasi keahliannya sesuai dengan rencana proyek
yang sedang digarap dan dia sudah berpengalaman menangani proyek sejenis dengan sukses.

77
Banyak proyek yang membutuhkan pekerjaan yang beragam, sehingga dibutuhkan banyak
Consultant yang berbeda keahlian. Sebut saja, proyek sipil (konstruksi bangunan industri,
misalnya) akan memerlukan Consultant di bidang arsitek, sipil, ME (mechanical &
electrical), industri, teknik produksi, manajemen, dan lain-lain.

Dalam mengorganisasi, setelah jelas Project Officer dan Consultant, maka pekerjaan
selanjutnya adalah membuat sistem organisasi itu sendiri yang didahului dengan membuat
struktur organisasi. Struktur ini merupakan bagan dan susunan Tim Manajemen organisasi
yang terdiri dari pengurus atau fungsionaris organisasi beserta para Consultant-nya.

Langkah berikutnya adalah membuat program kerja atau program kegiatan bagi sebuah
organisasi kepanitiaan. Sementara organisasi (formal) membuat rencana strategis, yang akan
diperinci dalam bentuk program kerja berdasarkan jangka waktu: pendek, menengah, dan
panjang.

Kembali pada contoh proyek teknik di atas, program pekerjaan ini sering disebut sebagai
Master Plan. Master Plan adalah bentuk miniatur dari banyak pekerjaan besar yang
dilakukan di lapangan. Dengan Master Plan akan tampak runutan dan urutan pekerjaan baik
dari bawah sampai atas maupun dari pangkal sampai ujung pekerjaan. Dari Master Plan pula
dapat diprediksi bentuk dan karakteristik yang sesungguhnya dari sebuah ”bangunan” yang
akan dikerjakan. Master Plan dalam mengorganisasi organisasi dapat dimisalkan seperti
berikut. Gambar yang dibuat seorang Arsitek merupakan bentuk dan desain miniatur
sesunguhnya bangunan yang akan dibuat. Gambar konstruksi yang dibuat insinyur sipil
adalah bentuk representatif dari estimasi kekuatan bangunan tersebut. Gambar teknik (mesin)
ialah model yang mewakili bentuk komponen atau susunan konstruksi mesin yang
sebenarnya. Gambar mikrostruktur bahan (logam) dalam teknik material/metalurgi menjadi
prediksi sifat mekanik & sifat teknologi bahan tersebut.

Nah! Bagaimana anda mengorganisasi organisasi anda? Adakah Project Officer, Consultant,
dan Master Plan-nya? [11/11/2012]

78
TEKNIK dan MANAJEMEN, dua kata yang sering jadi ”kambing hitam”

Kambing adalah hewan yang paling banyak dibicarakan dan dimanfaatkan orang pada bulan
Dzulhijjah ini sebagai hewan kurban, selain domba, sapi, kerbau, atau unta. Akan tetapi,
”kambing hitam” adalah istilah untuk sesuatu atau orang yang dipersalahkan, disudutkan,
didakwa, divonis, dan dijadikan korban dari suatu kasus atau masalah.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang dengan mudahnya menilai suatu pekerjaan yang tidak
selesai sesuai rencana sebagai akibat kesalahan teknis. Apalagi bila pekerjaan itu memang
pekerjaan bidang teknik, memang paling gampang mengucapkan sebagai kesalahan teknis
akibat terjadi kegagalan dalam pengoperasionalannya. Sering juga dalam perencanaan suatu
kegiatan di organisasi (sosial atau bisnis) yang kelihatannya sangat tidak mudah dalam
pelaksanaannya, dimudahkannya dengan mengatakan nanti teknisnya begini saja,
diselesaikan pada saatnya, atau diserahkan pada yang bersangkutan. Seolah antara
perencanaan dengan pelaksanaan tidak ada tautannya, atau operasional dilaksanakan tidak
didasarkan pada konsep yang dibuat. Konsep berada di langit idealisme, sedangkan teknisnya
ada di bumi realistis dan tak ada upaya membuat korelasi keduanya.

Pemahaman atas`”kesalahan teknis” di atas lebih tepatnya ialah kesalahan teknik, adalah pada
tataran praktis (praktik) dalam pelaksanaan secara operasional. Kata ”teknik” atau ”teknis”
yang diambil dari kata ”technique”. Sedangkan jika pengertian teknik menyangkut konsep,
desain, dan perencanaan serta perekayasaan, diambil dari kata ”engineering”, yang diserap
menjadi ”teknik”, ”keteknikan”, kadang-kadang juga sebagai ”rekayasa”, walaupun sekarang
ada juga yang memakai kata ”enjiniring”.

Jadi, kalau masyarakat awam menyebut suatu proyek atau pekerjaan terjadi kegagalan atau
kerusakan, disebut sebagai sebuah kesalah teknik, tidak salah-salah amat. Karena yang
dimaksud, kesalahan hanya terjadi pada tahap pelaksanaan bukan perencanaan, pada tahap
pemakaian bukan perancangan, dan pada tahap operasioanl bukan pada konsep awalnya.

Seorang rekan, yang menduduki jabatan kepala produksi sebuah industri pernah bertanya
kepada penulis. Kalau perusahaan tempat saya bekerja memiliki manajemen yang buruk,

79
mengapa sampai hari ini bisa bertahan hidup bahkan terus berkembang sementara
kompetitornya sedang berjuang melepaskan diri dari sakaratul maut? Pertanyaan dia
dilatarbelakangi dengan manajemen internal yang menyangkut manajemen produksi dan
manajemen SDM. Dapat dimaklumi. Karena beliau setiap hari hanya melihat bagaimana
perencanaan produksi menggunakan sistem ”hanya Tuhan yang tahu”, production schedule
seolah berubah menjadi schedule production, instruksi dan garis komando yang ngawur serta
tidak adanya sistem manajemen SDM yang jelas, terutama masalah pelatihan dan jenjang
karir. Kegalauan pertanyaan sang ”mandor” di atas bisa dimaklumi. Penulis memaparkan
bahwa yang namanya manajemen itu bisa memiliki arti sempit dan pemahaman yang luas,
sementara orang awam setiap melihat ketidakberesan dalam mengatur pekerjaan atau
ketidakbecusan mengelola organisasi, itu semua adalah kesalahan manajemen. Titik.

Manajemen dalam sebuah organisasi, ada beberapa turunannya. Penentuan mau dibawa
kemana sebuah organisasi dan apa yang akan dibuat organisasi, adalah bagian dari
Manajemen Strategik. Dalam menjalankan roda organisasi, diperlukan 3 jenis inti manajemen
fungsional, diantaranya Manajemen Keuangan, Manajemen Operasional/Produksi, dan
Manajemen Pemasaran. Kemudian manajemen fungsional ini dikembangkan sesuai
kebutuhan organisasi, dengan memunculkan Manajemen Akuntansi, Manajemen Investasi,
dan Manajemen SDM. Organisasi terus berkembang melayani sesuai kepuasan stakeholder,
maka dibutuhkan sistem manajemen risiko, sistem manajemen informasi, sistem manajemen
mutu, sistem manajemen K3, sistem manajemen lingkungan, dan sistem manajemen CSR.

Kesalahan manajemen, dapat dilihat secara keseluruhan dalam organisasi. Ketidakjelasan visi
dan ketidakjelian prosfek pemimpin, sistem organisasi yang mismanajemen, dan kultur yang
bobrok, menjadi pertanda kesalahan total manajemen yang siap mengantarkan organisasi
masuk liang lahat.

Namun, kesalahan manajemen bisa terjadi hanya satu atau dua bagian manajemen, tetapi
bagian manajemen yang lainnya dikelola dengan baik. Seperti contoh kebingungan teman di
atas. Karena setahu penulis, perusahaan tempat teman itu bekerja memiliki manajemen
keuangan, manajemen akuntansi, manajemen logistik, manajemen purchasing dan
manajemen pemasaran yang boleh diacungkan ”dua jempol” sekaligus. Bahkan bagian dari
manajemen produksi, seperti manajemen pengadaan bahan baku ditangani terpisah dari

80
bagian produksi. Walaupun bagian itu ditangani oleh ”ketidaknampakan”, tetapi selalu bisa
menyediakan yang dibutuhkan bagian produksi pada setiap saatnya.

Kambing, memang hewan kurban, tetapi ”kambing hitam” bisa dianggap personifikasi dari
korban pelampiasan atau pengalihan kesalahan orang lain. Pada akhirnya, biarlah
”TEKNIK” dan ”MANAJEMEN” menjadi ”kambing hitam” akibat kekhilafan, keteledoran,
kelalaian, atau kesalahan mengurus dan mengelola pekerjaan, proyek, atau organisasi asal
para pengamat objektif memandang persoalan dengan jernih dari berbagai sudut pandang.
Kadang-kadang yang selalu dekat (kata kurban berasal dari kata qurban, dari qa-ru-ba, yaq-
ru-bu, dan qur-ba-nan, berarti dekat atau kedekatan) bisa dijadikan tumpuan kesalahan atau
objek penderita (menjadi korban) demi menyelamatkan diri walaupun kesetiaan si korban
tidak diragukan. Bisa jadi terkadang dirindukan terkadang dibenci. Begitu juga dengan
”TEKNIK” dan ”MANAJEMEN” dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Meskipun sekedar
sebuah kata. [3/11/2012]

81
Ketika Manusia Pekerja dituntut menjadi Manusia Pembelajar

Seorang kenalan karyawan sebuah bank swasta pernah mengeluh tentang adanya keharusan
dalam kantornya bahwa semua staf akan mengalami rotasi kerja baik mutasi kantor maupun
kesempatan promosi. Yang menjadi masalah baginya adalah adanya tes atau ujian yang
dilakukan secara berkala dan hal ini mau tidak mau dan suka tidak suka dituntut untuk belajar
kembali membuka buku. Juga terjadi pada teman kerja di sebuah industri manufaktur, ketika
adanya instruksi untuk dipindah bagian walaupun masih dalam satu divisi setiap hari kerjanya
hanya menggerutu dan ngedumel terus. Memang di bagian yang baru ini harus sedikit belajar
lagi terutama adanya beberapa hitungan dalam pelaporannya.

Dalam kedua kasus ini, ada persamaan yakni keengganan untuk belajar, hanya suka
menikmati kenyamanan, dan merasa cukup tenang dengan pekerjaan sehari-hari serta merasa
terlalu tua untuk membaca buku kembali atau sudah merasa “pusing” berhadapan dengan
hitungan-hitungan sederhana sekalipun. Walaupun kalau menghitung uang tidak demikian.
Kebanyakan orang tidak sadar bahwa, sebelum memasuki dunia kerja ada tahapan yang harus
dilalui yakni dunia sekolah, adanya training atau pelatihan di tempat kerja baik
tersistematisasi dan terprogram ataupun tidak. Tidak ada lulusan sebuah sekolah yang dapat
dikatakan siap pakai. Apalagi lulusan akademi sekretaris, kalau dikatakan siap pakai akan
menimbulkan “arti lain”. Jelasnya, yang dibutuhkan pasar kerja adalah siap latih.

Mengerjakan satu pekerjaan di tempat itu bertahun-tahun dengan urutan kerja yang sama.
Monoton dan tak ada variasi. Mungkin bagi seseorang sudah merasa nikmat, tetapi bagi
orang lain merasa jenuh dan membosankan. Menjadi “manusia pekerja” akan tetap jadi
pekerja tidak akan pernah menjadi pemimpin (formal) dalam lingkungan kerjanya (dalam
jenjang struktural).Terbelenggu oleh keadaan yang dibuat sendiri, karena ada kesempatan -
yang atur perusahaan baik karena kebutuhan atau program - tidak dimanfaatkan. Ketika
keluar dari perusahaan itu akan memiliki satu keahlian/keterampilan saja, bahkan
keahlian/keterampilan tersebut akan usang di masa mendatang. Seperti dahulu, keterampilan
pengoperasionalkan komputer meskipun sekedar meng-entry data dikatakan sebagai
keterampilan, tetapi sekarang ini sudah tidak dianggap sebagai keterampilan apalagi keahlian.
Oleh karena itu konsistensi dalam keahlian/keterampilan yang dimiliki sangat perlu dan hal

82
ini menunjukkan spesialisasi dan spesifikasi sebagai kompetensi setiap pribadi menjalankan
profesinya. Namun, harus menoleh dan menatap bahwa ada pengetahuan di sekitar “expert
atau skill” pribadi yang mendukung dan menunjang pengembangannya dalam ruang
generalisasi.

Manusia dapat memiliki lebih dari satu keahlian. Ketika suatu profesi bernilai “kering” masih
ada kesempatan melirik dan berpaling profesi lain yang “basah”. Tidak haram kan?
“berselingkuh” dalam berprofesi. Walaupun diejek sebagai “melacurkan diri” karena tak ada
hubungannya dengan latar belakang pendidikan, tak apalagi dalam hal ini “berpindah ke lain
hati”. Ketika memilih karir melewati jalur struktural, akan tampak bahwa semakin ke atas
akan semakin kecil kontribusi teknis dalam pekerjaan, sebaliknya keterampilan
kepemimpinan, manajemen, dan administrasi semakin besar. Dalam konteks globalpun
menjadi keharusan penambahan wawasan di dunia yang seolah semakin “sempit” dan
“terbuka” karena hujaman komunikasi dan tikaman informasi yang menembus batas-batas
ruang fisik. [10/6/2012]

83
Lingkar dan Lingkaran dalam Organisasi

Sebagai sebuah sistem organisasi terdiri dari komponen-komponen yang saling berinteraksi
satu sama lain. Saling berhubungan dan berkaitan. Satu komponen tidak berfungsi akan
berpengaruh pada fungsi komponen lain. Ibaratnya satu bagian tubuh terluka, maka bagian
lainnya akan merasakan sakitnya.

Dalam strategi pengaturan, pengelolaan, dan pengembangannya maka dibuat pengurus yang
berlapis-lapis dalam lingkaran-lingkaran yang sentris. Lingkar (“ring”) terdalam pada
organisasi -yang kecil dan sederhana- ada pada (badan) pengurus harian (terdiri dari ketua,
sekretaris, bendahara beserta wakil atau pembantunya). Lalu setelah ring terdalam ini, dapat
disebut ring satu (R-1), lingkar berikutnya ada R-2, R-3, dan seterusnya. Misal, R-2 adalah
gabungan antara R-1 dengan pengurus pleno (lengkap) yang melibatkan kepala bidang
(kabid). Kemudian R-3 melibatkan kepala biro (karo) dan R-4 mengikutsertakan kepala seksi
(kasi). Pembatasan, reduksi, pentahapan informasi dan kebijakan ini sebagai strategi laksana
berada pada “sistem piramida”, R-1 berada pada puncak, R-2 di bawahnya, dan seterusnya
sampai pada dasar piramid (anggota organisasi).

Pada tiap tepi lingkaran, sesuai hukum (fisika) mekanika juga terdapat “gaya sentripetal” dan
“gaya sentrifugal”. Gaya sentripetal yang mengarah ke dalam ke titik pusat lingkaran (pusat
kekuasaan organisasi). Sedangkan gaya sentrifugal mengarah ke luar, ke lingkaran
berikutnya, sampai ke luar (sistem) organisasi. Kedua gaya ini saling tarik-menarik, terutama
pada tepi lingkaran terluar. Antara konsolidasi internal dengan strategi eksternal. Antara
memperkuat sistem domestik dengan melebarkan ekspansi dan diversifikasi. Juga tarik
menarik antar kepentingan dan penetapan kebijakan.

Garis melingkar dalam organisasi ini dapat berupa garis tebal, garis tipis atau garis terputus-
putus. Garis tebal mengindikasikan hubungan yang kaku dan cenderung tertutup antar strata
pengurus, sementara garis terputus-putus menunjukan hubungan yang sangat fleksibel dan
terbuka sekali. Tebal atau tipisnya garis ditentukan oleh kebijakan organisasi dan komitmen
pengurus terhadap ketetapan atau hasil keputusan.

84
Dengan demikian setiap orang yang masuk dalam organisasi, akan menyadari posisinya ada
di R mana, atau R-n (n=1,2,3,…). Mungkin saja, ada R-0 (baca: R nol) jika itu merupakan
organisasi (bisnis) dimana individu atau sekelompok orang sebagai pendiri atau pemilik
(komisaris) yang berada “di belakang layar” saja dan tidak mencampuri aktvitas manajemen
organisasi. Saat ini, anda sendiri ada di R-… (berapa) atau R mana ya? [30/6/2012]

85
Prosedur vs Kebijakan

Berorganisasi berarti bekerja dengan perencanaan, terprogram, teratur, disiplin, adanya


pengawasan dan terevaluasi. Terorganiasi adalah berlakunya aturan dan standar kerja dalam
organisasi, yang dikenal prosedur atau bahasa kerennya adalah SOP= Standard Operational
Procedure. Prosedur atau SOP sebenarnya adalah gambaran, uraian langkah–langkah
kegiatan secara berurutan untuk menghasilkan sesuatu. Dalam prosedur digambarkan
aktivitas – aktivitas kegiatan yang harus dilakukan ketika melakukan sebuah proses. Prosedur
juga merupakan dokumen organisasi yang menjelaskan proses kerja yang berkaitan dengan
unit-unit kerja lain. Seorang yang bekerja sesuai dengan standar kerja atau prosedur
dikatakan konsisten dengan prosedur (prosedural) dan hal ini merupakan sikap manajerial
dalam berorganisasi.

Sedangkan kebijakan adalah sikap dan tindakan yang diambil oleh para pengambil keputusan
dalam menyangkut tindakan yang tidak terangkum dalam prosedur, karena kurang
lengkapnya sistem administrasi dan dokumentasi organisasi. Kebijakan hanya dilakukan
untuk lebih memperlancar dan melincinkan jalannya organisasi karena fleksibiltas sikap
leader-nya pimpinan disamping sebagai manajer yang harus prosedural dan istiqomah dengan
sistem.

Prosedur mudah dikuantitatifkan, sedangkan kebijakan sangat kualitatif dan cenderung


normatif. Namun, kebijakan dapat dikuantitatifkan dengan membuat formula seperti berikut.
Misalnya, jika target yang dicapai dengan nilai signifikan ± 0,02, dimana rentang tersebut
dapat dibuka (dilebarkan) menjadi ± 0,05 untuk toleransi sebagai kebijakan yang harus
diambil. Rumusan tersebut masih dalam risiko yang terkendali dan mutu yang terjamin.
Artinya, jika selang (interval) itu dilebarkan lagi maka sudah mengabaikan risiko dan ketidak
komitmennya terhadap mutu. Nilai signifikan lebih dari ± 0,05 akan merusak sistem yang
dibangun, kecuali akan diadakan evaluasi total terhadap visi dan misi organisasi, yang mana
hal ini membutuhkan studi dan kajian dengan analisis yang objektif dan dapat dipertanggung
jawabkan.

86
Secara sederhana antara prosedur dan kebijakan, tetap prosedur harus dilakukan lebih dulu,
sebagai hal pertama dan utama, sebagai perintis, pelopor, dan pionirnya menjalankan
kegiatan. Ukuran profesionalisme berorganisasi dapat ditentukan dengan mengikuti dan
menuruti prosedur yang ada. Lain halnya, kalau anda menjadi “politisi” selalu mengutamakan
kebijakan dalam aktvitas walaupun prosedur lengkap tertata dan cukup mendeskripsikan
semua aktivitas organisasi.

Kembali niat dan visi pribadi berorganisasi, mau menumbuhkembangkan dan membesarkan
organisasi sehingga dapat bermanfaat bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dan
masyarakat di sekitarnya, atau sekedar mencari popularitas pribadi, sarana penumpukan
pundit-pundi kekayaan, dan batu loncatan meraih kepentingan jangka panjang. Memang
pilihan hak setiap orang. Masalahnya apa yang dapat dibuat seorang pengurus (nota bene
pimpinan) organisasi selama rentang periode kepengurusan? Menjalankan amanah atau
tidak? Bagaimana kebijakannya, apakah sesuai dengan masa kampanye yang penuh janji-
janji itu? Lebih banyak manfaat atau mudharat-nya? Meningkatnya kualitas anggota atau
menurun? Tentunya, diperlukan parameter untuk mengukur sejumlah variabel dengan
indikator yang pas dan sesuai. [17/6/2012]

87
Program dan Target

Salah satu manfaat berorganisasi adalah keteraturan dalam bekerja menyelesaikan suatu
proyek kegiatan (kepanitiaan). Membuat perencanaan dan memprogram semua sumberdaya
dan aktivitas yang akan dilaksanakan menjadi kebiasaan dalam berorganisasi. Sehingga dapat
dikatakan aktivitas yang dilakukan dengan terencana, tertib dan teratur, disiplin, serta
terprogram dengan target penyelesaian batas waktu dan menggunakan sumberdaya yang
efektif dan efisien, adalah aktivitas yang terorganisir (terorganisasi).

Seyogyanya setiap dan semua mantan aktivis organisasi, menjadikan aktivitas hidupnya
mengacu pada “pola dan nilai” ketika berorganisasi dahulu, yakni berpedoman pada 2 kata:
Program dan Taget. Seandainya “jejak” berorganisasi dapat menjadi kebiasaan, bukan
mustahil hal itu akan menjadi kontribusi jalan kesuksesan sang mantan organisatoris. Jangan
sampai pengalaman belasan bahkan puluhan tahun dengan malang melintang bermacam
bentuk organisasi, tetapi tidak memberi “bekas” sedikitpun pada pola kehidupan pribadi dan
sosialnya. Sementara jika diberi nilai, hanya berada pada rentang “di bawah garis
kemiskinan”. Kan, sungguh ironis! Oleh karena itu, apakah kita mengaplikasikan setiap yang
pernah kita pelajari dan alami dahulu juga kita lakukan pada kehidupan sekarang?
[12/5/2012]

88
Terencana dan Spontan

Dalam membuat kegiatan, ada 2 hal yang dapat dilakukan. Melakukan dengan perencanaan
atau dikerjakan secara spontan. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung
pada keadaan, situasi dan kebutuhan serta ketersediaan waktu. Analisis yang berlebihan
dalam perencanaan tidak akan menghasilkan aktivitas apalagi tujuan, sementara yang
dibutuhkan adalah pengambilan keputusan yang cepat dan tepat serta tindakan konkrit yang
sedang ditunggu-tunggu. Sebaliknya tindakan yang spontanitas akan bernilai gegabah dalam
rentang waktu yang cukup untuk meracik data dan informasi fakta sebagai bahan
pengambilan keputusan. Namun, yang terpenting adalah jangan sampai terjadi, perencanaan
tanpa pelaksanaan. Atau pelaksanaan tanpa perencanaan. Maka, yang terjadi adalah khayalan
atau asal jalan. Kalau begitu, mana yang anda pilih? [28/4/2012]

89
Manajemen “dagelan” & Manajemen “kadal”

Negara dan pemerintah adalah 2 hal yang berbeda. Kalau diidentikan dengan sebuah
organisasi, maka organisasi itu adalah negara, dan pengurusnya adalah pemerintah. Negara
tetap ada, kecuali ada yang membubarkan atau dibubarkan. Demikian pula dengan organisasi.
Sementara pemerintah hanya berkuasa sepanjang waktu periodenya. Demikian halnya dengan
pengurus organisasi. Rumitnya dalam ketatanegaraan adalah, adanya kepala negara dan
kepala pemerintahan.

Pengurus organisasi (termasuk pemerintah dalam negara) menjalankan amanah dan tugasnya
sesuai UU dan peraturan yang berlaku. Namun, dalam perjalanan kepengurusan
(kekuasaan)nya kadang mengabaikan UU dan peraturan yang ada dan sudah disepakati.
Sehingga pelaksanaan manajemen organisasi amburadul dan tak karuan sesuai keinginan
sang penguasa. Kelihatan lucu, tapi menyebalkan. Struktur ada hanya formalitas saja. Garis
komando dan kewenangan sesuai kehendak hati yang punya pengaruh yang kadang
mengintervensi kewenangan orang lain. Tugas dan fungsi tiap personalia saling tumpang
tindih. Keuangan yang sejatinya dan semestinya dipegang bendahara, bisa ada di rekening
sang ketua. Sekretaris yang seharusnya berada pada fungsi staf (tak dapat memberi
komando), menjadi orang berkuasa selalu memerintah siapa saja yang dia mau. Ketua bisa
sekedar simbol, jika memang tidak tahu apa-apa dan mau dibawa kemana kepengurusan
periode ini. Atau sebaliknya, menjadi orang yang serba paling sibuk, bekerja single fighter,
dan menabrak batas-batas garis struktural. Inilah fenomena penerapan sistem mananjemen
“dagelan” dalam organisasi. Lucu, tapi tidak membuat orang tertawa. Menggelikan tapi
membuat perut mual serasa ingin muntah.

Pengurus organisasi terkadang menjadi politisi amatiran, karena bukan politisi betulan
(profesional). Menjadi pengurus organisasi sarat kepentingan pribadi dan kelompoknya,
bukan untuk kemajuan organisasi tersebut. Kepentingan pribadi dan kelompok selalu dan
senantiasa berada di atas kepentingan organisasi. Sehingga yang berlaku, “siapa
memanfaatkan siapa”, dan sebaliknya “siapa mengerjain siapa”. Siapa mengkadalin siapa.
Aturan dan peraturan yang ada diabaikan. Selalu mengutamakan azas kebijakan. Selagi dekat
dengan seseorang, maka akan dimanfaatkan sehabis-habisnya dan sepuas-puasnya (keahlian

90
dan keterampilannya). Sebaliknya, selagi berjauhan, akan dimusuhi sebagai buruan yang
harus dilenyapkan (kedudukan dan pengaruhnya). Hubungan antar personal berlaku like and
dislike. Profesionalitas, kapasitas dan kapabilitas tidak ada tempatnya dalam sistem
manajemen “kadal” seperti ini.

Kedua fenomena “sistem manajemen” ini ada, selalu, dan akan ada dalam tiap organisasi
apapun dan manapun. Hanya kekuatan kepemimpinan dan kultur organisasi yang mengarah
kemajuan, yang dapat menghindarinya atau menghapusnya. [7/4/2012]

91
3X1 = 1X3 ?

Persamaan matematika di atas sudah ditemui sejak Sekolah Dasar. Secara aritmatika,
pernyataan itu merupakan hukum komutatif perkalian, dan pernyataan itu adalah benar.
Namun, dalam manajemen terutama yang berkaitan dengan perencanaan, akan menjadi
berbeda, walaupun hasil akhirnya juga sama. Artinya terjadi perbedaan dalam proses yang
dilakukan, meskipun produknya sama. Nah, kalau begitu sama juga dong? Ya, tidak!

Kalau kita membaca buku menggunakan 2 pola perencanaan. Pertama, tiap hari kita baca 1
lembar. Setelah 3 hari, maka kita sudah membaca 3 lembar. Kedua, kita hanya membaca 1
hari saja sebanyak 3 lembar. Yang pertama, dengan menyisihkan waktu sedikit dan
penggunaan sumber daya yang minim, tetapi pada yang kedua membutuhkan waktu yang
lebih banyak dan beban sumber daya yang besar. Hal ini akan lebih terasa, kalau memiliki
target membaca 3 buku dalam 3 hari. Mau membaca 1 buku 1 hari selama 3 hari atau
membaca 3 buku sekaligus 1 hari.

Beban sumberdaya kedua cara akan tampak, jika dibuat grafik Aktivitas vs Waktu. Grafik
beban cara pertama akan lebih landai (mendatar), sedangkan grafik beban cara kedua lebih
curam (tegak). Hal ini akan terasa efeknya jika digunakan dalam membuat program kegiatan,
jadwal kerja, jadwal produksi, rencana aktivitas, dan pengeloaan keuangan.

Pada akhirnya, berpulang pada diri sendiri untuk memilih, mau menerapkan 3X1 atau 1X3.
Silakan, bung ! [17/3/2012]

92
Peran ”Manajer” ala Juragan Angkot

Manajer adalah orang yang memanajemen organisasi atau mengelola aktivitas. Secara
perseorangan, seseorang bisa dikatakan manajer bagi dirinya. Jadi siapapun dapat dikatakan
sebagai manajer jika dia melakukan pengaturan atau pengelolaan organisasi atau aktivitas
dengan menjalankan fungsi-fungsi manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan. Namun, peran manajer yang sesungguhnya memang terkait
dalam struktur organisasi. Manajer dalam struktur organisasi (bisnis) berada di bawah Direksi
dan di atas Supervisor. Manajer sebagai profesi terletak dalam manajemen tengah (middle
managemant).

Dalam sebuah organisasi perusahaan, pimpinan tertinggi (direksi) memimpin organisasi yang
terbagi dalam beberapa manajemen fungsional, yaitu manajemen keuangan, manajemen
pemasaran, manejemen produksi/operasi, manajemen SDM, dan manajemen investasi. Jadi,
seorang direksi juga merupakan seorang manajer dalam arti luas, karena memanajemen
seluruh tugas dan pekerjaan manajer-manajernya. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi
pada organisasi lainnya, misal organisasi sosial atau organisasi publik. Perbedaannya hanya
terletak pada masalah teknisnya, tetapi prinsip dasarnya tetap sama membutuhkan semua
manajemen fungsional yang disebut di atas. Produk yang dihasilkan berupa barang
(komoditas) atau jasa (servis) akan berbeda dalam proses aktivitasnya, terutama dalam
manajemen produksi atau manajemen operasinya.

Mulai dari organisasi kesiswaan, kemahasiswaan, yayasan sosial, lembaga pendidikan,


sekolah, pesantren, sampai perguruan tinggi. Organisasi alumni, sosial, LSM, komunitas,
sampai organisasi profesi. Rukun Tetangga (RT), RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan,
Kotamadya/Kabupaten, Provinsi, hingga Pemerintahan (Negara). Hubungan negara dengan
negara lain, dalam hubungan bilateral, multilateral, regional, internasional, dan global. Semua
hal ini adalah organisasi, yang pengaturannya memerlukan peran ”manajer”.

Adakalanya, para manajer tersebut berperilaku laksana Juragan Angkot (Perusahaan


Angkutan Umum) yang masih terkungkung dalam pola budaya tradisional, agak bermental
primitif, dan semoga tidak cenderung berperilkau bar-bar. Juragan mempunyai sejumlah

93
angkot sebagai core business-nya. Bisnis yang dijalankan berupa jasa angkutan dalam kota.
Tenaga SDM-nya terdiri dari orang produksi/operasi berupa pengemudi (sopir) dan
kondektur (kenek). Sedangkan bagian maintenance (pemeliharaan & perawatan) kendaraan
(mobil angkot) adalah orang yang ahli mekanik otomotif (sekaligus harus mengerti elektrik
juga). Pintu masuk cash flow dari setoran sopir yang didapatkan setiap hari, sementara cost
yang harus dikeluarkan untuk perawatan kendaraan. Juragan tidak mau tahu tentang bahan
bakar (bensin) mobil. Yang penting sopir pulang bawa setoran dan tangki bensin penuh.
Manajemen keuangan sepenuhnya dipegang si pemilik. Sebaliknya, manajemen pemasaran
menjadi urusan sopir dan kenek. Keduanya harus berusaha memberi keamanan penumpang,
kebersihan dan keindahan mobil, serta kenyamanan dalam berkendara yang juga dinikmati
penumpang (pesewa). Dengan kondisi mobil ala kadarnya, karena si juragan tidak mau tahu
yang penting mobil siap untuk dioperasikan. Apakah mobil lagi ngadat atau masih sehat?
sopir harus terus bisa narik. Bila perlu tidak ada kamus ”tanggal merah” (hari libur) dalam
kalender perusahaan. Tidak peduli jika operator (sopir atau kenek) kurang sehat, mobil harus
ada yang keluar kandang. Kenek harus bisa menggantikan sopir, walaupun baru seminggu
bisa nyetir. Kenek harus cepat menguasai cara nyetir mobil beserta gangguannya jika terjadi
di jalan. Menjadi mekanik dadakan suatu keharusan. Semua tenaga SDM harus bisa
memegang pekerjaan apa saja jika dibutuhkan. Sang juragan menginginkan semua orang
berkeahlian sama, tanpa melihat ukuran jam terbang di lapangan setiap orang. Kenek yang
baru bisa seminggu nyetir harus sepadan dengan sopir yang pengalamannya puluhan tahun.
Perusahaan tidak memiliki program jenjang karir. Kenek bisa nyetir, karena ’kebengalannya’
saja mencoba-coba dan dididik sopir saat parkir. Mobil mesti kuat untuk terus dioperasikan,
tidak perlu jadwal servis. Jika ada mobil yang stand by, bukan dalam keadaan baik. Akan
diperbaiki, kalau mobil yang sedang operasi rusak juga.

Kompensasi sopir tergantung jam kerja yang dilakukan. Untuk mendapatkan pendapatan
lebih (di atas UMP) maka sopir harus mengoperasikan mobil di atas jam kerja normal.
Juragan lagi-lagi tidak mau tahu jika ada masalah dengan kondisi mobil, masalah lain di rute
trayek, atau urusan dengan polantas misalnya. Yang penting setoran cukup, tidak kurang dan
sesuai target. Semua diukur dengan ’efisiensi’. Namun, uniknya si Juragan mempunyai
Konsultan terpercaya yang merangkap Sales. Konsultan masalah manajemen dan teknik ini
dapat menyediakan berbagai keperluan baik bahan habis pakai maupun spare part dengan
harga ’miring’. Mungkin sang konsultan memiliki PT. Lumogada. Loe mau apa aja gua ada.

94
Manajemen ala Juragan Angkot di atas dapat saja terjadi di berbagai organisasi. Pola
hubungan antara si juragan dengan sopir, kenek, dan mekanik tidak pantas disebut sebagai
hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja, apalagi Sopir lebih tepat disebut sebagai Profesi
bukan pekerja (karyawan tetap). Pola hubungan kerja yang pas dari contoh di atas adalah
antara Juragan dengan Jongos, bukan juga antara Majikan dengan Buruh. [30/12/2012]

95
Memanajemen Organisasi versi Mengelola Klub Sepak Bola

Tim Sepak Bola


Sebuah organisasi dapat diumpakan sebuah tim sepak bola. Dalam tim sepak bola terdapat
pemain yang menempati posisi yang telah ditentukan dan tidak dapat ditukar ganti
sekehendaknya. Posisi penjaga gawang tidak mungkin menggantikan tugas sebagai
penyerang atau sebaliknya. Demikian juga dengan posisi-posisi yang lain. Di sini berlaku
prinsip the right man on the right place.

Ketika pertandingan berlangsung berlaku peraturan yang harus disepakati, diikuti dan
dilaksanakan. Bagi pemain yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi, baik
konsekuensinya bagi pemain itu sendiri maupun imbasnya terhadap tim yang bersangkutan.
Pemain dapat terkena kartu kuning atau kartu merah sebagai hukuman dari sang wasit.
Sementara bagi tim, akan mendapat sanksi berupa tendangan bebas, sepak pojok atau
tendangan pinalti.

Setiap tim mempunyai target yang sama, bagaimana menciptakan gol sebanyak-banyaknya
ke dalam gawang lawan. Tujuan yang jelas ini harus dilalui dengan persaingan yang sehat,
yakni dengan sikap sportif dan fair play. Sebuah tim dipandang berkualitas dan tangguh, jika
memiliki kemampuan individu yang baik pada diri masing-masing pemain dan kerja sama
tim yang solid. Pertandingan kedua kesebelasan akan menarik, jika pertandingan
dilangsungkan dengan permainan yang saling menyerang tanpa ada kecurangan serta
dipimpin oleh wasit yang adil dan hakim garis yang tegas. Dukungan supporter dari masing-
masing tim kesebelasan akan memberikan semangat dan motivasi, untuk mencapai
kemenangan. Kemenangan ditentukan oleh banyak faktor. Pelatih yang bertangan dingin
dengan strateginya yang jitu, adalah salah satu kuncinya. Soliditas dan solidaritas antar
individu pengelola tim dan antar pemain serta antara pengelola tim dengan pemain, akan
mempengaruhi psikologis pemain, yang juga ikut menentukan kemenangan di lapangan.
Manajemen dan pengorganisasian tim serta teknik dan taktik menghadapi lawan harus
dimiliki. Karena kekuatan dan kelemahan setiap lawan berbeda, maka membaca peta keadaan
lawan sangat diperlukan sebelum pertandingan digelar.

96
Kesebelasan Sepak Bola di Kampung
Bersentuhan dengan sepak bola dimulai dari masa kecil di kampung. Menendang, menggiring
dan menyundul bola tanpa ada pelatih yang membimbing. Posisi pemain tidak tetap
tergantung mood si pemain mau berada di posisi mana. Kalau lagi malas mondar-mandir
jadilah kiper (penjaga gawang). Jika sedang semangat bermain, jadilah pemain tengah.
Pergantian posisi bisa dilakukan seenak hatinya saja dan dapat ditukar dengan sesama pemain
saat pertandingan tengah berjalan. Permainan berlangsung tanpa ada aturan dan peraturan
yang ketat. Wasitpun tak ada, tetapi tidak pernah terjadi perkelahian antar pemain. Apalagi
tawuran antar supporter tidak akan terjadi, karena memang tidak dikenal waktu itu. Perebutan
bola kerap terjadi. Setiap pemain dari masing-masing tim berusaha memasukan bola ke
gawang lawan. Kadang-kadang ada pemain yang tidak mau menggiring bola. Ketika bola
datang atau menjumpai bola, langsung ditendang begitu saja tanpa arah. Bola keluar
lapangan, akan menjadi milik yang mengambil bola. Batas lapanganpun tidak jelas, tetapi tak
terjadi keributan dalam mempertahankan haknya. Serba fleksibel dan toleransi. Dan,
permainanpun berlangsung kembali. Yang lebih seru lagi, adalah ketika mau di gol oleh
lawan, gawangnya dibawa kabur. Karena memang tak ada tiang gawang, hanya ada 2
tumpukan batu sebagai tanda gawang. Demikian pula, ketika gawang lawan diserang, seorang
pemain dari tim penyerang akan menggeser batu menjadi lebih lebar. Akibatnya, peluang
menghasilkan gol sangat besar. Terjadi atau tidak terjadi gol, tidak menjadi beban kedua tim.
Pertandingan menjadi hiburan yang sangat berarti di kedua tim, yang semua pemainnya
masih berusia ABG ini. Permainan yang semestinya disikapi serius dibuat santai. Layaknya
penampilan dagelan di arena olah raga yang paling merakyat itu.

Permainan sepak bola ala kampung dengan pemain seusia belasan tahun ini hanya dikoordinir
oleh orang yang dianggap lebih tua atau punya pengaruh. Sang koordinator dapat merangkap
sebagai ketua tim juga sebagai pemain, terutama pemain cadangan. Organisasinya laksana
kepengurusan RT antara ada dan tiada. Dipakai saat ada kebutuhan mendesak dan urgen.
Sistem administrasi belum terpikirkan, karena kata “administrasi” saja masih belum masuk
kosa kata saat peradaban itu hidup. Pengelolaan tim tidak ada, tidak mengenal prosedur
permainan, tidak mengetahui standarisasi pertandingan, dan awam dengan kompetisi
terjadwal. Kalaupun ada pertandingan antar kesebelasan antar daerah, informasi hanya via
audio dan secara lisan. Semua berjalan tanpa visi dan misi, abai terhadap peraturan,
mempertahankan status quo, nir program kerja, serta merasa aman, mapan, dan nyaman
dengan tradisi dan kultur (budaya) yang melingkupinya.

97
`
Klub Sepak Bola Profesional
Lain halnya, dengan tim sepak bola dari negara yang selalu berlangganan masuk dalam
perebutan piala dunia. Mereka mengelola tim kesebelasan sebagai sebuah korporat yang
diperhitungkan secara ekonomi. Sepak bola telah menjadi sebuah industri, yang pada
gilirannya menjalar ke semua aktivitas yang mendukung penampilan sebuah pertandingan,
menjadi ladang-ladang bisnis. Sebuah tim kesebelasan merupakan sebuah perusahaan yang
dimiliki oleh para pemegang saham. Bahkan, kini banyak tim kesebelasan yang telah berdiri
puluhan tahun silam, dimiliki oleh pengusaha dari negara lain. Tim sepak bola sudah menjadi
perusahaan multi nasional yang mengglobal. Oleh karena itu, pengelola sangat profesional
dalam memanajemen tim. Kompetisipun digelar secara periodik, rutin dan teratur dengan
promosi yang sangat gencar, apalagi kini didukung media dengan segala kecanggihannya.
Pemain sebuah tim liga tidak semuanya berasal dari negara dimana liga itu berada. Mereka
bisa berasal dari negara lain yang dibeli oleh kesebelasan tersebut. Setiap pemain memiliki
masa kontrak dengan kesebelasannya. Sehingga terjadilah jual beli pemain antar kesebelasan.
Sepasang kaki telah menjadi komoditas industri yang mengatasnamakan olah raga.
Pengelolaan organisasi sepak bola sebagaimana layaknya sebuah korporat. Sangat jelas siapa
pemilik kesebelasan (klub) sepak bola tersebut dan siapa manajemen perusahaannya.
Manajemen klub jelas mempunyai konsep bagaimana klub tersebut dapat hidup dan terhindar
dari kebangrutan. Sebagai sebuah ajang bisnis, maka sebuah klub tidak dapat terlepas dari
interaksi dengan perusahaan penyelenggara kompetisi dan perusahaan lain yang terkait, dari
mulai pakaian pemain, periklanan, hak siar dari media, dan lain-lain. Manajer tim dengan
pelatih yang profesional, merancang strategi pemenangan dalam satu pertandingan.
Pengorganisasian individu dalam posisi di lapangan dimanajemen sedemikian rupa. Setelah
anak asuhnya sedang berjuang mengolah si kulit bundar, manajer tim apalagi sang pelatih
terus melakukan supervisi dan pengawasan sambil memberikan instruksi bila diperlukan.
Sebuah fenomena aplikasi dan praktik perpaduan sikap manager dan leader yang baik dalam
mengorganisasi bawahan.

Kalau dibandingkan kedua model di atas, maka model sepak bola korporat laksana sudah
berada di langit sementara model sepak bola kampung laksana masih berada di dalam sumur
perut bumi. Sebuah perbedaan yang sangat dahsyat antara 2 buah organisasi dalam penerapan
manajemennya.

98
Perusahaan adalah Organisasi
Ketika beberapa detik digunakan untuk merenung, maka dalam kehidupan ini manusia tidak
dapat terlepas dalam organisasi. Bersama dengan orang lain, bersepakat melaksanakan
sesuatu sudah berorganisasi. Maka, sebuah keluarga merupakan sebuah institusi terkecil dari
organisasi masyarakat lebih luas. Perusahaan tempat karyawan bekerja, sangat jelas adalah
organisasi yang harus dan mesti dikelola seprofesional mungkin dengan manajemen yang
baik dan benar. Namun, apalah daya seorang manajer perusahaan industri yang berada pada
level menengah untuk membuat sistem yang sesuai, jika kepemimpinan pemilik dan kultur
perusahaan yang telah berurat berakar dan mendarah daging hanya bermental pedagang.
Cengkeraman kultur sebuah organisasi sangat kuat dan menjadi stagnasi bagi pengembangan
sistem.

Mencermati, kondisi organisasi yang berada di sekitar dan menjadi ruang lingkup kehidupan,
maka dapat ditelaah dengan 2 pendekatan seperti halnya kedua klub sepak bola di atas.
Perusahaan dapat saja masih berada seperti manajemen klub sepak bola kampung.
Pengelolaan karyawan, sebagai SDM (sumber daya manusia) tidak berkonsep dan tidak
terprogram. Sehingga SDM memiliki arti versi lain, sebagai”selamatkan diri masing-masing”,
karena karyawan dianggap sebagai komoditas industri belaka. Tak ada pembinaan, tak ada
pelatihan, dan tidak jelas jalur karir serta buram persiapan hari tua. Akhirnya, karyawanpun
berstatus sebagai karyawan ADM (“asal dapat makan”), karena ketika menerima upah hanya
seukuran uang makan. [21/8/2014]

99
Manajemen ala “bandar judi”

Bandar judi memiliki sistem perjudian yang membuat dirinya selalu menang dan tidak akan
bangkrut. Kalaulah penjudi memperoleh kemenangan hanyalah berupa manis jambu belaka.
Sebagai pancingan, supaya para penjudi tetap bermain terus. Dalam arena perjudian berlaku
kata mutiara: ‘menang ketagihan dan kalah penasaran’, yang akibatnya hobi judi menjadi
bagian hidup yang tidak bisa ditinggalkan. Judi yang menggunakan mesin, tentu saja sistem
dibuat sedemikian rupa rekayasanya dan tidak ada spekulasi bebas. Yang terjadi hanyalah
penipuan dan kecurangan.

Manajemen dalam organisasi ada yang berperilaku seperti bandar judi. Membuat sistem yang
tidak terencana. Semua dibuat serba spontan, kondisional, dan situasional. Tidak ada program
jangka panjang. Semua tampilan menyiratkan aktivitas jangka pendek dan sesaat. Abai
terhadap standarisasi dan nihil prosedural. Satu aktivitas di bagian tertentu tidak
berkonektivitas dengan bagian lain. Semua berjalan masing-masing tanpa ada komando dan
koordinasi. Karena memang berasal dari struktural yang tidak jelas dan job description yang
tidak ada. Aktivitas didasarkan atas kebiasaan yang sudah terjadi, bukan prosedur yang baku.
Ironisnya, sebuah aktivitas bisa hilang dengan sendirinya akibat ditinggalkan oleh orang yang
biasa menangani atau orang tersebut keluar dari organisasi.

Promosi yang dilakukan bukan didasarkan atas kebutuhan organisasi, melainkan atas dasar
kepentingan dan kekerabatan hubungan. Demikian pula dalam mutasi, bukan untuk memberi
peluang orang mengetahui semua bagian pekerjaan organisasi sehingga dapat mengerti secara
umum jika bisa tampil memimpin, tetapi hanya sekedar ‘menyembunyikan’ orang tertentu
atau mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih ringan. Degradasi yang dilakukan
tidak diikuti dengan pemberitahuan degradasi kewenangan dan reduksi aktivitas, tetapi lebih
pada seberapa besar uang penurunan jabatan itu ditarik masuk ke dalam. Penugasan personal
dilakukan dengan semaunya dan sesuai angin yang bertiup (trend yang sedang berkembang).
Bagian mana yang sedang menjadi fokus disitulah terjadi melting pot keramaian. Semua
orang tanpa melihat bagian pekerjaan dan jenjang jabatan berkumpul dalam satu masalah
yang bisa saja tidak sesuai dengan apa yang biasa ditanganinya sehari-hari. Suatu masalah

100
teknis diselesaikan dengan melibatkan semua jenjang manajerial, mulai dari operator sampai
direksi (dari prajurit sampai jenderal).

Personal ada yang melakukan pekerjaan yang tidak proporsional dengan jabatan dan
kompensasinya. Ada yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang jauh lebih besar dari
jabatan dan kompensasi yang diterima. Sebaliknya ada juga yang tidak memiliki jabatan
struktural, tetapi memiliki kompensasi yang sangat besar. Bahkan ada juga personal yang
‘diangon’ yang tidak mempunyai pekerjaan yang jelas. Personal yang mengalami ‘disfungsi’
dan ‘non job’ ini menjadi hal yang sudah biasa, yang disebabkan hubungan yang tidak
harmonis dengan manajemen dan cilakanya menjadi kebijakan kepala bagian SDM. Personal
yang berstatus pekerja yang tidak bekerja seharusnya atau karyawan yang tidak berkarya
semestinya ini rajin masuk sudah aman dan menikmati situasi yang ada. Sehingga muncul
kesibukan baru dan menambah keterampilan. Mereka tidak gaptek. Kalau ditanya bisa
komputer, jawabnya pasti bisa. Karena sering main ‘game’ di komputer. Jika ditanya paham
internet, pastilah mengerti. Buktinya, tiada detik yang terbuang tanpa ‘facebook’-kan.
Personal yang lebih cerdik, memanfaatkan ‘tempat kerja’ sebagai sekretariat bayangan
perusahaannya. Seolah ada perusahaan di dalam perusahaan. Personal yang jenis ini
mengendalikan usahanya di luar dengan kecanggihan TIK sambil bersantai di ‘ruang
kerja’nya. Fenomena di lapangan lain lagi. Walaupun dalam satu hari kerja dibuat tiga shift,
nyatanya dalam 1 shift bisa terdapat 2 shift lagi. Yang seharusnya, 1 shift bekerja selama 8
jam kerja, bisa saja kerja yang sesungguhnya hanya 4 jam saja. Hal ini terjadi pada sebuah
pekerjaan yang ditangani oleh lebih dari 1 orang. Sebuah pabrik di Jawa Barat, jika shift
malam pekerja membagi 2 rombongan masuk. Rombongan pertama ini melakukan absensi
masuk jam 24.00 sambil mengabsenkan teman-temannya di rombongan kedua. Mereka
langsung bekerja sampai jam 04.00 tidak absen pulang dan langsung pulang. Rombongan
kedua masuk jam 04.00 tidak absen masuk langsung kerja dan pulang jam 08.00 absen
pulang sekalian mengabsenkan teman-temannya di rombongan pertama.

Tidak ada kamus menjadikan pekerja sebagai aset, sebaliknya pekerja disamakan dengan
material dan disejajarkan dengan peralatan. Layaknya material jika sudah usang harus
dibuang. Peralatan bila sudah rusak disingkirkan. Pekerja yang kedapatan pekerjaannya tidak
memerlukan keahlian dan mudah digantikan orang lain (misal operator komputer sebagai
peng-entry data), dengan mudahnya di-PHK dengan alasan yang tidak logis dan dicari-cari.
Pekerja yang demikian mendapat ‘pensiun gledeg’, pensiun secara tiba-tiba dengan

101
pemberitahuan sehari sebelumnya. Sedangkan pekerja yang kurang terpantau tingkat
keahliannya (misal pekerja lapangan) sudah mengajukan pensiun berulang kali tidak juga
mendapat tanggapan. Apalagi pekerja yang berkeahlian dan berpengalaman terus dibiarkan
tidak dikonfirmasi masalah pensiunnya dan masih kesediaanya untuk bekerja.

Menjadikan SDM pekerja disamakan sebagai material atau peralatan, maka kompensasi
pekerja digolongkan bukan sebagai laba rugi SDM (jangka panjang) atau investasi melainkan
sebagai laba rugi ekonomi (jangka pendek) atau biaya. Perhitungan efisiensi lebih di titik
beratkan pada penekanan biaya pembayaran overtime (jam kerja lembur) daripada
penghematan pemakaian material dan sumberdaya. Produktivitas pekerja tidak pernah diukur,
sedangkan produktivitas hasil produksi hanya sekedar tayangan indah di laporan yang tidak
pernah ditelaah apalagi dianalisis jika tidak memenuhi target. Perubahan hari kerja dalam
seminggu (5 atau 6 hari kerja), hari servis, dan hari off mengalami putaran layaknya kumedi
putar dengan irama yang sengau. Kapan produksi dan jika produksi apa yang akan diproduksi
di shift berikutnya hanya Tuhan yang tahu. Semua pimpinan mulai dari kepala pabrik sampai
kepala seksi tidak mempunyai otoritas yang jelas sesuai struktur, karena memang strukturnya
juga tidak jelas. Semua level pimpinan tersebut seperti robot yang digerakan oleh invisible
hand dengan remote control instruksi by phone. Bahkan jadwal produksi bisa by request. Bila
terjadi miscommunication dan misperception kambing hitam yang paling dicari.

Bandar judi dengan mesin judinya mendesain dan merekayasa permainan judi sedemikian
rupa supaya bandar menang terus. Namun, si penjudi tidak kehabisan akal dengan meng-
crack sistem mesin judi tersebut sehingga kacau. Penjudi laksana hacker dalam arena judi
bermesin yang mampu menjebol sistem dan membuat si bandar bingung sendiri dan kalang
kabut. Karena menderita kekalahan dan menanti kerugian yang tidak disangka-sangka.
Manajemen bermental bandar judi tidak hanya berada di perusahaan swasta, melainkan di
organisasi pemerintahanpun demikian. Bahkan lebih parah lagi. Sebagai contoh dalam sebuah
bidang yang sama yang penulis alami. Suatu perusahaan swasta hanya memerlukan seorang
pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan dalam sebuah seksi. Tapi alamak, yang terjadi apa
dengan perusahaan sejenias milik negara harus mempekerjakan sampai enam orang.
Pantaslah, kalau demikian masalah produktivitas apalagi efiesiensi hanya ada di atas kertas
dan bahan seminar saja. Karena orang yang berilmu saat sekolah tidak menerapkan ilmunya,
hanya dibuai dengan sistem yang sudah ada dan dipaksa tunduk kepada sistem yang dibuat
dari ‘zaman kuda gigit besi’. Akhirnya, bagi si pegawai dipikirannya ngapain cape-cape

102
mikir yang penting sudah kerja dan dapat gaji tiap bulan dan bisa ngobyek lagi. Makanya, ada
benarnya ungkapan waktu sekolah: “nanti banyak ilmu yang dipelajari tidak terpakai waktu
kerja”. Selain itu cara-cara yang sangat birokratis yang masih mewarisi watak peninggalan
penjajahan dan tabiat orde lama/orde baru masih tampak di beberapa kantor pemerintahan.

Orde reformasi nampaknya tidak mereformasi mental perangkat ‘abdi negara’ apalagi sistem
pelayanan kepada masyarakat. Yang paling signifikan adalah pelayanan di tingkat Pemda ke
bawah, sebut saja kelurahan, dimana rakyat jelata mengalami langsung. Tabiat birokrasi yang
berliku dengan banyak meja, bertele-tele, dan masih berwatak wani piro, merupakan contoh
lain sistem manajemen ‘badar judi’ juga, karena tidak menuruti ketentuan. Hanya
berspekulasi dan berlaku curang.
Beberapa ciri karakter manajemen bermental ‘bandar judi’, yakni:
a. Kalau masih bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat.
b. Kalau masih bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah.
c. Kalau masih bisa digelapkan, mengapa harus dibuat transparan.
d. Lebih baik rugi besar daripada untung kecil?
(rugi besar buat perusahaan melalui kolusi dengan konco dewe, tetapi untung besar buat
pribadi dan si konco dan itu lebih baik daripada rugi kecil buat perusahaan sementara
pribadi dan konco hanya keluar keringat dan cape dengkul)
e. Para pekerjanya sudah bermental politisi, ekonom, atau industrialis, bukan karyawan lagi
bahkan bisa menjadi mediator, broker, atau calo.

Dengan demikian kerusakan mental seseorang bisa tumbuh di tempat yang salah. Jangankan
orang yang sudah ‘sakit’ menerima ‘didikan’ demikian, yang ‘sehat’ pun bisa menjadi ‘sakit’
jika virus tersebut mewabah dengan ganasnya jika tidak memiliki antibodi yang kuat dan
antivirus yang canggih.

Nah, hanya benar-benar the real leader yang steril dan imun terhadap sistem yang rusak dan
bobrok. Dia masih punya hati nurani dan logika yang waras dengan karakter yang
menantangnya: “aku yang diwarnai, atau aku yang mewarnai?”. Pilihan itulah yang
menentukan kesejatian seorang pemimpin. [31/3/2014]

103
Sedikit tentang ADMINISTRASI dan MANAJEMEN

Para aktivis organisasi sudah tidak asing lagi dengan kedua kata ini, administrasi dan
manajemen. Walaupun bukan mendalami konsep teori keilmuannya, melainkan sudah
menjadi menu sehari-hari dalam kaitan mengoperasionalkan, mempraktikan, serta
mengaplikasikan keduanya dalam organisasi.

Secara sederhana, administrasi adalah penyelenggaraan kerja, sedangkan manajemen ialah


proses mengelola (orang dan sumberdaya) penyelenggaraan kerja tersebut. Namun,
sesungguhnya sangat banyak definisi kedua kata itu yang digaungkan oleh para ahli,
termasuk argumentasi yang menyamakan atau membedakan keduanya.

Ketika kita menengok tempat mangkal aktivis, yakni sebuah sekretariat, maka yang ada di
sana adalah tumpukan arsip dan susunan dokumen(tasi). Kegiatan seperti tulis menulis, ketik
mengetik, komputerisasi, surat menyurat (korespondensi), kearsipan, agenda, pembukuan
(pekerjaan tata usaha kantor) dan melayani, adalah pekerjaan adminstrasi kesekretariatan
sebuah organisasi. Sebuah sekretariat sebagai sentra organisasi seharusnya tidak hanya
sekedar ”gudang” arsip dan dokumen, tetapi juga berfungsi sebagai posko (pusat komando)
pimpinan terhadap bawahan serta wadah ”think tanks” organisasi yang memformulakan
kebijakan strategis ke depan.

Administrasi, menurut Prof. Prajudi Atmosudirjo (LAN) dibedakan dalam 2 pengertian,


yakni administrasi dalam pengertian sempit dan administrasi dalam pengertian luas.
Administrasi dalam pengertian sempit, sebagai kegiatan tata usaha kantor (office work).
Sementara, administrasi dalam pengertian luas, ditinjau dari sudut proses, fungsi/tugas, dan
kepranataan/institusi. Dari sudut proses, administrasi merupakan keseluruhan proses, mulai
dari proses pemikiran, proses perencanaan, proses pengaturan, proses penggerakan, proses
pengawasan sampai dengan pencapaian tujuan. Ditinjau dari fungsi atau tugas, administrasi
berarti keseluruhan tindakan (aktvitas) yang harus dilakukan oleh seseorang yang
berkedudukan sebagai ”administrator” (memegang jabatan dalam manajemen suatu
organisasi). Ditinjau dari sudut kepranataan (institusi), administrasi dilihat dari kegiatan
dalam suatu lembaga melakukan aktivitas tertentu.

104
Administrasi memiliki unsur-unsur pokok, antara lain: masukan (input), proses/fungsi-fungsi
administrasi, keluaran (output), sasaran, dan administrasi sebagai sistem. Administrasi juga
mempunyai elemen-elemen seperti adanya orang-orang, pedoman/petunjuk, adanya kegiatan-
kegiatan, adanya kerjasama, adanya rasionalitas, dan adanya tujuan yang hendak dicapai.

Seberapa besar ukuran sebuah organisasi membutuhkan administrasi dalam pengelolaannya.


Semakin modern dan majunya sebuah organisasi sangat tergantung sistem administrasi yang
digunakan dan dijalankan. Semakin baik sistem administrasi dapat menjadi indikator semakin
baiknya organisasi tersebut.

Dalam sistem manajemen saja, misalnya dalam penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO
9000 sangat ditekankan dalam masalah administrasi berupa sistem dokumen. Dalam sebuah
audit dokumen, yang dijalankan hanya 2 hal saja, yakni kecukupan dan kesesuaian. Apakah
seluruh aktivitas organisasi sudah terdokumentasi dengan baik atau semua aktivitas
organisasi telah terangkum dalam representasi dalam bentuk dokumen? Semua dokumen
yang dibuat telah dijalankan dan dipraktikan dalam aktivitas organisasi sehari-hari?
Dari hal di atas, tampak bahwa menjalankan sebuah sistem manajemen (mutu) dan yang lain
(SM Lingkungan, K3, CSR) membutuhkan sistem administrasi (sistem dokumen) yang baik
dan benar.

Dalam bidang profesi juga demikian, seseorang yang dianggap profesional sebagai seorang
praktisi [ahli, pakar] terlepas metode ukurnya kalau sudah di lapangan akan teruji dengan
masalah yang menjadi bidang spesialisasinya dan mengalami pengembangan masalah di
lapangan. Apakah beliau lebih banyak menjadi administrator (konseptor, perencana,
perancang), praktisi lapangan, atau keduanya dengan proporsionalitas?

Kadang yang ada, bagus dalam adminstrasi tetapi lemah dalam praktik. Sebaliknya, kuat
dalam praktik tetapi berantakan dalam administrasi. Dalam melihat sebuah produk juga
demikian. Seorang insinyur hanya pandai membuat produk, tetapi yang mengetahui harga
pasarnya adalah seorang ekonom. Orang teknik yang membuat dan orang manajemen yang
menjualnya.

105
Jika demikian, pilihannya menjadi ”SUPERMAN” atau membuat ”SUPERTEAM”?
Lagi-lagi mengorganisasi, yang tidak lepas dari manajemen dan administrasi. [18/11/2012]

106
Sistem Pelaporan dari Bottom Management ke Middle Management,
Sebenarnya untuk Siapa dan untuk Apa?

Judul artikel yang panjang ini penulis tulis, karena kesulitan membuat judul yang sederhana
yang dapat merepresentasikan isi dan tidak dapat mendeskripsikan tentang isi artikel
lengkapnya.

Dalam berorganisasi, struktur organisasi menjadi suatu kebutuhan dalam membuat pemetaan
pengaturan personal organisasi. Dalam strukturisasi itulah terletak levelisasi jenjang
manajerial. Dari yang paling bawah, disebut sebagai bottom management, lalu middle
management, dan kemudian yang paling atas adalah top management.

Penulis sederhanakan pengertian strukturisasi manajerial ini pada organisasi kecil sebagai
pemisalan. Sebagai bottom management adalah seksi, dan sebagai middle management ialah
bidang, sedangkan top management diduduki oleh pimpinan.

Sebagai pencermat dan pengamat, dan merasa belum sebagai analis (ngukur diri masih jauh
dan banyak keterbatasan), dalam organisasi kebijakan yang datang dari pimpinan tidak dapat
diterapkan sampai di bawah apalagi sampai ke anggota (pengikut paling bawah). Persoalan
yang ada ada di tingkat bidang dan seksi. Jika kita sedikit berpikir positif kedua level ini tidak
mampu menerjemahkan kebijakan pimpinan. Bila kita berpikir negatif kedua level ini
memiliki kepentingan dan agenda sendiri yang tidak sejalan dengan kebijakan pimpinan atau
sistem yang berjalan di organisasi. Nah, hal ini adalah bentuk komunikasi dalam organisasi
yang top down bermasalah. Bagaimana dengan komunikasi bottom up-nya?

Penyampaian informasi dari bawah ke atas dalam bentuk komunikasi bottom up berupa
sistem pelaporan. Laporan adalah bentuk pertanggungjawaban dari hasil pekerjaan berupa
informasi yang berisi penjelasan, keterangan, data, analisis, implifikasi manjerial serta
simpulan dan catatan saran.

Bila organisasi tidak mempunyai sistem pelaporan yang standar, maka sistem pelaporan dari
level seksi ke bidang menjadi tidak jelas maksud, tujuan dan arahnya.

107
Penulis membagi 5 tipe kepala bidang yang selalu meminta laporan dari kepala seksi. Tipe
kepala bidang tersebut terdiri dari:
1. Profesional.
Laporan yang diminta sesuai dengan SOP organisasi dan dilakukan secara berkala baik
terhadap waktu maupun berdasarkan frekuensi selesainya pekerjaan. Laporan dari seksi ini
dijadikan bahan untuk laporan bidang yang diteruskan ke pimpinan.

2. Kolektor.
Kepala bidang yang senang mengumpulkan laporan terutama data yang berlebihan dari
semestinya. Kadang data yang tidak perlu juga diminta. Atau data yang tidak berkaitan
dengan bidang pekerjaannya dan bersumber dari seksi lain juga diminta.

3. Otoriter.
Kepala bidang yang sangat berkuasa bahkan membuat sistem sendiri yang belum digetuk
palu oleh pimpinan. Biasanya sistem kerja yang dibuat agar pekerjaanya lebih mudah dan
lebih ringan dari sistem yang ada. Mengatur seksi di bawahnya bahkan bisa saja seksi lain
dilibatkan yang membuat para seksi menjadi terbebani dan menyulitkan hanya demi
kepentingan sang ‘sok penguasa.’

4. Pragmatis.
Laporan yang ada dari seksi hanya untuk menyenangkan pimpinan bahwa kepala bidang
sudah menerima dari kepala seksi. Pimpinannya juga ‘angin-anginan’ dalam mengontrol
dan memeriksa laporan itu, tidak rutin dan tidak gradual. Sehingga sang kepala ‘ABS’
bidang ini meminta laporan kalau keberadaan sang bos ada di tempat dan mampir ke
mejanya. Laporan yang disampaikan kepala seksi bukan sesuai prosedur organisasi, tetapi
untuk kepentingan ‘cari muka’ dan ‘cari selamat’ saja.

5. Oportunis.
Memanfaatkan sarana dan fasilitas organisasi untuk kepentingan sendiri secara berlebihan,
termasuk masalah informasi yang tersaji dalam laporan. Kepala bidang menggunakannya
untuk proyeknya atau bisnisnya sendiri, dengan meminta kepada seksi baik yang ada di
bawahnya maupun bukan bawahannya.

108
Dengan demikian ketika berada dalam organisasi harus jelas. Ketika berada dalam rentang
waktu kerja organisasi maka semua aktivitas adalah untuk kepentingan organisasi.
Seorang pakar marketing dan sekaligus pengusaha, pernah menegur karyawannya untuk tidak
berbisnis [MLM] ketika sedang bekerja. Bukan saja bisa korupsi waktu, tetapi juga korupsi
pikiran, jelasnya.
Semoga berguna. [7/4/2013]

109
Yang Benar atau Yang Bagus?

Ketika berbicara tentang ilmu, maka yang saling berhadapan adalah benar dan salah. Lain
halnya dengan seni yang dihadapankan ialah bagus dan jelek. Demikian pula halnya jika
berbincang mengenai etika, yang saling berhadapan adalah baik dan buruk.
Dalam berorganisasi, fungsi-fungsi manajemen selayaknya dijalankan sebagai roda
penggerak yang berkontribusi bagi penentuan arah tujuan organisasi yang dikendalikan sang
pemimpin.

Pelaporan dalam sistem kerja yang menggunakan fungsi-fungsi manajemen merupakan


sesuatu yang sangat penting. Pelaporan merupakan bentuk pertanggung jawaban dari
pekerjaan yang sudah dilakukan. Pelaporan bisa menjadi alat bukti bahwa seseorang sudah
mengerjakan sesuatu. Hasilnya dapat diketahui dari laporan yang dibuat. Laporan dapat
berupa data kasar (mentah), data olahan, data yang sudah dianalisis, hasil pengamatan, atau
berupa komentar, pendapat, dan saran. Laporan bisa diumpamakan surat dari pelapor
(pengirim) kepada orang yang menerima laporan. Biasanya laporan diserahkan dari bawahan
ke atasan. Dari anak buah ke Bos. Laporan bisa juga berbentuk lisan, tetapi bentuk laporan ini
kurang dapat dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya.

Intinya, pelaporan adalah menyampaikan informasi dari penerima tugas kepada pemberi
tugas, bahwa tugas sudah diselesaikan dan hasilnya dapat diketahui dari laporan tersebut.
Oleh karena itu, laporan yang dibuat seharusnya sesuai dengan informasi yang didapatkan
apa adanya, sesuai kenyataan, dan objektif.

Sejak lama sudah dikenal adanya laporan ”ABS”, yakni Asal Bos Senang. Si anak buah
meramu laporan sesuai keinginan si Bos. Bisa untuk kepentingan pribadi si Bos dalam rangka
melakukan tebar pesona, unjuk citra diri, menjaga imej, atau mempertahankan reputasinya.
Isi laporan tidak sesuai dengan yang seharusnya dilaporkan. Laporan yang dibuat di luar
prosedur dan sistem organisasi. Si Bos pun memang tidak mau menerima laporan yang tidak
sesuai kehendak pribadinya. Artinya, di sini berlaku Laporan Bagus. Bukan Laporan Benar.
Bos yang benar hanya mau menerima laporan yang benar sekalipun laporan itu jelek.

110
Laporan yang bagus bisa benar atau bisa juga salah, yang penting bagus. Sebaliknya laporan
yang benar, dapat merupakan laporan yang bagus dapat juga berupa laporan yang jelek. Hal
ini yang orang kebanyakan menghindarinya, kecuali orang-orang tertentu yang bekerja
dengan sesuai SOP dan konsisten dengan sistem organisasi yang berlaku.

Analogi yang hampir sepadan adalah di bidang inspeksi dan pengawasan mutu. Dalam proses
memproduksi barang, terutama produk masal untuk mengetahui karakteristiknya tidak
mungkin dilakukan pengamatan atau pengujian semua produk seluruhnya. Disamping tidak
efisien, juga tidak efektif. Kendala waktu, alat dan sumber daya yang semuanya bermuara
pada biaya.

Jumlah produk yang besar tersebut diasumsikan sebagai populasi dan untuk melakukan
pemeriksaan karakteristiknya dilakukan pengambilan contoh atau sampel. Sampel diambil
berdasarkan sejumlah produk tertentu yang sedang atau sudah diproduksi. Sampel juga dapat
diambil berdasarkan tiap rentang waktu tertentu. Sampel yang diambil seharusnya bisa
mewakili dari populasi produk yang ada. Maka dari itu sampel bisa bagus atau jelek sesuai
barang yang diproduksi. Akan tetapi sampel itu benar cara pengambilan dan
pengumpulannya.

Bagi pekerja yang asal kerja (tidak mematuhi SOP) atau kerja berdasarkan ”pesanan”, sangat
mengutamakan untuk memperoleh sampel yang bagus. Tentu saja, sampel tersebut tidak
merepresentasi populasi produk yang ada. Sampel yang benar adalah sampel yang
representatif (dapat mewakili karakteristik sejumlah populasi produk). Bila pengambilan
sampel dipilih yang bagus saja, maka sampel tersebut tidak sama dengan produk yang ada.
Bisa terjadi sampelnya bagus, tetapi produk sebenarnya jelek.

Dari kedua hal di atas tentang pelaporan dan inspeksi/pengawasan mutu, pada dasarnya
berkeinginan hanya untuk mendapatkan akhir yang bagus. Namun, melupakan SOP kerja.
Apalah artinya bila keinginan itu dilakukan dengan cara-cara yang salah. Metode kerja yang
inkonsistensi dan nonprosedural. Bukankah lebih baik melakukan cara yang benar sesuai
SOP yang ada. Jika belum mendapatkan hasil yang bagus, dievaluasi kembali SOP atau
sistem produksinya. Dengan demikian akan dapat diketahui sumber kesalahan tersebut.
Berorientasi hasil memang perlu, tetapi lebih perlu lagi konsistensi pada proses. [19/1/2014]

111
Antara pemimpin, sistem, dan budaya (kultur) organisasi

Sejatinya seorang pemimpin dapat memiliki kemampuan mewarnai organisasi (lingkungan)


yang dinaunginya. Kekuatan kepemimpinan yang ditimbulkan berasal dari karakter pribadi
sang pemimpin itu sendiri dan mesin organisasi (sistem) yang dibuatnya. Namun, sebelum
pemimpin itu membuat mesin barunya telah ada sistem yang berlaku sejak organisasi
didirikan bersamaan dengan berkembangnya budaya (kultur) organisasi.

Pemimpin yang baik, tentunya tetap berpijak pada kemajuan organisasi. Adakalanya sistem
dan budaya lama yang bertolak belakang dengan kemajuan, harus diubah disesuaikan dengan
tuntutan masa depan. Masalahnya, seberapa besar kekuatan yang dimiliki pemimpin tersebut?
Juga, perlu diingat bahwa kekuatan pengaruh pemimpin tetap harus berada dalam sistem
yang sudah baku dan menjadi konsensus seluruh anggota.

Pada akhirnya, sang pemimpin harus sadar dengan batas waktu kepemimpinannya dan oleh
karena itu perlunya disiapkan regenerasi. Tanpa ada kaderisasi, organisasi hanya menjadi
permainan dari dominasi pemimpin dengan sikap otoriternya. Pemimpin boleh berganti,
sedangkan sistem ―yang baik, benar dan mengacu pada visi misi organisasi menuju masa
depan―haruslah tetap ada dan lestari sepanjang hidup. [20/5/2012]

112
Figur dan atau Sistem?

Seorang sahabat menanyakan kepada penulis perihal Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang
sangat fenomenal tersebut tentang gaya blusukan-nya. Mantan walikota Solo tersebut sangat
intens melakukan sidak ke jajarannya yang paling bawah dan rajin menemui warga meskipun
di tempat yang kumuh. Gaya sang Gubernur yang demikian rupanya dicermati teman penulis
dengan benar tidaknya dari segi manajemen.

Penulis membagi menjadi dua bagian terpisah yakni kepemimpinan yang mengutamakan
figur dan manajemen dengan membangun sistem. Seorang pemimpin harus proporsional
dalam menempatkan dirinya selaku leader dan manager dengan waktu, tempat, situasi dan
kodisi yang tepat. Sebagai leader penulis menilai tindakan itu sangat tepat. Akan tetapi,
sebagai manager untuk tahap awal harus demikian sambil membuat sistem kepemimpinan
berlapis/bertingkat sehingga ketika sistem manajemen sudah terbentuk frekuensi blusukan
dapat dikurangi. DKI Jakarta yang sudah berganti-ganti Gubernurnya, sistem manajemen dan
sistem kepemimpinan antar level tidak berjalan dengan baik. Apa yang di gagas dan dikonsep
dari atas, tidak turun sampai ke bawah. Celakanya tidak ada monitoring dan evaluasi.
Melakukan monitoring dan melakukan inspeksi adalah bagian dari fungsi manajemen, yakni
controlling (pengawasan). Bisa dilakukan dengan terjadwal dan diagendakan sesuai program
manajemen. Atau tanpa diprogram, dengan mengimplementasikan naluri karakter
kepemimpinan.

Sebuah perusahaan di kawasan industri Banten, dalam merekrut karyawan baru langsung
diberikan training. Kemudian karyawan tersebut ditempatkan di suatu unit produksi. Selama
masa percobaan (3 bulan) karyawan baru dapat saja berpindah tempat sampai 3 kali sambil
terus dilakukan evaluasi. Setelah usai masa percobaan, karyawan akan tidak dipakai lagi
(dikeluarkan), diangkat menjadi karyawan tetap, atau dikirim ke luar negeri (negara induk
perusahaan itu) untuk ditraining peningkatan keahlian. Direktur perusahaan itu tidak pernah
bertemu muka dan tidak kenal dengan karyawan yang dievaluasi tersebut. Namun, sang
Direktur dapat meloloskan beberapa karyawannya untuk training ke luar negeri. Perusahaan
tersebut memiliki karyawan ribuan orang. Tampak bahwa sistem evaluasi sudah berjalan
baik, sehingga antara fakta dan data berkorelasi. Keputusan Direktur yang hanya membaca

113
data yang valid tersebut sudah cukup untuk mengambil keputusan yang tepat. Beliau tidak
perlu blusukan melihat cara kerja si karyawan atau memanggilnya untuk diwawancarai.
Demikianlah kalau sistem dipakai dan dijalankan. Antar level dalam strukturisasi manajerial
bergerak laksana mesin, dan sistem kepemimpinan di setiap level diberi otoritas berkreasi
pada koridor tugas dan fungsinya.

Nah, masalahnya sampai kapan frekuensi blusukan masih tinggi dilakukan? Jika sistem tidak
pernah dirintis untuk dibuat dan dikembangkan, maka selama itu pula kontrol sampai lapisan
terdepan dan terbawah harus ditinjau. Waktu dalam membangun sistem bisa sampai satu
periode pemerintahan (kepengurusan) atau beberapa periode. Masalah berikutnya akan
muncul, ketika periode berikut tidak melanjutkan sistem yang tengah dibangun. Celakanya,
bila si penerus kembali dengan ‘kultur’ lama yang dengan perkataan lain mencerabut sistem
yang sudah ditata. Setiap periode merasa sok pintar dan menuruti egonya sendiri. Hanya
sekedar memenuhi nafsu menjabat dan syahwat berkuasa. Visi dan misinya tidak sejalan
dengan visi dan misi organisasi. Akhirnya yang tampak di permukaan organisasi tanpa visi.
Oleng oleh gelombang perubahan dan pasrah digilas roda zaman. Inilah problem klasik setiap
organisasi di Indonesia. [24/2/2013]

114
Kepemimpinan vs Budaya Organisasi

Ketika organisasi baru berdiri, sang pendiri dapat menentukan arah organisasi menuju masa
depan. Kalau pendiri terdiri dari banyak orang, maka para pendiri juga dapat menciptakan
budaya (kultur) organisasi tersebut disamping ideologi, tentunya. Kultur terbentuk dengan
sendirinya akibat sistem yang dibuat lebih dahulu oleh pendiri. Persepsi dan deskripsi
anggota yang berkembang menjadi sistem makna bersama yang teranut dalam bentuk nilai,
norma, kebiasaan, dan tradisi yang menjadi karakteristik setiap organiasasi. Oleh karena itu
kepemimpinan dapat sejalan dengan kultur organisasi ketika organisasi masih dipimpin oleh
pendiri apalagi merangkap sebagai pemilik.

Namun, masalah akan berbeda ketika organisasi tersebut telah berjalan dalam rentang waktu
panjang sementara tidak ada atau tidak ada yang mampu mengawal visi, misi, dan ideologi
organisasi, maka kultur yang terjadi ibarat bola liar yang tak terkendali lagi. Kultur ini akan
mengakar kuat, mendarah daging, tertancap dalam pribadi-pribadi anggota yang sulit diubah
untuk diajak maju. Mereka tetap bertahan dalam keamanan, kemapanan, dan kenyamanan.

Segelintir individu menikmati, tetapi organisasi jalan di tempat tertinggal jauh oleh organisai
lain yang lahir lebih belakangan (lebih muda). Nah, dengan kondisi seperti ini maka
tantangan bagi sang pemimpin untuk mendobrak kejumudan kultur tersebut. Masalahnya,
mau dan atau mampu tidak sang pemimpin tersebut. Kecanggihan dan kekuatan sistem yang
dibuat sang pemimpin (manajer) harus berhadapan dengan kultur yang ada. Salah mengambil
jalan, justru bukan tidak mungkin pemimpin yang jatuh sebelum merobohkan kultur yang
bobrok. Lain halnya kalau si pemimpin hanya sekedar mengejar jabatan akan cari aman, cari
makan, dan cari kaya. Celakanya lagi jika si bos ikut terlibat dan melanggengkan kerusakan
kultur tersebut. Kalau keadaan demikian, maka tinggal mempersiapkan kain kafan buat
organisasi yang tengah menuju sekaratul maut itu.

Kalau kepemimpinan dimaknai sebagai memberi pengaruh dan melakukan perubahan ke arah
kemajuan, maka tak ada kata lain bagi pemimpin untuk berani melakukan gebrakan dan
mewarnai apa yang dipimpinnya.

115
Insya Allah, niat yang tulus dan lurus, akhlak yang terpuji, ilmu yang mumpuni akan mampu
merubah keadaan. Bukan tidak mungkin, kalau ikhtiar ini tidak didukung oleh orang-orang
yang masih “waras” meskipun jumlahnya sedikit. [15/4/2012]

116
Menyikapi Organisasi Tanpa Visi

Organisasi sejatinya memiliki visi yang tegas dan misi yang jelas. Organisasi yang tidak
demikian biasanya berasal dari perorangan atau keluarga. Organisasi tersebut bukan milik
orang banyak, melainkan dimiliki sepenuhnya oleh si pendiri. Pendiri sangat kuat
pengaruhnya terhadap semua jajaran fungsionaris organisasi mulai dari manajemen level atas
sampai manajemen tingkat bawah. Semua pimpinan di setiap level manajemen tidak
mempunyai otoritas atau sangat dibatasi kewenangannya. Semua pimpinan laksana wayang
saja dengan dalangnya tetap pada pendiri sekaligus pemilik organisasi.

Organisasi yang tanpa visi atau visi hanya ditulis dalam dokumen dan menjadi hiasan dinding
sekretariat kantor, tidak akan merekrut orang profesional untuk memajukan organisasi.
Biasanya yang direkrut adalah orang dekat dengan para petinggi, sesama hubungan saudara,
berasal dari kampung yang sama, dan relasi pertemanan. Sedangkan untuk tenaga teknis biasa
dengan menyabot dari organisasi lain dengan memberi iming-iming akan diberikan
kompensasi dan fasilitas yang lebih dari sebelumnya. Sistem perekrutan tidak ada dan bahkan
dalam merekrut pemilik, direksi, dan general manager sudah biasa melakukan, yang
seharusnya hanya menjadi tugas personalia. Uniknya tupoksi (tugas pokok dan fungsi) setiap
personal tidak jelas.

Jika dipakai fungsi manajemen yang paling kuno, yaitu POAC (planing, organizing,
actuating, controlling), maka organisasi ini hanya melaksanakan “A”-nya dari POAC
tersebut. Aktivitas ada, tetapi tanpa ada perencanaan dari atas, tidak ada pengorganisasian
dan pengkoordinasian, serta abai terhadap pengawasan. Hal ini tampak dengan tidak adanya
rapat rutin yang semestinya menjadi kebutuhan pihak-pihak setingkat manajerial.
Pemahaman begitu berharganya sebuah rapat beserta nilai kepentingannya tidak ada. Seolah-
olah rapat (meeting) merupakan kegiatan pemborosan waktu dan bukan merupakan bagian
dari pekerjaan serta tidak penting. Rapat hanya dilakukan layaknya sidang istimewa. Ketika
terjadi masalah yang dianggap gawat baru kemudian diadakan rapat. Isinya bukan untuk
menyelesaikan masalah dan mengantisipasi masalah tersebut agar tidak terulang, melainkan
hanya untuk mendengarkan cerita ngalor ngidul pimpinan dan kebijakannya yang tidak bijak.

117
Sehingga rapat yang sifatnya hearing itu bukan hanya menjemukan dan membosankan, sudah
sampai memuakan bagi orang-orang yang rajin ikut rapat.

Lucunya, mengabaikan rapat sebagai sarana pengorganisasian dan pengkoordinasian, justru


membiarkan aktivitas di level menengah dan bawah. Apalagi dalam keadaan luar biasa,
aktivitas di tingkat ujung tombak menjadi antara ada dan tiada. Sangat sayang waktu di buang
begitu saja. Sebenarnya waktu tersebut dapat dimanfaatkan untuk memberikan pelatihan atau
mengevaluasi kinerja sebuah bagian. Namun, lagi-lagi di tingkat pimpinan atas organisasi
tidak ada petanya untuk memberdayakan personal. Yang ada hanya memperdayakannya.
MSDM yang seharusnya berarti manajemen sumber daya manusia menjadi “mari selamatkan
diri masing-masing”. Sebab kepalanya membuat kebijakan berstandar ganda. Dalam
menyampaikan hak dan aspirasi ‘para prajurit’ digunakan kebijakan dan aturan dari atasan,
sementara mengenai masalah kewajiban dan tanggung jawab digunakan peraturan dan
prosedur. UU dan peraturan resmi dipakai untuk mengkebiri hak dan membatasi kebutuhan
‘wong cilik’, sedangkan ‘aturan semaunya atasan’ buat kepentingan manajemen untuk meraih
keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Bagian personalia masih jauh dari fungsi
bagian SDM yang sesungguhnya, mungkin lebih tepatnya masih berada pada level tata usaha.

Dagelan yang lain, dalam hal menerapkan sistem manajemen mutu. Kebijakan pertama,
semua peraturan legal yang ada awalnya diikuti dengan penuh. Prosedur diterapkan sampai
ke manajemen tingkat bawah. Setelah prosedur diterapkan dan dilaksanakan dengan baik oleh
manajemen tingkat bawah dan dikontrol oleh manajemen tingkat menengah, tiba-tiba muncul
kebijakan untuk tidak menerapkan sistem tersebut. Sistem yang seharusnya berjalan sesuai
prosedur, apalagi mutu pastilah bicaranya putih – hitam, yaitu bagus – jelek, atau berstandar
– non standar. Adagium di teknik sangat jelas, YES or NOT ! Lain halnya di marketing atau
politik dan mungkin hukum di negara ini yang mudah datar dan gampang bergelombang,
suka diombang-ambingkan, dan senang berada di grey area (daerah abu-abu). Manajemen
tingkat atas mengambil kebijakan tersebut dengan alasan profit dan efisiensi. Kalau mutu
diterapkan dengan ketat, maka laba semakin kecil dan tidak efisien, demikian ungkapnya.
Mereka tidak melihat aspek dan akses yang timbul akibat kebijakan tersebut.

Mental personal yang telah terbentuk di personal secara baik menjadi rusak oleh sistem yang
dibuat manajemen organisasi itu sendiri. Yang pada gilirannya akan berpengaruh pada
produktivitas dan kinerja serta kepuasan kerja. Cibiran yang sering keluar adalah, jangankan

118
kerja salah kerja benar saja disalahkan. Dan perlu diingat, mendidik mental yang rusak akan
lebih sulit dan makan waktu lebih lama daripada mencetak keterampilan/keahlian seseorang.

Kebijakan kedua, peratuan legal yang ada sengaja tidak dituruti. Semua aktivitas dijalankan
semaunya saja. Perhitungan secara teknik untuk suatu masalah tidak dihiraukan dengan
alasan rugi dan rugi. Justru, yang terjadi dalam rentang waktu yang tidak lama kemudian
menghasilkan kerugian yang jauh lebih besar, akibat kerusakan yang berkomplikasi ibarat
penyakit. Ketika hal itu terjadi yang menjadi target kesalahan adalah manajemen tingkat
menengah, kenapa tidak mengikuti prosedur yang sudah berlaku dan telah diketahui.
Demikian juga ketika masalah merembet ke produk hingga mendapat keluhan dari pelanggan
dan bahkan ada pelanggan yang menolak dan berniat mengembalikannya. Manajemen di
tingkat atas sibuk mencari celah mengelak dan sasaran tetap ditumpahkan ke manajemen
tingkat menengah dengan alasan yang paling mudah adalah kurang atau tidak ada
pengontrolan. Sebenarnya, inti masalahnya dari sistem dan kebijakan manajemen tingkat atas
sendiri.

Berada dalam organisasi yang tidak memiliki sistem setiap personal harus cerdas mengikuti
irama yang berdendang. Kadang irama itu berjalan teratur (harmonis), kadang tidak teratur
(sengau). Semua harus diikuti dengan sigap mengikuti perubahan setiap saat. Terlalu cepat
mengikuti dan sampai melewati, akan membuat kecewa dan stres, karena semua aktivitas
jauh dari konsep idealisme. Sebaliknya, jika terlalu abai atau lambat mengikuti akan
tertinggal dengan perkembangan yang pada akhirnya akan mengganggu tugas dan tanggung
jawab sehari-hari.

Selain itu mempunyai prinsip pribadi sendiri yang terukur sendiri dengan standar sendiri.
Tidak mudah mengikuti keadaan yang akan menurunkan standar, tetapi juga tidak agresif
menjangkau ke tingkat yang lebih tinggi dari standar yang dimiliki. Tetap berada pada ukuran
dan standar sendiri. Karena risikonya, dapat menjadi lebih pintar atau bisa membuat mental
menjadi rusak. Pilih yang mana? [6/4/2014]

119

Anda mungkin juga menyukai