Anda di halaman 1dari 26

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEOLOGI

PRAKTIKUM GEOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI

ACARA VI (ANALISIS BATUAN INDUK HIDROKARBON)

LAPORAN

OLEH :

WINDI LESTARI
F 121 17 040

PALU
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................. 1
DAFTAR GAMBAR .............................................. Error! Bookmark not defined.
BAB I ........................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN .................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 3
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3
1.3 Tujuan ............................................................................................................. 4
BAB II....................................................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 5
2.1 Batuan Induk ................................................................................................... 5
2.2 Kekayaan Material Organik ............................................................................ 5
2.3 Tipe Material Organik .................................................................................... 6
2.4 Kematangan Material Organik........................................................................ 7
2.5 Kerogen ........................................................................................................... 8
BAB III ................................................................................................................... 15
METODOLOGI ...................................................................................................... 15
3.1 Alat dan Bahan............................................................................................. 15
3.2 Prosedur Kerja ............................................................................................. 15
BAB IV ................................................................................................................... 18
PENYAJIAN DATA .............................................................................................. 18
4.1 Hasil Interpretasi Kandungan Material Organik .......................................... 18
4.2 Hasil Interpretasi Komposisi Material Organik ........................................... 18
4.3 Hasil Interpretasi Tingkat Kematangan Material Organik .......................... 18
BAB V .................................................................................................................... 21
ANALISIS SEISMIK DAN SIKUEN STRATIGRAFI ......................................... 21
5.1 Geokimia Batuan Induk ............................................................................... 21
5.2 Kandungan Material Organik ...................................................................... 21

1
5.3 Komposisi Material Organik ....................................................................... 22
5.4 Tingkat Kematangan Material Organik ....................................................... 22
BAB VI ................................................................................................................... 24
PENUTUP .............................................................................................................. 24
6.1 Kesimpulan .................................................................................................. 24
6.2 Saran ............................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 25

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem hidrokarbon (petroleum system) sampai saat ini merupakan hal yang
masih sangat menarik untuk dikaji, dengan banyaknya Brown Field (Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral, 2011) yang ada di Indonesia maka eksplorasi
untuk meningkatkan produksi dan mencari sistem hidrokarbon dari cekungan
produksi yang telah ada adalah tujuan dari penyelidikan ini. Objek dari penelitian
ini adalah data-data geokimia dan geologi yang terintegrasi menjadi sebuah
penelitian tentang karakteristik batuan induk.

Batuan induk adalah salah satu parameter yang terpenting dalam Petroleum
System yang berfungsi sebagai penghasil hidrokarbon atau batuan sumber.
Beberapa peneliti bahkan menempatkan batuan induk sebagai prioritas nomor satu
yang harus ada dalam Petroleum System (Magoon dan Dow, 1994). Batuan induk
umumnya berukuran butir halus dan disusun oleh material klastik, karbonat, dan
karbon organik. Kandungan material karbon organik inilah yang secara langsung
mempengaruhi kualitas suatu batuan induk. Semakin tinggi kandungan organiknya,
maka akan semakin bagus kualitas batuan induknya. Menurut Waples (1985),
batuan induk dengan kandungan organik lebih dari 0.5% mampu menggenerasikan
hidrokarbon dengan kapasitas terbatas – baik. Batuan induk memiliki peran utama
dalam pembentukan hidrokarbon, sehingga keberadaan batuan yang menjadi
sumber penghasil hidrokarbon ini perlu diteliti kandungan organiknya, tingkat
kematangan dan penyebarannya dalam suatu cekungan.

Identifikasi suatu batuan menggunakan metode geokimia hidrokarbon


merupakan salah satu langkah awal untuk mengetahui apakah batuan tersebut
termasuk batuan induk yang dapat berpotensi menghasilkan hidrokarbon atau tidak.
Suatu batuan dapat dikatakaan sebagai batuan induk apabila mempunyai material
organik, kualitas untuk menghasilkan hidrokarbon dan kematangan termal.

3
Secara umum pembentukan minyak bumi terjadi karena penumpukan zat
organik terutama plankton pada dasar laut, dan tertimbun dengan sedimen halus
dalam keadaan reduksi, sehingga terawetkan. Hal ini hanya terjadi di cekungan
sedimen yang terdapat pada suatu ambang dari laut terbuka, dengan sedimentasi
yang cepat, dibarengi dengan penurunan. Setelah itu kita mendapatkan suatu urut –
urutan batuan yang kaya akan zat organik dan berwarna hitam yang disebut batuan
induk.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada laporan ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja karakteristik batuan induk?


2. Bagaimana menentukan tingkat kematangan hidrokarbon berdasarkan
data seismik?
3. Bagaimana menentukan petrloeum system batuan induk?
1.3 Tujuan
Tujuan pada laporan ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat mengetahui apa saja karakteristik batuan induk.


2. Dapat menentukan tingkat kematangan hidrokarbon berdasarkan data
seismik.
3. Dapat menentukan petrloeum system batuan induk.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batuan Induk


Secara umum pembentukan minyak bumi terjadi karena penumpukan zat
organik terutama plankton pada dasar laut, dan tertimbun dengan sedimen halus
dalam keadaan reduksi, sehingga terawetkan. Hal ini hanya terjadi di cekungan
sedimen yang terdapat pada suatu ambang dari laut terbuka, dengan sedimentasi
yang cepat, dibarengi dengan penurunan. Setelah itu kita mendapatkan suatu urut –
urutan batuan serpih yang kaya akan zat organik dan berwarna hitam yang disebut
batuan induk (Gani, et al., 2016). Waples (1985) membagi batuan induk mejadi
tiga jenis, yaitu:
1. Batuan induk efektif Batuan sedimen yang telah membentuk dan
mengeluarkan hidrokarbon.
2. Mungkin batuan induk Batuan sedimen yang potensinya belum
dievaluasi, tetapi mempunyai kemungkinan untuk membentuk dan
mengeluarkan hidrokarbon.
3. Batuan induk potensial Batuan sedimen pra-matang yang diketahui dapat
membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon apabila tingkat kematangan
termalnya cukup tinggi (mencapai oilwindow/jendela minyak). Untuk
menentukan batuan termasuk ke dalam batuan induk ada beberapa
parameter yang harus dipenuhi oleh batuan tersebut, yaitu:
a. Kekayaan material organik.
b. Tipe material organik.
c. Kematangan material organik.
Peter dan Cassa ( 1994 ) membagi 3 jenis batuan induk, yaitu;
a. Poor source rock 0-5 % TOC
b. Fair source rock 0.5-1 % TOC
c. Food source rock 1-2 % TOC

5
2.2 Kekayaan Material Organik
Jumlah kandungan material organik dalam batuan induk merupakan aspek
penting untuk dievaluasi. Konsentrasi minimum material organik yang hadir dalam
batuan harus dipenuhi agar dapat berubah menjadi hidrokarbon dan hidrokarbon
tersebut dapat dikeluarkan melalui migrasi primer. Selain itu, jumlah minimum
material organik harus dipenuhi untuk suatu ketebalan dan pelamparan batuan
tertentu, agar jumlah ekonomis hidrokarbon tercapai. Peters dan Cassa (1994)
menggunakan hasil analisis TOC dan pirolisis Rock-Eval sebagai parameter
penentu potensi atau kekayaan material organik (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Parameter geokimia dalam analisis potensi dan kekayaan material

organik pada batuan induk pra-matang (Peters dan Cassa, 1994).

2.3 Tipe Material Organik


Penentuan tipe material organik merupakan hal yang sama pentingnya dengan
evaluasi kekayaan material organik. Hal tersebut berdasarkan pada kenyataan
bahwa perbedaan tipe material organik akan menghasilkan fraksi hidrokarbon
berbeda. Hasil analisis geokimia dari data pirolisis, dapat dijadikan parameter dalam
menentukan tipe kerogen dan produk hidrokarbon yang akan dihasilkan pada
puncak kematangan (Peters dan Cassa, 1994). Parameter data pirolisis yang
digunakan untuk penentuan tipe hidrogen adalah indeks hidrogen (HI) dan rasio
antara S2 terhadap S3 (Tabel 2.2). Diagram van Krevelen, pada awalnya digunakan
untuk menentukan tipe kerogen dalam batubara berdasarkan perbandingan atom
H/C dengan O/C, kemudian dikembangkan untuk menentukan tipe batubara dan
penyebaran kerogen dalam batuan sedimen (Tissot dan Welte, 1984). Selanjutnya,

6
diagram van Krevelen digunakan Peters dan Cassa (1994) untuk menentukan tipe
kerogen dan kecenderungan produk yang dihasilkan berdasarkan rasio indeks
hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) yang diperoleh dari data pirolisis. (Gani, et
al., 2016)

Tabel 2.2 Parameter penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan pada
puncak kematangan (Peters dan Cassa, 1994).

2.4 Kematangan Material Organik


Evolusi termal (pematangan) kerogen dalam batuan induk secara fisika dan
kimia sama dengan proses pembatubaraan (coalification). Peningkatan pembebanan
sedimen akan menaikkan suhu secara progresif, akibatnya akan terjadi perubahan
fisika dan kimia dari lignit menjadi bitumen yang pada akhirnya akan membentuk
antrasit (Thomas, 2002). Kematangan diperlukan untuk mengetahui apabila suatu
batuan induk telah memasuki jendela minyak. Batas jendela minyak ini sangat
tergantung pada tipe material organiknya. Pada umumnya jendela minyak dicapai
pada nilai Ro sekitar 0,6%. Penentuan kematangan dari fraksi bitumen didapat dari
data kromatografi gas (GC) dan kromatografi gas spektrometri massa (GCMS).
Kompilasi hasil analisis reflektansi vitrinit, nilai Tmaks dan indeks produksi data
pirolisis Rock-Eval, dapat diaplikasikan untuk mengetahui tingkat kematangan
suatu batuan. Parameter geokimia dalam penentuan fasa kematangan termal
menurut Peters dan Cassa (1994) dapat dilihat pada Tabel (2.3).

7
Tabel 2.3 Parameter geokimia dalam penentuan fasa kematangan termal (Peters &
Cassa, 1994)

2.5 Kerogen
Kerogen merupakan bagian material organik dalam batuan sedimen yang tidak
dapat larut dalam pelarut organik biasa (Waples, 1985), sedangkan bagian yang
larut disebut dengan bitumen. Kerogen tidak larut karena molekulnya berukuran
besar. Kerogen terdiri atas partikel yang berbeda-beda yang disebut maseral, suatu
terminologi yang diambil dari petrologi batubara. Maseral adalah “mineral
organik”, hubungannya terhadap kerogen sama dengan hubungan mineral terhadap
batuan. Kerogen di dalam batuan sedimen tertentu terdiri atas banyak partikel yang
seringkali berasal dari berbagai sumber, jadi hanya sedikit sekali kerogen yang
terdiri atas satu macam maseral saja. Waples (1985) membagi kerogen menjadi
empat tipe berdasarkan jenis maseralnya (Tabel 2.4), dan van
Krevelen membagi tipe kerogen berdasarkan rasio hidrogen dan oksigen
Tabel 2.4 Tipe kerogen (Waples, 1985).

8
Gambar 2.1 Diagram Van Krevelen dari variasi rasio H/C dan O/C serta tipe kerogen yang
terbentuk

Berdasarkan analisis kimia, Institut Francais du Petrole (IFP) membagi kerogen


menjadi empat tipe yaitu:

1. Kerogen tipe I

Kerogen tipe ini sangat jarang ditemukan karena berasal dari alga danau.
Kehadiran kerogen tipe ini terbatas pada danau yang anoksik dan jarang
didapatkan pada lingkungan laut. Kerogen tipe ini memiliki kapasitas yang
tinggi untuk menghasilkan hidrokarbon cair.

2. Kerogen tipe II

Kerogen tipe ini berasal dari beberapa sumber yaitu alga laut, polen dan
spora, lilin dari daun, dan resin fosil. Selain itu, kerogen ini juga mengandung
lemak dari sel bakteri. Berbagai macam sumber tersebut dikelompokkan ke
dalam satu tipe karena sama-sama mempunyai kapasitas yang baik untuk
menghasilkan minyak. Kerogen tipe II pada umumnya ditemukan dalam batuan
sedimen yang diendapkan di laut pada kondisi reduksi.

9
3. Kerogen tipe III

Kerogen tipe ini terdiri dari material organik darat yang hanya sedikit
mengandung lemak atau zat lilin. Selulosa dan lignin adalah penyumbang
terbesar pada kerogen tipe III. Kerogen tipe III mempunyai kapasitas produksi
hidrokarbon cair lebih rendah daripada kerogen tipe II, dan jika tanpa campuran
kerogen tipe II biasanya kerogen tipe III ini menghasilkan gas. Kerogen tipe III
ini kaya akan struktur aromatik, dengan O/C cukup tinggi dan H/C yang relatif
rendah, dapat dibandingkan dengan vitrinit dari batubara.

4. Kerogen tipe IV

Kerogen tipe ini terdiri dari rombakan organik dan material yang teroksidasi
yang berasal dari berbagai sumber. Kerogen ini biasanya tidak memiliki potensi
menghasilkan hidrokarbon.

Komposisi kerogen dipengaruhi oleh proses pematangan termal (katagenesis dan


metagenesis) yang akan mengubah kerogen. Kerogen berubah secara progresif
selama proses pembebanan sedimen (burial) menjadi molekul yang lebih kecil,
pemanasan bawah permukaan menyebabkan terjadinya reaksi kimia yang
memecahkan sebagian fragmen kerogen menjadi molekul minyak atau gas.
Tahapan perubahan kerogen tersebut menurut Bordenave (1993) adalah:

1. Diagenesis awal Proses ini ditandai oleh hilangnya nitrogen dan sulfur pada
kedalaman beberapa meter.
2. Diagenesis Proses ini ditandai oleh hilangnya oksigen, karbon mono- dan
dioksida, serta sejumlah kecil material yang mengandung oksigen pada suatu
zona kedalaman dengan temperatur di bawah 70 - 80°C.
3. Katagenesis Proses ini ditandai oleh hilangnya semua hidrogen ke dalam
bentuk hidrokarbon: minyak berat terbentuk lebih dulu, kemudian hidrokarbon
yang lebih ringan, kondensasi, dan pada akhirnya terbentuk gas kering.
4. Metagenesis Proses ini terjadi pada sedimen yang dalam, pada temperatur
lebih dari 150°C. Pada tahap ini terjadi penyusunan kembali fraksi aromatik.

10
2.6 Analisis Tingkat Kematangan Material Organik

Evolusi termal dari batuan induk selama diagenesis, katagenesis dan


metagenesis dapat merubah parameter fisika dan kimia dari material
organik.Parameter tersebut dapat dianggap sebagai indikator maturasi/kematangan
yang diperoleh dari hasil pengamatan optikal dari kerogen, analisis fisika-kimia dari
kerogen serta analisis kimia dari bitumen (oil).

a) Reflektansi Vitrinit (Ro)


Metode yang paling umum digunakan untuk menentukan
kematangan kerogen menggunakan teknik mikroskopis optik untuk
menentukan refleksi dari maseral vitrinit (collotelinite; tipe III kerogen)
yang diukur di bawah lampu yang dipantulkan (Teichmülle, 1987;
Mukhopadhyay dan Dow, 1994; Taylor et al., 1998). Pengukuran refleksi
vitrinit (dinyatakan sebagai persentase dan disebut dengan singkatan Ro%)
bukan hanya teknik yang kuat untuk menilai kematangan termal kerogen itu
juga relatif murah dan mudah dilakukan. Mayoritas penelitian berfokus pada
penetapan potensi pembangkitan minyak bumi dari shale menggunakan
pengukuran refleksi vitrinit untuk menentukan kematangan termal (Curtis
et al., 2012; Hazra et al., 2015; Hackley dan Cardott, 2016).
Penggunaan refleksi vitrinit sebagai ukuran kematangan termal
memiliki beberapa keuntungan, termasuk keberadaan vitrinit dalam serpih
yang disimpan sejak zaman Paleozoikum dan kemampuan untuk
menghasilkan pengukuran yang dapat direproduksi dengan murah dengan
peralatan laboratorium yang relatif sederhana. Biasanya jauh lebih mahal
dan memakan waktu untuk menggunakan biomarker geokimia untuk
mengukur kematangan termal daripada reflektansi vitrinit (Hazra et al.,
2019)
Namun demikian, pengukuran refleksi vitrinit dalam serpih
terkadang dapat memberikan hasil yang menyesatkan atau salah. Butir
vitrinit dalam serpih, karena sifatnya yang tersebar, umumnya kurang
berlimpah dan lebih kecil ukurannya hadir dalam batubara. Lebih lanjut,
butiran vitrinit sering dapat dioksidasi, diubah, dengan permukaannya

11
diadu, menjadikannya rawan kesalahan ketika digunakan untuk
memberikan pengukuran reflektansi. Selain itu, beberapa serpih
mengandung vitrinit ulang yang melimpah yang terkikis dari formasi yang
lebih tua dan dicampur dengan vitrinit kontemporer dalam formasi. Dalam
keadaan seperti itu, analisis harus menggunakan opsi lain untuk pengukuran
kematangan termal, seperti biomarker geokimia dan / atau Rock-Eval Tmax
untuk memberikan perkiraan konsisten kematangan termal (Hazra et al.,
2019).
b) Pyrolysis Tmax
Rock Eval Pyrolysis adalah simulasi proses hydrocarbon
generation di laboratorium dengan cara melakukan pemanasan bertahap
pada sampel batuan induk dalam keadaan tanpa oksigen pada kondisi
atmosfer inert dengan temperatur yang terprogram. Pemanasan ini
memisahkan komponen organik bebas (bitumen) dan komponen organik
yang masih terikat dalam batuan induk (Espitalie et al., 1977). Pemanasan
pada sampel batuan dilakukan pada temperatur yang lebih tinggi dari pada
kondisi sebenarnya, sehingga dapat dihasilkan hidrokarbon pada waktu
yang lebih pendek/cepat. pirolisis sering digunakan sebagai indikator
kematangan, karena ketika kematangan kerogen meningkat, suhu di mana
laju maksimum pirolisis terjadi menmeningka. Parameter Tmax (suhu di
mana puncak S2 mencapai maksimumnya) telah menjadi bagian standar
dari data keluaran Rock-Eval. Karena Tmax diperoleh tanpa biaya tambahan
saat pirolisis dilakukan, ini telah menjadi analisis yang popular (Waples,
1985).
Namun, ada beberapa masalah yang terkait dengan data Tmax dan
interpretasinya. Sebagai contoh, Tmax tergantung pada jenis kerogen. Karena
tipe kerogen biasanya bervariasi dari sampel ke sampel dalam profil sumur,
Tmax sering tidak menunjukkan perkembangan teratur dengan kedalaman.
Data Tmax yang terisolasi tidak dapat dipercaya (Waples, 1985). Deskripsi
Pyrolisis Data :

12
 S1
Menunjukkan jumlah hidrokarbon dalam batuan, merupakan kandungan
hidrogen bebas yang dapat diuapkan tanpa melalui proses pemecahan
kerogen. Nilai S1 mencerminkan jumlah hidrokarbon bebas yang terbentuk
insitu (indigeneous hydrocarbon) karena kematangan termal maupun
karena adanya akumulasi hidrokarbon dari tempat lain (migrated
hydrocarbon).
 S2
Menunjukkan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan melalui thermal
degradation/proses pemecahan kerogen yang mewakili jumlah hidrokarbon
yang dapat dihasilkan batuan selama proses pematangan secara alamiah
selama proses pyrolisis. Ini merupakan indikator yang paling penting dari
kerogen dalam menghasilkan hidrokarbon. Harga S1 dan S2 diukur dalam
satuan mg hidrokarbon/gram batuan (mg HC/g Rock).
 Tmax
Adalah temperatur dimana terjadi puncak nilai S2 terjadi. Ini
menggambarkan temperature at peak generation.
 S3
Menggambarkan jumlah karbon dioksida dalam kerogen yang berhubungan
dengan jumlah oksigen dalam kerogen. Kandungan oksigen yang tinggi
berhubungan dengan woody-cellulosic source material atau proses oksidasi
yang kuat selama diagenesis, kandungan oksigen yang tinggi dari kerogen
adalah indikator negatif dari hydrocarbon source potential.
Kombinasi parameter – parameter yang dihasilkan oleh Rock-Eval
Pyrolisis dapat digunakan sebagai indikator jenis serta kualitas batuan
induk, yaitu:
 Potential Yield (S1 + S2)
Potential Yield (PY), assuming immature sample, menunjukkan jumlah
hidrokarbon dalam batuan baik yang berupa komponen bebas maupun yang
berupa kerogen. Satuan ini dipakai sebagai penunjuk jumlah total
hidrokarbon maksimum yang dapat dilepaskan selama proses pematangan

13
batuan induk dan jumlah ini mewakili generation hydrocarbon source
potential.
 Production Index (PI)
Jumlah hidrokarbon yang tersedia untuk produksi. Nilai PI menunjukkan
jumlah hidrokarbon bebas relatif (S1) terhadap jumlah total hidrokarbon
yang hadir (S1 + S2). PI dapat digunakan sebagai indikator tingkat
kematangan batuan induk.
 Hydrogen Index (HI) dan Oxygen Index (OI)
HI merupakan hasil dari S2 x 100/%TOC dan OI adalah S3 x 100/%TOC.
Kedua parameter ini harganya akan berkurang dengan naiknya tingkat
kematangan. Harga HI yang tinggi menunjukkan batuan induk didominasi
oleh material organik yang bersifat oil prone, sedangkan nilai OI tinggi
mengindikasikan dominasi material organik gas prone. Waples (1985)
menyatakan nilai HI dapat digunakan untuk menentukan jenis hidrokarbon
utama dan kuantitas relatif hidrokarbon yang dihasilkan.
Penentuan tipe kerogen berdasarkan analisa Rock Eval Pyrolisis dapat
dilakukan dengan memplot nilai – nilai HI dan OI pada diagram "pseudo"
van Krevelen, atau dengan menggunakan plot HI – Tmax.
c) Thermal Alteration Index (TAI)

Meskipun penentuan TAI bersifat subjektif, penggunaan standar


hati-hati dan jenis palynomorph yang sama dalam setiap analisis sangat
membantu reproduksibilitas. Pengukuran TAI seringkali cukup akurat dan
berkorelasi sangat baik dengan hasil dari teknik lain. Pengukuran TAI
dilaksanakan pada butir polen bisaccate kapan saja memungkinkan. Jika
tidak ada butir yang dapat ditemukan, nilai-nilai TAI dapat diperkirakan,
dengan tingkat kepercayaan lebih rendah, dari kerogen yang tak berbentuk.
Masalah utama muncul dengan pekerja yang tidak berpengalaman,
kurangnya standarisasi yang tepat, atau paling umum, tidak adanya spora
dan serbuk sari dalam sampel. Nilai TAI yang diperkirakan dari material
amorf selalu dicurigai dan harus dikuatkan dengan analisis lain (Waples,
1985).

14
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yaitu problem set,
data seismik, pensil warna, penggaris, kertas A4, double tip/ lem kertas, alat tulis
menulis, kotak alat, lap kasar dan lap halus.

3.2 Prosedur Kerja


1. PROSEDUR KERJA I: Geokimia Batuan Induk Prosedur analisis yang
digunakan untuk mengetahui salah satu parameter dalam mengetahui
karakteristik geokimia batuan induk adalah Rock Eval
Pyrolisis.

1) Analisis data Rock Eval Pyrolisis yang terdiri dari data S1, S2 dan
S3.

2) Uraikan makna dari masing-masing nilai yang dihasilkandan


implikasinya terhadap kandungan hidrokarbon dalam masingmasing
batuan induk.

2. PROSEDUR KERJA II : Kuantitas dan kekayaan material organik


Kadar material organik (MO) yang terdapat dalam batuan sedimen
umumnya dinyatakan sebagai Karbon Organik Total atau di singkat TOC
(Total Organic Carbon).

1) Berdasarkan data problem-set, identifikasi potensi batuan induk


berdasarkan nilai TOC`

2) Identifikasi implikasi nilai TOC terhadap karakteristik geokimia


batuan induk hidrokarbon tersebut.

3. PROSEDUR KERJA III: Analisis Komposisi material organik


Komposisi material asal organik sangat menentukan tipe dan kuantitas
hidrokarbon yang akan terbentuk.

15
1) Hitung nilai HI, dan OI berdasarkan formula yang umum digunakan
dalam perhitungannya (cek literatur rujukan)

2) Lakukan interpretasi nilai HI, OI dan PI, lalu identifikasi potensi


produk hidrokarbon yang dihasilkan.

3) Berdasarkan karakteristik HI dan produk hidrokarbon yang


dihasilkan, interpretasi jenis material organik, tipe kerogen dan
lingkungan asalnya.

4) Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, lakukan kombinasi data untuk


menjelaskan sejarah geologi dan mekanisme pembentukan
hidrokarbonnya.

4. PROSEDUR KERJA IV: Analisis tingkat kematangan material organik


Analisis tingkat kematangan hidrokarbon umumnya untuk mengetahui
diagenesis material organik dalam memahami pembentukan
hidrokarbon.

1) Lakukan analisis nilai reflektasi vitrinit (Ro) berdasarkan


masingmasing data dan identifikasi tingkat kematangan masing-
masing batuan induk.

2) Analisis implikasi tingkat kematangan terhadap karakteristik


geokimia batuan induknya.

3) Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, lakukan kombinasi data dengan


parameter kematangan lainnya, lalu interpretasi sejarah (fase) dan
mekanisme pembentukan hidrokarbonnya berdasarkan Diagram
Krevelen.

5. PROSEDUR KERJA V: Kompilasi data hasil analisis Pada problem set


terdapat tiga data utama dari formasi batuan yang berbeda. Setelah anda
melakukan analisis performasi:

1) Pada akhir pembahasan, lakukan kompilasi data untuk melihat


perbedaan antara masing-masing formasi
16
2) Uraikan sejarah geologi dan hal-hal yang mungkin mempengaruhi
jika ada kesamaan atau perbedaan karakteristik batuan induk dan
hidrokarbon yang diproduksi.

3) Berikan saran untuk perusahaan mengenai masing-masing formasi


batuan induk yang anda analisis untuk kelanjutan program eksplorasi
atau produksi.

17
BAB IV
PENYAJIAN DATA

4.1 Hasil Interpretasi Kandungan Material Organik

Gambar 4. 1 Rata- Rata Kandungan Material Organik Tiap Formasi

4.2 Hasil Interpretasi Komposisi Material Organik

Gambar 4. 2 Rata- Rata Komposisi Material Organik Tiap Formasi

4.3 Hasil Interpretasi Tingkat Kematangan Material Organik

Gambar 4. 3 Rata-Rata Tingkat Kematangan Material Organik Tiap Formasi

18
Gambar 4. 4 Hasil Ploting OI dan HI pada Diagram Van Kreleven Formasi Low Eosen

Gambar 4. 5 Hasil Ploting OI dan HI pada Diagram Van Kreleven Formasi Low Miosen

19
Gambar 4. 6 Hasil Ploting OI dan HI pada Diagram Van Kreleven Formasi Up Eosen

20
BAB V
ANALISIS SEISMIK DAN SIKUEN STRATIGRAFI

5.1 Geokimia Batuan Induk

• S1
Total hidrokarbon bebas (gas dan minyak) di dalam sampel (dalam miligram
hidrokarbon per gram batuan). Dari hasil Perhitungan Nilai rata – rata S1
pada tiap formasi yaitu pada formasi low-miocene, upeocene, dan low
eocene berturut-turut adalah 0,13; 7,63; dan 2,63.

• S2
Total hidrokarbon yang dihasilkan melalui proses thermal cracking material
organik yang tidak menguap. S2 merupakan indikasi kuantitas hidrokarbon
batuan yang memiliki potensial menghasilkan hidrokarbon melalui
penguburan dan pematangan. Dari hasil Perhitungan Nilai rata – rata S2
pada tiap formasi yaitu pada formasi low-miocene, upeocene, dan
loweocene berturut-turut adalah 0,43; 7,93; dan 3,14.
• S3
S3 merupakan indikasi total oksigen di dalam kerogen dan digunakan untuk
menghitung Oksigen Indeks. Dari hasil Perhitungan Nilai rata – rata S3 pada
tiap formasi yaitu pada formasi low-miocene, up-eocene, dan low-eocene
berturut-turut adalah 0,38; 0,58; dan 0,83.

5.2 Kandungan Material Organik


Berdasarkan hasil interpretasi nilai Total Organik Karbon (TOC) terhadap
kandungan material organiknya didapati hasil bahwa pada formasi lowmiocene
dengan kedalaman 2550 – 3345 memiliki kandungan TOC yaitu 0,33 %
menurut klasifikasi (petters dan cassa, 1994) batuan induk dengan kandungan
material organik tergolong BURUK.
Untuk formasi up-eocene dengan kedalaman 3345 – 4360 memiliki
kandungan TOC yaitu 2,74 % menurut klasifikasi (petters dan cassa, 1994)
batuan induk dengan kandungan material organik tergolong SANGAT BAIK.

21
Untuk formasi low-eocene dengan kedalaman 4360 – 5340 memiliki
kandungan TOC yaitu 1,81 % menurut klasifikasi (petters dan cassa, 1994)
batuan induk dengan kandungan material organik tergolong CUKUP BAIK.

5.3 Komposisi Material Organik


Pada formasi low-eocene ini memiliki jenis organik Humic atau tumbuhan
tingkat tinggi sehingga dapat dijelaskan bahwa pada formasi ini terbentuk pada
lingkungan terestrial dengan tipe kerogen yaitu tipe III sehingga hasil
produknya yaitu Gas. .

Pada formasi up-eocene ini memiliki jenis organik Sapropelic atau


tumbuhan tingkat rendah sehingga dapat dijelaskan bahwa pada formasi ini
terbentuk pada lingkungan lacustrine hal ini dapat terjadi karena terjadi
kenaikan muka air laut yang diakibatkan adanya gaya ekstension sehinggu
terjadi subsidance. tipe kerogen yaitu tipe II sehingga hasil produknya yaitu
Minyak.

Pada formasi low-miocene ini memiliki jenis organik Humic atau tumbuhan
tingkat tinggi sehingga dapat dijelaskan bahwa pada formasi ini terbentuk pada
lingkungan terestrial hal ini diakibatkan oleh penurunan muka air laut. tipe
kerogen yaitu tipe III sehingga hasil produknya yaitu Gas.

5.4 Tingkat Kematangan Material Organik

Untuk menentukan tingkat kematangan organik dapat dilakukan dengan


menggunakan klasifikasi (petters dan cassa, 1994) dimana parameter yang
digunakan yaitu Tmax dan Reflektansi Vitrinit (Ro). Dari hasil analisis didapati
hasil bahwa pada formasi low-miocene dengan kedalaman 2550 – 3345
memiliki kandungan Tmax dan Ro sebesar 300,05 dan 0,27 sehingga tingkat
kematangannya yaitu Immature.

Untuk formasi up-eocene dengan kedalaman 3345 – 4360 memiliki


kandungan Tmax dan Ro sebesar 441,25 dan 0,90 sehingga tingkat
kematangannya yaitu Peakmature.

22
Untuk formasi low-eocene dengan kedalaman 4360 – 5340 memiliki
kandungan Tmax dan Ro sebesar 454,58 dan 1,06 sehingga tingkat
kematangannya yaitu LateMature.

23
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
• Kedalaman suatu formasi mempengaruhi tingkat kematangan suatu minyak
dan gas yang terkandung didalamnya.

• Pada formasi low-miocene dengan kedalaman 2550 – 3345 memiliki


kandungan TOC yaitu 0,33 % menurut klasifikasi (petters dan cassa, 1994)
batuan induk dengan kandungan material organik tergolong BURUK.
Untuk formasi up-eocene dengan kedalaman 3345 – 4360 memiliki
kandungan TOC yaitu 2,74 % menurut klasifikasi (petters dan cassa, 1994)
batuan induk dengan kandungan material organik tergolong SANGAT
BAIK. Untuk formasi low-eocene dengan kedalaman 4360 – 5340 memiliki
kandungan TOC yaitu 1,81 % menurut klasifikasi (petters dan cassa, 1994)
batuan induk dengan kandungan material organik tergolong CUKUP BAIK.

• Formasi low-miocene dengan kedalaman 2550 – 3345 memiliki kandungan


Tmax dan Ro sebesar 300,05 dan 0,27 sehingga tingkat kematangannya
yaitu Immature. Untuk formasi up-eocene dengan kedalaman 3345 – 4360
memiliki kandungan Tmax dan Ro sebesar 441,25 dan 0,90 sehingga tingkat
kematangannya yaitu Peakmature. Untuk formasi low-eocene dengan
kedalaman 4360 – 5340 memiliki kandungan Tmax dan Ro sebesar 454,58
dan 1,06 sehingga tingkat kematangannya yaitu LateMature.

6.2 Saran
Semoga dengan penyusunan laporan ini dapat memberikan kita pemahaman
mengenai batuan induk dan bermanfaat untuk kedepannya. Kepada penulis
diharapkan agar lebih banyak mencari jurnal sebagai referensi untuk dijadikan
bahan tulisan dalam laporan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Curtis, M. E., Cardott, B. J., Sondergeld, C. H., Rai, C. S., 2012. Development of
organic porosity in the Woodford Shale with increasing thermal maturity. Int
J Coal Geol 103:26–31

Evaluation Of Shale Source Roocks and Reservoirs by Bodhisatwa Hazra, David


A. Wood, Devleena Mani, Pradeep k Singh, Ashok K. Singh.

Geochemistry In Petroleum Exploration by Doughlas W. Waples

Petroleum Geoscience by Knut Bjorlykke. Hackley, P. C., Cardott, B. J., 2016.


Application of organic petrography in North American shale petroleum
systems. Int J Coal Geol 163:8–51

Hazra, B., Varma, A. K., Bandopadhyay, A. K., Mendhe, V. A., Singh, B. D.,
Saxena, V. K., Samad, S. K., Mishra, D. K., 2015. Petrographic insights of
organic matter conversion of Raniganj basin shales, India. Int J Coal Geol
150–151:193–209

Hazra, B., Wood, D. A., Mani, D., Singh, P. K., & Singh, A. K., 2019. Evaluation
of Shale Source Rocks and Reservoirs. Switzerland: Springer Nature
Switzerland.

Mukhopadhyay, P. K., Dow, W. G., 1994. Vitrinite reflectance as a maturity


parameter: applications and limitations. ACS Symposium Series 570, pp 294

Taylor, G. H., Teichmüller, M., Davis, A., Diessel, C. F. K., Littke, R., Robert P.,
1998. Organic petrology. Gebrüder Borntraeger, Berlin

Teichmüller, M., 1987. Recent advances in coalification studies and their


application to geology. In: Scott AC (ed) Coal and coal-bearing strata: recent
advances. Geol Soc London Spec Publ 32:127–169

Waples, D. W., 1985. Geochemistry in Petroleum Exploration. International Human


Resources Development Corporation, Boston.

25

Anda mungkin juga menyukai