Anda di halaman 1dari 58

SISTEM PERLINDUNGAN

DAN JAMINAN SOSIAL


(Suatu Kajian Awal)

Disusun oleh:
Yohandarwati
Lenny N. Rosalin
I D G Sugihamretha
Sanjoyo
Utin Kiswanti
Guntur Pawoko
Susiati Puspasari
Fithriyah

Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial, dan


Pemberdayaan Perempuan
BAPPENAS
SAMBUTAN

Perlindungan dan Jaminan Sosial menjadi isu yang perlu dipikirkan setelah
berakhirnya kegiatan Jaring Pengaman Sosial (JPS/Social Safety Net) pada tahun
2002. JPS dirancang sebagai suatu program penyelematan atau rescue program untuk
mengatasi dampak krisis sosial dan ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997.
Target JPS adalah kelompok masyarakat miskin yang semakin meningkat jumlahnya
karena dampak krisis. Paska JPS sampai sekarang, pemerintah telah mengalihkan
beberapa kegiatan yang dibiayai dana JPS ke kegiatan sektoral yang dibiayai oleh
APBN. Hal ini dapat dikenali terutama dari beberapa kegiatan di sektor kesehatan,
pendidikan, keluarga berencana, dan kesejahteraan sosial.
Sementara itu, kesadaran pemerintah akan perlunya suatu jaminan sosial
terlihat dari pembentukkan suatu Tim Sistem Jaminal Sosial Nasional (Tim SJSN)
melalui Surat Keputusan Presiden RI tahun 2001, yang tujuan utamanya adalah
memfasilitasi terbitnya Undang undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Adapun kajian awal sistem perlindungan dan jaminan sosial (SPJS) mengacu
kepada amanat UUD 1945 maupun UUD 1945 Amandemen ke IV. Suatu SPJS juga
merupakan bentuk bantuan bagi masyarakat miskin dan rentan ketika berbagai
goncangan terjadi, seperti krisis sosial dan ekonomi tahun 1997 itu. Kerentanan juga
dapat ditimbulkan oleh perubahan paradigma internasional seperti globalisasi yang
sangat berkaitan erat dengan daya saing di pasar bebas internasional. Belum lagi
dikaitkan dengan perubahan paradigma di lingkup dalam negeri, seperti reformasi dan
desentralisasi. Semua hal tersebut, menyebabkan pergeseran tatanan sosial dan lokal.
Kerentanan masyarakat, yang sering berbentuk kemiskinan pada tahap intervensi awal
dapat segera diatasi antara lain dengan akses untuk memperoleh jaminan dan
perlindungan sosial. Dengan demikian hak-hak rakyat untuk memperoleh pelayanan
sosial dasar akan sama dan terjaga di seluruh wilayah NKRI.
Harapan saya, kajian awal yang dilaksanakan oleh Direktorat Kependudukan,
Kesejahteraan Sosial dan Kependudukan secara swakelola ini dapat menjadi salah
satu bahan – di samping hasil studi dan laporan lain yang dikerjakan berbagai pihak,
seperti yang telah diselesaikan oleh Tim SJSN, Depkes dan Depsos, serta ILO –
penyusunan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan suatu Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial Nasional yang mantap dan berkelanjutan, bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Jakarta, April 2003


Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan,
Bappenas

Dra. Leila Retna Komala, MA

i
KATA PENGANTAR

Kajian awal sistem perlindungan dan jaminan sosial (SPJS) dilaksanakan oleh
Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan,
sebagai bentuk kegiatan Unit Kerja Eselon II, Bappenas, tahun anggaran 2002. Semua
kegiatan mulai dari persiapan, penyelenggaraanseminar dan diskusi, interview di
pusat dan daerah, sampai dengan penyusunan laporan dikerjakan dalam tahun
anggaran 2002. Penyajian laporan sementara dan penyempurnaan laporan akhir
dikerjakan dalam awal tahun 2003.
Kajian ini dilandasi oleh pentingnya pelayanan dan perlindungan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan UUD 1945 Amandemen II pasal 28 H, ayat 3
menyatakan, bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat. Di samping itu,
perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus 2002, Pasal 34 ayat 2
menyatakan, bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan”. Disadari bahwa kajian SPJS merupakan langkah awal
menuju terwujudnya suatu SPJS nasional yang terstruktur. Oleh karena itu, kajian ini
lebih merupakan suatu pemetaan dari perlindungan dan jaminan sosial yang ada di
Indonesia sampai saat ini, daripada suatu kajian tentang model SPJS nasional untuk
Indonesia. Dengan demikian hasil kajian awal ini perlu dikembangkan lebih jauh dan
diperkaya dengan berbagai telaah dan studi lain yang berkaitan dengan jaminan dan
perlindungan sosial, untuk sampai kepada suatu bentuk SPJS Nasional yang baik dan
tepat untuk Indonesia.
Pentingnya suatu SPJS nasional sudah mulai disadari banyak kalangan.
Namun, di pihak lain, pertanyaan yang sifatnya meragukan kepentingan SPJS
khususnya di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia juga diutarakan oleh
pihak-pihak yang pesimistik. Beberapa pernyataan mengatakan bahwa SPJS hanya
tepat untuk negara maju yang telah mapan dan mampu membiayai keperluan
masyarakatnya sendiri. Adapula yang menyatakan bahwa kenyataan yang terjadi di
beberapa negara maju justru menyiratkan bahwa suatu SPJS nasional justru menjadi
beban pemerintah. Misalnya, sistem semacam SPJS yang juga dikenal sebagai social
security system dari tahun ketahun memerlukan biaya yang meningkat karena
semakin bertambahnya jumlah penduduk yang perlu memperoleh perlindungan sosial
karena berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, yang dialami para orang-tua
tunggal terutama para wanita kepala rumah tangga, anak terlantar dan anak jalanan,
dan semakin meningkatnya jumlah penduduk yang menganggur karena semakin
sempitnya lapangan kerja yang ada.
Disadari pula bahwa tersusunnya suatu SPJS nasional memerlukan studi yang
mendalam dan perbaikan sistem yang terus menerus. Oleh karena itu, suatu SPJS
yang diharapkan sangat mungkin baru akan tercapai pada kurun 20-40 tahun kedepan.
Negara-negara yang sudah maju, seperti Australia, Jepang, dan Amerika Serikat dapat
mencapai sistem perlindungan dan jaminan sosial bagi rakyatnya dalam kurun waktu
30 –50 tahun.
Apapun bentuk SPJS Indonesia nantinya, kajian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu tonggak awal bagi dasar pijakan pemikiran dan upaya kearah terwujudnya
suatu SPJS yang khusus untuk Indonesia. Dalam jangka pendek, SPJS dapat dibatasi

ii
hanya untuk rakyat miskin saja, namun secara bertahap pada akhirnya dapat
mencakup seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan amant UUD 1945 dan sebagai
pemenuhan hak-hak manusia untuk hidup layak. Amin.

Jakarta, April 2003

Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan


Sosial dan Pemberdayaan Perempuan,
Bappenas.

iii
ABSTRAKSI

Kajian awal Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) merupakan


kajian baru. Permasalahan yang dihadapi sehingga kajian ini diperlukan adalah:
Berbagai skema perlindungan dan jaminan sosial telah berjalan saat ini namun
penduduk yang dapat menikmati manfaatnya sangat terbatas. Bahkan rakyat miskin
masih belum dapat menikmati jaminan sosial. Sesuai mandat UUD 1945, pemerintah
perlu untuk menata ulang berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang
sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan Sosial yang lebih
utuh dan memberikan efisiensi dan efektivitas yang lebih optimal. Untuk lebih
memahami skema-skema yang ada baik landasan hukum, cakupan manfaat, penerima
manfaat, maupun sistem pendanaannya, perlu dilakukan pemetaan dan pemotretan
sistem perlindungan sosial saat ini.
Temuan dan rekomendasi kajian untuk mengatasi masalah di atas adalah: (a)
bantuan social hanya mencakup sebagian penduduk miskin dan rentan, (b) asuransi
social elum mencakup seluruh penduduk Indonesia (WNI); masih terbatas bagi
pekerja sektor formal (swasta, PNS, dan TNI/Polri), (c) penduduk miskin yang
dicakup adalah around the poverty line atau being transitory poor, (d) belum ada
desain standar minimum untuk berbagai bentuk asuransi dan bantuan social, (e)
pengelolaan SPJS dilakukan oleh banyak lembaga (scattered), dan tidak integrated,
(f) masing-masing lembaga penyelenggara mempunyai landasan hukum sendiri, dan
belum ada suatu undang-undang yang dapat memayungi secara menyeluruh pada
suatu jaminan sosial secara nasional dan terintegrasi (g) nilai-nilai budaya lokal ada
yang telah berfungsi sebagai sistem perlindungan sosial, dan (f) dari segi cakupan
jaminan sosial masih ada beberapa area yang belum ditanganani oleh skema yang ada.
Rencana pemanfaatan temuan dan rekomendasi dari kajian ini: Hasil dari
kajian ini akan menjadi langkah menuju pengembangan rumusan rekomendasi bagi
kebijakan publik Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang lebih utuh, efisien,
dan efektif.

iv
DAFTAR ISI

SAMBUTAN..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
ABSTRAKSI...............................................................................................................iv
DAFTAR ISI.................................................................................................................v
I. PENDAHULUAN................................................................................................1
II. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN...............................................................4
1. Tujuan............................................................................................................8
III. METODOLOGI...................................................................................................9
IV. GAMBARAN UMUM SISTEM PERLINDUNGAN DAN JAMINAN
SOSIAL YANG ADA DI INDONESIA...........................................................11
1. Pengertian....................................................................................................11
2. Aspek hukum...............................................................................................12
3. Target beneficiaries.....................................................................................13
4. Cakupan Manfaat.........................................................................................13
5. Pendanaan (Premi).......................................................................................13
5.1. Asuransi sosial.........................................................................................13
5.2 Bantuan sosial..........................................................................................14
6. Kelembagaan................................................................................................14
7. Sistem Jaminan Sosial Nasional..................................................................14
8. Kaitan SPJS dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan)..........................15
V. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KESEHATAN..............................................16
1. Latar belakang..............................................................................................16
2. Landasan hukum..........................................................................................16
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial.......................................................17
VI. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KETENAGAKERJAAN...........................19
VII. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN..........................................23
1. Latar belakang..................................................................................................23
2. Landasan hukum..............................................................................................23
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial...........................................................24
4. Identifikasi dan analisis stakeholders...............................................................25
5. Target beneficiaries.....................................................................................25
VIII. JAMINAN SOSIAL HARI TUA DAN PENSIUN.......................................26
1. Latar belakang..............................................................................................26
2. Landasan hukum..........................................................................................26
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial.......................................................27
4. Identifikasi dan analisis stakeholders...........................................................29
5. Target beneficiaries......................................................................................29
IX. JAMINAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT MISKIN DAN RENTAN........30
1. Latar belakang..............................................................................................30
2. Landasan hukum..........................................................................................30
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial.......................................................31
4. Identifikasi dan analisis stakeholders...........................................................32
5. Target beneficiaries......................................................................................32

v
X. KAITAN ANTARA SISTEM ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DAN SPJS NASIONAL.....................................................................................33
1. Pengantar......................................................................................................33
2. Permasalahan...............................................................................................33
3. Langkah-langkah kebijakan.........................................................................34
4. Konsep nomor induk kependudukan (NIK).................................................35
5. Hubungan antara konsep NIK dengan SPJS Nasional.................................36
XI. ANALISA SITUASI DAN SPSJ NASIONAL MASA DEPAN.......................38
1. Analisa situasi..............................................................................................38
2. Prinsip kemitraan dan pendanaan berbasis masyarakat...............................38
3. Pemikiran SPJS masa depan........................................................................39
4. SPJS yang terintegrasi..................................................................................39
5. Peraturan perundangan-undangan................................................................40
XII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.........................................................41
1. Kesimpulan..................................................................................................41
2. Rekomendasi................................................................................................42
LAMPIRAN................................................................................................................44
DAFTAR KEPUSTAKAAN.....................................................................................49

vi
I. PENDAHULUAN
Pentingnya SPJS dan perubahan pradigma nasional daninternasional

Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar ketiga di dunia setelah USA
dan China. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 203 juta
orang (BPS, Sensus Penduduk Tahun 2000). Sekitar satu dasa warsa lalu, jumlah penduduk
Indonesia adalah 179,248 juta orang. Dengan demikian laju pertumbuhan penduduk selama
10 tahun terakhir, 1990-2000 adalah 1,35persen. Laju pertumbuhan memang semakin
menurun mengingat angka pada periode 1980-1990 adalah 1,97 persen, namun secara
absolut jumlah penduduk tetap semakin meningkat dari tahun ketahun.
Kualitas hidup penduduk Indonesia yang saat ini masih tertinggal dibandingkan
kualitas hidup penduduk negara-negara ASEAN. Hal ini antara lain dapat dilihat dari masih
rendahnya nilai Human Development Index (HDI) Indonesia – yang mengukur tingkat
pencapaian keseluruhan kualitas pembangunan manusia yang diukur dari tiga indikator yaitu
umur harapan hidup pada saat lahir, angka melek huruf penduduk dewasa dan tingkat
partisipasi murid sekolah, dan GDP riil per kapita. Berdasarkan HDR 2002, Indonesia berada
pada ranking ke 110 dari 173 negara. Ranking ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan
beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Phillipines, dan Vietnam,
yang masing-masing berada pada ranking ke 25, 59, 70, 77, dan 109. Indikator lain yang
digunakan untuk menilai pencapaian kualitas pembangunan manusia adalah Human Poverty
Index (HPI) – yang diukur dari lima indikator yaitu kemungkinan tidak bisa bertahan hidup
hingga usia 40 tahun, angka buta huruf penduduk dewasa, persentase penduduk tanpa akses
terhadap air bersih, persentase penduduk tanpa akses ke fasilitas kesehatan, dan persentase
kurang gizi pada balita. Berdasarkan HDR 2002, peringkat HPI Indonesia berada pada urutan
ke 33 diantara 90 negara berkembang, dan juga masih sangat rendah dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN.
Gambaran kualitas hidup manusia Indonesia di atas, juga tidak lepas dari akibat krisis
multi dimensi yang berkepanjangan yang dialami bangsa ini sejak tahun 1997. Krisis
tersebut menyebabkan munculnya berbagai masalah yang dimensinya meliputi sosial,
ekonomi, fisik, politik, atau bahkan kelembagaan. Akibat krisis, jumlah penduduk miskin
(the poorest dan the poor) terus meningkat, dan pada tahun 2000 jumlah penduduk miskin
mencapai 37,7 juta orang (Sensus Penduduk 2000). Peningkatan tersebut jika dibandingkan
dengan keadaan pada tahun 1996, adalah sekitar 65,7%.
Peningkatan jumlah kasus secara tajam terutama terjadi di daerah perkotaan. Hal ini
ditunjukkan oleh berbagai masalah seperti meningkatnya jumlah anak jalanan, meluasnya
kawasan kumuh, meningkatnya pertumbuhan sektor informal, bertambahnya kecenderungan
kejahatan kota, kerawanan sosial, dan kriminalitas, serta berbagai fakta dan fenomena sosial
lainnya. Masalah yang juga dikenali meningkat adalah kerentanan penduduk, terutama
penduduk miskin (yang sebelum krisis terjadi memang sudah miskin), terhadap pemenuhan
kebutuhan hidup mereka, yang paling dasar dan minimal, yaitu terutama pangan, sandang,
papan, kesehatan, dan pendidikan.
Krisis juga mengakibatkan sebagian masyarakat: kehilangan pekerjaannya, menurun
daya beli dan pendapatannya, serta menuruna tingkat kesejahteraannya. Padahal, dengan
sebab yang umum, masyarakat dengan sendirinya akan berkurang pendapatannya karena
misalnya, menderita suatu penyakit atau memasuki usia lanjut. Kondisi sulit yang
disebabkan oleh penyebab umum seperti itu, semakin menjadi berat karena adanya dampak
dari krisis. Sementara itu, penawar dari keadaan sulit ini hanya muncul dalam jangka waktu

1
relatif singkat, seperti intervensi masyarakat dalam aksi sosial untuk berbagai kelompok
masyarakat saja, atau intervensi pemerintah dalam bentuk bantuan beras murah untuk rakyat
miskin (raskin), ataupun kegiatan-kegiatan jaring pengaman sosial dan sejenis. Jalan keluar
untuk mengatasi kesulitan hidup dikalangan masyarakat diatasi dengan program dan proyek
yang sifatnya dalam rangka penyelamatan saja (rescue program) seperti pelaksanaan
kegiatan dana bantuan pendidikan untuk anak sekolah dan pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakat. Dampak dari krisis yang menyakitkan dan berkepanjangan tersebut telah
membuat rakyat sengsara tanpa ada suatu sistem yang solid dan berkelanjutan yang dapat
melindungi rakyat dari kesulitan sosial dan ekonomi. Singkatnya, karena tidak adanya sistem
jaminan sosial dan proteksi untuk rakyat, akibat dan dampak dari gejolak ekonomi dan
sosial yang dirasakan rakyat tidak dapat langsung diatasi, dan proses penyembuhannya
memakan waktu lama.
Suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial sungguh perlu dimiliki agar ketahanan
masyarakat dapat terjaga dalam menghadapi shock. Lebih daripada itu, perlindungan dan
jaminan sosial juga diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat
mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, yang disebabkan karena
memasuki usia lanjut atau pensiun, sakit, cacat, kehilangan pekerjaan, terkena bencana alam,
dan sebagainya. Jelas bahwa, perlindungan dan jaminan sosial sangat terkait dengan isu-isu
yang kompleks, baik yang bersifat analitis maupun yang teknis. Untuk itu, untuk
membangun suatu ketahanan masyarakat, diperlukan pertumbuhan yang bersifat terus-
menerus (sustainable) dan pembangunan yang memihak kepada rakyat miskin (pro-poor).
Pengalaman banyak negara menunjukkan, bahwa pertumbuhan saja belum cukup untuk
mengembangkan/meningkatkan kualias hidup masyarakat.
Pemecahan jangka panjang dari masalah ini sangat tergantung pada keputusan-
keputusan yang dikaitkan dengan pembangunan nasional secara keseluruhan yaitu, antara
lain, dengan memasukkan penyebab struktural dari kerentanan masyarakat di atas. Disadari
bahwa suatu kebijakan yang lebih diarahkan pada upaya memasukkan intervensi secara
proaktif dalam rangka mengurangi kerentanan tersebut dan mendorong/mengajak sektor
swasta dan masyarakat secara bersama-sama untuk mengatasi kemiskinan. Dengan
demikian, perlindungan dan jaminan sosial seyogyanya tidak hanya merupakan program
pemerintah, tetapi juga merupakan program masyarakat yang diharapkan mampu
memberikan perlindungan dan jaminan sosial agar setiap warga negara dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimal hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam pelaksanaannya, upaya ini tidak akan berhasil jika hanya
melibatkan pemerintah saja. Isu partnership dengan meningkatkan peran kerjasama dengan
sektor swasta dan masyarakat menjadi semakin penting.
Dalam konteks pembangunan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional,
hal penting yang harus diperhatikan adalah peran dari masing-masing pemerintah nasional di
pusat dan pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) dalam perlindungan dan jaminan
sosial juga perlu dipertegas. Dengan mengacu kepada UU No. 22 Tahun 2001, keserasian
peran pusat dan daerah menjadi sangat penting, karena kemampuan dan peran pemerintah
daerah dalam sistem ini dapat saja berbeda satu dan lainnya, tergantung dari arah kebijakan
dan terutama kemampuan pembiayaan masing-masing daerah. Implikasi kebijakan
desentralisasi yang telah diberlakukan sejak awal tahun 2001 terhadap pola pengembangan
sistem perlindungan dan jaminan sosial sebenarnya akan menjadi unsur positif bagi daerah,
karena kemiskinan di setiap tingkatan wilayah dapat diatasi secara holistik. Dalam
pelaksanaannya, perlindungan dan jaminan sosial tidak akan berhasil jika hanya
mengandalkan peran pemerintah saja. Oleh karena itu, isu kerjasama atau partnership

2
melalui peningkatan peran kerjasama pemerintah dengan sektor swasta dan masyarakat
menjadi sangat penting.

3
II. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
Referensi dasar hukum dan tahap kegiatan dan gambaran SPJS yang diharapkan

1. Latar belakang

Kesadaran sekaligus pesan bahwa Indonesia memerlukan suatu sistem perlindungan dan
jaminan sosial, telah dinyatakan dalam berbagai dokumen negara. Sebagai landasan
hukum, Undang Undang Dasar 1945, baik pada Pembukaan maupun pada beberapa
Pasalnya, telah memberikan landasan hukum normatif yang kuat, meskipun tidak secara
eksplisit menyebutkan perlindungan dan jaminan sosial. Misalnya, dalam Pembukaan
UUD 1945 disebutkan, bahwa pembentukan Pemerintah Negara Indonesia ditujukan:

“... untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan


bangsa, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”

Selanjutnya, perlindungan dan jaminan sosial yang merupakan hak setiap warga negara juga
diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2:

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”

Diamanatkan kemudian, bahwa diperlukan adanya suatu sistem perlindungan dan jaminan
sosial pada skala nasional sebagaimana diamanatkan pada Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD
1945 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa,

“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat ......”

Beberapa pasal di dalam UUD 1945 juga lebih mempertegas pentingnya hidup layak bagi
warganegara, misalnya:

Pasal 27 ayat 2
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”

Pasal 31 ayat 1
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”

4
Pasal 34 ayat 1
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.

Selain UUD 1945, dalam Ketetapan MPR RI No. X/MPR/2001 tentang Laporan
Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI
Tahun 2001 yang terkait dengan perlindungan dan jaminan sosial juga telah menugaskan
kepada Presiden RI untuk membentuk suatu sistem jaminan sosial nasional dalam rangka
memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu kepada rakyat Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, berbagai kekuatan landasan hukum normatif tersebut
secara tegas telah mengamanatkan upaya perlindungan dan jaminan sosial, terutama yang
dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan kualitas sumber daya manusia.
Namun demikian, yang menjadi masalah adalah, bahwa hingga saat ini belum tersedia suatu
landasan hukum (misalnya dalam bentuk UU) yang dapat digunakan sebagai landasan
operasional untuk pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial secara menyeluruh di
tingkat nasional.
Beberapa waktu yang lalu, suatu Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN)
telah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 20 tahun 2002 tanggal 10 April 2002
tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tim tersebut saat ini sedang
menyusun suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Draft Konsep Naskah Akademik tentang SJSN juga sedang disusun. Kajian yang
akan dilakukan Bappenas ini lebih merupakan kajian intern Bappenas sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya dengan menyusun rekomendasi kebijakan kepada Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Apa yang dilakukan oleh Tim Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Tim SJSN) akan merupakan masukan bagi kajian yang dilakukan oleh
Bappenas.

Keputusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan Presiden untuk


membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial
yang lebih menyeluruh dan terpadu. Berdasarkan keputusan tersebut, Presiden mengambil
inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, melalui Tap. MPR, Pasal 34 (1) tercantum bahwa fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara, dan melalui perubahan keempat UUD 1945 tanggal 10
Agustus 2002, dengan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 (2), tercantum
bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dalam rangka mempersiapkan konsepsi dan
penyusunan sistem jaminan sosial nasional, dibentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional,
melalui Keputusan Presiden RI No. 20 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 tentang
Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Keppres ini didahului dengan Keputusan
Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, (pada waktu Ibu Presiden Megawati Soekarno
Putri menjadi Wakil Presiden).
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan pakar
dibidangnya. Dan berdasarkan tugasnya, penanggung jawab Tim SJSN dibagi dalam 4
kelompok, yaitu: Substansi, Kelembagaan, Mekanisme/Budget, dan Pembentukan Program
Jaminan Sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada konsep

5
asuransi sosial, dan berdasarkan pada azas gotong royong melalui pengumpulan iuran dan
dikelola melalui mekanisme asuransi sosial. Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-
Undang dan diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan
ekonomi Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin. Saat ini,
Tim SJSN sedang memfinalisasi naskah akademis untuk persiapan RUU Sistem Jaminan
Sosial. Menurut rencana naskah akademis diharapkan rampung pada akhir Desember 2002,
sedangkan usulan RUU diperkirakan dapat dimasukkan ke DPR sekitar Juni 2003. Undang
undang Jaminan Sosial nantinya akan menjadi payung bagi suatu Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Social Security) yang cocok untuk Indonesia masa datang yang didalamnya
mencakup social insurance dan social assistance.
Disamping dasar berpijak di dalam negeri diatas, di tingkat internasional, secara
universal, perlindungan dan jaminan sosial juga telah dijamin oleh Deklarasi PBB Tahun
1947 tentang Hak Azasi Manusia. Pemerintah Indonesia seperti banyak negara lain juga
telah ikut menandatangani Deklarasi itu. Secara tegas, Deklarasi itu menyatakan bahwa;

“... setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas


jaminan sosial ... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu
bekerja, menjanda, hari tua ...”

Dasar pertimbangan lain adalah Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952 yang juga menganjurkan
agar semua negara di dunia memberikan perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya
dalam rangka memenuhi Deklarasi PBB tentang Hak Jaminan Sosial.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan, bahwa perlindungan dan jaminan sosial
yang diselenggarakan oleh pemerintah bersama masyarakat di tingkat nasional, selain dapat
memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi seluruh masyarakat, juga sekaligus
membantu untuk menggerakkan roda pembangunan. Berdasarkan kenyataan yang terjadi
beberapa tahun terakhir ini juga membuktikan, bahwa perlindungan dan jaminan sosial
semakin diperlukan jika kondisi perekonomian global maupun nasional sedang mengalami
berbagai krisis (multi dimentional crisis), sehingga mengancam kesejahteraan rakyat. Untuk
itu, salah satu upaya penyelamat dari berbagai resiko tersebut adalah perlunya dikembangkan
suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial yang menyeluruh dan terpadu, sehingga dapat
memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh warga negaranya.

Mengenai pengertian dari perlindungan dan jaminan sosial dapat dijelaskan melalui
beberapa literatur yang ada. Bahkan, dalam rencana pembangunan nasional, secara tegas
menyebutkan bahwa perlindungan dan jaminan sosial merupakan salah satu langkah
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Definisi perlindungan dan jaminan sosial yang terdapat pada rencana pembangunan nasional
tersebut diartikan sebagai:

“..suatu langkah kebijakan yang dilakukan untuk memberikan


perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin, terutama
kelompok masyarakat yang paling miskin (the poorest) dan kelompok
masyarakat miskin (the poor)”

6
Menurut ADB, definisi perlindungan dan jaminan sosial adalah sebagai berikut:

“the set of policies and programs designed to promote efficient and


effective labor markets, protect individuals from the risks inherent in
earning a living either from small-scale agriculture or the labor
market, and provides a floor of support to individuals when market-
based approaches for supporting themselves fail”.

Risks yang dimaksudkan di sini adalah yang terutama banyak menimpa/dialami the
poor, dan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

a. Lifecycle – misalnya cacat, kematian, dan lanjut usia


b. Economic – misalnya kegagalan panen, penyakit hama, pengangguran,
peningkatan harga kebutuhan dasar, dan krisis ekonomi
c. Environmental – misalnya kekeringan, banjir, dan gempa bumi
d. Social/governance – misalnya kriminalitas, kekerasan domestik, dan
ketidakstabilan politik

Selanjutnya, definisi tentang Social Insurance Programs menurut Folland,


Goodman, dan Stano (1997: Social Insurance Programs) dapat dibedakan ke dalam lima
kategori yaitu:
a. Poverty – programs that are directed toward persons experiencing poverty
involve either the provision of cash, or more often the subsidized provisions of goods
“in kind,” such as rent vouchers or food stamps.
b. Old Age - programs that are directed toward the elderly include income
maintenance, such as Social Security, as well as services and considerations (such as
old-age housing, Meals-on-Wheels) that may address the generally decreased
mobility of the elderly.
c. Disability – programs that generally provide cash benefits.
d. Health – programs that cover illness or well-care financing and/or provide
facilities for various segments of population. The individual’s health care is financed
either entirely or in part by the government.
e. Unemployment – programs that generally provide short-term cash
benefits.

Dari uraian di atas, semakin menegaskan kepada kita bahwa perlindungan dan
jaminan sosial sangat terkait erat dengan masalah kemiskinan, yang selanjutnya berdampak
pula pada penurunan kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Untuk itu, guna mendukung
upaya pemerintah dalam memberikan/menciptakan perlindungan dan jaminan sosial yang
lebih utuh kepada setiap warga negaranya, maka pemerintah perlu menataulang berbagai
bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu

7
Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) yang lebih utuh dan memberikan efisiensi
dan efektivitas yang lebih optimal.
1. Tujuan
Guna mendukung upaya pemerintah dalam memberikan/ menciptakan perlindungan
sosial yang lebih utuh kepada setiap warganegaranya, maka pemerintah perlu menata ulang
berbagai bentuk perlindungan sosial yang sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial yang lebih efisien dan efektif serta yang lebih optimal
tanpa mengubah sistem yang sudah ada sekarang ini.
Sebagaimana tertuang dalam Kerangka Acuan, Bappenas berinisiatif untuk
melakukan kajian awal tentang Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) pada tahun
2002 dan direncanakan akan dilanjutkan pada tahun anggaran 2003 dan 2004.
Tujuan umum dari kajian awal adalah terwujudnya suatu sistem perlindungan dan
jaminan sosial (SPJS) yang efektif dan efisien bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan khusus
dari kajian ini adalah memetakan dan menyusun bahan-bahan kajian kebijakan publik dalam
upaya mendukung terwujudnya SPJS. Sasaran yang akan dihasilkan melalui kajian awal
adalah terumuskannya bahan rekomendasi kebijakan publik SPJS, baik ditinjau dari
kerangka kebijakan nasional, dan – yang lebih penting lagi sesuai dengan desentralisasi.
Kajian diawali dengan diskusi antar pihak-pihak terkait dengan isu SPJS. Diskusi
diselegarakan berdasarkan paparan pemikiran para pembicara dari Depkes, Depnakertrans,
Depsos, Depdiknas, dan Depdagri. Hasil sementara dari kajian awal menunjukkan adanya
bentuk-bentuk jaminan dan perlindungan sosial yang bervariasi dan masing-masing
mempunyai landasan hukum sendiri. Jaminan sosial yang ada adalah Asuransi Kesehatan
(Askes), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Jamsostek), Tabungan Auransi Pegawai Negeri (Taspen), Asuransi ABRI (Asabri).
Namun demikian, terlihat diselenggarakan secara parsial dari segi perundang-undangan.
Belum ada suatu undang-undang yang memayungi pelaksanaan dan skema jaminan sosial
secara menyeluruh dalam suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional.
Adapun bentuk-bentuk jaminan sosial yang ada dikalangan masyarakat dan
merupakan inisiatif mereka antara lain adalah Dana Sehat (micro insurance) yang
diselenggarakan oleh masyarakat dengan koordinasi dokter Puskesmas dan merupakan
kegiatan APBN. Beberapa skema partisipasi masyarakat lain juga dikenali seperti Zakat (di
beberapa daerah) dan sistem pendanaan masyarakat Banjar (di Bali).
Untuk mempertajam kajian ini, beberapa pembicara dari BUMN – PT. TASPEN, PT.
ASKES, dan PT. JAMSOSTEK -- di undang sebagai penyaji paparan dengan diskusi
yang melibatkan pihak pemerintah terkait. Disamping itu, kajian ini juga mencoba untuk
menggali konsep perpajakan yang mungkin dikembangkan guna mendukung rencana
penyusunan dan penataan SPJS melalui interview dengan para pejabat pemerintah dan
pakar terkait.

8
III. METODOLOGI
Cara pengumpulan data dan informasi serta penyusunan laporan

Penyusunan kebijakan SPJS digali berdasarkan bahan-bahan yang telah


dikumpulkan. Setiap kebijakan pada aspek-aspek tersebut yang telah diterbitkan dikaji pada
tataran implementasi serta benefit pada masyarakat tertentu. Pada tataran kebijakan akan
dievaluasi apakah kebijakan tersebut masih relevan pada kerangka waktu yang sekarang dan
yang akan datang. Sehingga diharapkan dapat dirumuskan suatu rekomendasi kebijakan
jaminan sosial untuk menjamin kelangsungan hidup bagi individu, keluarga dan masyarakat
apabila terjadi suatu eksternal shock pada kehidupan mereka.
Dalam mencapai tujuan dan sasaran penyusunan Sistem Perlindungan dan Jaminan
Sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka langkah pertama yang dilakukan adalah
mengumpulkan bahan-bahan kajian kebijakan dan pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia.
Ruang lingkup kajian SPJS dan operasional meliputi aspek-aspek life cycle, economic,
environmental, dan social/governance, dan mencakup pula hal-hal yang berkaitan dengan
poverty, old age, disability, health, dan employment. Metoda pengumpulan bahan dilakukan
melalui studi kepustakaan, diskusi, dialog, dan in-depth interview baik dengan instansi
pemerintah di pusat dan daerah, BUMN, pihak swasta dan akademisi.
Serangkaian kegiatan diskusi diselenggarakan bersama dengan para pejabat
pemerintah di pusat (Kementerian/Departemen/LPMD) dan BUMN yang selama ini telah
menyelenggarakan perlindungan dan jaminan sosial baik dalam bentuk asuransi sosial
maupun bantuan sosial, yaitu:
1. Pemerintah – Depsos, Depdiknas, BKKBN, Depnakertrans, Depkes, Depkeu,
BPHN/Depkeham, dan Depdagri. Diskusi khusus juga dilakukan dengan Tim
Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 20
Tahun 2002, tanggal 10 April 2005 tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
2. BUMN – PT Taspen, PT Askes, PT Jasa Raharja, PT Asabri, dan PT.
Jamsostek. Di samping itu, dalam diskusi juga melibatkan wakil akademisi.

Di samping seminar dan diskusi dilakukan pula dialog dengan Pemerintah Daerah
di 3 kabupaten/kota di 3 propinsi yaitu, Kabupaten Banyumas, Jateng; Kota Makasar, Sulsel;
dan Kabupaten Gianyar, Bali. Tujuan dialog adalah untuk menggali berbagai potensi dan
kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah. Dialog atau lebih dikenal dengan istilah
Temu Tukar Pendapat (TTP) yang diselenggarakan dengan partisipasi para wakil pemerintah
daerah mulai dari Bupati, Kepala Bappenda dan dinas terkait, wakil dari DPRD, serta
melibatkan para wakil masyarakat dan perguruan tinggi setempat. Dalam kesempatan itu,
selain membicarkan kegiatan yang telah dilakukan sampai dengan tahun 2002, juga dibahas,
pemikiran kedepan termasuk renczana kegiatan yang menjadi perhatian mereka.
Kegiatan lain yang diselenggarakan adalah in-depth interview untuk menggali
pemikiran dan pandangan pemerintah dan swasta di sektor terkait. Para pejabat Departemen
terkait yang di interview adalah dari Depnakertrans, Depdiknas, Depkes, Depsos, Depdagri,
Depkeham, dan Depkeu. In-depth interview juga dilakukan dengan beberapa BUMN selaku
penyelenggara perlindungan dan jaminan sosial, yaitu PT Taspen, PT Jasa Raharja, PT

9
Askes, dan PT Asabri (Catatan, interview dengan PT Asabri ditangguhkan karena berbagai
kendala). Tujuan in-depth interview adalah untuk memperoleh penjelasan dan klarifikasi
yang lebih rinci tentang perlindungan dan jaminan sosial yang diselenggarakan. Di samping
itu, juga digali pemikiran dan pandangan mereka akan SPJS nasional untuk Indonesia.
Kegiatan lainnya adalah menyusun kebijakan SPJS, yang digali berdasarkan bahan-
bahan yang telah dikumpulkan. Setiap kebijakan pada aspek-aspek tersebut yang telah
diterbitkan dikaji pada tataran implementasi serta benefit pada masyarakat tertentu. Pada
tataran kebijakan akan dievaluasi apakah kebijakan tersebut masih/cukup relevan pada
kerangka waktu yang sekarang dan yang akan datang. Pada akhirnya, diharapkan dapat
dirumuskan suatu rekomendasi kebijakan perlindungan dan jaminan sosial yang ditujukan
untuk menjamin kelangsungan hidup bagi individu, keluarga, dan masyarakat apabila terjadi
suatu eksternal shock pada kehidupan mereka.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kajian awal ini lebih merupakan suatu pemetaan
dari skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada sampai tahun 2002. Dengan demikian
pada tahap selanjutnya, kemungkinan pada tahun anggaran 2003, akan dirumuskan suatu
kerangka SPJS yang mungkin sesuai dengan keperluan Indonesia. Kebijakan pada salah
satu aspek dapat berpengaruh pada aspek lainnya. Contohnya, instrumen perlindungan dan
jaminan sosial berupa pensiun dan labor market, tidak mempunyai pengaruh yang
menguntungkan pada keluarga yang bekerja pada sektor informal. Untuk itu, keputusan
alokasi resources antar aspek mempunyai konsekuensi yang penting berkaitan dengan
keadilan. Dengan adanya kerterbatasan public resurces yang tersedia, maka pendekatan yang
terintegrasi memberikan arah dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pada aspek-
aspek tertentu, sehingga akan terjadi tradeoff yang berkeadilan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
Sebagai kelanjutan kajian awal ini, pada tahun 2003–2004 diharapkan dapat disusun
suatu draft awal policy paper. Sebagaimana diketahui, bahwa social protection tidak hanya
dilaksanakan oleh Pemerintah. Individu dan rumah tangga, market institution (asuransi) juga
mengadopsi social protection. Dengan demikian, jika dimungkinkan, akan dilakukan
diseminasi policy paper tersebut, serta dialog dengan pemerintah daerah. Hal ini terutama
berkaitan kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan sejak awal tahun 2001. Bila
memungkinkan kegiatan pada tahun 2004, lebih jauh akan difokuskan pada SPJS untuk
rakyat miskin.

10
IV. GAMBARAN UMUM SISTEM PERLINDUNGAN
DAN JAMINAN SOSIAL YANG ADA DI
INDONESIA
Skema perlindungan dan jaminan sosial, dasar hukum, cakupan dan kelembagaan serta
kemungkinan untuk dikaitkan dengan NIK

Gambaran umum sistem perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia
diawali oleh adanya beberapa permasalahan pokok, yaitu, pertama, belum adanya kepastian
perlindungan dan jaminan sosial untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam perubahan UUD 1945 tahun
2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi
seluruh rakyat”. Perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini belum mampu
mencakup seluruh warga negara Indonesia. Misalnya, belum adanya perlindungan dan
jaminan sosial bagi pekerja sektor informal. Masalah kedua adalah belum adanya satu
peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan sistem perlindungan dan
jaminan sosial. Masing-masing jenis perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini
dilandasi oleh UU dan atau PP yang berbeda-beda. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan
penanganan skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terpisah-pisah dan
bahkan tumpang tindih. Contohnya – asuransi kesehatan - di-cover oleh PT. Jamsostek, PT
Askes, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Dan yang terakhir adalah,
bahwa skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terbatas, sehingga benefit
(kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga masih terbatas.
Secara garis besar, berikut ini diuraikan gambaran umum tentang perlindungan dan
jaminan sosial yang ada di Indonesia. Hal-hal tersebut adalah mencakup:

1. Pengertian
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini
dikenali banyak pengertian/definisi tentang perlindungan dan jaminan sosial. Misalnya
dalam UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,
dinyatakan bahwa;

“Jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial adalah


seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial
bagi WN yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat
guna memelihara taraf kesejahteraan sosial”

Sementara itu, dalam UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, disebutkan
bahwa;

11
“Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang
diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu UU, dengan tujuan
untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat”

Berdasarkan diskusi yang berkembang, telaah referensi, dan dengan didukung oleh
konsep yang dikembangkan oleh Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, ternyata pengertian
jaminan sosial dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: asuransi sosial (social
insurance) dan bantuan sosial (social assistance).
Dalam asuransi sosial, seperti halnya konsep asuransi pada umumnya, namun dalam
hal ini bersifat “sosial”, maka besarnya premi merupakan sharing antara pemberi kerja (yaitu
pemerintah atau pengusaha) dan pekerja (PNS atau pegawai) – yang mempunyai hubungan
kerja. Sedangkan bantuan sosial, berupa “bantuan” dalam bentuk, misalnya, block grant atau
emergency fund dengan tujuan sosial.
Dengan mengacu pada pengertian tersebut di atas, maka yang dapat digolongkan
sebagai asuransi sosial yang ada di Indonesia adalah: asuransi kesehatan (Askes), asuransi
bagi anggota TNI/Polri – dulu ABRI (Asabri), jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek),
asuransi kecelakaan (Jasa Raharja), asuransi sosial (masih tahap uji coba oleh Depsos), dan
tabungan asuransi pensiun (Taspen). Sementara itu, yang dapat digolongkan sebagai bantuan
sosial adalah: jaminan kesejahteraan sosial, baik yang bersifat permanen, bagi lanjut usia
terlantar dan cacat ganda terlantar (masyarakat rentan), maupun yang bersifat sementara
(emergency) bagi korban bencana alam dan bencana sosial; bantuan dana pendidikan berupa
beasiswa melalui skema Jaring Pengaman Sosial (JPS) bagi murid dari keluarga miskin;
bantuan dana kesehatan berupa Kartu Sehat bagi penduduk miskin; bantuan modal usaha,
misalnya dalam bentuk tabungan (misalnya Tabungan Keluarga Sejahtera – Takesra),
maupun dalam bentuk kredit mikro (misalnya Kredit Usaha Keluarga Sejahtera – Kukesra)
bagi keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I (pengelompokan keluarga oleh BKKBN).

2. Aspek hukum
Landasan hukum perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini masih bersifat
parsial dan belum terpadu. Meskipun Pembukaan UUD 1945, dan beberapa pasal yang
terdapat didalamnya, misalnya Pasal 27 (2), Pasal 31 (1), Pasal 34 (1), dan Pasal 34 (2) hasil
amandemen UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 merupakan landasan hukum bagi
pelaksanaan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS), namun landasan hukum bagi
pelaksanaan operasional untuk seluruh skema perlindungan dan jaminan sosial adalah masih
berbeda-beda. Misalnya, jaminan sosial di bidang tenaga kerja dilandasi dengan UU No. 3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mencakup Jaminan Hari Tua,
Kematian, Kecelakaan Kerja, dan Pemeliharaan Kesehatan bagi pegawai swasta, melalui PT.
Jamsostek. Sementara itu, jaminan kesehatan bagi PNS melalui PT Askes dilandasi dengan
UU No. 2 Tahun 1992 dan PP No. 69 Tahun 1991. Selanjutnya, jaminan hari tua dan pensiun
bagi PNS melalui PT Taspen dilandasi dengan UU No. 43 Tahun 1999; dan bagi TNI/Polri
melalui PT Asabri dilandasi dengan UU No. 6 Tahun 1966.

Dengan adanya produk-produk hukum yang bervariasi, mengakibatkan banyaknya


lembaga yang melaksanakan perlindungan dan jaminan sosial. Hal ini berlawanan dengan
hukum bilangan besar (law of the large number), yaitu dengan cakupan besar (peserta) maka

12
sebaran resiko (risk distribution) akan lebih merata dan beban yang dipikul masing-masing
peserta (premi) makin kecil.

3. Target beneficiaries
Jaminan sosial hendaknya diperuntukkan bagi seluruh warga negara Indonesia
sesuai dengan hak warga negara dan HAM. Meskipun demikian, terdapat pemikiran bahwa
dengan keterbatasan keuangan negara, maka: (1) asuransi sosial diperuntukkan bagi seluruh
warga negara Indonesia, sedangkan (2) bantuan sosial hanya bagi kelompok yang
membutuhkan (misalnya penduduk miskin, rentan, dan korban bencana).

4. Cakupan Manfaat
Cakupan manfaat yang diperoleh melalui asuransi sosial meliputi: jaminan kesehatan,
jaminan hari tua (JHT), pensiun, jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan pemutusan
hubungan kerja (JPHK), dan santunan kematian. Cakupan manfaat ini hanya diperuntukkan
bagi mereka yang bekerja di sektor formal (swasta – yang memiliki hubungan kerja), PNS,
dan TNI serta Polri. Sedangkan, mereka yang bekerja di sektor informal belum dapat
menikmati manfaat asuransi sosial ini. Padahal kita mengetahui, bahwa masih banyak tenaga
kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal.
Sementara itu, cakupan manfaat yang diperoleh melalui bantuan sosial meliputi:
bantuan biaya kesehatan (misalnya melalui kartu sehat bagi masyarakat miskin), bantuan
biaya pendidikan (misalnya melalui pemberian beasiswa bagi murid dari keluarga miskin),
bantuan modal usaha (misalnya melalui dana bergulir Takesra/Kukesra bagi peserta KB dari
keluarga Pra KS dan KS I), dan bantuan akibat bencana (misalnya melalui dana sosial bagi
korban bencana alam).

5. Pendanaan (Premi)
. Asuransi sosial.
Pembiayaan premi dengan prinsip sharing baik oleh pekerja maupun oleh pemberi
kerja (pemerintah atau pengusaha). Beberapa negara (misalnya Thailand) dapat
memanfaatkan resources dari pajak secara langsung. Bagi perusahaan yang ditunjuk
melaksanakan jaminan sosial, deviden perusahaan seyogyanya dikembalikan kepada para
pembayar premi, misalnya melalui peningkatan pelayanan (sosial, peningkatan kualitas
pelayanan, dll). Selama ini, BUMN pengelola asuransi (seperti PT Askes, PT. Jamsostek,
dan PT Jasa Raharja) mengeluhkan adanya keharusan menyerahkan deviden kepada
pemerintah. Khusus untuk PT Taspen, mengeluhkan tidak adanya sharing dari Pemerintah
selaku pemberi kerja (premi hanya dibayar oleh PNS), sehingga nilai jaminan hari tua dan
pensiun yang diperoleh PNS relatif kecil, karena pembayar premi hanya oleh PNS.
Pengumpulan dana dari premi peserta diharapkan akan menjadi salah satu sumber
tabungan nasional (bagian dari APBN) yang dapat dimanfaatkan sebagai dana pembangunan.
Contoh yang terjadi di Malaysia adalah penggunaan dana Tabungan Nasional Malaysia
(yang diperoleh dari dana premi asuransi sosial) sebagai salah satu alternatif sumber dana
pembangunan ketika Malaysia mengalami krisis ekonomi beberapa waktu lalu.
Khusus untuk pekerja sektor informal, perlu dipikirkan pengembangan skema
perlindungan dan jaminan sosialnya.

13
5.2 Bantuan sosial.
Bantuan sosial yang diberikan selama ini belum mencakup seluruh penduduk
(miskin; rentan – lansia terlantar, cacat, anak terlantar, anak jalanan, komunitas adat
terpencil; dan korban bencana). Di samping itu, banyak instansi pemerintah yang belum
melaksanakan skema ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal. Bantuan sosial yang
bersumber dari dana masyarakat juga belum dikelola secara optimal.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan pengembangan
pemberdayaan masyarakat dan pranata-pranata lokal, misalnya melalui insentif pajak.
Contohnya: pemberdayaan zakat, infaq, dan sodaqoh (Islam), perpuluhan (Kristen) dan
dharma (Hindu), sehingga pembayar zakat, perpuluhan, dan dharma tidak perlu dikenakan
pajak penghasilan. Di samping itu, bentuk-bentuk kearifan lokal yang sudah ada dan
berkembang di masyarakat, perlu terus diperkuat. Misalnya: Banjar di Kabupaten Gianyar,
Bali – yang terkait erat dengan desa adat – melalui iuran dana kesehatan untuk membantu
masyarakat desa adat yang sakit; Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin) di Kabupaten
Banyumas, Jateng – melalui sistem tabungan untuk dana kesehatan terutama untuk biaya
persalinan pada saat ibu melahirkan; Bapak Angkat di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam
bentuk mutual benefit antara pengusaha (dalam bentuk kemudahan perijinan dan fasilitas
internet) dengan murid dari keluarga miskin (dalam bentuk pelatihan keterampilan/
kerajinan); dokter kontrak di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk iuran wajib
kesehatan yang dibayarkan oleh kelompok masyarakat muslim kepada dokter swasta dengan
menggunakan sistem kontrak.

6. Kelembagaan
SPJS merupakan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional yang terpadu
dengan memperhatikan kearifan lokal. Seyogyanya pengelolaan SPJS dilakukan oleh satu
lembaga (centralized) yang independen, yang antara lain mempunyai otoritas untuk
mengkoordinir, memantau pelaksanaan program, mengelola dana dan investasi, serta
melakukan pemasyarakatan program. Prinsip yang digunakan hendaknya adalah economic
scale dan cost-effectivenes. Dengan otonomi daerah, kelembagaan yang menangani SPJS
diharapkan juga akan melibatkan partisipasi Pemda (termasuk kelembagaan, aspek hukum,
dan keuangan). Kelembagaan SPJS, selain independen, juga harus merupakan lembaga yang
non-profit oriented.

7. Sistem Jaminan Sosial Nasional


Keputusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan Presiden untuk
membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial
yang lebih menyeluruh dan terpadu. Berdasarkan keputusan tersebut, Presiden mengambil
inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, melalui Tap MPR, Pasal 34 (1) tercantum bahwa fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara, dan melalui perubahan keempat UUD 1945 tanggal 10
Agustus 2002, dengan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 (2), tercantum
bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.

14
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka mempersiapkan konsepsi dan
penyusunan sistem jaminan sosial nasional, dibentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional,
melalui Keputusan Presiden RI No. 20 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 tentang
Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Keppres ini didahului dengan Keputusan
Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, (pada waktu Ibu Presiden Megawati Soekarno
Putri menjadi Wakil Presiden).
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan pakar di
bidangnya. Dan berdasarkan tugasnya, penanggung jawab Tim SJSN dibagi dalam 4
kelompok, yaitu: Substansi, Kelembagaan, Mekanisme/budget, dan Pembentukan Program
Jaminan Sosial.
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada konsep asuransi
sosial, dan berdasarkan pada asas gotong royong melalui pengumpulan iuran dan dikelola
melalui mekanisme asuransi sosial. Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan
diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi Nasional
serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin.
Diharapkan di masa yang akan datang, Indonesia mempunyai suatu sistem Jaminan
sosial (social security), yang di dalamnya mencakup social insurance dan social assistance,
yang dilindungi Undang-Undang.

Saat ini, Tim SJSN sedang memfinalisasi naskah akademis untuk persiapan RUU
Sistem Jaminan Sosial. Diharapkan RUU SJSN dapat dirampungkan sebelum bulan
Desember 2002.

8. Kaitan SPJS dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan)


Sistem dan software administrasi kependudukan yang saat ini sedang dikembangkan
oleh Ditjen. Administrasi Kependudukan – Depdagri (dengan daerah uji coba di Kota
Menado – Sulut) diharapkan akan menjadi modal utama sistem komputerisasi SPJS di masa
datang. Dalam sistem ini, setiap penduduk yang baru lahir akan memperoleh satu nomor
penduduk yang tunggal atau unique. Dengan demikian, nomor ini nantinya akan merupakan
semacam social security number bagi setiap penduduk. Dengan memiliki satu nomor
penduduk yang tunggal atau unique, maka akan mempermudah dalam pengelolaan SPJS,
khususnya dalam penentuan target beneficiaries dan perkiraan pendanaan (yang akan
dicover oleh pemerintah).
Untuk masing-masing bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia
akan diuraikan pada masing-masing Bab berikut ini.

V. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KESEHATAN


Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN sektor kesehatan
yang berkaitan dengan perlindungan sosial

15
1. Latar belakang
Kesehatan yang baik dan prima memungkinkan seseorang hidup lebih produktif baik
secara sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, kesehatan menjadi salah satu hak dan
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, agar setiap individu dapat berkarya dan menikmati
kehidupan yang bermartabat.
Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama makin mahal. Tingginya biaya
kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perseorangan, menyebabkan tidak semua anggota
masyarakat mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Selain itu,
kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat rendah. Tanpa sistem
yang menjamin pembiayaan kesehatan, maka akan semakin banyak masyarakat yang tidak
mampu yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang mereka butuhkan.
Dengan kecenderungan meningkatnya biaya hidup, termasuk biaya pemeliharaan
kesehatan, diperkirakan beban masyarakat terutama penduduk berpenghasilan rendah akan
bertambah berat. Biaya kesehatan yang meningkat akan menyulitkan akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya, terutama bila pembiayaannya harus
ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistem fee for services.
Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan menyebabkan masyarakat
sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang layak. Namun, apabila hendak ikut asuransi,
tidak banyak masyarakat yang mampu membayar biaya premi. Sebagai contoh, pada tahun
1995, biaya rawat inap pasien di rumah sakit selama lima hari menghabiskan 1,4 kali rata-
rata pendapatan sebulan penduduk DKI Jakarta. Tahun 1998 biaya ini melonjak menjadi 2,7
kali. Apabila biaya tersebut tidak ditanggung oleh kantor atau asuransi, berarti biaya rumah
tangga orang yang bersangkutan akan tersedot untuk membayar perawatan di rumah sakit.
Pertanyaannya adalah bagaimana dan apa yang terjadi dengan penduduk miskin apabila
mereka sakit, sementara biaya kesehatan makin meningkat dari waktu ke waktu.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, keberadaan sistem asuransi kesehatan
yang mencakup seluruh penduduk mendesak untuk diwujudkan. Jika tidak, akan banyak
penduduk terutama penduduk miskin akan mengalami kesulitan untuk dapat mengakses
pelayanan kesehatan, apalagi pada saat perdagangan bebas di sektor jasa mulai diberlakukan.

2. Landasan hukum
Undang Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan konstitusi WHO
menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap individu. Oleh karena itu,
negara bertanggungjawab untuk mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya dapat
terpenuhi. MPR RI melalui perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus 2002, telah
melakukan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 ayat 2 yang menyatakan bahwa
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Keputusan
MPR RI tersebut menjadi landasan yang kuat bagi dikembangkannya suatu sistem jaminan
kesehatan bagi keluarga miskin (JPK – Gakin) yang terkait dengan penyelenggaraan sistem
jaminan kesehatan yang selama ini telah dilaksanakan yaitu Jaminan Kesehatan Nasional
(Jamkesnas), yang menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Selanjutnya, juga terdapat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 527/Menkes/Per/
VII/1993 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang
mencantumkan adanya suatu paket pemeliharaan kesehatan yang berisi kumpulan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan oleh suatu badan penyelenggara dalam rangka melindungi

16
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, yang meliputi rawat jalan, rawat inap,
gawat darurat, dan penunjang.
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial
Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan kesehatan dengan
memprioritaskan bagi keluarga miskin (Gakin), yaitu melalui program jaminan pemeliharaan
kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin). Cakupan JPK-Gakin meliputi pelayanan kesehatan
dasar, yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru). Kemudian, pada akhir tahun 2001
Pemerintah menyalurkan dana subsidi bahan bakar minyak untuk pelayanan rumah sakit
(RS) bagi keluarga miskin. Program ini diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis
yaitu dengan cara memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin melalui
subsidi biaya operasional puskesmas, bidan di desa (BDD), gizi, posyandu, pemberantasan
penyakit menular (P2M), dan rujukan rumah sakit.
Dengan perkembangan waktu, dan dalam rangka memelihara derajat kesehatan
masyarakat dalam keterbatasan pembiayaan kesehatan sebagaimana diulas di atas, maka
dirancang beberapa konsep dan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang kesehatan
(Sumber: Bahan Sidang Kabinet 6 Januari 2003 oleh Menteri Kesehatan), yaitu :
a. Pembiayaan berbasis solidaritas sosial, dalam bentuk Jamkesnas. Jamkesnas
adalah bentuk jaminan kesehatan prabayar yang bersifat wajib untuk seluruh
masyarakat guna memenuhi kebutuhan kesehatan utama setiap warga negara.
Pembiayaan Jamkesnas berasal dari iuran yang diperhitungkan sebagai persentase
tertentu dari penghasilan setiap keluarga. Dalam hal ini, pekerja di sektor formal dan
keluarganya akan lebih cepat dicakup karena kemudahan menghimpun iuran.
b. Pembiayaan berbasis sukarela, dalam bentuk: asuransi kesehatan (askes)
komersial – berdasarkan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; dan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela – berdasarkan
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Konstitusi WHO. Saat ini sedang
diproses penerbitan PP untuk JPKM sukarela tersebut.
c. Pembiayaan kesehatan bagi sektor informal, dalam bentuk: jaminan kesehatan
mikro – dari oleh dan untuk masyarakat, misalnya dalam bentuk Dana Sehat; dan
dana sosial masyarakat yang dihimpun untuk pelayanan sosial dasar, termasuk
kesehatan, misalnya dihimpun dari dana sosial keagamaan dari semua agama
(kolekte, dana paramitha, infaq, dll).
d. Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dengan prinsip asuransi, dalam
bentuk pembiayaan premi oleh pemerintah untuk JPK-Gakin. (Misalnya dengan
memadukan dana Jaring Pengaman Sosial- Bidang Kesehatan (JPS-BK) dengan dana
subsidi bahan bakar minyak agar pemanfaatannya maksimal di berbagai tingkat
pelayanan mulai dari pelayanan dasar hingga ke rujukan RS.)

Selain keempat bentuk di atas, terdapat suatu jaminan sosial di bidang kesehatan
yaitu Asuransi Kesehatan yang diselenggarakan oleh PT Askes. Askes memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang
diberikan oleh Askes antara lain: konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan
dan pengobatan oleh dokter umum dan atau paramedis, serta pemeriksaan dan pengobatan
gigi. Di luar bentuk pelayanan ini, Askes tidak menanggungnya.

17
4. Identifikasi dan analisis stakeholders
Peserta asuransi kesehatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu peserta wajib, terdiri
dari: pegawai negeri sipil (PNS) termasuk calon PNS, pejabat negara, dan penerima pensiun
(PNS, TNI/POLRI, PNS di lingkungan TNI/POLRI, dan pejabat negara), Veteran dan
Perintis Kemerdekaan, beserta keluarganya. Sedangkan jenis peserta lainnya adalah peserta
sukarela, terdiri dari: pegawai swasta, BUMN/BUMD, perusahaan daerah, badan usaha
lainnya, serta Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT).

5. Target beneficiaries
Di satu sisi, masalah kesehatan masyarakat semakin kompleks, di sisi lain, upaya
kesehatan yang diwujudkan pemerintah belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan
masyarakat. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat diperkirakan bisa
mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pada
kenyataannya belum semua masyarakat memahami keberadaan jaminan pemeliharaan
kesehatan.
Hasil dari Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002, tentang kesehatan, berbunyi sebagai
berikut:
1) Mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan secara bertahap sampai mencapai
jumlah minimum sebesar 15% sesuai dengan kondisi keuangan negara dari
APBN/APBD, sebagaimana ditetapkan WHO
2) Melanjutkan program darurat pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin, rawan
gizi, khususnya untuk bayi, balita, ibu hamil dan ibu nifas
3) Mewujudkan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
4) Membangun pusat-pusat pemulihan trauma pasca konflik, terutama di daerah
pengungsian.

18
VI. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG
KETENAGAKERJAAN
Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN sektor kesehatan yang
berkaitan dengan perlindungan sosial

1. Latar belakang

Kuatnya semangat reformasi yang terjadi pada saat ini dilandasi terutama oleh
timbulnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia, tuntutan akan demokratisasi dan
transparansi. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right) Tahun 1948 yang
dikeluarkan oleh PBB, dalam salah satu pasalnya menyatakan, bahwa “setiap warga negara
mendapatkan hak atas jaminan sosial, yaitu penganguran, sakit, cacat, menjanda, maupun
usia lanjut”.
Indonesia sebagai salah satu anggota PBB menghormati dasar-dasar hak asasi
manusia. GBHN 1999-2004 mengamanatkan jaminan sosial tenaga kerja antara lain melalui
peningkatan sistem jaminan sosial tenaga kerja dalam menyediakan perlindungan,
keamanan, dan keselamatan kerja, yang pengelolaannya melibatkan tiga unsur yakni pekerja,
pengusaha, dan pemerintah. Demikian pula dalam UUD 1945 (amandemen kedua Pasal
28H) menyatakan, bahwa;

“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan


pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang
bermartabat”

Oleh karena itu, Jaminan Sosial Di Bidang Ketenagakerjaan merupakan penjabaran dari
UUD 1945.

2. Landasan hukum
Dalam penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan,
antara lain dilandasi oleh beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat global,
maupun nasional.
Dalam skala global, pada Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of
Human Right) Tahun 1948 yang dikeluarkan oleh PBB, dinyatakan, bahwa “Setiap warga
negara mendapatkan hak atas jaminan sosial, yaitu penganguran, sakit, cacat, menjanda,
maupun usia lanjut”. Di samping itu, Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952, juga
mencantumkan standar minimum jaminan sosial, yang meliputi: tunjangan hari tua, sakit,
cacat, kematian, penganguran, dan pelayanan medis.
Sementara itu, di tingkat nasional, selain dalam UUD 1945 (Amandement ke-4) Pasal
34 Ayat 2 menyatakan, bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan”. Selanjutnya, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketenagakerjaan

19
menyatakan, bahwa setiap tenaga kerja berhak atas ... Sedangkan dalam UU No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, disebutkan bahwa terdapat 4 (empat) program
jaminan sosial bagi tenaga kerja, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemeliharaan
kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Namun UU tersebut belum mencakup
jaminan pemutusan hubungan kerja (PHK), maupun unemploment benefit seperti yang
diamanatkan dalam Konvensi ILO No 102 Tahun 1952.

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial


Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum
meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri.
Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen
didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun
1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun
didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia
berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai
negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri. Sedangkan penyelenggaraan jaminan sosial di
ASEAN cukup beragam, ada yang berbasis program (Singapura, Malaisia, Thailand), dan
ada pula yang berbasis kepesertaan (Filipina).
Pada bagian ini akan dijabarkan tentang perlindungan dan jaminan sosial pada sektor
swasta. Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3
Tahun 1992, pada prinsispnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang
mempunyai hubungan kerja) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-
program yang terkait dengan resiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian,
jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya
pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja
yang tidak mampu berkerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat
kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa
biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun
atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari
tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan
kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat
inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat
darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena
penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang
dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori
merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan
pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan
untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak
pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami
defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara Jamsostek memperoleh keuntungan, maka
pemerintah akan memperoleh deviden dan pajak badan karena bentuk badan hukum adalah
BUMN Persero.
Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24%
- 1,27% dari upah per bulan, bergantung pada kelompok jenis usaha (terdapat 4 kelompok

20
usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha (selaku pemberi kerja).
Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan pengusaha yaitu
sebesar 0,30% dari upah per bulan. Sementara itu, iuran JPK juga merupakan tanggungan
pengusaha yaitu sebesar 6% dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga,
dan 3% dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga, serta mempunyai
batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan iuran JHT ditanggung secara
bersama yaitu sebesar 3,70% dari upah per bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2% dari
upah per bulan ditanggung oleh pekerja.

4. Identifikasi dan analisis stakeholders


Pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja melibatkan beberapa stakeholders. PT.
Jamsostek bertugas untuk menyelengarakan jaminan sosial tenaga kerja, baik dari segi
pelayanan program maupun administrasinya, menuju cakupan dan kualitas pelayanan
program. Departemen teknis dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja melakukan
pengawasan pelaksanaan program Jamsostek. Demikian pula dengan Departemen Keuangan
dan Kementerian BUMN bertindak sebagai pengawas di bidang keuangan serta penempatan
portfolio keuangan.
Penyelenggaraan program Jamsostek melibatkan tripartit yang anggotanya terdiri
dari unsur Pemerintah, pekerja, dan pengusaha. Fungsi dari tripartit tersebut adalah sebagai
pengawas terhadap pelaksanaan program Jamsostek. Keberhasilan pelaksanaan program
Jamsostek juga bergantung dari partisipasi dan pengawasan tripartit, karena mereka duduk
dalam Dewan Komisaris PT. Jamsostek. Kepedulian pengusaha akan pentingnya program
Jamsostek bagi karyawannya merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan Jamsostek.
Misi PT. Jamsostek adalah memberikan pelayanan dasar bagi pekerja. Sampai
dengan bulan Juni 2002 kepesertaan Jamsostek meliputi 104 ribu perusahaan dengan jumlah
tenaga kerja sebanyak sekitar 22 juta orang. Jumlah tersebut baru mencapai sekitar 60% dari
seluruh tenaga kerja pada sektor formal. Walaupun program Jamsostek diwajibkan bagi
seluruh perusahaan oleh UU, namun masih banyak para pekerja yang belum diikutsertakan
dalam program Jamsostek. Hal ini menandakan bahwa penegakan hukum dalam program
Jamsostek belum berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan penegakan hukum berada
pada Depertemen teknis (Depnaker), sedangkan kewenangan PT. Jamsostek hanya sebatas
pada usulan perbaikan benefit atas dasar perhitungan aktuaris.
Selain itu, juga masih banyak masalah di luar cakupan program Jamsostek (seperti
pemulangan TKI illegal, dan sektor informal) yang menjadi beban PT. Jamsostek.
Berkaitan dengan kelembagaan Jamsostek, sebaiknya bahwa badan penyelenggara
Jamsostek berfungsi selaku monopoli. Monopoli di dalam penyelenggaraan program asuransi
sosial dapat dibenarkan dalam UU sepanjang program yang ditangani masih dalam lingkup
standar minimum (Pawoko, 1999). Pelaku monopolis disini adalah pemerintah, atau
serendah-rendahnya BUMN. Namun demikian, issues yang berkembang di tingkat
intenasional mengarah pada de-monopoly yang mengikuti arus globalisasi competitiveness,
sehingga akan dapat memberikan benefit yang maksimum kepada peserta asuransi.
Sehubungan dengan otonomi daerah, pelaksanaan program Jamsostek akan
berpengaruh pada pemberlakuan kewenangan Pusat dan Daerah. Dalam hal ini, program-
program pelayanan yang bersifat lokal juga perlu didesentralisasikan.

21
5. Target beneficieries
Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga
kerja swasta adalah PT. Jamsostek. Setiap perusahaan swasta dengan tenaga kerja lebih dari
10 pekerja diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun
demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta
Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi
ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75% dari jumlah pekerja –
mereka belum terlindungi dalam Jamsostek.
Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta klaim,
JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai 54 ribu
klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah
sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT. Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp
530 milyar pada Juni 2002.

22
VII. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN

1. Latar belakang
Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang
lebih menekankan pada aspek fiskal dan pertumbuhan ekonomi ternyata telah mengalami
kegagalan. Oleh karena itu, pembangunan nasional dewasa ini lebih berorientasi pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM adalah modal utama kesejahteraan
suatu bangsa, karena tanpa SDM yang berkualitas maka pembangunan suatu negara tidak
akan mencapai tingkat yang optimal.
Dengan terjadinya krisis multi dimensi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997,
maka terjadi penurunan kesejahteraan hidup masyarakat secara riil, yang ditandai antara lain
dengan semakin melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power parity). Akibat
adanya krisis, kebanyakan pendapatan keluarga mengalami penurunan secara drastis. Hal ini
berakibat pula pada menurunnya seluruh komponen pengeluaran keluarga tersebut. Salah
satu komponen pengeluaran keluarga adalah pengeluaran pendidikan. Jika suatu keluarga
sudah miskin sebelum krisis, maka setelah krisis keluarga tersebut akan jauh lebih miskin
lagi. Keadaan ini memaksa keluarga tersebut mengambil keputusan untuk “mengerahkan”
seluruh anggota keluarganya untuk bekerja/mencari pendapatan tambahan, tanpa terkecuali
anak-anak yang masih berada pada usia sekolah. Jika hal ini terjadi, maka anak-anak yang
seharusnya berada di sekolah, mereka menjadi drop-out, karena alasan ekonomi – membantu
menambah pendapatan keluarga.
Fenomena tersebut di atas menuntut upaya Pemerintah untuk segera mengatasinya.
Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui JPS, antara lain dengan memberikan
bantuan biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Karena
target Pemerintah adalah menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga SLTP), maka
pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi murid SD dan SLTP, ditambah dengan
murid SLTA dari keluarga miskin saja. Sementara itu, mahasiswa dari keluarga miskin –
apabila keluarganya tidak mampu membiayainya lagi – maka mereka akan secara “terpaksa”
menjadi drop-out.

2. Landasan hukum
Landasan hukum pembangunan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang
pendidikan adalah UUD 1945 Perubahan IV tanggal 10 Agustus 2002, baik pada
Pembukaan, maupun dalam beberapa pasalnya. Dalam Pembukaan UUD 1945, dinyatakan
bahwa salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa:;
1. Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
2. Pasal 31 (2) disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam
undang-undang
3. Pasal 31 (3) dinyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari

23
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
4. Pasal 34 (1) dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara
5. Pasal 34 (2) dinyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat, dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.

Landasan hukum berikutnya adalah:


1. UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4. UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai Batas
Usia Minimum Anak Bekerja
5. UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182 mengenai
Pelanggaran dan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak.

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial


Sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan yang ada saat ini masih
merupakan kegiatan Jaring Perlindungan Sosial (JPS) bidang pendidikan. Kegiatan utama
diprioritaskan antara lain pada upaya-upaya mengurangi angka putus sekolah yang
cenderung meningkat khususnya tingkat SD dan SLTP, yang merupakan paket “wajib belajar
sembilan tahun”, dan untuk mencegah menurunnya kualitas pendidikan dasar. Kegiatan
tersebut dilaksanakan melalui pemberian bantuan beasiswa untuk murid SD, SLTP, dan
SLTA dalam rangka mencegah terjadinya putus sekolah. Di samping itu, juga diberikan
“dana bantuan operasional” (DBO) bagi SD,SLTP dan SLTA untuk mendukung biaya
operasional dan pemeliharaan sekolah agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat
terlaksana dengan lancar.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial
di bidang pendidikan, melalui skema JPS telah ditetapkan beberapa hal yaitu:
1) sasaran dan sumber dana
2) persyaratan siswa penerima
beasiswa bagi siswa SD dan MI, siswa SLTP/MTs dan siswa SLTA/MA
3) persyaratan sekolah penerima dana
bantuan operasional (DBO)

Di samping itu, untuk efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan JPS, telah dibentuk:
1) Tim Koordinasi, baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kotamadya,
termasuk Kecamatan dan Desa di dalamnya
2) mekanisme penyaluran dana dan mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban
penyaluran dana
3) sistem monitoring dan evaluasi

24
4. Identifikasi dan analisis stakeholders
Institusi yang terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
pengendalian sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan (skema-JPS)
selama ini adalah Depdiknas, Komite Sekolah, Depag, Bappenas, Depdagri, Pemerintah
Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan PT (Persero)
Pos Indonesia.

5. Target beneficiaries
Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS adalah keluarga-
keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Mereka adalah keluarga-keluarga
yang termasuk kategori Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I dan keluarga miskin
lainnya (karena alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain termasuk siswa SD, SLTP, dan
SLTA.
Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan adalah:
1) anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR per bulan
2) Anak-anak dan satuan pendidikan daerah terpencil, daerah bencana alam, daerah
kerusuhan
3) anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, anak-anak yatim piatu, anak-anak
terlantar
4) anak-anak cacat
5) anak-anak yang berprestasi.

25
VIII. JAMINAN SOSIAL HARI TUA DAN PENSIUN

1. Latar belakang
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, maka upaya untuk mewujudkan
kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan kewajiban konstitusional
yang harus dilakukan secara berencana, bertahap, dan berkesinambungan.
Sejalan dengan itu, upaya memelihara kesinambungan penghasilan pada hari tua
perlu mendapat perhatian dan penanganan agar lebih berdayaguna dan berhasilguna. Dalam
hubungan ini di masyarakat telah berkembang suatu bentuk tabungan masyarakat yang
semakin banyak dikenal oleh para karyawan, yaitu dana pensiun. Bentuk tabungan ini
mempunyai ciri sebagai tabungan jangka panjang, yang dinikmati hasilnya setelah karyawan
yang bersangkutan pensiun. Penyelenggaraannya dilakukan dalam suatu program, yaitu
program pensiun yang mengupayakan manfaat pensiun bagi pesertanya melalui suatu sistem
pemupukan dana yang lazim disebut pendanaan.
Sistem pendanaan suatu program pensiun memungkinkan terbentuknya akumulasi
dana, yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan penghasilan peserta program pada
hari tua. Keyakinan akan adanya kesinambungan penghasilan menimbulkan ketenteraman
kerja, sehingga akan meningkatkan motivasi kerja karyawan yang merupakan iklim yang
kondusif bagi peningkatan produktivitas. Dalam dimensi yang lebih luas, akumulasi dana
yang terhimpun dari penyelenggaraan program pensiun merupakan salah satu sumber dana
yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan nasional.

Mengingat manfaatnya yang besar, baik bagi peserta maupun bagi masyarakat luas
dan bagi pembangunan nasional, maka upaya penyelenggaraan program pensiun selama ini
telah didukung oleh Pemerintah.

2. Landasan hukum
Dewasa ini program pensiun dengan pemupukan dana diselenggarakan oleh pemberi
kerja berdasarkan Staatsblad Tahun 1926 Nomor 377 yang merupakan peraturan pelaksanaan
dari Pasal 1601 s bagian kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Ketentuan tersebut
memungkinkan pembentukan dana bersama antara pemberi kerja dan karyawan, namun tidak
memadai sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan program pensiun. Hal ini disebabkan
tidak adanya ketentuan yang mengatur hal-hal mendasar dalam rangka pemenuhan hak dan
kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan program pensiun, serta dalam pengelolaan,
kepengurusan, pengawasan, dan sebagainya.
Untuk itu, pada tahun 1992 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun, sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan program pensiun di
Indonesia. Undang-undang ini diharapkan membawa pertumbuhan dana pensiun di Indonesia
secara lebih pesat, tertib dan sehat, sehingga membawa manfaat nyata bagi peningkatan
kesejahteraan seluruh masyarakat. Khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS), penyelenggaraan

26
program jaminan kesejahteraannya diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1956
tentang Pembelanjaan Pensiun; Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun
Pegawai dan Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian; dan Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam penyelenggaraan program asuransi
sosial bagi PNS telah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 1981, diantaranya diatur mengenai
besarnya iuran bagi setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua (THT) dan Pensiun.

Sementara itu, program kesejahteraan bagi anggota TNI/Polri diatur dalam beberapa
Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang Pemberian Pensiun dan
Onderstand Angkatan Perang RI; Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun,
Tunjangan bersifat Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan Prajurut TNI dan Anggota Polri;
Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI; dan Undang-
undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI.
Selanjutnya, untuk program kesejahteraan pekerja swasta dan BUMN telah diatur
dalam suatu Undang-undang yaitu UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Jamsostek), yang dibahas secara terpisah pada bagian lain.

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial


Hingga saat ini terdapat 3 (tiga) lembaga penyelenggara jaminan hari tua (JHT) dan
pensiun di Indonesia, yaitu:
a. PT. TASPEN, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial bagi para
PNS baik untuk pensiun maupun tabungan hari tua;
b. PT. JAMSOSTEK, yang menyelenggarakan program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja di luar pensiun bagi pekerja swasta;
c. PT. ASABRI, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial bagi para
anggota TNI/POLRI baik untuk pensiun maupun tabungan hari tua;

Di samping ketiga lembaga tersebut di atas, terdapat juga lembaga pensiun yang
didirikan oleh perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN ditetapkan sebagai
penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan
Tabungan Hari Tua (THT). Di samping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan
beberapa program lainnya, seperti asuransi kematian, uang duka wafat, bantuan untuk
Veteran, dan uang tabungan perumahan (Taperum) yang diperoleh dari BAPERTARUM.

Pendanaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1969


adalah dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut sebagai pendanaan “pay as you go”
(seorang PNS begitu pensiun langsung dibayar). Sistem ini telah dilakukan sampai dengan
akhir tahun 1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan
sistem pendanaan pensiun dengan pola “current cost financing” yaitu suatu metode
gabungan pay as you go dengan funded system dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran
peserta program pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan ini, beban pembayaran pensiun yang

27
dialokasikan dari APBN adalah sebesar 75% dan dari akumulasi iuran peserta sebesar 25%
dari seluruh beban pembayaran pensiun PNS.
Sementara itu, sumber dana program tabungan hari tua (THT) PNS diperoleh dari
iuran peserta sebesar 3,25% dari penghasilan peserta setiap bulan. Sedangkan sumber dana
untuk program dana pensiun PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 4,75% dari
penghasilan peserta setiap bulan. Penghasilan yang dimaksud disini adalah gaji pokok
ditambah tunjangan istri ditambah tunjangan anak. Di samping itu, PNS juga dikenakan
iuran sebesar 2,00% dari penghasilan peserta setiap bulan untuk membayar iuran program
kesehatan.
Formula manfaat program tabungan hari tua sejak Januari 2001 sampai dengan
sekarang didasarkan pada Keputusan Direksi PT Taspen dengan menggunakan formula:

(0,55 x MI 1 x P2000) + (0,55 x MI 2 x (P2001 – P2000))

MI 1: Masa iuran sejak menjadi peserta sampai dengan berhenti.


MI 2: Masa Iuran sejak 2001 sampai dengan berhenti.

Sedangkan formula manfaat program pensiun adalah:

2,5% x masa kerja x penghasilan dasar pensiun

Pelaksanaan pembayaran program tabungan hari tua dan pensiun dilakukan melalui
4000 titik kantor bayar melalui PT. Taspen, bank, dan kantor pos.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992, dalam program
jamsostek untuk jangka panjang, terdapat jenis perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
jaminan hari tua (JHT). Besarnya iuran jaminan hari tua adalah sebesar 5,7% dari upah
sebulan – sebesar 3,7% ditanggung oleh pengusaha (selaku pemberi kerja) dan sebesar 2%
ditanggung oleh pekerja.
Jaminan hari tua dibayarkan secara sekaligus atau berkala kepada tenaga kerja,
karena telah mencapai usia 55 tahun, atau mengalami cacat total tetap setelah ditetapkan oleh
dokter. Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua dibayarkan kepada janda
atau duda atau anak yatim piatu.

4. Identifikasi dan analisis stakeholders


Berbagai institusi terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pengendalian program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang berkaitan dengan PT.
(Persero) Taspen, adalah: Departemen Keuangan, Kementerian BUMN selaku pemegang
saham, Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, baik di pusat maupun di daerah,
BKN, Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, BPK, dan BPKP. Sementara itu,
institusi yang terlibat berkaitan dengan PT. Jamsostek adalah: Departemen Keuangan, dan
Kementerian BUMN selaku pemegang saham.

28
5. Target beneficiaries
Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang dilaksanakan oleh PT.
Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil (PNS), kecuali PNS di lingkungan Departemen
Pertahanan. Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak 3.932.766 orang, dengan rincian
sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602 orang PNS pusat. Yang berhak
mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundanga yang berlaku adalah peserta, atau
janda/duda dari peserta, atau janda/duda dari penerima pensiun, atau yatim piatu dari peserta,
atau yatim piatu dari penerima pensiun, atau orang tua dari peserta yang tewas yang tidak
meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak menerima pensiun. Sedangkan yang
berhak mendapat tabungan hari tua adalah peserta, atau istri/suami, anak, atau ahli waris
peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia.
Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang dilaksanakan oleh PT.
Jamsostek adalah seluruh karyawan yang mempunyai hubungan kerja, atau keluarganya, atau
ahli warisnya.

29
IX. JAMINAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT MISKIN
DAN RENTAN

1. Latar belakang
Dalam kurun waktu 57 tahun sejak Indonesia merdeka telah banyak upaya yang
dilakukan Pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, hingga
saat ini kemiskinan masih menjadi masalah utama yang harus ditangani bersama. Sampai
dengan tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin telah mencapai
sekitar 37,5 juta jiwa (Susenas 2000), dan sekitar 13,4 juta di antaranya tergolong penduduk
yang sangat miskin (crust of the poor).
Untuk menjamin kesejahteraan rakyat, Pemerintah telah menyelenggarakan beberapa
skema bentuk-bentuk perlindungan dan jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, asuransi
ABRI, pensiun, jaminan sosial tenaga kerja, dan lain-lain. Namun, penduduk miskin dan
terutama yang bekerja di sektor informal pada umumnya belum tersentuh oleh skema-skema
tersebut, sehingga mereka berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap ketidakstabilan
perekonomian yang terjadi baik di lingkungannya maupun di Indonesia secara umum. Oleh
sebab itu, Pemerintah memandang perlu untuk menyelenggarakan suatu bentuk perlindungan
sosial yang dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi penduduk miskin
tersebut.

2. Landasan hukum
Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang melandasi penyelenggaraan
perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat rentan, yaitu:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial (Lembar Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3039). Khususnya: (1) Pasal 1: Setiap warga negara berhak atas taraf
kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin
ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial; (2) Pasal 2 ayat (4): Jaminan
Sosial sebagai perwujudan daripada sekuritas sosial adalah seluruh sistem
perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial warga negara yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf
kesejahteraan sosial; (3) Pasal 4 ayat (1): Usaha-usaha pemerintah di bidang
kesejahteraan sosial meliputi: (a) bantuan Sosial kepada warga negara baik secara
perseorangan maupun dalam kelompok yang mengalami kehilangan peranan sosial
atau menjadi korban akibat terjadinya bencana-bencana, baik sosial maupun alamiah
atau peristiwa-peristiwa lain; (b) pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui
penyelenggaraan suatu sistem jaminan sosial; (c) bimbingan, pembinaan dan
rehabilitasi sosial, termasuk di dalamnya penyaluran ke dalam masyarakat kepada
warga negara, baik perorangan maupun dalam kelompok, yang terganggu
kemampuannya untuk mempertahankan hidup, yang terlantar, atau yang tersesat; dan
(d) pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan peradaban,
perikemanusiaan, dan kegotong royongan; (4) Pasal 5 ayat (1): Pemerintah

30
mengadakan usaha-usaha ke arah terwujudnya dan terbinanya suatu jaminan sosial
yang menyeluruh. (Penjelasan: Ayat ini membebankan kewajiban kepada Pemerintah
untuk melaksanakan dan membina suatu sistem jaminan sosial sebagai perwujudan
dari pada sekuritas sosial dan sebagai wahana utama pemeliharaan kesejahteraan
sosial termaksud, pelaksanaannya mengutamakan penggunaan asuransi sosial
dan/atau bantuan sosial.)
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Pasal 5
ayat (2) huruf g: Bagi Lanjut Usia yang tidak potensial agar dapat mewujudkan taraf
hidup yang wajar diberikan perlindungan sosial berupa pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial.
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
5. Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Kesejahteraan Penyandang Cacat
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
8. Undang-undang nomor 22 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial


Melihat keadaan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih belum dapat
menikmati kesejahteraan sosial yang memadai, dan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang tersebut di atas, Pemerintah perlu menyelenggarakan jaminan kesejahteraan
sosial (Jamkesos) bagi masyarakat yang masih tergolong rentan.
Jamkesos pada dasarnya merupakan suatu bentuk jaminan sosial yang
diselenggarakan oleh Pemerintah guna memastikan bahwa rakyat miskin dan tidak mampu
dapat mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya dan masih dapat terpenuhi kebutuhan
dasar minimal hidupnya. Bentuk dari Jamkesos terbagi dua, yaitu: (1) Bantuan Kesejahteraan
Sosial (BKS) yang bisa bersifat permanen dan yang bersifat sementara (emergency); dan (2)
Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos).
Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) diberikan kepada individu, keluarga, kelompok,
atau komunitas yang tidak mampu. BKS permanen diberikan secara terus menerus pada
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang permanen, seperti lanjut usia
terlantar, dan penyandang cacat ganda. Adapun BKS sementara (emergency) diberikan
dalam kurun waktu tertentu kepada PMKS non permanen, seperti korban bencana alam dan
sosial.
Sementara itu, Askesos yang merupakan sistem asuransi sosial, ditujukan untuk
melindungi penduduk miskin dari resiko (risk) yang mengakibatkan menurunnya tingkat
kesejahteraan sosialnya, sebagai akibat dari pencari nafkah menderita sakit, mengalami
kecelakaan, atau meninggal dunia. Askesos saat ini masih dalam tahap uji coba dengan
keanggotaan bersifat sukarela dan terbatas untuk kelompok tertentu. Rencana ke depan,
Askesos akan diterapkan secara nasional, dan dalam bentuk asuransi wajib, berlaku bagi
semua orang, dan semua kepala keluarga.

4. Identifikasi dan analisis stakeholders


Departemen Sosial (Depsos) yang diberikan mandat untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang sosial telah berinisiatif untuk

31
menyelenggarakan jaminan kesejahteraan sosial dengan target beneficiary masyarakat
rentan. Dalam pelaksanaan Jamkesos, Depsos bekerjasama dengan Dinas Sosial Pemerintah
Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Namun dengan dilaksanakannya desentralisasi,
pelaksanaan kegiatan dan monitoring Jamkesos serta Askesos menjadi lebih sulit
dilaksanakan, sebab tidak adanya hubungan struktural antara pusat dan daerah.

5. Target beneficiaries
Saat ini BKS permanen yang dilaksanakan adalah Jaminan Kesejahteraan Sosial
Gotong Royong (JKS-GR) yang diberikan dalam bentuk uang melalui kelompok-kelompok
sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini masih difokuskan pada
kelompok penduduk miskin yang tergabung dalam koperasi-koperasi, kelompok usaha
bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil usaha dari kelompok-kelompok tersebut sebagian
disisihkan untuk membantu kesejahteraan PMKS permanen tadi. Dalam BKS permanen,
kelompok penduduk yang menjadi sasaran utama dari kegiatan JKS Gotong Royong (JKS-
GR) adalah lansia terlantar, anak terlantar, anak yatim piatu miskin, dan penyandang cacat
fisik dan mental (cacat ganda).
Sementara itu, untuk BKS sementara, sasaran utamanya adalah korban bencana alam
dan bencana sosial untuk menstimulasi keberdayaan mereka menuju kemandirian.
Sedangkan sasaran utama Askesos adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin dan
bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pedagang sayur, dan
lain-lain.

X. KAITAN ANTARA SISTEM ADMINISTRASI


KEPENDUDUKAN DAN SPJS NASIONAL

32
1. Pengantar
Sesuai dengan rekomendasi MPR RI melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002,
pemerintah berkewajiban menciptakan suatu sistim pengenal tunggal dan terpadu (Kartu
Tanda Penduduk), atau nomor induk tunggal dan terpadu bagi seluruh penduduk Indonesia
dari lahir hingga meninggal dunia. Dengan nomor yang sama dapat juga digunakan untuk
pasport, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, dan kartu pengenal lainnya. Untuk
kepentingan yang dimaksud, Pemerintah berkewajiban untuk mendata setiap penduduk
berdasarkan ciri, status kependudukan, serta mencatat dan merekam setiap peristiwa vital
yang terjadi pada setiap individu penduduk, yang kemudian disimpan dalam suatu sistem
database kependudukan secara nasional. Database kependudukan yang dibangun secara
nasional dikembangkan dengan konsep sentralisasi untuk menjaga agar tidak terjadi
pendataan berulangkali atas identitas seseorang penduduk.
Dengan demikian, identitas penduduk tersebut harus tunggal dan diwujudkan dalam
bentuk Nomor Identitas Tunggal atau disebut Nomor Induk Kependudukan (NIK). Nomor
induk tunggal tersebut merupakan kode akses bagi masyarakat untuk mendapatkan berbagai
layanan publik, seperti: perpajakan, kepemilikan tanah (sertifikat), keimigrasian (pasport),
kepolisian (SIM, STNK, BPKP), dan layanan-layanan publik lainnya, termasuk pelayanan
perlindungan dan jaminan sosial (asuransi sosial dan bantuan sosial).
Keterkaitan antara nomor identitas tunggal, yang termasuk biodata penduduk,
terhadap suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial akan cukup bermanfaat diantaranya:
(1) elemen-elemen data pada biodata dapat secara langsung mendeteksi jati diri seseorang
berkaitan dengan potensi untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan sosial, (2) dokumen
pelayanan kependudukan, seperti KTP dapat dikaitkan langsung untuk disertakan dalam
program perlindungan dan jaminan sosial, seperti penerbitan dokumen polis asuransi, (3)
tersedianya informasi struktur penduduk (Contoh: Angka Harapan Hidup) yang dapat
digunakan untuk membantu menetapkan suatu premi dari program perlindungan dan jaminan
sosial tertentu (kesehatan, kematian, kecelakaan kerja, dan pensiun).

2. Permasalahan
Berkenaan dengan upaya pemberian atau penerapan nomor identitas tunggal oleh
Pemerintah terdapat beberapa permasalahan yang perlu untuk ditindaklanjuti pemecahannya
secara terpadu antar instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah, yaitu :
1. Perundang-undangan: Belum adanya landasan hukum yang memadai untuk
mendukung sistem informasi kependudukan terpadu secara nasional. Untuk itu, perlu
dibuat suatu peraturan perundang-undangan tentang administrasi kependudukan dan
tentang perlindungan data pribadi penduduk.
2. Kelembagaan: Belum tersedianya kelembagaan di tingkat pusat yang berwenang
menetapkan kebijakan, pedoman, standarisasi pengelolaan database kependudukan
nasional serta dokumen kependudukan yang bernilai hukum. Akibatnya, banyak
instansi-instansi secara terpisah mengelola data informasi kependudukan yang sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sehingga mengakibatkan
beragamnya data yang tersedia.
3. Sistem informasi pengelolaan data: Dengan belum tersedianya landasan hukum
yang memadai untuk mendukung sistem informasi kependudukan secara nasional
tersebut, mengakibatkan belum seragamnya elemen biodata dokumen kependudukan
(formulir) secara nasional, sehingga pada akhirnya menyulitkan dalam pembangunan
aplikasi pelayanan dokumen secara elektronik (application software). Di samping itu,

33
dengan belum seragamnya sistem perangkat lunak dan keras yang dikembangkan di
masing-masing daerah mengakibatkan sulitnya mewujudkan suatu bank data
kependudukan nasional yang terintegrasi.
4. Kesadaran masyarakat tentang nomor induk kependudukan (NIK) masih kurang,
terutama berkaitan dengan proses pendaftaran atau pencatatan kejadian vital yang
merupakan elemen utama pengisian biodata NIK.

Sehubungan dengan Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 untuk menciptakan suatu


sistem pengenal tunggal (NIK) untuk seluruh penduduk Indonesia dan setelah mengetahui
berbagai permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka diperlukan langkah-langkah
strategis untuk mengantisipasinya agar amanat konstitusi bahwa setiap penduduk berhak
mendapatkan pengakuan dan jaminan perlindungan yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum dapat diwujudkan.

3. Langkah-langkah kebijakan
Beberapa langkah kebijakan dapat dilakukan untuk menciptakan suatu sistem pengenal
tunggal (NIK), antara lain melalui:
1. Mempersiapkan langkah-langkah penyusunan peraturan perundang-undangan di
bidang informasi kependudukan. Pada tanggal 2 Oktober 2002 telah dikeluarkan
Nota Kesepahaman antara Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, dan
Badan Pusat Statistik tentang pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk
berkelanjutan. Langkah ini merupakan momentum awal yang penting dalam
mempercepat pembentukan database kependudukan nasional, yang pada akhirnya
dapat memberikan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk Indonesia.
2. Membangun jejaring kelembagaan antar instansi terkait (Depdagri, Depkeham,
Depag, dan Polri) untuk koneksitas antar sistem informasi, sehingga berlangsung
pertukaran data dan informasi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan publik.
3. Mengelompokkan daerah ke dalam tipologi untuk menata kelembagaan dan sumber
daya informatikanya.
4. Membangun sistem informasi kependudukan dengan metode paralel, yaitu
mempertimbangkan sistem yang sudah terbangun di daerah, secara bertahap dan
berkesinambungan untuk mengurangi resistensi sistem yang ada serta menekan biaya
(Catatan: Saat ini sedang diujicobakan di Kota Manado).
5. Melakukan standarisasi format input (elemen biodata) dan output (KTP, KK, akta)
secara nasional yang sederhana,,namun memenuhi aspek hukum dan kependudukan
(statistik vital).
6. Mengembangkan kerjasama dengan pusat-pusat penyiaran, penerbitan, dan pelayanan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi
mewujudkan tertib administrasi kependudukan.

4. Konsep nomor induk kependudukan (NIK)


Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2A Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem Informasi Kependudukan

34
(SIMDUK) adalah dengan komposisi: 6 (enam) digit pertama merupakan kode wilayah –
yang terbagi menjadi 2 (dua) digit propinsi, 2 (dua) digit kabupaten, dan 2 (dua) digit
kecamatan; 6 (enam) digit kedua merupakan tanggal lahir pemegang NIK – yang terbagi 2
(dua) digit tanggal kelahiran-khusus perempuan tanggal kelahiran ditambah 40, 2 (dua) digit
bulan kelahiran, dan 2 (dua) digit tahun kelahiran; serta 4 (empat) digit terakhir merupakan
nomor urut pengeluaran NIK yang diterbitkan oleh sistem komputer. NIK tersebut diberikan
pada saat penduduk mengajukan permohonan atau pelaporan biodata.
Proses tahapan penomoran NIK dapat diuraikan sebagai berikut:
7. Tingkat kelurahan, terdiri dari: permohonan/pelaporan oleh penduduk, pengisian
elemen biodata, verifikasi formulir dan syarat-syarat, penerbitan surat keterangan,
dan penyerahan dokumen kepada penduduk.
8. Tingkat Kecamatan, terdiri dari: verifikasi berka s dan syarat-syarat pendaftaran
penduduk, perekaman elemen biodata, pencetakan dokumen dan pengesahan (KK,
KTP), dan pencetakan laporan/statistik (bahan analisis).
9. Tingkat Kabupaten/Kota, terdiri dari: verifikasi berkas dan syarat-syarat,
perekaman data, pencetakan dokumen dan pengesahan, dan pencetakan
laporan/statistik (bahan analisis).
10. Tingkat Propinsi, terdiri dari: koordinasi dan penyerasian, dan pencetakan
laporan/statistik (bahan analisis).
11. Tingkat Pusat, terdiri dari pembuatan kebijakan, pedoman, dan standar-standar;
koordinasi dan penyerasian; penomoran NIK dan KK; dan pencetakan
laporan/statistik (bahan analisis).

SISTEM NIK DAN PELAYANAN PUBLIK

35
Pelayanan sosial:
Jasa Layanan: kesehatan,
Telp, Air, pendidikan,
Listrik Pelayanan Jaminan
Sosial

Perijinan:
Database Pelayanan
Usaha,
(N I K) Kepemilikan:
Perdagangan
Sertifikat tanah, IMB

Pelayanan Keimigrasian: Pajak: PBB, SPT


Perbankan Passport, KITAS Kepolisian: SIM,
STNK, BPKP

Sumber: Ditjen Adminduk, Depdagdri

Semua tahapan wilayah mempergunakan jasa ekstranet (internet-komunikasi-


modem). Konsep pengembangan sistem informasi kependudukan tersebut mempergunakan
sistim 3-tier technology. Sistem ini mempergunakan 3 (tiga) layer, yang terdiri dari: layer 1
adalah client (tempat pengisian data penduduk); layer 2 adalah middleware (proses
identifikasi aparat/pengguna yang mempunyai akses); dan layer 3 merupakan database
server (pencatatan data).
Dengan terselenggaranya pendataan penduduk secara nasional dengan menggunakan
jasa ekstranet, maka relasional penggunaan data kependudukan dengan pelayanan publik
lainnya akan dapat terlaksana.

5. Hubungan antara konsep NIK dengan SPJS Nasional


Sistem Penomoran Penduduk Tunggal atau Nomor Induk/identifikasi Kependudukan (NIK)
terletak pada konsep identifikasi.

Sistem Nomor Penduduk Tunggal


Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002, pemerintah berkewajiban menciptakan suatu
sistim pengenal tunggal dan terpadu (Kartu Tanda Penduduk), atau nomor induk tunggal dan
terpadu bagi seluruh penduduk Indonesia dari lahir hingga meninggal dunia.
Formulasi SPJS nantinya tidak hanya dalam bentuk pelayanan dan benefit saja, tetapi
cara identifikasi penduduk yang berhak menerima pelayanan SPJS. Untuk itu, diperlukan
suatu mekanisme pengenalan sasaran penduduk melalui suatu sistem administrasi penduduk,
yaitu Sistem Nomor Penduduk Tunggal. Dengan demikian, identitas penduduk tersebut harus
tunggal dan diwujudkan dalam bentuk Nomor Identitas Tunggal atau disebut Nomor Induk
Kependudukan (NIK/Population Unique Number). Nomor induk tunggal tersebut merupakan
kode akses bagi masyarakat untuk mendapatkan berbagai layanan publik, seperti:
perpajakan, kepemilikan tanah (sertifikat), keimigrasian (pasport), kepolisian (SIM, STNK,
BPKP), dan layanan-layanan publik lainnya, termasuk pelayanan perlindungan dan jaminan

36
sosial (asuransi sosial dan bantuan sosial). Di negara maju sistem penomeran ini lebih
dikenal sebagai Social Security Number.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2A Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem Informasi Kependudukan (SIMDUK)
dinyatakan dengan komposisi: 6 (enam) digit pertama merupakan kode wilayah – yang
terbagi menjadi 2 (dua) digit propinsi, 2 (dua) digit kabupaten, dan 2 (dua) digit kecamatan;
6 (enam) digit kedua merupakan tanggal lahir pemegang NIK – yang terbagi 2 (dua) digit
tanggal kelahiran-khusus perempuan tanggal kelahiran ditambah 40, 2 (dua) digit bulan
kelahiran, dan 2 (dua) digit tahun kelahiran; serta 4 (empat) digit terakhir merupakan nomor
urut pengeluaran NIK yang diterbitkan oleh sistem komputer. NIK tersebut diberikan pada
saat penduduk mengajukan permohonan atau pelaporan biodata. Proses tahapan penomoran
NIK berjenjang dimulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, Kabupaten/kota dan propinsi.
Dengan terselenggaranya pendataan penduduk secara nasional --yang data dasarnya
diawali oleh kegiatan P4B pada bulan April 2003— pada tahapan berikutnya dengan
menggunakan jasa ekstranet (internet-komunikasi-modem), maka relasional penggunaan
data kependudukan dengan pelayanan publik lainnya, seperti SPJS di masa yang akan
datang, akan dapat terlaksana secara terstruktur dan terkoordinasi
Pada tahap selanjutnya, permasalahan penting yang dihadapi dalam upaya
pelaksanaan NIK dan khususnya ketika dikaitkan dengan SPJS, adalah belum adanya
landasan hukum yang memadai untuk mendukung sistem informasi kependudukan terpadu
secara nasional. Untuk itu, perlu dibuat suatu peraturan perundang-undangan tentang
administrasi kependudukan dan tentang perlindungan data pribadi penduduk yang tercakup
dalam database NIK.

37
XI. ANALISA SITUASI DAN SPSJ NASIONAL MASA
DEPAN

1. Analisa situasi
Landasan hukum perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini masih bersifat
parsial dan belum terpadu. Sebagai contoh, jaminan sosial di bidang tenaga kerja dilandasi
dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang
mencakup Jaminan Hari Tua, Kematian, Kecelakaan Kerja, dan Pemeliharaan Kesehatan
bagi pegawai swasta; sedangkan penyelenggaraannya dilaksankan oleh PT. Jamsostek.
Jaminan kesehatan bagi PNS dilandasi oleh UU No. 2 Tahun 1992 dan PP 69 Tahun 1991
sedangkan pengelolaannya diselenggarakan oleh PT Askes; Jaminan Hari Tua dan Pensiun
bagi PNS diselenggarakn dengan landasan UU No. 43 Tahun 1999 dan dikelola oleh PT
Taspen. Contoh terakhir adalah Jaminan TNI/Polri yang diselenggarakan berdasarkan UU
No. 6 Tahun 1966 dan pengelolaannya oleh PT Asabri.
Produk hukum yang bervariasi mengakibatkan banyaknya institusi/lembaga yang
melaksanakan perlindungan dan jaminan sosial. Menurut Tim SJSN dan beberapa pemerhati
asuransi sosial, hal ini berlawanan dengan hukum bilangan besar (law of the large number),
yaitu dengan cakupan besar (peserta) maka sebaran resiko (risk distribution) akan lebih
merata dan beban yang dipikul masing-masing peserta (premi) akan semakin kecil.
Kelembagaan pengelolaan SPJS yang ada saat ini dilakukan oleh banyak instansi.
Misalnya, untuk asuransi sosial dikelola oleh BUMN, dibawah Departemen Keuangan –
tidak independent, yang juga bertujuan profit-oriented. Sementara itu, bantuan sosial
dikelola oleh banyak Departemen/LPMD, yang tidak jarang menimbulkan tumpang tindih,
karena lemahnya koordinasi.
Pengalaman beberapa negara yang cukup berhasil dalam pengelolaan perlindungan
dan jaminan sosial bagi masyarakatnya, menunjukkan bahwa pengelolaan SPJS dilakukan
oleh satu lembaga (centralized) yang independent. Lembaga tersebut antara lain mempunyai
otoritas untuk mengkoordinir, memantau pelaksanaan program, mengelola dana dan
investasi, serta melakukan pemasyarakatan program. Prinsip yang digunakan adalah
economic scale dan cost-effectivenes.

2. Prinsip kemitraan dan pendanaan berbasis masyarakat


Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan pengembangan
pemberdayaan masyarakat dan pranata-pranata lokal. Contohnya: pemberdayaan zakat,
infaq, dan sodaqoh (Islam), perpuluhan (Kristen) dan dharma (Hindu). Di samping itu,
bentuk-bentuk kearifan lokal yang sudah ada dan berkembang di masyarakat, perlu terus
diperkuat. Misalnya: Banjar di Kabupaten Gianyar, Bali – yang terkait erat dengan desa adat
– melalui iuran dana kesehatan untuk membantu pemangku adat yang kehidupannya masih
sulit; tabungan ibu bersalin (Tabulin) di Kabupaten Banyumas, Jateng – melalui sistem
tabungan untuk dana kesehatan terutama untuk biaya persalinan pada saat ibu melahirkan;
bapak angkat di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk “mutual benefit” antara
pengusaha (dalam bentuk kemudahan perijinan dan fasilitas internet) dengan murid dari
keluarga miskin (dalam bentuk pelatihan keterampilan/ kerajinan); dokter kontrak di

38
Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk iuran wajib kesehatan yang dibayarkan oleh
kelompok masyarakat muslim kepada dokter swasta dengan menggunakan sistem kontrak.
Bantuan sosial yang diberikan selama ini belum mencakup seluruh penduduk
(miskin, dan atau rentan – lansia terlantar, cacat, anak terlantar, anak jalanan, komunitas adat
terpencil). Di samping itu, banyak instansi pemerintah yang melaksanakan skema ini,
sehingga pemanfaatannya belum optimal. Bantuan sosial yang bersumber dari dana
masyarakat juga belum dikelola secara optimal.

3. Pemikiran SPJS masa depan


SPJS merupakan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional yang terpadu
dengan memperhatikan kearifan lokal. Dengan otonomi daerah yang telah dimulai sejak awal
tahun 2001, kelembagaan yang menangani SPJS diharapkan juga akan melibatkan partisipasi
Pemda (termasuk kelembagaan, aspek hukum, dan keuangan). Kelembagaan SPJS, selain
independent, juga harus merupakan lembaga yang non-profit oriented.
Berdasarkan diskusi lintas sektor dan para pakar terkait, baik di pusat dan daerah,
serta memperhatikan referensi hasil penelitian dan laporan yang telah dikerjakan pihak-pihak
lain, serta didukung oleh konsep yang dikembangkan oleh Tim SJSN maka rekomendasi
untuk SPJS Indonesia di masa depan dapat dikelompokkan menjadi dua, SPJS yang
terintegrasi dan yang tidak terintegrasi. SPJS terintegrasi akan memadukan semua sistem
asuransi sosial yang sudah ada ke dalam bentuk sistem jaminan sosial nasional yang terpadu
atau terintegrasi. Sedangkan SPJS yang tidak terintegrasi diwujudkan dalam bentuk
perlindungan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui pemberian atau akses untuk
memperoleh pelayanan sosial dasar seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan; dan
pemberian jaminan sosial atau lebih dikenal dengan istilah Social Security System bagi
kelompok masyarakat yang memenuhi syarat tertentu, misalnya para penyandang cacat yang
tidak dapat bekerja dan penduduk lanjut usia.

4. SPJS yang terintegrasi


Pengertian jaminan sosial berdasarkan cakupan manfaat, pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: asuransi sosial (social insurance) dan
bantuan sosial (social assistance).
Pengertian asuransi sosial, persis seperti konsep asuransi pada umumnya. Dengan
demikian, besarnya premi merupakan sharing antara pemberi kerja (yaitu pemerintah untuk
PNS dan pengusaha untuk pegawai non-PNS/swasta) dan pekerja (PNS atau pegawai non-
PNS/swasta), yang mempunyai hubungan kerja. Perlu dicatat bahwa asuransi sosial ini
bersifat sosial, karena ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Asuransi sosial dapat
mencakup tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, tunjangan hari
tua, pensiun, dan tunjangan kematian.
Sedangkan bantuan sosial, berupa bantuan dalam bentuk, misalnya, block grant
atau emergency fund dengan tujuan sosial. Bantuan Sosial ditujukan untuk masyarakat
umum,
seluruh penduduk Indonesia seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Bantuan
sosial ditujukan untuk mereka yang memerlukannya, dalam berbagai bentuk seperti bantuan
bencana alam untuk masyarakat yang terkena bencana banjir dan angin topan di pesisir
pantai.

39
Asuransi sosial mencakup tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja, pemutusan
hubungan kerja, tunjangan hari tua, pensiun, dan tunjangan kematian. Sedangkan bantuan
sosial adalah jaminan bagi masyarakat miskin untuk memperoleh kebutuhan hidup
minimum.
Secara kelembagaan, penyelenggaraan Sistim Perlindungan dan Jaminan Sosial
diilaksankan oleh suatu lembaga yang bersifat nasional agar dapat memenuhi prinsip the law
of large number. Namun secara operasional dilaksanakan oleh kantor perwakilan di daerah-
daerah sesuai dengan kesiapan daerah.

5. Peraturan perundangan-undangan
Perlu disusun suatu undang-undang Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang
mengatur seluruh penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial yang akan memberikan
perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu kepada rakyat Indonesia baik
melalui pendekatan asuransi sosial maupun bantuan sosial.

40
XII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan
1. UUD 1945 merupakan landasan hukum yang kuat bagi terbentuknya
Perlindungan dan Jaminan Sosial. Beberapa pasal dalam UUD 1945 lebih
mempertegas hal tersebut, misalnya Pasal 27 – “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; Pasal
31 – “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”; dan Pasal 34 –
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Di
samping itu, Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 secara
eksplisit menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat”.
2. Dasar penting lain selain UUD 1945 adalah Ketetapan MPR RI No.
X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga
Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001. Dalam dokumen
itu, Presiden RI ditugaskan secara tegas untuk membentuk suatu sistem
jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih
menyeluruh dan terpadu kepada rakyat Indonesia.
3. Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah mulai bekerja sejak
tahun lalu, telah merampungkan Naskah Akademik tentang SJSN yang akan
menjadi acuan pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Bappenas, telah melakukan dua kajian secara intern:
Review sistem asuransi sosial di Indonesia yang dilaksanakan di lingkungan
Deputi Ekonomi.
4. Kajian awal SPJS dilingkungan Deputi SDM dan Kebudayaan dengan
melibatkan departemen dan BUMN pengelola asuransi terkait.
5. Dalam tahun 2003 kegiatan kajian awal di atas akan dilanjutkan dengan
penyusunan formulasi dasar kebijakan upaya pembentukkan SPJS.
Diharapkan tiga kajian di atas dapat menjadi landasan bagi Bappenas untuk
menyusun rekomendasi kebijakan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas.
6. Bappenas telah memperoleh Technical Asistance (TA) dari ADB untuk
Sustainable Social Protection yang akan mulai dilaksanakan mulai September
2003 sampai dengan Juni 2004, TA ini berupa pemberian bantuan berbagai
tenaga ahli yang meliputi social protection policy specialist, social
assistance/social insurance specialist, institutional development specialist,
legal specialist, financial analyst, labor specialist, community development
specialist, poverty specialist, dan gender specialist. Diharapkan dengan
bantuan ini, akan terbentuk suatu kerangka kebijakan sustainable social
protection khusus untuk Indonesia (bukan mengadopsi sistem negara lain
yang belum tentu sesuai dengan Indonesia).
7. Bantuan dari ILO kepada Pemerintah Indonesia dengan sumber dana yang
berasal dari pemerintah Belanda. Kegiatan ini didasarkan pada beberapa studi
ILO tentang restrukturisasi social security system di Indonesia. Aspek yang

41
direview berkaitan dengan Jamsostek antara lain pada aspek reform of
pension, improvement benefit for work injuries, dan provision unemployment
benefit. Kegiatan ini juga mengkaji kemungkinan pengembangan cakupan
Jamsostek pada pekerja sektor informal, misalnya para TKI (di Luar Negeri)
8. Sejak beberapa tahun terakhir, Departemen Kesehatan telah
menyelenggarakan kegiatan Jaminan Pelayanan Kesehatan Mandiri (JPKM)
bagi para pekerja di sektor informal. Pengelolaannya diselenggarakan oleh
Badan Penyelenggara JPKM di daerah yang dibentuk oleh masyarakat
bersama dengan dinas kesehatan setempat. Dana yang terkumpul bersumber
dari masyarakat sendiri, dan digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan
masing-masing peserta/keluarga JPKM. Namun kegiatan ini kurang
berkembang karena rendahnya minat masyarakat. Saat ini penyelenggaraan di
sebagian besar daerah masih dalam tahap sosialisasi.
9. Sejak beberapa waktu yang lalu, Departemen Sosial telah menyelenggarakan
uji coba Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) bagi penduduk miskin yang
bekerja di sektor informal terutama para pedagang kaki lima, pedagang sayur,
dan tukang becak di beberapa daerah. Cakupan asuransi adalah perawatan
kesakitan, kecelakaan, atau meninggal dunia. Pendanaan kegiatan
diselenggarakan melalui kegiatan dan dana APBN.

2. Rekomendasi
1. Berdasarkan kajian dalam Bab terdahulu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia
perlu segera memformulasikan suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial
Nasional. Paling tidak untuk tahap sekarang ini, sistem yang mungkin
dipikirkan dapat diramu dalam dua pilihan.
 Pertama, suatu Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terpadu, seperti
yang dibayangkan dalam tujuan Tim SJSN, guna melindungi seluruh
penduduk Indonesia yang bekerja dan meliputi aspek hukum,
kelembagaan, manfaat, kepersertaan, dan disain klasifikasi sasaran.
Pilihan ini memerlukan perombakan UU termasuk sistemnya.
 Kedua, suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional
(SPJSN) yang terintegrasi dengan memperhatikan asuransi (yang
dibiayai oleh pemerintah dan peserta asuransi/orang yang punya mata
pencarian/bekerja) dan bantuan sosial. Asuransi diselenggarakan dengan
pendekatan klasifikasi kepesertaan (PNS, ABRI, dan Swasta) asuransi
sistem yang sudah ada hanya perlu ditataulang dengan mereview UU
yang sudah ada. Di samping itu, diformulasikan UU yang berkaitan
dengan bantuan sosial yang pendanaannya berasal dari pemerintah (fully
funded). Dengan demikian suatu sistem SPJSN yang terintegrasi
memadukan dan menata asuransi dan bantuan sosial tanpa perlu
merubah sistem yang sudah ada secara total. Konsekuensi dari pilihan
ini adalah penataan sistem sebagai berikut:
o Sebagian dari kegiatan APBN yang sudah berjalan sekarang ini,
terutama yang ditujukan untuk masyarakat miskin akan menjadi
suatu sistem yang berkelanjutan yang penyelenggaraan dan
pembiayaannya tidak lagi sektoral melainkan secara terpadu oleh
suatu Badan tertentu.

42
2. Dalam kaitan dengan pilihan manapun yang nantinya akan dilakukan
pemerintah, Sistem Nomor Penduduk Tunggal perlu digabungkan dengan
Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional. Identitas nomor penduduk
tunggal tersebut diharapkan akan menjadi semacam social security number.
Dengan demikian SPJSN akan mampu menentukan target beneficiary secara
tepat sasaran. Konsekuensi usaha mewujudkan dan merancang sistem SPJS
dan NIK adalah biaya yang besar dan waktu yang cukup panjang.

3. Dalam kaitan itu, catatan penting yang perlu menjadi perhatian semua pihak
terkait – baik instansi pemerintah maupun swasta serta lembaga-lembaga
sosial dan masyarakat, adalah:
 Sistem asuransi sosial yang sudah ada dan berjalan baik dan sehat tidak
dihapuskan untuk memberi pilihan (option) bagi para pekerja untuk
memilih asuransi sosial yang sesuai dengan pilihannya
 Pemberian kebebasan untuk ikut jaminan sosial tertentu yang disukai
masing-masing individu akan mememenuhi hak manusia (human
rights)
 Sistem kearifan lokal yang sudah ada dan berjalan dengan baik
dikalangan masyarakat tetap dikembangkan karena merupakan
kekayaan budaya Indonesia dan merupakan bentuk ketahanan
masyarakat (community resilience)

4. Memperhatikan butir-butir di atas, dalam waktu beberapa tahun yang akan


datang diperlukan suatu desain Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang
terpadu untuk harmonisasi seluruh penyelenggaraan sistem perlindungan dan
jaminan sosial meliputi aspek perundangan-undangan, cakupan manfaat,
kelembagaan, serta target beneficiary/ kepersertaan, termasuk disain
klasifikasi penentuan sasaran.

43
44
LAMPIRAN

45
JADUAL KEGIATAN DAN NARA SUMBER

1. RAPAT PENDAHULUAN
Rapat pendahuluan diselenggarakan di Bappenas.
1) 13 September 2002 Internal Bappenas (RR Dir. KKSPP, Bappenas).
Dihadiri oleh wakil-wakil Direktorat KKSPP, KGM,
AP, Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi,
Pengembangan Otonomi Daerah, dan Direktur
Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah dan staf
2) 19 September 2002 Internal, dengan direktorat terkait di Bappenas (RR Dir.
KKSPP) yaitu KKSPP, KGM, AP, Ketenagakerjaan dan
Analisis Ekonomi, Pengembangan Otonomi Daerah, dan
Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah
3) 25 September 2002 Rapat ini diselenggarakan oleh Deputi SDM dan
Kebudayaan, Bappenas (RR Deputi SDM & K), dan
dihadiri oleh para Direktur Utama BUMN
penyelenggara jaminan sosial; Direktur Utama Askes,
Asabri, Jasa Raharja, Jamsostek, Taspen, dan staf; serta
Direktur dan staf Dit. KKSPP, Bappenas.

2. Seminar dan Diskusi


Kegiatan ini diselenggarakan dengan dihadiri oleh undangan para pejabat departemen
terkait , BUMN, dan Universitas
1) 30 September 2002 Pembicara dari Departemen/LPND terkait
Tempat : RR SS 1-2 Bappenas
2) 7 November 2002 Pembicara dari BUMN penyelenggara jaminan sosial
Tempat: RR SS 1-2 Bappenas

NARA SUMBER:
1) Direktur Peraturan Perpajakan - Ditjen Pajak, DEPKEU
2) Direktur Asuransi - Ditjen Lembaga Keuangan, DEPKEU
3) Direktur Dana Pensiun - Ditjen Lembaga Keuangan, DEPKEU
4) Direktur Perundang-undangan - Ditjen Peraturan Perundang-undangan,
DEPKEHAM
5) Direktur JPKM - Ditjen Binkesmas, DEPKES
6) Direktur Jaminan Sosial - Ditjen Hubungan Industrial, DEPNAKERTRANS
7) Direktur Jaminan Sosial - Ditjen Banjamsos, DEPSOS
8) Sesditjen Dikdasmen, DEPDIKNAS
9) Direktur Informasi Kependudukan - Ditjen Administrasi Kependudukan,
DEPDAGRI
10) Direktur Utama PT Taspen
11) Direktur Utama PT Askes

46
12) Direktur Utama PT Jamsostek
13) Drs. Ari Hindrayono Mahar, MA - LPEM UI

3. WAWANCARA
Kegiatan ini diselenggarakan di kantor/ruangan di instansi/lembaga/perusahaan terkait:
1) Akhir September 2002 Deputi Seswapres Bidang Kesra/Kepala BKKBN
2) 19 November 2002 Tim SJSN
3) 14 Januari 2003 Depdagri
4) 15 Januari 2003 BPHN
5) 16 Januari 2003 Taspen dan Depkeh & HAM
6) 17 Januari 2003 Depsos
7) 20 Januari 2003 Depkeu (Asuransi)
8) 21 Januari 2003 Depnakertrans dan Jamsostek
9) 22 Januari 2003 Depkes
10) 24 Januari 2003 Depkeu (Pajak)
11) 27 Januari 2003 Depdiknas
12) 18 Februari 2003 Jasa Raharja
DAFTAR NAMA RESPONDEN/PEJABAT YANG DIINTERVIEW:
NO. NAMA JABATAN INSTANSI
Kasubdit Kelembagaan Asuransi-Dit.
1. Drs. Salusra Satria, MAF Depkeu
Asuransi
Kasubdit Jaminan Sosial Dalam Hubungan
2. drs. Darmanto Kerja, Dit. Jamsos, Pengupahan, & Depnakertrans
Kesejahteraan
Kasubdit Jaminan Sosial Luar Hubungan
Parulian Lumban Toruan,
3. Kerja, Dit. Jamsos, Pengupahan, & Depnakertrans
SH
Kesejahteraan
Humas-Sekretariat PJPS Bidang
4. Moh. Faisal Siddiq, MBA Depdiknas
Pendidikan
Bambang Purwanto, Ph.D,
5. Direktur Umum & Personalia PT Jamsostek
CPPA
Kasi Pemotongan dan Pemungutan PPH,
6. Bayu Kanishka, Ak., MPA Depkeu
Dit. PPh
7. Drs. H. Mujito, Ak. Kabagren, Sesditjen Dikdasmen Depdiknas
8. H. Supriyo Joko N., SSos. Kepala Divisi Pelayanan PT Jasa Raharja
Kasi Pengembangan Perangkat Lunak,
9. Ir. M. Wahyu Hidayat, MP Depdagri
Dirjen Minduk
10. Asnawi, SE Kasubdit Identifikasi & Analisis Jamsos Depsos
11. drg. Usman Sumantri, MSc. Kasubdit Penyelenggaraan JPKM Depkes
12. Tim SJSN Ketua dan Anggota Tim SJSN Tim SJSN

47
13. Ahmad Ubbe, SH, MH Kapus Perencanaan Hukum BPHN
14. drs. Djoko Daljono Direktur SDM PT Taspen
Kasubdit Pengembangan dan Pelayanan Depkeu-Dana
15. Drs. Isa
Informasi Pensiun
Deputi Seswapres
Prof. DR. Yaumil Agoes Bidang
16. Ketua Tim SJSN
Achir Kesra/Kepala
BKKBN

4. TEMU TUKAR PENDAPAT (TTP)


Temu Tukar Pendapat (TTP) diselenggarakan dalam bentuk presentasi dan diskusi
dengan Bupati, Bappeda Kabupaten/kota, Kanwil, Dinas, Perguruan Tinggi, LSM, anggota
DPRD Kabupaten/Kota. TTP diselenggarakan di lima kabupaten/kota.

JADUAL
1) 11 Februari 2003 Kabupaten Gianyar
2) 20 Februari 2003 Kabupaten Banyumas
3) 28 Februari 2003 Kota Makassar
4) 14 Maret 2003 Kabupaten Asahan
5) 28 Maret 2003 Kota Manado

PESERTA
1) Bupati
2) Kepala Bappeda
3) Kepala Dinas terkait
4) DPRD kabupaten/kota
5) Ormas: Bazis, ISKPI, KOSGORO, KORPRI, Muhammadiyah, dll.
6) Akademisi: Univ.Hasanuddin (Unhas), Univ. Jendral Soedirman (Unsoed),
Univ. Wijaya Kusuma (Unwiku), Univ. Udayana (Unud), STM Doi Roha
7) Penyelenggara jamsos: PT Jamsostek, PT Askes, PT Jiwasraya
8) LSM: Yayasan Biyung Emban, LP2M, Forum Perlindungan Anak, dll.

PEMBICARA/PENYAJI:
1. Kabupaten Gianyar
1) Kasubdin Binkesmas, Dinas Kesehatan
2) Kasubdin SLTA, Dinas Pendidikan
3) Kasi Badan Kesejahteraan Sosial, Dinas Kesos
4) Kapuslit PPLH Universitas Udayana

48
5) Kabid Sosbud, Bappeda
2. Kabupaten Banyumas
1) Kepala Bappeda
2) Kepala Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
3) Kepala Dinas Pendidikan
4) Drs. Bambang Kuncoro, MSi., Dosen Fisip-Universitas Jendral Soedirman
5) Ketua KOSGORO
6) Kepala Cabang Jamsostek
3. Kota Makassar
1) Kepala Bappeda
2) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
3) Kepala Dinas Tenaga Kerja
4) Kepala Dinas Sosial
5) Kasubid Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Bappeda
4. Kabupaten Asahan
1) Kepala Bappeda
2) Kepala Dinas Kesehatan
3) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
4) Kepala Bidang Sosial
5) Dasril, SKM, Dinas Kesehatan
6) Rachmad Njt., Ikatan Sosial Kemalangan Pajak Ikan (ISKPI)
5. Kota Manado
1) J. Meruntu, Bappeko
2) J. Suwu, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
3) Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kota
4) Dinas Pendidikan Nasional Kota
5) M. Tangel K., Dinas Kesehatan
6) Royke Elias, LSM

49
DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Achmad Subianto (Dirut PT Taspen), Jaminan Sosial Pegawai Negeri Sipil, Makalah
disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30
September 2002.
2. Ahmad Ubbe, SH, MH, Aspek Hukum Perlindungan dan Jaminan Sosial dalam
Pembangunan Hukum untuk Kesejahteraan Rakyat, Makalah disajikan dalam
Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
3. Ari Hindrayono Mahar, Sistem Perlindungan Sosial di Indonesia dan
Permasalahannya, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
4. Baedhowi, Drs., MSi., Konsep Perlindungan dan Jaminan Sosial Bidang Pendidikan,
Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas, 30 September 2002.
5. BPS, Sensus Penduduk 2000, 2001.
6. BPS, BAPPENAS and UNDP, Indonesia Human Development Report 2001:
Towards a New Consensus, 2002.
7. Depkes dan Kesos-Ford Foundation, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM) Pengertian dan Pelaksanaannya, Jakarta 2000.
8. Depsos, Jaminan Sosial bagi Kelompok Khusus/Sektor Informal, Pekerja Mandiri, dan
PMKS, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas, 30 September 2002.
9. Direktorat Asuransi, Ditjen Lembaga Keuangan-Depkeu, Kebijakan Asuransi dalam
Rangka Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial,
Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas, 7 November 2002.
10. Direksi PT Taspen (Persero), Materi Presentasi Direksi PT Taspen (Persero),
Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas, 30 September 2002.
11. Direktorat Informasi Kependudukan, Ditjen Adminduk-Depdagri, Keterkaitan antara
Jaminan Sosial dan Sistem Administrasi Kependudukan, Makalah disajikan dalam
Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
12. Direktorat Jamsos, Pengupahan dan Kesejahteraan, Ditjen Binawas-Depnakertrans,
Jamsostek, Konsep dan Evaluasi Pelaksanaannya, Makalah disajikan dalam Seminar
Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
13. Direktorat JPKM-Depkes, Kebijaksanaan Depkes dalam Pelayanan Kesehatan
dengan JPK Gakin, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
14. Direktorat JPKM-Depkes, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, Draft September 2000.
15. Direktur Dana Pensiun, Depkeu, Kebijakan Dana Pensiun dalam Rangka Mendukung
Pengembangan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial, Makalah disajikan dalam
Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
16. Direktur PT Jamsostek, Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja
dan Evaluasi Pelaksanaannya, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.

50
17. Direktur PT (Persero) Askes, Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Bidang
Kesehatan PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia, Makalah disajikan dalam
Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
18. Direktur PT Taspen (Persero), Sistem Jaminan Sosial PNS dalam Era Korpri
Paradigma Baru, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
19. Folland, Goodman, Stano, Social Insurance Programs, 1997.
20. Ign Mayun Winangun, Implementasi Kebijakan Perpajakan dalam Rangka
Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial, Makalah
disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7
November 2002.
21. Sherman, Folland, Allen C. Goodman, dan Miron Stano, The Economics of Health
and Health Care (Second edition, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey,
1993, pp. 495-496
22. Sulastomo, Dr., MPH, AAK, Asuransi Kesehatan Sosial Sebuah Pilihan, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
23. _____________ , Asuransi Kesehatan Diperlukan, Kompas, Rabu, 15 Mei 2002.
24. Tim SJSN, Konsep Naskah Akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional (KNA-SJSN),
Jakarta, Februari 2003.
25. UNDP, Human Development Report 2002, 2003.

26. Yaumil Ch. Agoes Achir, Jaminan Sosial Nasional Indonesia,


Internet....Wbsite apa, Agustus 2002.

51

Anda mungkin juga menyukai