Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan jiwa atau mental disorder merupakan penyakit dengan berbagai
penyebab yang banyak ditemui di negara-negara modern ataupun negara maju,
dan industri serta menjadi empat masalah kesehatan utama. Pasien gangguan
jiwa banyak sekali yang mengalami distorsi kognitif serta mengarah ke
gangguan perilaku oleh kesalahan logika, dan kekeliruan penggunaan alasan
atau imajinasi individu yang tidak sesuai dengan kenyataan (Stuart dalam
Emilyani, 2015).
Data World Health Organization (WHO) terdapat penderita gangguan jiwa
sekitar 35 juta terkena depresi, 60 juta terkena bipolar, serta 21 juta orang
terkena skizofrenia (WHO 2016). Jumlah penderita gangguan jiwa di
Indonesia saat ini adalah 236 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa
ringan 6% dari populasi dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat, 14,3%
diantaranya mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15-
24 tahun mengalami gangguan jiwa. Peningkatan gangguan jiwa yang terjadi
saat ini akan menimbulkan masalah baru yang disebabkan ketidakmampuan
dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penderita (Riskesdas, 2013).
Di Indonesia dengan berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial
dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus
menerus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan
penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang (Kemenkes, 2016).
Yosep (2009) dalam Emilyani (2015) menyatakan pasien gangguan jiwa
memiliki pandangan yang sempit mengenai suatu hal bahkan dirinya seperti
tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang dan sulit membina
hubungan relasi dengan orang lain. Data dari RSUD Banyumas pada tahun
2018 didapat data 640 orang mengalami gangguan jiwa di ruangan Nakula
sendiri terdapat beberapa masalah gangguan jiwa seperti gangguan persepsi
sensori: halusinasi sebanyak 222 pasien, resiko perilaku kekerasan sebanyak
2

198 pasien, dengan masalah keperawatan isolasi sosial sebanyak 177 paisen,
dan harga diri rendah sebanyak 43 pasien (Rekam Medik RSUD Banyumas,
2018). Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang banyak terdapat dalam
masyarakat yang ditandai dengan penyimpangan pikiran dan persepsi serta
afek yang tidak wajar.
Skizofrenia merupakan salah satu diagnosa medis gangguan jiwa berat
yang sering terjadi di Indonesia. kejiwaan dan kondisi medis yang dapat
mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi emosional dan tingkah
laku dan dapat mempengaruhi fungsi normal kognitif (Depkes, 2015).
Skizofrenia penyebab disfungsi sosialnya adalah interaksi sosial yang rendah.
Rendahnya interaksi sosial pada pasien skizofrenia tercermin melalui hasil
observasi terhadap perilaku ketika pasien melakukan percakapan, tampak
bahwa alur berpikir pasien skizofrenia sulit dipahami orang lain karena
pembicaraannya terkesan janggal dan tidak berkaitan dengan topik, ekspresi
dan intonasi tidak ekspresif serta tidak menatap lawan bicara (El Malky
et.al.,2016). Data rekam medis Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondhohutomo
Semarang menunjukkan jumlah pasien rawat inap sebanyak 4929 orang
dengan jumlah pasien dengan skizofrenia yang menjalani rawat inap sebanyak
3171 (64%) (Rekam Medis RSJ, 2019). Skizofrenia termasuk masalah
pandangan negatif (stigma). Skizofrenia memiliki 2 gejala, yaitu gejala positif
dan gejala negatif (Hawari,2014) Gejala positif (nyata) yaitu isolasi sosial,
halusinasi, waham, risiko perilaku kekerasan (Hawari, 2014). Gejala negatif
(defisit perilaku) meliputi afek tumpul dan datar, menarik diri dari masyarakat,
tidak ada kontak mata, tidak mampu mengekspresikan perasaan, tidak mampu
berhubungan dengan orang lain, tidak ada spontanitas dalam percakapan,
motivasi menurun dan kurangnya tenaga untuk beraktivitas. Salah satu
masalah keperawatan yang paling sering ditemui pada pasien skizofrenia
adalah gangguan persepsi sensori halusinasi. (Hawari,2014).
Halusinasi merupakan distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respons
neurobiologis maladaptif (Stuart, 2016). Halusinasi biasanya muncul pada
pasien gangguan jiwa diakibatkan terjadinya perubahan orientasi realita,
3

pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Yusuf, 2014). Solesvik
(2016) mengatakan bahwa 26,5% pasien gangguan early psychosis pada
remaja mengalami halusinasi.
Hilangnya kontrol diri pada pasien halusinasi menyebabkan pasien
menjadi panik karena perilakunya dikendalikan oleh halusinasi. Dalam situasi
ini penderita halusinasi dapat melakukan tindakan merusak lingkungan,
mencelakai orang lain, bahkan melakukan bunuh diri. Scott (2017) dalam
penelitiannya menyampaikan bahwa mereka yang mengalami halusinasi pada
usia 14-21 tahun meningkatkan risiko bunuh diri, psikopatologi psikopat dan
nonpsikotik, cenderung kesulitan mencari pekerjaan, serta memiliki
kemungkinan 4 kali lebih besar untuk mengalami kualitas hidup yang buruk.
Penelitian lain yang dilakukan oleh (Shawyer, 2010) menyatakan bahwa
seseorang yang mengalami halusinasi tidak hanya membahayakan dirinya
tetapi juga membahayakan orang lain karena halusinasi seringkali
menyuruhnya untuk melakukan kekerasan. Agar tidak berdampak buruk maka
penderita halusinasi harus segera ditangani secara tepat. Pemberian tindakan
asuhan keperawatan yang tepat dan sesuai standar mampu meningkatkan
kemampuan penderita halusinasi dalam mengontrol diri dan menurunkan
gejala-gejala halusinasi (Wahyuni, 2010).
Peran dan keterlibatan keluarga serta peran perawat dalam proses
penyembuhan dan perawatan pasien gangguan jiwa sangat penting, karena
peran keluarga sangat mendukung dalam proses pemulihan penderita
gangguan jiwa. Keluarga dapat mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan
perilaku anggota keluarga. Keluarga juga mempunyai fungsi dasar seperti
memberi kasih sayang, rasa aman, rasa memiliki, dan menyiapkan peran
dewasa individu di masyarakat. Keluarga merupakan suatu sistem, maka jika
terdapat gangguan jiwa pada salah satu anggota keluarga maka dapat
menyebabkan gangguan jiwa pada anggota keluarga (Muhith, 2011).
Perawat memandang manusia secara holistik dan menggunakan diri
sendiri secara terapeutik. Perawat memberi stimulus yang konstruktif sehingga
akhirnya klien belajar cara penanganan masalah yang merupakan modal dasar
4

dalam menghadapi berbagai masalah (Muhith, 2011). Pemberian asuhan


keperawatan pada penderita halusinasi bertujuan membantu penderita
meningkatkan kesadaran akan tanda-tanda halusinasi sehingga penderita
mampu membedakan antara dunia gangguan jiwa dengan kehidupan nyata
(Stuart 2016). Tujuan lain dari pemberi asuhan keperawatan pada penderita
halusinasi antara lain menggunakan strategi pelaksanaan (SP). SP 1 yaitu
membantu pasien untuk mengenal halusinasinya (jenis, isi, waktu terjadi,
frekuensi, situasi, respon, dan upaya pasien mengontrol halusinasinya).
Menjelaskan cara yang dapat dilakukan pasien untuk mengontrol halusinasi
dengan cara mengardik. Membantu pasien menyusun jadwal kegiatan latihan
menghardik halusinasi. SP 2 yaitu mengevalusi jadwal latihan SP 1
menghardik halusinasi dan berikan pujian pada pasien, dan melatih pasien
meminum obat. SP 3 yaitu mengevaluasi hasil kegiatan harian pasien sesuai
SP 1 dan SP 2 yaitu menghardik dan minum obat serta berikan pujian pada
pasien, dan melatih pasien cara bercakap-cakap dengan orang lain untuk
mengontrol halusinasi. SP 4 yaitu mengevaluasi hasil kegiatan harian SP 1, SP
2, dan SP 3 yaitu menghardik, bercakap-cakap dan minum obat serta berikan
pujian pada pasien, dan melatih pasien untuk melakukan 2 aktivitas harian
untuk mengontrol halusinasi (Wuriyaningsih, Windari, 2018).
Terapi spiritual sudah terbukti dapat menurunkan halusinasi pasien.
Hidayati et al (2014) dan Gasril (2015) keduanya merekomendasikan terapi
dzikir sebagai terapi tambahan, tetapi sampai saat ini terapi dzikir belum ada
dalam standar asuhan keperawatan. Karya tulis ilmiah ini penerapan yang
akan dilakukan adalah dengan kombinasi terapi generalis individu dengan
terapi spiritual yaitu dzikir yang digabungkan dengan tehnik distraksi
menghardik yang diharapkan dapat mengefisienkan dan mengefektifkan
tindakan keperawatan. Terapi spiritual Islam dikombinasi dalam asuhan
keperawatan walaupun pasien muslim hidup sebagai kaum minoritas (Rassool,
2018). Penelitian Yoesuf (2015) dilaksanakan di daerah Aceh dengan sebagian
besar penduduknya beragama Islam. Masyarakat Aceh yang membudaya
spiritual Islam dalam kehidupan sehari seperti dalam merawat orang dengan
5

masalah kejiwaan dilakukan dengan membaca ayat-ayat alqur’an atau


berzdikir.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dimana angka kejadian halusinasi,
maka penulis merumuskan masalah dalam Karya Tulis Ilmiah sebagia
berikut “Bagaimanakah gambaran analisa pelaksanaan Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di
Instalasi Pelayanan Jiwa Terpadu RSUD Banyumas”.

C. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan Umum
Penulis karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
Pendengaran di Instalasi Pelayanan Jiwa Terpadu RSUD Banyumas
2. Tujuan Khusus
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
halusinasi pendengaran, penulis dapat:
a. Penulis mampu mengumpulkan data-data subjektif dan objektif melalui
pengkajian, wawancara, pemeriksaan fisik dan rekam medis sebagai
pacuan untuk menegakan diagnose pada pasien halusinasi pendengaran.
b. Penulis mampu menganalisa data secara tepat pada pasien halusinasi
pendengaran.
c. Penulis mampu menyusun diagnosa yang tepat untuk pasien dengan
halusinasi pendengaran.
d. Penulis mampu merencanakan serta melaksanakan asuhan keperawatan
pada pasien halusinasi pendengaran.
e. Penulis mampu mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah di
laksanakan pada pasien dengan halusinasi pendengaran.
f. Penulis mampu mendokumentasi asuhan keperawatan yang telah
dilaksanakan sesuai proses asuhan keperawatan
6

D. Manfaat Studi Kasus


1. Manfaat Bagi Perawat dan Tenaga Kesehatan
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan dan menjadi contoh
dalam melakukan intervensi keperawatan pada pasien Halusinasi, guna
meningkatkan kualitas dan perbaikan kesehatan.
2. Manfaat bagi Rumah Sakit
Dapat menjadi masukan atau bahan rujukan bagi bidang keperawatan
dalam mengembangkan kebijakan terkait dengan perkembangan
kompetensi pada pasien Halusinasi
3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Bermanfaat sebagai bahan masukkan pengembangan ilmu keperawatan
dan sebagai bahan referensi dalam meningkatkan ilmu keperawatan yang
berbasis pada intervensi mandiri.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan tugas akhir ini terdiri dari 5 bab yang meliputi:
1. BAB I Pendahuluan
Dalam Pendahuluan membahas tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, serta sistematika
penulisan.
2. BAB II Tinjauan Pustaka
Konsep dasar meliputi pengertian, etiologi, tanda dan gejala,
psikopatologi/pohon masalah, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan
medis dan keperawatan, asuhan keperawatan antara lain pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi, penerapan berdasarkan hasil penelitian.
3. BAB III Metodologi Penulisan Karya Tulis Ilmiah
Pada metodologi penulisan karya tulis ilmiah meliputi rencana
penulisan studi, subyek studi kasus, metode pengumpulan data, instrument
studi kasus, proses studi, identifikasi kasus, pemilihan kasus, kerja
lapangan/ pengelolaan kasus, pengelolaan data reduksi data, penyajian
7

data, dan penarikan kesimpulan, interprestasi data, tempat studi kasus,


etika studi kasus.
4. Daftar pustaka
5. Lampiran

Anda mungkin juga menyukai